• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan dan Kerentanan Pangan di Kabupaten Asahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan dan Kerentanan Pangan di Kabupaten Asahan"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KETAHANAN DAN KERENTANAN PANGAN

DI KABUPATEN ASAHAN

TESIS

Oleh

Gayu Saputra

107039005 / MAG

PROGRAM STUDI MAGISTER AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ANALISIS FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KETAHANAN DAN KERENTANAN PANGAN

DI KABUPATEN ASAHAN

TESIS

Tesis Sebagai Salah Satu Syarat untuk Dapat Memperoleh Gelar Magister Pertanian pada Program Studi Magister Agribisnis

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

Oleh

Gayu Saputra

107039005/MAG

PROGRAM STUDI MAGISTER AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

Judul : Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan dan Kerentanan Pangan di Kabupaten Asahan

Nama : Gayu Saputra

NIM : 107039005

Program Studi : Magister Agribisnis

Menyetujui Komisi Pembimbing,

Ketua Anggota

(Dr.Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec)

NIP. 19580325 198502 1 002 NIP. 19641102 198903 2 001 (Dr.Ir. Tavi Supriana, MS)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Dr.Ir. Tavi Supriana, MS)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 11 Februari 2014

Tim Penguji

Ketua : Dr.Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec

Anggota : 1. Dr. Ir. Tavi Supriana, MS

2. Prof. Dr. Ir. Kelin Tarigan, MS

(5)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul :

ANALISIS FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETAHANAN

DAN KERENTANAN PANGAN DI KABUPATEN ASAHAN

Adalah benar hasil karya saya sendiri dan belum dipublikasikan oleh siapapun

sebelumnya. Sumber – sumber data dan informasi yang digunakan telah

dinyatakan secara benar dan jelas.

Medan, Februari 2014 Yang membuat pernyataan,

Gayu Saputra

(6)
(7)

ABSTRAK

GAYU SAPUTRA. Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi

Ketahanan dan Kerentanan Pangan di Kabupaten Asahan (Di bawah bimbingan Dr. Ir. SATIA NEGARA LUBIS, M.Ec sebagai ketua dan Dr. Ir. TAVI SUPRIANA, MS sebagai anggota).

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2012. Latar belakang penelitian ini adalah Kabupaten Asahan merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Sumatera Utara yang mengalami defisit pangan, berdasarkan peta ketahanan pangan Sumatera Utara tahun 2011 disebutkan bahwa 16 kecamatan dari 25 kecamatan yang ada di Kabupaten Asahan dalam kondisi defisit pangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor – faktor yang mempengaruhi ketahanan dan kerentanan pangan di Kabupaten Asahan. Data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu data peta ketahanan dan kerentanan pangan (FSVA) Provinsi Sumatera Utara tahun 2011, dan data sekunder lainnya yang mendukung penelitian ini. Penggunaan data tahun 2011 karena data peta ketahanan dan kerentanan pangan (FSVA) hanya di terbitkan tiap tiga tahun sekali. Metode analisis yang digunakan adalah dengan pendekatan model logit yang memiliki kriteria uji wald (Parsial) dan uji G (Serempak) dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 16.

Hasil analisis menunjukkan bahwa secara serempak faktor – faktor yang mempengaruhi ketahanan dan kerentanan pangan yang bersifat kronis di Kabupaten Asahan adalah ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan. Secara parsial akses pangan dan pemanfaatan pangan secara signifikan mempengarui ketahanan dan kerentanan pangan kronis di Kabupaten Asahan, sedangkan ketersediaan pangan secara parsial tidak mempengaruhi ketahanan dan kerentanan pangan kronis di Kabupaten Asahan. Indikator akses pangan yang paling mempengaruhi ketahanan dan kerentanan pangan secara signfikan adalah persentasae penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan. Dari 25 kecamatan yang ada di Kabupaten Asahan, terdapat 68% daerah yang tahan pangan dan 32% dalam kondisi rentan pangan. Kecamatan yang rentan pangan memiliki kondisi akses pangan dan pemanfaatan pangannya kurang baik. Daerah yang rentan pangan juga termasuk daerah – daerah yang defisit pangan.

(8)

ABSTRACT

GAYU SAPUTRA: An Analysis of the Factors Influencing The Food Security and Vulnerability in Asahan District, Under the Supervision of Dr. Ir. SATIA NEGARA LUBIS, M.Ec (Chair) and Dr. Ir. TAVI SUPRIANA, MS (Member)

Asahan is one of the districts of in Sumatera Utara Province experiencing food deficit. According to map of security food in 2011, 16 of 25 subdistricts in Asahan District experienced food deficit. The purpose of this study was to analyze the factors influencing the food security and vulnerability in Asahan District. This study used secondary data obtained from the Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) Sumatera Utara Province in 2011 and the other supporting secondary data. The reason for using the 2011 data was because the Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) is only published once three years. The data obtained were processed and analyzed through logit approach model with wald test (partially) and G test (simultaneously) using SPSS16 program.

The result of the study showed that simultaneously the factors influencing the chronicle food security and vulnerability in Asahan District were food availability, food access, and the utilization of food. Partially, the food access and the utilization of food significantly influenced the chronicle food security and vulnerability in Asahan District, while partially the availability of food did not influence the chronicle food security and vulnerability in Asahan District. The most significant indicator of food access influencing the food security and vulnerability was the percentage of the population living below the poverty line. Of the 25 subdistricts in Asahan District, 68% belonged to the food secure regions, and 32% belonged to the vulnerable food regions. The vulnerable food subdistricts had poor food access and the bad food utilization. The vulnerable food region was also included into deficit food region.

(9)

RIWAYAT HIDUP

GAYU SAPUTRA, lahir di Sedinginan, Kecamatan Tanah Putih,

Kabupaten Rokan Hilir pada tanggal 23 juli 1987 dari Bapak Drs. Hazri dan Ibu

Masdiah Lubis. Penulis merupakan anak ke dua dari lima bersaudara.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah sebagai berikut :

1. Tahun 1993 masuk Sekolah Dasar di SD Negeri 034 Tanah Putih, Kabupaten

Rokan Hilir, Provinsi Riau, tamat tahun 1999.

2. Tahun 1999 masuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri 1

Tanah Putih, Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau, tamat tahun 2002.

3. Tahun 2002 masuk Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri 1 Tanah Putih,

Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau, tamat tahun 2005.

4. Tahun 2005 diterima di Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas

Pertanian, Universitas Sumatera Utara, tamat tahun 2010.

5. Tahun 2010 melanjutkan pendidikan S2 di Program Studi Magister Agribisnis

(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas

berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini

dengan baik.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

Bapak Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec selaku Ketua Komisi Pembimbing dan

Ibu Dr. Ir. Tavi Supriana, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah

membantu penulis dalam penyusunan tesis ini.

Secara khusus, penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua

dan seluruh keluarga yang telah mendorong dan memotivasi penulis untuk

menyelesaikan tesis ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan

kepada seluruh pegawai Dinas Ketahanan Pangan dan Kantor Kecamatan yang

telah memberikan segala informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

telah membantu penyelesaian tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita

semua.

Medan, Februari 2014

(11)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Identifikasi Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Kegunaan Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1.Tinjauan Pustaka ... 4

2.2.Landasan Teori ... 7

2.2.1. Ketersediaan Pangan ... 11

2.2.2. Akses Pangan ... 13

2.2.3. Pemanfaatan Pangan ... 15

2.3.Penelitian Terdahulu ... 18

2.4.Kerangka Pemikiran ... 19

2.5.Hipotesis Penelitian ... 22

III. METODE PENELITIAN ... 23

3.1. Metode Pemilihan Lokasi ... 24

3.2. Metode Penentuan Sampel ... 24

3.3. Metode Pengumpulan Data ... 24

3.4. Metode Analisis Data ... 24

3.5. Defenisi dan Batasan Operasional ... 27

3.5.1. Defenisi ... 27

3.5.2. Batasan Operasional ... 29

IV. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN………. 31

4.1. Deskripsi Daerah Penelitian... 31

(12)

4.2. Keadaan Penduduk ... 32

4.3. Pendapatan Domestik Regional Bruto ... 33

4.4. Sarana dan Prasarana ... 36

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Deskripsi Variabel Penelitian ... 38

5.2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan dan Kerentanan Pangan ... 45

5.2.1. Pengaruh ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan ... 45

5.2.2. Pengaruh indikator ketahanan dan kerentanan pangan ... 50

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan... 57

6.2. Saran... 57

DAFTAR PUSTAKA... 59

(13)

DAFTAR TABEL

No Judul Hal

1. Indikator Ketahanan Pangan ... 9

2. Derah Defisit Pangan Provinsi Sumatera Utara ... 22

3. Penduduk Kabupaten Asahan Menurut Kecamatan, Jenis Kelamin dan Rumah Tangga ... 31

4. PDRB Per Kapita Menurut Kecamatan Kabupaten Asahan Menurut Harga Berlaku Tahun 2011... 32

5. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Asahan Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2011 ... 34

