• Tidak ada hasil yang ditemukan

Semiotika Perlawanan Korupsi Film Aku Padamu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Semiotika Perlawanan Korupsi Film Aku Padamu"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam

(S.Kom.I)

Oleh :

Agus Riyanto

108051000188

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULATAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

(2)
(3)
(4)

Dengan ini saya menyatakan, bahwa :

1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sangsi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 22 Januari 2013

(5)

i

Semiotika Perlawanan Korupsi Film Aku Padamu

Film Aku Padamu adalah film yang menggambarkan praktik-praktik

korupsi. Film pendek ini merupakan hasil dari inisiatif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas korupsi yang bekerja sama dengan Transparency International Indonesia (TII). Hal ini mengidentifikasi betapa sulitnya memberantas korupsi di negara demokrasi hanya melalui tindak pidana

saja. KPK berharap nantinya film ini dapat merubah mind set pejabat pemerintah,

pelaku bisnis, pejabat lembaga pendidikan, sebagai penerus bangsa hingga pejabat keagamaan sekalipun serta seluruh lapisan masyarakat sehingga memiliki mental yang kuat menolak korupsi.

Dalam hal ini, peneliti bertujuan menemukan bagaiman proses dan

praktik-praktik korupsi sehingga kita dapat mengantisipasinya. Aku Padamu

memiliki adegan perlawanan terhadap praktik korupsi, yang secara teknis digunakan oleh sineas dalam membingkai dan menyajikan pesan perlawanan terhadap praktik korupsi. Selanjutnya pemaknaan secara konvensi yang divisualisasikan sineas melalui semiotika perlawanan korupsi film Kita vs Korupsi.

Secara demografis, Indonesia lebih didominasi oleh pemeluk islam, dan mereka yang menduduki kursi pemerintahan pun didominasi oleh mereka yang beragama Islam, sehingga tidak layak jika banyak terjadi praktik korupsi didalamnya. Dewasa ini, korupsi telah merambah bukan hanya pada kalangan pemerintahan saja, melainkan sudah sampai tingkat bawahan yaitu rakyat. Perilaku yang curang dapat berorientasi pada praktik korupsi. Hal ini yang dikhawatirkan korupsi menjadi prilaku yang lumrah dan membudaya. Film ini mencoba memvisualisasikan dampak dan bagaimana proses korupsi itu terjadi.

Semiotika merupakan metode yang digunakan untuk menganalisis makna dan tanda-tanda yang sangat relevan dalam mengkaji pesan dalam film. Dalam

film Aku Padamu terdapat tanda-tanda dan simbol-simbol yang mengandung

interpretasi dan pesan simbolik, namun hal itu juga tidak terlepas dari bahasa film yang melengkapi, sehingga mempu menghasilkan interpretasi yang berbeda pada penonton.

Dari hasil penelitian, peneliti mengidentifikasi setidaknya terdapat 13 elemen penting yang dapat membangun makna dalam film sebagai presentasi perlawanan terhadap praktik korupsi. Peneliti juga menemukan tanda-tanda dan kode yang mencul dalam adegan khusus di depan KUA dan adegan pendukung lainnya. Konvensi yang terdapat dalam film divisualisasikan mengguanakan

beberap sekuen, adegan dan shot dalam durasi-surasi tertentu dalam film.

(6)

ii

Kepada-NYA lah kita bersandar, dan dari-NYA lah kenikmatan hidup tanpa batas, Al-Aliimu wa Al-Qowiyyu tetap menghiasi asma-Nya, sehingga penulis diberikan pengetahuan dan kekuatan fisik dan dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Semiotika Perlawanan Korupsi Film Aku Padamu.

Shalawat beserta salam selalu terlantunkan kepada kekasih Allah Nabi Muhammad SAW beserta para keluarganya, sahabat dan para pengikutnya yang telah membuka pintu keimanan yang bertauhid dan pencerah atas kegelapan manusia serta uswatunhasanahyang menjadikan dunia ini indah.

Iman dan mental merupakan pondasi keyakinan keyakinan dalam memberantas korupsi yang harus dimiliki dan dijaga agar tetap kokoh, karena jika tidak kita dapat dengan mudah kapan saja terjerumus dalam lingkaran korupsi yang dewasa ini terjadi hampir disetiap sistem dan tanggung jawab.

Pada kesempatan yang baikini, izinkanlah penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih pada semua pihak yang dengan tulus ikhlas telah memberikan bantuan dan dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, terutama kepada:

1. Dr. Arief Subhan M.A, selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi,

(7)

iii

3. Dra. Umi Musyarofah, M.A, selaku Sekretaris Jurusan Komunikasidan

Penyiaran Islam (KPI).

4. Drs. Sugiarto, M.A, selaku dosen penasehat akademik yang telah

memberikan bimbingan dan arahan praskripsi.

5. Dr. Rulli Nasrullah M. Si, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

berkenan meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan dan inspirasinya yang sangat berharga.

6. Seluruh Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang selama ini telah

memberikan ilmu pengetahuan. Semoga ilmu yang diberikan bermanfaat.

7. Segenap pimpinan dan karyawan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan

Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang telah melayani penulis dalam mempergunakan buku-buku dan literatur yang penulis butuhkan selama penyusunan skripsi ini.

8. Kedua orang tua tercinta, ayahanda Marsimin dan ibunda Raminah atas

segala kasih ayang, perhatian dan motivasi, yang tak pernah lelah dan

bosan dalam membiayai kuliah serta do‘a yang selalu Engkau panjatkan

untuk buah hatimu ini.

9. Keluarga Besar Norihiko Isoda atas segala bantuan dan motivasi kepada

(8)

iv

11.Rekan-rekan seperjuangan KPI F 2008 yang tel;ah memberikan masukan,

motivasi dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

12.Seluruh teman seperjuang yang telah membantu terselesaikannya skripsi

ini.

Semoga segala partisipasi, dukungan dan motivasi serta doa kepada penulis dibalas oleh Allah SWT berupa kebaikan yang berlipat ganda. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat berguna bagi wacana keilmuan dan ke-Islaman. Akhirnya kepada-Nya lah segala urusanakan kembali dan kepada-Nya lah kita memohon hidayah dan taufiq serta ampunan.

Jakarta, 16 Januari 2013

(9)

v DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Metodologi Penelitian ... 9

E. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II KERANGKA TEORI ... 14

A. Film sebagai media kritik sosial ... 14

B. Semiotika film ... 33

C. Korupsi ... 40

BAB III GAMBARAN UMUM FILM ... 57

(10)

vi

BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN HASIL ANALISIS... 66

A. Analisis Judul Film ... 66

B. Pengantar Adegan yang Diteliti ... 67

C. Adegan yang Diteliti ... 82

D. Konvensi Visualisasi Adegan Perlawanan Korupsi ... 98

E. Interpretasi Adegan Perlawanan Korupsi... 99

BAB V. PENUTUP ... 103

A. Kesimpulan ... 103

B. Saran-saran ... 105

(11)
(12)

viii

Tabel 2.2 Analisis Film Steve Campsall ... 37

Tabel 4.1 Analisis Film Steve Campsall ... 69

Tabel 4.2 Ikon, Indeks dan simbol dalam Adegan ―Rumah Laras menuju

KUA‖ ... 70

Tabel 4.3 Adegan kuartel dikarenakan kurangnya persyaratan nikah ... 74

Tabel 4.4 Ikon, Indeks dan Simbol dalam adegan ―kuartel dikarenakan

kurangnya persyaratan nikah‖ ... 75

Tabel 4.5 Adegan Perjuangan pak Markun melawan korupsi ... 79

Tabel 4.6 Ikon, Indeks dan Simbol dalam adegan perjuangan pak Markun melawan korupsi ... 80

Tabel 4.7 Ikon, Indeks dan Simbol dalam adegan ―Perlawanan korupsi‖ ... 87

Tabel 4.8 Visualisasi shot dari Adegan ―Perlawanan korupsi‖ ... 88

Tabel 4.9 Temuan Analisis Visualisasi shot dari Adegan ―Perlawanan

Korupsi" ... 95

[image:12.595.97.514.144.615.2]
(13)

ix

Gambar 3.1 Nicholas Saputra sebagai Nova ... 62

Gambar 3.2 Revalina S Temat sabagai Laras ... 63

Gambar 3.3 Agus Ringgo Rahman sebagai Pak Markun... 64

[image:13.595.100.506.142.614.2]
(14)

1 A. Latar Belakang Masalah

Film Aku Padamu merupakan salah satu kumpulan film pendek dalam

tema besar film Kita vs Korupsi yang dilahirkan oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) dan bekerja sama dengan Transparency Internsional Indonesia (TII). Film yang tidak diluncurkan secara masal ke publik ini memiliki muatan pesan yang berbeda, terlepas dari kepentingan pasar, kepemilikan juga kepentingan beberapa pihak, melainkan film ini berpihak kepada hajat hidup bangsa mengenai bagaimana praktik korupsi terjadi dan film tersebut berusaha memetakan bagaimana bersikap dalam melawan korupsi.

