• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model pengembangan pembelajaran petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari (Kasus di kabupaten Gunung Kidul, provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan kabupaten Wonogiri, provinsi Jawa Tengah)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model pengembangan pembelajaran petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari (Kasus di kabupaten Gunung Kidul, provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan kabupaten Wonogiri, provinsi Jawa Tengah)"

Copied!
499
0
0

Teks penuh

(1)

i

(Kasus di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah)

Y U M I

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Pengembangan Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari: Kasus di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertasi ini.

Bogor, April 2011

Y U M I

(3)

iii

Sustainable Private Forest Management (Cases in Gunung Kidul District in Yogyakarta and Wonogiri District in Central Java). Under Advisory Committee by SUMARDJO as chairperson, DARWIS S GANI and BASITA GINTING SUGIHEN as members.

Forest Management is facing the challenge of implementing the sustainable forest management which includes private forest. Successfully gained the Ecolabel Certificate, some private forest management units in Central Java and Yogyakarta’s districts prove that the small units run by farmers are able to implement the sustainable forest management. The farmers’ success in implementing the sustainable forest management must have been gained through learning process. How the learning process was and what determinant factors influencing the farmers’ learning process of the sustainable private forest management were, were the research questions of this study. The study used explanatory survey method on 200 farmers in Gunung Kidul and Wonogiri who had succeeded in gaining the Ecolabel Certificate and 60 farmers who had not got certification for their private forestry as comparison. Data collection was conducted from December 2009 to February 2010. The data were analyzed by using descriptive technique and Structural Equations Model (SEM). The conclusions are : (1) farmers’ learning intensity is low. It was influenced by farmers’ learning-support institutions, local institutions, extension agents’ competences, and farmers’ individual characteristic; (2) learning-support institutions and the informal local institutions have an important role in the farmers’ learning process; (3) farmers’ learning intensity can be improved by strengthening collaboration of the learning-support institutions and improving the extension agents’ competences.

(4)

iv

Hutan Rakyat Lestari (Kasus di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah). Dibimbing oleh: SUMARDJO, DARWIS S GANI, dan BASITA GINTING SUGIHEN.

Hutan rakyat merupakan salah satu alternatif penting dalam pembangunan kehutanan berkelanjutan, khususnya dalam rehabilitasi hutan dan lahan serta peningkatan pendapatan masyarakat sekitar hutan. Tantangan yang dihadapi dalam pengembangan hutan rakyat ialah berkaitan dengan adanya issue global warming dan ekolabel, yang mensyaratkan kayu-kayu bersertifikat sebagai ketentuan untuk dapat masuk pasar kayu internasional. Unit manajemen pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri, yang dikelola oleh masyarakat setempat telah membuktikan bahwa rakyat telah mampu mengelola hutan secara lestari dan mendapatkan sertifikat Ekolabel. Keberhasilan tersebut melewati suatu proses belajar, yang pada dasarnya merupakan kegiatan penyuluhan. Perubahan perilaku masyarakat ke arah kemandirian dalam pengelolaan hutan merupakan salah satu tujuan penyuluhan kehutanan. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses belajar petani dan bagaimana mengembangkan pembelajaran petani tersebut, merupakan permasalahan yang ingin diperoleh jawabannya dalam penelitian ini.

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Menganalisis faktor penentu intensitas belajar petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari; (2) Menganalisis kelembagaan yang berperanan penting dalam pembelajaran petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari; (3) Merumuskan konsep model pengembangan pembelajaran petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari.

Desain penelitian adalah survey, dan penelitian bersifat penelitian penjelasan (Explanatory Survey) yaitu menjelaskan hubungan kausalitas antara peubah-peubah penelitian melalui pengujian hipotesis. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive yaitu di lokasi yang terdapat unit pengelolaan Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi). Populasi adalah petani pengelola Hutan Rakyat Lestari (sertifikasi) di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri. Teknik pengambilan sampel ialah dengan metode stratified random sampling dengan strata tingkat keaktivan dalam kelompok (pengurus dan bukan pengurus).

Disamping itu di masing-masing kabupaten dipilih satu kelompok tani non sertifikasi pada satu desa sebagai perbandingan. Jumlah keseluruhan responden dalam penelitian ini adalah 200 orang petani sertifikasi dan 60 orang petani non sertifikasi sebagai pembanding. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Desember 2009 sampai dengan Februari 2010. Pengumpulan data sekunder dan data primer menggunakan kuesioner, wawancara mendalam dan observasi. Pengolahan dan analisa data dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif dan statistik inferensial. Statistik deskriptif menggunakan program SPSS 16.0 sedangkan statistik inferensial menggunakan analisa Structural Equation Model

(5)

v

sertifikasi di Gunung Kidul dan Wonogiri, terutama dalam hal kompetensi penyuluh/pendamping, pendekatan pembelajaran, kelembagaan pendukung pembelajaran, intensitas belajar petani dan perilaku petani. Analisa Structural Equation Model (SEM) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang secara nyata mempengaruhi intensitas belajar petani yaitu: Kelembagaan pendukung pembelajaran petani (X5), Kelembagaan masyarakat (X4), Karakteristik petani (X1), dan Kompetensi Penyuluh dan Pendamping (X2), yang dituliskan dengan persamaan : Y1= 0,26*X1 + 0,17*X2 + 0,26*X4 + 0,31*X5, R2= 0,78. Sedangkan perilaku petani dalam mengelola Hutan Rakyat Lestari (Y2) dipengaruhi secara langsung oleh peubah: Intensitas Belajar (Y1) dan Karakteristik petani (X1), yang dituliskan dengan persamaan: Y2= 0,51*Y1 +0,40*X1, R2= 0,72.

Kelembagaan yang berperan penting dalam pembelajaran petani HRL dalam penelitian ini ialah kelembagaan pendukung pembelajaran petani (eksternal) dan kelembagaan masyarakat (internal). Kelembagaan pendukung pembelajaran petani yang terintegrasi dan berkolaborasi dengan baik menghasilkan intensitas belajar petani Hutan Rakyat Lestari yang lebih baik. Kelengkapan unsur pemerintah, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya, dan masyarakat terbukti menghasilkan peningkatan intensitas belajar. Kelengkapan fungsi pendidikan, penelitian, penyuluhan dan pemasaran dalam kelembagaan pendukung berperan dalam peningkatan pembelajaran petani pengelola Hutan Rakyat Lestari. Kelembagaan masyarakat, baik dari sisi aturan maupun organisasi berperan penting dalam pembelajaran petani sertifikasi. Adanya aturan mengenai penebangan dan penanaman kembali yang diwariskan turun temurun, kepercayaan terhadap pemimpin, budaya gotong royong dan bekerja keras, lembaga informal dalam masyarakat seperti: arisan, kelompok pengajian kelompok tani sangat berperan dalam pembelajaran petani sertifikasi. Aturan dan organisasi formal yang dibentuk untuk memenuhi persyaratan dalam proses sertifikasi (seperti pembentukan Forum Komunitas Petani Sertifikasi-FKPS, Koperasi) belum sepenuhnya dapat diterima dan dijalankan dengan baik oleh petani sertifikasi, karena petani belum sepenuhnya menyadari peranan dan merasakan manfaat keberadaan organisasi tersebut.

(6)

vi

@ Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritis, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

vii

(Kasus di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah)

Y U M I

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

viii

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA. (Fakultas Kehutanan IPB)

Prof.(Ris) Dr. Ign. Djoko Susanto,SKM.APU (Fakultas Ekologi Manusia IPB)

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Eka Widodo Soegiri, MM. (Kementerian Kehutanan RI) Dr. Ir. Leti Sundawati, MSc.

(9)

ix

dan Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah)

Nama : Y u m i

NRP : I.361070131

Program Studi/Mayor : Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Disetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Darwis S. Gani, MA. Anggota

Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S Ketua

Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA. Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan

Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.

(10)

x

Penulis lahir di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 6 Agustus 1968, sebagai puteri kedua dari tiga bersaudara, dari ayah Memet Krisna Sukarno (Alm) dan ibu Yoshie Kuwabara Sukarno, menikah dengan Martino Anderias Therik.

Pendidikan sarjana ditempuh Penulis pada tahun 1987 di Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB dan lulus pada tahun 1992. Penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan program master di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan pada Program Pascasarjana IPB tahun 1999, dengan beasiswa pendidikan dari Kementerian Kehutanan dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2007 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan program Doktor pada Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana IPB, dengan beasiswa dari Kementerian Kehutanan, dan menyelesaikannya pada tahun 2011.

