• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanaman Torbangun (Coleus amboinicus Lour)

Tanaman Torbangun (Coleus amboinicus Lour) merupakan tanaman tradisional yang sering disebut bangun-bangun. Menurut Damanik (2001), dalam bahasa Simalungun „bangun‟ berarti bangkit, mereka percaya bahwa ibu yang baru melahirkan pasti lemah dan membutuhkan kekuatan untuk penyembuhan. Pemberian tanaman Torbangun dapat memulihkan kondisi ibu yang baru melahirkan. Selain itu daun Torbangun telah digunakan oleh masyarakat Batak Sumatera Utara sebagai makanan yang dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas ASI serta status gizi anak yang dilahirkan (Damanik 2005).

Tanaman Torbangun dikenal di beberapa daerah dengan beberapa nama yang berbeda. Dalam bahasa Indonesia sendiri Torbangun dikenal dengan nama Bangun-bangun, daun Jinten, daun Hati-hati, atau Sukan, masyarakat Sunda mengenalnya dengan nama Ajeran atau Aceran, dalam bahasa jawa disebut daun kucing, dalam bahasa madura disebut Daun Kambing atau Mahja Nereng. Di Bali dikenal dengan nama Iwak dan di Timor dikenal dengan nama Kumu Etu (Heyne 1987). Torbangun yang ditemukan di lapangan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Daun Torbangun (Coleus amboinicus Lour) (Sumber: Suryanto 2010)

Taksonomi tanaman Torbangun diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae

4

Suku : Labiatae

Marga : Coleus

Spesies : Coleus ambionicus Lour

Torbangun merupakan suatu tumbuhan jenis rumput-rumputan, mempunyai batang dan tangkai berkayu. Torbangun biasanya ditanam di kebun- kebun dan di daerah dataran rendah sampai ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut. Torbangun tumbuh di tempat-tempat yang tidak terlalu banyak kena sinar matahari dan airnya cukup (tidak terlalu kering) (Yuniarti 2008).

Tanaman Torbangun memiliki ciri batang berkayu lunak, beruas-ruas dan berbentuk bulat, diameter pangkal ± 15 mm, tengah 10 mm dan ujung ± 5 mm. Tanaman Torbangun jarang berbunga akan tetapi pengembangbiakannya mudah sekali dilakukan dengan cara stek dan cepat berakar di dalam tanah. Di pot pun tanaman ini dapat tumbuh dengan baik (Heyne 1987).

Komposisi zat gizi daun Torbangun yang terdapat dalam daftar komposisi bahan makanan menyebutkan bahwa dalam 100 g daun Torbangun mengandung banyak kalsium, besi, karoten total dibandingkan dengan daun katuk (Sauropus androgymus). Perbandingan kadar gizi daun Torbangun dan daun katuk terdapat pada Tabel 1 dibawah ini.

Tabel 1 Kandungan gizi daun Torbangun dan daun katuk per 100 g bahan Zat gizi Daun Torbangun Daun katuk

Energi kalori (Kal) 27 59

Protein (g) 1,3 6,4 Lemak (g) 0,6 1,1 Karbohidrat (g) 4,0 9,9 Zat besi (mg) 13,6 3,5 Magnesium (mg) 62,5 - Kalsium (mg) 279 233 Potasium (mg) 52 - Abu (g) 1,6 1,7 Serat (g) 1,0 1,5 Karoten total (µg) 13288 10020 Vitamin B1 (µkg) 0,16 0 Vitamin C (mg) 5,1 66,0 Air (%) 92,5 83,3

Berat dapat dimakan (%)

66 42

5

Komposisi kadar kimia Torbangun masih belum banyak diketahui. Beberapa yang sudah diteliti yaitu Dr. Boorsma (Heyne 1987) menyatakan daun Torbangun mengandung banyak kalium (6,46% dari berat kering pada K2O) dan minyak atsiri (0,043% pada daun segar atau 0,2 % daun kering). Weehuizen dalam Heyne (1987) mendapatkan dalam 120 kg tanaman segar kira-kira 25 ml minyak atsiri, yang mengandung phenol (isopropyl-O-kresol) dan atas dasar itu ia menyatakan sebagai antiseptik yang bernilai tinggi.