Film kita vs korupsi terdiri dari empat film pendek dengan judul

berbeda-beda yang disutradarai oleh Chaerun Nissa, Emil Heradi, Lasja F. Susatyo, dan Ine Febriyanti, serta diproduseri oleh M. Abdullah Aziz.

Masing-masing judul film itu adalah; Rumah Perkara (House of The Affair), Aku

Padamu (Im for you), Selamat siang, Rissa! (Good afternoon, Rissa!) dan

Pssssttt... Jangan bilang siapa-siapa (shhh... Don’t tell anyone) yang

masing-masing memiliki latar belakang berbeda namun tujuan yang ingin dicapai satu, yaitu mengenalkan praktik-praktik korupsi.

Dalam judul rumah perkara praktik korupsi yang dikenalkan pada

level penyelenggara negara yang terjebak dalam lingkaran korupsi. Pada judul

(15)

Urusan Agama (KUA). Kemudian dalam judul selamat siang Rissa!, dalam film ini praktik korupsi yang dikenalkan pada level bawah yaitu penjaga gudang yang memiliki kuasa penuh terhadap gudang. Yang terakhir pada judul

Psss... jangan bilang siapa-siapa, korupsi terjadi pada level sekolah dan murid kepada orang tua. Kesemuanya ini adalah gambaran praktik korupsi yang terjadi dalam keseharian.

Film ini dibintangi oleh Nicholas Saputra yang berperan sebagai Vano, seorang pemuda yang hampir kehilangan impiannya meminang Revalina S Temat sebagai Laras anak seorang kepala guru dengan mengajaknya kawin lari melalui bantuan calo KUA (Norman Akyuwen) untuk melacarkan pernikahan karena mereka tidak memiliki kartu keluarga. Ringgo Agus Rahman yang juga bermain satu frame berperan sebagai seorang guru yang jujur bernama Markun, yang sampai akhir hayat statusnya masih sebagai guru honorer. Karena baginya sekolah itu fana seperti dunia ini. Ia lebih suka mengajar dan mendongeng di luar kelas, dibawah pepohonan dari pada menyuap kepala guru untuk menjadikannya guru PNS.

Dalam kesempatan ini, peneliti memilih film Aku Padamu sebagai

objek penelitian. Alasan peneliti memilih film tersebut karena ide pokok dan pesan yang ditangkap peneliti terasa istimewa. Yaitu sikap perlawanan wanita muda dalam melawan korupsi.

Film Aku Padamu ini bertujuan untuk meredam atau memperkecil

korupsi di negeri ini. Dewasa ini, korupsi bukan hanya dilakukan pada level pemerintahan atau umum saja melainkan sudah merambah pada hal yang berbau keagamaan seperti kasus korupsi pengadaan Alquran. Mengutip

(16)

corrupts absolutely”, bahwa kekuasaan cendrung untuk korupsi dan

kekuasaan yang absolut cendrung korupsi absolut.1 Film ini merupakan

manisfestasi perjuangan dalam memberantas korupsi, dalam dakwah disebut sebagai dakwah bil qalam.

Korupsi dalam Islam adalah kegiatan yang sangat diharamkan. Hal ini sesuai dengan ayat Alquran surat Al-Baqarah ayat 188 yang berbunyi:

















“Artinya: Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.”

Pena atau qolam saat ini memiliki pemaknaan yang lebih luas, tidak hanya sebatas sebagai alat tulis saja. Kemajuan alat teknologi komunikasi yang memudahkan untuk menerima dan memberikan informasi juga sebagai sarana dakwah menjadikan satu kesatuan perluasan makna pena dalam dakwah.

Pada masa Orde Lama, pemberantasan korupsi ditangani oleh aparat

militer yang power full, namun upaya ini gagal bahkan semakin merebak.

Memasuki masa Orde Baru korupsi semakin subur selama 32 tahun pemerintahan Presiden Soeharto. Penyelenggalaan pemerinta secara tertutup dan perekonomian yang didominasi oleh Soeharto beserta keluarga dan

1

Drs. Emansjah Djaja, S.H., M.Si, Memberantas Korupsi Bersama KPK ―edisi

(17)

kroninya berdampak positif untuk pertumbuhan korupsi. Koruptor dielu-elukan dan tidak diasingkan, karena sebagian hasil korupsi turut disumbangkan ketempat ibadah dan lain-lain, seakan tuhan dapat dibohongi. Sampai sini koruptor tidak dipandang sebagai penghianat bangsa melaikan

sebagai pahlawan.2

“...Corrruption is the root of the evil (Kwik Kian Gie)...,‖ korupsi

adalah akardari semua masalah.3 Beragam kasus korupsi yang terungkap,

menandakan bahwa korupsi di negeri ini terjadi diberbagai sektor dan level. Film ini mencoba mengenalkan kita praktik korupsi yang dijalankan disejumlah institusi sebagai bentuk pemahaman terhadap masyarakat tentang praktik-praktik korupsi. Pesan ini yang kemudian membuat pikiran masyarakat tergugahuntuk menghentikan atau tidak melakukan tindakan korupsi. Sesuai dengan Pasal 41 Ayat 1Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 yang mengatakan ―...Masyarakat dapat berperan serta dalam membantu

upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi...‖.4

“...We can’t fight corruption just by enforcing law, but by changin

perspective as well. As show here in KvsK...”5 begitulah ungkapan Abraham

Samad (chief of KPK) sebagai testimoni yang tertera pada cover dvd tentang

film ini. Film memiliki pengaruh cukup besar sebagai sarana penanaman nilai

2

Prof. DR. Krisna Harahap, SH.,MH, Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung, (Bandung, PT Graffiti Bandung, 2006), h. 40-41.

3

Kompas, Jihad Melawan Korupsi (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), h. 95. 4

[image:17.595.96.514.200.581.2]

Drs. Emansjah Djaja, S.H., M.Si, Memberantas Korupsi Bersama KPK (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 161.

5

(18)

dan ideologi. Hal ini yang membuat film menjadi suatu bahan kajian yang menarik untuk mendalami salah satu unsur komunikasi, yaitu pesan.

Konstruksi pesan dalam film adalah melalui simbol atau tanda yang ditampilkan. Kajian yang secara khusus membahas mengenai tanda dan perangkat pesannya adalah semiotika atau yang lebih dikenal oleh ilmuwan eropa sebagai kajian semiologi. Semiotika memiliki beberapa model, hal ini dikarenakan masing-masing model memiliki karakteristik yang berbeda dan memiliki tokoh yang berbeda.

Film terdiri dari unsur audio visual, sehingga memungkinkan dimunculkan beragam interpretasi dalam pembuatannya. Beberapa institusi yang pernah menyaksikan film tersebut menyadari dampak positif yang

didapat bagi institusi dan anggotanya. Praktik–praktik korupsi yang semakin

menjamur baik dalam skala besar maupun kecil, baik pada tingkat atas maupun tingkat bawah yang berdampak buruk bagi kemaslahatan berbangsa dan bernegara, diharapkan dengan adanya sosialisasi praktik korupsi melalui skripsi ini membantu mengurangi dan memberantas praktik-praktik korupsi.

Dibeberapa institusi dan juga pada level masyarakat, praktik korupsi dalam skala kecil sering terlihat oleh mata kita namun hal tersebut seakan menjadi yang wajar, yang kemudian berdampak pada kebiasaan sehingga dibenarkan atau dianggap lumrah. Keadaan inilah yang ingin dikembangkan

oleh penulis dalam dunia akademisi dalam memaparkan praktik–praktik

korupsi yang direpresentasikan pada film yang dilahirkan KPK ―Aku Padamu

(19)

Berdasarkan pemikiran diatas, penulis memberi judul penelitian skripsi

ini Semiotika Perlawanan korupsi Film Aku Padamu.

