• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Retensi Karoten Total dan Protein serta Aktivitas Antioksidan Masakan Torbangun (Coleus amboinicus Lour)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkat Retensi Karoten Total dan Protein serta Aktivitas Antioksidan Masakan Torbangun (Coleus amboinicus Lour)"

Copied!
140
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

SUPRAPTI. The Retention Rate of Total Carotenoids, Protein, and Antioxidant Activity of Torbangun (Coleus amboinicus Lour) Cuisine. Under the Guidance of M. RIZAL M. DAMANIK.

Bataknese Simalungun women in North Sumatra who consume Torbangun soup believe that it can stimulate the breast milk production. Until now information and use of Torbangun is still very limit. People need to know more about Torbangun apart from its benefit but also on the effect of cooking towards nutrients especially those sensitive to the total carotenoids and proteins as well as antioxidant activity. The purpose of this research was to study the effects of Cuisine types on the retention of carotenoids, protein, and antioxidant activity of Torbangun cuisine. There are three types of Torbangun cuisine used in this study namely lodeh, pecel, and stir-fry. Chemical analysis conducted in this study include the analysis of water, fat, protein, ash, carbohydrate cntents, total carotene, and antioxidant activity. The study used Complete Randomized Design (CRD). Data were analyzed using Analysis of Variance, Duncan, and independent T-Test. Cuisine types significantly effected the nutrient content of water, ash, carbohydrates, and carotene, while there were no significant effect of the nutrient content of fat, and protein then antioxidant activity. The contribution of vitamin A in the torbangun cuisine (per serving) was more than 20% of the recommended reference Label Nutrition (ALG), so that these products can be categorized as high provitamin A. Independent T-Test results showed that the levels of crude carotene lodeh before and after cooking were significantly different (p <0.05), whereas carotene levels of pecel and stir-fry were not significantly different, as well as protein content and antioxidant activity before and after cooking (p > 0.05).

(2)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masyarakat Indonesia masih banyak yang mempercayai khasiat tertentu dalam suatu makanan. Kepercayaan tersebut sudah menjadi turun-temurun selama ratusan tahun dan menjadi kebiasaan (Damanik et al. 2006). Salah satu kebiasaan itu terdapat pada masyarakat Batak Simalungun di Sumatera Utara. Wanita Batak yang yang baru melahirkan terbiasa mengkonsumsi Torbangun dalam bentuk sayur. Tanaman Torbangun dikonsumsi karena dipercaya dapat memicu produksi ASI. Selain itu, Torbangun juga dipercaya dapat membantu mengontrol perdarahan postpartum dan bertindak sebagai agen pembersih rahim (Damanik et al. 2001).

Torbangun merupakan tanaman yang banyak tumbuh di berbagai daerah tidak hanya terbatas di Tanah Batak. Daun Torbangun juga ditanam di India dan Thailand meskipun tujuan penggunaannya berbeda-beda. Di India daun itu digunakan untuk bumbu kari, sedangkan di Thailand untuk obat bagi orang yang digigit ular (Damanik 2004). Pemanfaatan Torbangun di Indonesia sendiri masih belum banyak diketahui sehingga penggunaannya terbatas dijadikan sebagai sayur oleh masyarakat Batak bagi ibu yang menyusui.

Pemanfaatan Torbangun sebagai sayur oleh masyarakat Batak memang sudah dikenal sejak lama, namun masih belum banyak penelitian yang membahas mengenai sayur Torbangun. Sampai saat ini informasi mengenai masakan Torbangun terbatas pada ketersediaan zat gizi dalam sayur sedangkan interaksi beberapa zat gizi yang berperan aktif dalam mempertahankan kadar gizi dalam pemasakan tidak diketahui, begitu pula informasi tentang retensi atau perubahan zat gizi selama pemasakan.

Masyarakat perlu mengetahui sisi lain dari masakan Torbangun selain dari aspek manfaat saja. Sejauh ini masyarakat hanya mengetahui manfaat Torbangun dari segi kesehatan yaitu selain betindak sebagai lactagogum dan pembersih rahim ibu yang baru melahirkan (uterine cleansing agent) Torbangun juga dikenal sebagai pemulih tenaga (tonikum), pengurang rasa nyeri (analgesic), penawar racun (antimikroba/antibakteri) dan obat untuk menyembuhkan penyakit seperti sariawan dan batuk (Damanik et al. 2004).

(3)

2

serta aktivitas antioksidan masih jarang. Selama ini torbangun pada masyarakat Batak dimasak dengan cara direbus ditambahkan santan seperti sayur lodeh, sedangkan pengolahan dijadikan jenis masakan yang lain masih jarang ditemukan. Umumnya jenis masakan yang dibuat oleh masyarakat beragam, sehingga penelitian ini mengupayakan variasi masakan torbangun tidak hanya lodeh. Jenis masakan yang beragam diharapkan dapat memberikan gambaran yang mewakili masing-masing jenis masakan. Adapun jenis masakan yang dimaksud yaitu lodeh, pecel, dan tumis yang mewakili jenis pemasakan rebus, kukus, dan tumis.

Tujuan Penelitian Tujuan Umum:

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh jenis masakan terhadap tingkat retensi karoten total dan protein serta aktivitas antioksidan masakan Torbangun.

Tujuan Khusus:

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk:

1. Menganalisis sifat kimia (kadar air, kadar abu, kadar lemak, dan kadar karbohidrat) masakan Torbangun.

2. Mengetahui kadar karoten dan protein serta aktivitas antioksidan masakan Torbangun.

3. Mengukur kontribusi total karoten masakan Torbangun dalam pemenuhan kebutuhan vitamin A.

(4)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Torbangun (Coleus amboinicus Lour)

Tanaman Torbangun (Coleus amboinicus Lour) merupakan tanaman tradisional yang sering disebut bangun-bangun. Menurut Damanik (2001), dalam bahasa Simalungun „bangun‟ berarti bangkit, mereka percaya bahwa ibu yang baru melahirkan pasti lemah dan membutuhkan kekuatan untuk penyembuhan. Pemberian tanaman Torbangun dapat memulihkan kondisi ibu yang baru melahirkan. Selain itu daun Torbangun telah digunakan oleh masyarakat Batak Sumatera Utara sebagai makanan yang dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas ASI serta status gizi anak yang dilahirkan (Damanik 2005).

Tanaman Torbangun dikenal di beberapa daerah dengan beberapa nama yang berbeda. Dalam bahasa Indonesia sendiri Torbangun dikenal dengan nama Bangun-bangun, daun Jinten, daun Hati-hati, atau Sukan, masyarakat Sunda mengenalnya dengan nama Ajeran atau Aceran, dalam bahasa jawa disebut daun kucing, dalam bahasa madura disebut Daun Kambing atau Mahja Nereng. Di Bali dikenal dengan nama Iwak dan di Timor dikenal dengan nama Kumu Etu (Heyne 1987). Torbangun yang ditemukan di lapangan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) (Sumber: Suryanto 2010)

Taksonomi tanaman Torbangun diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae

(5)

4

Suku : Labiatae

Marga : Coleus

Spesies : Coleus ambionicus Lour

Torbangun merupakan suatu tumbuhan jenis rumput-rumputan, mempunyai batang dan tangkai berkayu. Torbangun biasanya ditanam di kebun-kebun dan di daerah dataran rendah sampai ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Torbangun tumbuh di tempat-tempat yang tidak terlalu banyak kena sinar matahari dan airnya cukup (tidak terlalu kering) (Yuniarti 2008).

Tanaman Torbangun memiliki ciri batang berkayu lunak, beruas-ruas dan berbentuk bulat, diameter pangkal ± 15 mm, tengah 10 mm dan ujung ± 5 mm. Tanaman Torbangun jarang berbunga akan tetapi pengembangbiakannya mudah sekali dilakukan dengan cara stek dan cepat berakar di dalam tanah. Di pot pun tanaman ini dapat tumbuh dengan baik (Heyne 1987).

Komposisi zat gizi daun Torbangun yang terdapat dalam daftar komposisi bahan makanan menyebutkan bahwa dalam 100 g daun Torbangun mengandung banyak kalsium, besi, karoten total dibandingkan dengan daun katuk (Sauropus androgymus). Perbandingan kadar gizi daun Torbangun dan daun katuk terdapat pada Tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1 Kandungan gizi daun Torbangun dan daun katuk per 100 g bahan Zat gizi Daun Torbangun Daun katuk

Energi kalori (Kal) 27 59

Protein (g) 1,3 6,4

Lemak (g) 0,6 1,1

Karbohidrat (g) 4,0 9,9

Zat besi (mg) 13,6 3,5

Magnesium (mg) 62,5 -

Kalsium (mg) 279 233

Potasium (mg) 52 -

Abu (g) 1,6 1,7

Serat (g) 1,0 1,5

Karoten total (µg) 13288 10020

Vitamin B1 (µkg) 0,16 0

Vitamin C (mg) 5,1 66,0

Air (%) 92,5 83,3

Berat dapat dimakan (%)

66 42

(6)

5

Komposisi kadar kimia Torbangun masih belum banyak diketahui. Beberapa yang sudah diteliti yaitu Dr. Boorsma (Heyne 1987) menyatakan daun Torbangun mengandung banyak kalium (6,46% dari berat kering pada K2O) dan minyak atsiri (0,043% pada daun segar atau 0,2 % daun kering). Weehuizen dalam Heyne (1987) mendapatkan dalam 120 kg tanaman segar kira-kira 25 ml minyak atsiri, yang mengandung phenol (isopropyl-O-kresol) dan atas dasar itu ia menyatakan sebagai antiseptik yang bernilai tinggi.