Daun tanaman Torbangun mengandung tiga komponen utama yang berkhasiat. Komponen pertama adalah senyawa-senyawa yang bersifat laktagogue, yaitu komponen yang dapat menstimulir produksi kelenjar air susu pada induk laktasi. Komponen kedua adalah komponen gizi dan komponen ketiga adalah komponen farmaseutika yaitu senyawa-senyawa yang bersifat buffer, antibakterial, antioksidan, pelumas, pelentur, pewarna, dan penstabil. Hasil uji fitokimia dalam daun Torbangun terkandung alkaloid, flavonoid, dan tanin (Rumetor 2008).

Menurut Yuniarti (2008), ada beberapa penyakit yang dapat diobati oleh Torbangun yaitu asma, batuk, perut kembung, sakit kepala, sariawan, demam, luka dan borok. Heyne (1987) menambahkan, daunnya yang berbentuk jantung dan sangat berdaging dan harum baunya biasanya dimasak sebagai sayur atau kadang-kadang untuk lalapan. Di Jawa, daunnya dipakai masakan daging kambing. Selain itu daun ini juga bermanfaat sebagai penyembuh luka dengan cara digerus kemudian ditempelkan pada daerah luka, atau dibuat jamu penurun panas, atau langsung dikunyah untuk obat sariawan. Menurut Duke (2002) Torbangun juga memiliki khasiat menyembuhkan penyakit kanker, kardiopati, Congestive Heart Failure, sawan, kram, depresi, dermatosis, dyspepsia, disuria, eczema, glaukoma, tekanan darah tinggi, hipotiroid, mandul, insomnia, iskemik, miokardiosis, obesitas, psoriasis, respirosis, thrombosis, dan retensi air.

Antioksidan

Antioksidan adalah zat yang dapat menetralisir radikal bebas, sehingga atom dan elektron yang tidak berpasangan mendapatkan pasangan elektron dan menjadi stabil. Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang sifatnya sangat tidak stabil karena memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan (Tapan 2005). Elektron yang tidak berpasangan ini sangat mudah menarik elektron dari molekul-molekul lainnya sehingga radikal bebas menjadi

6

lebih reaktif. Sifat radikal bebas yang sangat reaktif menyebabkan radikal bebas tersebut sangat mudah menyerang sel-sel yang sehat di dalam tubuh. Bila tidak ada pertahanan yang cukup optimal maka sel-sel yang sehat tersebut menjadi tidak sehat atau sakit. Senyawa yang dihasilkan oleh polusi, asap rokok, kondisi stress, bahkan oleh sinar matahari akan berinteraksi dengan radikal bebas di dalam tubuh. Secara tidak langsung senyawa radikal tersebut akan merusak sel sehingga menyebabkan terjadinya suatu penyakit seperti kanker, sakit liver, dan penyakit yang berhubungan dengan umur seperti alzeimer (Hernani & Raharjo 2006).

Menurut Tapan (2005) fungsi antioksidan adalah menetralisir radikal bebas, sehingga tubuh terlindungi dari berbagai penyakit degeneratif dan kanker. Fungsi lain antioksidan adalah membatu menekan proses penuaan/antiaging. Lebih lanjut Hernani & Raharjo (2006) menambahkan, fungsi utama antioksidan digunakan untuk memperkecil terjadinya proses oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil terjadinya proses kerusakan dalam makanan, memperpanjang masa pemakaian dalam industri makanan, meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam makanan, serta mencegah hilangnya kualitas sensori dan nutrisi.

Terdapat tiga macam antioksidan yaitu: 1) antioksidan yang dibuat sendiri oleh tubuh berupa enzim antara lain superoksida dismutase, glutathione peroksidase, peroxidasi, dan katalase; 2) antioksidan alami yang dapat diperoleh dari tanaman atau hewan, yaitu: tokoferol, vitamin C, beta karoten, flavonoid, dan senyawa fenolik; 3) antioksidan sintetik, yang dibuat dari bahan-bahan kimia Butylated hroxyanisole (BHA) yang ditambahkan ke dalam makanan untuk mencegah kerusakan lemak (Kumalaningsih 2007).