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah

1. Perumusan Masalah

Masalah pada penelitian ini mengacu pada representasi praktik-praktk korupsi yang terdapat dalam film pada penggunaan simbol-simbol

dalam rangkaian gambar atau adegan (scene) film yang berhubungan

dengan cara praktik korupsi yang ditampilakan dalam film Aku Padamu.

2. Pembatasan Masalah

Peneliti memfokuskan permasalahan pada empat hal berikut:

a. Bagaimana tanda perlawanan praktik–praktik korupsi yang

direpresentasikan dalam film Aku Padamu?

b. Bagaimana kode perlawanan praktik–praktik korupsi yang

direpresentasikan dalam film Aku Padamu?

c. Bagaimana elemen perlawanan praktik korupsi yang

direpresentasikan dalam film Aku Padamu?

d. Bagaimana konvensi perlawanan praktik–praktik korupsi yang

direpresentasikan dalam film Aku Padamu?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui bagaimana sign dan code praktik–pkartik korupsi

(20)

b. Untuk menemukan apa saja elemen praktik korupsi yang

direpresentasikan dalam film Aku Padamu

c. Untuk mengetahui bagaimana convention yang muncul dalam

praktik-praktik korupsi yang direpresentasikan dalam film Aku Padamu

2. Manfaat Penelitian

a. Akademisi, peneliti mengaharapkan penelitian ini berguna dalam

perkembangan ilmu pengetahuan ilmiah khususnya dibidang dakwah dan komunikasi serta dalam menggali makna yang terkandung dalam sebuah produk media massa, khususnya film yang menggunakan pisau analisis semiotika.

b. Praktisi, penelitian ini diharapkan dapat menjadi pencerah bagi

institusi dan anggotanya juga masyarakat dalam mengenali praktik korupsi. Menambah wawasan bagi para teoritis, praktisi, aktivis

dakwah, dan peneliti sendiri serta bagi production house agar dapat

melahirkan film-film dan iklan yang lebih bermutu dan memiliki nilai budaya yang tinggi, sehingga dapat memberikan pengetahuan baru kepada masyarakat dan menjabarkan situasi yang sedang terjadi dinegeri ini.

3. Tinjauan Pustaka

Film ―Aku Padamu‖ bukan film komersial dan akan diputar bukan

(21)

ini dengan menghubungi pihak KPK ataupun TII6. Dalam proses pembuatannya pun melibatkan masyarakat, mulai dari pembuatan skrip dengan lomba ide cerita pada september 2011. Kemudian sutradara, aktor, scriptwriter dan kru, yang tergerak untuk turut andil dalam upaya pencegahan korupsi melalui sebuah film.

Perenelitian sejenis (Skripsi) mengenai kajian semiotika di jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, tidaklah sedikit. Salah satunya adalah skripsi yang berjudul ―Analisis Semiotik terhadap film in the name of god‖ yang

ditulis oleh Hani Taqiyya (107051002739) mahasiswa KPI lulusan tahun 2011. Pada skripsinya tersebut, Hani menggunakan pisau analisis yang sama dengan penelitian ini, yakni menggunakan pisau analisis Roland Barthes. Adapun wacana yang ingin dibangun berbeda, yakni mengenai

konsep jihad yang mengatasnamakan tuhan.7

Kemudian pada skripsi yang berjudul ―Analisis Semiotika Film

Mighty Heart‖ yang ditulis oleh Rizky Akmalsyah (106051101939) yang

mengangkat kisah bagaimana jurnalis,intelejen bekerja dan budaya orang-orang psiatan di Karachi. Analisis yang digunakan pada skripsi ini yaitu menggunakan semiotika Roland Barthes,juga tidak ada persamaan

mengenai pembahasan isi dengan skripsi yang ditulis oleh peneliti.8

6

http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=2518

7Hani Taqiyya, ―

Analisis Semiotik terhadap Film in the name of god,‖ Skripsi S1

(Jakarta: Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011).

8Rizky Akmalsyah, ―

analisis Semiotika Film A Mighty Heart‖, Skripsi S1 (Jakarta:

(22)

Skripsi yang diteliti oleh Puga Hilal Bayhaqie ( 104051101954) dengan judul ―analisi Semiotika Ikaln Kampanye Politik Prabowo Subianto di Televisi versi Stimulus bagi Rakyat‖. Skripsi ini bertujuan

mengupas ideologi iklan partai politik yang tercermin dari iklan ditelevisi. Pada skripsi ini peneliti tidak menemukan pembahasan yang sama dengan

skripsi yang peneliti kerjakan.9

Selain itu ada pula skripsi dengan judul “Analisis semiotik film

animasi upin dan ipin” yang ditulis oleh Akhmad Bayhaki

(105051001885) mahasiswa KPI lulusan tahun 2009.10 Pisau analisis yang

digunakan serta wacana yang dibangun juga berbeda dengan penelitian ini. Pada dasarnya, peneliti melihat bahwa setiap skripsi memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Namun perlu diketahui bahwa skripsi ini tidak sama dalam isi maupun pembahasan dengan tujuan tersebut. Skripsi ini disusun berdasarkan analisis yang peneliti lakukan dengan pengamatan terhadap objek yang berkaitan yaitu mengenai semiotika praktik korupsi dalam film

Aku Padamu.

9Puga Hilal Bayhaqie, ―

Analisis Semiotika Iklan Kampanye Politik Di Televisi,‖ Skripsi

S1 (jakarta: Perpustakaan Umum Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,2010). 10Akhmad Bayhaki, ―

Analisis Semiotika terhadap Film Animasi Upin dan Ipin,‖ Skripsi

(23)

D. Medodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori semiotika Roland Barthes, Christian Metz dan Steve Campsall. Barthes menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal

dengan “two order of signification”, mencakup denotasi (makna

[image:23.595.97.511.173.596.2]

sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.

Gambar 1.1 Samiotika Roland Barthes

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu ―mitos‖ yang

menandai suatu masyarakat. ―Mitos‖ menurut Barthes terletak pada

tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru.

Denotasi

Signifier

Signified

Konotasi

(24)

Selanjutnya teori Christian Metz yang mengatakan bahwa setidaknya ada 3 mesin utama dalam memaknai film secara utuh sebagai bahan penelitian, yaitu film sebagai industri, psikologi penonton, dan penulis naskah film kritikus, sejarahwan, teoretikus. Jadi pengertian film tidak terbatas pada aspek industri yang memproduksi sebuah film saja, melainkan juga aspek lain di luar itu, sehinggan penonton dapat menjadi salah satu bagian dari film dengan cara memposisikan penonton sebagai kesatuan film yang berfungsi sebagai mesin kedua, yaitu bergerak dalam

wilayah psikologis.11

Steve Campsall yang meneruskan pemikiran Metz dengan menekankan interaksi antara moving image texts dengan kesatuan bahasa

dan makna, memahami Moving Image Texts: ―Film Language‖. Seperti

percakapan, baginya film memiliki bahasa sendiri dalam menyampaikan pesannya kepada penonton. Pergerakan audio visual yang dinamis di dalam film, memunculkan komponen sendiri di dalam kajian semiotikanya.

2. Tahapan Penelitian

a. Proseduran Penelitian

1) Kategorisasi, disini peneliti mengkategorisasikan tanda-tanda yang

ada atau yang muncul pada film Aku Padamu.

2) Observasi, Peneliti melakukan observasi langsung yakni dengan

melakukan pengamatan secara mendalam mengenai tanda-tanda

11

(25)

pada film Aku Padamu guna memperoleh data-data yang mendukung keakuratan hasil penelitian.

3) Dokumentasi, mencari data mengenai hal-hal atau variabel dengan

melakukan teknik pengumpulan data dan menginvestasi dokumen-dokumen yang relevan serta memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang diteliti oleh penulis. Dengan mempelajari dan menganalisa bahan-bahan berupa tulisan atau gambar yang diambil dari buku, arsip-arsip, foto-foto, rekaman-rekaman siaran dan lain sebagainya untuk menguatkan penelitian atas kebenaran data yang diperoleh melalui kategorisasi dan observasi.

b. Pengolahan Data

1) Analisis Data, data yang diperoleh dari pengklasifikasian

adegan-adegan dalam film Aku Padamu secara deskriptif yang sesuai

dengan rumusan permasalahan dengan menggunakan model semiotika Christian Metz, Steve Campsall dan Roland Barthes. Kemudian membandingkan dengan menggambarkan keadaan yang sebenarnya dan dianggap akurat serta menuangkannya kedalam konteks penulisan karya ilmiah atau skripsi dengan cara

menjabarkan, menerangkan, memberikan gambaran serta

[image:25.595.97.513.202.624.2]
(26)

2) Subjek dan Objek Penelitian, Objek penelitian ini adalah film. Sedangkan unit analisisnya adalah potongan gambar, musik, dan

dialog yang terdapat di dalam film Aku Padamu yang berkaitan

dengan rumusan masalah penelitian. Subjek adalah sumber-sumber tempat memperoleh keterangan. Dan dalam penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah teori semiotika Christian Metz, Steve Campsall dan Roland Barthes. Sedangkan objeknya adalah film Aku Padamu.