Daun tanaman Torbangun mengandung tiga komponen utama yang berkhasiat. Komponen pertama adalah senyawa-senyawa yang bersifat laktagogue, yaitu komponen yang dapat menstimulir produksi kelenjar air susu pada induk laktasi. Komponen kedua adalah komponen gizi dan komponen ketiga adalah komponen farmaseutika yaitu senyawa-senyawa yang bersifat buffer, antibakterial, antioksidan, pelumas, pelentur, pewarna, dan penstabil. Hasil uji fitokimia dalam daun Torbangun terkandung alkaloid, flavonoid, dan tanin (Rumetor 2008).

Menurut Yuniarti (2008), ada beberapa penyakit yang dapat diobati oleh Torbangun yaitu asma, batuk, perut kembung, sakit kepala, sariawan, demam, luka dan borok. Heyne (1987) menambahkan, daunnya yang berbentuk jantung dan sangat berdaging dan harum baunya biasanya dimasak sebagai sayur atau kadang-kadang untuk lalapan. Di Jawa, daunnya dipakai masakan daging kambing. Selain itu daun ini juga bermanfaat sebagai penyembuh luka dengan cara digerus kemudian ditempelkan pada daerah luka, atau dibuat jamu penurun panas, atau langsung dikunyah untuk obat sariawan. Menurut Duke (2002) Torbangun juga memiliki khasiat menyembuhkan penyakit kanker, kardiopati, Congestive Heart Failure, sawan, kram, depresi, dermatosis, dyspepsia, disuria, eczema, glaukoma, tekanan darah tinggi, hipotiroid, mandul, insomnia, iskemik, miokardiosis, obesitas, psoriasis, respirosis, thrombosis, dan retensi air.

Antioksidan

(7)

6

lebih reaktif. Sifat radikal bebas yang sangat reaktif menyebabkan radikal bebas tersebut sangat mudah menyerang sel-sel yang sehat di dalam tubuh. Bila tidak ada pertahanan yang cukup optimal maka sel-sel yang sehat tersebut menjadi tidak sehat atau sakit. Senyawa yang dihasilkan oleh polusi, asap rokok, kondisi stress, bahkan oleh sinar matahari akan berinteraksi dengan radikal bebas di dalam tubuh. Secara tidak langsung senyawa radikal tersebut akan merusak sel sehingga menyebabkan terjadinya suatu penyakit seperti kanker, sakit liver, dan penyakit yang berhubungan dengan umur seperti alzeimer (Hernani & Raharjo 2006).

Menurut Tapan (2005) fungsi antioksidan adalah menetralisir radikal bebas, sehingga tubuh terlindungi dari berbagai penyakit degeneratif dan kanker. Fungsi lain antioksidan adalah membatu menekan proses penuaan/antiaging. Lebih lanjut Hernani & Raharjo (2006) menambahkan, fungsi utama antioksidan digunakan untuk memperkecil terjadinya proses oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil terjadinya proses kerusakan dalam makanan, memperpanjang masa pemakaian dalam industri makanan, meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam makanan, serta mencegah hilangnya kualitas sensori dan nutrisi.

Terdapat tiga macam antioksidan yaitu: 1) antioksidan yang dibuat sendiri oleh tubuh berupa enzim antara lain superoksida dismutase, glutathione peroksidase, peroxidasi, dan katalase; 2) antioksidan alami yang dapat diperoleh dari tanaman atau hewan, yaitu: tokoferol, vitamin C, beta karoten, flavonoid, dan senyawa fenolik; 3) antioksidan sintetik, yang dibuat dari bahan-bahan kimia Butylated hroxyanisole (BHA) yang ditambahkan ke dalam makanan untuk mencegah kerusakan lemak (Kumalaningsih 2007).

Lebih lanjut menurut Kumalaningsih (2007), atas dasar fungsinya antioksidan dapat dibedakan menjadi 5 (lima) yaitu:

a. Antioksidan primer: antioksidan yang berfungsi untuk mencegah terbentuknya radikal bebas baru karena dapat merubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya, yaitu sebelum sempat bereaksi, contohnya enzim superoksida dismutase yang melindungi hancurnya sel-sel dalam tubuh akibat serangan radikal bebas.

(8)

7

sehingga tidak terjadi kerusakan yang lebih besar, contohnya vitamin E, vitamin C, dan beta karoten yang dapat diperoleh dari buah-buahan.

c. Antioksidan tersier: senyawa yang memperbaiki sel-sel dan jaringan yang rusak karena serangan radikal bebas, contohnya enzim metionin sulfoksidan reduktase yang memperbaiki DNA dalam inti sel.

d. Oxygen scavenger: antioksidan yang termasuk oxygen scavenger yang mampu mengikat oksigen sehingga tidak mendukung reaksi oksidasi, misalnya vitamin C.

e. Chelators atau sequesstrants: senyawa yang dapat mengikat logam sehingga logam tidak dapat mengkatalis reaksi oksidasi. Akibatnya kerugian dapat dicegah. Contoh senyawa tersebut adalah asam sitrat dan asam amino.

Reaksi antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak teroksidasi, dapat disebabkan oleh empat macam mekanisme reaksi yaitu: 1) pelepasan hidrogen dari antioksidan; 2) pelepasan elektron dari antioksidan; 3) adisi lemak ke dalam cincin aromatik dari antioksidan; dan 4) pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari antioksidan (Ketaren 1986).

Antioksidan dapat menghambat setiap tahap oksidasi. Adapun tahap-tahap reaksi oksidasi adalah sebagai berikut:

RH + *O-O* cahaya/panas R* + *OOH (free redical intiating)

R* + *O-O* RO2* (chain propagasi)

RO2* + RH RO2H + R

R* + *OOH RO2H (chain termination)

R* + R* RR

R* + RO2* RO2R

Keterangan

RH = lemak/minyak tidak jenuh RO2* = peroksida aktif

R* = asam lemak tidak jenuh aktif

(9)

8

Karoten

Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, oranye, merah oranye serta larut dalam minyak (lipida) (Winarno 1997). Karotenoid adalah kelompok besar dari hidrokarbon (karoten) dan xantofil. Karoten mengakibatkan tanaman berwarna merah, oranye, atupun kuning, contohnya pada tanaman nanas, jeruk, buah persik, tomat, papaya, wortel, semangka, labu dll. (Tapan 2005).

Dalam tanaman terdapat beberapa jenis karoten, namun yang lebih banyak ditemukan adalah alfa karoten, beta karoten, dan gamma karoten, serta kriptosantin yang berperan sebagai provitamin A. beta karoten merupakan provitamin yang paling aktif yang terdiri dari dua molekul retinol yang saling berkaitan (Almatsier 2004). Keaktifan biologis karoten jauh lebih rendah dibandingkan dengan vitamin A (Winarno 1997).

Menurut Tapan (2005), secara umum fungsi karotenoid adalah untuk mengatur fungsi-fungsi kekebalan tubuh, melindungi dari proses penuaan (keriput dan kulit kering, rambut memutih dan flek-flek di wajah), melindungi dari aterosklerosis dan beberapa jenis kanker. Almatsier (2004), menambahkan vitamin A berperan dalam berbagai fungsi faali tubuh yaitu penglihatan, diferensiasi sel, fungsi kekebalan, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, pencegahan kanker dan penyakit jantung.

(10)

daun-9

daun yang pucat seperti selada, dan kol miskin akan karoten. Wortel, ubi jalar, dan labu kaya akan karoten.

Karakteristik dari karotenoid adalah sensitif terhadap alkali dan sangat sensitif terhadap udara dan sinar terutama pada suhu tinggi serta tidak larut dalam air, gliserol, dan propilen glikol. Karotenoid larut dalam minyak makan pada suhu kamar, dan lemak (Kumalaningsih 2007). Winarno (1997) menambahkan, vitamin A mempunyai sifat yang sangat mudah teroksidasi oleh udara, dan akan rusak bila dipanaskan pada suhu tinggi bersama udara, sinar, dan lemak yang sudah tengik, namun vitamin A stabil terhadap panas dan asam. menurut Almatsier (2004), pada cara pemasakan biasa tidak banyak vitamin A yang hilang. Pengeringan buah di matahari dan cara dehidrasi lain menyebabkan kehilangan sebagian dari vitamin A. Ketersediaan biologik vitamin A meningkat dengan kehadiran vitamin E dan antioksidan lain.

Kebutuhan tubuh akan vitamin A masih dinyatakan dalam Satuan Internasional (SI). Hal tersebut dilakukan untuk mempermudah penilaian aktivitas vitamin A dalam makanan, agar mencakup preformed vitamin A dan provitaminnya. Satu SI vitamin A setara dengan kegiatan 0,2 ug retinol atau 0,6 µg trans beta karoten atau 1,0 mg karoten total (campuran) di dalam bahan makanan nabati (Sediaoetama 2008).