Lebih lanjut menurut Kumalaningsih (2007), atas dasar fungsinya antioksidan dapat dibedakan menjadi 5 (lima) yaitu:

a. Antioksidan primer: antioksidan yang berfungsi untuk mencegah terbentuknya radikal bebas baru karena dapat merubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya, yaitu sebelum sempat bereaksi, contohnya enzim superoksida dismutase yang melindungi hancurnya sel-sel dalam tubuh akibat serangan radikal bebas.

b. Antioksidan sekunder: antioksidan sekunder merupakan senyawa yang berfungsi menangkap radikal bebas serta mencegah terjadinya reaksi berantai

7

sehingga tidak terjadi kerusakan yang lebih besar, contohnya vitamin E, vitamin C, dan beta karoten yang dapat diperoleh dari buah-buahan.

c. Antioksidan tersier: senyawa yang memperbaiki sel-sel dan jaringan yang rusak karena serangan radikal bebas, contohnya enzim metionin sulfoksidan reduktase yang memperbaiki DNA dalam inti sel.

d. Oxygen scavenger: antioksidan yang termasuk oxygen scavenger yang mampu mengikat oksigen sehingga tidak mendukung reaksi oksidasi, misalnya vitamin C.

e. Chelators atau sequesstrants: senyawa yang dapat mengikat logam sehingga logam tidak dapat mengkatalis reaksi oksidasi. Akibatnya kerugian dapat dicegah. Contoh senyawa tersebut adalah asam sitrat dan asam amino.

Reaksi antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak teroksidasi, dapat disebabkan oleh empat macam mekanisme reaksi yaitu: 1) pelepasan hidrogen dari antioksidan; 2) pelepasan elektron dari antioksidan; 3) adisi lemak ke dalam cincin aromatik dari antioksidan; dan 4) pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari antioksidan (Ketaren 1986).

Antioksidan dapat menghambat setiap tahap oksidasi. Adapun tahap- tahap reaksi oksidasi adalah sebagai berikut:

RH + *O-O* cahaya/panas R* + *OOH (free redical intiating)

R* + *O-O* RO2* (chain propagasi)

RO2* + RH RO2H + R

R* + *OOH RO2H (chain termination)

R* + R* RR

R* + RO2* RO2R

Keterangan

RH = lemak/minyak tidak jenuh RO2* = peroksida aktif

R* = asam lemak tidak jenuh aktif

Dengan penambahan antioksidan, maka energi dalam persenyawaan aktif (mengandung energi) ditampung oleh antioksidan, sehingga reaksi oksidasi terhenti (Ketaren 1986).

8

Karoten

Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, oranye, merah oranye serta larut dalam minyak (lipida) (Winarno 1997). Karotenoid adalah kelompok besar dari hidrokarbon (karoten) dan xantofil. Karoten mengakibatkan tanaman berwarna merah, oranye, atupun kuning, contohnya pada tanaman nanas, jeruk, buah persik, tomat, papaya, wortel, semangka, labu dll. (Tapan 2005).

Dalam tanaman terdapat beberapa jenis karoten, namun yang lebih banyak ditemukan adalah alfa karoten, beta karoten, dan gamma karoten, serta kriptosantin yang berperan sebagai provitamin A. beta karoten merupakan provitamin yang paling aktif yang terdiri dari dua molekul retinol yang saling berkaitan (Almatsier 2004). Keaktifan biologis karoten jauh lebih rendah dibandingkan dengan vitamin A (Winarno 1997).

Menurut Tapan (2005), secara umum fungsi karotenoid adalah untuk mengatur fungsi-fungsi kekebalan tubuh, melindungi dari proses penuaan (keriput dan kulit kering, rambut memutih dan flek-flek di wajah), melindungi dari aterosklerosis dan beberapa jenis kanker. Almatsier (2004), menambahkan vitamin A berperan dalam berbagai fungsi faali tubuh yaitu penglihatan, diferensiasi sel, fungsi kekebalan, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, pencegahan kanker dan penyakit jantung.