3) Teknik Penulisan, penelitian ini akan ditulis berdasarkan penulisan

Skripsi yang mengacu pada pedoman penulisan skripsi, tesis, dan disertasi yang berlaku di UIN Jakarta fakultas Dakwah dan Komunikasi prodi Komunikasi Penyiaran Islam tahun 2008-2009.

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembaca dalam mengklasifikasikan gambaran dan uraian skripsi ini, maka peneliti membaginya dalam sistematika penulisan dalam lima bab. Yang dalam bab-bab tersebut terdapat sub bab yang menggambarkan lebih terperinci mengenai pembahasan skripsi ini.

BAB I : Pendahuluan terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi pnelitian dan sistematika penulisan.

(27)

BAB III : Gambaran umum film terdiri dari profil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga pembuat film, sinopsis film, profil pemain dan tim produksi film.

BAB IV : Temuan penelitian dan hasil penelitian terdiri dari analisis judul film, pengantar adegan yang diteliti dan narasi yang diteliti. BAB V : Penutup terdiri dari kesimpulan, saran, daftar pustaka dan

[image:27.595.102.505.226.603.2]
(28)

15 A. Film Sebagai Media Kritik Sosial

1. Tinjauan Umum Tentang Film

a. Definisi

Film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau untuk tempat gambar

positif (yang akan dimainkan di bioskop) lakon (cerita) gambar hidup.1

Marselli Sumarno mendeskripsikan film sebagai:

:Film merupakan anak kandung teknologi yang terdiri dari unsur ukuran akurasi dan standarisasi, perkembangan unsur mengikuti perkembangan teknologi, serta teknologi perfilman yang membutuhkan standarisasi teknis agar dapat dimanfaatkan secara

maksimal.‖2

Sedangkan film yang baik adalah film yang mampu mempresentasikan kenyataan sehari-hari sedekat mungkin, yakni yang

mampu merekam kenyataan sosial pada zamannya.3

Film juga merupakan bagian dari salah satu produk komunikasi massa yang muatannya memiliki berbagai macam informasi baru. Bentuk komunikasi dalam film adalah bentuk komunikasi semu, karena pemberi makna yang sebenarnya bukanlah di film tersebut, melainkan orang-orang dibalik film. Dengan demikian, konstruksi pesan di dalam

1

Anton Mabruri, Managemen Produksi Acara Televisi,( Mind 8 Publishing,2011), h. 2. 2

Marselli Sumarno, Job Descriptio Pekerja Film Versi 01, (jakarta: Fakultas Film dan Televisi IKJ, 2012).

3

[image:28.595.99.515.209.610.2]
(29)

film yang notabene bersifat audio visual, berbeda dengan konstruksi pesan media yang lain yang kecenderungannya kepada satu jenis saja.

Pemaknaan mengenai film pun kini beragam, ada yang memaknainya sebagai produk komersil, media propaganda, media

hiburan, bahkan dianggap sebagai agama.4 Namun ada juga yang

memaknai film sebagai media kritik sosial, karena film dianggap sebagai media yang memiliki kekuatan besar untuk menginformasikan yang terjadi disekitar, juga dalam membentuk pola pikir dan tingkahlaku penontonnya.

Sebagian besar manusia sepakat bahwa komunikasi masa adalah bagian terpenting dalam pembangunan peradaba manusia. Film sebagai salah satunya menyimpan makna sebagai bagian dari pesan, juga menjadi salah satu ragam proses komunikasi. Makna-makna simbolik yang ditampilkan film, membawa penonton sebagai komunikan merasakan sensasi yang berbeda dalam penyerapan pesan. Makna-makna inilah yang akhirnya menjadi salah satu bagian dari unsur komunikasi, yaitu message.

b. Unsur Film

Agar dapat mamahami term film secara keseluruhan, perlu pengetahuan mengenai unsur-unsur pembentuk film. Adapun unsur-unsur tersebut antara lain unsur naratif dan unsur sinematik. Seperti pada gambar dibawah ini.

4

(30)
[image:30.595.98.512.115.639.2]

Gambar 2.1.5 Unsur Pembentuk Film

1) Naratif

Unsur naratif film berhubungan dengan aspek cerita atau tema film. Unsur ini meliputi tokoh, masalah, konflik, lokasi dan waktu.

a. Tokoh

Dalam film cerita, terdapat dua tokoh penting, yaitu utama dan pendukung. Tokoh utama sering diistilahkan dengan tokoh protagonis, sedangkan tokoh pendukung biasa disebut dengan tokoh antagonis yang biasanya bertindak sebagai pemicu konflik.

b. Masalah dan Konflik

Masalah di dalam film dapat diartikan sebagai penghalang yang dihadapi tokoh protagonis dalam meraih tujuannya. Permasalah ini yang kemudian memicu konflik (konfrontasi) fisik atau batin dari luar diri tokoh protagonis ataupun dari dalam diri tokoh protagonis

(konflik batin).6

5

Himawan Pratista, Memahami Film (Yogyakarta: Homerian Pustaka, 2008), h. 2. 6

Himawan Pratista, Memahami Film, h. 43-44. FILM

(31)

c. Lokasi

Tempat/lokasi di dalam film biasanya berfungsi sebagai pendukung narasi di dalam skenario. Pemilihan lokasi dapat membangun cerita sehingga cerita dapat menjadi lebih realistis.

d. Waktu

Waktu dalam narasi film merupakan salah satu aspek penting dalam membangun cerita. Pagi, siang, sore dan malam dalam film memiliki makna sendiri sebagai pembangun suasana narasi film.

Unsur lainnya yang tidak lepas dalam film yaitu narasi. Dalam kajian sastra, kajian narasi atau cerita di dalam suatu karya disebut juga dengan kajian naratologi. Naratologi berasal dari kata narratio dan logos (bahasa Latin). Narratio berarti cerita, perkataan, kisah, hikayat;

logos berarti ilmu. Naratologi juga disebut teori wacana (teks) naratif.

Baik naratologi maupun teori wacana (teks) naratif diartikan sebagai

seperangkat konsep mengenai cerita dan penceritaan. Naratologi

berkembang atas dasar analogi linguistik, seperti model sintaksis,

sebagaimana hubungan antara subjek, predikat, dan objek penderita.7

2) Sinematik

Senematik atau language of film berguna untuk menganalisi textual dari beberapa rangkaian pendek film, video, atau televisi. Bordwell dan Thompson membagi bahasa film menjadi empat

element, yaitu mise-en-scene, cinematography, editing dan sound.

7Asep Yusup Hudayat, Modul ‗

(32)

Semua rangkaian ini saling membantu satu sama lainnya.8 Adapun

definisi mise en adegan (scene), Sinematografi, Editing dan Suara

sebagai berikut.9

a. Mise en Scene

Segala hal yang berada di depan kamera. Empat elemen pokok Mise en Scene yaitu, setting atau latar, tata cahaya, kostum dan

make-up, serta akting dan pergerakan pemain.

b. Sinematografi

Perlakuan terhadap kamera dan filmnya serta hubungan kamera dengan obyek yang diambil.

c. Editing

Transisi sebuah gambar (shot) ke gambar (shot) lainnya.

d. Suara

Segala hal dalam film yang mampu kita tangkap melalui indera pendengaran.

Bahasa film ini bermanfaat sekali bagi kita dalam menganalisis gaya sinematik film. Untuk beberapa rangkaian analisis yang lebih detailnya diperlukan mencatat apa saja yang terjadi dalam setiap kejadian dan pengambilan sudut gambar kamera. Untuk

men-transcribe setiap rangkaian diperlukan menonton lebih dari satu kali rangkaian yang ada dalam film, pause suara film untuk mencatat. Ini akan sangan membantu mengnalisis film tanpa menggunakan suara

sehingga kamu dapat lebih fokus kepada mise-en-scene (conten of the

8Micheal O‘Shaughnessy and Jane Stadler,

Media and Society,(Oxford Universiy, Oxford University Press, 2005), h. 219.