6. Sarana dan Prasarana Kabupaten Asahan……… 35

7. Persentase Kecamatan Rentan dan Tahan Pangan……….. 37

8. Indikator Ketahanan dan Kerentanan Pangan di Kabupaten Asahan….. 38

9. Ketersediaan Pangan Kabupaten Asahan……….... 39

10.Indikator Akses Pangan Kabupaten Asahan……… 40

11.Indikator Pemanfaatan Pangan Kabupaten Asahan………. 42

12.Omnibus Tests of Model Coefficients………. 44

13.Hosmer and Lemeshow Test……… 45

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul

Hal

1. Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kabupaten Asahan. ... 60

2. Konsumsi Normative Per Kapita Kabupaten Asahan. ... 61

3. Persentase Penduduk Hidup di Bawah Garis Kemiskinan Kabupaten Asahan. ... 62

4. Persentase Desa yang Tidak Memiliki Akses Penghubung yang Memadai Kabupaten Asahan. ... 63

5. Persentase Rumah Tangga Tanpa Akses Listrik Kabupaten Asahan. ... 64

6. Persentase Desa yang Tinggal Lebih 5 km dari Fasilitas Kesehatan Kabupaten Asahan. ... 65

7. Persentase Rumah Tangga Tanpa Akses ke Air Bersih Kabupaten Asahan. ... 66

8. Persentase Perempuan Buta Huruf Kabupaten Asahan. ... 67

9. Berat Badan Balita Dibawah Standar Kabupaten Asahan. ... 68

10.Angka Harapan Hidup Provinsi Sumatera Utara. ... 69

11.Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan dan Kerentanan Pangan Kabupaten Asahan. ... 70

12.Analisis Regresi Logistic. ... 71

13.Indikator Ketahanan dan Kerentanan Pangan. ... 77

(15)

ABSTRAK

GAYU SAPUTRA. Analisis Faktor – Faktor yang Mempengaruhi

Ketahanan dan Kerentanan Pangan di Kabupaten Asahan (Di bawah bimbingan Dr. Ir. SATIA NEGARA LUBIS, M.Ec sebagai ketua dan Dr. Ir. TAVI SUPRIANA, MS sebagai anggota).

Penelitian ini dilakukan pada tahun 2012. Latar belakang penelitian ini adalah Kabupaten Asahan merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Sumatera Utara yang mengalami defisit pangan, berdasarkan peta ketahanan pangan Sumatera Utara tahun 2011 disebutkan bahwa 16 kecamatan dari 25 kecamatan yang ada di Kabupaten Asahan dalam kondisi defisit pangan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor – faktor yang mempengaruhi ketahanan dan kerentanan pangan di Kabupaten Asahan. Data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu data peta ketahanan dan kerentanan pangan (FSVA) Provinsi Sumatera Utara tahun 2011, dan data sekunder lainnya yang mendukung penelitian ini. Penggunaan data tahun 2011 karena data peta ketahanan dan kerentanan pangan (FSVA) hanya di terbitkan tiap tiga tahun sekali. Metode analisis yang digunakan adalah dengan pendekatan model logit yang memiliki kriteria uji wald (Parsial) dan uji G (Serempak) dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 16.

Hasil analisis menunjukkan bahwa secara serempak faktor – faktor yang mempengaruhi ketahanan dan kerentanan pangan yang bersifat kronis di Kabupaten Asahan adalah ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan. Secara parsial akses pangan dan pemanfaatan pangan secara signifikan mempengarui ketahanan dan kerentanan pangan kronis di Kabupaten Asahan, sedangkan ketersediaan pangan secara parsial tidak mempengaruhi ketahanan dan kerentanan pangan kronis di Kabupaten Asahan. Indikator akses pangan yang paling mempengaruhi ketahanan dan kerentanan pangan secara signfikan adalah persentasae penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan. Dari 25 kecamatan yang ada di Kabupaten Asahan, terdapat 68% daerah yang tahan pangan dan 32% dalam kondisi rentan pangan. Kecamatan yang rentan pangan memiliki kondisi akses pangan dan pemanfaatan pangannya kurang baik. Daerah yang rentan pangan juga termasuk daerah – daerah yang defisit pangan.

(16)

ABSTRACT

GAYU SAPUTRA: An Analysis of the Factors Influencing The Food Security and Vulnerability in Asahan District, Under the Supervision of Dr. Ir. SATIA NEGARA LUBIS, M.Ec (Chair) and Dr. Ir. TAVI SUPRIANA, MS (Member)

Asahan is one of the districts of in Sumatera Utara Province experiencing food deficit. According to map of security food in 2011, 16 of 25 subdistricts in Asahan District experienced food deficit. The purpose of this study was to analyze the factors influencing the food security and vulnerability in Asahan District. This study used secondary data obtained from the Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) Sumatera Utara Province in 2011 and the other supporting secondary data. The reason for using the 2011 data was because the Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) is only published once three years. The data obtained were processed and analyzed through logit approach model with wald test (partially) and G test (simultaneously) using SPSS16 program.

The result of the study showed that simultaneously the factors influencing the chronicle food security and vulnerability in Asahan District were food availability, food access, and the utilization of food. Partially, the food access and the utilization of food significantly influenced the chronicle food security and vulnerability in Asahan District, while partially the availability of food did not influence the chronicle food security and vulnerability in Asahan District. The most significant indicator of food access influencing the food security and vulnerability was the percentage of the population living below the poverty line. Of the 25 subdistricts in Asahan District, 68% belonged to the food secure regions, and 32% belonged to the vulnerable food regions. The vulnerable food subdistricts had poor food access and the bad food utilization. The vulnerable food region was also included into deficit food region.

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia adalah negara agraris dimana mata pencaharian mayoritas

penduduknya petani. Secara geografis Indonesia yang juga merupakan negara

kepulauan memiliki potensi alam yang besar dalam bidang pengolahan pertanian.

Potensi pertanian Indonesia yang tinggi salah satunya disebabkan wilayah

Indonesia yang memiliki wilayah daratan sepertiga dari luas keseluruhan ini

dilewati barisan pengunungan dunia. Hal ini menyebabkan wilayah daratan

Indonesia sangat subur. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sebagian besar

penduduk Indonesia bermata pencaharian sebagai petani. Itulah mengapa

Indonesia juga disebut sebagai negara agraris.

Kondisi geografis yang menguntungkan tidak menjadikan Indonesia bebas

dari permasalahan ketahanan dan kerentanan pangan. Permasalahan ketahanan

dan kerentanan pangan masih terdapat di beberapa daerah di Indonesia. Hal ini

dapat diketahui dari Peta Keamanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and

Vulnerability Atlas, FSVA) yang diterbitkan oleh World Food Programme (WFP)

bekerja sama dengan Dewan Ketahanan Pangan (DKP) Nasional pada tahun 2009.

Pada tahun 2009 terdapat 100 kabupaten yang masih dalam kategori rentan

pangan. Sumatera Utara termasuk peringkat ke 13 yang memiliki kabupaten yang

rentan pangan proritas pertama dan peringkat 98 yang memiliki kabupaten rentan

pangan proritas ke tiga. Hal ini terasa janggal mengingat Indonesia secara umum

dan Sumatera Utara secara khusus memiliki potensi yang luar biasa secara

(18)

Kerentanan pangan di Indonesia dilihat dari kebijakan pemerintah untuk

mengimpor beras. Impor dilakukan dalam rangka menjaga ketahanan pangan

nasional. Salah satunya adalah Sumatera Utara yang secara umum merupakan

salah satu lumbung pangan nasional, namun masih ada kabupaten di Provinsi

Sumatera Utara yang defisit pangan.

Kabupaten Asahan merupakan salah satu kabupaten yang ada di Provinsi

Sumatera Utara yang mengalami defisit pangan, berdasarkan peta ketahanan

pangan Sumatera Utara tahun 2011 disebutkan bahwa 16 kecamatan dari 25

kecamatan yang ada di Kabupaten Asahan dalam kondisi defisit pangan.

Ditambah lagi tingginya pertumbuhan penduduk di Kabupaten Asahan yang tidak

sebanding dengan pertumbuhan komoditi pangan. Berdasarkan data badan pusat

statistik, pertumbuhan penduduk di Kabupaten Asahan adalah sebesar 1,11%

sedangkan pertumbuhan produksi padi hanya sebesar 0,07%, ubi kayu sebesar

0,32% dan jagung sebesar 0,15% dalam periode lima tahun terkhir.

Kondisi kemiskinan di Kabupaten Asahan juga cukup tinggi sehingga

dapat menghambat msyarakat untuk memperoleh pangan. Menurut data BPS

jumlah penduduk miskin di Kabupaten Asahan pencapai 76,30 ribu jiwa atau

sebesar 10,85 % pada tahun 2011. Dalam kondisi tingginya tingkat kemiskinan

maka daya beli masyarakat akan menjadi rendah, sehingga dapat menyebabkan

masyarakat tidak mampu mengakses pangan, dan pada akhirnya akan

menyebabkan masalah terhadap ketahanan pangan. Dimana pangan merupakan

kebutuhan dasar yang paling esensial bagi manusia untuk mempertahankan hidup

dan kehidupan. Pangan sebagai sumber zat gizi (karbohidrat, lemak, protein,

(19)

kesehatan dan kesejahteraan sepanjang siklus kehidupan. Janin dalam kandungan,

bayi, balita, anak, remaja, dewasa maupun usia lanjut membutuhkan makanan

yang sesuai dengan syarat gizi untuk mempertahankan hidup, tumbuh dan

berkembang, serta mencapai prestasi kerja.