(11)

xi

Puji syukur pada Tuhan Yang Maha Kasih karena hanya atas karunia dan kemurahan-Nya disertasi ini berhasil diselesaikan. Disertasi yang berjudul “Model Pengembangan Pembelajaran Petani dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari” disusun berdasarkan hasil penelitian di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Darwis Gani, M.A. dan Bapak Dr. Ir. Basita Sugihen Ginting, M.A. selaku anggota komisi pembimbing, yang dengan sabar dan tulus ikhlas mengarahkan dan membimbing sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof.Dr. Ir. Dudung Darusman, MA. dan Bapak Prof.(Ris). Dr. Ign.Djoko Susanto, SKM.APU selaku penguji pada ujian tertutup, serta Bapak Dr.Ir. Eka Widodo Soegiri, MM dan Ibu Dr. Ir. Leti Sundawati, MSc. selaku penguji pada ujian terbuka.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Menteri Kehutanan, Ibu Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kehutanan, Bapak Sekjen Kementerian Kehutanan, Bapak Kepala Pusat Pengembangan Penyuluhan Kehutanan, Bapak Kepala Biro Kepegawaian, Bapak Kepala Pusat Diklat Kehutanan, yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk mengikuti tugas belajar ini. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Dekan Fakultas Ekologi Manusia beserta jajarannya, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat beserta jajarannya, Ibu Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc., selaku Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Staf Pengajar di Program Studi PPN, dan staf sekretariat Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan yang telah mendukung selama perkuliahan dan penyelesaian studi di IPB.

(12)

xii

Wonogiri. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para peneliti/staf pengajar di Pusat Kajian Hutan Rakyat (PKHR)–Universitas Gajah Mada terutama Ibu Wahyu Tri Widayanti, Ibu Bariatul Himmah. Ucapan dan terima kasih juga kepada para penyuluh kehutanan di BP2KP Kabupaten Gunung Kidul (Bapak Supriadi, Bapak Diyarno, Bapak Mulyadi, Bapak Widyanto), penyuluh kehutanan di Dishutbun Kab. Wonogiri (Bapak Eko Kadarmanto dan Bapak Kusnanto), Bapak Senen dan keluarga, Bapak Prambudi dan keluarga, Bapak Siman dan keluarga, Adik Milla, Vyta dan Laeli, yang telah sangat membantu dalam proses pengambilan data di lapangan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Mbak Nana, Diani, adik Ganjar Samiaji (alm), beserta keluarga yang telah memberi bantuan selama pengambilan data di lapangan.

Penulis juga menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada orang tua terkasih (Alm. Papa Memet Krisna Sukarno dan Mama Yoshie Kuwabara), mertua terkasih (Alm. Papa Yohanes L. Therik dan Mama Mieke Therik-Rotti), kakak Hanako H. Sukarno dan adik Yoshino M. Sukarno beserta keluarga, serta keluarga lainnya yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Kepada para sahabat, terutama teman-teman seperjuangan Angkatan 2007 Program Studi PPN-IPB (Adi Riyanto, Yunita, Tin Herawati, Ibu Puji Winarni, Rayuddin, Bapak Ramli Toha, Bapak Narso, Bapak Dwi Sadono, M. Ikbal, Sapar, beserta keluarga), para sahabat di Kementerian Kehutanan (Ibu Djunaida Hak, Ibu Ryke, Endang D.Hastuti, Suwandi, Victor, Hendro Asmoro, Sri Ramadoan, Ristianasari, Kusdamayanti, Maya Ambinari), Forum Karyasiswa Kementerian Kehutanan, Pelayan Teruna, Gerakan Pemuda, Pengurus UP2M, sahabat di GPIB Zebaoth Bogor (Yanti, Haryani, Hapsari, Didi, beserta keluarga), alumni PMK IPB (Pemter, Ade Dewiana, David Tobing, beserta keluarga), yang dengan tulus senantiasa mendoakan, membantu dan memberikan semangat kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2011

(13)

xiii Perumusan Masalah ... Tujuan Penelitian ... Manfaat Penelitian ... TINJAUAN PUSTAKA

Teori belajar ……... Pembelajaran dan Proses belajar ... Faktor yang Mempengaruhi Proses Belajar ...…………... Karakteristik Individu Pembelajar ... Kompetensi Penyuluh dalam Proses Belajar ... Pendekatan Pembelajaran ... Kelembagaan Masyarakat ... Kelembagaan Pendukung Proses Belajar ... Perubahan Perilaku Sebagai Hasil Proses Belajar ... Penyuluhan Merupakan Pembelajaran Masyarakat ………... Hutan Rakyat ………... Sistem Sertifikasi Ekolabel Pengelolaan Hutan Lestari ……... KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

Kerangka Berpiikir ………... Hipotesis Penelitian ………...………... METODE PENELITIAN

(14)

xiv

Halaman

Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian………... Pengolahan dan Analisis Data ... Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel Penelitian……... DESKRIPSI UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Geografis Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri ... Hutan Rakyat di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri ... Sejarah Hutan Rakyat ... Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat ... Deskripsi Peubah Penelitian ...

Karakteristik Individu Petani ... Kompetensi penyuluh ... Pendekatan pembelajaran ... Kelembagaan Masyarakat ... Kelembagaan Pendukung Pembelajaran ... Intensitas Belajar Petani ... Perilaku Petani dalam Mengelola Hutan Rakyat ... ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN

PEMBELAJARAN PETANI

(15)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Perbandingan Perangkat Kelembagaan Pembelajaran Lama Dan Baru.. 31

2. Klasifikasi Jenjang Perubahan Perilaku ... 36

3. Lima Ragam Kapabilitas Belajar, Kinerja Unjuk Kerja dan Contoh... 38

4. Perbandingan Pendekatan Cetak Biru dan Proses Belajar ... 44

5. Perbandingan Intensitas Belajar ”Tinggi yang Memberdayakan Petani” dan ”Rendah yang Memperdayakan Petani” …... 56

6. Perbandingan Ciri Penyuluh sebagai ”Insider” yang bekerja sama dan Penyuluh sebagai ”Outsider” yang bekerja untuk masyarakat... 57

7. Perbandingan Pendekatan Pembelajaran (Learning) dan “Pengajaran” (Teaching) ... 59

8. Ciri Kelembagaan Masyarakat Yang ”Dinamis” dan ”Statis” ... 60

9. Ciri Kelembagaan Pendukung ”Kolaboratif” dan ”Non Kolaboratif”.... 61

10. Perbandingan Karakteristik Petani “Responsif” dengan Petani ”Tidak Responsif” terhadap Proses Belajar ... 62

11. Perbandingan Perilaku ”Pro Lestari” dan ”Kontra Lestari” dalam Pengelolaan Hutan Rakyat ... 63

12. Perincian Jumlah Responden Penelitian ... 68

13. Reliabilitas Peubah Penelitian ... 72

14. Indikator dan Parameter Peubah Karakteristik Petani …... 77

15. Indikator dan Parameter Kompetensi Penyuluh………...…... 78

16. Indikator dan Parameter Kompetensi Peubah Pendekatan Pembelajaran……...…... 80

17. Indikator dan Parameter Peubah Kelembagaan Masyarakat…... 81

18. Indikator dan Parameter Peubah Kelembagaan Pendukung Pembelajaran... 83

19. Indikator dan Parameter Peubah Intensitas Belajar Petani…... 84

20. Indikator dan Parameter Peubah Perilaku Petani ……..…... 85

(16)

xvi

Halaman

22. Perbandingan Kompetensi Penyuluh/Pendamping di Kab. Gunung

Kidul dan Wonogiri... 103 23. Perbandingan Pendekatan Pembelajaran pengelolaan Hutan Rakyat

Lestari di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri... 113 24. Perbandingan Kelembagaan Masyarakat pengelolaan Hutan Rakyat

Lestari di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri... 119 25. Perbandingan Kelembagaan Pendukung Pembelajaran Hutan Rakyat

Lestari di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri... 128 26. Perbandingan Intensitas Belajar petani dalam pengelolaan Hutan

Rakyat Lestari di Kab.Gunung Kidul dan Wonogiri ... 139 27. Perbandingan Perilaku Petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat

Lestari di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri... 146 28. Perbandingan Pengetahuan Petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat

Lestari di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri... 149 29. Perbandingan Sikap Petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat Lestari

di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri... 151 30. Perbandingan Keterampilan Petani dalam pengelolaan Hutan Rakyat

Lestari di Kab. Gunung Kidul dan Wonogiri... 153

(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Konseptual penelitian ... 55

2. Bagan Kerangka Berpiikir ... 65

3. Model Hipotetik Persamaan Struktural ... 75

4. Model Y1. Model Intensitas Belajar Petani HRL ... 76

5. Model Y2. Model Perilaku Petani HRL ... 76

6. Model Lengkap Pembelajaran Petani Hutan Rakyat Lestari... 154

7. Model Pengembangan Pembelajaran Petani Hutan Rakyat Lestari... 187

8. Strategi Pengembangan Pembelajaran Petani HRL... 198

(18)

Latar Belakang

Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan aset nasional, bahkan aset dunia yang harus dipertahankan keberadaannya secara optimal. Menurut Undang-Undang No.41 Tahun 1999 Pasal 3 penyelenggaraan kehutanan bertujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan menjamin keberadaan hutan, mengoptimalkan aneka fungsi hutan, meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan, serta menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan (Kemenhut, 2010).