Karotenoid merupakan senyawa yang tersebar luas dalam tanaman dan buah-buahan. Seperti halnya dengan klorofil, karotenoid juga terdapat dalam kloroplas daun atau batang tanaman yang berwarna hijau (Winarno 1997). Menurut Almatsier (2004) karotenoid terdapat dalam kloroplas tanaman dan berperan sebagai katalisator dalam fotosintesis yang dilakukan oleh klorofil. Oleh karena itu, karotenoid paling banyak terdapat dalam sayuran berwarna hijau. Winarno (1997) menambahkan, karotenoid tidak selalu berdampingan dengan klorofil, namun sebaliknya klorofil selalu disertai dengan karotenoid. Disamping pada daun dan batang tanaman, karotenoid juga terdapat pada bagian-bagian lain tanaman misalnya pada umbi dan buah. Pada tanaman atau buah-buahan yang kadar karbohidratnya rendah, biasanya kadar karotenoidnya juga rendah. Ada hubungan langsung antara derajat kehijauan sayuran dengan karoten. Semakin hijau daun tersebut semakin tinggi kadar karotennya, sedangkan daun-

9

daun yang pucat seperti selada, dan kol miskin akan karoten. Wortel, ubi jalar, dan labu kaya akan karoten.

Karakteristik dari karotenoid adalah sensitif terhadap alkali dan sangat sensitif terhadap udara dan sinar terutama pada suhu tinggi serta tidak larut dalam air, gliserol, dan propilen glikol. Karotenoid larut dalam minyak makan pada suhu kamar, dan lemak (Kumalaningsih 2007). Winarno (1997) menambahkan, vitamin A mempunyai sifat yang sangat mudah teroksidasi oleh udara, dan akan rusak bila dipanaskan pada suhu tinggi bersama udara, sinar, dan lemak yang sudah tengik, namun vitamin A stabil terhadap panas dan asam. menurut Almatsier (2004), pada cara pemasakan biasa tidak banyak vitamin A yang hilang. Pengeringan buah di matahari dan cara dehidrasi lain menyebabkan kehilangan sebagian dari vitamin A. Ketersediaan biologik vitamin A meningkat dengan kehadiran vitamin E dan antioksidan lain.

Kebutuhan tubuh akan vitamin A masih dinyatakan dalam Satuan Internasional (SI). Hal tersebut dilakukan untuk mempermudah penilaian aktivitas vitamin A dalam makanan, agar mencakup preformed vitamin A dan provitaminnya. Satu SI vitamin A setara dengan kegiatan 0,2 ug retinol atau 0,6 µg trans beta karoten atau 1,0 mg karoten total (campuran) di dalam bahan makanan nabati (Sediaoetama 2008).

Rekomendasi konsumsi vitamin A (µg ekuivalen retinol per hari) untuk berbagai golongan umur dan jenis kelamin untuk Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Rekomendasi konsumsi vitamin A (µg ekuivalen retinol per hari)

Group Age(years) FAO/WHO(1988) (safe level of intake) USA (1989) RDA UK (1991) RNI Laki-laki dan perempuan <1.0 350 375 350 1-3 400 400 400 4-6 400 500 500 7-10 400 700 500 Laki-laki 11-12 500 1000 600 13-15 600 1000 600 Adult (>15) 600 1000 700 Perempuan 11-12 500 800 600 13-15 600 800 600 Adult (>15) 500 800 600 Pregnancy +100 +0 +100 Lactation +350 +500 +350

10

Jumlah kebutuhan vitamin A yang dianjurkan (Widya karya Pangan Nasional Pangan dan Gizi 1978) adalah 1.200-2.400 SI bagi bayi dan anak-anak di bawah 10 tahun, dan 3.500-4.000 SI untuk orang dewasa. Apabila kebutuhan vitamin A tidak terpenuhi akan menyebabkan beberapa gangguan. Menurut Almatsier (2004) beberapa ganggunan yang dapat ditimbulkan akibat kekurangan vitamin A yaitu buta senja, perubahan pada mata yang dalam jangka panjang dan tidak diobati akan mengakibatkan kebutaan total yang dikenal xeroftalmia. Gangguan lainnya adalah infeksi karena fungsi kekebalan menurun akibat kekurangan vitamin A, kulit menjadi kering dan kasar, serta gangguan pertumbuhan, keratinisasi pada sel-sel lidah yang berakibat berkurangnya nafsu makan, dan anemia.