Rekomendasi konsumsi vitamin A (µg ekuivalen retinol per hari) untuk berbagai golongan umur dan jenis kelamin untuk Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Rekomendasi konsumsi vitamin A (µg ekuivalen retinol per hari)

Group Age(years)

FAO/WHO(1988) (safe level of

intake)

USA (1989) RDA

UK (1991) RNI Laki-laki dan

perempuan

<1.0 350 375 350

1-3 400 400 400

4-6 400 500 500

7-10 400 700 500

Laki-laki 11-12 500 1000 600

13-15 600 1000 600

Adult (>15) 600 1000 700

Perempuan 11-12 500 800 600

13-15 600 800 600

Adult (>15) 500 800 600

Pregnancy +100 +0 +100

Lactation +350 +500 +350

(11)

10

Jumlah kebutuhan vitamin A yang dianjurkan (Widya karya Pangan Nasional Pangan dan Gizi 1978) adalah 1.200-2.400 SI bagi bayi dan anak-anak di bawah 10 tahun, dan 3.500-4.000 SI untuk orang dewasa. Apabila kebutuhan vitamin A tidak terpenuhi akan menyebabkan beberapa gangguan. Menurut Almatsier (2004) beberapa ganggunan yang dapat ditimbulkan akibat kekurangan vitamin A yaitu buta senja, perubahan pada mata yang dalam jangka panjang dan tidak diobati akan mengakibatkan kebutaan total yang dikenal xeroftalmia. Gangguan lainnya adalah infeksi karena fungsi kekebalan menurun akibat kekurangan vitamin A, kulit menjadi kering dan kasar, serta gangguan pertumbuhan, keratinisasi pada sel-sel lidah yang berakibat berkurangnya nafsu makan, dan anemia.

Kelebihan vitamin A hanya terjadi bila memakan vitamin A sebagai suplemen dalam takaran tinggi yang berlebihan, misalnya takaran 16.000 RE untuk jangka waktu lama atau 40.000-55.000 RE/hari. Gejala pada orang dewasa antara lain sakit kepala, pusing, rasa eneg, rambut rontok, kulit mengering, tidak ada nafsu makan atau anoreksia, dan sakit pada tulang. Pada bayi terjadi pembesaran kepala (hidrosefalus), dan mudah tersinggung, yang dapat terjadi pada konsumsi 8.000 RE/hari selama 30 hari (Almatsier 2004).

Protein

Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air. Seperlima bagian tubuh adalah protein, separonya ada di dalam otot, seperlimanya di dalam tulang dan tulang rawan, sepersepuluh di dalam kulit, dan selebihnya di jaringan lain dan di cairan tubuh. Semua enzim, berbagai hormon, pengangkut zat gizi dan darah, matriks intraseluler dan sebagainya adalah protein. Di samping itu asam amino yang membentuk protein bertindak sebagai prekursor sebagian besar koenzim, hormon, asam nukleat, dan molekul-molekul yang esensial untuk kehidupan (Almatsier 2004).

(12)

11

(protein otot). Menurut Sediaoetama (2008) fungsi protein dalam tubuh sangat berhubungan dengan hayat hidup sel. Sebagai protein struktural bagian integral dari mikrostruktur sel, zat pembangun, pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan, menggantikan sel-sel yang mati dan aus terpakai, berfungsi dalam mekanisme pertahanan tubuh, sebagai zat pengatur metabolisme dalam bentuk enzim dan hormon, salah satu sumber energi, dan dalam kromosom berfungsi dalam menyimpan dan meneruskan sifat-sifat keturunan dalam bentuk gen.

Menurut Muchtadi et al. (1993), berdasarkan strukturnya protein dapat digolongkan menjadi:

a. Struktur primer: digambarkan sebagai struktur asam amino dalam protein. Merupakan serangkaian asam amino khas yang menentukan sifat dasar dari berbagai protein.

b. Struktur sekunder: bentuk tiga dimensi dengan cabang-cabang rantai polipeptida yang tersusun saling berdekatan. Contohnya bentuk alfa heliks yang terdapat pada wool, bentuk lipatan pada sutera, serta bentuk heliks pada kolagen.

c. Struktur tersier: susunan beberapa struktur sekunder yang ditemukan pada sebagian besar rantai cabang polipeptida.

d. Struktur kuartener: struktur yang melibatkan beberapa struktur rantai polipeptida dalam bentuk ikatan protein. Ikatan yang terlibat dalam pembentukan protein sama dengan ikatan-ikatan yang terdapat pada struktur tersier.

(13)

12

(2004) sumber protein nabati adalah kacang kedelai dan hasilnya, seperti tempe dan tahu, serta kacang-kacangan lain.

Kebutuhan protein menurut FAO/WHO/UNU (1985) adalah konsumsi yang diperlukan untuk mencegah kehilangan protein tubuh dan memungkinkan produksi protein yang diperlukan dalam masa pertumbuhan, kehamilan, atau menyusui. Angka kecukupan protein orang dewasa menurut hasil-hasil penelitian keseimbangan nitrogen adalah 0,75 g/kg berat badan (Almatsier 2004). Kebutuhan protein perorangan tergantung pada laju pertumbuhan dan berat badan. Orang dewasa memerlukan kira-kira 1 g protein untuk setiap kg berat badan. Selama periode pertumbuhan, lebih banyak protein diperlukan secara proporsional, misalnya untuk anak-anak usia 5-6 tahun dibutuhkan kira-kira 2 g protein untuk tiap kg berat badan. Selama hamil dan menyusui anak, wanita memerlukan lebih banyak protein dalam susunan makanannya, karena harus memenuhi kebutuhan bayinya disamping keperluan tubuhnya sendiri. Setelah sakit atau menjalani operasi, tubuh kehilangan sejumlah protein, karena itu selama penyembuhan kadar protein dalam susunan makanan harus dinaikkan menjadi 14% dari seluruh asupan energi (Gaman & Sherrington 1992).

Di negara-negara yang kurang maju, khususnya di Afrika dan daerah Timur, susunan makanannya terutama terdiri dari satu makanan pokok (asal nabati) dan di daerah yang makanan berprotein rendah seperti ubi kayu atau ubi rambat, defisiensi protein umum terjadi. Defisiensi yang hebat mengakibatkan penyakit yang dikenal dengan kwashiorkor. Keadaan ini disebabkan oleh makanan yang susunan makanan yang kadar proteinnya rendah namun kadar karbohidratnya tinggi. Kekurangan protein juga mengakibatkan anemia, karena protein penting untuk membentuk butir-butir darah merah (Gaman & Sherrington 1992). Kekurangan protein sering ditemukan secara bersamaan dengan kekurangan energi yang menyebabkan kondisi yang dinamakan marasmus. sindroma gabungan antara dua jenis kekurangan ini dinamakan energy-protein malnutrition/EPM atau kurang energi protein/KEP atau kurang kalori-protein/KKP. Sindroma ini merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia (Almatsier 2004).

Pengaruh Pemasakan terhadap Zat Gizi

(14)

13

mikroorganisme yang menyebabkan penyakit, tetapi dapat merubah struktur molekul makanan yang meliputi tekstur, rasa, aroma, dan penampakan (Brown 2000). Secara umum pemasakan dapat berpengaruh terhadap keseluruhan kualitas sayuran. Keamanan dan kelayakan konsumsi secara umum meningkat, senyawa berbahaya (alkaloid, sianogen) lepas dari jaringan atau inaktif (protease inhibitor, lektins) dan di beberapa kasus, aroma menjadi meningkat karena suhu yang tinggi membuat molekul aromatik lebih volatil dan menjadi lebih mudah terdeteksi (McGee 1984).

Menurut Soedarmo dan Sadiaoetomo (2008), penurunan kadar zat gizi sayuran yang dimasak dapat terjadi karena beberapa faktor yaitu: penggunaan air perebusan yang terlalu banyak, sayuran dipotong-potong dalam ukuran yang terlalu kecil, sayuran dimasukkan dalam air yang belum mendidih, dan pada waktu merebus wadah dibiarkan terbuka. Lowe (1963), mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kehilangan zat gizi sayuran pada saat pamasakan adalah metode pemasakan, lama dan suhu pemasakan, volume air, ukuran sayuran dan reaksi terhadap media pemasak.

Perubahan penting dalam pemasakan sayuran adalah gula, vitamin, dan mineral, sedangkan kehilangan zat-zat gizi lainnya dapat diabaikan (Peckam 1969). Pemasakan akan menyebabkan tekstur sayuran menjadi lunak. Hal ini terjadi karena protein dalam sitoplasma dan membran sel terdenaturasi sehingga permeabilitas selektifnya hilang akibat keluar masuknya air tidak secara osmosis melainkan secara difusi (Yahya 1990 dalam Khoiriyah 2011).

(15)

14

kerentanan terhadap serangan enzim protease, peningkatan viskositas intrinsik, dan ketidakmampuan untuk mengkristal.

Jenis masakan Lodeh

Sayur lodeh adalah masakan Indonesia yang berupa sup dan menggunakan santan. bahan umum yang digunakan dalam pembuatan sayur lodeh adalah nangka muda, terong, terong, labu siam, melinjo, kacang panjang, tahu, tempe, semua dimasak dalam sup santan dan kadang-kadang ditambah dengan kaldu ayam atau sapi. Sayur lodeh dikenal dalam masakan Jawa yang kemudian tersebar ke seluruh Indonesia. Bahan sayur lodeh mirip dengan sayur asem, perbedaan utama diantara keduanya terletak pada sup, sup sayur lodeh adalah santan sedangkan sayur asem berbasis asam (Anonim 2012).

