• Tidak ada hasil yang ditemukan

Orientasi dan Status Sosial Perempuan Pelaku Perkawinan Tidak Tercatat (Studi Kasus Kelurahan Tanjung Sari)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Orientasi dan Status Sosial Perempuan Pelaku Perkawinan Tidak Tercatat (Studi Kasus Kelurahan Tanjung Sari)"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

ORIENTASI DAN STATUS SOSIAL PEREMPUAN PELAKU

PERKAWINAN TIDAK TERCATAT

(Studi Kasus Kelurahan Tanjung Sari)

SKRIPSI Diajukan Oleh :

M. Ridwan Nasution

070901033

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN SOSIOLOGI

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan di hadapan panitia penguji Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara oleh : Nama : M. Ridwan Nasution

NIM : 070901033

Judul : Orientasi dan Status Sosial Perempuan Pelaku Perkawinan Tidak Tercatat (Studi Kasus Kelurahan Tanjung Sari)

Hari/Tanggal : Pukul :

TIM PENGUJI

Ketua Penguji : ( )

Penguji Utama : ( )

(3)

ABSTRAK

Masyarakat sebagai sebuah kelompok memiliki fungsi regenerasi yang bertujuan menjaga stabilitas populasi kelompoknya dan mewariskan karakteristik khas dari kelompoknya tersebut. Fungsi regenerasi dijalankan oleh instistusi keluarga lewat mekanisme perkawinan. Masyarakat Indonesia membedakan pernikahan atas pernikahan sah dan istilah pernikahan siri untuk bentuk pernikahan yang tanpa melalui proses pencatatan sipil. Pernikahan siri atau pernikahan bawah tangan merupakan pernikahan yang secara hukum sipil tidak sah dan dilakukan atas dasar aturan adat atau agama saja. Secara harfiah “sirri” itu artinya “rahasia”. Nikah sirri adalah pernikahan yang dirahasiakan dari pengetahuan orang banyak.Pela ku pernikahan siri dapat berasal dari berbagai lapisan masyarakat (kelas sosial), usia, status sosial dan sebagainya. Masyarakat juga membedakan perni kahan siri kedalam dua kategori menurut caranya. Pertama adalah pernikahan siri yang hanya tanpa melalui pencatatan resmi pada lembaga pemerintahan yang ditugas kan menangani masalah perkawinan, dimana pada kategori ini keluarga inti piihak perempuan mengetahui adanya pernikahan yang dilakukan anggota keluarganya. Kategori kedua adalah pernikahan siri yang diadakan tanpa adanya wali dari pihak wanita. Objek pada penelitian ini adalah orientasi dan status sosial perempuan pelaku perkawinan tidak tercatat atau siri.

Jenis penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Lokasi penelitian ini dilakukan di Kelurahan Tanjung Sari Kecamatan Medan Selayang Kota Madya Medan Sumatera Utara. Teknik pengumpul an data dilakukan dengan observasi, wawancara secara mendalam, dan studi kepustakaan. Adapun yang menjadi unit analisa dan informan dalam penelitian ini adalah perempuan atau istri yang melakukan perkawinan tidak tercatat. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan datadata yang didapat dari hasil observasi, waw ancara.

(4)
(5)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Orientasi dan Status Sosial Perempuan Pelaku Perkawinan Tidak Tercatat” (Studi Kasus di Kelurahan Tanjung Sari Kecamatan Medan Selayang Kota Madya Medan Provinsi Sumatera Utara), disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa tanpa dukungan dari berbagai pihak skripsi ini tidak akan terselesaikan. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dengan sepenuh hati, baik berupa ide, semangat, doa, bantuan moril maupun materil sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya dan tiada henti-hentinya penulis ucapkan kepada kedua orangtua tercinta Ayahanda Syahrum Nasution dan Ibunda Ima Herlina yang telah merawat, membesarkan dan mendidik penulis dengan penuh kasih sayang. persembahan yang dapat saya berikan sebagai tanda ucapan terimakasih.

Dalam penulisan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang mendalam kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini kepada:

(6)

2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, Selaku ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara, Pembimbing Akademik, dan dosen pembimbing skripsi yang telah banyak mencurahkan waktu, tenaga, ide-ide dan pemikiran dalam membimbing penulis dari awal perkuliahan hingga penyelesaian penulisan skripsi ini.

3. Drs. T. Ilham Saladin, M.Sp., selaku Sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

4. Segenap dosen, staff, dan seluruh pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Kak Fenni Khairifa, dan Kak Betty yang telah cukup banyak membantu penulis selama masa perkuliahan dalam hal administrasi.

5. Paling teristimewa penulis ucapkan terima kasih bahkan tak terucap rasa bangga penulis kepada keluarga besar penulis, Ayahanda & Ibunda tercinta, Bang Ridho, dan kedua adik kesayanganku Ririn & Nurul yang telah bersabar, memberi support penulis dengan mencurahkan kasih sayangnya yang tidak terbatas, selalu memberikan doa’ dan nasehat, dan mendidik saya serta dukungan moril maupun materil kepada penulis.

6. Secara khusus dan istimewa penulis ucapkan terima kasih kepada Almarhum Bapak Surianto dan Ibu Rohana yang sudah seperti orang tua kandung penulis.

(7)

Sosiologi angkatan 2007 yang tidak dapat sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Kepada Informan yang telah banyak membantu memberikan informasi dan data yang sangat dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi terdapat berbagai kekurangan dan keterbatasan, oleh karena itu penulis mengharapkan masukan dan saran-saran yang sifatnya membangun demi kebaikan tulisan ini. Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi para pembaca dan pihak yang membutuhkan, dan akhir kata dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih banyak.

Medan, 24 April 2014 (Penulis)

(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI v

BAB. I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 8

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 8

1.4.2 Manfaat Praktis ... 9

1.5 Definisi Konsep ... 9

BAB. II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tindakan Sosial dan Orientasi Subjektif ………... 12

2.2 Konsep Gender ... 13

2.3 Gender dan Perempuan ... 15

(9)

2.6 Perempuan, Agama dan Perkawinan ... 21

2.7 Posisi Sosial Perempuan Dalam Keluarga ... 24

2.8 Konsep Nikah Siri ………... 25

2.9 Faktor-Faktor Penyebab Nikah Siri ………... 27

2.10 Nikah Siri Dalam Rancangan Undang-Undang ….……… 29

BAB. III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ………... 31

3.2 Lokasi Penelitian ………. ... 31

3.3 Unit Analisis dan Informan ………... 32

3.3.1 Unit Analisis ...……….…………... 32

3.3.2 Informan ... 33

3.4 Teknik Pengumpulan Data …..……….……… 33

3.4.1 Teknik Pengumpulan Data Primer ...… 34

3.4.2 Teknik Pengumpulan Data Sekunder ….…....….. 35

3.5 Jadwal Penelitian ……..……….…...……... 37

BAB. IV TEMUAN DATA DAN INTERPRETASI DATA 4.1 Gambaran Umum Kelurahan Tanjung Sari Kecamatan Medan Selayang Kota Madya Medan ... 38

(10)

4.2.1 Komposisi Jumlah Penduduk ... 39

4.2.2 Komposisi Rumah Tangga dan Rata-rata Anggota Rumah Tangga ... 40

4.2.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 41

4.2.4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur ... 42

4.2.5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama Yang dianut ... 43

4.2.6 Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ... 44

4.2.7 Komposisi Pasangan Usia Subur (PUS) Ber-KB ... 46

4.3 Sejarah Perkawinan Tidak Tercatat di Indonesia ... 47

4.4 Tata Cara Perkawinan Siri ... 49

4.5 Prosedur Pengesahan Pernikahan Siri ... 53

4.5.1 Pengajuan Istbat Nikah (Pengesahan Nikah ... 53

4.5.2 Pernikahan Ulang ... 54

4.6 Profil Informan ... 56

4.6.1 Informan Kunci ... 56

4.6.2 Informan Biasa ... 59

4.7 Hasil Interpretasi Data ... 62

(11)

4.7.2 Status Sosial Pada Perempuan Pelaku

Perkawinan Tidak Tercatat ... 66

BAB. V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 72 5.2 Saran ... 75

(12)

ABSTRAK

Masyarakat sebagai sebuah kelompok memiliki fungsi regenerasi yang bertujuan menjaga stabilitas populasi kelompoknya dan mewariskan karakteristik khas dari kelompoknya tersebut. Fungsi regenerasi dijalankan oleh instistusi keluarga lewat mekanisme perkawinan. Masyarakat Indonesia membedakan pernikahan atas pernikahan sah dan istilah pernikahan siri untuk bentuk pernikahan yang tanpa melalui proses pencatatan sipil. Pernikahan siri atau pernikahan bawah tangan merupakan pernikahan yang secara hukum sipil tidak sah dan dilakukan atas dasar aturan adat atau agama saja. Secara harfiah “sirri” itu artinya “rahasia”. Nikah sirri adalah pernikahan yang dirahasiakan dari pengetahuan orang banyak.Pela ku pernikahan siri dapat berasal dari berbagai lapisan masyarakat (kelas sosial), usia, status sosial dan sebagainya. Masyarakat juga membedakan perni kahan siri kedalam dua kategori menurut caranya. Pertama adalah pernikahan siri yang hanya tanpa melalui pencatatan resmi pada lembaga pemerintahan yang ditugas kan menangani masalah perkawinan, dimana pada kategori ini keluarga inti piihak perempuan mengetahui adanya pernikahan yang dilakukan anggota keluarganya. Kategori kedua adalah pernikahan siri yang diadakan tanpa adanya wali dari pihak wanita. Objek pada penelitian ini adalah orientasi dan status sosial perempuan pelaku perkawinan tidak tercatat atau siri.