9

(33)

shot), cinematography (how content is filmed), dan editing. Kemudian

dengarkan soundtrack tanpa melihat gambar sehinga kamu dapat fokus

kepada suara. Selanjutnya perhatikan dengan seksama dengan suara kencang dan catatlah hubungan antara suara dan gambar. Kemudian, masukan kedalam catatan eksra detail mengenai durasi sebuah adegan,

dan buat juga catatan tentang tata lampu (lighting), pertunjukan

(performance), serta pendapatmu setiap adegan.10 Dengan pengamatan

yang detail dapat diketahui bagaimana mise-en-scene, cinematography,

editing dan sound dalam sebuah film memiliki makna dan pengaruh yang kuat.

c. Jenis Film

Lebih baik menonton acara-acara yang berkualitas. Tidak semua film itu buruk tetapi ada beberapa film yang baik untuk ditonton. Dalam hal ini kita lebih baik melihat acara apa yang direkomendasikan. Contohnya, bila kita ingin menonton film, sangat baik bila kita membaca resensinya dahulu sebelum kita tonton. Dalam hal ini diri kita sendiri yang menjadi tauladan agar selektif dalam memilih film.

Film fiksi merupakan film yang memiliki struktur narasi yang jelas. Berbeda dengan film dokumenter dan eksperimental yang tidak

memiliki struktur narasi yang jelas: 11

10Micheal O‘Shaughnessy and Jane Stadler,

Media and Society,(Oxford Universiy, Oxford University Press, 2005), h. 219-220.

11

(34)

Secara singkat himawa memahami definisinya sebagai berikut:

1. Film Dokumenter

Film dokumenter berhubungan dengan orang-orang, tokoh, peristiwa, dan lokasi yang nyata. Film dokumenter tidak menciptakan suatuperistiwa atau kejadian namun merekam peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi atau otentik.

2. Film Fiksi

Berbeda dengan film dokumenter, film fiksi terikat oleh plot. Dari sisi cerita, film fiksi sering menggunakan cerita rekaan di luar kejadian nyata serta memiliki konsep pengadeganan yang telah dirancang sejak awal. Struktur cerita film juga terikat hukum kausalitas.

3. Film Eksperimental

Film eksperimental merupakan jenis film yang sangat berbeda dengan dua jenis film lainnya. Film eksperimental tidak memiliki plot namun tetap memiliki struktur. Strukturnya sangat dipengaruhi oleh insting subyektif sineas seperti gagasan, ide, emosi, serta pengalaman batin mereka. Film-film eksperimental umumnya berbentuk abstrak dan tidak mudah dipahami. Hal ini disebabkan karena mereka menggunakan simbol-simbol personal yang mereka ciptakan sendiri.

Pratista menjelaskan metode yang paling mudah

(35)

film-film di dunia telah memunculkan beberapa genre, di antaranya genre aksi, horor, roman, noir, dan sebagainya. Sedangkan fungsi genre itu sendiri untuk mempermudah penikmat film mengklasifikasikan film.

Hal yang perlu kita ketahui juga bahwa setiap film kebanyakan memiliki genre lebih dari satu, bentuk ini biasa diistilahkan dengan genre

hibrida (genre campuran).12 Kebanyakan film memiliki genre yang

variatif, hal ini dikarenakan banyaknya klasifikasi genre yang muncul dan dinamika cerita dalam sebuah film.

[image:35.595.105.518.234.620.2]

Berikut adalah tabel klasifikasi film berdasarkan genre. Klasifikasi Genre Film Induk dan Primer

Tabel 2.113

Genre Induk Primer Genre Induk Sekunder

Aksi Drama Epik Sejarah Fantasi Fiksi-ilmiah Horor Komedi

Kriminal dan Gangster Musikal Petualangan Perang Western Bencana Biografi Detektif Film noir Melodrama Olahraga Roman Superhero Supernatural Spionase Perjalanan Thriller

Genre Induk Primer Genre merupakan genre-genre pokok yang telah ada dan populer sejak awal perkembangan film di tahun 1900-an hingga 1930-an. Beberapa jenis genre induk primer masih berkembang saat ini, namun

12

Ibid, h. 9-11 13

(36)

beberapa yang lain jauh lebih populer dan sukses di masa lalu. Sedangkan genre Induk Sekunder merupakan pengembangan dari genre induk primer yang memiliki karakter dan ciri-ciri khusus dibandingkan dengan genre induk primer.

2. Manfaat Film

Film adalah media yang paling efektif untuk menyampaikan pesan, karena film adalah media komunikasi. Dalam Mukaddimah Anggaran Dasar Karyawan Film dan Televisi 1995 dijelaskan bahwa film bukan semata-mata barang dagangan, tetapi merupakan alat pendidikan dan penerangan yang mempunyai daya pengaruh yang besar sekali atas masyarakat, sebagai alat revolusi dapat menyumbangkan dharma bhaktinya dalam menggalang

kesatuan dan persatuan nasional, membina nasionalitas dan character building

mencapai masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila.

Media film sebenarnya memiliki kekuatan lebih dibandingkan media lain dalam melakukan representasi terhadap kenyataan. Banyak teori menyatakan bahwa film sebaiknya menjadi cerminan seluruh atau sebagian masyarakatnya, atau dengan kata lain terdapat kritik sosial didalamnya. Film sebaiknya mempresentasikan wajah masyarakatnya. Fungsinya sebagai arsip

sosial yang menangkap Zeitgeist (jiwa zaman) saat itu, sehingga penonton

(37)

Dengan menghadirkan wajah masyarakat yang sesungguhnya, maka film itu pelan-pelan akan memfungsikan dirinya menjadi sebuah kritik sosial. Kalau kita setuju dengan hal ini, maka kita bisa menyatakan film seperti Marsinah (Slamet Djarot), Eliana Eliana (Riri Riza), Bendera (Nan Achnas), Arisan! (Nia Dinata), sebagai perjuangan awal kritik sosial generasi baru sineas Indonesia. Mungkin tidak setegas dan sekeras Gie, tapi ini adalah pilihan sang sutradara dalam mengemas kritik.

a. Fungsi Film

Peneliti berargumen bahwa film yang baik adalah film yang didalamnya terdapat pesan-pesan tertentu, termasuk di dalamnya kritik sosial. Riri Riza dan Mira Lesmana menyatakan bahwa semangat utama membuat Gie adalah karena ingin menyalurkan kegelisahannya. Rudy Soedjarwo saat menggarap Mengejar Matahari menyatakan bahwa terlalu sayang kalau film yang sangat ampuh dalam mempengaruhi seseorang itu hanya untuk kepentingan komersial belaka.

(38)

Contoh diatas merupakan hanya sebuah gambaran bahwa negara-negara diberbagai belahan dunia telah memanfaatkan kejadian-kejadian disekitar masyarakat sebagai film yang kemudian digunakan sebagai senjata yang efektif atau sebagai penjabaran terhadap situasi yang sedang dihadapi masyarakat. Namun, hal ini tidaklah mudah mengingat proses tradisi yang panjang yang harus dilalui, baik dalam berkesenian secara umum maupun bertutur melalui film. Saat ini negeri ini belum memiliki keduanya. Paling tidak, cara tutur media film di negeri ini sama sekali

belum ajeg dan belum memiliki tradisi yang panjang.

Dari faktor inilah mengapa media film di Indonesia dipandang sebelah mata dalam menyumbang pertukaran wacana kemasyarakatan yang penting, terlebih dalam melakukan kritik sosial. Dengan beragamnya persoalan bangsa yang sedemikian banyaknya, tidak pantas apabila pembuat film tutup mata terhadapnya.

