ANALISIS PENINGKATAN INTENSITAS CUACA EKSTRIM
DI JABOTA (JAKARTA, BOGOR, TANGERANG)
PERIODE 1980 - 2008
KUKUH RIBUDIYANTO
PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis Analisis Peningkatan Intensitas Cuaca Ekstrim Di JABOTA (Jakarta, Bogor, Tangerang) Periode 1980 - 2008 adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini
ABSTRACT
KUKUH RIBUDIYANTO. Analysis of increasing ext reme weather intensity in Jabota (Jakarta, Bogor, Tangerang) Period 1980 - 2008. Under direction of YONNY KOESMARYONO and SOBRI EFFENDY
Population growth induces land use , particularly in reducing the green open spaces. This changes causes rising of air temperatures and hence increasing frequent events of extreme weather. Based on research in Taiwan, China and Japan, its have been proven that the existence of rising temper ature and frequent extreme weather were caused by land use changes. Daily observed data from Meteorological Stations around urban area of Jabota during the period 1980-2008 was used to determine the increase of air temperature and the frequency of extreme weather events. Besides the surface air temperature, the upper air temperature data period 1988-2008 was also analysed data to examine the increase of air temperature at particular layer. Further, hourly weather data of 2003-2008 from Meteorological Stasion Curug has been used as an example to analyze the time shifts of maximum air temperature and the time of thunderstorms occurrence. The analysis resulted an increase in average temperature in the latest period; increasing frequency of temperatures above 34° C, the increasing frequency of extreme precipitation at some months, especially in the rainy and transition seasons; the increasing frequency of thunderstorms occurrence, the increase of average upper air temperature, especially at surface layer up to 500 mb layer. The results also showed that the maximum temperature occurrence at certain months in dry and transition season to 02: 00 pm and the mostly hour of thunderstorms occurrence was 03: 00 to 05: 00 and from 07: 00 to 08: 00 pm.
ABSTRAK
KUKUH RIBUDIYANTO. Analisis Peningkatan Intensitas Cuaca Ekstrim Di JABOTA (Jakarta, Bogor, Tangerang) Periode 1980 - 2008 . Dibimbing oleh YONNY KOESMARYONO dan SOBRI EFFENDY
Pertumbuhan penduduk mempengaruhi perubahan penggunaan lahan terutama berkurang ruang terbuka hijau. Hal ini mempengaruhi naiknya suhu udara dan meningkatnya cuaca ekstrim. Penelitian di beberapa negara sudah terbukti adanya kenaikan suhu dan cuaca ekstrim sebagai akibat dari perubahan penggunaan lahan seperti Taiwan, Cina dan Jepang. Data yang di gunakan pengamatan cuaca harian stasiun Meteorologi sekitar Jabota kurun waktu antara tahun 1980-2008 dibagi menjadi dua periode (periode 1980-1997 dan 1998- 2008) dan dibandingkan untuk mengetahui peningkatan suhu dan cuaca ekstrim. Data pengamatan udara atas periode tahun 1988-2008 dibagi menjadi dua periode dan dibandingkan untuk mengetahui peningkatan suhu udara atas pada lapisan tertentu. Data cuaca setiap jam antara tahun 2003-2008, stasiun Curug sebagai contoh untuk menganalisis pergeseran waktu kejadian suhu maksimum dan waktu terjadinya badai petir. Hasil analisis menunjukkan adanya peningkatan suhu rata-rata pada periode kedua, meningkatnya frekuensi suhu di atas 34°C, meningkatnya frekuensi curah hujan ekstrim pada bulan-bulan tertentu terutama pada bulan-bulan di musim hujan dan transisi, meningkatnya frekuensi kejadian badai petir, meningkatnya rata-rata suhu udara atas terutama pada lapisan permukaan hingga 500mb, terjadi pergeseran waktu suhu maksimum pada bulan-bulan tertentu di musim kemarau dan transisi pada dari pukul 13.00 mejadi pukul 14.00 wib dan waktu kejadian badai petir tertinggi antara pukul 15.00-17.00 wib dan pukul 19.00-20.00 wib
RINGKASAN
KUKUH RIBUDIYANTO. Analisis Peningkatan Intensitas Cuaca Ekstrim Di JABOTA (Jakarta, Bogor, Tangerang) Periode 1980 - 2008 . Dibimbing oleh YONNY KOESMARYONO dan SOBRI EFFENDY.
Pemanasan global merupakan isu dunia, penggunaan bahan bakar yang berasal dari fosil penggunaan lahan terbuka hijau dan pemanasan lokal dari Urban Heat Island menjadi penyebab naiknya suhu. Kenaikan suhu terjadi di Sanjiang, China selama 30 tahun dari tahun 1970-1999 telah menunjukkan pengaruh dari perkembangan penggunaan lahan dengan berkurangnya la han terbuka hijau sebesar 1,6°C. Kenaikan suhu dan intensitas badai petir sebagai akibat pertumbuhan penduduk yang mempengaruhi perubahan ruang terbuka hijau terjadi di Taipei. Hujan badai petir di musim panas sering terjadi di daerah gunung Kyushu Jepang pada pukul 13.00 hingga 15.00 LT. Rata-rata profil suhu vertikal termodinamik menunjukkan pada hujan badai yang kuat dengan petir adalah lebih tinggi di bawah 850 hPa dan menurunkan di atas 700 hPa. Adapun tujuan penelitian ini adalah menganalisis pola kenaikan suhu terhadap perubahan penggunaan lahan. Menganalisis kenaikan intensitas cuaca ekstrim baik curah hujan, suhu ma ksimum dan kejadian badai petir. Wilayah penelitian di Jakarta, Bogor dan Tangerang. Menggunakan data sekunder dari BMKG, yaitu data harian curah hujan, suhu udara dan cuaca khusus (FKLIM 71) stasiun meteorologi sekitar Jabota tahun 1980 – 2008, data udara atas stasiun meteorologi Cengkareng periode tahu 1988-2008 dan data setiap jam suhu udara dan cuaca khusus dari BMG tahun 2003 – 2008. Serta data perubahan Ruang Terbuka Hijau dalam persen tahun 1983,1992, 2000 dan 2005.
Metode yang digunakan adalah statistik deskriptif. Pertama melihat hubungan antara perubahan ruang terbuka hijau dengan suhu tahunan. Kedua membuat dua periode pengamatan dari data suhu udara rata -rata, suhu udara minimum, suhu udara diatar 34°C, jumlah curah hujan, suhu udara atas. Periode pertama tahun 1980 – 2003 dan periode kedua tahun 2004 – 2008, kemudian membandingkan kedua periode tersebut. Ketiga inventarisasi suhu maksimum harian untuk melihat pergeseran jam terjadinya suhu maksimum dan inventarisasi kejadian badai petir harian untuk melihat kejadian badai petir.
Kurun waktu tahun 1992 – 2005 berkurangnya lahan terbuka hijau wilayah Jakarta sekitar 17% menaikkan suhu sebesar 0.9°C, berkurangnya lahan terbuka hijau wilayah Tangerang sekitar 25% menaikkan suhu sebesar 0.8°C dan berkurangnya lahan terbuka hijau wilayah Bogor sekitar 28% menaikkan suhu sebesar 0.8°C. Pola kenaikan suhu profil udara atas terjadi bulan Januari, Pebruari, Maret, April, Mei, Juli, Oktober, Nopember, Desember dan terjadi penurunan suhu pada bulan Juni, Agustus, September dan pada umumnya pada lapisan permukaan hingga lapisan 500 mb. Terjadi pergeseran suhu maksimum yang biasanya pukul 13.00 wib menjadi 14.00 wib, antara lain pada bulan Januari, Juni, Agustus dan Nopember. Namun terjadi pergeseran suhu maksimum menjadi lebih awal pada pukul 12.00 wib pada bulan Desember. Kejadian badai petir maksimum terjadi antara pukul 15.00 wib – 17.00 wib dan pukul 19.00 wib – 20.00 wib. Kejadian tertinggi pada bulan April pada pukul 19.00 wib.
© Hak Cipta IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
ANALISIS PENINGKATAN INTENSITAS CUACA EKSTRIM
DI JABOTA (JAKARTA, BOGOR, TANGERANG)
PERIODE 1980 - 2008
KUKUH RIBUDIYANTO
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Klimatologi Terapan
PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul : Analisis Peningkatan Intensitas Cuaca Ekstrim Di JABOTA (Jakarta, Bogor, Tangerang) Periode 1980 - 2008
Nama : Kukuh Ribudiy anto NRP : G251070061
Disetujui :
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, M.S Ketua
Dr. Ir. Sobri Effendy, M.Si Anggota
Diketahui:
Ketua Program Studi Klimatologi Terapan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Handoko, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Analisis Peningkatan Intensitas Cuaca Ekstrim Di JABOTA (Jakarta, Bogor, Tangerang) Periode 1980 - 2008
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir Yonny Koesmaryono, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir. Sobri Effendy, M.Si selaku anggota pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada para pimpinan di lingkungan Badan Mete orologi Klimatologi dan Geofísika atas ijin yang diberikan mengikuti pendidikan Pasca Sarjana IPB, pimpinan dan staf di Balai Besar Wilayah II BMKG Ciputat yang telah membantu dalam pengumpulan data, teman satu angkatan Pasca Sarjana yang selalu memberi dukungan moril selama penyusunan karya ilmiah ini. Terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, istri dan anak-anakku atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Demak pada tanggal 21 Mei 1970 oleh Ibu yang bernama Kasminah dan Ayah Waridjan. Penulis merupakan anak ke empat dari lima bersaudara. Menyelesaikan pendidikan dasar pada SDN 1 Mangunrejo Kecamatan Dempet Kabupaten Demak, pendidikan menengah pertama di SMPN 1 Godong Kecamatan Godong Kabupaten Grobogan dan pendidikan menengah atas di STMN 2 Surakarta semuanya propinsi Jawa Tengah.