Jenis penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Lokasi penelitian ini dilakukan di Kelurahan Tanjung Sari Kecamatan Medan Selayang Kota Madya Medan Sumatera Utara. Teknik pengumpul an data dilakukan dengan observasi, wawancara secara mendalam, dan studi kepustakaan. Adapun yang menjadi unit analisa dan informan dalam penelitian ini adalah perempuan atau istri yang melakukan perkawinan tidak tercatat. Interpretasi data dilakukan dengan menggunakan datadata yang didapat dari hasil observasi, waw ancara.

(13)
(14)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelom yang membentuk sebua besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Kata "masyarakat" sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, musyarak. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur, memiliki pemikiran, perasaan, serta sistem/aturan yang sama.

(15)

Masyarakat dapat pula diorganisasikan berdasarkan struktur politiknya: berdasarkan urutan kompleksitas dan besar, terdapatchiefdom, dan masyarakat

society berasal dari bahasa

persahabatan dengan yang lain. Societas diturunkan dari kata socius yang berarti society berhubungan erat dengan kata sosial. Secara implisit, kata society mengandung makna bahwa setiap anggotanya mempunyai perhatian dan kepentingan yang sama dalam mencapai tujuan bersama.

Sebagai sebuah kelompok, masyarakat memiliki fungsi regenerasi yang bertujuan menjaga stabilitas populasi kelompoknya dan mewariskan karakteristik khas dari kelompoknya tersebut. Fungsi regenerasi dijalankan oleh instistusi keluarga lewat mekanisme perkawinan. Masyarakat sebagai kelompok sosial memiliki aturan tertentu yang menjadi acuan dasar dari mekanisme pernikahan. Legalitas pernikahan merupakan salah satu masalah pokok dalam pernikahan.

Pada konsep masyarakat yang lebih kecil, semisal masyarakat adat, legalitas pernikahan ditentukan dengan tingkat pelaksanaan aturan lokal (adat) yang berlaku dan dianggap memiliki kekuatan hukum sebagai landasannya. Aturan tersebut dibuat sebagai landasan perjanjian yang mengikat kedua individu maupun dua institusi keluarga yang terlibat, dan menjaga kepentingan sosial, ekonomi, dan hukum antar individu dan keluarga yang terlibat dalam hubungan pernikahan.

(16)

undang-undang yang diatur oleh negara melalui bidang legislatif dan dilaksanakan sepenuhnya oleh bidang yudikatif dan eksekutif (pemerintahan sipil). Di Indonesia sendiri, lembaga pemerintahan yang diserahi wewenang mengurusi masalah pernikahan adalah Kantor Urusan Agama dan Dinas Catatan Sipil yang dibawahi langsung oleh Kementrian Agama dan Kementrian Dalam Negeri. (Mansour 2004:76)

Selain hukum adat, dan hukum negara, pernikahan juga diatur dalam hukum yang bersifat spiritual melalui hukum agama. Agama memegang peranan penting dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap pernikahan. Ada persepsi dalam masyarakat bahwa aturan agama mengenai pernikahan jauh lebih ringan dari pada aturan pernikahan yang ditetapkan oleh hukum adat maupun hukum negara sekaligus lebih mapan dan lebih penting dari pada hukum adat. Pada Agama Islam contohnya, syarat seseorang untuk dapat melaksanakan pernikahan hanya membutuhkan kesiapan dari sisi materi, dan mental. hukum agama khususnya Agama Islam bahkan memperbolehkan seorang laki-laki untuk memperistri lebih dari satu dengan batasan empat orang perempuan dalam pernikahannya.

(17)

ajaran-ajaran agama bagi para pemeluknya. Ritual perkawinan tidak hanya dipandang sebagai peristiwa sakral. Setelah selesai ritual sakral, timbullah ikatan perkawinan antara suami dan isteri. Ikatan perkawinan merupakan unsur pokok dalam pembentukan keluarga yang harmonis dan penuh rasa cinta kasih. Seorang pria dan wanita yang dulunya merupakan pribadi yang bebas tanpa ikatan hukum, namun setelah perkawinan menjadi terikat lahir dan batin sebagai suami isteri. Ikatan yang ada diantara mereka merupakan ikatan lahiriah, rohaniah, spiritual dan kemanusiaan. Ikatan perkawinan ini menimbulkan akibat hukum terhadap diri masing-masing suami isteri yang berupa hak dan kewajiban.

(18)

Dalam peristiwa perkawinan diperlukan norma hukum dan tata tertib yang mengaturnya. Penerapan norma hukum dalam peristiwa perkawinan terutama diperlukan dalam rangka mengatur hak, kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing anggota keluarga, guna membentuk rumah tangga yang bahagia dan sejahtera.

Masyarakat Indonesia membedakan pernikahan dalam dua jenis berdasarkan persepsi atas proses dan motif pelaksanaannya. Masyarakat Indonesia membedakan pernikahan atas pernikahan sah dan istilah pernikahan siri untuk bentuk pernikahan yang tanpa melalui proses pencatatan sipil. Legalitas pernikahan sendiri diatur dalam UU No 1 Tahun 1974 oleh Pemerintahan Republik Indonesia yang hanya mengakui jenis pernikahan monogami. UU No 1 Tahun 1974 menegaskan bahwa jaminan negara atas perkawinan yang dilakukan warga negaranya hanya diberikan kepada istri/suami sah satu-satunya yang dibuktikan dengan tercatat dalam catatan KUA dan Dinas Catatan Sipil, hal ini menjelaskan bahwa hukum Indonesia menempatkan pernikahan yang tidak tercatat pada Dinas Catatan Sipil merupakan bentuk dari deviasi sosial.

(19)

pencatatan resmi pada lembaga pemerintahan yang ditugaskan menangani masalah perkawinan, dimana pada kategori ini keluarga inti piihak perempuan mengetahui adanya pernikahan yang dilakukan anggota keluarganya. Kategori kedua adalah pernikahan siri yang diadakan tanpa adanya wali dari pihak wanita. (Khofi, 2006 : 216)

Pada masyarakat partriarki, posisi perempuan menyangkut jaminan sosial, dan ekonominya dalam sebuah kontrak sosial dari sebuah perkawinan sangat rentan. Masyarakat patriarkhi memberikan kuasa penuh atas aset sosial dan ekonomi keluarga pada suami/ laki-laki. Sistem pemberian uang mahar oleh pihak laki-laki kepada keluarga calon istri memperjelas wilayah dominasi laki-laki atas perempuan sampai batas kepemilikan privat. Hal ini menjelaskan subordinasi posisi perempuan dalam institusi keluarga, sehingga melahirkan asumsi bila posisi dan kepentingan perempuan dalam perkawinan harus dilindungi oleh undang-undang. Berbeda dengan asumsi hukum negara, pernikahan siri yang sering berlandaskan pada hukum adat dan hukum agama pada praktiknya dianggap lebih menguntungkan bagi kepentingan laki-laki. Kasus-kasus pernikahan siri yang melibatkan publik figur seperti yang terjadi pada mantan Bupati Garut Aceng Fikri memberikan gambaran fenomena nikah siri yang diasumsikan memberatkan keterjaminan kepentingan perempuan. (http://www .tempo.co/read/news/2012/12/23/058449969/ diakses pada 19 November 2013).

(20)

tetapi belum diakui oleh pemerintah karena belum tercatat oleh pegawai KUA setempat. Sedangkan nikah secara resmi (legal pemerintah), selain diakui oleh pemerintah juga sah secara agama. Ada pun beberapa motif yang mendorong pernikahan siri diantaranya adalah faktor sosial, ekonomi, dan agama. Pada faktor sosial terdapat problem poligami, undang-undang usia, tempat tinggal yang tidak menetap, mobilitas status sosial, dan menghindari anggapan zina.