Berdasarkan latar belakang di atas membuat peneliti tertarik ingin

mengetahui faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi ketahanan dan

kerentanan pangan di Kabupaten Asahan.

1.2. Identifikasi Masalah

1. Faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi ketahanan dan kerentanan

pangan kronis di Kabupaten Asahan ?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dilaksanakannya penelitian ini antara lain :

1. Untuk mengetahui faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi ketahanan dan

kerentanan pangan kronis di Kabupaten Asahan.

1.4. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini ialah :

1. Sebagai bahan informasi bagi pemerintah dalam rangka mencapai ketahanan

pangan.

2. Sebagai bahan informasi bagi dinas terkait dalam rangka mendukung program

ketahanan pangan.

3. Sebagai bahan informasi dan refrensi bagi penelitian lainnya yang

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka

Pangan meliputi produk serealia, karena porsi utama dari kebutuhan kalori

harian berasal dari sumber pangan karbohidrat, yaitu sekitar separuh dari

kebutuhan energi per orang per hari. Maka yang digunakan dalam analisis

kecukupan pangan yaitu karbohidrat yang bersumber dari produksi pangan pokok

serealia yaitu padi, jagung, dan umbi-umbian (ubi kayu dan ubi jalar) yang

digunakan untuk memahami tingkat kecukupan pangan pada tingkat provinsi

maupun kabupaten (Peta Ketahanan Pangan Gorontalo, 2009).

Pangan yang digunakan dalam analisis kecukupan pangan yaitu

karbohidrat yang bersumber dari produksi pangan pokok serealia :

1. Padi : Tanaman padi (Oryza sativa L.) termasuk famili tumbuhan gramineae

atau rumput-rumputan dengan batang tersusun dari beberapa ruas. Tanaman

padi memiliki sifat merumpun, yang dalam waktu singkat bibit padi yang

ditanam hanya satu batang dapat membentuk rumpun sejumlah 20 sampai 30

anakan (Pithantomo, 2007).

2. Jagung :

pada infloresen yang berbeda dengan bunga jantannya, tetapi masih berada

dalam satu tanaman. Bunga jantan tersusun dalam bulir rapat yang terletak

pada ujung batang dan dinamakan malai atau tassel. Bunga betinanya terletak

pada ketiak daun dan berbentuk tongkol. Biasanya bunga betina terletak pada

buku keenam atau kedelapan dari atas dan terus pada setiap buku dibawahnya.

(21)

hari sebelum munculnya rambut pada bunga betina. Bunga betinanya meliputi,

tangkai, tunas, tongkol, klobot, calon biji, calon janggel, penutup klobot, dan

rambut.

dominasi pertumbuhan ada pada pucuk batang, mengakibatkan tongkol yang

paling atas berkembang lebih besar daripada yang bawah dan terjadi kompetisi

antar tongkol (Novik, 2013).

3. Ubi kayu : Batang tanaman singkong berkayu, beruas – ruas, dengan

ketinggian mencapai lebih dari 3 m. Warna batang bervariasi, ketika masih

muda umumnya berwarna hijau dan setelah tua menjadi keputih–putihan,

kelabu, atau hijau kelabu. Batang berlubang, berisi empulur berwarna putih,

lunak, dengan struktur seperti gabus. Susunan daun singkong berurat, menjari

dengan cangap 5 – 9 helai. Daun singkong, terutama yang masih muda

mengandung racun sianida, namun demikian dapat dimanfaatkan sebagai

sayuran dan dapat menetralisir rasa pahit sayuran lain, misalnya daun papaya

dan kenikir. Bunga tanaman singkong berumah satu dengan penyerbukan

silang sehingga jarang berbuah. Umbi yang terbentuk merupakan akar yang

menggelembung dan berfungsi sebagai tempat penampung makanan cadangan.

Bentuk umbi biasanya bulat memanjang, terdiri atas kulit luar tipis (ari)

berwarna kecoklat – coklatan (kering), kulit dalam agak tebal berwarna

keputih – putihan (basah), dan daging berwarna putih atau kuning (tergantung

varietasnya) yang mengandung sianida dengan kadar yang berbeda.

(Suprapti Lies, 2005).

4. Ubi jalar : Ubi jalar atau ketela rambat (Ipomoea batatas L.) adalah sejenis

(22)

membentuk umbi dengan kadar

ubi jalar menjadi salah satu sumber

selain dimanfaatkan umbinya, daun muda ubi jalar juga dibuat sayuran.

Terdapat pula ubi jalar yang dijadika

(

Kebijakan ketersediaan pangan adalah suatu hal yang ditetapkan dan

diberlakukan sebagai arahan atau dasar tindakan melalui serangkaian pengambilan

keputusan mengenai ketersediaan pangan untuk menjamin produksi dan

perdagangan pada tingkat makro (Nasional) dalam hal undang-undang dan

peraturan pemerintah (Institut Pertanian Bogor, 2009). Hafsah MJ, 2004).

Karena ketersediaan pangan merupakan hal yang vital karena menyangkut

kehidupan manusia yang paling asasi. Untuk mempertahankan eksistensinya,

manusia berusaha untuk mencukupi kebutuhan pangan baik secara langsung

maupun tidak langsung. Apa bila kebutuhan primer tesebut tidak dapat dipenuhi,

maka kerentanan pangan akan berdampak luas pada berbagai aspek kehidupan.

Kejadian rentan pangan dan gizi buruk mempunyai arti politis yang negatif bagi

penguasa. Sejarah membuktikan bahwa dibeberapa negara berkembang, krisis

pangan dapat menjatuhkan pemerintahan yang sedang berkuasa

(Handewi P.S. Rachman, dkk 2008).

Ketahanan pangan pada suatu negara tidak mensyaratkan untuk melakukan

swasembada produksi pangan karena tergantung pada sumberdaya yang dimiliki.

Suatu negara bisa menghasilkan dan mengekspor komoditas pertanian yang

bernilai ekonomi tinggi dan barang-barang industri, kemudian membeli komoditas

(23)

pangan pada level nasional, namun dijumpai masyarakatnya yang rentan pangan

karena ada hambatan akses dan distribusi pangan (Hanani, 2012).

2.2. Landasan Teori

Di Indonesia, Undang - Undang No. 7 Tahun 1996 tentang pangan

mengartikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi suatu

wilayah yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun

mutunya, aman, merata dan terjangkau.

USAID 1992 mendefinisikan ketahanan pangan sebagai suatu kondisi

dimana masyarakat pada waktu yang bersamaan memiliki akses yang cukup baik

secara fisik maupun ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dalam rangka untuk

meningkatkan kesehatan dan hidup yang lebih produktif.

(Hariyanti dan Raharto, 2012).

Pada peluncuran peta kerawanan pangan (FIA) tahun 2005 tingkat

nasional ternyata masih menyebabkan kesalah pahaman mengenai pengertian

pemeringkatan kabupaten “rawan pangan”. Kata rawan pangan (food insecurity)

diindikasikan secara langsung bahwa kabupaten – kabupaten peringkat bawah

adalah kabupaten yang semua penduduknya rawan pangan. Oleh karena itu pada

peta nasional tahun 2009 dirubah dari peta kerawanan pangan (FIA) tahun 2005

menjadi peta ketahanan dan kerentanan pangan (FSVA) pada tahun 2009.

Perubahanan nama tersebut dilakukan dengan pertimbangan untuk memperjelas

konsep ketahanan pangan. Sehingga istilah rawan pangan diganti dengan

(24)

Kerentanan pangan adalah mengacu pada suatu kondisi yang membuat

suatu wilayah beresiko mengalami ketidak cukupan pangan untuk memenuhi

standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan para penduduknya.

Kerentanan pangan dapat bersifat kronis atau bersifat sementara. Tingkat

kerentanan individu, rumah tangga atau kelompok masyarakat ditentukan oleh

tingkat keterpaparan mereka terhadap faktor – faktor resiko / goncangan dan

kemampuan mereka untuk mengatasi situasi tersebut baik dalam kondisi tertekan

maupun tidak (FSVA Sumatera Utara, 2011).

Kerentanan pangan kronis merupakan kondisi kurang pangan yang terjadi

sepanjang waktu di suatu wilayah. Sedangkan kerentanan pangan sementara

mencakup rentan pangan musiman (seasonal), rentan pangan ini dapat terjadi

karena adanya kejutan (shock

Ada tiga sub sistem utama yang mempengaruhi ketahanan dan kerentanan

pangan yaitu ketersediaan (food availability), akses (food access), dan

pemanfaatan pangan (food utilization), sedangkan status gizi (nutritional status )

merupakan outcome dari ketahanan pangan. Ketersediaan, akses, dan pemanfaatan

pangan merupakan sub sistem yang harus dipenuhi secara utuh. Salah satu

subsistem tersebut tidak dipenuhi maka suatu negara belum dapat dikatakan

mempunyai ketahanan pangan yang baik. Ketiga hal tersebut, pada kondisi rentan

pangan yang akut atau kronis dapat muncul secara simultan dan bersifat relatif ) yang mendadak dan tak terduga seperti kekeringan

dan ledakan serangan hama, yang sangat membatasi kepemilikan pangan,

terutama masyarakat yang berada di pedesaan. Bagi masyarakat di perkotaan

rentan pangan tersebut dapat disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja dan

(25)

permanen. Sedangkan pada kasus rentan pangan yang musiman atau sementara

(kerentanan terhadap pangan transien), faktor yang berpengaruh kemungkinan

hanya salah satu atau dua faktor saja dan sifatnya tidak permanen

(Sri Sumarni, 2012).