Penjabaran Undang-Undang dimaksud dalam pelaksanaannya masih kurang optimal. Masih banyak ditemukan pemanfaatan hutan yang berlebihan dengan mengabaikan keberadaan dan fungsi hutan secara ekologis dan sosial, yang mengakibatkan peningkatkan laju deforestasi dan kemiskinan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Berdasarkan data Kemenhut (2010) laju deforestasi antara tahun 2000 – 2005 mencapai 1,08 juta hektar/tahun. Hutan dan lahan kritis di Indonesia mencapai 77,8 juta hektar, terdiri dari lahan sangat kritis: 6,9 juta hektar, 23,3 kritis dan 47,6 agak kritis. Kerusakan hutan dan lahan semakin memperburuk kondisi masyarakat miskin di dalam dan sekitar hutan, yang saat ini diperkirakan sebanyak 30-35% dari jumlah masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan (48,8 juta penduduk).

(19)

dikembangkan di lahan-lahan milik masyarakat, bertujuan selain untuk merehabilitasi hutan dan lahan kritis, memenuhi permintaan pasar terhadap kebutuhan kayu, juga meningkatkan pendapatan masyarakat sebagai pengelola.

Kayu rakyat mampu memberikan kontribusi bagi penurunan defisit kebutuhan kayu yang sedang dihadapi oleh dunia kehutanan saat ini. Penggunaan bahan baku dari hutan rakyat meningkat dari tahun ke tahun. Penggunaan bahan baku dari hutan rakyat pada tahun 2011 diperkirakan dapat mencapai 50%, meningkat dari tahun-tahun sebelumnya yang berkisar 40% (BRIK, 2010). Hutan rakyat dan industri pengolahan hasilnya merupakan pilihan teknologi budidaya dan industri yang tepat guna bagi wilayah-wilayah yang berlahan marjinal dengan kondisi sosio budaya tradisional (Darusman, 2002).

Peluang pengembangan hutan rakyat dan industri pengolahannya di Indonesia masih terbuka luas. Sejak tahun 2002 hingga sekarang Hutan Rakyat berkembang pesat, Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL, yang sering disebut GERHAN), yang dicanangkan oleh Pemerintah, sejak 2002 telah meningkatkan luas Hutan Rakyat di daerah-daerah kritis seluas 1.102.912 hektar, termasuk di Gunung Kidul dan Wonogiri (Kemenhut, 2010).

Pengembangan hutan rakyat secara umum menghadapi permasalahan-permasalahan yang dikelompokan ke dalam empat sub sistem, yaitu: produksi, pengolahan hasil, pemasaran, kelembagaan dan kebijakan serta peraturan perundangan (Mindawati et.al., 2006). Permasalahan pada sub sistem kelembagaan, kebijakan dan peraturan perundangan adalah : (a) sumber daya manusia masih rendah, intervensi pemerintah dalam pembentukan kelompok sifatnya top down dan pembinaan tidak berkelanjutan atau bersifat keproyekan; (b) kebijakan pembangunan kehutanan masih mengacu pada penanaman dan belum dirancang secara terpadu dengan komoditi yang lain agar pemanfaatan lahan lebih optimal; dan (c) kurang komunikasi baik antar multipihak.

Selain itu pengembangan hutan rakyat menghadapi tantangan yaitu adanya tuntutan dunia internasional yang memberlakukan sertifikat “Ekolabel” bagi kayu-kayu yang diperoleh dari hutan yang dikelola secara lestari, dan isu global

warming yang menghendaki adanya pengelolaan hutan secara

(20)

pengembangan hutan rakyat di masa mendatang, juga mempunyai nilai strategis. Dengan adanya sertifikat Ekolabel bagi pengelolaan hutan oleh masyarakat, yang oleh Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dinamakan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML), diharapkan harga jual kayu meningkat dan dapat menembus pasar internasional sehingga berdampak positif terhadap kehidupan masyarakatnya.

Pengelolaan Hutan Rakyat oleh masyarakat di Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Wonogiri, telah berhasil membuktikan bahwa Hutan Rakyat dapat diandalkan sebagai pemasok kayu bagi pasaran nasional dan internasional sekaligus menjadi contoh pengelolaan hutan secara lestari dan dapat mempercepat rehabilitasi hutan dan lahan. Sertifikat ekolabel juga diharapkan dapat berdampak pada kesejahteraan masyarakat, karena diharapkan kayu bersertifikat ekolabel memiliki nilai jual yang lebih tinggi.

Pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Gunung Kidul dan Wonogiri merupakan teladan keberhasilan suatu proses pembelajaran petani dengan kearifan tradisionalnya dalam pengelolaan hutan secara lestari, serta pengelolaan hutan yang kolaboratif karena melibatkan proses kerja sama berbagai pihak, yaitu Perguruan Tinggi, Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat serta organisasi pemerhati pengembangan hutan rakyat. Kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh berbagai pihak telah meningkatkan kapasitas kelembagaan petani, yang saat ini merupakan salah satu kelemahan dalam pengembangan hutan rakyat, khususnya di Indonesia.

(21)

Proses belajar masyarakat tersebut pada dasarnya merupakan kegiatan penyuluhan, sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup (Dephut, 2006).

Perumusan Masalah Penelitian

Proses belajar masyarakat di dalam dan sekitar hutan pada dasarnya merupakan kegiatan penyuluhan. Perubahan perilaku masyarakat dalam pengelolaan hutan merupakan salah satu tujuan penyuluhan kehutanan. Penyuluhan kehutanan terus berupaya mengembangkan paradigma penyuluhan ke arah pemberdayaan masyarakat. Namun, sampai dengan saat ini belum memiliki acuan yang jelas bagaimana pendekatan pembelajaran masyarakat yang baik, khususnya pada petani hutan, yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat. Program-program penyuluhan kehutanan sampai dengan saat ini masih lebih banyak bersifat sekedar kegiatan pemberian bantuan (filantropi), yang tidak memberdayakan masyarakat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi intensitas belajar petani merupakan permasalahan yang ingin diperoleh jawabannya dalam penelitian ini. Diharapkan penelitian ini dapat menyumbangkan suatu konsep awal acuan model penyuluhan kehutanan yang dapat memberdayakan petani sehingga petani dapat mandiri dalam mengelola hutan secara lestari.

Oleh karena itu, penelitian ini mencoba menganalisis dan menjawab permasalahan-permasalahan sebagai berikut :

1. Faktor-faktor manakah yang menjadi penentu intensitas belajar petani dalam pengelolaan hutan rakyat secara lestari?

(22)

3. Bagaimanakah model dan strategi penyuluhan kehutanan yang dapat mengembangkan pembelajaran petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis faktor penentu intensitas belajar petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari;

2. Menganalisis seberapa jauh aspek kelembagaan berperan penting dalam pembelajaran petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari;

3. Merumuskan konsep model dan strategi penyuluhan kehutanan dalam pengelolaan hutan rakyat lestari.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat keilmuan dan manfaat praktis. Manfaat keilmuan dalam hal ini adalah penelitian menyumbangkan perkembangan dalam kajian ilmu penyuluhan khususnya pendidikan non formal berkaitan dengan pembelajaran orang dewasa dalam pembangunan kehutanan berkelanjutan. Sedangkan manfaat praktis ialah penelitian ini memberikan masukan bagi instansi terkait di Pusat, daerah, dan pihak lainnya yang berkepentingan dalam pengembangan pembangunan kehutanan berkelanjutan yang berbasis masyarakat, khususnya dalam pengembangan pengelolaan hutan rakyat lestari. Diharapkan konsep model penyuluhan kehutanan yang didapatkan dari penelitian ini dapat menjadi masukan dalam penyusunan kebijakan pembangunan kehutanan yang berkelanjutan.

(23)

Teori Belajar

Menurut Soemanto (2006) teori belajar berkembang sejalan dengan perkembangan teori psikologi pendidikan. Tiga aliran psikologi pendidikan yang mendasari teori belajar yaitu :

(1) Teori belajar dari psikologi behavioristik

Tokoh-tokoh aliran ini sering disebut contemporary behaviorists atau S-R psychologists. Menurut teori ini tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement) dari lingkungan. Dengan demikian dalam tingkah laku belajar terhadap jalinan yang erat antara reaksi-reaksi

behavioral dengan stimulasinya. Pandangan ini mempercayai bahwa tingkah laku

murid-murid merupakan reaksi-reaksi terhadap lingkungan mereka pada masa lalu dan sekarang, dan bahwa segenap tingkah laku adalah merupakan hasil belajar. Jadi kita dapat menganalisis kejadian tingkah laku dengan jalan mempelajari latar belakang penguatan (reinforcement) terhadap tingkah laku tersebut. Aliran behavioristik dipelopori oleh Thorndike. Selanjutnya tokoh-tokoh yang mengembangkan aliran behavioristik ialah Pavlov, Watson, Skinner, Wabon, dan Ghuthrie.

(2) Teori belajar dari psikologi kognitif

(24)

(3) Teori belajar dari psikologi humanistik

Perhatian psikologi humanistik yang terutama pada masalah bagaimana tiap-tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Tujuan utama pada pendidik ialah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantunya dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada mereka. Psikologi humanistik ini timbul pada akhir tahun 1940-an dan masuk dalam dunia pendidikan pada tahun 1960-1970-an. Beberapa tokoh humanistik antara lain Comb, Maslow dan Rogers.