Sedangkan untuk faktor ekonomi beberapa beranggapan bahwasannya nilai mahar menjadi suatu kebanggaan. Dimana calon pasangan suami istri yang hanya mampu dengan mahar yang relatif murah menempuh pernikahan siri karena khawatir nilai maharnya menjadi perbincangan oleh masyarakatnya. Untuk faktor agama sebagian orang menempuh jalan ini untuk mempermudah keinginan mereka tinggal bersama sebagai pasangan suami istri dengan kekasihnya. Faktor legalitas dalam agama dijadikan landasan untuk melakukan pernikahan siri. (http://wahidabdurahman.blogdetik.com/ diakses pada hari Kamis 3 Oktober 2013 pukul 14.20 WIB)

(21)

Universitas Santo Thomas dan diantara dari penghuni tersebut merupakan terdapat pasangan perkawinan tidak tercatat. Hal ini yang melatarbelakangi penulis dalam pemilihan lokasi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pada pemaparan latar belakang di atas maka perumusan masalah yang di jadikan sarana penelitian, yaitu:

1. Apa orientasi yang melandasi perempuan pelaku perkawinan tidak

tercatat di Kelurahan Tanjung Sari melakukan pernikahannya?

2. Apa status sosial bagi perempuan pada perkawinan tidak tercatat di

lingkungan masyarakatnya di Kelurahan Tanjung Sari?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui orientasi perempuan pelaku perkawinan tidak tercatat

melakukan perkawinan tidak tercatat di Kelurahan Tanjung Sari.

2. Untuk mengetahui dampak sosial bagi perempuan pelaku perkawinan

tidak tercatat di lingkungan sosialnya di Kelurahan Tanjung Sari.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

(22)

membahas dan menanggapi wacana perkawinan tidak tercatat dan mengenai isu gender khususnya perempuan dalam bentuk kajian sosiologis kedepannya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan yang berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan sosial khususnya dalam bidang isu gender dan dapat menjadi tolak ukur penguasaan dan usaha meningkatkan kemampuan penulis dalam mengaplikasikan ilmu secara teoritis dan metodologis yang diperoleh selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang juga merupakan persyaratan bagi penyelesaian studi yang harus dipenuhi di Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universtitas Sumatera Utara.

1.5 Definisi Konsep 1. Perempuan

Kata perempuan dalam bahasa Arab diungkapkan dengan lafaz yang berbeda, antara lain mar`ah, imra`ah, nisa`, dan unsa. Kata mar`ah dan imra`ah jamaknya

(23)

mempunyai puka tidak dibedakan umurnya. Pada penelitian ini adalah perempuan pelaku (istri/pasangan) yang melakukan perkawinan tidak tercatat.

2. Orientasi

Orientasi adalah peninjauan untuk menentukan sikap, arah, tempat dan sebagainya yang tepat dan benar atau pandangan yang mendasari pikiran, perhatian atau kecenderungan.

3. Status Sosial

Status sosial adalah tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial sehubungan dengan kelompok-kelompok lain di dalam kelompok yang lebih besar lagi.

4. Perkawinan

(24)

5. Perkawinan tidak tercatat

Perkawinan yang tidak mempunyai legalitas dalam undang-undang negara karena tidak melakukan prosedural perkawinan yang sah menurut pemerintah yakni tidak melakukan pelaporan dan pencatatan tentang adanya pernikahan yang terjadi sehingga tidak memiliki kekuatan hukum untuk melindungi hak-hak pelakunya (khususnya istri dan anak). Akan tetapi memiliki kesah-an secara hukum adat & agama.

6. Pernikahan Siri

Pernikahan siri atau pernikahan bawah tangan merupakan pernikahan yang secara hukum sipil tidak sah dan dilakukan atas dasar aturan adat atau agama saja. Secara harfiah “sirri” itu artinya “rahasia”. Jadi, nikah sirri adalah pernikahan yang dirahasiakan dari pengetahuan orang banyak.

7. Perkawinan Bawah Tangan

Perkawinan Bawah Tangan adalah perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan agama atau adat istiadat calon suami dan/atau calon isteri, dan pada dasarnya secara agama dan adat perkawinan tersebut telah sah, akan tetapi secara hukum, perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara.

8. Pencatatan Perkawinan

(25)

9. Catatan Sipil

(26)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tindakan Sosial dan Orientasi Subjektif

Teori Fungsionalisme Struktural yang dibangun Talcott Parsons dan dipengaruhi oleh para Sosiolog Eropa menyebabkan teorinya itu bersifat empiris, positivistis dan ideal. Pandangannya tentang tindakan manusia itu bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan itu didasarkan pada dorongan kemauan, dengan mengindahkan nilai, ide dan norma yang disepakati. Tindakan individu manusia memiliki kebebasan untuk memilih sarana (alat) dan tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh lingkungan atau kondisi-kondisi, dan apa yang dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan norma.

Pandangan Parsons tentang tindakan manusia itu bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan itu didasarkan pada dorongan kemauan, dengan mengindahkan nilai, ide dan norma yang disepakati. Tindakan individu manusia memiliki kebebasan untuk memilih sarana (alat) dan tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh lingkungan atau kondisi-kondisi, dan apa yang dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan norma.

(27)

tindakan itu dipandang sebagai kenyataan sosial yang terkecil dan mendasar, yang unsur-unsurnya berupa alat, tujuan, situasi dan norma.

1. Pelaku atau aktor, aktor atau pelaku ini dapat terdiri dari seorang individu atau suatu koletifitas. Parsons melihat aktor ini sebagai termotivisir untuk mencapai tujuan.

2. Tujuan, tujuan yang ingin dicapai biasanya selaras dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat.

3. Situasi tindakan untuk mencapai tujuan ini biasanya terjadi dalam situasi. Hal-hal yang termasuk dalam situasi ialah prasarana dan kondisi.

4. Standar-standar normatif ini adalah skema tindakan yang paling penting menurut Parsons. Guna mencapai tujuan, aktor harus memenuhi sejumlah standar atau aturan yang berlaku. (Kamanto, 2004 : 65)

(28)

2.2 Konsep Gender

Kata Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (John M. Echols dan Hassan Sahily, 1983: 256). Secara umum, pengertian gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Dalam Women Studies Encylopedia dijelaskan bahwa Gender adalah suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

Untuk memahami konsep gender, perlu dibedakan antara kata sex dan kata gender. Sex adalah perbedaan jenis kelamin secara biologis sedangkan gender perbedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial atau konstruksi masyarakat (Ritzer, 2004:94). Dalam kaitan dengan pengertian gender ini. Hubungan laki-laki dan perempuan secara sosial. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam pergaulan sehari-hari, dibentuk dan dirubah. Sedangkan gender merupakan sesuatu yang dikonstruksi secara sosial, artinya bahwa bagaimana seseorang berperan menjadi laki-laki atau perempuan dipengaruhi oleh sosial, kepercayaan agama, dan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, gender dimaknai secara berbeda dalam budaya yang beragam.

(29)

sebagian lainnya seksualitas bisa dimaknai sebagai kebebasan untuk mengekspresikan diri dan mengambil keputusan atas tubuh mereka. Keberagaman pengalaman dan isu yang berhubungan dengan hal ini dapat mempengaruhi kehidupan seseorang secara signifikan.

Jadi, Gender dapat dimaknai sebagai pembedaan atara laki-laki dan perempuan secara nilai dan tingkah laku yang dibentuk oleh konstruksi sosial kemasyarakatan tidak baku dan dapat berubah sewaktu-waktu.

2.3 Gender dan Perempuan

Perempuan secara langsung menunjuk kepada salah satu dari dua jenis kelamin, meskipun di dalam kehidupan sosial selalu dinilai sebagai the other sex yang sangat menentukan mode sosial tentang status dan peran perempuan. Marginalisasi perempuan yang muncul kemudian menunjukkan bahwa perempuan menjadi the second sex, seperti juga sering disebut sebagai “warga kelas dua” yang keberadaannya tidak begitu diperhitungkan.

(30)

menentukan posisi mereka di masyarakat. Dalam masyarakat multikultural, latar belakang etnis seorang perempuan, bahkan mungkin lebih penting daripada kelas.