Tabel 1. Indikator ketahanan dan kerentanan pangan yang telah mengacu pada Food Security and Vunerability Atlas (FSVA).

Indikator Definisi dan Perhitungan Sumber Data Ketersediaan Pangan

1. Rasio konsumsi normative per kapita terhadap ketersediaan bersih padi + jagung + ubi kayu + ubi jalar

1.Data rata – rata produksi bersih tiga tahun pada tingkat kecamatan dihitung dengan menggunakan konversi standar. Untuk rata – rata produksi bersih ubi jalar dibagi dengan 3 (factor konversi serelia) untuk mendapatkan nilai yang ekivalen dengan serielia. Kemudian dihitung total produksi serilia yang layak dikonsumsi.

2.Ketersediaan bersih serelia per kapita per hari di hitung dengan membagi total ketersediaan serelia kecamatan dengan jumlah populasinya.

3.Data bersih serelia dari perdagangan dan impor tidak diperhitungkan karena data tidak tersedia pada tingkat kecamatan.

4.Konsumsi normative serelia per hari perkapita adalah 300 gram/orang/hari.

5.Kemudian dihitung rasio konsumsi normative per kapita terhadap ketersediaan bersih serelia per kapita. Rasio lebih besar dari 1 menunjukkan daerah defisit pangan dan daerah dengan rasio yang lebih kecil dari 1 adalah surplus untuk produksi serelia.

Badan Ketahanan Pangan dan Pusat Statistik Provinsi dan Kabupaten, Akses Pangan 2. Persentase

penduduk hidup di bawah garis kemiskinan

3. Persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai

1.Nilai rupiah pengeluaran per kapita setiap bulan untuk memenuhi standar minimum kebutuhan konsumsi pangan dan non pangan yang dibutuhkan oleh individu untuk hidup secara layak dihitung dengan metode small area estimation (SAE). 1.Lalulintas antar desa yang tidak bisa dilalui oleh

kendaraan roda empat.

Susenas kor , susenas modul,PODES, BPS

(26)

Tabel 1. Lanjutan

Indikator Definisi dan Perhitungan Sumber Data 4.Persentase rumah

tangga tanpa akses listrik

1. Persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap listrik dari PLN dan/non PLN misalnya generator di hitung dengan metode SAE.

Susenas kor, PODES, BPS

Pemanfaatan Pangan 5.Persentase desa

yang tinggal lebih 5 km dari fasilitas kesehatan.

1.Persentase desa dengan jarak lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan (rumah sakit,

klinik,puskesmas, dokter, juru rawat, bidan yang terlatih, para medic dan sebagainya).

PODES, BPS

6. Persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih

7. Perempuan buta huruf

8. Berat badan balita dibawah standar

9. Angka harapan hidup pada saat lahir

1.Persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses ke air minum yang berasal dari air leding /PAM, pompa air, sumur atau mata air yang terlindung. Dihitung dengan metode SAE. 1.Persentase perempuan di atas 15 tahun yang tidak

dapat membaca , dihitung dengan metode SAE. 1.Anak yang berumur di bawah 5 tahun kurang dari

- 2 standar deviasi (-2 SD) dari berat badan normal pada usia dan jenis kelamin tertentu (Standar WHO 2005).

1.Perkiraan lama hidup rata – rata bayi baru lahir dengan asumsi bahwa tidak ada perubahan pola mortalitas sepanjang hidupnya. Di hitung dengan metode SAE.

Susenas kor , PODES, BPS

Susenas kor , PODES, BPS Pemantauan status gizi (PSG) dinas kesehatan Susenas kor , PODES, BPS

Kerentanan pangan transien (sementara) 10.Bencana alam

11.Penyimpnagan curah hujan

12.Persentase daerah puso

13.Deforestasi hutan

1.Data bencana alam yang terjadi NTB dan kerusakannya selama periode tertentu.

1.Data rata – rata tahunan curah hujan pada musim hujan dan kemarau selama 10 tahun terhir. 2.Kenudian di hitung persentase rata – rata 10

tahun terhadap nilai normal rata – rata 30 tahun. 1.Persentase dari daerah yang ditanami padi dan

jagung yang rusak akibat kekeringan, banjir dan organism penganggu tanaman (OPT).

(27)

Indikator yang digunakan pada peta ketahanan dan kerentanan pangan

(FSVA) dapat digolongkan ke dalam dua komponen. Kerentanan pangan kronis,

yang dicerminkan melalui indikator ketersediaan pangan, indikator akses terhadap

pangan serta pemanfaatan pangan (9 indikator). Kerentanan pangan sementara,

dicerminkan melalui indikator kerentanan terhadap bencana alam dan bencana

lainnya (4 indikator). Ke 13 Indikator yang digunakan pada FSVA merupakan

indikator untuk mengetahui ketahanan dan kerentanan pangan pada suatu wilayah.

Faktor – faktor yang mempengaruhi ketahan dan kerentanan pangan antara lain:

2.2.1. Ketersediaan (Food Availability)

Ketersediaan (food availability) yaitu ketersediaan pangan dalam jumlah

yang cukup aman dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara baik yang

berasal dari produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun bantuan pangan.

Ketersediaan pangan ini diharapkan mampu mencukupi pangan yang

didefinisikan sebagi jumlah kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif

dan sehat. Informasi data yang digunakan untuk mengetahui ketersedian pangan

antara lain :

1. Produksi : peningkatan produksi pangan dan kualitas pangan dapat dilakukan

dengan program intensifikasi budidaya dan diversifikasi pangan antara lain

dengan usaha pengolahan bahan pangan menjadi produk pangan yang

menpunyai nilai tambah.

2. Pasokan pangan dari luar (impor)

3. Cadangan pangan merupakan salah satu sumber penyediaan pangan penting

bagi pemantapan ketahan pangan. Pengelolaan cadangan yang baik akan dapat

(28)

wajar, atau keadaan darurat karena adanya bencana atau paceklik yang

berkepanjangan, sehingga membatasi aksesibilitas pangan masyarakat.

4. Bantuan pangan

5. Jumlah penduduk

(Hanani, 2009).

Laju peningkatan kebutuhan pangan lebih cepat dibandingkan dengan laju

peningkatan kemampuan produksi. Disamping itu peningkatan produktivitas

tanaman di tingkat petani relatif stagnan, karena terbatasnya kemampuan

produksi, penurunan kapasitas kelembagaan petani, serta kualitas penyuluhan

pertanian yang jauh dari memadai. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi di

Indonesia menjadi tantangan lain yang perlu dihadapi dalam pemenuhan

kebutuhunan pangan (FSVA, 2009).

Perhitungan rasio konsumsi terhadap ketersediaan bersih sereal dan

umbi-umbian ini diasumsikan untuk mengukur tingkat konsumsi serealia penduduk dan

tingkat kemampuan suatu daerah dalam menyediakan bahan pangan/sereal dalam

mencukupi kebutuhan penduduknya. Rasio konsumsi normatif terhadap

ketersediaan netto pangan serealia per kapita per hari adalah merupakan petunjuk

kecukupan pangan pada satu wilayah.

Konsumsi Normatif (Cnorm) didefinisikan sebagai jumlah pangan serealia

yang harus dikonsumsi oleh seseorang per hari untuk memperoleh kilo kalori

energi dari serealia. Pola konsumsi pangan di Indonesia menunjukkan bahwa

hampir 50% dari kebutuhan total kalori berasal dari serealia. Standar kebutuhan

kalori per hari per kapita adalah 2,000 KKal, dan untuk mencapai 50% kebutuhan

(29)

seseorang harus mengkonsumsi kurang lebih 300 gram serealia per hari. Oleh

sebab itu dalam analisis ini, kita memakai 300 gram sebagai nilai konsumsi

normatif (konsumsi yang direkomendasikan).

(FSVA, 2009).

Perhitungan produksi pangan tingkat kabupaten dilakukan dengan

menggunakan data rata-rata produksi tiga tahunan untuk komoditas padi, jagung,

ubi kayu dan ubi jalar karena sumber energi utama dari asupan energi makanan

berasal dari serealia dan umbi-umbian. Pola konsumsi pangan di Indonesia

menunjukkan bahwa hampir 50% dari kebutuhan total kalori berasal dari tanaman

serealia. Data rata-rata bersih dari komoditi padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar

dihitung dengan menggunakan faktor konversi baku.