Penggolongan teori belajar yang lain menurut Tan et. al. (2001), selain teori belajar kognitif dan behavior, dikenal teori belajar neo-behavior atau sering juga disebut neo-kognitif. Teori ini mempercayai bahwa perubahan perilaku dapat diamati dan dipengaruhi oleh proses internal. Salah satu teori yang termasuk golongan ini ialah teori belajar sosial yang dicetuskan oleh Albert Bandura. Menurut teori belajar sosial, tingkah laku manusia dari segi interaksi timbal-balik

berkesinambungan antara faktor kognitif, tingkah laku dan faktor lingkungan. Manusia dan lingkungannya merupakan faktor-faktor yang saling menentukan secara timbal balik (Bandura, 1977).

(25)

Teori lainnya berkaitan dengan permasalahan sosial, Freire (1984) mengungkapkan bahwa pembelajaran perlu menggunakan konsep

“conscientization” dan konsep “praxis”. “Conscientization” menekankan pengembangan kesadaran diri peserta didik untuk memahami lingkungannya melalui pendidikan “membebaskan”, yaitu pendidikan yang memperlakukan peserta didik sebagai subyek yang aktif. “Praxis” menekankan cara berfikir reflektif sebagai kunci keberhasilan dalam belajar dan merupakan fungsi manusia sebagai subyek yang memiliki kemampuan menelaah dengan kritis, berinteraksi, dan mengubah dunia kehidupannya.

Freire mengemukakan bahwa proses penyadaran dapat dilakukan dengan pendidikan yang humanis dan dialogis (interaktif). Freire mendobrak pendidikan

sistem gaya bank dan mengubahnya menjadi pendidikan ”hadap masalah” (problem-posing education), dimana guru dan murid dijadikan sebagai subjek dan menjadikan dialog sebagai unsur terpenting dalam pendidikan. Freire mengemukakan bahwa pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang ajeg, yaitu pengajar dan pelajar sebagai subyek yang

sadar (cognitive), dan realitas dunia sebagai obyek yang tersadari (cognizable). Metode pendidikan yang di kemukakan oleh Freire mendasarkan diri pada dialog, yang merupakan hubungan horizontal antar pribadi.

(26)

Belajar bagi orang dewasa mengarah pada proses pemenuhan kebutuhan belajar dan pencapaian tujuan belajar. Orang dewasa merasakan adanya kebutuhan untuk belajar dan melihat tujuan pribadinya akan tercapai melalui belajar. Proses belajar akan terpusatkan pada pengalaman sendiri melalui interaksi antara dirinya dengan lingkungannya. Kualitas belajar akan dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas interaksi dengan lingkungannya. Dengan demikian seni membelajarkan orang dewasa merupakan upaya mengelola lingkungan dan interaksinya dengan peserta didik melalui proses pembelajaran. Implikasinya dalam proses pembelajaran diperlukan penggunaan metode dan teknik pembelajaran yang melibatkan peserta didik secara intensif dalam mendiagnosis kebutuhan belajar, merumuskan tujuan belajar, merangsang dan melaksanakan kegiatan belajar, serta menilai proses, hasil dan dampak pembelajaran (Sudjana, 2000).

Dalam perkembangan teori belajar muncul pembelajaran partisipatif. Menurut teori ini kegiatan pembelajaran akan efektif apabila peserta didik merasa butuh belajar, menyadari bahwa belajar itu penting bagi perubahan dirinya, serta

(27)

diikutkan dan memegang peranan penting dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kegiatan pembelajaran; (4) berangkat dari pengalaman belajar (experiental learning).Pembelajaran partisipatif dilakukan dengan berangkat dari pengetahuan, nilai dan ketrampilan yang telah dimiliki oleh peserta didik dan lebih menitikberatkan pada pendekatan pemecahan masalah.

Pembelajaran dan Proses Belajar

Pembelajaran berasal dari kata dasar belajar. Pembelajaran adalah suatu disiplin yang menaruh perhatian pada upaya untuk meningkatkan dan memperbaiki proses belajar. Sasaran utamanya adalah mempreskripsikan strategi yang optimal untuk mendorong prakarsa dan memudahkan belajar. Dengan demikian, pembelajaran adalah upaya menata lingkungan agar terjadinya proses belajar pada diri pembelajar (Dwiyogo, 2008). Bruner (1964) membedakan antara teori belajar dan teori pembelajaran. Teori belajar adalah deskriptif, sedangkan teori pembelajaran adalah preskriptif. Teori belajar mendeskripsikan adanya proses belajar, teori pembelajaran mempreskripsikan strategi atau metode

pembelajaran yang optimal, yang dapat mempermudah proses belajar.

(28)

pasar, perpustakaan, dan media massa. Pendidikan nonformal adalah kegiatan yang terorganisasi dan sistematis, di luar sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya.

Winkel (1991) menyatakan bahwa belajar merupakan kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar. Apa yang sedang terjadi dalam diri seorang yang sedang belajar, tidak dapat diketahui secara langsung hanya dengan mengamati orang itu. Bahkan, hasil belajar orang itu tidak langsung kelihatan, tanpa orang itu melakukan sesuatu yang menampakkan kemampuan yang telah diperoleh melalui belajar. Belajar terjadi dalam interaksi dengan lingkungan; dalam bergaul dengan orang, dalam memegang benda dan dalam menghadapi peristiwa manusia belajar. Namun, tidak sembarang berada di tengah-tengah lingkungan, menjamin adanya proses belajar. Orangnya harus aktif sendiri melibatkan diri dengan segala pemikiran, kemauan dan perasaannya. Dengan demikian Winkel (1991) mendefinisikan belajar sebagai suatu aktivitas

mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, ketrampilan dan nilai-sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstan dan berbekas. Perubahan-perubahan itu dapat berupa suatu hasil yang baru atau pula penyempurnaan terhadap hasil yang telah diperoleh.

(29)

Menurut Sudjana (2000), belajar dapat merupakan suatu hasil dan sebuah proses. Belajar sebagai hasil merupakan upaya yang disengaja oleh seseorang yang bertujuan untuk mencapai tujuan belajar. Sedangkan belajar sebagai proses merupakan perilaku mengembangkan diri melalui proses penyesuaian tingkah laku. Penyesuaian tingkah laku dapat terwujud melalui kegiatan belajar, bukan karena akibat langsung dari pertumbuhan seseorang yang melakukan kegiatan belajar. Dengan demikian belajar sebagai proses adalah kegiatan seseorang yang dilakukan secara sengaja melalui penyesuaian tingkah laku dirinya dalam upaya untuk meningkatkan kualitas kehidupannya.

Flanders (1969), diacu dalam Klausmeier dan Goodwin (1971), menyebutkan bahwa dalam proses belajar, kualitas interaksi antara guru dan murid, murid dan murid, guru dan guru serta guru dan pegawai mempengaruhi hasil belajar. Interaksi guru dan murid sangat dipengaruhi oleh hubungan interpersonal, komunikasi verbal dan non verbal. Interaksi guru dan murid terjadi jika ada komunikasi dua arah dan seimbang. Demikian interaksi sesama murid, akan mendukung pencapaian tujuan kelompok. Kekohesivan kelompok sangat

berperan dalam mendukung proses belajar.

Freire (1984) memberikan perhatian pada proses belajar yang dialogis atau interaktif antara guru dan murid. Guru dan murid sama-sama menjadi subyek dalam proses belajar. Proses belajar diawali dengan penyadaran warga belajar secara bertahap atas masalah yang dihadapi, sehingga warga belajar mampu menafsirkan masalah, mampu merefleksikan dan melihat hubungan sebab akibat permasalahan yang dihadapinya dengan kondisi dan realitas yang ada, serta dapat mengambil tindakan untuk penyelesaian masalah yang dihadapi.

(30)

Faktor Yang Mempengaruhi Proses Belajar

Proses belajar dipengaruhi oleh banyak faktor, Suryabrata (2006) menyebutkan bahwa faktor yang mempengaruhi proses belajar dapat digolongkan ke dalam dua golongan besar, yaitu: (1) faktor-faktor yang berasal dari luar diri pelajar, dan (2) faktor-faktor yang berasal dari dalam diri pelajar. Faktor yang berasal dari luar diri pelajar digolongkan ke dalam dua golongan yaitu: faktor non sosial dan faktor sosial. Faktor non sosial dalam hal ini ialah : lokasi/tempat belajar, fasilitas belajar dan lainnya, sedangkan faktor sosial ialah kehadiran orang lain dalam proses belajar. Faktor yang berasal dari dalam diri pelajar digolongkan ke dalam dua golongan yaitu: faktor-faktor fisiologis dan faktor-faktor psikologis. Faktor fisiologis dalam hal ini ialah kondisi jasmani, panca indra dan lainnya; sedangkan faktor psikologis yaitu motif, kebutuhan atau cita-cita.

Tan et. al. (2001) menyebutkan faktor eksternal yaitu lingkungan fisik dan lingkungan sosial juga mempengaruhi proses belajar. Lingkungan fisik dalam hal ini ialah aksesibilitas, zone kegiatan visibilitas dan lainnya, sedangkan lingkungan sosial diantaranya ialah komunitas belajar, tingkat kekohesivan, norma dan tujuan

belajar. Soemanto (2006) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:

(1) Faktor-faktor stimuli belajar

Stimuli belajar yaitu segala hal di luar individu yang merangsang individu itu untuk mengadakan reaksi atau perbuatan belajar. Stimuli dalam hal ini mencakup materiil, penegasan, serta suasana lingkungan eksternal yang harus diterima atau dipelajari oleh si pelajar.