Istilah gender juga berguna, karena istilah itu mencakup peran sosial kaum perempuan maupun laki-laki. Hubungan antara laki-laki dan perempuan seringkali amat penting dalam menentukan posisi keduanya. Demikian pula, jenis-jenis hubungan yang dapat berlangsung antara perempuan dan laki-laki akan merupakan konsekuensi dan pendefinisian perilaku jender yang semestinya dilakukan olah masyarakat

2.4 Syarat-Syarat Sah Perkawinan

Suatu perkawinan bisa dikatakan sah apabila sudah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Dalam hal ini syarat sahnya perkawinan dapat dilihat dari sudut padang Hukum Islam dan menurut Hukum Perkawinan Indonesia yaitu Undang-Undang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Menurut Hukum Islam

(31)

Beberapa syarat sah sebelum dilangsungkannya perkawinan adalah.

a. Perkawinan yang akan dilakukan tidak bertentangan dengan larangan-larangan yang termaktub dalam ketentuan QS II ayat 221 (perbedaan agama) dengan pengecualian khusus laki-laki Islam boleh menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). (Moh. Idris Ramulyo, 2002 : 50)

b. Adanya calon pengantin laki-laki dan perempuan yang keduanya telah akil baligh (dewasa dan berakal). Dewasa menurut Hukum Perkawinan Islam akan berbeda menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia.

c. Adanya persetujuan bebas antara kedua calon pengantin, jadi tidak boleh dipaksakan.

d. Adanya wali nikah (untuk calon pengatin perempuan) yang memenuhi syarat yaitu; laki-laki beragama Islam, dewasa, berakal sehat dan berlaku adil. (Mawardi, 1984 : 10)

e. Adanya dua orang saksi yang beragama Islam, dewasa, dan adil.

f. Membayar Mahar (mas kawin) calon suami kepada calon isteri berdasar QS. An-Nisa ayat 25.

g. Adanya pernyataan Ijab dan Qabul (kehendak dan penerimaan).

Adapun yang termasuk rukun perkawinan ialah sebagai berikut:

(32)

madzhab berbeda pendapat baik madzhab syafi,i dan maliki, serta jumhur ulama. (Abd, Rahman Ghazaly, 2003: 47-48)

b. Adanya wali perwalian dalam istilah fiqih disebut dengan penguasaan atau perlindungan, jadi arti perwalian ialah penguasaan penuh oleh agama untuk seseorang guna melindungi barang atau orang. Dengan demikian orang yang diberi kekuasaan disebut wali. Kedudukan wali dalam perkawinan adalah rukum dalam artian wali harus ada terutama bagi orang-orang yang belum mualaf, tanpa adanya wali status perkawinan dianggap tidak sah.

c. Adanya dua orang saksi dua orang saksi dalam perkawinan merupakan rukun perkawinan oleh sebab itu tanpa dua orang saksi perkawinan dianggap tidak sah. Keharusan adanya saksi dalam perkawinan dimaksudkan sebagai kemaslahatan kedua belah pihak antara suami dan isteri. Misalnya terjadi tuduhan atau kecurigaan orang lain terhadap keduanya maka degan mudah keduanya dapat menuntut saksi tentang perkawinannya.

(33)

2. Menurut Undang-Undang Perkawinan

Setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) lalu dikeluarkan Peraturan Pemeritah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undan-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam pasal 2 UUP tersebut disebukan: 1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. 2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan dan pasal 2 ayat (2) UUP tersebut selanjutnya diatur lebih lanjut dalam PP 9/1975. Pasal-pasal yang berkaitan dengan tatacara perkawinan dan pencatatannya, antara lain Pasal 10, 11, 12, dan 13. Pasal 10 PP tersebut mengatur tatacara perkawinan;

a. Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.

b. Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pecatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.

(34)

calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak (Pasal 30 - Pasal 38). Larangan Perkawinan karena beberapa sebab (Pasal 39-44). (Wasian, 2010 : 26)

Bila dicermati dari penjabaran HPI diatas lalu dibandingkan degan uraian menurut hukum Islam sebelumnya maka dijumpai adanya perbedaan dalam hal pencatatan perkawinan. Hukum perkawinan Islam tidak mengharuskan suatu perkawinan dicatat oleh lembaga negara sementara dalam Hukum Perkawinan Indonesia perkawinan harus dilakukan dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) yang biasanya dari Kantor Urusan Agama (KUA) tempat domisili calon pengantin akan melangsungkan perkawinan. Bila suatu perkawinan tidak dicatatkan maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum (tindakan administratif).

2.5 Kedudukan Suami Istri Dalam Undang-Undang Perkawinan

Beberapa pasal yang menjelaskan mengenai kedudukan suami isteri dalam undang-undang perkawinan dapat ditemukan di Pasal 30 Undang-Undang Perkawinan yang menjelaskan bahwa suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

(35)

bantuan lahir batin yang pada yang lain (Pasal 33). Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan pada pengadialn (Pasal 34 ayat 1-3).

2.6 Perempuan, Agama, dan Perkawinan

Perkawinan adalah satu sunnatullah yang umum berlaku pada semua makhluk, baik manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Dengan perkawinan tersebut makhluk hidup dapat berkembang biak atau mengembangkan keturunannya sehingga dapat mempertahankan eksistensi kehidupannya di alam. Perkawinan, bagi manusia, sebagaimana makhluk-makhluk hidup yang lain, adalah suatu cara yang dipilih sebagai jalan untuk beranak, berkembang biak untuk kelestarian hidupnya, setelahnya masing-masing pasangan melakukan peranan yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan.

(36)

Dalam perkawinan terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pasangan. Pemenuhan hak oleh laki-laki dan perempuan setara dan sebanding dengan beban kewajiban yang harus dipenuhi oleh laki-laki dan perempuan (suami dan istri). Dengan masing-masing pasangan tidak ada yang lebih dan yang kurang dalam kadar pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban. Keseimbangan ini sebagai modal dalam menselaraskan motif ideal perkawinan dengan realitas perkawinan yang dijalani oleh suami dan istri (laki-laki dan perempuan).

Jika terdapat indikator dalam sebuah perkawinan suami mendominasi istri, atau suami memiliki hak yang lebih dibandingkan dengan istri, dan sebaliknya istri dalam posisi yang didominasi dan memiliki kewajiban yang lebih jika dibandingkan dengan suami, maka hal yang demikian menjadi pemikiran dan kajian kritis untuk dapat dicari akar persoalannya dan diselesaikan secara konsepsional. Bisa jadi diskrimansi yang terjadi adalah akibat perlakuan hukum yang tidak adil terhadap perempuan.

(37)

dengan surat keputusan pengadilan yang mengijinkannya dengan dasar-dasar khusus, seperti ketidakmampuan suami dan keengganannya mengurus istri. (Zahroh, 2010 : 13)

Sehingga dari hukum tersebut tercipta asumsi relasi subyek obyek antara laki-laki dan perempuan dalam perkawinan yang tergambarkan sebagai berikut. Pertama laki- laki yang berhak menikahi, sedangkan perempuan statusnya sebagai pihak yang dinikahi. Mahar atau mas kawin, suatu unsur yang dalam aturan perkawinan mirip dengan pembayaran harga dalam perdagangan, diserahkan laki-laki kepada perempuan, bukan sebaliknya. Kedua, keharusan agama atas perempuan untuk memenuhi permintaan suami, termasuk untuk hal-hal yang menurut agama sunnah dilaksanakan. Misalnya permintaan suami agar istrinya tidak lagi membiasakan puasa Senin Kamis. Terutama permintaan yang berkaitan dengan hasrat seksual, anjuran agama sangat kuat agar istri mengabulkannya. Dan adanya larangan perempuan (istri) untuk keluar rumah tanpa seijin laki-laki (suami).

(38)

Bagi keluarga mempelai yang mampu akan mengadakan suatu acara resepsi pernikahan dengan mengundang segenap keluarga kedua belah pihak mempelai suami/isteri, tetangga dan para sahabat. Acara resepsi pernikahan tersebut secara tidak langsung juga berfungsi sebagai pemberitahuan atau pengumuman kepada khalayak ramai bahwa telah terikatnya seorang laki-laki sebagai suami dan seorang wanita sebagai isteri dalam suatu ikatan perkawinan. Namun perlu diingat bahwaacara resepsi pernikahan ini bukan merupakan suatu acara yang mutlak harus dilaksanakan, melainkan tergantung kepada tingkat kemampuan ekonomi suatu keluarga yang melaksanakan perkawinan tersebut.

(39)

2.7 Posisi Sosial Perempuan dalam Keluarga

Peran wanita adalah serangkaian perilaku yang diharapkan sesuai dengan posisi sosial yang diberikan kepada wanita. Peran menerangkan pada apa yang harus dilakukan wanita dalam suatu situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan mereka sendiri dan harapan orang lain.

Posisi perempuan dalam keluarga ialah sebagai istri dan pendamping suami, mencakup sikap hidup yang mantap bisa mendampingi suami dalam situasi senang atau sedih disertai rasa kasih sayang, kecintaan dan loyalitas kesetiaan pada partner hidupnya juga mendorong suami untuk berkarir dengan cara-cara yang sehat (http://endahpurnasari.blogspot.com/2010/08/status-sosial-wanita.html diakses tanggal 17 November 2013). Disamping menjadi pendamping seorang suami, perempuan juga berperan sebagai ibu dan pendidik bagi anak-anaknya. Setelah melahirkan perempuan akan berperan sebagai ibu. Bila ibu tersebut mampu menciptakan iklim psikis yang gembira, bahagia dan bebas sehingga suasana rumah tangga menjadi semarak dan bisa memberikan rasa aman, bebas, hangat, dan menyenangkan serta penuh kasih sayang dalam mendidik akan menciptakan moralitas dan akhlak yang baik bagi anak-anaknya.