Kelebihan vitamin A hanya terjadi bila memakan vitamin A sebagai suplemen dalam takaran tinggi yang berlebihan, misalnya takaran 16.000 RE untuk jangka waktu lama atau 40.000-55.000 RE/hari. Gejala pada orang dewasa antara lain sakit kepala, pusing, rasa eneg, rambut rontok, kulit mengering, tidak ada nafsu makan atau anoreksia, dan sakit pada tulang. Pada bayi terjadi pembesaran kepala (hidrosefalus), dan mudah tersinggung, yang dapat terjadi pada konsumsi 8.000 RE/hari selama 30 hari (Almatsier 2004).

Protein

Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air. Seperlima bagian tubuh adalah protein, separonya ada di dalam otot, seperlimanya di dalam tulang dan tulang rawan, sepersepuluh di dalam kulit, dan selebihnya di jaringan lain dan di cairan tubuh. Semua enzim, berbagai hormon, pengangkut zat gizi dan darah, matriks intraseluler dan sebagainya adalah protein. Di samping itu asam amino yang membentuk protein bertindak sebagai prekursor sebagian besar koenzim, hormon, asam nukleat, dan molekul-molekul yang esensial untuk kehidupan (Almatsier 2004).

Menurut Winarno (1997), protein dalam tubuh manusia, terutama dalam sel jaringan, bertindak sebagai bahan membran, dapat membentuk jaringan pengikat misalnya kolagen dan elastin, serta membentuk protein yang inert seperti rambut dan kuku. Di samping itu protein dapat berkerja sebagai enzim, bertindak sebagai plasma (albumin), membentuk antibodi, membentuk kompleks dengan molekul lain, serta dapat bertindak sebagai bagian sel yang bergerak

11

(protein otot). Menurut Sediaoetama (2008) fungsi protein dalam tubuh sangat berhubungan dengan hayat hidup sel. Sebagai protein struktural bagian integral dari mikrostruktur sel, zat pembangun, pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan, menggantikan sel-sel yang mati dan aus terpakai, berfungsi dalam mekanisme pertahanan tubuh, sebagai zat pengatur metabolisme dalam bentuk enzim dan hormon, salah satu sumber energi, dan dalam kromosom berfungsi dalam menyimpan dan meneruskan sifat-sifat keturunan dalam bentuk gen.

Menurut Muchtadi et al. (1993), berdasarkan strukturnya protein dapat digolongkan menjadi:

a. Struktur primer: digambarkan sebagai struktur asam amino dalam protein. Merupakan serangkaian asam amino khas yang menentukan sifat dasar dari berbagai protein.

b. Struktur sekunder: bentuk tiga dimensi dengan cabang-cabang rantai polipeptida yang tersusun saling berdekatan. Contohnya bentuk alfa heliks yang terdapat pada wool, bentuk lipatan pada sutera, serta bentuk heliks pada kolagen.

c. Struktur tersier: susunan beberapa struktur sekunder yang ditemukan pada sebagian besar rantai cabang polipeptida.

d. Struktur kuartener: struktur yang melibatkan beberapa struktur rantai polipeptida dalam bentuk ikatan protein. Ikatan yang terlibat dalam pembentukan protein sama dengan ikatan-ikatan yang terdapat pada struktur tersier.