(2) Faktor-faktor metode belajar

Metode yang digunakan oleh guru/fasilitator menimbulkan perbedaan yang berarti bagi proses belajar

(3) Faktor-faktor individual

(31)

Klausmeier dan Goodwin (1971) menyebutkan ada sembilan faktor yang mempengaruhi proses belajar, yaitu :

(1) Tujuan belajar

Proses belajar dipengaruhi oleh tujuan pembelajaran, apa yang diharapkan dan diinginkan dari proses pembelajaran tersebut;

(2) Materi pembelajaran

Setiap orang yang belajar, masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan pada suatu bidang tertentu. Semakin dewasa orang yang belajar cenderung akan mendekati suatu minat atau keahlian dalam suatu bidang tertentu; (3) Media dan teknologi dalam pembelajaran

Bangunan sekolah dilengkapi dengan perlengkapan audio, audio visual, komputer, ruangan untuk kegiatan belajar kelompok dan lainnya;

(4) Karakteristik dan perilaku orang yang belajar

Untuk memperoleh proses belajar yang efektif sangat ditentukan oleh karakteristik dan perilaku orang yang belajar baik kemampuan pengetahuan/intelektual, kemampuan psikomotorik dan fisik serta

karakteristik sikap; (5) Karakteristik pengajar

Kemampuan intelektual, ketrampilan dan sikap guru sangat berpengaruh terhadap efektifnya suatu proses belajar;

(6) Interaksi pengajar dan orang yang belajar

Interaksi pengajar dan orang yang belajar diantaranya ialah bagaimana komunikasi antara pengajar dan yang diajar, bagaimana cara pengajar menerangkan atau mengajar dan lainnya;

(7) Organisasi, organisasi kependidikan baik penyelenggaraan pendidikan, maupun organisasi keprofesian guru;

(8) Karakteristik fisik, seperti ruangan, sarana dan fasilitas lembaga pendidikan sangat menentukan keberhasilan proses belajar; dan

(32)

Berdasarkan kajian beberapa literatur di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi proses belajar secara umum terbagi dua bagian besar yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi proses belajar antara lain adalah: kompetensi pengajar; pendekatan atau metode pengajaran yang digunakan; lingkungan sosial dimana pembelajar tinggal atau bermasyarakat; dan kelembagaan yang memfasilitasi proses belajar. Faktor internal yang mempengaruhi proses belajar adalah karakteritik individu pembelajar itu sendiri. Faktor internal dan eksternal tersebut, bila dikaitkan dengan proses belajar masyarakat dalam pengelolaan hutan, maka dapat disesuaikan menjadi: (1) kompetensi penyuluh dalam proses belajar; (2) pendekatan pembelajaran; (3) kelembagaan masyarakat; (4) kelembagaan pendukung pembelajaran masyarakat; dan (5) karakteristik petani pembelajar.

Karakteristik Individu Pembelajar

Karakteristik individu pembelajar merupakan faktor internal yang mempengaruhi proses belajar, yang akan dikaji dalam penelitian ini. Berkaitan

dengan faktor individual yang mempengaruhi proses belajar, Tan et.al (2001) menyebutkan bahwa motivasi merupakan unsur penting dalam pembelajaran. Motivasi merupakan kekuatan yang menguatkan, memelihara, dan mengarahkan perilaku ke arah pencapaian tujuan pembelajaran. Penelitian dan teori-teori menyebutkan bahwa motivasi secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe, yaitu motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik. Menurut Soemanto (2006) motivasi intrinsik ialah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Motivasi ekstrinsik ialah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar. Bila dikaitkan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar di atas, seluruh faktor-faktor-faktor-faktor eksternal tersebut dapat menjadi motivasi eksternal bagi orang yang belajar.

(33)

yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, akan berpengaruh pada proses belajar seseorang. Seseorang yang pernah mengalami keberhasilan dalam proses belajar, maka ia telah memiliki perasaan optimis akan keberhasilan di masa mendatang. Sebaliknya seseorang yang pernah memiliki pengalaman mengecewakan, maka dia telah memiliki perasaan pesimis untuk dapat berhasil. Sejalan dengan itu, Soebiyanto (1998) mengungkapkan bahwa karakteristik pribadi petani (pengalaman berusahatani, motivasi, dan pendidikan formal) berpengaruh nyata terhadap kemandirian petani. Demikian juga dengan karakteristik ekonomi (penguasaan lahan dan pemilikan alat produksi) berpengaruh nyata terhadap kemandirian petani.

Suparno (2001) mengemukakan faktor individual lain yang mempengaruhi proses belajar yaitu: konsep diri, locus of control, kecemasan. dan motivasi. Konsep diri ialah penilaian atau penghargaan yang diberikan oleh individu terhadap diri sendiri, dapat bernilai positif, negatif atau di antara keduanya. Untuk proses belajar yang baik, diperlukan konsep diri yang mengarah pada konsep diri positif. Contohnya: saya dapat berprestasi dan memiliki pemikiran yang baik

untuk dikembangkan. Konsep diri biasanya dipengaruhi oleh pengalaman, pola atau praktek pengasuhan dan perkembangan fisik seseorang. Locus of control

adalah cara bagaimana seseorang mempersepsi dan meletakkan hubungan antara perilaku dirinya dengan konsekuensi-konsekuensi dan apakah ia menerima tanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Kecemasan digambarkan sebagai keadaan emosi yang dihubungkan dengan rasa takut, tetapi obyek rasa takut itu tidak jelas.

Kompetensi Penyuluh dalam Proses Belajar

Konsep kompetensi diawali pada tahun 1973 oleh Mc. Clelland, dan dikembangkan oleh Boyatzis pada tahun 1982. Beberapa definisi kompetensi antara lain:

(1) Boyatzis (1984)

(34)

Sedangkan ketrampilan berkaitan dengan pelaksanaan tugas untuk mencapai tujuan.

(2) Spencer dan Spencer (1993) :

Kompetensi merupakan segala bentuk tentang motif, sikap, ketrampilan, pengetahuan, perilaku atau karakteristik pribadi lain yang penting, untuk melaksanakan pekerjaan atau membedakan antara kinerja rata-rata dengan kinerja superior.

(3) Samana (1994)

Seseorang dikatakan kompeten apabila seseorang menguasai kecakapan kerja atau keahlian selaras dengan tuntutan bidang kerja yang bersangkutan. Kecakapan kerja tersebut diwujudkan dalam perbuatan yang bermakna, bernilai sosial dan memenuhi standar tertentu yang diakui oleh kelompok profesinya dan masyarakat yang dilayani.

(4) Sumardjo (2006)

Kompetensi merupakan kemampuan dan kewenangan yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, yang didasari oleh pengetahuan, ketrampilan dan sikap sesuai dengan petunjuk kerja yang ditetapkan.

Rogers (1983) mengemukakan bahwa seorang penyuluh dikatakan kompeten apabila dia berhasil melaksanakan serangkaian tugasnya yang mencakup : (1) kemauan dan kemampuan penyuluh untuk menjalin hubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan masyarakat sasarannya; (2) kemauan dan kemampuan penyuluh untuk menjadi perantara/mediator antara sumber-sumber inovasi dengan pemerintah, lembaga penyuluhan dan masyarakat sasarannya; dan (3) kemauan dan kemampuan penyuluh untuk menyesuaikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan dengan kebutuhan yang dapat dirasakan oleh

pemerintah atau lembaga penyuluhan dan masyarakat sasarannya.

Menurut Spencer dan Spencer (1993) berdasarkan kriteria yang digunakan untuk memprediksi kinerja suatu pekerjaan, kompetensi dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu “threshold” dan “differentiating”. Threshold competencies

(35)

atau keahlian dasar seorang penyuluh adalah kemampuan berkomunikasi secara efektif, kemampuan membangun kerja sama (networking), dan kemampuan mengembangkan inovasi secara berkelanjutan. Sedangkan Differentiating competencies dalam konteks penyuluh adalah menyangkut orientasi motivasi melaksanakan tugas penyuluhannya.

Chamala dan Shingi (1997) mengungkapkan bahwa penyuluh ke depan harus memiliki kompetensi dalam menjalankan empat peranan penting, yaitu: (1) pemberdayaan; (2) pengelolaan kelompok dan organisasi masyarakat; (3) pengembangan sumberdaya manusia; serta (4) pemecahan masalah dan pendidikan. Peranan pemberdayaan dalam hal ini ialah kegiatan membantu masyarakat untuk membangun, mengembangkan dan meningkatkan kekuasaan (power) masyarakat melalui kemitraan, pembagian peran dan bekerja sama. Kekuasaan dalam pemberdayaan berasal dari menggali energi laten yang tersembunyi, yang ada dalam masyarakat itu sendiri dan membangun kegiatan bersama untuk kepentingan bersama. Peranan pengelolaan kelompok atau organisasi masyarakat dalam hal ini ialah: Penyuluh harus menguasai prinsip

pengelolaan kelompok dan organisasi kemasyarakatan agar masyarakat terutama kelompok yang lemah dapat mengembangkan diri mereka secara mandiri. Pemahaman terhadap struktur, hukum, aturan dan peranan akan menolong pemimpin lokal untuk merencanakan, mengimplementasikan dan mengawasi program sehingga dapat menjalankan peranannya dengan baik.