Perjuangan film nasional dalam menyampaikan kritik sosial juga panjang. Dimulai oleh Usmar Ismail, di tahun 1950, mendirikan Perfini (Perusahaan film nasional Indonesia) dengan Darah dan Doa sebagai produksi pertama yang memperlihatkan problematika para pejuang secara

nyata, disusul Lewat Djam Malam dan Tamu Agung. Lantas, diantaranya,

ada Asrul Sani (Bulan diatas Kuburan, Para Perintis Kemerdekaan),

Sjuman Djaya (Si Mamad, Si Doel Anak Modern, Si Doel Anak

(39)

Kutangkap, Ramadan dan Ramona), dan Arifin C. Noer (Yuyun Pasien Rumah Sakit Jiwa, Taksi).14

Dalam suatu kesempatan, Usmar berdialog dengan Presiden Soekarno dan meminta pendapat tentang gaya (propaganda) film yang sesuai dengan revolusi Indonesia, apakah gaya Russia (yang kurang menghibur namun padat dengan misi) ataukah Hollywood (yang punya pesan yang longgar tapi sangat diminati, dan propagandanya masuk secara halus). Bung Karno saat itu bilang: Ambil jalan tengah, yaitu menghibur tapi kaya akan pesan, seperti neo-realisme Italia. Intinya, apa pun genre

atau alirannya, film bisa menjadi kritik sosial.15

Belakangan ini ada beberapa film dalam negeri yang memiliki muatan kritik sosial, namun jumlahnya tidaklah banyak. Sebut saja film

Marsinahkarya Slamet Rahardjo, Catatan Akhir Sekolah karya Hanung

Bramantyo atau Virgin karya Hanny Saputra mereka mencoba

memberikan semacam komentar terhadap kenyataan yang mereka lihat.

Film-film ini memang memiliki kekuatan kritik sosial, meskipun yang dilakukan hanya pada level melihat kenyataan sebagai sesuatu yang tidak

ideal dan masih terbatas menjadi semacam komentar sosial, social

commentary belum mencapai tingkat kritik yang tajam dan langsung. Gie karya Riri Riza muncul sebagai sesuatu yang penting. Pembuat film ini dengan sadar menggunakan kisah hidup seorang intelektual seperti

14

Benarkah film Indonesia langka dengan kritik sosial, diperoleh dari

http://iechaeruvanoel.multiply.com/journal/item/11/Benarkah-Film-Indonesia-Langka-Akan-Kritik-Sosial, diakses pada 27 september 2012.

15

(40)

Soe Hok Gie untuk berbicara tentang kondisi bangsa saat ini. Film seakan mengingatkan bahwa masih banyak agenda bangsa yang belum selesai dan masih dibutuhkan kaum intelektual yang setia pada pikiran lurus. Dengan tegas film ini memposisikan diri dalam konteks kepolitikan tahun 1960-an serta refleksinya pada kehidupan Indonesia kontemporer. Film ini berhasil menjawab kegelisahan mengenai keberadaan karya film yang seharusnya

bicara kritis tentang kondisi bangsa.16

Film ini sudah berhasil membuka banyak tabu. Selain kritik yang tegas di ujung film terhadap kondisi politik kontemporer, film ini juga bisa jadi membuka wacana tentang pergulatan politik tahun 1965 serta peran PKI di dalamnya. Selama ini hal terakhir ini dibicarakan masih dengan bisik-bisik dan penuh prasangka. Di sinilah menurut saya film seharusnya

bisa menghadirkan wacana yang lebih terbuka dan bebas dari prasangka.17

Kekuatan film-film ini serasa memudar karena film-film yang lahir

setelahnya sangat tidak berbobot dan lebih mengarah kepada

semi-pornography. Seperti film Hantu Puncak Datang Bulan, Pelukan Janda Hantu Gerondong, Suster Keramas 2, dan Pocong Mandi Goyang Pinggul. Hal ini ironis mengingat kondisi politik yang kini relatif bebas untuk berekspresi. Para pembuat film bagai tak menyambut kondisi ini dengan memberi sumbangan yang lebih signifikan untuk kehidupan masyarakat yang lebih luas. Kebanyakan film lebih berorientasi mengejar

16

Harian Kompas, Minggu 17 Juli 2005, oleh Eric sasono 17

(41)

keuntungan dan mengambil jalan mudah dalam mengungkapkan tema dan mencari cara tutur yang baru.

Salah satu fungsi film adalah sebagai kritik sosial. James Monaco

dalam How to Read a Film menyatakan bahwa film bisa dilihat dalam tiga

kategori. Sebagai Cinema (dilihat dari segi estetika dan sinematografi),

Film (hubungannya dengan hal di luar film, seperti sosial dan politik), dan

Movies (sebagai barang dagangan). Saya kira, film sebagai ―Film‖ adalah

fungsi kritik sosial, sementara kita masih sering menduelkan antara

Cinema (art film) dengan Movies (film komersil). Padahal ketiganya bisa saja bersatu di dalam satu film. Bahkan, film yang paling menghibur sekali pun, seperti film-film laris dari Hollywood, punya pesan-pesan kuat bahkan pengaruhnya lebih kuat dari film-film propaganda Russia seperti

yang pernah ditulis Usmar Ismail.18

b. Film Sebagai Produk Budaya

Melalui film sebenarnya kita banyak belajar tentang budaya. Baik itu budaya masyarakat di mana kita hidup di dalamnya, atau bahkan budaya yang sama sekali asing buat kita. Dan kita menjadi mengetahui bahwa budaya masyarakat A begini dan budaya masyarakat B begitu, terutama melalui film.

Film dalam negeri telah hanyut dengan adopsi budaya asing, baik dari cara bicara, tingkah dan tata cara busana, sehingga tidak sedikit film

18

Benarkah film Indonesia langka dengan kritik sosial, diperoleh dari

(42)

dalam negeri yang dikatakan sebagai film asal jadi dan asal laris karena

tidak sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia.19

Oleh karena asuhan budaya ini, setiap individu akan mengalami transformasi pemahaman atau penafsiran khas budaya yang nanti dianggap paling normal, ketika ia menghadapi suatu realitas budayanya. Tidak ada jawaban yang mutlak ketika kita berinteraksi dengan budaya lain, meskipun terkadang kita merasa bahwa cara budaya kita adalah yang paling alami. Hal itu menjadi kegagalan komunikasi, karena sering menimbulkan kesalafahaman, kerugian bahkan malapetaka. Resiko tersebut tidak hanya pada tingkat individu, tetapi juga pada tingkat lembaga, komunitas dan bahkan negara.

Peran budaya sangat besar dalam kehidupan kita. Apa yang kita bicarakan, bagaimana membicarakannya, apa yang kita lihat, perhatikan, atau abaikan, bagaimana kita berpikir, dan apa yang kita pikirkan, dipengaruhi oleh budaya kita. Seperti dikatakan Goodman, manusia telah berkembang hingga ke titik yang memungkinkan, budaya menggantikan naluri dalam menentukan setiap pikiran dan tindakan kita. Termasuk cara kita berkomunikasi adalah hasil dari apa yang diajarkan dalam budaya kita.20

Film dilihat sebagai media sosialisasi dan media publikasi budaya memiliki kekuatan yang ampuh dan persuasif. Buktinya adalah dalam

ajang-ajang festival film semacam Jiffest (Jakarta International Film

19

Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2004), h. 1.

20

(43)

Festival), dan sejenisnya merupakan ajang tahunan yang rutin di selenggarakan di Indonesia. Film-film yang disajikan dalam berbagai ajang festival tadi telah berperan sebagai duta besar kebudayaan mereka sendiri, untuk diperkenalkan kepada masyarakat yang memiliki budaya yang tentunya berbeda dengan dari mana film tersebut berasal.

Begitu pula dengan audiensnya, mereka dengan sadar datang menonton film salah satunya untuk mengenal budaya pihak lainnya. Mereka menonton film Iran karena ingin tahu bagaimana kehidupan sosial budaya masyarakat Iran dan berbagai dinamikanya. Belum lagi film Ceko, Hongaria, Cile, Korea Utara, dan sebagainya.

Sangat disanyangkan unsur-unsur dan nilai budaya sering luput dalam sajian film nasional belakangan ini. Pembuat film merasa tidak bisa atau lebih tepatnya tidak merasa perlu untuk menyajikan nilai budaya sebagaimana yang tersajikan melalui media film. Bijaksana bila film dipahami sebagai representasi budaya. Film digunakan sebagai cerminan untuk mengaca atau untuk melihat bagaimana budaya bekerja atau hidup di dalam suatu masyarakat.