Untuk produksi bersih rata-rata ubi kayu dan ubi jalar agar setara dengan

beras, maka harus dikalikan dengan 1/3 (1 kg beras atau jagung ekivalen dengan 3

kg ubi kayu dan ubi jalar dalam hal nilai kalori). Kemudian dihitung total

produksi serealia yang layak dikonsumsi. Ketersediaan bersih serealia per kapita

dihitung dengan membagi total ketersediaan serealia kabupaten dengan jumlah

penduduk. Data bersih serealia dari perdagangan dan impor tidak diperhitungkan

karena data tersebut tidak tersedia di tingkat kabupaten. Berdasarkan profil

konsumsi Indonesia, konsumsi normatif serealia/hari/kapita adalah 300 gram.

Kemudian dihitung konsumsi normatif perkapita terhadap rasio produksi.

(World food Programe, 2009).

2.2.2. Akses Pangan (Food Acces)

Akses Pangan (Food Acces) yaitu kemampuan semua rumah tangga dan

(30)

untuk kebutuhan gizinya yang dapat diperoleh dari produksi pangannya sendiri,

pembelian ataupun melalui bantuan pangan. Akses rumah tangga dari individu

terdiri dari akses ekonomi, fisik dan sosial.

Adapun indikator untuk menjelaskan akses pangan dapat dikategorikan

dalam indikator – indikator yang bersifat fisik antara lain kelancaran system

distribusi, terpenuhinya sarana dan prasana transportasi sehingga tidak

menimbulkan terjadinya isolasi daerah. Indikator yang bersifat ekonomi antara

lain kemampuan atau peningkatan daya beli masyarakat atau individu dikarenakan

adanya kesempatan kerja menyebabkan pendapatan tinggi sehingga harga pangan

terjangkau. Indikator yang bersifat sosial antara lain tidak adanya konflik sosial

yang disebabkan oleh buruknya adat atau kebiasaan, tinggi-rendahnya

pengetahuan sehingga berpengaruh pada preferensi atau pemilihan jenis pangan.

Beberapa indikator yang digunakan untuk menjelaskan akses pangan :

1. Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan .

Indikator ini menunjukkan ketidakmampuan dalam mengakses pangan

sebagai kebutuhan dasar manusia secara baik karena rendahnya daya beli.

Kemiskinan sebenarnya secara teoritis merupakan indikator kunci yang berperan

besar dalam menentukan tingkat ketahanan pangan suatu wilayah.

Dengan tingginya kemiskinan maka akses terhadap pekerjaan dan

pengelolaan sumberdaya menjadi rendah dan itu akan menyebabkan rendahnya

income masyarakat. Rendahnya income menyebabkan daya beli masyarakat

menjadi rendah. Dan rendahnya daya beli menyebabkan pemenuhan kebutuhan

dasar yaitu kebutuhan akan pangan yang memenuhi pola pangan harapan sebagai

(31)

2. Persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai.

Jalan merupakan infrastruktur wilayah yang sangat mempengaruhi kinerja

kegiatan ekonomi. Dalam perdagangan/ pemasaran produk pertanian ada fungsi

pertukaran dan fungsi fisik. Proses pengangkutan dan handling product

diperlancar infrastruktur jalan yang baik. Kondisi jalan tanah relatif kurang tahan

dalam memfasilitasi sarana transportasi seperti truk pengangkut hasil pertanian

maupun dalam mendistribusikan hasil pangan dari luar daerah ke daerah tersebut.

Sehingga indikator ini dipilih sebagai indikator yang memperlancar akses pangan

3. Persentase rumah tangga tanpa akses listrik.

Listrik merupakan faktor yang mendukung kegiatan ekonomi di suatu

wilayah. Dinamika ekonomi akan semakin tinggi dengan adanya listrik yang dapat

diakses masyarakat disuatu wilayah. Tersedianya fasilitas listrik di suatu wilayah

akan membuka peluang yang lebih besar untuk meningkatkan volume pekerjaan

yang telah dijalankan atau menambah peluang kerja baru yang lebih baik.

Indikator ini merupakan indikasi tingkat kesejahteraan masyarakat di wilayah

tersebut.

(Hanani, 2009).

2.2.3. Pemanfaatan Pangan

Pemanfaatan pangan / penyerapan pangan (Food Utilazation) yaitu

penggunaan pangan untuk kebutuhan hidup sehat yang meliputi kebutuhan energi

dan gizi, air dan kesehatan lingkungan. Efektifitas dari penyerapan pangan

tergantung pada pengetahuan rumah tangga / individu sanitasi dan ketersediaan

(32)

Pemanfaatan / penyerapan pangan erat kaitannya dengan mutu dan

keamanan pangan. Mutu dan keamanan pangan tidak hanya berpengaruh terhadap

kesehatan manusia, tetapi juga terhadap produktivitas ekonomi dan perkembangan

sosial baik individu, masyarakat maupun negara. Selain itu mutu dan keamanan

pangan terkait erat juga dengan kualitas pangan yang dikonsumsi, yang secara

langsung berpengaruh terhadap kualitas kesehatan serta pertumbuhan fisik dan

intelgensi manusia.

Indikator – indikator untuk menjelaskan tentang penyerapan pangan antara

lain fasilitas dan layanan kesehatan dengan cara peningkatan fasilitas kesehatan

yang memadai dan mempermudah layanan kesehatan, sanitasi dan ketersediaan

air dengan kecukupan air bersih. Hal ini dikarenakan air yang kurang bersih

rentan terhadap penyakit. Indikator lain yang digunakan terhadap penyerapan

pangan yaitu pengetahuan ibu rumah tangga yang mana pola makan dan pola asuh

kesehatan berdampak pada seberapa besar jumlah asupan gizi yang dikonsumsi.

Apabila indikator tersebut terpenuhi tidaklah mustahil bahwasannya hasil yang

diharapkan seperti peluang harapan hidup dari terpenuhinya gizi balita akan

meminimkan angka kematian bayi sebagi penerus generasi.

(Hanani, 2009).

Kerentanan pangan sementara adalah kerentanan terhadap ketidak

mampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam jangka pendek atau

sementara untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum, hal ini disebabkan oleh

bencana alam dan goncangan mendadak lainnya yang mempengaruhi ketahanan

pangan di suatu wilayah. Kerentanan pangan dianalisis dari segi lingkungan

(33)

goncangan sangat menentukan suatu wilayah dapat mempertahankan ketahanan

pangannya. Beberapa indikator yang digunakan untuk menjelaskan kerentanan

pangan sementara adalah :

1. Bencana alam

Sebab – sebab utama kerentanan pangan sementara yang timbul akibat

bencana alam karena Indonesia merupakan salah satu Negara yang paling

rentan terhadap bencana alam di dunia, hal ini berdasarkan pada kejadian

besar yang di dokumentasikan oleh center for research on the epidemiology of

disasters (CRED).

2. Daerah puso

Daerah puso didefinisikan sebagai suatu daerah produksi pangan yang

disebabkan oleh bencana alam (banjir,kekeringan, longsor) dan penularan

hama oleh organisme penganggu tanaman (OPT).

3. Perubahan iklim

Produksi dan produktifitas tanaman pangan sangat dipengaruhi oleh kondisi

iklim dan cuaca. Kegiatan budidaya tanaman pangan sebaiknya

mempertimbangkan kondisi tersebut dengan menggunakan informasi

perubahan musim, iklim dan cuaca.

4. Deforestasi hutan

Deforestasi (kerusakan hutan) merupakan suatu kondisi saat tingkat luas areal

hutan yang menunjukkan penurunan secara kualitas dan kuantitas. Sejalan

dengan perkembangan pembangunan, berbagai aktivitas pembangunan telah

menyebabkan perubahan penggunaan lahan dan mengakibatkan perubahan

(34)

menyebabkan menurunnya kondisi hutan dan berkurangnya luas penutup

hutan (FSVA Sumatera Utara, 2011).

2.3. Penelitian Terdahulu

Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini akan dicantumkan

beberapa hasil penelitian terdahulu oleh beberapa peneliti yang pernah penulis

baca diantaranya :

Penelitian yang dilakukan oleh Akhmad Munim (2011) dalam jurnalnya

yang berjudul Analisis Pengaruh Faktor Ketersediaan, Akses, dan Penyerapan

pangan terhadap ketahanan pangan di Kabupaten surplus pangan, dan

menyimpulkan

Ibrahim, dkk (2008) dalam artikel yang berjudul Analisis Ketahanan

Pangan di Jawa Timur, berdasarkan hasil faktor-faktor yang mempengaruhi

ketahanan pangan di Propinsi Jawa Timur, ada beberapa temuan yang dapat

disimpulkan:

bahwa faktor ketersediaan pangan tidak memberikan pengaruh

yang berarti terhadap ketahanan pangan di kabupaten surplus pangan. Sedangkan

faktor akses serta penyerapan pangan memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap ketahanan pengan di kabupaten surplus pangan.

1. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa produksi padi di Jawa Timur

dipengaruhi secara signifikan oleh luas lahan padi, curah hujan, jumlah

penduduk, dan harga beras.

2. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa produksi jagung di Jawa

Timur dipengaruhi secara signifikan oleh luas lahan jagung dan nilai tukar

(35)

Ikeu Tanziha dan Eka Herdiana (2009) dalam Jurnal yang berjudul

Analisis Jalur Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan Rumah

Tangga di Kabupaten Lebak, Propinsi Banten menyimpulkan bahwa pengaruh

langsung terbesar terhadap ketahanan pangan rumah tangga adalah pengeluaran

rumah tangga. Jalur tidak langsung yang paling berpengaruh terhadap ketahanan

pangan rumah tangga adalah dimulai dari penurunan jumlah anggota rumah

tangga, pengeluaran per kapita, dan ketahanan pangan rumah tangga.

2.4. Kerangka Pemikiran

Ketahanan pangan diartikan sebagai terpenuhinya pangan dengan

ketersediaan yang cukup, tersedia setiap saat di semua daerah, mudah

memperoleh, aman dikonsumsi dan harga yang terjangkau. Sedangkan kerentanan

pangan adalah mengacu pada suatu kondisi yang membuat suatu wilayah yang

beresiko mengalami ketidak cukupan pangan untuk memenuhi standar kebutuhan

fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan para penduduknya. Sedangkan

kerentanan pangan kronis merupakan kondisi ketidak mampuan jangka panjang

atau terus menerus untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum.

Pangan adalah karbohidrat yang bersumber dari produksi pangan pokok

serealia, yaitu padi, jagung, dan umbi-umbian (ubi kayu dan ubi jalar) yang

digunakan untuk memahami tingkat kecukupan pangan. Ketahanan dan

kerentanan pangan dipengaruhi oleh tiga sub sistem utama dan terdiri dari 13

indikator yang digunakan untuk mengetahui ketahanan dan kerentanan pangan

suatu daerah. Ketiga sub sitem utama ketahanan pangan tersebut adalah

ketersediaan (Food Availability), akses (Food Access), dan penyerapan pangan

(36)

Indikator peta ketahanan dan kerentanan pangan dapat digolongkan ke

dalam dua komponen yaitu bersifat kronis dan bersifat sementara. Ketahanan

pangan dan kerentanan pangan kronis dicerminkan melalui indikator yang ada

pada subsitem ketersediaan pangan, akses terhadap pangan serta indikator yang

ada pada subsistem pemanfaatan pangan (9 indikator). Ke 9 indikator yang

digunakan pada FSVA untuk mengetahui ketahanan dan kerentanan pangan kronis

pada suatu wilayah.

Faktor – faktor yang mempengaruhi ketahanan dan kerentanan pangan

kronis adalah ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan yang

terdiri dari 9 indikator yaitu rasio konsumsi normative, persentase penduduk hidup

dibawah garis kemiskinan, persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung

yang memadai, persentase rumah tangga tanpa akses listrik, persentase desa yang

tinggal lebih 5 km dari fasilitas kesehatan, persentase rumah tangga tanpa akses ke

air bersih, perempuan buta huruf, berat badan balita dibawah standar, dan angka

harapan hidup pada saat lahir. Namun pada pemanfaatan pangan, indikator angka

harapan hidup tidak dimasukkan karena data tidak tersedia berdasarkan

kecamatan, sehingga hanya 8 indikator yang digunakan dalam penelitian ini.

Untuk lebih jelasnya konsep kerangka pemikiran dalam penelitian ini, secara

(37)

[image:37.595.84.547.131.588.2]

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Keterangan : Menyatakan pengaruh

Menyatakan indikator Ketersediaan

Pangan

Akses Pangan

Pemanfaatan Pangan

Ketahanan dan Kerentanan Pangan

Kronis

Persentase desa yang tinggal lebih 5 km dari fasilitas kesehatan

Perempuan buta huruf Berat badan balita dibawah standar Rasio konsumsi normative

Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan

Persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai

Persentase rumah tangga tanpa akses listrik

(38)

2.5. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan teori – teori yang ada maka diperoleh hipotesis sebagai

berikut : “Ada pengaruh ketersediaan pangan (X1), akses pangan (X2), dan

pemanfaatan pangan (X3), terhadap ketahanan dan kerentanan pangan kronis di

(39)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Pemilihan Lokasi

Penelitian dilakukan di Kabupaten Asahan Provinsi Sumatera Utara.

Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) dengan

pertimbangan bahwa daerah Kabupaten Asahan merupakan salah satu daerah

yang memiliki kecamatan terbanyak yang defisit pangan di Provinsi Sumatera

[image:39.595.119.511.355.735.2]

Utara.

Tabel 2. Daerah Defisit Pangan di Provinsi Sumatera Utara

No Kabupaten Jumlah Kecamatan Jumlah Daerah

Defisit Pangan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. Nias Nias Utara Nias Barat Nias Selatan Mandailng Natal Tapanuli Selatan Tapanuli Tengah Padang Lawas Padang Lawas Utara Tapanuli Utara Humbang Hasudutan Toba Samosir Samosir Dairi Pakpak Bharat Karo Simalungun Asahan Serdang Bedagai Deli Serdang Langkat

Labuhan Batu Selatan Labuhan Batu Utara Labuhan Batu Batu Bara 9 11 8 18 23 12 20 9 9 15 10 16 9 15 8 17 31 25 17 22 23 5 8 9 7 5 2 6 3 0 1 3 1 0 0 0 0 0 1 0 4 0 16 0 1 2 5 2 4 0

(40)

Dari Tabel 2. dapat diketahui bahwa Kabupaten Asahan merupakan salah

satu daerah defisit pangan di Sumatera Utara. Kabupaten Asahan memiliki 25

kecamatan dan daerah defisit pangan sebanyak 16 kecamatan.

3.2. Metode Penentuan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kecamatan yang ada di

Kabupaten Asahan. Dan sampel dalam penelitian ini adalah kecamatan yang ada

di Kabupaten Asahan. Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah

sensus. Sensus merupakan penelitian yang dianggap dapat mengungkapkan

ciri-ciri populasi (parameter) secara akurat dan komprehensif, dimana semua populasi

atau kecamatan yang ada di Kabupaten Asahan dijadikan sampel. Jumlah sampel

dalam penelitian ini adalah sebanyak 25 sampel.

3.3. Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari data sekunder. Data

sekunder yang digunakan yaitu data Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan/

Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) Provinsi Sumatera Utara yang

diterbitkan pada tahun 2011 dan data sekunder lainnya yang mendukung

penelitian ini. Penggunaan data tahun 2011 karena data peta ketahanan dan

kerentanan pangan (FSVA) hanya diterbitkan tiap tiga tahun sekali. Data sekunder

ini diperoleh dari instansi atau lembaga terkait seperti BPS, BKP serta literatur

yang berhubungan dengan penelitian ini.

3.4. Metode Analisis Data

Untuk masalah 1 pada hipotesis (1), dianalisis dengan menggunakan

(41)

(serempak) dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 16. Gujarati (2003)

menjelaskan bahwa model logit adalah model regresi non-linear yang

menghasilkan sebuah persamaan dimana variabel dependen bersifat kategorikal.

Dalam penelitian ini digunakan kategorikal paling dasar dari model logit, kategori

paling dasar dari model tersebut menghasilkan binary values seperti

angka 0 dan 1. Angka yang dihasilkan mewakilkan suatu kategori tertentu yang

dihasilkan dari penghitungan probabilitas terjadinya kategori tersebut. Bentuk

model logit secara matematik dapat ditulis sebagai berikut :

Yi

= ln �(�)

� (�)−1 = ��(�

−��)

=

β0 + β1X1 + β2 X2 + β3 X3 + μ

Dimana :

i

…………..………..(1)

Yi

π(x) = 1, tahan pangan

= Ketahanan pangan dan kerentanan pangan kronis

π(x) -1 = 0, rentan pangan

�(�)

�(�)−1 = Persamaan rasio kecendrungan (odds ratio)

X1

D = 1 , surplus pangan = Ketersediaan pangan

D = 0, defisit pangan

X2

X

= Akses pangan (skor)

3

Β

= Pemanfaatan pangan (skor)

0

μ

= Koefisien intercept

i

β

= Error term

1,β2,β3

Untuk mengetahui apakah ketersediaan pangan (X = Koefisien regresi (parameter yang dicari)

1), akses pangan (X2),

(42)

terhadap ketahanan dan kerentanan pangan kronis (Yi

1. Omnibus test : Sig > 0.1 ; tolak H1 ; terima Ho

) maka digunakan uji

omnibus / uji G. Kriteria uji secara serempak dari omnibus test dan hosmer and

lemeshow test :

Sig ≤ 0,1 ; terima H1 ; tolak Ho

Hipotesis yang digunakan adalah :

H0 = 0 : β1 = β2 = β3

H

= 0, dimana tidak ada variabel bebas yang berpengaruh

terhadap variabel terikat.

1

2. Hosmer and lemeshow test : Sig > 0.1 ; tolak H1 ; terima H0

≠ 0 : Setidaknya salah satu variabel bebas berpengaruh dengan variabel

terikat.

Sig ≤ 0,1 ; terima H1 ; tolak H0

Hipotesis yang digunakan adalah :

Ho = 0 : (B - 1) = 0, B = 0, sehingga tidak bisa menolak adanya hubungan

variabel bebas terhadap variabel terikat atau model sudah sesuai

(adequately fits) dengan data.