Pendidikan diploma tiga melalui jalur ikatan dinas di Akademi Meteorologi dan Geofisika Jakarta pada tahun 1991. Diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil pada tahun 1995 di kantor Badan Meteorologi dan Geofisika Pusat di Jakarta hingga sekarang. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia Jurusan Geografi lulus pada tahun 2002
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI... xii
DAFTAR ISI... xiii
DAFTAR TABEL...xv
DAFTAR GAMBAR ...xvi
DAFTAR LAMPIRAN... xxii
1. PENDAHULUAN ...1
1.1 Latar Belakang ...1
1.2 Tujuan ...2
2. TINJAUAN PUSTAKA ...3
2.1 Neraca energi ...3
2.2 Urban Heat Island ...4
2.3 Suhu ...5
2.4 Awan Konvektif ...7
2.5 Presipitasi ...7
2.6 Ruang Terbuka Hijau ...8
2.7 Perubahan Ruang Terbuka Hijau ...8
2.8 Penyebab perubahan iklim menurut IPCC...12
2.9 Perubahan Lingkungan Dan Perilaku Cuaca ...13
2.10 Dampak El Nino Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia ...15
2.11 Cuaca Ekstrim ...17
3. BAHAN DAN METODE ...19
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ...19
3.2 Bahan dan Alat Penelitian...19
3.3 Metodologi ...19
4. HASIL DAN PEMBAHASAN...27
4.1 Perbandingan Suhu Udara Maksimum dan Minimum Musiman Pada Periode Tahun 1980-1996 Dengan Periode Tahun 1997-2008...27
4.2 Perbandingan Frekuensi Suhu Udara Di Atas 34°C Musiman Pada Periode 1980-1996 Dengan Periode Tahun 1997-2008 ...35
4.4 Perbandingan Rata-rata Hari Hujan Musiman Pada Periode
1980-1996 Dengan Periode Tahun 1997-2008 ...48
4.5 Perbandingan Rata -Rata Frekuensi Hujan Di Atas 50 mm Musiman Pada Periode 1980-1996 Dengan Periode Tahun 1997-2008...54
4.6 Perbandingan Rata-rata Frekuensi Hari Petir Musiman Pada Periode 1980-1996 Dengan Periode Tahun 1997-2008 ...61
4.7 Hubungan Antara Kenaikan Suhu Udara Dengan Pengurangan Ruang Terbuka Hijau ...66
4.8 Perbandingan Rata-rata Suhu Udara Atas Bulanan Pada Periode 1980-1996 Dengan Periode Tahun 1997-2008 ...68
4.9 Analisis kejadian suhu maksimum pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2008 ...75
4.10 Analisis kejadian badai petir pada tahun 2003 sampai dengan tahun 2008...77
5. KESIMPULAN DAN SARAN...81
5.1 Kesimpulan ...81
5.2 Saran...82
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Keadaan curah hujan dan intensitas curah hujan ... 8
Tabel 2.2 Dinamika Proporsi Penutupan Lahan Kawasan Jabodetabek ... 9
Tabel 2.3 Dinamika Proporsi RTH Kawasan Jabodetabek... 9
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Urban Heat Island (UHI) atau Pulau Panas Perkotaan ...4
Gambar 2.2 Pembentukan awan konvektif ...7
Gambar 2.3 Perubahan penutupan lahan di Jabodetabek tahun 1983...10
Gambar 2.4 Perubahan penutupan lahan di Jabodetabek tahun 1992...11
Gambar 2.5 Perubahan penutupan lahan di Jabodetabek tahun 2000...11
Gambar 2.6 Perubahan penutupan lahan di Jabodetabek tahun 2005...12
Gambar 2.7 Kenaikan Suhu Permukaan (T) seiring bertambahnya populasi penduduk Taipei...13
Gambar 2.8 Kenaikan Suhu Udara Atas (T) lebih besar di permukaan dibanding lapisan di atasnya antara periode ta hun 1973 -1988 dengan periode 1989 – 2005 ...14
Gambar 2.9 a) Profil Kenaikan Suhu Permukaan (T) di Jakarta b) Grafik perbandingan suhu di BMG Jakarta, Halim P.K. dan Cengkareng ...14
Gambar 2.10 a)Osilasi selatan merupakan timbangan antara wilayah Indonesia dan Pasifik ekuator tumur b) Bagian dunia yang dipengaruhi ENSO ...17
Gambar 3.1 Diagram Alur Penelitian ...20
Gambar 4.1 Grafik perbandingan suhu maksimum dan minimum bulanan (a) dan musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan tahun 1997-2008 stasiun Cengkareng ...28
Gambar 4.2 Grafik perbandingan suhu maksimum dan minimum bulanan (a) dan musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan tahun 1997-2008 stasiun Jakarta 745 ...29
Gambar 4.3 Grafik perbandingan suhu maksimum dan minimum bulanan (a) dan musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan tahun 1997-2008 stasiun Tangerang ...30
Gambar 4.4 Grafik perbandingan suhu maksimum dan minimum bulanan (a) dan musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan tahun 1997-2008 stasiun Tanjung Priok ...30
Gambar 4.5 Grafik perbandingan suhu maksimum dan minimum bulanan (a) dan musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan tahun 1997-2008 stasiun Halim Perdanakusuma ...31
Gambar 4.7 Grafik perbandingan suhu maksimum dan minimum bula nan (a) dan musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan
tahun 1997-2008 stasiun Curug ...32 Gambar 4.8 Grafik perbandingan suhu maksimum dan minimum bulanan
(a) dan musiman (b) antara perio de tahun 1980-1996 dengan
tahun 1997-2008 stasiun Dermaga ...33 Gambar 4.9 Grafik perbandingan suhu maksimum dan minimum bulanan
(a) dan musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan
tahun 1997-2008 stasiun Citeko...34 Gambar 4.10 Grafik selisih antara suhu maksimum dan minimum bulanan
(a) dan musiman (b) antara periode tahun 1980-2008 ...35 Gambar 4.11 Grafik perbandingan frekuensi suhu udara di atas 34°C
bulanan (a) dan musiman (b) antara periode tahun
1980-1996 dengan periode tahun 1997-2008 stasiun Cengkareng ...36 Gambar 4.12 Grafik perbandingan frekuensi suhu udara di atas 34°C
bulanan (a) dan musiman (b) antara periode tahun
1980-1996 dengan periode tahun 1997-2008 stasiun Jakarta 745 ...37 Gambar 4.13 Grafik perbandingan frekuensi suhu udara di atas 34°C
bulanan (a) dan musiman (b) antara periode tahun
1980-1996 dengan periode tahun 1997-2008 stasiun Tangerang...38 Gambar 4.14 Grafik perbandingan frekuensi suhu udara di atas 34°C
bulanan (a) dan musiman (b) antara periode tahun
1980-1996 dengan periode tahun 1997-2008 stasiun Tanjung Priok...38 Gambar 4.15 Grafik perbandingan frekuensi suhu udara di atas 34°C
bulanan (a) dan musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode tahun 1997-2008 stasiun Halim
Perdanakusuma ...39 Gambar 4.16 Grafik perbandingan frekuensi suhu udara di atas 34°C
bulanan (a) dan musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode tahun 1997-2008 stasiun Pondok
Betung ...40 Gambar 4.17 Grafik perbandingan frekuensi suhu udara di atas 34°C
bulanan (a) dan musiman (b) antara periode tahun
1980-1996 dengan periode tahun 1997-2008 stasiun Curug...40 Gambar 4.18 Grafik perbandingan frekuensi suhu udara di atas 34°C
bulanan (a) dan musiman (b) antara periode tahun
1980-1996 dengan periode tahun 1997-2008 stasiun Demaga ...41 Gambar 4.19 Grafik perbandingan jumlah curah hujan bulanan (a) dan
musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode
Gambar 4.20 Grafik perbandingan jumlah curah hujan bulanan (a) dan musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode
tahun 1997-2008 stasiun Jakarta 745 ...43 Gambar 4.21 Grafik perbandingan jumlah curah hujan bulanan (a) dan
musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode
tahun 1997-2008 stasiun Tangerang ...43 Gambar 4.22 Grafik perbandingan jumlah curah hujan bulanan (a) dan
musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode
tahun 1997-2008 stasiun Tanjung Priok ...44 Gambar 4.23 Grafik perbandingan jumlah curah hujan bulanan (a) dan
musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode
tahun 1997-2008 stasiun Halim Perdanakusuma ...45 Gambar 4.24 Grafik perbandingan jumlah curah hujan bulanan (a) dan
musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode
tahun 1997-2008 stasiun Pondok Betung ...45 Gambar 4.25 Grafik perbandingan jumlah curah hujan bulanan (a) dan
musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode
tahun 1997-2008 stasiun Curug ...46 Gambar 4.26 Grafik perbandingan jumlah curah hujan bulanan (a) dan
musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode
tahun 1997-2008 stasiun Dermaga ...47 Gambar 4.27 Grafik perbandingan jumlah curah hujan bulanan (a) dan
musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode
tahun 1997-2008 stasiun Citeko...47 Gambar 4.28 Grafik perbandingan jumlah hari hujan bulanan (a) dan
musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode
tahun 1997-2008 stasiun Cengkareng ...49 Gambar 4.29 Grafik perbandingan jumlah hari hujan bulanan (a) dan
musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode
tahun 1997-2008 stasiun Jakarta 745 ...49 Gambar 4.30 Grafik perbandingan jumlah hari hujan bulanan (a) dan
musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode
tahun 1997-2008 stasiun Tangerang ...50 Gambar 4.31 Grafik perbandingan jumlah hari hujan bulanan (a) dan
musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode
tahun 1997-2008 stasiun Tanjung Priok ...51 Gambar 4.32 Grafik perbandingan jumlah hari hujan bulanan (a) dan
musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode
tahun 1997-2008 stasiun Halim Perdanakusuma ...51 Gambar 4.33 Grafik perbandingan jumlah hari hujan bulanan (a) dan
musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode
Gambar 4.34 Grafik perbandingan jumlah hari hujan bulanan (a) dan musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode
tahun 1997-2008 stasiun Curug ...53 Gambar 4.35 Grafik perbandingan jumlah hari hujan bulanan (a) dan
musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode
tahun 1997-2008 stasiun Dermaga ...53 Gambar 4.36 Grafik perbandingan jumlah hari hujan bulanan (a) dan
musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode
tahun 1997-2008 stasiun Citeko...54 Gambar 4.37 Grafik perbandingan frekuensi hujan di atas 50mm bulanan
(a) dan musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan
periode tahun 1997-2008 stasiun Cengkareng ...55 Gambar 4.38 Grafik perbandingan frekuensi hujan di atas 50mm bulanan
(a) dan musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan
periode tahun 1997-2008 stasiun Jakarta 745 ...56 Gambar 4.39 Grafik perbandingan frekuensi hujan di atas 50mm bulanan
(a) dan musiman (b) antara periode ta hun 1980-1996 dengan
periode tahun 1997-2008 stasiun Tangerang ...57 Gambar 4.40 Grafik perbandingan frekuensi hujan di atas 50mm bulanan
(a) dan musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan
periode tahun 1997-2008 stasiun Tanjung Priok ...57 Gambar 4.41 Grafik perbandingan frekuensi hujan di atas 50mm bulanan
(a) dan musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan
periode tahun 1997-2008 stasiun Halim Perdanakusuma ...58 Gambar 4.42 Grafik perbandingan frekuensi hujan di atas 50mm bulanan
(a) dan musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan
periode tahun 1997-2008 stasiun Pondok Betung ...59 Gambar 4.43 Grafik perbandingan frekuensi hujan di atas 50mm bulanan
(a) dan musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan
periode tahun 1997-2008 stasiun Curug ...59 Gambar 4.44 Grafik perbandingan frekuensi hujan di atas 50mm bulanan
(a) dan musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan
periode tahun 1997-2008 stasiun Dermaga...60 Gambar 4.45 Grafik perbandingan frekuensi hujan di atas 50mm bulanan
(a) dan musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan
periode tahun 1997-2008 stasiun Citeko...61 Gambar 4.46 Grafik perbandingan frekuensi hari petir bulanan (a) dan
musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode
tahun 1997-2008 stasiun Cengkareng ...62 Gambar 4.47 Grafik perbandingan frekuensi hari petir bulanan (a) dan
musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode
Gambar 4.48 Grafik perbandingan frekuensi hari petir bulanan (a) dan musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode
tahun 1997-2008 stasiun Tanjung Priok ...63 Gambar 4.49 Grafik perbandingan frekuensi hari pe tir bulanan (a) dan
musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode
tahun 1997-2008 stasiun Halim Perdanakusuma ...64 Gambar 4.50 Grafik perbandingan frekuensi hari petir bulanan (a) dan
musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode
tahun 1997-2008 stasiun Dermaga ...65 Gambar 4.51 Grafik perbandingan frekuensi hari petir bulanan (a) dan
musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode
tahun 1997-2008 stasiun Pondok Betung ...65 Gambar 4.52 Grafik perbandingan frekuensi hari petir bulanan (a) dan
musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode
tahun 1997-2008 stasiun Curug ...66 Gambar 4.53 Grafik antara kenaikan suhu dengan pengurangan lahan
terbuka hijau pada kurun waktu tahun 2005, 2000, dan 1992
di wilayah Bogor ...67 Gambar 4.54 Grafik antara kenaikan suhu dengan pengurangan lahan
terbuka hijau pada kurun waktu tahun 2005, 2000, dan 1992
di wilayah Tangerang...67 Gambar 4.55 Grafik antara kenaikan suhu dengan pengurangan lahan
terbuka hijau pada kurun waktu tahun 2005, 2000, dan 1992
di wilayah DKI Jakarta ...68 Gambar 4.56 Grafik perbandinga n profil udara atas (lapisan permukaan
hingga 500 mb ) antara periode tahun 1980-1996 dengan
periode tahun 1997-2008 pada bulan Januari ...69 Gambar 4.57 Grafik perbandingan profil udara atas (lapisan permukaan
hingga 500 mb ) antara periode tahun 1980-1996 dengan
periode tahun 1997-2008 pada bulan Pebruari ...70 Gambar 4.58 Grafik perbandingan profil udara atas (lapisan permukaan
hingga 500 mb ) antara periode tahun 1980-1996 dengan
periode tahun 1997-2008 pada bulan Maret ...70 Gambar 4.59 Grafik perbandingan profil udara atas (lapisan permukaan
hingga 500 mb ) antara periode tahun 1980-1996 dengan
periode tahun 1997-2008 pada bulan April ...71 Gambar 4.60 Grafik perbandingan profil udara atas (lapisan permukaan
hingga 500 mb ) antara periode tahun 1980-1996 dengan
periode tahun 1997-2008 pada bulan Mei ...71 Gambar 4.61 Grafik perbandingan profil udara atas (lapisan permukaan
hingga 500 mb ) antara periode tahun 1980-1996 dengan
Gambar 4.62 Grafik perbandingan profil udara atas (lapisan permukaan hingga 500 mb ) antara periode tahun 1980-1996 dengan
periode tahun 1997-2008 pada bulan Juli ...72 Gambar 4.63 Grafik perbandingan profil udara atas (lapisan permukaan
hingga 500 mb ) antara periode tahun 1980-1996 dengan
periode tahun 1997-2008 pada bulan Agustus ...73 Gambar 4.64 Grafik perbandingan profil udara atas (lapisan permukaan
hingga 500 mb ) antara periode tahun 1980-1996 dengan
periode tahun 1997-2008 pada bulan September ...73 Gambar 4.65 Grafik perbandingan profil udara atas (lapisan permukaan
hingga 500 mb ) antara periode tahun 1980-1996 dengan
periode tahun 1997-2008 pada bulan Oktober ...74 Gambar 4.66 Grafik perbandingan profil udara atas (lapisan permukaan
hingga 500 mb ) antara periode tahun 1980-1996 dengan
periode tahun 1997-2008 pada bulan Nopember ...74 Gambar 4.67 Grafik perbandingan profil udara atas (lapisan permukaan
hingga 500 mb ) antara periode tahun 1980-1996 dengan
periode tahun 1997-2008 pada bulan Desember...75 Gambar 4.68 Grafik waktu kejadian suhu maksimum Stasiun Meteorologi
Curug periode tahun 2003-2008 untuk bulan DJF (a), MAM
(b), JJA (c) dan SON (d) ...76 Gambar 4.69 Grafik waktu kejadian badai petir Stasiun Meteorologi
Curug periode tahun 2003-2008 untuk bulan DJF (a), MAM
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Grafik perbandingan profil udara atas (lapisan permukaan hingga 20 mb ) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode tahun 1997-2008 pada bulan Januari ... 85 Lampiran 2 Grafik perbandingan profil udara atas (lapisan permukaan
hingga 20 mb ) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode tahun 1997-2008 pada bulan Pebruari ... 85 Lampiran 3 Grafik perbandingan profil udara atas (lapisan permukaan
hingga 20 mb ) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode tahun 1997-2008 pada bulan Maret ... 86 Lampiran 4 Grafik perbandingan profil udara atas (lapisan permukaan
hingga 20 mb ) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode tahun 1997-2008 pada bulan April ... 86 Lampiran 5 Grafik perbandingan profil udara atas (lapisan permukaan
hingga 20 mb ) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode tahun 1997-2008 pada bulan Mei ... 87 Lampiran 6 Grafik perbandingan profil udara atas (lapisan permukaan