(36)

metode ceramah kepada pendekatan learning by doing dan merangsang petani dan organisasi petani untuk melaksanakan percobaan atau penelitian dan proyek pembelajaran dengan berbuat (action-learning project).

Berkaitan dengan penyelenggaraan penyuluhan pertanian, Sumardjo (2006) mengemukakan bahwa ada delapan kompetensi yang diperlukan oleh penyuluh sarjana untuk dapat mendukung pelaksanaan pekerjaannya yaitu : (1) kemampuan berkomunikasi secara konvergen dan efektif; (2) kemampuan bersinergi kerja sama dalam tim; (3) kemampuan akses informasi dan penguasaan inovasi; (4) sikap kritis terhadap kebutuhan atau ketrampilan analisis masalah, (5) keinovatifan atau penguasaan teknologi informasi dan desain komunikasi multimedia; (6) berwawasan luas dan membangun jejaring kerja; (7) pemahaman potensi wilayah dan kebutuhan petani; dan (8) ketrampilan berpikir logis.

Nuryanto (2008) mengungkapkan bahwa berdasarkan tugas-tugas penyuluh, tuntutan kompetensi sesuai dengan kebutuhan masyarakat merumuskan kompetensi dalam pembangunan pertanian yaitu: (1) keefektivan komunikasi; (2) pemanfaatan media internet, (3) membangun jejaring kerja; (4) mengakses

informasi; (5) pemahaman inovasi; (6) bekerja sama dalam tim; (7) analisis masalah; (8) berpikir secara sistem/logis; (9) pemahaman potensi wilayah; dan (10) pemahaman kebutuhan petani.

Kementerian Kehutanan, dalam hal ini Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan, menetapkan empat kompetensi yang perlu dikuasai oleh Penyuluh Kehutanan yaitu: (1) menguasai teknologi penyuluhan kehutanan, yaitu mengembangkan sistem, metode, materi dan alat bantu; (2) menguasai teknologi pemberdayaan pendampingan masyarakat, yaitu strategi, pengembangan kapasitas, produktivitas, kapabilitas, mobilitas; (3) menguasai substansi sektor kehutanan, yaitu isu-isu, kebijakan pembangunan, teknologi, kontribusi; serta (4) menguasai substansi agrisilvobisnis dan sosial ekonomi, yaitu penyediaan sarana produksi, produksi/budidaya, pengolahan hasil/pasca panen, pemasaran, lembaga pendukung.

(37)

penyuluh dari segi teknis menjadi lebih luas yaitu kompetensi penyuluh dalam mengembangkan kapasitas masyarakat untuk memecahkan masalah. Kompetensi utama yang dibutuhkan oleh penyuluh menurut Moyo dan Hagmann (1999) ialah : (1) pemahaman dan orientasi mendalam terhadap visi pembangunan partisipatif yang dititikberatkan pada pengembangan sumberdaya manusia dan kemandirian sebagai tujuan penyuluhan; (2) memiliki pandangan terhadap berbagai pendekatan dan metode penyuluhan dan mengkombinasikannya dengan berbagai elemen yang ditemui dalam pekerjaannya; (3) memahami secara mendalam proses pembelajaran dan pendekatan sistem; (4) kreatif menemukan metode dan cara yang dibutuhkan dalam proses pembelajaran; (5) kemampuan berkomunikasi dan keahlian memfasilitasi yang didasarkan pada sikap positif pada klien; (6) kemampuan melakukan komunikasi dan menjembatani hubungan dengan berbagai pihak/institusi; (7) pengetahuan teknis berkaitan dengan pemecahan masalah yang dihadapi berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam secara efektif dan keamanan pangan, dalam hal ini pengetahuan secara umum, bukan pengetahuan spesifik terhadap suatu komoditi dan lainnya; (8) memiliki

pengetahuan dan pemahaman tentang manajemen dan organisasi penyuluhan. Berdasarkan kajian beberapa literatur di atas, dapat disimpulkan bahwa kompetensi ialah kemampuan seseorang yang diwujudkan dalam pengetahuan, sikap dan ketrampilan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab, sesuai dengan standar kerja yang ditetapkan atau bahkan dapat mencapai sasaran ideal yang diharapkan. Berkaitan dengan penyuluhan kehutanan, kompetensi yang perlu dan diharapkan dimiliki oleh penyuluh kehutanan adalah: (1) kemampuan mengembangkan komunikasi; (2) kemampuan mengenali dan memahami kebutuhan petani; (3) kemampuan menganalisa masalah; (4) kemampuan mengembangkan kemitraan; (5) kemampuan mengembangkan kapasitas/SDM petani; (6) kemampuan mengembangkan manajemen dan kelembagaan petani; (7) kemampuan mengembangkan teknis pengelolaan hutan secara lestari.

Pendekatan Pembelajaran

(38)

(learning) berbeda dengan pengajaran (teaching). Pengajaran (teaching) lebih menekankan transfer pengetahuan dari seseorang yang tahu kepada seseorang yang tidak tahu. Pengajaran merupakan model yang umum dalam kurikulum pendidikan pada banyak organisasi. Pada institusi pendidikan, paradigma pengajaran ditekankan pada penyampaian materi pelajaran kepada murid/peserta, tidak memberikan tekanan pada proses pengembangan diri dan peningkatan kemampuan belajar pada peserta.

Roling dan Pretty (1997) mengemukakan untuk pembelajaran pertanian berkelanjutan membutuhkan transformasi mendasar pada tujuan, strategi, teori, persepsi, ketrampilan, pekerja organisasi dan tenaga profesional. Pergeseran dari pengajaran ke pembelajaran menggeser fokus pembelajaran dari apa yang kita pelajari ke arah bagaimana kita belajar dan dengan siapa kita belajar. Empat elemen mendasar yang diperlukan dalam pembelajaran adalah :

(1) Sistem informasi

Pertanian berkelanjutan harus menciptakan perubahan lingkungan sehingga petani dapat melakukan observasi, pencatatan dan pemantauan;

(2) Kerangka kerja konseptual

Pertanian berkelanjutan merupakan pengetahuan intensif sehingga petani harus memiliki pengetahuan luas yang berkaitan dengan usaha yang dilakukan;

(3) Ketrampilan

Petani membutuhkan ketrampilan yang lebih luas berkaitan dengan usahanya;

(4) Sistem manajemen yang lebih tinggi tingkatannya

(39)

menurut Moyo dan Hagmann (1999) adalah masyarakat petani mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk menganalisis kehidupannya sendiri sehingga mereka secara bertahap mampu menentukan rencana kegiatan secara mandiri, melaksanakan dan memantau, termasuk mengambil keputusan di setiap tahap kegiatan. Inti partisipatif ialah proses interaktif dan pemberdayaan.

Leeuwis (2004) mengemukakan bahwa dalam proses pembelajaran, peserta harus melalui proses : (1) menjadi sadar; (2) berminat; (3) terlibat aktif dalam pengalaman pembelajaran (dalam hal ini negosiasi); (4) terbentuk praktek dan rutinitas beradaptasi. Sedangkan Moyo dan Hagmann (1999) menyatakan proses pembelajaran dalam Participatory Extension Approach (PEA) terdiri dari 4 fase dan 12 tahap yaitu : (1) fase I : mempersiapkan masyarakat/komunitas: mobilisasi sosial; (2) fase II: perencanaan aksi tingkat komunitas; (3) fase III: pelaksanaan/pengalaman petani; dan (4) fase IV: monitoring proses melalui sharing pengalaman dan ide.

Kolb (1984), diacu dalam Leeuwis (2004), memperkenalkan model pembelajaran ”experiental learning” yang digunakan secara luas. Inti model

pembelajaran ini ialah bagaimana masyarakat belajar melalui pengalaman. Tipe pembelajaran ini sangat ”berkuasa” (powerful), kesimpulan diambil oleh masyarakat sendiri berdasarkan pengalaman mereka sendiri untuk mendapatkan dampak yang lebih besar dibandingkan dengan pandangan yang diformulasikan oleh orang lain berdasarkan pengalaman yang tidak dapat diidentifikasi oleh peserta belajar. Pendekatan ini juga sering kali dikaitkan dengan ”learning by doing” atau ”discovery learning”.

Model pembelajaran ini menekankan bahwa pembelajaran terjadi dari interaksi berkelanjutan antara proses berpikir dan bertindak: tindakan konkrit merupakan hasil dari pengalaman tertentu, yang direfleksikan, sehingga menghasilkan perubahan kognisi, sehingga dapat mengakibatkan tindakan atau aksi baru. Model ini mengimplikasikan bahwa pembelajaran dapat diperluas dengan mendukung secara aktif langkah dasar dan proses perubahan selama proses belajar, dengan menawarkan kesempatan pembelajaran yang baru.