(40)

tenaga untuk melakukan berbagai macam tugas pekerjaan dirumah tangga dari pagi sampai larut malam.

2.8 Konsep Nikah Siri

Nikah siri, biasa juga diistilahkan dengan Perkawinan siri, yang berasal dari kata Nikah dan siri. Kata “siri” berasal dari bahasa Arab sirrunyang berarti rahasia, atau sesuatu yang disembunyikan. Melalui akar kata ini Nikah siri diartikan sebagai nikah yang dirahasiakan, berbeda dengan nikah pada umumnya yang dilakukan secara terang-terangan.

Nikah siri sering diartikan dalam

1. Nikah tanpa wali. Nikah semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) karena wali pihak perempuan mungkin tidak setuju; atau karena menganggap sahnya Nikah tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan syariat.

(41)

3. Nikah yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya karena takut menerima stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu Nikah siri atau karena pertimbangan-pertimbangan lain yang akhirnya memaksa seseorang merahasiakannya.

4. Nikah yang tidak adanya pencatatan secara resmi dalam lembaga pencatatan negara sering pula diistilahkan dengan Nikah di bawah tangan. Nikah di bawah tangan adalah Nikah yang dilakukan tidak menurut hukum. Nikah yang dilakukan tidak menurut hukum dianggap Nikah liar, sehingga tidak mempunyai akibat hukum, berupa pengakuan dan perlindungan hukum. Istilah “Nikah di bawah tangan” muncul setelah Undang-undang R.I No. 1 Tahun 1974 tentang Nikah berlaku secara efektif tanggal 1 Oktober 1975. Nikah di bawah tangan pada dasarnya kebalikan dari Nikah yang dilakukan menurut hukum dan perkawinan menurut hukum yang diatur dalam Undang-undang Nikah. (Chaeruddin, 2007 : 5)

(42)

2.9 Faktor-faktor yang menyebabkan Pernikahan Siri

Salah satu dari penyebab pernikahan siri adalah faktor kesadaran hukum, maksudnya adalah kesadaran hukum masyarakat Indonesia saat ini memang masih kurang tinggi. Banyak hal yang dapat membuktikan peryataan tersebut. Salah satunya yaitu ketidakpatuhan untuk memcatatkan perkawinan sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal 2 UU No.1 tahun 1974. Dengan adanya hal tersebut, tampak bahwa kesadaran hukum masih kurang, serta pola pikir yang dangkal yang disebabkan rendahnya pengetahuan, dan hawa nafsu yang mendorong terlaksananya hal-hal yang dapat merugikan bagi dirinya maupun orang lain.

(43)

Dengan adanya faktor-faktor tersebut tindakan untuk melakukan nikah siri makin marak dijumpai, baik dari kalangan kelas atas sampai kalangan kelas bawah. Hal tersebut dipengaruhi dengan keterbatasan pengetahuan mengenai hukum serta biaya. Sedangkan untuk kalangan atas mendalilkan takut akan dosa dan zina serta masih banyak alasan lain. Padahal jika mereka mengetahui akibat yang ditimbulkan akibat melakukan praktek nikah siri mungkin mereka akan segan untuk melakukannya.

Karena akibat yang ditimbulkan nanti kedepannya akan merepotkan diri sendiri. Jika ada seorang perempuan yang kemudian diajak menikah siri oleh seorang laki-laki, yang ada dibenaknya hanyalah pemikiran tentang hal yang indah-indah saja tanpa ada pemikiran panjang akan akibat kedepannya. Jika mereka dikaruniai seorang anak, maka dengan otomatis status anak tersebut menjadi persoalan. Apakah dia menjadi anak sah atau tidak. Mengapa demikian, karena dalam hal ini anak tidak memsapatkan akta kelahiran mengingat kedua orangtuanya melakukan nikah siri yang sah secara agama tetapi belum sah dimata hukum karena tidak tercatat di KUA . Maka dengan begitu anaklah yang menjadi korban, status anak tidak diakui oleh Negara.

(44)

menuntut harta gono-gini atau apapun yang telah didapat selama perkawinan berlangsung. Karena dalam hal ini si isteri dianggap orang lain meskipun secara agama telah diakui sebagai isteri tetapi secara hukum tidak dapat dianggap sebagai isteri yang sah.

2.10 Nikah Siri dalam Rancangan Undang-Undang

RUU Nikah Siri atau Rancangan Undang-Undang Hukum Materil oleh Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang akan memidanakan pernikahan tanpa dokumen resmi atau yang biasa disebut sebagai nikah siri, kini tengah memicu kontroversi ditengah-tengah masyarakat. (http://lk2fhui.wordpress.com diakses pada tanggal 4 Februari 2014 pukul 11.15 WIB)

1. Pasal 143 Rancangan Undang-Undang

Pasal 143 RUU yang hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam ini menggariskan, setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp6 juta hingga Rp12 juta. Selain kawin siri,draf RUU juga menyinggung kawin mutah atau kawin kontrak.

2. Pasal 144 Rancangan Undang-Undang

(45)
(46)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan metode yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh objek peneliti penelitian kualitatif juga diartikan sebagai pendekatan yang dapat menghasilkan data, tulisan, dan tingkah laku yang didapat dari yang diamati (Lexi Moleong, 2006 : 6)

3.2 Lokasi Penelitian

Kelurahan Tanjung Sari berada di Kecamatan Medan Selayang, Kota Madya Medan, Provinsi Sumatera Utara. Merupakan salah satu dari 6 kelurahan yang berada di bagian kecamatan Medan Selayang, Medan Sumatera Utara. Kelurahan ini memiliki luas kurang lebih 5,10 km2 atau 24,83% dari seluruh luas wilayah Kecamatan Medan Selayang dan berada pada ketinggian 26-50 meter di atas permukaan laut.

Batas-batas wilayah Kelurahan Tanjung Sari :

Sebelah Timur berbatasan dengan : Kelurahan Padang Bulan I, Kelurahan Padang Bulan II, dan Kelurahan Beringin

Sebelah Selatan berbatasan dengan : Kelurahan Sempakata dan Kecamatan Medan Tuntungan

(47)

Kelurahan Tanjung Sari merupakan salah satu pintu gerbang utama untuk memasuki kecamatan Medan Selayang begitu pula dengan akses kota Medan. Kelurahan Tanjung Sari juga merupakan poros tengah kekuatan sektor ekonomi untuk Kecamatan Medan Selayang. Wilayah Kelurahan Tanjung Sari yang turut dilintasi jalan lintas Sumatera kota Medan, banyak dihuni oleh warga pendatang dari wilayah Kabupaten Karo, Simalungun, Dairi, Samosir, dan beragam suku lainnya. Sebagian dari warga pendatang merupakan mahasiswa yang berkuliah pada Universitas Santho Thomas, sedangkan sebagian lagi kebanyakan merupakan pencari kerja dari berbagai daerah di sekitar Kota Medan. Pada kelurahan ini banyak terdapat rumah sewa dan kost-kostan yang sebagian bebas dalam menerima penghuninya. Banyak diantara penghuninya merupakan pasangan dengan status hubungan yang tidak jelas. Hal ini melatarbelakangi pemilihan lokasi.

3.3 Unit Analisis dan Informan 3.3.1 Unit Analisis

(48)

Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah:

1. Subjek Penelitian : Perempuan (istri) dan Masyarakatnya yang berada di lingkaran keluarga perkawinan tidak tercatat di Kelurahan Tanjung Sari.

2. Objek Penelitian : Orientasi dan status sosial yang dialami oleh perempuan yang melakukan perkawinan tidak tercatat di Kelurahan Tanjung Sari.

3.3.2 Informan

Informan adalah orang-orang yang menjadi sumber informasi dalam penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti memperoleh informan dengan menggunakan cara snowbolling sampling, hal ini dikarenakan peneliti tidak tahu siapa yang memahami informasi mengenai objek penelitian (Burhan Bungin, 2008: 77).