hingga 20 mb ) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode tahun 1997-2008 pada bulan Juni ... 87 Lampiran 7 Grafik perbandingan profil udara atas (lapisan permukaan
hingga 20 mb ) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode tahun 1997-2008 pada bulan Juli ... 88 Lampiran 8 Grafik perbandingan profil udara atas (lapisan permukaan
hingga 20 mb ) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode tahun 1997-2008 pada bulan Agustus ... 88 Lampiran 9 Grafik perbandingan profil udara atas (lapisan permukaan
hingga 20 mb ) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode tahun 1997-2008 pada bulan September... 89 Lampiran 10 Grafik perbandingan profil udara atas (lapisan permukaan
hingga 20 mb ) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode tahun 1997-2008 pada bulan Oktober... 89 Lampiran 11 Grafik perbandingan profil udara atas (lapisan permukaan
hingga 20 mb ) antara periode tahun 1980-1996 dengan periode tahun 1997-2008 pada bulan Nopember ... 90 Lampiran. 12 Grafik perbandingan profil udara atas (lapisan permukaan
hingga 20 mb)antara pe riode tahun 1980-1996 dengan periode tahun 1997-2008 pada bulan Desember... 90 Lampiran 13 Normal suhu udara maksimum wilayah Banten, DKI Jakarta
Lampiran 14 Normal suhu udara maksimum wilayah Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat bulan Pebruari... 91 Lampiran 15 Normal suhu udara maksimum wilayah Banten, DKI Jakarta
dan Jawa Barat bulan Maret... 92 Lampiran 16 Normal suhu udara maksimum wilayah Banten, DKI Jakarta
dan Jawa Barat bulan April ... 92 Lampiran 17 Normal suhu udara maksimum wilayah Banten, DKI Jakarta
dan Jawa Barat bulan Mei ... 93 Lampiran 18 Normal suhu udara maksimum wilayah Banten, DKI Jakarta
dan Jawa Barat bulan Juni... 93 Lampiran 19 Normal suhu udara maksimum wilayah Banten, DKI Jakarta
dan Jawa Barat bulan Juli... 94 Lampiran 20 Normal suhu udara maksimum wilayah Banten, DKI Jakarta
dan Jawa Barat bulan Agustus ... 94 Lampiran 21 Normal suhu udara maksimum wilayah Banten, DKI Jakarta
dan Jawa Barat bulan Septembe r ... 95 Lampiran 22 Normal suhu udara maksimum wilayah Banten, DKI Jakarta
dan Jawa Barat bulan Oktober ... 95 Lampiran 23 Normal suhu udara maksimum wilayah Banten, DKI Jakarta
dan Jawa Barat bulan Nopember ... 96 Lampiran 24 Normal suhu udara maksimum wilayah Banten, DKI Jakarta
1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
IPCC (Intergovernmental Panel Climate Change) tahun 2007
mempublikasikan penggunaan lahan terbuka hijau dan penggunaan bahan bakar fosil menjadi penyebab naiknya suhu udara. Kecenderungan temperatur global terbentuk dari pemanasan lokal dari Urban Heat Island (UHI). Climatic Research Unit (CRU)
UK Met. dan IPCC menyatakan atmosfer mengalami pemanasan sebesar 0.6 sampai 0.8 derajat Celsius sejak era abad 19. Kenaikkan suhu sebesar 1,6°C di Sanjiang, China selama 30 tahun antara tahun 1970-1999 akibat penggunaan lahan dengan berkurangnya lahan terbuka hijau (Wang et al. 2005). Penelitian sama terjadi di kota Bandung dengan meningkatnya lahan pemukiman dari 19.868 Ha di Tahun 1991 menjadi 26.993 Ha di Tahun 2001 menyebabkan kenaikan suhu udara pada kisaran 23°C – 33°C. Hal ini mengindikasikan UHI yang terbentuk di pusat Kota Bandung semakin meluas ke daerah sekelilingnya dengan bertambahnya kisaran suhu tersebut (Hermawan, 2005).
Kenaikan suhu dan intensitas badai petir sebagai akibat pertumbuhan penduduk yang mempengaruhi perubahan ruang terbuka hijau terjadi di Taipei (Chen
et al, 2006). Hujan badai petir di musim panas sering terjadi di daerah gunung Kyushu Jepang pada pukul 13.00 hingga 15.00 LT. Rata-rata hujan badai petir lebih tinggi terjadi pada profil suhu udara atas di bawah 850 hPa dan menurunkan di atas 700 hPa (Kawano dan Watanabe , 2005). Perubahan ruang terbuka hijau juga mempengaruhi kejadian cuaca ektrim diantaranya kejadian angin kencang atau puting beliung dan curah hujan yang sangat besar dalam waktu hitungan jam. Seperti yang dilangsir media massa telah terjadi angin kencang yang merusak, tanah longsor dan banjir di wilayah Indonesia akhir-akhir ini. Banjir lokal di sekitar Kelapa Gading dan Pulo Mas pada tanggal 18 Januari 2009 yang mempunyai curah hujan di atas 200 mm/hari.
Jakarta sebuah kota metropolitan dan Tangerang, Depok, Bogor yang merupakan daerah penyangga sangat pesat perkembangan pembangunan seiring dengan laju urbanisasi dan perkem bangan penduduk. Perubahan terhadap penggunaan lahan terbuka hijau juga tinggi.
badai petir dan perubahan pola udara atas selang waktu lima tahunan seiring perubahan penggunaan lahan di wilayah tersebut. Untuk itu perlu adanya kajian yang mendalam sehingga penataan tata guna lahan tidak terlalu mengganggu lingkungan.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
• Menganalisis kenaikan intensitas cuaca ekstrim baik curah hujan, suhu maksimum dan kejadian badai petir di Jabota (Jakarta, Bogor, Tangerang) .
2.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Neraca energi
2.1.1 Radiasi Neto
Energi yang sampai pada suatu permukaan harus sama dengan energi yang meninggalkan permukaan pada waktu yang sama, semua fluks energi harus dipertimbangkan ketika persamaan keseimbangan energi ditentukan (Allen, et al,
1998 diacu dalam Hermawan, 2005). Persamaan dari Neraca Energi permukaan dapat dituliskan sebagai :
Rn=G+H+?E...(1) di mana :
Rn = Radiasi Netto (Wm−2)
G = Fluks Pemanasan Tanah (Wm−2)
H = Fluks Pemanasan Udara (Wm−2)
?E = Fluks Pemanasan Uap Air (Wm−2)
Radiasi netto (Rn) merupakan selisih antara gelombang pendek matahari dan gelombang panjang yang datang ke permukaan dengan gelombang pendek dan gelombang panjang yang keluar (hilang).
↑ ↓ ↑
↓− + −
=RS RS RL RL
Rn ...(2)
di mana :
Rn = Radiasi netto (Wm−2)
↓ s
R = Radiasi pendek yang datang (Wm−2)
↑
s
R = Radiasi pendek yang keluar (Wm−2) ↓
L
R = Radiasi panjang yang datang (Wm−2) ↑
L
R = Radiasi panjang yang keluar (Wm−2)
Energi radiasi gelombang pendek yang dipantulkan oleh suatu permukaan ( RS↑), dapat diduga dari sensor satelit yang menerima kisaran panjang gekombang pendek. Pada citra satelit Landsat kisaran panjang gelombang pendek diterima oleh kanal
2.1.2 Albedo
Albedo ( a ) merupakan suatu perbandinga n dari radiasi gelombang pendek
yang dipantulkan oleh suatu permukaan dengan radiasi gelombang pendek yang datang pada permukaan tersebut.
↓ ↑
=
S S
R R
α ...(3) di mana :
a = Albedo permukaan ↑
s
R = Radiasi pendek yang keluar (Wm−2) ↓
s
R = Radiasi pendek yang datang (Wm−2)
2.2 Urban Heat Island
Urban Heat Island (UHI) atau Pulau Panas Perkotaan merupakan sebuah
fenomena di mana suhu udara daerah perkotaan (urban) yang padat bangunan, lebih
tinggi 1-6°C dibandingkan daerah daerah sekitarnya daerah pinggiran/rural (Howard,
diacu dalam Tursilowati 2008).
Sumber: Howard (dalam Tursilowati 2004)
Gambar 2.1. Urban Heat Island (UHI) atau Pulau Panas Perkotaan
Menurut Landsberg (1981), pulau panas ini disebabkan karena adanya perbedaan dalam pemakaian energi, penyerapan, penukaran bahang laten dan turbulen. Givoni (1989) menyatakan suhu yang tertinggi akan terdapat di pusat kota, dan akan menurun secara bertahap ke arah pinggir kota sampai ke desa. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor berbeda yang tidak terikat satu sama lain sehingga
menyebabkan pulau panas tersebut, antara lain ;
Desa Komersil Perumahan Perumahan Perumahan dalam kota daerah pinggir Daerah pinggir Pusat kota Taman
1. Perbedaan keseimbangan seluruh radiasi netto antara daerah perkotaan dengan daerah terbuka di sekitarnya.
2. Penyimpanan energi matahari pada gedung-gedung di kota selama siang hari dan dilepaskan pada malam hari.
3. Konsentrasi panas yang dihasilkan oleh aktivitas sepanjang tahun di kota (transportasi, industri dan sebagainya).
4. Evaporasi dari permukaan dan vegetasi yang lebih rendah di daerah kota dibandingkan dengan daerah desa yang permukaanya lebih terbuka.