Pecel

Pecel adalah makanan khas kota Madiun Jawa Timur Indonesia yang terbuat dari sayuran yang dihidangkan dengan disiram sambal kacang. Konsep hidangan pecel ada kemiripan dengan salad bagi orang Eropa, yakni sayuran segar yang disiram topping mayonnaise, hanya untuk pecel menggunakan topping sambal kacang. Bahan utama dari sambal pecel adalah kacang tanah dan cabe rawit yang dicampur dengan bahan lainnya seperti daun jeruk purut, bawang, asam jawa, merica, dan garam. Porsi pecel berkisar 80-100 g. Sayuran yang biasanya terdapat dalam pecel diantaranya kangkung, kacang panjang, labu siam, kol, toge, dan mentimun (Lasmanawati 2009). Berdasarkan komposisi pecel merupakan salad pembuka, namun di beberapa daerah mengganggap pecel adalah makanan sarapan, lauk untuk menemani nasi, bahkan dihidangkan malam hari.

Tumis

(16)

15

(17)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biokimia Gizi dan Laboratorium Analisis Zat Gizi Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan selama lima bulan yaitu dari bulan Juli sampai dengan bulan November 2011.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) segar, bumbu-bumbu berupa bawang merah, bawang putih, kemiri, sereh, garam, jahe, kunyit, lada, jeruk nipis, dan santan. Adapun bahan yang digunakan dalam analisis kimia adalah asam sulfat pekat, selenium mix, asam borat jenuh, asam klorida, indikator (MM+MB), heksana, etanol, air bebas ion, aquades, kertas saring, NaOH, H2SO4, methanol, DPPH, buffer asetat, petroleum eter, dan Na2SO4.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu cawan porselen, oven, desikator, timbangan analitik, penjepit cawan, spatula, cawan porselen, pemanas Kjedahl, labu Kjedahl, oven, alat destilasi, alat titrasi, alat ekstraksi, vakum dan penangas air bergoyang, tanur, Soxhlet, erlenmeyer, freezer, penghisap vakum, buret, penyangga penampung erlenmayer, alat ekstraksi Soxhlet dan labu lemak, alat pemanasan listrik atau penangas uap, desikator, kapas-wool bebas lemak, kertas saring, labu lemak, penangas, gelas piala, gelas ukur, vorteks, pipet tetes, tabung reaksi besar, corong buhner, corong, corong pemisah, kuvet, dan instrumen Spektofotometer.

Prosedur Penelitian

(18)

16

Torbangun segar dimasukkan setelah minyak cukup panas, dibolak balik kemudian ditambahkan air sebagai cairan penumis. Pada perebusan dan penumisan wadah langsung ditutup sesaat setelah daun Torbangun segar dimasukan. Hal ini dimaksudkan untuk mengembalikan suhu pemasakan .yang menurun ke suhu didih secepatnya. Pada penumisan, sayuran terus dibolak balik dari satu sisi ke sisi lain agar panasnya merata (Hasanah 1995).

Resep masakan Torbangun yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada penelitian Khoiriyah (2011) dan disajikan pada lampiran 2. Daun Torbangun segar disortasi, proses tersebut bertujuan untuk memilih daun Torbangun yang baik, selain itu juga untuk memisahkan bagian daun Torbangun dari benda-benda asing. Selanjutnya daun Torbangun dicuci dengan air bersih agar terpisah dari kotoran yang menempel. Daun Torbangun kemudian ditimbang sebanyak 1250 g, selanjutnya dimasak dengan cara direbus untuk lodeh, dikukus untuk pecel, dan ditumis.

Gambar 2 Prosedur pengolahan masakan Torbangun

Semua masakan Torbangun kemudian dianalisis kimia meliputi analisis kadar air metode oven, kadar lemak metode Soxhlet, kadar protein metode mikro Kjedahl, kadar total abu, dan kadar karbohidrat secara by difference. Selain itu untuk mengetahui perubahan zat gizi yang peka terhadap pemasakan yaitu Diolah dengan cara direbus

(lodeh Torbangun)

Diolah dengan cara dikukus (pecel Torbangun)

Diolah dengan cara ditumis (tumis Torbangun) Daun Torbangun segar

Sortasi daun segar

Dicuci dengan air bersih

(19)

17

karoten total dan protein serta aktivitas antioksidan kemudian dihitung perubahannya. Ketiga komponen tersebut merupakan komponen yang peka dengan pemasakan. Adapun penjabaran lengkap metode analisis kimia yang digunakan terdapat pada lampiran 1.

Gambar 3 Diagram alur penelitian

Rancangan Penelitian

Rancangan percobaan pada uji perubahan karoten total, antioksidan dan protein masakan Torbangun adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari dua kali ulangan. Perlakuan penelitian ini adalah jenis masakan Torbangun yaitu lodeh, pecel, dan tumis.

Model matematika rancangan adalah sebagai : Yij= µ+αi + ɛ

Keterangan:

i = 1,2,…t dan j= 1,2….r

Yij = pengamatan pada perlakuan ke-I dan ulangan ke-j µ = rataan umum

αi = pengaruh perlakuan ke-i

ɛ = pengaruh acak pada perlakuan ke-I ulangan ke-j

Perubahan Masakan matang

Proses pengolahan:

Lodeh, pecel, tumis Daun Torbangun

segar+bumbu Analisis:

Kadar Karoten

Kadar Protein

Kapasitas Antioksidan

Analisis: Kadar Air Kadar Abu Kadar Lemak Kadar karbohidrat

Analisis:

Kadar Total Karoten Kadar Protein

(20)

18

Pengolahan dan Analisis Data

(21)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Gizi Masakan Torbangun Kadar Air

Kadar air merupakan salah satu karakteristik yang sangat penting pada bahan pangan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa pada bahan pangan (Sandjaja 2009). Selain itu menurut Nielsen (1998), salah satu analisis produk yang paling mendasar dan penting yang bisa menunjukkan produk pangan adalah penentuan kadar air.

Penentuan kadar air masakan Torbangun yang terdiri dari lodeh, pecel, dan tumis dilakukan menggunakan metode oven. Secara keseluruhan kadar air dalam masakan Torbangun tergolong tinggi berkisar 80%-94% terlihat pada Gambar 4. kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan. Kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak sehingga akan mengakibatkan perubahan pada bahan pangan (Sandjaja 2009).

Gambar 4 Grafik rata-rata kadar air masakan Torbangun

Gambar 4 menunjukkan kadar air lodeh, pecel dan tumis berturut-turut sebesar 94,25%, 80,32%, dan 84,11%. Kadar air masakan Torbangun tertinggi terdapat pada masakan yang diolah menjadi lodeh, pada porsi yang sama. Tingginya kadar air pada lodeh berasal dari kuah masakan, karena dimasak dengan cara direbus yang menggunakan banyak air. Hal ini sesuai dengan hasil Sidik Ragam, yang menunjukkan bahwa perlakuan sangat berpengaruh nyata terhadap kadar air (p<0,01) (Lampiran 3). Uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa kadar air pada lodeh berbeda nyata dengan pecel dan tumis, sedangkan kadar air pecel dan tumis saling tidak berbeda nyata.

Lodeh a Pecel b Tumis b

Kadar Air 94,25 80,32 84,11 70,00

75,00 80,00 85,00 90,00 95,00 100,00

Ka

d

a

r

A

ir

(%

b

b

(22)

20

Tingginya kadar air dalam masakan Torbangun mengakibatkan masakan tidak dapat bertahan lama. Penurunan mutu secara kimia dan mikrobiologi dipengaruhi oleh kadar air. Pertumbuhan mikroba, reaksi pencoklatan, dan hidrolisis lemak merupakan beberapa kerusakan yang juga disebabkan oleh kadar air yang tinggi (deMan 1997).

Kadar Abu

Penentuan kadar abu berhubungan erat dengan kadar mineral yang terdapat dalam suatu bahan, kemurnian serta kebersihan suatu bahan yang dihasilkan (Sandjaja 2009).

Gambar 5 memperlihatkan kadar abu masakan Torbangun pada lodeh, pecel, dan tumis yang berturut-turut 26,03% bk, 6,72% bk, dan 11,73% bk. Kadar abu yang tinggi pada masakan Torbangun mengindikasikan tingginya kadar mineral dalam masakan tersebut. Kadar abu tertinggi terdapat pada sayur lodeh, hal ini karena jika dibandingkan dengan garam yang digunakan pada, pecel dan tumis lodeh merupakan yang tertinggi (Lampiran 2). Hasil Sidik Ragam menunjukkan jenis masakan sangat berpengaruh nyata (p<0,01) terhadap kadar abu (Lampiran 3). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan kadar abu lodeh, pecel dan tumis berbeda nyata (Lampiran 3). Rataan kadar abu dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Grafik rata-rata kadar abu masakan Torbangun

Kadar Lemak

Lipida meliputi senyawa-senyawa heterogen, termasuk lemak dan minyak yang umum dikenal dalam makanan, malam, fosfolipida, sterol, dan ikatan lain sejenis yang terdapat di dalam makanan dan tubuh manusia. Lipida mempunyai

lodeh a Pecel b Tumis c

Kadar Abu 26,03 6,72 11,73 0,00

5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00

Ka

d

a

r

A

b

u

(%

b

k

(23)

21

sifat yang sama, yaitu larut dalam pelarut non polar, seperti etanol, eter, kloroform, dan benzena (Almatsier 2004).