H1

Untuk mengetahui apakah ketersediaan pangan (X

≠ 0 : Bisa menolak adanya hubungan antara variabel bebas dengan variabel

terikat .

1), akses pangan (X2),

dan pemanfaatan pangan (X3), secara parsial berpengaruh nyata atau tidak

terhadap ketahanan dan kerentanan pangan kronis (Yi

Hipotesisi yang digunakan adalah :

), maka digunakan uji wald.

H0 = 0 : Tidak ada pengaruh variabel Xi terhadap ketahanan dan kerentanan

(43)

H1 ≠ 0 : Ada pengaruh variabel Xi terhadap ketahanan dan kerentanan

pangan kronis (Yi

Untuk mengetahui apakah Ho diterima atau ditolak, maka nilai Wj ≤ X ).

2α, 1

terima H0, Wj < X2α,1 maka tolak H0 atau Sig Wj masing - masing variabel

independen harus dibandingkan dengan tingkat nyata (α). Ho akan ditolak jika

Sig < α dan H0

Negelkerke R-square adalah koefisien determinasi atau koefisien yang

menjelaskan seberapa besar proporsi variasi dalam variabel dependen dapat

dijelaskan oleh variabel independen secara bersama-sama. Semakin besar nilai

Negelkerke R-square maka semakin baik model dapat menjelaskan variabel

dependen. Sedangkan Nilai Exp(B) untuk menunjukkan odd ratio, yaitu

menunjukkan kemungkinan terjadi dan tidak terjadinya suatu kondisi. diterima jika Sig > α.

(Gujarati, 2003).

3.5. Definisi dan Batas Operasional

Untuk menghindari kesalah pahaman mengenai pengertian tentang

istilah – istilah yang terdapat dalam penelitian, maka dibuat definisi dan batas

operasional sebagai berikut :

3.5.1. Definisi

1. Pangan adalah kebutuhan kalori harian berasal dari sumber pangan

karbohidrat yang bersumber dari produksi pangan pokok serealia yaitu padi,

(44)

2. Ketahanan pangan diartikan sebagai terpenuhinya pangan dengan ketersediaan

yang cukup, tersedia setiap saat di semua daerah, mudah memperoleh, aman

dikonsumsi dan harga yang terjangkau

3. Kerentanan pangan adalah mengacu pada suatu kondisi yang membuat suatu

wilayah yang beresiko mengalami ketidak cukupan pangan untuk memenuhi

standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan para

penduduknya.

.

4. Kerentanan pangan kronis adalah kondisi kurang pangan yang terjadi

sepanjang waktu di suatu wilayah.

5. Faktor – faktor yang mempengaruhi ketahanan dan kerentanan pangan kronis

adalah ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan yang

disesuaikan dengan indikator Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA)

yang digunakan dalam analisis kerentanan pangan nasional. .

6. Ketersediaan pangan adalah produksi pangan yang bersumber dari produksi

padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar yang dibutuhkan masyarakat per kapita

per hari yang digambarkan dari perbandingan nilai konsumsi normative

dengan ketersediaan bersih serelia pokok per kapita per hari.

7. Akses pangan adalah kemampuan semua rumah tangga dan individu dengan

sumberdaya yang dimiliki untuk memperoleh pangan yang cukup untuk

kebutuhan gizinya yang dapat diperoleh dari produksi pangannya sendiri,

pembelian atupun melalui bantuan pangan, yang digambarkan dari indikator

persentase penduduk miskin, persentase jalan yang dapat dilalui kendaraan

roda empat dan persentase rumah tangga tanpa akses listrik.

(45)

hidup sehat yang meliputi kebutuhan energi dan gizi, air dan kesehatan

lingkungan. Pemanfaatan pangan erat kaitannya dengan mutu dan keamanan

pangan. Efektifitas dari penyerapan pangan tergantung pada pengetahuan

rumah tangga/individu sanitasi dan ketersediaan air, fasilitas kesehatan.

9. Konsumsi Normatif (Cnorm

10.Persentase penduduk hidup dibawah garis kemiskinan adalah nilai rupiah

pengeluaran per kapita setiap bulan untuk memenuhi standar minimum

kebutuhan konsumsi pangan dan non pangan yang dibutuhkan oleh individu

untuk hidup secara layak.

) didefinisikan sebagai jumlah pangan serealia yang

harus dikonsumsi oleh seseorang per hari untuk memperoleh kilo kalori energi

dari serealia yaitu 300 gram.

11.Persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai adalah

lalulintas antar desa yang tidak bisa dilalui oleh kendaraan roda empat.

12.Persentase desa yang tinggal lebih 5 km dari fasilitas kesehatan adalah

persentase desa dengan jarak lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan (rumah

sakit, klinik, puskesmas, dokter, juru rawat, bidan yang terlatih, para medik

dan sebagainya).

3.5.2. Batas Operasional

1. Penelitian dilakukan di Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara.

2. Penelitian dilakukan pada tahun 2012.

3. Sampel penelitian adalah 25 kecamatan yang ada di Kabupaten Asahan.

4. Faktor – faktor yang mempengaruhi ketahanan dan kerentanan pangan kronis

yang diteliti adalah ketersediaan pangan (X1), akses pangan (X2), dan

(46)

5. Sumber data penelitian ini adalah data sekunder yang tersedia di instansi

pemerintah seperti BPS, Dinas Ketahanan Pangan, dan data lainnya yang

mendukung penelitian ini.

6. Penelitian ini menggunakan data pada FSVA 2011 Sumatera Utara beserta

indikator - indikator yang telah ditentukan dalam menentukan status ketahanan

dan kerentanan pangan pada FSVA 2011, karena data FSVA hanya

(47)

BAB IV

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

4.1. Letak Geografis Wilayah

Kabupaten Asahan merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di

kawasan Pantai Timur wilayah Propinsi Sumatera Utara, terletak pada koordinat

02° 03’ - 03° 26’ Lintang Utara dan 99° 1° - 100° 0° Bujur Timur dan berada pada

ketinggian 0 – 1000 m dpl, dengan batas-batas administratif sebagai berikut:

Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kab. Batubara dan Kab. Simalungun

Sebelah Timur : Berbatasan dengan Selat Malaka

Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kab. Labuhan Batu dan Toba Samosir

Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kab. Simalungun

Kabupaten Asahan secara administratif terdiri dari 25 kecamatan dan 204

desa / kelurahan. Kabupaten Asahan memiliki sungai yang termasuk dalam sungai

strategis nasional. Sungai yang termasuk Daerah Aliran Sungai (DAS) yaitu ;

1. Sungai Asahan (DAS Asahan)

2. Sungai Bah Bolon (DAS Hapal)

3. Sungai Tanjung

Sungai Asahan merupakan sungai terbesar di Kabupaten Asahan. Sungai

ini sering mengakibatkan banjir karena mengalir di daerah datar dan memiliki

banyak pertemuan dengan sungai dewasa dan sungai tua lain yang mengalir

sebagai anak sungainya, sehingga membentuk delta sungai yang merupakan

(48)

4.2. Keadaan Penduduk

Untuk mengetahui lebih jelas mengenai jumlah penduduk Kabupaten

[image:48.595.114.515.224.609.2]

Asahan berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Penduduk Kabupaten Asahan menurut Kecamatan, Jenis Kelamin dan Rumah Tangga

No Kecamatan Laki-Laki (Jiwa) Perempuan (Jiwa) Jumlah (Jiwa) Rasio Jenis Kelamin Rumah Tangga 1 Bandar Pasir Mandoge 17.002 16.150 33.152 105 8.354 2 Bandar Pulau 10.593 10.107 20.700 105 5.171 3 Aek Songsongan 8.382 8.257 16.639 102 4.128 4 Rahuning 8.952 8.721 17.673 103 4.431 5 Pulau Rakyat 15.979 15.850 31.829 101 7.598 6 Aek Kuasan 11.636 11.425 23.061 102 5.697 7 Aek Ledong 10.067 9.811 19.878 103 4.674 8 Sei Kepayang 8.584 8.682 17.266 99 4.019 9 Sei Kepayang Barat 6.531 6.414 12.945 102 2.744 10 Sei Kepayang Timur 4.477 4.204 8.681 106 1.927 11 Tanjung Balai 17.920 17.307 35.227 104 7.628 12 Simpang Empat 20.115 19.698 39.813 102 8.860 13 Teluk Dalam 8.800 8.642 17.442 102 4.290 14 Air Batu 19.880 19.637 39.517 101 9.489 15 Sei Dadap 15.808 15.352 31.160 103 6.993 16 Buntu Pane 11.351 11.398 22.749 100 5.495 17 Tinggi Raja 9.149 9.120 18.269 100 4.544 18 Setia Janji 5.782 5.767 11.549 100 2.884 19 Meranti 9.702 9.860 19.562 98 4.686 20 Pulo Bandring 14.098 13.905 28.003 101 6.705 21 Rawang Panca Arga 8.958 8.739 17.697 103 4.157 22 Air Joman 23.308 22.931 46.239 102 10.201 23 Silau Laut 10.198 10.157 20.355 100 4.745 24 Kisaran Barat 27.488 28.203 55.691 97 12.945 25 Kisaran Timur 34.328 35.096 69.424 98 16.191 JUMLAH 339.088 335.433 674.521 101 158.556 Sumber : BPS Kabupaten Asahan Tahun 2011

Penduduk Kabupaten Asahan berjumlah 674.521 jiwa terdiri dari 339.088

jiwa laki – laki dan 335.433 jiwa perempuan dengan 158.556 rumah tangga yang

tersebar disetiap kecamatan yang ada di Kabupaten Asahan. Tabel 3 menunjukan

(49)

69.424 jiwa dengan 16.191 rumah tangga yang tersebar di setiap desa/kelurahan

yang ada di Kecamatan Kisaran Timur dan yang terendah adalah Kecamatan Sei

Kepayang Timur yakni 8.681 jiwa dengan 1.927 rumah tangga yang tersebar di

setiap desa/kelurahan yang ada di Kecamatan Sei Kepayang Timur. Dari data

tersebut dapat diketahui bahwa rata - rata rasio jenis kelamin di Kabupaten

Asahan sebesar 101 yang berarti jumlah penduduk laki – laki 1% lebih banyak

dibandingkan jumlah penduduk perempuan, sehingga dapat diketahui bahwa

jumlah penduduk laki – laki di Kabupaten Asahan lebih besar dari pada jumlah

penduduk perempuan.