Pulau panas perkotaan terbentuk jika permukaan vegetasi digantikan oleh aspal dan beton untuk jalan, bangunan, dan struktur lain yang diperlukan untuk mengakomodasi pertumbuhan populasi manusia. Perubahan tersebut lebih banyak menyerap panas matahari dan juga lebih banyak memantulkannya, sehingga menyebabkan temperatur permukaan dan suhu lingkungan naik. (Wypych, et a l., 2003 diacu dalam Hermawan, 2005) mengungkapkan bahwa perubahan penutupan lahan di wilayah perkotaan mempengaruhi jumlah transfer panas (heat flux) dan jumlah energi
radiasi yang dipantulkan dan energi radiasi yang diterima oleh suatu permukaan (neraca energi), penerimaan air di permukaan (neraca air) dan kesehatan terhadap manusia. Salah satu yang menyebabkan peningkatan suhu udara adalah transfer energi panas (heat flux). Dalam wilaya h perkotaan transfer panas ini, selain dipengaruhi oleh
suhu permukaan juga dipengaruhi oleh adanya efek gedung yang tinggi, transfer panas dari transportasi dan transfer panas dari daerah industri.
2.3 Suhu
Fluktuasi Suhu Harian
meskipun penerimaan energi matahari setelah tengah hari berkurang tetapi masih lebih besar daripada yang hilang. Penerimaan lebih kecil daripada yang hilang baru terjadi kira-kira pukul 13.00.
Kadang-kadang hubungan antara naik-turunnya temperatur dengan isolasi itu kurang nampak. Hal ini karena beberapa faktor yang berpengaruh. Misalnya saja adanya awan yang menyebabkan gangguan terhadap radiasi yang diterima dan hilang dari permukaan bumi.
Fluktuasi Temperatur Tahunan
Fluktuasi temperatur tahunan berubah-rubah dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Fluktuasi tersebut berhubungan erat dengan lintang bumi. Di katulistiwa fluktuasi ini kecil dan makin jauh dari katulistiwa makin besar untuk mempermudah pengertian fluktuasi temperatur ini, dapat dibedakan menjadi tiga pola fluktuasi:
1. Pola katulistiwa
Pola katulistiwa ini fluktuasi temperatur tahunan kecil. Lebih kecil daripada fluktuasi temperatur harian. Pola katulistiwa ini mempunyai dua maksimum dan dua minimum yang terjadi berturut-turut pada saat matahari berada di daerah itu dan pada saat berada di garis balik
2. Pola daerah sedang
Dalam pola ini menunjukkan fluktuasi temperatur yang besar. Fluktuasi ini akan diperbesar jika suatu daerah terletak di tengah benua, dan akan lebih kecil jika berdekatan dengan laut. Fluktuasi tahunan untuk pola sedang ini lebih besar daripada fluktuasi harian, untuk pola ini hanya ada satu maksimum dan satu minimum.
3. Pola daerah kutub
Pola ini menunjukkan fluktuasi sangat besar. Dalam hal ini besarnya juga tergantung pada letaknya. Di tengah benua atau di dekat laut. Pola ini hanya mempunyai satu maksimum dan satu minimum.
mempunyai dataran lebih tinggi dan suhu udara maksimum terbesar di wilayah Jakarta, Tangerang dan Bekasi.
2.4 Awan Konvektif
[image:30.612.176.473.341.555.2]Awan konvektif jenis cumulus sering dijumpai di Indonesia. Beberapa jenis awan ini tumbuh menjadi badai petir yang dapat menyebabkan petir dan kilat. Badai petir konvektif disebabkan oleh pemanasan permukaan akibat radiasi matahari. Badai ini ditandai oleh pertumbuhan vertikal yang cepat dan dapat menghasilkan hujan lebat lokal (shower), kadang-kadang menghasilkan hujan es. Indonesia merupakan benua maritim yang menerima radiasi matahari dalam jumlah besar, dan melepaskan panas laten kondensasi dalam jumlah yang besar pada saat pembentukan awan cumulus atau awan petir (Cumulonimbus). Proses yang menyebabkan formasi awan konvektif adalah konveksi gaya apung yang menyatakan konversi energi potensial menjadi energi kinetik (Tjasyono, 2008)
Gambar 2.2 Pembentukan awan konvektif
2.5 Presipitasi
Tabel 2. 1 Keadaan curah hujan dan intensitas curah hujan Keadaan curah hujan Intensitas curah
hujan (mm) 1 jam 24 jam Hujan sangat ringan
Hujan ringan Hujan sedang Hujan lebat Hujan sangat lebat
<1 1-5 2-10 10-20
>20
<5 5-20 20-50 50-100
>100 Sumber: Takeda (1976)
2.6 Ruang Terbuka Hijau
Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tantang Penataan Ruang, yang dimaksud Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka untuk tumbuh tanaman baik yang tumbuh secara alami maupun yang sengaja ditanam.
Peranan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di perkotaan sangat besar yaitu sebagai penyumbang ruang bernafas, keindahan visual, sebagai paru-paru kota, sumber air dalam tanah, mencegah erosi, keindahan dan kehidupan satwa, dan sebagai unsur pendidikan (Simons 1983. diacu dalam Agrissantika 2007).
Keberadaan RTH di perkotaan juga memiliki pengaruh dalam meningkatkan kualitas suhu udara, dalam hal ini menurunkan suhu udara akibat efek rumah kaca yang mengakibatkan suhu udara naik, dimana terjadi pemanasan permukaan bumi oleh radiasi matahari yang sebagian diserap oleh atmosfer yang mengandung molekul CO2 dan sebagian lagi dipantulkan kembali ke Bumi sehingga menyebabkan naiknya suhu permukaan bumi secara global Tanaman sebagai elemen utama RTH, mempunyai peran yang sangat pentingdalam kelangsungan hidup dari makluk hidup di dunia dan membantu mengurangi pengaruh dari efek rumah kaca di permukaan Bumi, dimana tanaman mengalami proses kimia yang penting bagi lingkungan sekitarnya (Prawinata et al, 1995 diacu dalam Agrissantika 2007)
2.7 Perubahan Ruang Terbuka Hijau
tahun 1997 turun sebesar 4% menjadi 57% dan pada tahun 2004 kembali berkurang menjadi 50%. Dan bertambahnya Ruang Terbangun (RTB) di wilayah Jabodetabek yang diwakili pada Gambar 2. 3 yang merupakan perkembangan RTB pada tahun 1983, 1992, 2000 dan tahun 2005. Dan pada Tabel 2. 2 menunjukkan dinamika proporsi
penutupan lahan kawasan Jabodetabek, dimana Ruang Terbangun meningkat dari 2%
ditahun 1972 hingga 29% ditahun 2005 dan RTH menurun dari 74% ditahun 1972 menjadi 63% ditahun 2005. Lebih rinci dinamika proporsi RTH kawasan Jabodetabek setiap wilayah administrasi ditunjukkan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.2 Dinamika Proporsi Penutupan Lahan Kawasan Jabodetabek
Kelas Penutupan Lahan Proporsi Penutupan Lahan
1972 1983 1992 2000 2005
Ruang Terbangun 2% 9% 11% 23% 29%
RTH 74% 73% 75% 62% 63%
Ladang/upland/bareland 23% 17% 11% 13% 6%
Badan Air 0% 0% 0% 0% 1%
Tambak 1% 2% 2% 2% 2%
Sumber: Agrissantika (2007)
Tabel 2.3 Dinamika Proporsi RTH Kawasan Jabodetabek
KABUPATEN / KOTA
Proporsi Ruang Terbuka Hijau
1972 1983 1992 2000 2005
Kab. Bogor 96% 95% 93% 82% 84%
Kota Bogor 92% 87% 71% 49% 43%
Kab. Bekasi 53% 49% 66% 57% 61%
Kota Bekasi 72% 70% 64% 40% 32%
Kota Depok 84% 90% 88% 65% 49%
Kab. Tangerang 55% 69% 73% 54% 59%
Kota Tangerang 54% 44% 46% 27% 21%
DKI Jakarta 51% 31% 28% 16% 11%
Tabel 2.4 Dinamika Proporsi Ruang Terbangun Kawasan Jabodetabek
KABUPATEN / KOTA
Proporsi Ruang Terbangun
1972 1983 1992 2000 2005
Kab. Bogor 0% 1% 2% 10% 12%
Kota Bogor 3% 11% 26% 49% 55%
Kab. Bekasi 0% 8% 2% 11% 11%
Kota Bekasi 1% 13% 24% 55% 65%
Kota Depok 0% 3% 10% 34% 49%
Kab. Tangerang 0% 6% 6% 21% 28%
Kota Tanger ang 3% 16% 36% 64% 74%
DKI Jakarta 20% 50% 64% 80% 86%
Sumber: Analisa Citra Lansat TM, Agrissantika (2007)
Sumber: Agrissantika 2007
Sumber: Agrissantika 2007
Gambar 2.4 Perubahan penutupan lahan di Jabodetabek tahun 1992
Sumber: Agrissantika 2007
Gambar 2.5 Perubahan penutupan lahan di Jabodetabek tahun 2000 Stasiun Meteorologi
[image:34.612.132.503.365.629.2]Sumber: Agrissantika 2007
Gambar 2.6 Perubahan penutupan lahan di Jabodetabek tahun 2005
2.8 Penyebab perubahan iklim menurut IPCC
IPCC (2001) menyatakan : jika kita ingin mengerti, mendeteksi dan akhirnya memprediksi pengaruh manusia terhadap iklim, kita harus mengerti system yang menentukan iklim bumi dan proses yang memicu perubahan iklim. Iklim bumi secara keseluruhan bergantung pada faktor -faktor yang mempengaruhi keseimbangan radiasi, misalnya, komposisi atmosfer, radiasi matahari dan erupsi gunung api. Juga ditekankan bahwa iklim ditentukan oleh sirkulasi atmosfer dan interaksinya dengan arus laut skala besar, dan karakteristik daratan seperti albedo, vegetasi dan kelembapan tanah.