Kadar lemak masakan Torbangun yang dijadikan lodeh sebesar 40,81% bk, pecel sebesar 33,18% bk, sedangkan masakan tumis sebesar 42,91% bk. Kadar lemak tumis Torbangun lebih tinggi dibandingkan dengan kadar lemak pecel, dan lodeh (Gambar 6). Minyak goreng yang digunakan dalam proses penumisan merupakan salah satu sumber lemak (Almatsier 2004), hal tersebut diduga menjadi penyebab kadar lemak masakan tumis menjadi yang paling tinggi diantara masakan yang lain. Saat penumisan berlangsung, matriks jaringan sayuran yang semula terisi oleh air serta komponen organik lainnya akan terdegradasi, kemudian keluar jaringan dan digantikan oleh misel-misel minyak (Subeki 1998). Hasil Sidik Ragam menunjukkan jenis masakan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap kadar lemak (Lampiran 3).

Gambar 6 Grafik rata-rata kadar lemak masakan Torbangun

Kadar Karbohidrat

Karbohidrat merupakan zat gizi yang penting dalam susunan makanan sebagai sumber energi. Senyawa-senyawa ini mengandung unsur karbon, hidrogen, oksigen, dan dihasilkan oleh tanaman dengan proses fotosintesis (Gaman & Sherrington 1992). Penentuan kadar karbohidrat masakan Torbangun dengan berbagai jenis pemasakan didasarkan pada perhitungan yang disebut carbohydrate by difference. Kadar karbohidrat (bb) diperoleh dengan cara mengurangi 100% dengan total penjumlahan kadar protein, kadar lemak, kadar abu, dan kadar air (Nielsen 2003).

Lodeh a Pecel a Tumis a

Kadar Lemak 40,81 33,18 42,91 0,00

10,00 20,00 30,00 40,00 50,00

Ka

d

a

r

Le

m

a

k

(%

b

k

(24)

22

Torbangun yang diolah menjadi lodeh memiliki kadar karbohidrat 14,98% bk. Pecel memiliki kadar karbohidrat sebesar 39,75% bk, sedangkan tumis 33,41% bk. Kadar karbohidrat masakan Torbangun tertinggi terdapat pada Torbangun yang diolah dijadikan pecel. Hasil Sidik Ragam menunjukkan pemasakan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap kadar karbohidrat masakan Torbangun (Lampiran 3). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar karbohidrat lodeh berbeda nyata dengan kadar karbohidrat sayur lainnya, sedangkan kadar karbohidrat pecel dan tumis tidak berbeda nyata (Lampiran 3). Persentase kadar karbohidrat dalam masakan Torbangun dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Grafik rata-rata kadar karbohidrat masakan Torbangun

Kadar Protein

Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan bagian terbesar tubuh sesudah air. Seperlima bagian tubuh adalah protein, setengahnya ada di dalam otot, seperlimanya di dalam tulang dan tulang rawan, sepersepuluh di dalam kulit, selebihnya di jaringan lain, dan di cairan tubuh. Semua enzim, berbagai hormon, pengangkut zat gizi dan darah, matriks intraseluler dan sebagainya adalah protein. Asam amino yang membentuk protein bertindak sebagai precursor, sebagian besar koenzim, hormon, asam nukleat, dan molekul-molekul yang esensial untuk kehidupan (Almatsier 2004).

Gambar 8 menunjukkan kadar protein masakan Torbangun yang dijadikan lodeh, pecel, dan tumis berturut-turut adalah 18,17% bk, 20,35% bk, dan 11,95% bk. Kadar protein pada pecel tertinggi, dibandingkan dengan masakan jenis lainnya. Tambahan kacang tanah goring digunakan sebagai sambel pada pecel. Menurut Almatsier (2004), kacang-kacangan merupakan

Lodeh a Pecel b Tumis b

Kadar

Karbohidrat 14,98 39,75 33,41 0,00

10,00 20,00 30,00 40,00 50,00

Ka

d

a

r

Ka

rb

o

h

id

ra

t

(%

b

k

(25)

23

sumber protein nabati. Berdasarkan Daftar Komposisi Bahan Makanan memperlihatkan bahwa, kadar protein dalam kacang tanah terkelupas sebesar 25,3 gram/100 gram bahan. Hasil Sidik Ragam jenis masakan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap kadar protein masakan (Lampiran 3).

Gambar 8 Grafik rata-rata kadar protein masakan Torbangun

Aktivitas Antioksidan

Antioksidan adalah zat yang dapat menetralisir radikal bebas sehingga atom dan elektron yang tidak berpasangan mendapatkan pasangan elektron dan menjadi stabil. Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang sifatnya sangat tidak stabil karena memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan (Tapan 2005). Individu yang mengkonsumsi zat gizi yang bersifat antioksidan seperti vitamin A, C, dan E yang cukup akan membantu sistem pertahanan tubuh. Sayuran merupakan salah satu sumber senyawa antioksidan (Lusivera 2001). Sayuran mengandung antioksidan gizi vitamin (seperti vitamin A, vitamin E, dan beta karoten) serta antioksidan non gizi seperti flavonoid, polifenol, dan produk degradasi dari glukosinolat dan indol. Selain itu juga terdapat antioksidan gizi mineral seperti Se yang berkaitan dengan glutation peroksidase, Mn pada superoksidase dismutase (SOD) mitokondria, Cu-Zn pada SOD sitoplasma, dan ektraseluler (Rauma et al. 1996).

Salah satu metode yang banyak digunakan untuk menentukan aktivitas antioksidan suatu bahan adalah metode DPPH. DPPH ( 2,2-dyphenyl-1-picrylhydrazil) merupakan senyawa radikal bebas yag stabil dalam larutan metanol yang berwarna ungu tua (Benabadji et al. 2004). Molyneux (2004) menambahkan warna ungu yang ditunjukkan oleh pita absorpsi dalam pelarut

Lodeh a Pecel a Tumis a

Kadar Protein 18,17 20,35 11,95 0,00

5,00 10,00 15,00 20,00 25,00

Ka

d

a

r

P

ro

te

in

(%

b

k

(26)

24

methanol diukur pada panjang gelombang sekitar 515-520 nm. DPPH bersifat stabil dalam bentuk radikal bebas sehingga mungkin dilakukan pengukuran antioksidan yang cukup akurat.

Hasil analisis menunjukkan, aktivitas antioksidan lodeh yaitu sebesar 64,58 % bk (setara dengan 660,15 mg vitamin C/100 g), hal ini berarti komponen antioksidan dalam lodeh torbangun dapat menangkal 64,58% radikal bebas yang mengoksidasinya. Aktivitas antioksidan pecel Torbangun sebesar 81,57 % bk (setara dengan 381,55 mg vitamin C/100 g) sehingga dapat diinterpretasikan bahwa komponen antioksidan dalam pecel dapat menangkal sebesar 81,57% radikal bebas. Aktivitas antioksidan tumis Torbangun yaitu 59,01% bk (setara dengan 568,95 mg vitamin C/100 g), berarti komponen antioksidan pada tumis torbangun dapat menangkal radikal bebas yang mengoksidasinya sebesar 59,01%. Rumetor (2008), zat aktif dalam daun Torbangun yaitu alkaloid, flavonoid, dan tanin. Hasil Sidik Ragam memperlihatkan jenis masakan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap aktivitas antioksidan dalam masakan Torbangun (Lampiran 3). Rata-rata aktivitas antioksidan masakan Torbangun dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Grafik rata-rata aktivitas antioksidan masakan Torbangun

Kadar Karoten

Karotenoid merupakan kelompok pigmen dalam tanaman dan buah-buahan yang berwarna kuning, oranye, merah oranye, dan larut dalam minyak (lipida) (Winarno 1997). Karotenoid adalah kelompok besar dari hidrokarbon (karoten) dan xantofil (Tapan 2005). Kadar karoten total masakan masakan Torbangun dalam penelitian ini dianalisis menggunakan metode spektrofotometri.

Lodeh a Pecel a Tumis a

Kapasitas

(27)

25

Gambar 10 menunjukkan Kadar karoten lodeh adalah 40415,67 ppm bk, pecel 128601,94 ppm bk, dan kadar karoten tumis yaitu 196952,23 ppm bk. Data tersebut memperlihatkan kadar karoten tertinggi terdapat pada masakan Torbangun yang dijadikan tumis. Proses penumisan digunakan minyak goreng yang mengandung karoten. Hasil Sidik Ragam menunjukkan jenis masakan sangat berpengaruh nyata (p<0,01) terhadap kadar karoten masakan Torbangun (Lampiran 3). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan kadar karoten lodeh, pecel, dan tumis saling berbeda nyata (Lampiran 5). Kadar karoten daun torbangun diperoleh dari rata-rata pengurangan kadar karoten masakan Torbangun oleh kadar karoten bumbu-bumbu sehingga diketahui Kadar karoten daun torbangun yaitu 99.520,77 ppm bk.