Menemukan informan menggunakan snowbolling sampling melalui langkah-langkah: (1) menemukan gatekeeper, yaitu orang pertama yang dapat menerima peneliti dan memberikan informasi awal mengenai objek penelitian. (2) meminta gatekeeper menunjukan informan lain yang lebih memahami mengenai objek penelitian. (3) terus menerus meminta informan menunjukan informan lain yang lebih memahami objek penelitian hingga data yang diperoleh jenuh (Burhan Bungin, 2008: 77)

Gatekeeper ditentukan dengan memperhatikan beberapa kriteria tertentu yang dirasa peneliti berhubungan dan dapat memberikan penjelasan awal mengenai objek penelitian. Gatekeeper dalam penelitian ini ditentukan dengan memperhatikan kriteria-kriteria sebagai berikut:

(49)

2. Informan Biasa : Masyarakat yang tinggal disekitar keluarga yang melakukan perkawinan tidak tercatat.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai berikut:

3.4.1 Teknik Pengumpulan Data Primer

Teknik pengumpulan data primer adalah pengumpulan data yang diperoleh melalui kegiatan penelitian langsung ke lokasi penelitian (field research) untuk mencari data-data yang lengkap dan berkaitan dengan masalah yang diteliti. Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan cara:

a. Metode Observasi

Observasi atau pengamatan adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian. Data penelitian tersebut dapat diamati oleh peneliti. Observasi merupakan pengamatan langsung terhadap berbagai gejala yang tampak pada penelitian. Hal ini ditujukan untuk mendapatkan data yang akan mendukung hasil wawancara.

(50)

adalah untuk membina hubungan yang lebih baik dengan informan. (Nawawi, 1989 : 45)

b. Metode Wawancara

Metode wawancara merupakan proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara. Salah satu bentuk wawancara yang dipakai dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam merupakan proses tanya jawab secara langsung yang di tujukan terhadap informan di lokasi penelitian dengan menggunakan panduan wawancara. Wawancara mendalam yang dimaksudkan adalah percakapan yang sifatnya luwes, terbuka, dan tidak baku. Intinya adalah peneliti akan mengadakan pertemuan berulang kali secara langsung dengan informan, dengan harapan informan dapat mengungkap informasi atau data yang diharapkan dengan datanya sendiri. 3.4.2 Teknik Pengumpulan Data Sekunder

Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen yaitu dengan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari berbagai buku-buku referensi, dokumen, foto-foto dan internet yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti.

Bentuk pengumpulan data sekunder yang dilakukan adalah Penelitian Kepustakaan yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari buku-buku ilmiah, tulisan, karangan ilmiah, laporan penelitian yang berkaitan dengan topik penelitian.

(51)

yang benar). Metafora (Kiasan) dan Analogi sama tepatnya dengan pertanyaan terbuka-tertutup.

Analisis data mengharuskan peneliti merasa nyaman dengan kategori mengembangkan dan membuat perbandingan serta perbedaan. Analisis data juga mensyaratkan bahwa peneliti terbuka untuk kemungkinan dan melihat pertentangan atau penjelasan alternatif untuk penemuan juga kecendrungannya adalah untuk peneliti pemula untuk mengumpulkan lebih banyak informasi dari pada yang dapat mereka kelola atau kurangi menjadi analisis yang penuh makna. (Idrus, 2009 : 32)

1. Dalam analisa data kualitatif ada beberapa langkah yang dapat membantu pengembangan analisa data yaitu; (a) menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena sosial dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut; dan (b) menganalisis makna yang ada dibalik informasi, data, dan proses suatu fenomena sosial itu.

(52)

3.5 Jadwal Penelitian 6 Revisi Proposal dan

Penguatan Referensi

7 Persiapan Instrument Penelitian

(53)

BAB IV

TEMUAN DATA DAN INTERPRETASI DATA

4.1 Gambaran Umum Kelurahan Tanjung Sari Kecamatan Medan Selayang Kota Madya Medan

Kelurahan Tanjung Sari berada di Kecamatan Medan Selayang, Kota Madya Medan, Provinsi Sumatera Utara. Merupakan salah satu dari 6 kelurahan yang berada di bagian Kecamatan Medan Selayang, Medan Sumatera Utara. Kelurahan ini memiliki luas kurang lebih 5,10 km2 atau 24,83% dari seluruh luas wilayah Kecamatan Medan Selayang. Kelurahan Tanjung Sari dihuni oleh 33.063 penduduk dengan kepadatan penduduk 6.483 per km2 dan berada pada ketinggian 26-50 meter di atas permukaan laut.

Batas-batas wilayah Kelurahan Tanjung Sari :

Sebelah Timur berbatasan dengan : Kelurahan Padang Bulan I, Kelurahan Padang Bulan II, dan Kelurahan Beringin Sebelah Selatan berbatasan dengan : Kelurahan Sempakata dan Kecamatan

Medan Tuntungan

Sebelah Barat berbatasan dengan : Kelurahan Asam Kumbang Sebelah Utara Berbatasan dengan : Kecamatan Medan Sunggal

(54)

untuk Kecamatan Medan Selayang. Wilayah Kelurahan Tanjung Sari yang turut dilintasi jalan lintas Sumatera kota Medan, banyak dihuni oleh warga pendatang dari wilayah Kabupaten Karo, Simalungun, Dairi, Samosir, dan beragam suku lainnya. 4.2 Komposisi Penduduk

4.2.1 Komposisi Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk, Luas Kelurahan kepadatan penduduk per Kmdirinci menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Selayang Tahun2012.

Tabel 1.

(55)

4.2.2 Komposisi Rumah Tangga dan Rata-rata Anggota Rumah Tangga

Banyaknya Rumah Tangga, Penduduk dan Rata-rata anggota Rumah Tangga, Jenis Kelamin, Kelompok Umur, dan Agama yang dianut dirinci menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Selayang Tahun 2012.

Tabel 2.

(56)

Dari Tabel 2 dapat dilihat jumlah rumah tangga di Kelurahan Tanjung Sari memiliki jumlah rumah tangga terbanyak di Kecamatan Medan Selayang dengan rata-rata jumlah anggota keluarga sebanyak 3,50 yang memenuhi kuota lebih kurang 30% dibanding kelurahan lainnya di Kecamatan Medan Selayang.

4.2.3 Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 3.

(57)

Dari Tabel 3 dapat disimpulkan Kelurahan Tanjung Sari memiliki keseimbangan penduduk secara jenis kelamin sama halnya dengan kelurahan lainnya yang berada di Kecamatan Medan Selayang.

4.2.4 Komposisi Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur Tabel 4.

(58)

Tabel 4 menunjukkan jumlah penduduk di Kecamatan Medan Selayang memiliki keseimbangan yang cukup dalam kelompok umur dan jenis kelamin.

4.2.5 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama yang dianut Tabel 5.

(59)

Pada Tabel 5 dapat diperhatikan Kelurahan Tanjung Sari mayoritas penduduknya menganut agama Islam sebanyak 18.152 jiwa, dan penganut agama Kristen sebanyak 8.565 jiwa.

4.2.6 Komposisi Mata Pencaharian

Komposisi Mata Pencaharian Penduduk menurut Kelurahan di Kecamatan Medan Selayang Tahun 2012.

(60)
(61)

4.2.7 Komposisi Pasangan Usia Subur (PUS) Ber-KB Tabel 7.

(62)

4.3 Sejarah Perkawinan Tidak Tercatat di Indonesia

(63)

Indonesia kini. Bahkan istilah nikah siri berkembang diindonesiakan menjadi kawin bawah tangan, meski antara istilah kawin siri dan kawin bawah tangan tidak selalu sama. Setidak-tidaknya ketidaksamaan itu adalah bila kawin siri identik dengan orang-orang (pelaku) Islam sementara istilah kawin bawah tangan biasa dilakukan oleh siapa saja (berbagai agama).

Namun demikian kedua istilah ini (kawin siri dan kawin bawah tangan) biasa dipahami sebagai suatu perkawinan yang mendasarkan dan melalui tata cara pada agama dan kepercayaan serta adat istiadatnya tanpa dilakukan dihadapan dan dicatat pegawai pencatat nikah seperti yang telah diatur dalam Undang-undang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Istilah nikah sirri atau nikah yang dirahasiakan memang dikenal di kalangan para ulama, paling tidak sejak masa imam Malik bin Anas. Hanya saja nikah siri yang dikenal pada masa dahulu berbeda pengertiannya dengan nikah siri pada masa sekarang. Pada masa dahulu yang dimaksud dengan nikah siri yaitu pernikahan yang memenuhi unsur-unsur atau rukun-rukun perkawinan dan syaratnya menurut syariat, yaitu adanya mempelai laki-laki dan mempelai perempuan, adanya ijab qabul yang dilakukan oleh wali dengan mempelai laki-laki dan disaksikan oleh dua orang saksi, hanya saja si saksi diminta untuk merahasiakan atau tidak memberitahukan terjadinya pernikahan tersebut kepada khalayak ramai, kepada masyarakat, dan dengan sendirinya tidak ada i’lanun-nukah (pengumuman perkawinan) dalam bentuk

walimatul-‘ursy (pesta) atau dalam bentuk yang lain.

(64)

sah atau tidak, karena nikahnya itu sendiri sudah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya. Diantara para ahli fiqih terdapat perbedaan pendapat memahami hal ini.