(40)

Kelembagaan Masyarakat

Kesuksesan sistem pertanian berkelanjutan tidak hanya bergantung pada motivasi, ketrampilan dan pengetahuan individu petani, tetapi pada tindakan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat lokal secara keseluruhan (Pretty, 1995). Sejalan dengan itu Ostrom (1990), diacu dalam Pretty (1995), menegaskan bahwa kegagalan untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan disebabkan oleh fokus pengelolaan tanpa mempertimbangkan kerangka kelembagaan di lokasi tersebut. Hasil studi Bank Dunia terhadap proyek pembangunan pertanian selama ini menunjukkan bahwa keberhasilan proyek secara berkelanjutan terjadi bila memberikan perhatian pada pembangunan kelembagaan dan partisipasi masyarakat (Cernea, 1988).

Menurut Uphoff (1986) istilah kelembagaan atau institusi dan organisasi sering membingungkan dan bersifat interchangeably. Secara keilmuan ’social institution’ dan ’social organization’ berada pada level yang sama. Kelembagaan seringkali digunakan untuk mencakup kedua pengertian tersebut. Uphoff (1986) mendefinisikan institusi atau kelembagaan sebagai sebuah kumpulan norma dan

perilaku yang berlangsung lama dengan melayani tujuan yang bernilai sosial, sedangkan organisasi adalah struktur peranan yang dikenali dan diterima.

Kelembagaan masyarakat atau lembaga kemasyarakatan atau lembaga sosial merupakan terjemahan langsung istilah “social institution”. Belum ada kesepakatan mengenai istilah Indonesia untuk social institution, Soekanto (2006) menggunakan istilah pranata sosial, bangunan sosial atau lembaga kemasyarakatan. Menurut Soekanto (2006) lembaga kemasyarakatan merupakan himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok dalam kebutuhan masyarakat. Lembaga kemasyarakatan memiliki fungsi antara lain:

a. Memberi pedoman berperilaku pada individu/masyarakat : bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan;

(41)

c. Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial: artinya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya.

Uphoff (1992), diacu dalam Pretty (1995), menggunakan istilah “lokal” untuk institusi atau kelembagaan masyarakat, karena memiliki karakteristik khusus. Institusi atau kelembagaan lokal dalam hal ini berarti menjadi dasar untuk kegiatan kolektif, untuk membentuk konsensus, untuk menjalankan peran dan tanggung jawab koordinasi, dan untuk mengumpulkan, menganalisa dan mengevaluasi informasi. Fungsi organisasi dan institusi lokal menurut Uphoff (1992); Cernea (1991, 1993); Curtis (1991); Norton (1992); IFAP (1992) adalah : (a) Mengatur sumberdaya (tenaga kerja) untuk menghasilkan produk lebih banyak; (b) Menggerakkan sumberdaya material untuk menolong produksi lebih banyak (kredit, tabungan, pemasaran); (c) Menolong beberapa kelompok untuk mencapai akses baru untuk sumberdaya produktif; (d) Mengamankan keberlanjutan penggunaan sumberdaya alam; (e) Menyediakan infrastruktur sosial pada tingkat desa; (f) Mempengaruhi kebijakan institusi yang mempengaruhi mereka; (g) Menyediakan keterkaitan antara petani, peneliti dan pelayanan

penyuluhan; (h) Meningkatkan akses populasi penduduk desa kepada informasi; (i) Meningkatkan aliran informasi dari pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat; (j) Meningkatkan kohesi sosial; (k) Menyediakan kerangka kerja untuk kegiatan kerjasama; (l) Membantu mengatur masyarakat untuk menghasilkan dan menggunakan pengetahuan dan penelitian mereka untuk advokasi hak mereka; dan (m) Menjadi mediator untuk akses terhadap sumberdaya bagi kelompok terpilih.

(42)

mengembangkan perencanaan mandiri, pengelolaan dan penyediaan pelayanan yang efektif.

Untuk pembangunan pertanian berkelanjutan, Pretty (1995) mengungkapkan enam tipe kelompok atau institusi lokal yang secara langsung berhubungan dengan kebutuhan pertanian berkelanjutan, yaitu: (1) organisasi komunitas/masyarakat, seperti kelompok tani; (2) kelompok pengelolaan sumberdaya alam, seperti untuk kelompok petani pengguna irigasi; (3) kelompok petani peneliti; (4) kelompok penyuluhan petani kepada petani (farmers to farmers); (5) kelompok pengelola kredit; dan (6) kelompok konsumen.

Kelembagaan berisikan dua aspek penting yaitu “aspek kelembagaan” dan “aspek keorganisasian”. Aspek kelembagaan meliputi perilaku atau perilaku sosial, dimana inti kajiannya adalah tentang value, norm, custom, mores, folksway, usage, kepercayaan, moral, ide, gagasan, doktrin, keinginan, kebutuhan, orientasi dan lain-lain. Sementara dalam aspek keorganisasian meliputi struktur atau struktur sosial dengan inti kajiannya terletak pada aspek peran.

Perhatian pokok aspek kelembagaan adalah perilaku dengan faktor-faktor

yang menyebabkan perilaku tersebut. Sekumpulan faktor-faktor tersebut disetarakan dengan apa yang disebut Koentjaraningrat (1997) dengan “wujud ideel kebudayaan” yaitu berupa ide-ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dan sebagainya yang disebut sebagai adat istiadat atau adat. Wujud ideel kebudayaan terbagi menjadi 4 lapisan mulai dari yang paling abstrak yaitu sistem nilai-budaya, sistem norma-norma, sistem hukum dan peraturan-peraturan khusus.

Norma merupakan aturan sosial, patokan berperilaku yang pantas, atau tingkah laku rata-rata yang diabstraksikan. Kekuatan mengikat sistem norma terbagi menjadi empat tingkatan dari yang paling ringan yaitu cara (usage), kebiasaan (folksways), tata kelakuan (mores) dan adat istiadat (custom). Norma bersumber dari nilai dan merupakan wujud konkrit dari nilai. Dalam norma termuat hal-hal tentang keharusan, dianjurkan, dibolehkan, atau larangan. Norma mengontrol perilaku masyarakat. Dengan adanya norma-norma tersebut, dalam setiap masyarakat diselenggarakan pengendalian sosial atau social control

(43)

Pengendalian sosial menurut Soekanto (2006) mencakup segala proses baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak, atau bahkan memaksa warga-warga masyarakat mematuhi kaidah-kaidah dan nilai sosial yang berlaku. Pengendalian sosial terutama bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat, atau mencapai keadaan damai melalui keserasian antara kepastian dengan keadilan/kesebandingan. Pengendalian sosial yang umumnya diterapkan lebih dulu adalah pengendalian sosial yang dianggap paling lunak, misalnya nasehat-nasehat yang tidak mengikat. Taraf selanjutnya adalah menerapkan pengendalian sosial yang lebih ketat untuk kemudian bila diperlukan pengendalian sosial yang lebih keras. Pelanggaran terhadap norma memiliki hukuman (sanksi) yang berbeda sesuai dengan level kekuatan yang mengikat.

Soekanto (2006) menjelaskan lebih lanjut bahwa pengendalian sosial berkaitan erat dengan konformitas (conformity) dan penyimpangan (deviation). Konformitas merupakan proses penyesuaian diri dengan masyarakat, dengan cara mengindahkan kaidah dan nilai-nilai masyarakat. Penyimpangan (deviasi)

merupakan penyimpangan terhadap kaidah dan nilai-nilai dalam masyarakat. Kaidah dalam masyarakat berfungsi sebagai pengatur hubungan antara seseorang dengan orang lain atau antara seseorang dengan masyarakatnya. Dalam masyarakat homogen dan tradisional, konformitas warga masyarakat cenderung kuat. Misalnya masyarakat di desa terpencil, dimana tradisi dipelihara dan dipertahankan dengan kuat, warga masyarakat tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengadakan konformitas terhadap kaidah-kaidah serta nilai yang berlaku. Masyarakat di kota keadaannya berbeda, karena anggota masyarakat selalu berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kotanya. Adanya peralatan modern di bidang komunikasi massa memungkinkan orang kota mengikuti perkembangan dan perubahan. Dengan demikian konformitas rendah sehingga institusionalisasi sulit terjadi. Konformitas biasanya menghasilkan ketaatan dan kepatuhan.

(44)

bila masyarakat tradisional tersebut merasakan manfaat dari suatu deviasi tertentu, penyimpangan tersebut akan diterima. Penyimpangan (deviasi) akan terjadi jika terdapat ketidakserasian antara aspirasi dengan saluran-saluran yang tujuannya untuk mencapai cita-cita tersebut.

Selain ”aspek kelembagaan”, kelembagaan berisikan ”aspek keorganisasian”. Fokus utama aspek keorganisasian adalah ”struktur”. Struktur dalam kelembagaan sangat penting karena menyediakan kejelasan tentang bagian-bagian pekerjaan dalam aktivitas kelembagaan, bagaimana kaitan antar fungsi-fungsi yang berbeda, penjenjangan antar bagian, konfigurasi otoritas, kesalinghubungan antar otoritas, serta berhubungan dengan lingkungan sekitar. Struktur mencakup beberapa pemahaman sebagai berikut : (1) menggambarkan bagaimana hubungan antar bagian dalam lembaga secara keseluruhan; (2) tujuan; (3) peran dan keterkaitan antar bagian; (4) keanggotaan; (5) kepemimpinan; dan (6) konflik.