Gambar 10 Grafik rata-rata kadar karoten masakan Torbangun

Konversi dan Kontribusi Total Karoten Masakan Torbangun terhadap Pemenuhan Kebutuhan Vitamin A

Hasil analisis total karoten ketiga masakan Torbangun dikonversi menjadi beta karoten dengan cara mengalikan kadar karoten total dengan 56,02% (Basiron 2005). Aktivitas vitamin A dalam RAE diperoleh dengan membagi hasil menggunakan angka 12 (Eitenmiller 2008). Aktivitas vitamin A masakan Torbangun kemudian dihitung kontribusinya terhadap pemenuhan kebutuhan vitamin A pada rentang usia anak-anak, remaja, dan dewasa. Perbedaan jenis pemasakan berpengaruh terhadap perbedaan persentase pemenuhan AKG. Berdasarkan hasil perhitungan, dalam porsi yang sama yaitu 100 g masakan

Lodeh a Pecel b Tumis c

Kadar Karoten 40415,67 128601,94 196952,23 0,00

50000,00 100000,00 150000,00 200000,00 250000,00

Ka

d

a

r

Ka

ro

te

n

(p

p

m

b

k

(28)

26

Torbangun, lodeh menyumbang persentase vitamin A yang jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan masakan lainnya.

Perhitungan konversi beta karoten terhadap aktivitas vitamin A (RAE/g) pada masing-masing masakan antara lain lodeh 1,78 RAE/g, pecel 4,83 RAE/g, dan tumis 7,74 RAE/g. Berat satu kali penyajian dalam ukuran Rumah tangga (URT) sayur biasanya 100 gram (Depkes 2007). Sumbangan vitamin A (RAE) per penyajian (100 gram) masakan Torbangun dengan jenis pemasakan yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Aktivitas vitamin A (RAE) per penyajian

Masakan yang menyumbangkan kontribusi vitamin A terbesar dalam satu kali penyajian adalah masakan dengan cara di tumis. Tingginya kontribusi tumis, karena dalam proses pemasakanya digunakan minyak goreng yang tinggi kadar karoten.

Tabel 3 memperlihatkan penyajian masakan Torbangun dalam satu porsi, yang dapat memenuhi 59%-309,47% kebutuhan vitamin A anak-anak, remaja dan dewasa. Satu porsi masakan Torbangun dengan semua jenis pemasakan sudah dapat memenuhi lebih dari setengah kebutuhan vitamin A setiap hari. Pecel Torbangun dan tumis dapat memenuhi kebutuhan vitamin A harian bahkan 2-3 kali. Persentase kontribusi vitamin A terhadap Angka Kecukupan Gizi anak-anak, remaja, dan dewasa dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Persentase kontribusi vitamin A masakan Torbangun (per penyajian) terhadap AKG vitamin A anak-anak, remaja, dan dewasa

Sampel Anak Pria Wanita

7-9 th 10-64th 65th+ 10-18 th 19-64th 65th+

Lodeh 71.14 59.29 59.29 59.29 71.14 71.14

Lode h a Pece l b Tum is c Aktvitas Vitamin

(29)

27

Pecel 193.01 160.85 160.85 160.85 193.01 193.01

Tumis 309.47 257.89 257.89 257.89 309.47 309.47

Beta karoten tergolong aman bagi tubuh. Beta karoten akan dikeluarkan oleh tubuh melalui urine jika dikonsumsi dalam jumlah yang melebihi kebutuhan, (Pangkalan Ide 2010). Kelebihan karoten dikenal sebagai karotenemia. Kelebihan karoten tidak membawa akibat berbahaya selain efek kosmetika. Hal tersebut karena karotenemia tidak menimbulkan hipervitaminosis A, yang menunjukkan adanya regulasi dalam proses konversi karoten menjadi vitamin A. Karotenemia bermanifestasi dalam bentuk gejala kuning pada kulit dengan intensitas terbesar pada daerah telapak tangan serta kaki dan terlihatnya warna kuning yang sesuai pada serum darah pasien (Isselbacher et al. 1999). Beta karoten akan dengan mudah diubah menjadi vitamin A oleh tubuh (Susianto et al. 2008). Warna kulit akan kembali apabila kadar beta karoten di dalam tubuh kembali normal (Astawan 2008).

Kelebihan vitamin A hanya terjadi bila memakan vitamin A sebagai suplemen dalam takaran tinggi yang berlebihan, misalnya takaran 16.000 RE untuk jangka waktu lama atau 40.000-55.000 RE/hari. Gejala pada orang dewasa antara lain sakit kepala, pusing, rasa nek, rambut rontok, kulit mengering, tidak ada nafsu makan atau anoreksia, sakit pada tulan, pada wanita menstruasi akan berhenti. Gejala pada bayi yaitu terjadinya pembesaran kepala, hidrosefalus, dan mudah tersinggung, yang dapat terjadi pada konsumsi 8.000 RE/hari selama 30 hari (Almatsier 2004).

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI mengemukakan bahwa nilai Acuan Label Gizi (ALG) vitamin A produk pangan untuk kelompok konsumen adalah sebesar 600 RE atau setara dengan 3600 mcg beta karoten dan 7200 mcg total karoten (per 100 gram) (HK.00.05.52.6291 2007). Karmini dan Briawan (2004) suatu produk pangan dapat memiliki klaim sebagai produk pangan tinggi suatu zat gizi dengan persyaratan dapat berkontribusi sebesar 20% terhadap Acuan Label Gizi (ALG) per 100 gram dalam bentuk padat atau 10% ALG per 100 kkal atau 20% ALG per sajian.

(30)

28

Perubahan Kandungan Gizi Kadar Karoten

Karakteristik dari karotenoid adalah sensitif terhadap alkali dan sangat sensitif terhadap udara dan sinar terutama pada suhu tinggi (Kumalaningsih 2007). Winarno (1997) menambahkan, vitamin A mempunyai sifat yang sangat mudah teroksidasi oleh udara, dan akan rusak bila dipanaskan pada suhu tinggi bersama udara, sinar, dan lemak yang sudah tengik. Perubahan karoten masakan Torbangun dengan berbagai cara pemasakan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Perubahan kadar karoten masakan Torbangun

Jenis Masakan

Rata-rata kadar karoten (ppm bk)

Persentase perubahan

kadar karoten (%)

Mentah Matang

Lodeh 106.488,05a 40.415,67b 62.05 Pecel 152.181,19a 128.601,94a 15.49 Tumis 148.612,56a 196.952,23a 32.53

Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada uji Independent Samples Test (P>0.05)

(31)

29

akibatnya karoten tersebut mengalami oksidasi sehingga kadar karoten menjadi berkurang.

Kadar karoten pecel mentah 152.181,19 ppm bk menjadi 128.601,94 ppm bk. Penurunan kadar karoten pecel Torbangun adalah 15,49% bk. Pecel dimasakan dengan cara dikukus, hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Hasanah (1995), penurunan kadar karoten pada sayur wortel, daun singkong, dan bayam yang diolah dengan cara dikukus berkisar antara 15,09% sampai 26,37%. Kadar karoten pecel tidak mengalami penurunan yang berbeda nyata (p>0,05) sesuai dengan hasil uji Independent Samples Test. Hal ini dikarenakan pecel yang dikukus memperoleh panas dari uap air sehingga kehilangan zat gizi hanya disebabkan oleh uap tersebut. Proses pengukusan panas yang didapat oleh sayuran tidak merata. Sayuran yang terletak pada bagian atas sedikit terkena uap panas sehingga penurunan kadar karoten sedikit.

Saat proses pengukusan, wadah langsung ditutup sesaat setelah sayur dimasukan untuk mengembalikan suhu pemasakan yang menurun ke suhu didih secepatnya (Hasanah 1995) sehingga mempersingkat waktu pemasakan. Lowe (1963), lama dan suhu pemasakan berpengaruh terhadap kerusakan kadar zat gizi. Pengukusan suhu yang digunakan rendah sehingga persentase kehilangan karoten pun kecil. Penelitian yang dilakukan Restuati (1994), semakin tinggi suhu yang digunakan dalam pemasakan pada sayur singkong tumbuk merupakan salah satu faktor penyebab semakin tinggi kehilangan karoten.

(32)

30

Kadar Protein

Selama proses pengolahan terdapat kemungkinan terjadinya berbagai reaksi antara asam amino dengan komponen-komponen lain, yang mengakibatkan nilai gizi dari protein menurun. Kadar protein dalam masakan Torbangun baik itu lodeh, pecel, maupun tumis yang mengalami proses pemasakan, mengalami perubahan kadar protein. Rata-rata perubahan kadar protein pada masakan Torbangun dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Rata-rata perubahan kadar protein masakan Torbangun

Sampel Persentase kadar protein (%) Persentase perubahan kadar protein

Mentah Matang

Lodeh 16.00 a 18.17 a 2,17

Pecel 15.60 a 20.35 a 4.75

Tumis 13.91 a 11.95 a 1.96

Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada uji Independent Samples Test (P>0.05)

(33)

31

askorbat yang sangat mudah teroksidasi baik secara enzimatis maupun secara kimiawi dan kerusakan karena degradasi oleh panas. Maria et al. (1998) menyatakan bahwa pengolahan rumah tangga mampu menurunkan kadar asam askorbat sampai 80% kehilangan asam askorbat dari jaringan awalnya.