Perubahan iklim sangat dikendalikan oleh aktivitas manusia. Hampir sebagian besar perhatian tertuju pada identifikasi pengaruh manusia pada perubahan iklim. Pengaruh manusia ini meliputi pembakaran bahan bakar, pembakaran biomassa, dan produksi gas-gas rumah kaca dan aerosol yang berdampak pada gaya radiasi. Perubahan tata guna lahan (pertanian, irigasi, pembukaan hutan, dan reforestasi) mempengaruhi property fisika dan biologi dari permukaan bumi, dan perkembangan kota-kota besar memicu pembentukan heat island dengan dampak yang sangat lokal.
Uap air ada lah gas rumah kaca yang terkuat, uap air adalah pusat iklim, variabilitasnya dan perubahannya. Jangan lupa juga bahwa variasi konsentrasi uap air tidak hanya bergantung pada peningkatan CO2, bisa juga bergantung pada banyak faktor, khususnya dinamika transfer (yang tidak disebutkan) Leroux M. (2005).
2.9 Perubahan Lingkungan Dan Perilaku Cuaca
Meningkatnya populasi penduduk di Taipei setiap tahunnya merubah ruang terbuka hijau menjadi berkurang sehingga kenaikan suhu permukaan kota tersebut tidak bisa dielakkan sejak tahun 1960 hingga 2005 seperti terlihat pada Gambar 3. serta mempengaruhi perilaku cuaca dengan peningkatan kejadian Thunderstorm dan juga perubahan profil suhu udara keatas menjadi meningkat.
[image:36.612.185.456.303.547.2]
Sumber: Chen. et al 2007
Sumber: Chen. et al 2007
Gambar 2.8 Kenaikan Suhu Udara Atas (T) lebih besar di permukaan dibanding lapisan di atasnya antara periode tahun 1973 -1988 dengan periode 1989 – 2005
Berkembangnya wilayah Jakarta dan sekitarnya mempunyai andil yang sangat besar berkurangnya ruang terbuka hijau sehingga dalam penelitia nnya Mas’at tahun 2008 menunjukan menaikan suhu rata-rata tahunan. Dalam 23 tahun terakhir secara rata-rata suhu udara di perkotaan mengalami laju kenaikan sebesar 0.17°C. Suhu perkotaan lebih besar kenaikannya dari pada di wilayah pinggiran (Cengkareng dan Halim Perdana Kusuma) yaitu sebesar ± 0.8°C.
Sumber: Mas’at A. 2008
[image:37.612.250.396.75.289.2]a) b)
2.10 Dampak El Nino Terhadap Perubahan Iklim di Indonesia
Dalam tulisannya Mulyono dan N icholls (2002) EI Nino dari bahasa Spanyol yang artinya ’anak laki-laki' - karena dekat dengan perayaan natal bagi umat kristen di bulan Desember setiap tahun, perairan lepas pantai Peru agak menghangat.
Ketika, setiap tiga hingga enam tahun, perairan tersebut menjadi hangat tidak seperti biasanya, EI Nino memberikan dua pertanda kepada penduduk disekitarnya; yaitu, turunnya hujan di daerah yang biasanya merupakan daerah agak gersang/kering sehingga menimbulkan kebanjiran yang meluas dan sangat menurunnya hasil tangkapan ikan anchovy. Air laut dalam yang naik kepermukaan (upwelling) yang
kaya nutrisi merupakan makanan bagi populasi ikan; dan ketika upwelling terhenti
mengakibatkan ikan-ikan mati.
EI Nino sekarang merupakan sebagai istilah yang dipergunakan lebih luas dalam kaitannya dengan penghangatan suhu muka lautyangtidak wajar yang berakibat pada cuaca. EI Nino sering dipasangkan dengan 'Southern Oscillation/Osilasi Selatan'
dengan singkatan ENSO.
La Nina sekarang lebih terkenal untuk menyebut lawannya El Nino yang terjadi pada saat perairan di Pasifik bagian timur dingin secara tidak wajar. Episoda-episoda La Nina diasosiasikan dengan curah hujan yang lebih banyak di Indonesia bagian timur dan kemar au berkepanjangan di Peru.
Sebagai indikator lemah kuatnya El Nino dilihat dari Indek Osilasi Selatan. Dimana Osilasi Selatan merupakan suatu 'sistim timbangan' tekanan udara antara wilayah Pasifik ekuator bagian timur dan wilayah Indonesia; yaitu, ketika tekanan udara permukaan di salah satu wilayah tersebut tinggi secara tidak wajar biasanya akan diimbangi dengan tekanan udara permukaan yang rendah secara tidak wajar di wilayah satunya.
Osilasi tekanan udara yang bergerak lamban dan berskala besar ini mempengaruhi curah hujan di wilayah Indonesia bagian timur yang secara umum dipengaruhi oleh monsun austral. Namun demikian pengaruhnya akan dapat berbeda-beda di suatu kepulauan dan pada waktu yang berberbeda-beda.
dan beberapa bagian Afrika dan pada saat yang bersamaan menyebabkan banjir di Amerika Utara dan Selatan dan dikepulauan-keulauan Pasifik Tengah.
Osilasi Selatan Timbul sebagai akibat dari hasil interaksi antara lautan dan atmosfer diwilayah Pasifik ekuator. Setiap kejadian El Nino tidak berdampak langsung terhadap wilayah Indonesia. Suhu perairan wilayah Indonesia berfungsi sebagai pengendali dari kekuatan El Ñino dalam menarik massa uap air dari wilayah Indonesia. Ketika El Nino aktif dan suhu muka laut diwilayah Indonesia masih hangat pengaruh berkurangnya curah hujan tidak besar. Dan sebaliknya ketika El Nino aktif di dukung suhu muka laut wilaya h perairan Indonesia dingin dampak kekeringan di Indonesia sangat besar seperti pada Tabel 2.5 dampak El Nino yang sangat kuat pada tahun 1997 dimana suhu muka laut di Pasifik Tengah cukup hangat (anomalinya +2,7-3,2°C) dan suhu muka laut di wilayah Indonesia dingin (anomalinya -0,2°C)
Tabel 2.5. Kejadian El Nino dalam kurun waktu 1957 - 2009
a) b) Sumber: Mulyono dan Nicholls (2002)
Gambar 2. 10 a)Osilasi selatan merupakan timbangan antara wilayah Indonesia dan Pasifik ekuator tumur b) Bagian dunia yang dipengaruhi ENSO
2.11 Cuaca Ekstrim
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika dalam Peraturan KBMKG Nomor: Kep. 009 Tahun 2010 tentang Prosedur Standar Operasional Pelaksanaan Peringatan Dini, Pelaporan, Dan Diseminasi Inf ormasi Cuaca Ekstrim. Menetukan
unsur-unsur cuaca yang dianggap ekstrim kejadian cuaca yang tidak normal, tidak lazim yang dapat mengakibatkan kerugian terutama keselamatan jiwa dan harta antara lain:
• Angin Kencang adalah angin dengan kecepatan diatas 25 (dua puluh lima) knots atau 45 (empat puluh lima) km/jam.
• Angin Puting Beliung adalah angin kencang yang berputar yang keluar dari awan Cumulonimbus dengan kecepatan lebih dari 34,8 (tiga puluh empat
koma delapan) knots atau 64,4 (enam puluh empat koma empat) kilometer (km)/jam dan terjadi dalam waktu singkat.
• Hujan Lebat adalah hujan dengan intensitas paling rendah 50 (lima puluh) milimeter (mm)/24 (dua puluh empat) jam dan/atau 20 (dua puluh) milimeter (mm)/jam.
• Hujan es adalah hujan yang berbentuk but iran es yang mempunyai garis tengah paling rendah 5 (lima) milimeter (mm) dan berasal dari awan
• Jarak Pandang Mendatar Ekstrim adalah jarak pandang mendatar kurang dari 1000 (seribu) meter.