Protein dapat bersumber dari protein nabati maupun protein hewani. Sumber protein hewani dapat berupa daging dan alat-alat dalam seperti hati, pankreas, ginjal, jantung, paru, jantung, jeroan (babat dan usus), susu, telur, ayam dan jenis burung lain. Ikan, dan kerang-kerangan merupakan sumber protein yang rendah lemak dan kolestrol, sehingga baik dipergunakan dalam diet rendah lemak dan kolesterol. Di negara-negara Barat terdapat sumber protein inkonvensional yang digunakan campuran makanan hewan ternak atau peliharaan. Contoh protein tersebut adalah ampas biji-bijian bekas pembuatan minyak makan sebagai sisa pabrik, tepung ikan, protein daun, unicellular algae, dan ragi (Yeast) (Sediaoetama 2008). Gaman dan Sherrington (1992), menambahkan makanan asal hewani lebih banyak mengandung protein dibandingkan dengan makanan asal nabati. Sumber protein yaitu daging dan ikan, roti dan serealia, susu dan keju, telur, dan sayuran. Menurut Almatsier

12

(2004) sumber protein nabati adalah kacang kedelai dan hasilnya, seperti tempe dan tahu, serta kacang-kacangan lain.

Kebutuhan protein menurut FAO/WHO/UNU (1985) adalah konsumsi yang diperlukan untuk mencegah kehilangan protein tubuh dan memungkinkan produksi protein yang diperlukan dalam masa pertumbuhan, kehamilan, atau menyusui. Angka kecukupan protein orang dewasa menurut hasil-hasil penelitian keseimbangan nitrogen adalah 0,75 g/kg berat badan (Almatsier 2004). Kebutuhan protein perorangan tergantung pada laju pertumbuhan dan berat badan. Orang dewasa memerlukan kira-kira 1 g protein untuk setiap kg berat badan. Selama periode pertumbuhan, lebih banyak protein diperlukan secara proporsional, misalnya untuk anak-anak usia 5-6 tahun dibutuhkan kira-kira 2 g protein untuk tiap kg berat badan. Selama hamil dan menyusui anak, wanita memerlukan lebih banyak protein dalam susunan makanannya, karena harus memenuhi kebutuhan bayinya disamping keperluan tubuhnya sendiri. Setelah sakit atau menjalani operasi, tubuh kehilangan sejumlah protein, karena itu selama penyembuhan kadar protein dalam susunan makanan harus dinaikkan menjadi 14% dari seluruh asupan energi (Gaman & Sherrington 1992).

Di negara-negara yang kurang maju, khususnya di Afrika dan daerah Timur, susunan makanannya terutama terdiri dari satu makanan pokok (asal nabati) dan di daerah yang makanan berprotein rendah seperti ubi kayu atau ubi rambat, defisiensi protein umum terjadi. Defisiensi yang hebat mengakibatkan penyakit yang dikenal dengan kwashiorkor. Keadaan ini disebabkan oleh makanan yang susunan makanan yang kadar proteinnya rendah namun kadar karbohidratnya tinggi. Kekurangan protein juga mengakibatkan anemia, karena protein penting untuk membentuk butir-butir darah merah (Gaman & Sherrington 1992). Kekurangan protein sering ditemukan secara bersamaan dengan kekurangan energi yang menyebabkan kondisi yang dinamakan marasmus. sindroma gabungan antara dua jenis kekurangan ini dinamakan energy-protein malnutrition/EPM atau kurang energi protein/KEP atau kurang kalori-protein/KKP. Sindroma ini merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia (Almatsier 2004).

Pengaruh Pemasakan terhadap Zat Gizi

Pemasakan bertujuan untuk mempermudah daya cerna, membunuh mikroorganisme penyebab penyakit yang ada dalam bahan pangan, dan menambah citarasa (Sandjaja 1997). Pemanasan tidak hanya membunuh

13

mikroorganisme yang menyebabkan penyakit, tetapi dapat merubah struktur molekul makanan yang meliputi tekstur, rasa, aroma, dan penampakan (Brown 2000). Secara umum pemasakan dapat berpengaruh terhadap keseluruhan kualitas sayuran. Keamanan dan kelayakan konsumsi secara umum meningkat, senyawa berbahaya (alkaloid, sianogen) lepas dari jaringan atau inaktif (protease inhibitor, lektins) dan di beberapa kasus, aroma menjadi meningkat karena suhu yang tinggi membuat molekul aromatik lebih volatil dan menjadi lebih mudah terdeteksi (McGee 1984).