Ketika kita melihat film Ali Topan maka pada dasarnya kita sedang

melihat cerminan dari budaya remaja yang terjadi pada era di mana Ali

Topan itu hidup. Dan ketika kita menonton film Ada Apa Dengan Cinta

maka kita juga sedang melihat representasi budaya remaja era Dian Sastro

dan Nicolas Saputra. Rudy Soedjarwo saat menggarap ―Mengejar

(44)

ampuh dalam mempengaruhi seseorang itu hanya untuk kepentingan komersial belaka.

c. Film sebagai Sarana Pembelajaran

Film Indonesia kian hari kian kehilangan kepercayaan diri. Seakan

menihilkan keberhasilan Laskar Pelangi, Gie, atau Ada Apa dengan Cinta.

Publik pencinta gambar hidup di tanah air secara bertubi-tubi dijejalkan puluhan film yang mengeksploitasi tubuh dan sensualitas.

Reaksi masyarakat terhadap film-film semacam itu memang tidak selalu tunggal seperti layaknya tabiat film itu sendiri, yang menghendaki munculnya multitafsir. Sebagian orang masih menikmati sebagai tontonan, yakni hiburan di kala senggang demi melenyapkan kejenuhan. Banyak pula yang melontarkan caci-maki serta argumen yang masuk akal. Bahkan, ada juga kaum yang sudah kadung antipati tanpa pernah menonton. Perlu diketahui bahwa sebagian besar dari penikmat film yang memilih film bergenre semi-pornografi tersebut bisa jadi karena tidak ada alternatif film lain.

(45)

dibuat, dikemas, dan dikelola dengan baik akan memancing kesadaran masyarakat akan suatu wacana.

Nilai Pendidikan, nilai pendidikan dalam sebuah film bermakna semacam pesan-pesan, atau katakannlah moral film, yang semakin halus penggarapannya akan semakin baik. Dengan demikian penonton tidak merasa digurui. Hampir semua film mengajari, atau memberitahu kita tentang sesuatu. Umpamanya seseorang dapat belajar bagaimana bergaul dengan orang lain, bertingkah laku, lewat film-film yang disaksikan.

Film Hollywood pun kebanyakan berisi hiburan. Kaum terpelajar dapat menikmatinya, lalu orang awam dapat mencernanya. Dengan resep pengolahan seperti itu, film-film Hollywood memenuhi selera publik di seluruh dunia.

Akan tetapi, jangan dilupakan banyak hiburan yang sekadar membuat orang senang, seperti tertawa, tegang, dan bergairah dalam menikmati sensasi gambar, selama satu-dua jam di gedung bioskop. Ada pula hiburan yang lebih dalam yang tertuju pada pikiran maupun emosi. Film dengan hiburan seperti memberikan semacam renungan kepada

penonton untuk dibawa pulang ke rumah.21

Levie & Lents dalam Azhar Arsyad mengemukakan empat fungsi media pembelajaran, khususnya media visual, yaitu fungsi atensi, fungsi

afektif, fungsi kognitif, dan fungsi kompensatoris.22

21

Marselli Sumarno, Dasar-dasar Apresiasi Film, (jakarta, Gramedia, 1996), h. 96-98. 22

(46)

1) Fungsi Atensi

Media visual merupakan inti, yaitu menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang ditampilkan atau menyertai teks materi pelajaran. Media gambar atau animasi yang diproyeksikan

melalui LCD (Liquid Crystal Display) dapat memfokuskan dan

mengarahkan perhatian mereka kepada pelajaran yang akan mereka terima. Hal ini berpengaruh terhadap penguasaan materi pelajaran yang lebih baik oleh siswa.

2) Fungsi Afektif

Fungsi afeksi media visual dapat terlihat dari tingkat keterlibatan emosi dan sikap siswa pada saat menyimak tayangan materi pelajaran yang disertai dengan visualisasi. Misalnya, tayangan video gambar simulasi kegiatan pengelolaan arsip, video penggunaan mesin-mesin kantor, dan sejenisnya.

3) Fungsi kognitif

Fungsi kognitif media visual terlihat dari kajian-kajian ilmiah yang mengemukakan bahwa lambang visual atau gambar memperlancar pencapaian tujuan untuk memahami dan mengingat informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar.

4) Fungsi kompensatoris

(47)

Mendukung pendapat di atas, Sudjana & Rivai menyebutkan

bahwa media pembelajaran dalam proses belajar bermanfaat agar:23

1) Pembelajaran lebih menarik perhatian sehingga menumbuhkan

motivasi belajar siswa.

2) Materi pembelajaran akan lebih mudah dipahami oleh siswa.

3) Metode mengajar menjadi lebih variatif sehingga dapat mengurangi

kebosanan belajar.

4) Siswa lebih aktif melakukan kegiatan belajar

Sedangkan Arif S. Sadiman, dkk. menjelaskan kegunaan media

pembelajaran sebagai berikut:24

1) Memperjelas penyajian pesan.

2) Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera.

3) Mengatasi sikap pasif, sehingga peserta didik menjadi lebih semangat

dan lebih mandiri dalam belajar.

4) Memberikan rangsangan, pengalaman, dan persepsi yang sama

terhadap materi belajar.

B. Semiotika Film

Semiotika merupakan ilmu atau metode yang digunakan untuk

mengkaji tanda. Semiotika berasal dari bahasa Yunani ― semeion‖ yang berarti

―tanda‖, atau ―seme” yang berati ―penafsiran tanda‖. Semiotika berakar dari

studi klasik dan skolastika atas seni logika, retorika dan poetika. ―Tanda‖ pada

23

Sudjana & Rivai, Media Pengajaran, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011) ,h. 2. 24

(48)

masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain.

Contohnya, asap menandai adanya api.25

Hingga saat ini kajian mengenai semiotika dibedakan menjadi dua jenis. Yang pertama adalah semiotika komunikasi. Pada semiotika komunikasi hal yang ditekankan adalah teori tentang produksi tanda yang salah satu diatanya mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan).

Yang kedua adalah semiotika signifikasi. Pada jenis semiotika ini hal yang ditekankan adalah teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu. Namun tidak dipersoalkan adanya tujuan berkomunikasi sehingga proses kognisi pada penerima tanda lebih diperhatikan dari pada proses komunikasi.

Semiotika atau dalam istilah Barthes, semiologi—pada dasarnya

hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal

(things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan

dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa

objek-objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga mengkonstitusi

sistem terstruktur dari tanda.26

Studi tentang semiotika film pada awalnya terbatas pada permasalahan sintaksis, sintagma, gramtikal, yang cenderung pada studi kebahasaan. Meskipun demikian banyak tokoh yang menggunakan trikotomi Peirce (ikon,

25

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung, PT.Rosda Karya, 2009), h. 16-17. 26

(49)

indeks, dan symbol) tersebut. Semakin berkembang, ternyata kajian semiotika film semakin diminati dan akhirnya ditemukanlah sisi yang khas dari analisis semiotik film, yakni perbandingan percakapan, tulisan dan pesan teatrikal. Dalam teks film ada banyak aspek yang bisa dijadikan sebagai unit analisis. Seperti pada tataran visual, kita dapat memaknai teks-teks yang berupa ekspresi dan aksi langsung (acting) para aktornya, setting dimana adegan dibuat, lighting dan angle pengambilannya, serta artefak-artefak lain yang muncul dalam penggambaran ceritanya. Sedangkan pada tataran audio, aspek akustik/ musik, syair lagu, dialog, monolog, sound effect, atau jika ada voice over naratornya.

1. Semiotika Film Roland Barthes

Roland Barthes adalah salah satu tokoh semotika komunikasi yang menganut aliran semiotika komunikasi strukturalisme Ferdinand de Saussures. Semiotika strukturalis Saussures lebih menekankan pada linguistik. Teori semiotika Barthes kerap digunakan untuk menelaah tanda-tanda dalam bentuk iklan. Dengan teori ini, sebuah iklan tidak hanya bisa ditelaah secara apa yang tersurat, melainkan juga yang bisa sampai pada mitos di baliknya.

Semiotika Barthes adalah mengenai konotasi dan denotasi. Barthes mendefinisikan sebuah tanda (sign) sebagai sebuah sistem tanda yang di dalamnya mengansung unsur ekspresi (E) dalam hubungannya (R) dengan isi (C).27

27

(50)

Fiske menyebut menyebut model ini sebagai signifikasi dua tahap (two other of signification). Dimana kunci penting dari konsep semiotika Barthes

adalah connotative. Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi

tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (ekspresi) dan Signified

(konten) didalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Itu yang disebut

Barthes sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda (sigh).