Nikah siri yang dikenal masyarakat seperti disebutkan diatas muncul setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam kedua peraturan tersebut disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan selain harus dilakukan menurut ketentuan agama juga harus dicatatkan. (Asmin, 1986 : 17)

4.4 Tata cara Perkawinan Siri

Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya intim dan seksual. Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara pernikahan. Kesemuanya itu berlangsung melalui tahap-tahap proses yang di atur oleh peraturan negara dan secara aturan adat dan agama kepercayaan masing-masing.

(65)

Perkawinan Siri dilakukan dihadapan tokoh agama atau di pondok pesantren yang dipimpin oleh seorang kyai dengan dihadari oleh beberapa orang yang berfungsi sebagai saksi. Bagi pasangan yang ingin melakukan perkawinan siri ini cukup datang ketempat Kyai yang diinginkan dengan membawa seorang wali bagi mempelai wanita dan dua orang saksi. Biasanya bagi kyai setelah menikahkan pasangan kawin siri ini, Kyai menyarankan pada mereka agar segera mendaftarkan perkawinan mereka di Kantor Urusan Agama setempat. Dalam perkawinan siri ini yang bertidak sebagai kadhi atau orang yang menikahkan adalah tokoh agama atau kyai tersebut setelah menima pelimpahan dari wali nikah calon mempelai wanita.

Orang tuannya atau walinya sebenarnya yang wajib menikahkan namun dengan berbagai sebab kadang dilimpahkan atau dipercayakan kepada tokoh agama atau kyai. Bila yang menikahkan orang tua atau walinya sendiri maka tokoh agama atau kyai tersebut bertindak sebagai saksi. Pelakasanaan ijab dan qabul dari pihak wali dan dari calon mempelai pria dilaksanakan dalam satu tempat atau majelis yang diucapkan dengan tanpa tenggang waktu yang lama. Artinya diucapkan penyerahan atau ijab dari wali nikah dan disambut penerimaan atau kabul dari mempelai pria itu tanpa adanya tenggang waktu yang lama.

(66)

Di beberapa tempat berlangsungnya perkawinan siri ada yang telah menjadikan setiap prosesi perkawinan itu sebagai ’lahan bisnis’ dengan melakukan pembukuan yang rapi dan memberikan ‘bukti nikah’ kepada kedua mempelai sebagai bukti telah melakukan perkawinan. Namun demikian bukti nikah itu bukan akta nikah yang dikeluarkan oleh KUA atau pejabat pencatat nikah secara resmi, melainkan bukti nikah yang dikeluarkan oleh penyelenggara (diurus oleh orang lain = calo). Makanya banyak kalangan yang menyebut buku nikah aspal. (Zamhari Hasan MM, dimuat Jumat, 22 Mei 2009 http:www.kanwildepag-dki.com)

Tidak semua prosesi perkawinan siri tersebut dilakukan memenuhi ketentuan, syarat dan rukun sahnya perkawinan menurut hukum perkawinan islam. penyimpangan itu biasanya terjadi ketiadaan/ketidakhadiran orang tua atau wali dari calon pengantin perempuan. Hal itu terjadi biasanya di kalangan mahasiswi yang jauh dari orang tua atau walinya bahkan juga terjadi karena perkawinan itu tidak disetujui terutama oleh orangtua pihak perempuan. Hukum Perkawinan Islam menganggap tidak sah suatu perkawinan tanpa adanya wali. Sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasullullah saw bersabda; “tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali”. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke- 2648)

(67)

“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya

batil; penikahannya batil; pernikahannya batil.” (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke- 2649)

Tidak dapat dipungkiri praktek perkawinan yang jelas-jelas kurang memenuhi syarat dan rukun perkawinan tersebut masih tetap dijalani dengan berbagai alasan seperti: orangtua atau walinya jauh darinya, untuk menghindari zina, akibat pergaulan bebas yang mengakibatkan hamil diluar nikah, dan lain-lain. Apapun alasannya ketidakberadaan wali dalam perkawinan tanpa adanya kuasa atau pelimpahan wewenang dari wali yang sesungguhnya (ayah atau wali calon mempelai perempuan) maka perkawinan tersebut tidak sah. Perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan Islam berdampak positif terhadap keberlangsungan hidup berumahtangga yang dijalaninya. Begitu pula sebaliknya perkawinan yang tidak sah menurut hukum perkawinan Islam akan berdampak negatif bagi kehidupan pasangannya.

(68)

Prosedur Pengesahan Pernikahan Siri

Menurut Kenotariatan pada Universitas Diponegoro, yang berjudul “Akibat Hukum Perkawinan Siri (tidak dicatatkan) Terhadap Kedudukan Istri, Anak dan Harta

Kekayaannya ditinjau dari Hukum Islam dan UU Perkawinan”, ada beberapa upaya hukum yang dilakukan yaitu:

4.5.1 Pengajuan istbat nikah (pengesahan nikah)

Esensinya adalah pernikahan yang semula tidak dicatatkan menjadi tercatat dan disahkan oleh negara serta memiliki kekuatan hukum. Dasar dari istbat nikah adalah Kompilasi Hukum Islam pasal 7 yaitu:

1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

a. adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian; b. hilangnya akta nikah;

c. adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang- Undang No.

(69)

e. perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

4) Yang berhak mengajukan permohonan istbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

Namun sejak disahkannya UU No. 1 tahun 1974 pengajuan istbat nikah sulit untuk dikabulkan kecuali pengajuan istbat nikah dalam rangka perceraian. Tentunya sangat sulit bagi pasangan yang tidak menginginkan perceraian, selain itu proses yang akan dijalani akan memakan waktu yang lama.Mengenai tingkat keberhasilan itsbat nikah sepenuhnya menjadi kewenangan hakim. Bila hakim mengabulkan permohonan istbat nikah Nina dan Bimo, maka pernikahan mereka sah secara hukum perdata. Pengajuan istbat nikah dapat diikuti dengan pengajuan penetapan asal usul anak yaitu pengakuan oleh ayah kandung atas anak yang lahir di pernikahan yang sah secara hukum. (Hadikusuma, 2004 : 56)

4.5.2 Pernikahan ulang

Pernikahan yang dilakukan layaknya pernikahan secara agama, yang tujuannya untuk melengkapi pernikahan pertama (siri). Namun pernikahan ini harus disertai dengan pencatatan pernikahan oleh pejabat yang berwenang (KUA).

Menurut artikel yang ditulis oleh Nur Mujib mengenai “Pengesahan Nikah (Itsbat Nikah)” (http://www.patanjungpinang.net) ada 2 cara di dalam mengajukan itsbat nikah, yaitu:

(70)

Produk hukum PA terhadap permohonan pengesahan nikah berbentuk Penetapan. Oleh karena itu pengesahan nikah yang diajukan secara voluntair, adalah apabila pasangan suami isteri yang pernah nikah siri itu bersama-sama menghendaki pernikahan sirinya itu disahkan. Mereka bertindak sebagai Pemohon I dan Pemohon II. Kalau hanya salah satunya saja yang menghendaki, misalnya suami mau mengesahkan nikah sirinya sementara isterinya tidak mau, atau sebaliknya isterinya mau mengesahkan nikah sirinya, tetapi suaminya tidak mau, maka tidak bisa ditempuh secara voluntair (bentuk permohonan) tetapi harus berbentuk gugatan (Kontentius). Pihak yang mengendaki nikah sirinya disahkan bertindak sebagai Pemohon dan pihak yang tidak menghendaki nikah sirinya disahkan dijadikan sebagai Termohon.

2) Dengan cara mengajukan gugatan pengesahan nikah (Kontentius)

Produk hukum PA terhadap gugatan pengesahan nikah berbentuk Putusan. Bila ada kepentingan hukum dengan pihak lain, maka pengesahan nikah tidak bisa diajukan secara voluntair (permohonan) tetapi harus diajukan dalam bentuk gugatan pengesahan nikah. Hal ini terjadi terhadap nikah siri dalam/oleh:

a. Pernikahan serial (poligami),

(71)

4.6 Profil Informan 4.6.1 Informan Kunci

Informan Kunci pada penelitian ini ialah Perempuan (istri) yang melakukan perkawinan tidak tercatat di Kelurahan Tanjung Sari.

Ida Rahma

Bu Ida begitulah sehari-hari ia dipanggil oleh tetangga di lingkungannya, saat ini ia berusia 31 tahun dan beragama Islam. Perempuan keturunan Jawa ini tinggal di sebuah rumah kontrakan di Jalan Flamboyan Raya No. 34 dan mengenyam pendidikan sampai tingkat SMA. Dalam kesehariannya Bu Ida bekerja sebagai pegawai toko di Pasar Melati dan telah menikah dengan Hadi Wijaya pria berdarah Jawa yang bekerja sebagai buruh bangunan dan telah dikarunia dua orang anak, Anis (10 tahun) dan Bambang (7 Tahun) yang masing-masing bersekolah di sekolah dasar yang tidak jauh dari rumah kontrakan yang keluarga ini tinggali.