Tujuan merupakan salah satu ciri kelembagaan modern (”organisasi”), yang biasanya pembentukan kelembagaan secara sengaja karena adanya tujuan

tertentu. Ketika kelembagaan yang ada dipandang tidak memadai untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, maka disepakati untuk membentuk kelembagaan baru. Namun pada hakekatnya semua kelembagaan pasti memiliki tujuan, baik kelembagaan tradisional maupun modern. Suatu kelembagaan dibangun karena ada tujuan, dan akan tetap eksis sepanjang masih mampu digunakan untuk memenuhi tujuan tersebut.

Peran mengacu pada sekumpulan harapan dari anggota kelompok terhadap perilaku seseorang yang memiliki posisi tertentu. Adanya kejelasan peran, keterkaitan hubungan antar peran, tingkat integrasi sosial dan kohesi sosial yang terbentuk dalam suatu kelembagaan akan mengarah kepada iklim kerja sama dan koordinasi dalam kelembagaan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi eksistensi kelembagaan tersebut.

(45)

laku sebagaimana dikehendaki pemimpin tersebut. Kepemimpinan kadangkala dibedakan antara kepemimpinan sebagai kedudukan dan kepemimpinan sebagai suatu proses sosial. Kepemimpinan sebagai kedudukan, merupakan suatu kompleks dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dimiliki oleh seseorang atau suatu badan. Kepemimpinan sebagai suatu proses sosial meliputi segala tindakan yang dilakukan seseorang atau sesuatu badan yang menyebabkan gerak dari warga masyarakat.

Setelah mengkaji beberapa literatur mengenai kelembagaan masyarakat di atas, dapat disimpulkan dalam penelitian ini kelembagaan mengandung pengertian institusi dan organisasi. Sebagai institusi, kelembagaan merupakan sekumpulan norma yang disepakati bersama untuk menjadi pedoman dalam bertingkahlaku. Dalam pengertian sebagai organisasi, kelembagaan merupakan sekumpulan orang yang memiliki peran tertentu yang terstruktur untuk mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu kelembagaan masyarakat dalam penelitian ini diwakili oleh peubah yang mengandung pengertian institusi dan organisasi, yaitu : (1) kejelasan norma; (2) penegakan sanksi; (3) tingkat konformitas; (4) tingkat deviasi; (5)

kesesuaian tujuan; (6) kepemimpinan; dan (7) kesesuaian peran dan keterkaitan antar bagian.

Kelembagaan pendukung proses belajar

Pretty (1995) mengemukakan bahwa untuk sistem pertanian berkelanjutan, selain teknologi konservasi sumberdaya alam dan pengembangan kelompok atau kelembagaan lokal, dibutuhkan unsur penting lainnya yaitu kelembagaan eksternal yang diorganisir, yang bekerja sama dengan kelembagaan lainnya dan petani. Pada era modernisasi, kelembagaan eksternal cenderung mengabaikan pengetahuan dan inisiatif masyarakat lokal.

(46)

Dalam sistem pertanian berkelanjutan pendekatan penyuluhan direktif perlu diubah mengarah kepada pendekatan sistem penyuluhan partisipatif, yang dimulai dari organisasi pembelajaran. Beberapa perubahan antara lain adalah penyuluhan perlu membangun sistem komunikasi tradisional dan melibatkan para petani dalam proses penyuluhan. Sistem insentif perlu diberikan kepada pekerja atau penyuluh di lapangan yang dapat bekerja sama dan menjalin hubungan yang erat dengan petani. Partisipasi petani yang menjadi bagian dari penyuluhan harus benar-benar interaktif dan pemberdayaan. Hal ini merupakan perubahan dari sebelumnya dimana partisipasi hanya dilihat dari kehadiran petani dalam pertemuan atau adanya keterwakilan petani dalam suatu komite.

Bagi kelembagaan eksternal yang mendukung sistem pertanian berkelanjutan, baik kelembagaan penelitian, penyuluhan maupun perencanaan, baik pemerintah maupun organisasi non pemerintah harus melembagakan pendekatan dan struktur yang mendorong pembelajaran. Hasil penelitian Narayan (1993), diacu dalam Pretty (1995), terhadap pentingnya partisipasi dalam proyek pengairan menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat atau partisipasi

masyarakat dipengaruhi oleh seberapa banyak faktor dalam kelembagaan eksternal yang merupakan kebutuhan atau minat masyarakat lokal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kesuksesan kelembagaan eksternal ditentukan oleh : sejauh mana kelembagaan eksternal tersebut mengakomodir orientasi utama atau nilai-nilai yang dipercaya oleh masyarakat lokal, respons selama pelaksanaan dan pemberian kesempatan masyarakat lokal untuk mengambil keputusan.

Tiga ranah kemampuan pembelajaran yang dapat ditingkatkan oleh kelembagaan pertanian ialah: (1) Mendukung penelitian dan menghormati perbedaan; (2) Mendukung keterkaitan dan kerja kelompok; dan (3) Pemantauan dan evaluasi diri untuk peningkatan pembelajaran. Kelembagaan eksternal berkaitan dengan pengembangan pertanian berkelanjutan perlu mendukung upaya-upaya untuk mengembangkan kreativitas dan inovasi. Adanya perbedaan harus dipandang sebagai pengayaan pemahaman yang memperluas keilmuan dari berbagai sudut pandang.

(47)

sama dalam kelompok, dapat melakukan pendekatan terhadap situasi dari berbagai perspektif, dapat memantau pekerjaan satu dengan lainnya dan dapat mengerjakan bermacam-macam tugas secara simultan. Bekerja sama dalam suatu kelompok memiliki daya atau kekuatan yang sangat besar dan produktif jika berfungsi dengan baik, serta output yang dihasilkan pun memiliki nilai yang lebih besar daripada penjumlahan anggota secara individual.

Menurut Handy (1985), diacu dalam Pretty (1995) sebuah kelompok dapat menjalankan fungsi sebagai sebuah tim, perlu melalui beberapa tahapan yaitu: (1) pembentukan atau forming; (2) merebut perhatian/menyerang atau

storming; (3) membentuk norma atau norming; dan (4) menampilkan kinerja atau

performing. Pada tahap awal, merupakan kumpulan individu dengan agenda dan keahlian masing-masing dan tidak ada berbagi pengalaman. Namun lama kelamaan mereka saling mengenal, pada tahap ini nilai-nilai dan prinsip personal ditantang, peranan dan tanggung jawab diterima atau ditolak, dan tujuan kelompok mulai didefinisikan lebih jelas. Bila pada tahap ini lebih banyak konflik daripada kesepakatan maka kelompok ini akan bubar atau terpecah. Tetapi bila

pada tahapan ini banyak ditemukan kesepakatan, akan meningkatkan kohesi kelompok.

Pada tahapan pembentukan norma, anggota kelompok memahami peranannya dalam hubungan satu dengan lainnya dan membangun visi dan tujuan bersama, serta menentukan identitas dan norma perilaku kelompok secara jelas. Pada tahapan ini kelompok yang bermitra ini sudah ajeg atau mapan. Pada saat norma bersama terbentuk, kelompok siap untuk melakukan aksi dan memasuki tahapan performing. Pada tahapan ini kelompok ini dapat melakukan pekerjaan lebih efektif sebagai sebuah tim kerja.

Gambar

Tabel 1. Perbandingan perangkat kelembagaan pembelajaran lama dan baru
Tabel 3. Lima Ragam Kapabilitas Belajar, Kinerja/Unjuk Kerja
Tabel 4. Perbandingan Pendekatan Cetak Biru dan Proses Belajar
Gambar 1.  Kerangka Konseptual Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil uji t dijelaskan nilai signifikan dari tabel Coefficients disimpulkan bahwa variabel Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan (X) berpengaruh terhadap

Kajian ini tidak hanya membahas fenomena kebahasaan dari segi kata dan kalimat, pengucapan, makna dan struktur kalimat tetapi lebih dari itu mengkaji fenomena kebahasaan yang

aqidah , sebab landasan keduanya adalah wahyu. 5) Segala perbedaan dalam agama harus dikembalikan kepada Allah dan rasul-Nya. 6) Orang yang menerima apa yang datang dari

SHU adalah selisih antara penghasilan yang diterima selama periode tertentu dan pengorbanan yang dikeluarkan untuk memperoleh penghasilan.. SHU sangat penting untuk

Jurnal Manajemen Pendidikan 600 Dengan demikian, maka dapat disintesiskan bahwa penjaminan mutu (Quality Assurance) merupakan sebuah sistem yang terencana, terarah

Gunakan tombol save bergambar untuk menyimpan data baru, untuk menyimpan data yang telah diubah gunakan tombol edit bergambar , tekan tombol hapus bergambar , untuk

Konsep dari acara screening ini bertemakan unsur budaya, dengan nama acara “PESONA” yang memiliki tema pesona budaya Indonesia dikarenakan dari masing-masing karya film

Sebagai salah satu inovasi teknologi pada arus globalisasi, sekarang ini televisi mampu mempengaruhi pola pikir masyarakat dan telah menyentuh kepentingan masyarakat