4.3. Pendapatan Domestik Regional Bruto

PDRB per kapita merupakan gambaran dari rata-rata pendapatan yang

dihasilkan oleh penduduk selama satu tahun, karena PDRB per kapita diperoleh

dari hasil bagi antara nilai PDRB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun.

PDRB per kapita belum dapat menggambarkan tingkat pendapatan penduduk

[image:49.595.116.510.569.734.2]

yang sebenarnya.

Tabel 4. PDRB Per Kapita menurut Kecamatan Kabupaten Asahan atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2011

(50)

Tebel 4. Lanjutan

No Kecamatan PDRB Per Kapita (Rp) 11 Tanjung Balai 7.548.633,70 12 Simpang Empat 10.068.047,70 13 Teluk Dalam 34.206.658,03 14 Air Batu 21.493.129,98 15 Sei Dadap 10.908.146,40 16 Buntu Pane 28.197.911,80 17 Tinggi Raja 20.482.992,24 18 Setia Janji 21.728.182,78 19 Meranti 13.278.504,34 20 Pulo Bandring 5.822.373,80 21 Rawang Panca Arga 9.628.318,83 22 Air Joman 10.389.715,66 23 Silau Laut 28.445.956,02 24 Kisaran Barat 40.717.041,73 25 Kisaran Timur 15.211.588,19

Asahan 20.236.936,34

Sumber: BPS Kabupaten Asahan Tahun 2011

Melalui PDRB per kapita, dapat dilihat potensi yang dimiliki pada suatu

daerah, yang akan bermanfaat bagi masyarakat jika ada peran serta dan andil

masyarakat yang turut membentuk PDRB. Hal ini dapat dilihat pada Kecamatan

Rahuning, dengan PDRB per kapita yang terbesar yaitu 61.663.436,90 rupiah,

namun karena keterlibatan masyarakat dalam pembentukan PDRB sangat kecil

maka kondisi masyarakat juga belum menunjukkan kehidupan yang lebih baik.

PDRB per kapita yang terendah adalah Kecamatan Pulau Bandring sebesar

5.822.373,80 rupiah. Hal ini tidak menjadi gambaran bahwa pendapatan yang

sebenarnya diterima penduduk pada kecamatan tersebut. Ada kemungkinan orang

yang tinggal di Kecamatan Pulo Bandring memperoleh pendapatannya dari

(51)

Keadaan PDRB Kabupaten Asahan berdasarkan lapangan usaha disajikan

[image:51.595.116.512.195.372.2]

pada Tabel 5. yaitu sebagai berikut:

Tabel 5. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Asahan menurut Lapangan Usaha atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2011

No Sektor Rupiah (Juta)

Persentase (%) 1 Pertanian 2.010.309 35,40 2 Pertambangan 14.964 0,26 3 Industri Pengolahan 1.831.806 32,25 4 Listrik dan Air Bersih 71.248 1,25

5 Bangunan 151.424 2,67

6 Perdagangan, Hotel, Restoran 915.08 16,11 7 Angkutan/Komunikasi 215.754 3,80 8 Bank/Keu/Perum 151.694 2,67

9 Jasa 317.233 5,59

Total 5.679.513 100

Sumber: BPS Kabupaten Asahan Tahun 2011

Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa sektor pertanian

memiliki kotribusi terbesar terhadap penyumbang PDRB Kabupaten Asahan yaitu

sebesar 35,40% dan diikuti industri pengolahan sebesar 32%. Ini berarti bahwa

Kabupaten Asahan merupakan daerah pertanian yang ditopang oleh industri

pengolahan, hal ini dapat dilihat dari struktur ekonomi Kabupaten Asahan yang

masih didominasi oleh sektor pertanian dan industri pengolahan. Sektor pertanian

juga memegang peranan yang sangat penting, dimana hampir seluruh kecamatan

di Kabupaten Asahan memiliki andalan sektor pertanian terutama subsektor

perkebunan. Komoditi perkebunan lain yang banyak dihasilkan di Kabupaten

(52)

4.4.Sarana dan Prasarana

Adanya sarana dan prasarana sangat mempengaruhi perkembangan dan

kemajuan suatu masyarakat. Semakin baik sarana dan prasarana yang tersedia

maka akan mempercepat laju pembangunan suatu daerah. Sarana dan prasarana

yang tersedia di Kabupaten Asahan sudah baik, hal ini dilihat dari jenis – jenis

[image:52.595.112.510.292.602.2]

sarana dan prasarana yang tersedia sudah cukup memadai.

Tabel 6. Sarana dan Prasarana Kabupaten Asahan

No Sarana dan prasarana Jumlah ( unit )

1 2 3 4 Pendidikan a. SD b. SMP/MTS

c. SMU/ SMK

d. MI e. MA Kesehatan

a. Rumah Sakit dan Klinik b. Puskesmas

c. Pustu d. Apotek e. Toko obat f. Posyandu Rumah Ibadah a. Mesjid b. Mushola/langgar c. Gereja d. Vihara Pelabuhan 423 206 73 83 42 36 18 199 16 35 932 86 1.182 456 9 2

Sumber : BPS Kabupaten Asahan 2011

Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa sarana dan prasarana

pendidikan yang ada di Kabupaten Asahan sebanyak 827 unit yang terdiri dari SD

423 unit, SMP / MTS 206 unit, MI 83 unit, MA 42 unit dan SMU/SMK 73 unit.

(53)

mulai dari negeri maupun swasta yang tersebar di kecamatan yang ada di

Kabupaten Asahan untuk mempermudah masyarakat memperoleh pendidikan

formal.

Sarana dan prasarana kesehatan yang tersedia di Kabupaten Asahan

sebanyak 1.236 unit, terdiri dari rumah sakit / klinik 36 unit, puskesmas 18 unit,

pustu 199 unit, apotek 16 unit, toko obat 35 unit dan posyandu 932 unit. Sarana

dan prasarana ini dimiliki pemerintah dan ada pula yang dikelola pihak swasta,

semua sarana prasarana kesehatan yang tersedia ini bertujuan untuk

mempermudah masyarakat untuk memperoleh layanan kesehatan.

Sarana dan prasarana rumah ibadah yang tersedia di

Gambar

Tabel 1. Indikator ketahanan dan kerentanan pangan yang telah mengacu pada Food Security and Vunerability Atlas (FSVA)
Tabel 1. Lanjutan
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
Tabel 2. Daerah Defisit Pangan di Provinsi Sumatera Utara
+7

Referensi

Dokumen terkait

pembangunan daerah sehingga memberikan gambaran baru terhadap pemerintah daerah dalam meningkatakan koordinasi perencanaan pembanguan daerah provinsi Jawa Timur. Upaya

Allhamdulillah, penulis panjatkan segala puji syukur hanya kepada Allah SWT atas segala petunjuk dan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis diberikan kesempatan

Penelitian ini bertujuan untuk menguji aktivitas enzim selulase dan ligninase dari empat jamur (Mucor sp. M13T, Aspergillus sp. M2P, Penicillium sp. M3P1, Penicillium sp. R 7.5)

Penelitian ini hanya dibatasi pada Analisis Kesalahan penggunaan morfem infleksi dalam Konjugasi Bahasa Arab oleh santriwati kelas II di Pesantren Darul Arafah, dan

Info Pengobatan Penyakit Menular Sexual ~ Penyakit menular seksual atau PMS, kini dikenal dengan istilah infeksi menular seksual atau IMS, adalah penyakit atau

Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan (Togi Lumban Tobing dan Wahyu Ario Pratomo, 2014) yang mendapat hasil bahwa terdapat perbedaan secara signifikan pada

Bila dilihat sosial media sebagai media massa, maka dari sisi efek media jelas, bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan dari penggunaan sosial media terhadap

Setelah penulis mengadakan penelitian tentang Kompetensi Profesional Guru rumpun Pendidikan Agama Islam di MTs Negeri Karanganyar Kecamatan Karanganyar Kabupaten