Pada 11 Tahun yang lalu Bu Ida dan suaminya melangsungkan pernikahan mereka secara sah dengan proses perkawinan secara Islam yang pada saat pernikahan tersebut wali nikah Bu Ida sendiri adalah ayah kandung dari Ibu Ida sendiri. Berlangsung di kediaman orang tuanya yang dihadiri keluarga kedua mempelai dan seorang Ustadz sebagai penghulu nikah. Pasangan Bu Ida dan Pak Hadi pada saat melangsungkan pernikahannya tersebut tidak melakukan pencatatan secara negara atau melakukan pernikahan secara sipil.

Herna Safira Lubis

(72)

bekerja di sebagai pedagang gorengan di pinggiran kaki lima ini bertempat tinggal di Jalan Flamboyan Raya No. 21 beliau yang hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat SMP menikah dengan laki-laki keturunan Jawa sekitar 23 tahun lalu.

Pernikahan Bu Herna berlangsung secara pernikahan agama di rumah orang tuanya yang dihadiri oleh sanak saudaranya, ustadz sebagai penghulu pernikahan dan seorang paman dari pihak ayah beliau sebagai wali nikahnya dikarenakan ayahandanya telah meninggal dunia sebelum Bu Herna melangsungkan pernikahannya. Menurut pengakuan Bu Herna setelah setelah akad nikah ijab qabul sang ustadz selaku penghulu berpesan untuk secepatnya melakukan ‘ishbat nikah’ yakni memohon pengajuan untuk peresmian pernikahannya ke pengadilan agama. 7 tahun selang pernikahannya pun Bu Herna dan suami sudah mendaftarkan pernikahannya dan kini status pernikahan Bu Herna sudah legal secara undang-undang negara.

Sulis Ningsih

Sulis biasa dia dipanggil oleh tetangganya perempuan berusia 27 tahun ini berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga. Beliau adalah tamatan SMA dan beragama Islam ini tinggal disebuah rumah kontrakan di Jalan Flamboyan Raya No.39 bersama suaminya keturunan Jawa. Keluarga ini telah dikarunia seorang anak laki-laki berumur 2 tahun abay panggilan Sulis terhadap buah hatinya.

(73)

Sulis dan Suaminya, yang pernikahan mereka di wali kan langsung oleh ayah kandung Sulis dan berpenghulukan ustadz dari daerah sekitar tempat tinggalnya. Ani Pratiwi

Ani adalah seorang ibu rumah tangga berusia 30 tahun keturunan Jawa yang sudah dikaruniai 2 orang anak perempuan yang berusia 6 tahun dan 3 tahun hasil pernikahannya dengan seorang pria bersuku bangsa Jawa pada 10 tahun silam. Ani dan keluarga bermukim di Jalan Flamboyan Raya no. 54 disebuah kontrakan rumah milik tetangganya dengan biaya pertahun sebesar Rp. 4 juta.

Ani dan suaminya meresmikan pernikahan secara agama yang mereka anut dengan dihadiri penghulu nikah seorang ustadz, ayah kandungnya sebagai wali nikah dan saksi pernikahannya disaksikan oleh keluarga besar kedua mempelai di kediaman orangtuanya.

Fitri Hafsah

Fitri perempuan pemeluk agama Islam dan berusia 20 tahun ini bersuku bangsa Jawa yang seharinya berprofesi sebagai pegawai cafe di dekat tempat tinggal yang berada di Jalan Flamboyan Raya No. 60. Ia mengenyam pendidikan sampai tingkat SMA dan menikah dengan Anto 23 tahun pria Karo bermarga Ginting yang berprofesi sebagai penjaga warnet. Pasangan muda ini tinggal di rumah orangtua Anto semenjak mereka menikah pada 1 tahun silam.

(74)

Yuni Triesa

Yuni panggilan akrab para tetangga dilingkungan tempat tinggalnya. Yuni perempuan suku Jawa beragama islam ini berusia 25 tahun yang menyelesaikan pendidikan akhirnya di jenjang SMK. Yuni bersama suaminya Gelang seorang pendatang dari luar kota Medan kini berkediaman di Jalan Flamboyan Raya No. 55. Yuni kesehariannya berkerja disalah satu cafe di dekat kediamannya sebagai salah satu dari pegawai cafe di tempat tersebut. Sementara suaminya berprofesi sebagai buruh pabrik di daerah Tanjung Morawa.

Pernikahan mereka diadakan di kediaman orang tua Yuni dan berlangsung secara ajaran Islam tanpa adanya pencatatan oleh pegawai pencatat perkawinan negara. Pada saat pernikahan mereka berlangsung hadir ustadz sebagai penghulu, ayah kandung Yuni sebagai wali langsung Yuni, dan keluarga yuni sebagai saksi, sementara dari pihak Gelang, Gelang hanya didampingi oleh paman dan bibinya.

4.6.2 Informan Biasa

Informan Biasa pada penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal disekitar keluarga yang melakukan perkawinan tidak tercatat.

Tiarma Sembiring S.pd

(75)

Warta Tarigan

Kila adalah panggilan pria berumur 63 tahun oleh para tetangganya. Kila dalam bahasa Karo artinya sama dengan Paman. Pak Warta mengenyam pendidikan pada tingkat SLTA dan seorang pemeluk agama Islam ini kesehariannya berprofesi sebagai Wiraswasta dengan membuka Kedai kopi yang letak kedai kopi tersebut berada di bagian depan rumahnya. Sebelum berwiraswasta pak Warta dulunya adalah salah satu dari kontraktor borongan yang usaha kontraktornya biasa bekerja sama dengan Dishub Sumatera Utara dalam membuat dan memperbaiki jalan-jalan di provinsi Sumatera Utara.

Sebelum bekerja sebagai kontraktor, dahulunya pak Warta adalah seorang sipir penjara yang kemudian mengganti pekerjaannya sebagai kontraktor sampai pada 2 tahun yang lalu beliau menderita sakit stroke pada sebagian tubuh sebelah kirinya beliau berhenti sebagai kontraktor dan pada tahun 2013 kondisi beliau mulai membaik sampai akhirnya sekarang ini beliau berwiraswasta di rumahnya.

Meilani Hasibuan

Lani panggilan akrab yang biasa orang-orang di lingkungannya memanggilnya. Ia seorang ibu rumah tangga berusia 32 tahun beragama islam yang bertempat tinggal di Jalan Flamboyan Raya No. 24. Beliau bertetangga baik dengan Ibu Herna perempuan yang melakukan perkawinannya dengan pernikahan tidak tercatat. Dan tak jarang ibu Lani sering terlihat dirumah ibu Herna hanya untuk sekedar membantu ibu Herna dalam mengolah gorengan yang hendak akan dijual ibu Herna pada siang harinya.

(76)

Ibu rumah tangga berusia 25 tahun dan berdarah Jawa ini menghidupi kebutuhan sehari-harinya dengan bekerja sebagai buruh pabrik kopi di kawasan Tanjung Morawa. Selain seorang buruh pabrik kopi, di rumah Esti adalah seorang istri dan Ibu dengan 1 orang anak laki berusia 7 tahun yang wali kelas anak laki-lakinya adalah Bibi Tiarma. Beliau yang bertetangga bersebelahan langsung dengan Ibu Ida ini adalah seorang yang ramah meski sepulang beliau bekerja yang tubuh pasti masih penuh dengan letih dari pekerjaan, beliau sempat memberikan waktu istirahatnya kepada peneliti untuk melakukan wawancara.

Dariah Situmorang

Dariah perempuan 42 tahun ini adalah pemilik rumah kontrakan yang umumnya ditinggali oleh para pasangan pelaku perkawinan tidak tercatat. Beliau tidak terlalu mempersalahkan siapa yang akan menyewa rumah-rumah kontrakannya karena menurut beliau selama ini dia menyewakan rumah kontrakannya penghuninya selalu orang baik-baik yang minimal dia katakan ia mengenal dengan orang yang mengantarkan para penghuni rumah kontrakannya pada saat calon penghuni sedang mencari rumah kontrakan untuk ditinggali.

Beliau yang beragama Kristen Protestan ini bertempat tinggal di Jalan Flamboyan Raya No. 17 dimana rumah kontrakannya juga berada di lingkungan Jalan Flamboyan Raya. Dengan tidak tanggung-tanggung jumlah rumah kontrakannya di sekitar lingkungan tersebut berjumlah sekitar 25 rumah.

Sri Marpaung

Gambar

Tabel 1.
Tabel 2.
Tabel 3.
Tabel 4.
+4

Referensi

Dokumen terkait