Di dalam semiologi Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Sebagai reaksi untuk melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada hanyalah konotasi. Ia lebih lanjut mengatakan bahwa makna ―harfiah‖

merupakan sesuatu yang bersifat alamiah.

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi,

yang disebutnya sebagai ‗mitos‘ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan

(51)

Pemahaman mitos oleh Rolan Barthes muncul dikarenakan adanya persepsi dari Roland sendiri bahawa dibalik tanda-tanda tersebut terdapat makna yang misterius yang akhirnya dapat melahirkan sebuah mitos.

2. Semiotika Film Christian Metz

Christian Metz adalah orang pertama yang memperkenalkan film sebagai sekumpulan tanda. Baginya film adalah sekumpulan bahasa yang disampaikan dengan seperangkat tanda dan simbol.

Kontribusi penting Metz dalam memahami film terletak pada

bagaimana dia memperkenalkan sebuah konsep cinematis instutitution.

Melalui konsep tersebut Metz mengenalkan, bahwa pengertian film tidak terbatas pada aspek industri yang memproduksi sebuah film saja, melainkan juga aspek lain di luar itu, sehinggan penonton dapat menjadi salah satu bagian dari film dengan cara memposisikan penonton sebagai kesatuan film yang berfungsi sebagai mesin kedua, yaitu bergerak dalam wilayah psikologis. Melalui konsep ini, Metz memaparkan setidaknya ada 3 mesin utama dalam memaknai film secara utuh sebagai bahan penelitian, yaitu outermachine (film sebagai industri), inner machine (psikologi penonton),

third machine (penulis naskah film - kritikus, sejarahwan, teoretikus).28

Bahasa film berbeda dengan bahasa tutur. Bahasa film terwujud dalam kode-kode sinematik. Menurut Metz kode-kode sinematik film ada dua, yaitu kode spesifik dan kode non-spesifik. Kode-kode yang spesifik terdapat pada pergerakan gambar, suara, musik dan komponen film yang lain. Sedangkan

28

(52)

kode sinematik non-spesifik adalah kode-kode dari ‗bahasa‘ lain yang di antaranya sejarah, sastra atau budaya.

Bahasa film, menurut Metz tidaklah berada pada serangkaian gambar yang bergerak di dalam film, melainkan kode-kode yang terkandung dalam setiap gerakan gambar yang tersaji di dalam film. Kode sendiri didefinisikan Metz sebagai sekumpulan tanda yang tampak alami yang membentuk makna tertentu.

Tanda dan simbol tersebut yang nantinya akan mempengaruhi persepsi penonton. Tanda dan simbol yang ditampilkan oleh sineas nantinya akan ditangkap oleh penonton sebagai bahasa. Bahasa ini yang kemudian membentuk persepsi penonton mengenai tanda-tanda yang disajikan.

(53)

3. Tabel Analisis Film Steve Campsall

Steve Campsall merupakan salah seorang pengajar Studi bahasa

Inggris dan Media di The Beauchamp College.29 Pemikirannya yang

mengadopsi pemikiran Metz mengatakan bahwa film adalah kesatuan bahasa dan makna.

Ini kemudian dipahami Steve sebagai Moving Image Texts: ―Film

Language‖. Seperti percakapan, baginya film memiliki bahasa sendiri dalam

menyampaikan pesannya kepada penonton. Para kru dan sineas bekerja menciptakan makna tersebut melalui gambar bergerak di dalam film, sehingga kompleksitas komponen film membuatnya berbeda dengan media lain.

[image:53.595.101.513.278.716.2]

Pergerakan audio visual yang dinamis di dalam film, memunculkan komponen sendiri di dalam kajian semiotikanya. Berikut adalah gambaran atau skema analisi yang dibuat Campsall meneruskan pemikiran Metz:

Tabel Analisi Steve Campsall Tabel 2.2

Signs, Codes and Conventions Semiotika, merupakan sebuah jalan untuk menjelaskan bagaimana tanda itu diciptakan. Di dalam film, tanda-tanda tersebut diciptakan oleh para sineas film atau sutradara. Apa yang kita dengar, kita lihat dan kita rasakan merupakan sesuatu

yang dapat kita persepsikan dan

mengandung sebuah ide. Ide tersebutlah

yang kemudian disebut dengan

‗meaning‘.

Salah satu contoh pemaknaan

penting, misalnya kata-kata pengecut, memiliki lawan heroik. Situasi ini

memungkinkan penafsir memiliki

29

(54)

pendapat yang berbeda, dan ini

dinamakan Binary Opposite. Ada

beberapa komponen dalam memahami semiotika film.

 Signs (tanda): unit makna terkecil

yang bisa kita tafsirkan dan turut menentukan makna keseluruhan.

 Code (kode): dalam semiotika,

sebuah kode adalah sekumpulan tanda yang nampak, ―pas‖, sekaligus ―alami‖ dalam membentuk makna keseluruhan.

 Convention (konvensi): istilah

konvensi itu penting. Ia merujuk pada suatu cara yang sudah

umum dalam mengerjakan

sesuatu. Dan kita sering

mengaitkan sesuatu yang

konvensional dengan hasil yang

pasti, dan menganggapnya

natural.

Perlu kita ketahui pula bahwa tipe tanda dan kode setidaknya terbagi atas 3:

 Ikon : tanda dan kode yang dibuat

untuk menunjukkan sesuatu yang

melekat atau identik pada

sesuatu.

 Indeks : sistem penandaan yang

menggunakan unsur kausalitas atau sebab-akibat

 Simbol : pemaknaan terhadap

sesuatu yang melepaskan secara total makna denotasi pada sesuatu tersebut.

Hal lain yang juga penting untuk

memahami tanda adalah melalui

konvensi. Konvensi merupakan suatu kesepakatan umum yang melekat dalam masyarakat dan dijadikan jalan dalam melakukan suatu pekerjaan. Biasanya

konvensi terwujud dalam suatu

perbuatan.

Mise-En-Adegan Mise-En-Adegan menjawab

(55)

memproduksi? Mengapa dia memproduksi? Dan apa tujuan yang ingin dicapai? Namun, sebenarnya Mise-En-Adegan merupakan segala sesuatu yang dihadirkan para Director atau sutradara ke dalam adegan-adegan, dan rekaman-rekaman yang termuat di dalam kamera melalui aspek Setting, Kostum, Tata Rias, dan Pencahayaan.

Editing Editing merupakan suatu proses

memotong dan menggabungkan

beberapa potongan film menjadi satu. Membuat film tersebut menjadi cerita yang bersambung, dapat dipahami, realistis, mengalir dan naratif.

[image:55.595.102.516.115.751.2]

Shot Types Shot merupakan pengambilan

gambar untuk membangun sebuah

potongan gambar yang naratif dan memberikan makna tersendiri terhadap objeknya. Biasanya shot terkait dengan pengambilan kamera. Seperti Close Up (CU), Point of View (POV) dan Middle Shot (MS).

Camera Angle Sudut kamera, biasanya selalu

menciptakan makna-makna yang

signifikan dengan kondisi atau situasi objek. Seperti sudut kamera POV high

angle shot yang mencerminkan

superioritas atau kekuasaan.

Camera Movement Pergerakan kamera merupakan suatu bentuk penciptaan makna yang dinamis. Perpindahan dari zoom out ke zoom in misalnya, memiliki nilai dan dinamika makna sendiri.

Lighting Pencahayaan merupakan salah satu

aspekpenting dalam film. Pencahayaan dapat menimbulkan suasana dan mood yang menegaskan makna. Kegelapan di hutan misalnya menciptakan makna ketakutan dan kengerian.

(56)

Visual Effects / SFX SFX merupakan gambar generasi komputer (CGI) yang mana tujuannya untuk menciptakan sebuah realitas dan makna melalui efek-efek gambar dan suara.

Narrative Naratif, merupakan unsur film yang

memuat cerita dan kisah khusus di dalam film.

Genre Genre adalah ragam dari naratif

yang sedang dibicarakan di dalam film.

Iconography Ikonografi merupakan aspek penting

dari genre. Hal inilah yang menjadi simbol-simbol pendukung genre. Seperti padang pasir yang mendukung karakter koboi.

<

Gambar

Tabel 2.1  Klasifikasi Genre Film Induk dan Primer .....................................
Gambar 2.1  Unsur Pembentuk Film ...........................................................
Grafika, 2008), h. 161.
Gambar 1.1 Samiotika Roland Barthes
+7

Referensi

Dokumen terkait