• Suhu Udara Ekstrim adalah kondisi suhu udara yang mencapai 3º C (tiga drajat celcius) atau lebih di atas nilai normal setempat.
• Siklon tropis adalah sistem tekanan rendah dengan angin berputar siklonik yang terbentuk di lautan wilayah tropis dengan kecepatan angin minimal 34,8 (tiga puluh empat koma delapan) knots atau 64,4 (enam puluh empat koma empat) kilometer (km)/jam disekitar pusat pusaran.
• Angin Puting Beliung di Lautan yang selanjutnya disebut Waterspout adalah
angin kencang yang berputar yang keluar dari awan Cumulonimbus dengan
kecepatan lebih dari 34,8 (tiga puluh empat koma delapan) knots atau 64,4 (enam puluh empat koma empat) kilometer (km)/jam dan terjadi di laut dalam waktu singkat .
• Gelombang Laut Ekstrem adalah gelombang laut signifikan dengan ketinggian lebih besar dari atau sama dengan (=) 2 (dua) meter.
• Gelombang Pasang (storm surge) adalah kenaikan permukaan air laut diatas
3.
BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Te mpat Penelitian
Waktu penelitian tahun 2009 – 2011, tempat di Badan Meteorologi Klimatotologi dan Geofisika) BMKG dan Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran Udara Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB.
3.2 Bahan dan Alat Penelitian
Wilayah penelitian di Jakarta, Bogor, dan Tangerang yang terletak di koordinat 100°25’-107°40’ BT dan 07°30’ – 07°45’ LS
Bahan yang digunakan adalah data sekunder antara lain:
• Data bersumber dari BMKG, yaitu data harian curah hujan, suhu udara dan cuaca khusus (FKLIM 71) stasiun meteorologi sekitar Jabodetabek tahun 1980 – 2008, data udara atas stasiun meteorologi Cengkareng periode tahu 1988-2008 dan data setiap jam suhu udara dan cuaca khusus dari BMG tahun 2003 – 2008.
• Data perubahan Ruang Terbuka Hijau dalam persen tahun 1983,1992, 2000 dan 2005 ( Agrissantika, 2007)
Alat yang digunakan adalah:
• Komputer
• Software: Microsoft Exel
3.3 Metodologi
3.3.1. Pengolahan data
Gambar 3.1 Diagram Alur Penelitian
Unsur-unsur meteorologi yang di analisis antara lain:
• Suhu Udara Maksimum
Merata-rata suhu maksimum musiman dan di buat dalam dua periode .
m x i b Bi
m x T
n
T = 1
∑
...(4)Bi m x i t i B
m x T
n
T ('80−'96) = 1
∑
...(5)Bi m x i t i B
m x T
n
T ('97−'08) = 1
∑
...(6)Dimana:
b
n = jumlah data harian dalam sebulan
t
n = jumlah data musiman selama lima tahunan
SUHU (T) CURAH HUJAN (CH) BADAI PETIR (TS)
T MAKS T MIN T >34°C
JUMLAH HUJAN HARI HUJAN
CH > 50 mm DATA FKLIM 71 (TH 1980 -2008)
DUA PERIODE THN 1980 -1996 THN 1997 -2008
POLA PERBANDINGAN T MAKS, T MIN, T >34°C
POLA PERBANDINGAN BADAI PETIR POLA PERBANDINGAN
m x
T = Suhu udara maksimum harian i = bulan (1,2,3,...,12)
Bi mx
T = Rata-rata suhu udara maksimum musiman
i B m x
T ('80−'96) = Rata-rata suhu udara maksimum musiman tahun 1999-2003
i B m x
T ('97−'08)= Rata-rata suhu udara maksimum musiman tahun 2004-2008
• Suhu Udara Minimum
Merata-rata suhu minimum musiman dan di buat dalam dua periode.
mn i b Bi mn T n
T = 1
∑
...(7)Bi mn i t i B mn T n
T ('80−'96) = 1
∑
...(8)Bi mn i t i B mn T n
T ('97−'08) = 1
∑
...(9)Dimana:
b
n = jumlah data harian dalam sebulan t
n = jumlah data musiman selama lima tahunan
mn
T = Suhu udara minimum harian i = bulan (1,2,3,...,12)
Bi mn
T = Rata-rata suhu udara minimum musiman i
B mn
T ('80−'96) = Rata-rata suhu udara minimum musiman tahun 1999-2003
i B mn
T ('97−'08) = Rata-rata suhu udara minimum musiman tahun 2004-2008
• Suhu Udara Ekstrim
Inventarisasi data suhu udara selama 28 tahun dan memilah data suhu udara yang mempunyai kreteria suhu udara di atas 34°C.
C T
Tx = n ≥34° ...(10)
x i
Bi T
T =
∑
...(11)Bi i i
B T
T ('80−'96) =
∑
...(12)Bi i i
B T
Dimana:
n
T = Suhu udara harian
x
T = Suhu udara sama atau di atas 34°C i = bulan (1,2,3,...,12)
Bi
T = Jumlah suhu udara musiman yang mempunyai nilai suhu udara sama
atau di atas 34°C i
B
T ('80−'96) = Jumlah suhu udara musiman mempunyai nilai suhu udara sama atau
di atas 34°C tahun 1999-2003 i
B
T ('97−'08) = Jumlah suhu udara musiman mempunyai nilai suhu udara sama atau
di atas 34°C tahun 2004-2008
• Jumlah Curah Hujan
Inventarisasi data hujan selama 28 tahun dan menjumlah data hujan musiman dua periode.
n i
Ji R
R =
∑
...(14)Ji i i
J R
R ('80−'96) =
∑
...(15)ji i i
J R
R ('97−'08) =
∑
...(16)Dimana:
n
R = curah hujan harian
i = bulan (1,2,3,...,12) Ji
R = Jumlah curah hujan musiman
i J
R ('80−'96) =Jumlah curah hujan musiman tahun 1999-2003
i J
R ('97−'08) =Jumlah curah hujan musiman tahun 2004-2008
• Jumlah Hari Hujan
Inventarisasi data hujan selama 28 tahun dan memilah data hari hujan musiman dijadikan rata-rata hari hujan musiman dua periode.
n i b
Ni R
n
i N i t i N R n
R ('80−'96) = 1
∑
...(18)i N i t i N R n
R ('97−'08) = 1
∑
...(19)Dimana:
b
n = jumlah data harian dalam sebulan
t
n = jumlah data musiman selama lima tahunan
n
R = Curah hujan harian
i = bulan (1,2,3,...,12) Ni
R = Rata-rata hari hujan musiman
i N
R ('80−'96) = Rata-rata hari hujan musiman tahun 1999-2003
i N
R ('97−'08) = Rata-rata hari hujan musiman tahun 2004-2008
• Curah Hujan Di atas 50 mm
Inventarisasi data hujan selama 28 tahun dan memilah data hujan yang mempunyai kreteria hujan lebat dan sangat lebat.
mm R
Rx = n≥50 ...(20) x
i
Bi R
R =
∑
...(21)Bi i i
B R
R ('80−'96) =
∑
...(22)Bi i i
B R
R ('97−'08) =
∑
...(23)Dimana:
n
R = curah hujan harian
x
R = curah hujan sama atau di atas 50 mm
i = bulan (1,2,3,...,12) Bi
R = Jumlah curah hujan musiman yang mempunyai nilai curah hujan
sama atau di atas 50 mm i
B
R ('80−'96) =Jumlah curah hujan musiman mempunyai nilai curah hujan sama atau
i B
R ('97−'08) =Jumlah curah hujan musiman mempunyai nilai curah hujan sama atau
di atas 50 mm tahun 2004-2008
• Badai Petir atau Hari Petir
Melakukan inventarisasi data cuaca khusus dan menghitung intensitas musiman kejadian cuaca khusus antara lain TS (Thunder Storm/badai petir), dan RA TS (Rain Thunder Storm atau hujan disertai kilat/petir) yang mempunyai arti kondisi cuaca pada hari tersebut terjadi badai petir baik terjadi hujan maupun tidak.
n i
Bi TS
TS =
∑
...(24)Bi i i
B TS
TS ('80−'96) =
∑
...(25)Bi i i
B TS
TS ('97−'08) =
∑
...(26)Dimana:
n
TS = Kejadian badai petir harian
i = bulan (1,2,3,...,12)
Bi
TS = Jumlah kejadian badai petir musiman
i B
TS ('80−'96) = Jumlah kejadian badai petir musiman tahun 1999-2003
i B
TS ('97−'08) = Jumlah kejadian badai petir musiman tahun 2004-2008
• Badai Petir atau Hari Petir
Teknik korelasi untuk mencari hubungan antara dua variabel antara ruang terbuka hijau dengan kenaikan suhu menggunakan rumus seperti dibawah apabila data kedua variabel berbentuk interval atau rasio, dan sumber data dari dua varuabel atau lebih tersebut sama (Sugiyono, 2009)
rxy=
∑
∑
x2y2xy
………..( 27)
• Suhu Udara Atas (Upper Air Temperature)
Merata -rata suhu udara atas musiman dan di buat dalam dua periode.
a i b Bi a T n
T = 1
∑
...(28)Bi a i t i B a T n
Bi a i t i B a T n
T ('97−'08) = 1
∑
...(30)Dimana: b
n = jumlah data harian dalam sebulan
t
n = jumlah data musiman selama lima tahunan
a
T = Suhu udara atas harian i = bulan (1,2,3,...,12)
Bi a
T = Rata-rata suhu udara atas musiman i
B a
T ('80−'96) = Rata-rata Suhu udara atas musiman tahun 1999-2003
i B a
T ('97−'08) = Rata-rata Suhu udara atas musiman tahun 2004-2008
• Kejadian Suhu Udara Maksimum
Infentarisasi suhu maksimum harian dan menjumlah suhu maksimum musiman pada jam-jam yang sama .
max
ln T
T
i
B =
∑
...(31) Dimana:max
T = Suhu udara maksimum i = jam (1,2,3,...,24)
ln
B
T = Frekuensi suhu udara maksimum musiman pada jam ke-i
• Kejadian badai petir
Infentarisasi badai petir harian dan menjumlah badai petir musiman pada jam-jam yang sama.