Kadar protein awal 15,60% bk menjadi 20,35% bk sehingga mengalami perubahan sebesar 4,75%. Hasil Independent Samples Test menunjukkan kadar protein sebelum dan setelah masak tidak berbeda nyata (p>0,05). Pecel menggunakan sambal pecel sebagai pelengkap. Bahan dasar yang digunakan sebagai sambel pecel adalah kacang tanah dan cabai. Almatsier (2004), kacang-kacangan merupakan sumber protein nabati. Kadar protein dalam kacang tanah terkelupas sebesar 25,3 gram/100 gram bahan. Pemakaian sambal kacang pada pecel mengakibatkan kadar protein menjadi tinggi dan tidak berbeda nyata setelah dimasak.

Penumisan mengakibatkan adanya panas, sehingga nitrogen yang bersifat volatil menguap. Hal ini kemungkinan menyebabkan protein menjadi rusak selama pemasakan, lalu akan teroksidasi kadar nitrogennya dan membentuk nitrogen oksida (NOx) dalam bentuk gas yang selanjutnya akan terbawa oleh udara, sehingga tidak terukur dengan metode Kjedahl (Djaenal 2001). Proses pemanasan dengan suhu yang cukup tinggi dapat mengoksidasi nitrogen dan menjadi sumber utama nitrogen oksida di atmosfer (Haynes 1986).

Kadar proten tumis sebelum dimasak sebesar 13,91% bk menjadi 11,95% bk setelah dimasak. Kadar protein terjadi penurunan sebesar 1,96%. Hasil Independent Samples Test menunjukkan kadar protein sebelum dan setelah masak tidak berbeda nyata (p>0,05). Minyak yang digunakan dalam menumis akan mengalami oksidasi saat penumisan berlangsung. Hal tersebut berakibat pada penurunan protein pada tumis. Ketaren (1986), minyak goreng mengandung asam lemak tidak jenuh oleat dan linoleat yang bersifat tidak stabil terhadap panas. Bender (1978) menyebutkan bahwa minyak mudah teroksidasi membentuk senyawa asam lemak bebas atau peroksida. Palupi et al. (2007), penurunan nilai gizi protein juga dapat disebabkan karena terjadinya interaksi antar protein dengan lipid teroksidasi yang sering tidak diperhatikan dalam proses pengolahan pangan.

Aktivitas Antioksidan

(34)

32

terjadinya degradasi kimia dan fisik (Francis 1985). Penelitian ini dilakukan analisa pemasakan terhadap masakan Torbangun dengan berbagai jenis masakan. Selama proses pemasakan setiap Jenis masakan ditambahkan bahan-bahan lain seperti bumbu dan santan yang mungkin akan mempengaruhi kestabilan antioksidan alami yang terkandung dalam sayuran tersebut. Perubahan aktivitas antioksidan pada berbagai cara pemasakan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Perubahan aktivitas antioksidan masakan Torbangun

Sampel

Aktivitas Antioksidan Mentah

(mg vitamin C/100 g)

Matang (mg vitamin

C/100 g)

Perubahan (%)

Lodeh 665.99 a 660.15 a 0.88%

Pecel 244.74 a 381.55 a 55.90%

Tumis 708.57 a 568.95 a 19.70%

Keterangan: Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata pada uji Independent Samples Test (P>0.05)

Antivitas antioksidan sebelum dimasak sebesar 665,99 mg vitamin C/100 g menjadi 660,15 setelah dimasak sehingga terjadi perubahan sebesar 0,88%. Uji Independent Samples Test lodeh mentah dan matang tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 3). Menurut Sodarmo dan Sediaoetama (1977), penurunan kadar zat gizi sayuran yang dimasakan dapat terjadi karena beberapa faktor yaitu penggunaan air perebusan yang terlalu banyak, sayuran dipotong-potong dalam ukuran kecil, sayuran dimasukkan ke dalam air yang belum mendidih, dan pada waktu merebus wadah dibiarkan terbuka. Pembuatan lodeh daun Torbangun dipotong secara kasar, Torbangun dimasukkan ke dalam air yang sudah mendidih, dan pada waktu perebusan wadah ditutup. Pembuatan lodeh menggunakan santan sebagai media pemasakan sehingga cara pemasakan ini mengakibatkan penambahan antioksidan alfa tokoferol dari santan kelapa. Hal-hal tersebut mengakibatkan penurunan antioksidan lodeh relatif rendah.

(35)

33

diduga menyumbangkan kadar antioksidan pada pecel. Winarsi (2007), rempah-rempah banyak mengandung antioksidan diantaranya vitamin C, vitamin E, alfa karoten, dan flavonoid. Sebelum dimasak aktivitas antioksidan pecel mentah sebesar 244,74 mg vitamin C/100 g menjadi 381,55 mg vitamin C/100 g setelah matang, perubahan aktivitas antioksidan sebesar 55,90%. Uji Independent Samples Test pecel mentah dan matang tidak berbeda nyata (p>0,05) (Lampiran 3).

(36)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Jenis masakan berpengaruh nyata terhadap kadar zat gizi air, abu, karbohidrat, dan karoten, sedangkan kadar zat gizi lemak, protein, dan antioksidan masakan Torbangun tidak berbeda nyata dalam basis kering. Rata-rata kadar air lodeh, pecel, dan tumis berturut-turut adalah 94,11%, 80,32%, dan 84,11%. Rata-rata kadar abu lodeh, pecel, dan tumis berturut-turut adalah 26,03%, 6,72%, dan 11,73%. Rata-rata kadar lemak lodeh, pecel, dan tumis berturut-turut adalah 40,81%, 33,18%, dan 42,91%. Rata-rata kadar karbohidrat lodeh, pecel, dan tumis berturut-turut adalah 14,98%, 39,75%, dan 33,41%. Rata-rata kadar protein lodeh, pecel, dan tumis berturut-turut adalah 18,17%, 20,35%, dan 11,95%. Rata-rata kadar karoten lodeh, pecel, dan tumis berturut-turut adalah 40.415,67 ppm, 128.601,94 ppm, dan 196.952,23 ppm. Rata-rata aktivitas antioksidan lodeh, pecel, dan tumis berturut-turut adalah 660,15 mg/100 g, 381,55 mg/100 g, dan 568,95 mg/100 g.

Kontribusi vitamin A masakan Torbangun dengan berbagai masakan yaitu (per penyajian) lebih dari 20% anjuran Acuan Label Gizi (ALG) sebesar 600 RE, oleh karena itu masakan torbangun dapat dikategorikan tinggi provitamin A. Hasil uji Independent Samples Test kadar karoten menunjukkan menunjukkan kadar karoten lodeh mentah berbeda nyata (p<0,05) dengan lodeh matang, sedangkan kadar karoten pecel, dan tumis tidak berbeda nyata. Hasil uji Independent Samples Test menunjukkan kadar protein dan antioksidan sebelum dan setelah pemasakan tidak berbeda nyata (p>0,05).

Saran

(37)

TINGKAT RETENSI KAROTEN TOTAL DAN PROTEIN SERTA

AKTIVITAS ANTIOKSIDAN MASAKAN TORBANGUN

(

Coleus amboinicus

Lour)

SUPRAPTI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(38)

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of Tea Association of Official Analytical

Chemist. Washington DC.

Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. Bogor: IPB Press.

Astawan M. 2008. Khasiat Warna-warni Makanan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Basiron Y. 2005. Palm oil. Di dalam: Shahidi, F, edit. Bailey‟s Industrial Oil and Fat Product 6th Ed, 2: 333-420. Kanada: A John Wiley & Sons Inc.

Benabadji SH, Wen R, Zheng JB, Dong XC, Yuan SG. 2004. Anticarcinogenic and antioxidant activity of diindolylmethane derivatives. Journal Acta Pharmacologica Sinica. 25 (5): 666-671.

Bender AE. 1978. Food Processing and Nutrition. London: Academic Press. Brown A. 2000. Understanding Food Principles and Preparation. Belmont:

Thomson Learning.

Damanik et al. 2001. Consumption of bangun-bangun leaves (Coleus amboinicus Lour) to increase breast milk production in Simalungun, North Sumatera, Indonesia. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition. 10(4)

Damanik R. 2004. The use of Coleus amboinicus Lour as a Lactagogue among lactating women in Simalungun District, North Sumatera Province, Indonesia. [Disertasi]. Victoria: Departement of Nutrition and Dietetics, Monash University Australia.

Damanik et al. 2005. Effect of consumption of Torbangun soup (Coleus amboinicus Lour) on Micronutrient intake of the Bataknese Lactating women. Media Gizi dan Keluarga. Vol 29 No.1.

Damanik et al, 2006. Lactagogue effects of Torbangun, a Bataknese traditional cuisine. Asia Pacific Journal of Clinical Nutrition. 15(2): 267-274.

deMan JM. 1997. Kimia Makanan. Bandung: Penerbit ITB.

Departemen Kesehatan. 1997. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Depkes.

Djaenal DH. 2001. Mempelajari pengaruh cara pemasakan terhadap kadar protein nasi aron dan air tajin serta daya terima nasi. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Duke JA, Godwin MJB, duCellier J, Duke PAK. 2002. Handbook of Medical Herbs. Second Edition. Washington DC: CRC Press.

Eitenmiller R, Lin Ye, Landen WO. 2008. Vitamin Analysis for the Health and Food Science, 2nd ed. USA: CRC Pr.