Menurut Soedarmo dan Sadiaoetomo (2008), penurunan kadar zat gizi sayuran yang dimasak dapat terjadi karena beberapa faktor yaitu: penggunaan air perebusan yang terlalu banyak, sayuran dipotong-potong dalam ukuran yang terlalu kecil, sayuran dimasukkan dalam air yang belum mendidih, dan pada waktu merebus wadah dibiarkan terbuka. Lowe (1963), mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kehilangan zat gizi sayuran pada saat pamasakan adalah metode pemasakan, lama dan suhu pemasakan, volume air, ukuran sayuran dan reaksi terhadap media pemasak.

Perubahan penting dalam pemasakan sayuran adalah gula, vitamin, dan mineral, sedangkan kehilangan zat-zat gizi lainnya dapat diabaikan (Peckam 1969). Pemasakan akan menyebabkan tekstur sayuran menjadi lunak. Hal ini terjadi karena protein dalam sitoplasma dan membran sel terdenaturasi sehingga permeabilitas selektifnya hilang akibat keluar masuknya air tidak secara osmosis melainkan secara difusi (Yahya 1990 dalam Khoiriyah 2011).

Menurut Gaman dan Sherrington (1992), protein dapat mengalami proses yang dikenal sebagai denaturasi. Jika struktur sekundernya berubah tetapi struktur primernya tetap. Bentuk molekulnya mengalami perubahan, biasanya karena terpecah atau terbentuknya ikatan-ikatan silang tanpa mengganggu urutan asam aminonya. Denaturasi dapat merubah sifat protein menjadi sukar larut air dan makin kental. Keadaan ini dikenal dengan koagulasi. Koagulasi dapat ditimbulkan dengan berbagai cara yaitu dengan pemanasan, dengan asam, dengan enzim-enzim, dengan perlakuan mekanis, dan penambahan garam. Muchtadi et al. (1993) menambahkan, Aktivitas biologis sebagian besar protein akan rusak oleh penambahan asam atau basa kuat detergen ionic, urea, guanidine, logam berat (Ag, Pb, Hg), pelarut organik, serta pemanasan di atas suhu kamar. Protein yang terdenaturasi akan mengalami penurunan kelarutan, perubahan aktivitas pengikatan air, kehilangan aktivitas biologis, peningkatan

14

kerentanan terhadap serangan enzim protease, peningkatan viskositas intrinsik, dan ketidakmampuan untuk mengkristal.

Jenis masakan Lodeh

Sayur lodeh adalah masakan Indonesia yang berupa sup dan menggunakan santan. bahan umum yang digunakan dalam pembuatan sayur lodeh adalah nangka muda, terong, terong, labu siam, melinjo, kacang panjang, tahu, tempe, semua dimasak dalam sup santan dan kadang-kadang ditambah dengan kaldu ayam atau sapi. Sayur lodeh dikenal dalam masakan Jawa yang kemudian tersebar ke seluruh Indonesia. Bahan sayur lodeh mirip dengan sayur asem, perbedaan utama diantara keduanya terletak pada sup, sup sayur lodeh adalah santan sedangkan sayur asem berbasis asam (Anonim 2012).

Pecel

Pecel adalah makanan khas kota Madiun Jawa Timur Indonesia yang terbuat dari sayuran yang dihidangkan dengan disiram sambal kacang. Konsep hidangan pecel ada kemiripan dengan salad bagi orang Eropa, yakni sayuran segar yang disiram topping mayonnaise, hanya untuk pecel menggunakan topping sambal kacang. Bahan utama dari sambal pecel adalah kacang tanah dan cabe rawit yang dicampur dengan bahan lainnya seperti daun jeruk purut, bawang, asam jawa, merica, dan garam. Porsi pecel berkisar 80-100 g. Sayuran yang biasanya terdapat dalam pecel diantaranya kangkung, kacang panjang, labu siam, kol, toge, dan mentimun (Lasmanawati 2009). Berdasarkan komposisi pecel merupakan salad pembuka, namun di beberapa daerah mengganggap

Dokumen terkait