TS TS
i
Bln =
∑
...(32)Dimana:
TS = Suhu udara maksimum
i = jam (1,2,3,...,24)
ln
B
3.3.2 Analisis .
a.Membuat grafik suhu udara musiman antara suhu udara minimum dengan suhu udara maksimum.
b.Analisis musiman rentang nilai antara suhu udara minimum dan suhu udara maksimum.
c.Membuat grafik intensitas curah hujan ekstrim (lebat dan sangat lebat) musiman
d.Membuaat grafik intensitas suhu udara di atas 34°C musiman. e.Membuat grafik intensitas kejadian badai petir musiman.
f. Analisis hubungan antara perubahan Ruang Terbuka Hijau dengan kenaikan suhu tahunan.
g.Membuat grafik udara atas (Aerologi) musiman. h.Analisis waktu kejadian suhu maksimum i. Analisis waktu kejadian badai petir
3.3.3 Luaran hasil analisis
Luaran hasil analisis per upa:
a.Pola perkembangan suhu udara dan intensitas suhu ekstrim bulanan dan musiman.
b.Pola bulanan dan musiman rentang nilai antara suhu udara minimum dengan suhu udara maksimum.
c.Pola perkembangan curah hujan dan intensitas kejadian hujan ekstrim bulanan dan musiman.
d.Pola perkembangan intensitas kejadian badai petir bulanan dan musiman e.Perubahan pola udara atas.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Perbandingan Suhu Udara Maksimum dan Minimum Bulanan dan
Musiman Pada Periode Tahun 1980 -1996 Dengan Periode Tahun
1997-2008
Dinamika atmosfer setiap musim akan berbeda khususnya suhu udara. Besaran energi dari matahari yang diterima permukaan bumi mempengaruhi naik turunya suhu udara. Faktor Utama yang mempengaruhi naik turunya suhu udara adalah sudut pancaran matahari terhadap bumi yang dipengaruhi pergerakan semu matahari. Faktor lain yang mepengarui kenaikan suhu udara pada waktu yang sama adalah perubahan albedo energi di suatu tempat.
Hasil analisis dua periode suhu udara maksimum dan minimum terlihat pada Gambar 4. 1 hingga Gambar 4. 9 menunjukan bahwa pada periode kedua sebagian besar stasiun pengamatan mengalami kenaikan diantaranya stasiun meteorologi Citeko, Cengkareng, Tangerang, Darmaga, Halim Perdanakusuma, Ja karta 745 dan Pondok Betung. Kenaikan terbesar terjadi di stasiun meteorologi Pondok Betung sebesar hingga 1.4°C. Gambar 4. 7 menunjukan stasiun Curug relatif sama pada musim DJF dan cenderung turun pada musim JJA dan kedua musim transisi sekitar 0.1 - 0.4°C. Bila dilihat dari Tabel 2.3 hal ini disebabkan kenaikan ruang terbuka hijau. Tahun 2000 besarnya ruang terbuka hijau sekitar 54% dan pada tahun 2005 naik sekitar 59%. Hal ini radiasi yang sampai permukaan sekitar Curug akan di serap dahulu oleh tanaman sehingga albedo yang terjadi lebih besar pada periode pertama. Berbeda dengan stasiun meteorologi Tanjung Priok hanya pada musim JJA yang mengalami penurunan sebesar 0.1°C. Walaupun tidak signifikan dilihat pada Gambar 2.3, Gambar 2.4, Gambar 2.5 dan Gambar 2.6 Tanjung Priok merupakan daerah terbangun dari tahun 1983 hingga tahun 2005 dan juga pengaruh global yaitu El Nino (lihat Tabel 2.5) sehingga terjadi musim kemarau panjang. Kemarau panjang menyebabkan penyerapan dan pelepasan energi lebih cepat sehingga akan cepat panas pada siang hari karena tutupan awan sangat sedikit dan lebih cepat dingin pada dini hari. P enurunan suhu udara dipengaruhi juga oleh dan kondisi lokal yaitu lautan karena stasiun pengamatan Tanjung Priok terletak dekat pantai.
meteorologi Cengkareng, Tangerang, Darmaga, Halim Perdanakusuma, Jakarta 745 dan Pondok Betung. Kenaikan terbesar terjadi di stasiun meteorologi Halim Perdanakusuma sebesar hingga 1.1°C. Stasiun meteorologi Citeko mengalami kenaikan yang tidak signifikan di musim DJF sebesar 0.1°C dan musim transisi MAM sebesar 0.2°C akan tetapi terjadi penurunan suhu udara minimum sebesar 0.1°C. Dilihat dari peta perubahan penutupan lahan letak stasiun Citeko di wilayah ruang terbuka hijau yang permanen dari tahun 1983 sampai dengan 2005 dan juga di pengaruhi kondisi global El Nino dan lokal ketinggian.
2 1 2 3 2 5 2 7 2 9 3 1 3 3 3 5
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGST SEP OKT NOP DES
BULAN
SUHU (°C)
MAKS (80-96) MAKS (97-08) MIN (80-96) MIN (97-08)
a)
21 23 25 27 29 31 33 35
DJF MAM JJA SON
MUSIM
SUHU (°C)
MAKS (TH '80-'96) MAKS (TH '97-'08) MIN (TH '80-'96) MIN (TH '97-'08)
b)
21 23 25 27 29 31 33 35
JAN FEB MAR APR MAY JUN JUL AUG SEP OCT NOV DEC
BULAN
SUHU (°C)
MAKS (80-96) MAKS (97-08) MIN (80-96) MIN (97-08)
a)
21 23 25 27 29 31 33 35
DJF MAM JJA SON
MUSIM
SUHU (°C)
MAKS (TH '80-'96) MAKS (TH '97-'08) MIN (TH '80-'96) MIN (TH '97-'08)
b)
Gambar 4.2 Grafik perbandingan suhu maksimum dan minimum bulanan (a) dan musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 deng an tahun 1997-2008 stasiun Jakarta 745
21 23 25 27 29 31 33 35
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGST SEP OKT NOP DES
BULAN
SUHU (°C)
MAKS (80-96) MAKS (97-08) MIN (80-96) MIN (97-08)
21 23 25 27 29 31 33 35
DJF MAM JJA SON
MUSIM
SUHU (°C)
MAKS (TH '80-'96) MAKS (TH '97-'08) MIN (TH '80-'96) MIN (TH '97-'08)
[image:53.612.122.508.302.660.2]b)
Gambar 4.3 Grafik perbandingan suhu maksimum dan minimum bulanan (a) dan musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 dengan tahun 1997-2008 stasiun Tangerang
21 23 25 27 29 31 33 35
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGST SEP OKT NOP DES
BULAN
SUHU (°C)
MAKS (80-96) MAKS (97-08) MIN (80-96) MIN (97-08)
a)
21 23 25 27 29 31 33 35
DJF MAM JJA SON
MUSIM
SUHU (°C)
MAKS (TH '80-'96) MAKS (TH '97-'08) MIN (TH '80-'96) MIN (TH '97-'08)
b)
21 23 25 27 29 31 33 35
JAN FEB MAR APR MAY JUN JUL AUG SEP OCT NOV DEC
BULAN
SUHU (°C)
MAKS (80-96) MAKS (97-08) MIN (80-96) MIN (97-08)
a)
21 23 25 27 29 31 33 35
DJF MAM JJA SON
MUSIM
SUHU (°C)
MAKS (TH '80-'96) MAKS (TH '97-'08) MIN (TH '80-'96) MIN (TH '97-'08)
b)
Gambar 4.5 Grafik perbandingan suhu maksimum dan minimum bulanan (a) dan musiman (b) antara periode tahun 1980-1996 deng an tahun 1997-2008 stasiun Halim Perdanakusuma
21 23 25 27 29 31 33 35
JAN FEB MAR APR MAY JUN JUL AUG SEP OCT NOV DEC
BULAN
SUHU (°C)
MAKS (80-96) MAKS (97-08) MIN (80-96) MIN (97-08)