Francis FJ. 1985. Food Chemistry. New York: Marcell Dekker Inc.

(39)

36

Hasanah U. 1995. Pengaruh beberapa cara pemasakan sayuran terhadap kadar beta karoten. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB.

Herlinawati. 2008. Terapi Jus untuk Kolesterol Plus Ramuan Herbal. Depok: Puspa Swara.

Hernani, Raharjo M. 2006. Tanaman Berkhasiat Antioksidan. Depok: Penebar Swadaya.

Haynas RJ. 1986. Mineral Nitrogen in the Plant Soil System. Florida: Academic press.

HK.00.05.52.6291. 2007. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. http://aimi-asi.org/wp/wp-content/files /bpom/AcuanLabelGizi.bpom2007.pdf [2 Februari 2011]

Heyne K (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid III. Terjemahan Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.

Hurrel KJ. Carpenter, Sinclair WJ, Otterburn MS, Asquith RS. 1976. Nutrition Significant of Crosslinking Formation During Food processing. Dalam Friedman M (e). Protein Crosslingking Nutritional and Medical Consquences Adv. Experimental. Med Bio. Vol.86b.

Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, martin JB, fauci AS, kasper DL. 1999. Harrison: Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam: (Harrison's Principles of Internal Medicine); Volume 1. Yogyakarta: EGC.

Ketaren S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press.

Khoiriyah RA. 2011. Bioavailabilitas Kalsium (Ca) dan zat besi (Fe) sayur daun Torbangun pada berbagai jenis pagan sumber karbohidrat dan protein untuk ibu menyusui. [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB.

Kubo I, Masuda N, Xiao P, Haraguchi H. 2002. Antioxidant activity of deodecyl gallat. Journal Agriculture Food Chemistry. 50: 3533-3539.

Kumalaningsih S. 2007. Antioksidan Alami. Surabaya: Trubus Agrisarana.

Legowo AM, Nurwantoro. 2004. Analisis Pangan. Program Teknologi Hasil Ternak. [Diktat Kuliah]. Fakultas Peternakan. Universitas diponegoro. Semarang.

Linder MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolism. Jakarta: UI Press.

Lowe B. 1963. Experimental Cookery. 3rd ed. New York: John Wiley and Sons. Lusivera R. 2001. Mempelajari pengaruh pemasakan rumah tangga terhadap

kadar antioksidan alami beberapa jenis sayuran. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.

Mahmud M, Slamet K, Apriyantono DS, Hermana RR. 1995. Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia. Jakarta: Depkes RI, Direktorat Bina Gizi Masyarakat dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi.

Meyer LH. 1982. Food Chemistry. New York: Reinhold Publishing Coorporation. McGee H. 1984. On Food and Cooking: The Science and lore of the Kitchen.

(40)

37

Molyneux P. 2004. The use of the stabel free radical diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for estimating antioxidant activity. Songklanakarin Journal Science Technology. 26(2): 211-219.

Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1993. Metabolism Zat Gizi 1: Sumber, Fungsi, dan Kebutuhan Bagi Tubuh Manusia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1993. Metabolism Zat Gizi 2:Sumber, Fungsi, dan Kebutuhan Bagi Tubuh Manusia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Nielsen SS. 2003. Food Analysis Laboratory Manual. New York: Kluwer Academic.

Palupi NS, Zakaria FR, Prangdimurti E. 2007. Pegaruh Pengolahan terhadap nilai gizi pangan. [Modul e-learning ENBP]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknolog Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.

Pangkalan Ide. 2010. Mencicipi Pepino Si Buah Ajaib, Pendatang Baru Asal Pegunungan Andes sebagai Obat Dewa. Jakarta: PT Elex media koputindo.

Peckam G. 1969. Foundations of Food Preparation Second Edition. London: the Macmillan.

Rauma AL, Torronen R, Hanninem O, Verhagen M, Mykkanen. 1996. Di dalam kumpulan JT dan JK Solenan. (eds) Natural Antioxindant and Food Quality in Atherosclerosis and Cancer Prevention. The Royal Society of Chemistry, Great Britain.

Restuati M. 1994. Pengaruh Cara Pemasakan, Penyimpanan dan Pemanasan Ulang, terhadap Kadar Beta Karoten, Vitamin C, dan Zat Besi Sayur Daun Singkong Tumbuk. [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, IPB.

Rozaline H. 2006. Terapi Jus Buah dan sayur. Depok: Puspa Swara.

Rumetor SD. 2008. Suplementasi Daun Bangun-bangun (Coleus Amboinicus Lour), Zinc dan Vitamin E dalam Ransum untuk Memperbaiki Metabolisme dan Produksi Susu Kambing Peranakan Etawah. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB.

Sandjaja A. 2009. Kamus Gizi: Pelengkap Kesehatan Keluarga. Jakarta: Kompas.

Sediaoetama AD. 2008. Ilmu Gizi. Jakarta: Dian rakyat.

Stern KR. 1979. Introductory Plant Biology. Brown Co. Publ. Iowa: Dubuque. Soedarmo P, Sediaoetama AD. 1977. Ilmu Gizi. Jakarta: Dian Rakyat.

Subeki. 1998. Pengaruh Cara Pemasakan terhadap Kendungan Antioksidan Beberapa Macam Sayuran serta Daya Serap dan Retensinya pada Tikus Percobaan. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB.

Sulaeman A, Anwar F, Rimbawan, Marliyanti S. 1994. Metode Penetapan Zat Gizi [Diktat]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

(41)

38

Suryanto. 2010. Punya masalah ASI, konsumsilah daun Torbangun.

http://www.antaranews.com/berita/1279252685/punya-masalah-asi-konsumsilah-daun-torbangun [27 Maret 2012].

Susianto, Widjaja H, Mailoa H. 2008. Diet enak ala vegetarian. Depok: Penebar swadaya.

Tapan E. 2005. Kanker, Antioksidan dan Terapi Komplementer. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Truswell A, Stewart, Mann J. 2007. Essentials of Human Nutrition, 3rded. New York: Oxford University Press Inc. p. 473.

Tyaswening E. 1988. Kebiasaan makan sayuran pada anak balita dan kehilangan karoten, vitamin C, besi selama pemasakan sayuran yang dikonsumsi oleh anak balita. [Karya Ilmiah]. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Faperta. IPB.

Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Winarsi H. Antioksidan Alami dan Radikal. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

[WKNPG] Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan (per orang per hari). Jakarta: LIPI.

(42)

TINGKAT RETENSI KAROTEN TOTAL DAN PROTEIN SERTA

AKTIVITAS ANTIOKSIDAN MASAKAN TORBANGUN

(

Coleus amboinicus

Lour)

SUPRAPTI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(43)

ABSTRACT

SUPRAPTI. The Retention Rate of Total Carotenoids, Protein, and Antioxidant Activity of Torbangun (Coleus amboinicus Lour) Cuisine. Under the Guidance of M. RIZAL M. DAMANIK.

Bataknese Simalungun women in North Sumatra who consume Torbangun soup believe that it can stimulate the breast milk production. Until now information and use of Torbangun is still very limit. People need to know more about Torbangun apart from its benefit but also on the effect of cooking towards nutrients especially those sensitive to the total carotenoids and proteins as well as antioxidant activity. The purpose of this research was to study the effects of Cuisine types on the retention of carotenoids, protein, and antioxidant activity of Torbangun cuisine. There are three types of Torbangun cuisine used in this study namely lodeh, pecel, and stir-fry. Chemical analysis conducted in this study include the analysis of water, fat, protein, ash, carbohydrate cntents, total carotene, and antioxidant activity. The study used Complete Randomized Design (CRD). Data were analyzed using Analysis of Variance, Duncan, and independent T-Test. Cuisine types significantly effected the nutrient content of water, ash, carbohydrates, and carotene, while there were no significant effect of the nutrient content of fat, and protein then antioxidant activity. The contribution of vitamin A in the torbangun cuisine (per serving) was more than 20% of the recommended reference Label Nutrition (ALG), so that these products can be categorized as high provitamin A. Independent T-Test results showed that the levels of crude carotene lodeh before and after cooking were significantly different (p <0.05), whereas carotene levels of pecel and stir-fry were not significantly different, as well as protein content and antioxidant activity before and after cooking (p > 0.05).

(44)

RINGKASAN

SUPRAPTI. Tingkat Retensi Karoten Total dan Protein serta Aktivitas Antioksidan Masakan Torbangun (Coleus amboinicus Lour). Dibimbing oleh M. RIZAL M. DAMANIK.

Masyarakat Indonesia masih banyak yang memiliki kebiasaan mempercayai khasiat tertentu dalam suatu makanan. Salah satu kebiasaan itu terdapat pada masyarakat Batak Simalungun di Sumatera Utara. Wanita Batak yang baru melahirkan terbiasa mengkonsumsi Torbangun dalam bentuk sayur karena dipercaya dapat memicu produksi ASI (Damanik et al. 2001). Pemanfaatan To

Gambar

Tabel 1 Kandungan gizi daun Torbangun dan daun katuk per 100 g bahan
Tabel 2 Rekomendasi konsumsi vitamin A (µg ekuivalen retinol per hari)
Gambar 2 Prosedur pengolahan masakan Torbangun
Gambar 3 Diagram alur penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait