• Tidak ada hasil yang ditemukan

National self sufficiency model of white crystal sugar with system dynamics approach

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "National self sufficiency model of white crystal sugar with system dynamics approach"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL SWASEMBADA GULA KRISTAL PUTIH (GKP)

NASIONAL DENGAN PENDEKATAN

SISTEM DINAMIK

RIZKA AMALIA NUGRAHAPSARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Model Swasembada Gula Kristal Putih (GKP) Nasional Dengan Pendekatan Sistem Dinamik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

RINGKASAN

RIZKA AMALIA NUGRAHAPSARI. Model Swasembada Gula Kristal Putih (GKP) Nasional dengan Pendekatan Sistem Dinamik. Dibimbing oleh RITA NURMALINA dan HENY KUSWANTI SUWARSINAH.

Gula Kristal Putih (GKP) merupakan jenis gula dari tebu yang ditujukan untuk konsumsi langsung masyarakat. Perkebunan tebu di Indonesia didominasi oleh perkebunan rakyat dengan produktivitas yang rendah. Hal ini menyebabkan produksi GKP Indonesia rendah dengan laju produksi yang lebih rendah dari laju konsumsi. Ketidakseimbangan antara sisi penyediaan dan kebutuhan gula telah menimbulkan ketergantungan terhadap gula impor. Upaya mengurangi ketergantungan terhadap GKP impor mendorong pemerintah untuk menerapkan program Revitalisasi Industri Gula Nasional (RIGN) dengan target swasembada GKP tahun 2014. Tercapainya swasembada GKP di masa datang akan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terkait dengan penyediaan bahan baku, pengolahan, perdagangan dan kebutuhan gula, baik secara sendiri-sendiri maupun sebagai hasil interaksi antara faktor-faktor tersebut. Oleh karena itu perlu dianalisis dinamika nya dengan membuat suatu model swasembada GKP yang mencakup keempat submodel tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengkaji kemungkinan pencapaian swasembada GKP tanpa kebijakan RIGN, (2) mengkaji dampak kebijakan RIGN terhadap pencapaian swasembada GKP, dan (3) menyusun skenario dan kebijakan alternatif pencapaian swasembada GKP. Untuk menjawab tujuan penelitian tersebut digunakan pendekatan sistem dinamik dengan menggunakan software powersim studio. Model ini menggunakan tahun 2010 sebagai tahun dasar dengan periode simuasi hingga tahun 2025. Dampak kebijakan RIGN dianalisis dengan menggunakan tiga skenario, yaitu: (1) skenario 1 (peningkatan luas areal tebu sebesar 3.2 persen per tahun), (2) skenario 2 (peningkatan produktivitas tebu sebesar 1.6 persen per tahun), (3) skenario 3 (peningkatan rendemen sebesar 1.41 persen per tahun). Sementara untuk menyusun kebijakan alternatif digunakan empat skenario yaitu: (1) skenario 4 (penurunan pertumbuhan penduduk menjadi 1.3 persen per tahun), (2) skenario 5 (gabungan peningkatan luas areal 3.2 persen per tahun dan penurunan pertumbuhan penduduk menjadi 1.3 persen per tahun), (3) skenario 6 (gabungan peningkatan produktivitas tebu 1.6 persen per tahun dan penurunan pertumbuhan penduduk menjadi 1.3 persen per tahun, (4) skenario 7 (gabungan peningkatan rendemen 1.41 persen per tahun dan penurunan pertumbuhan penduduk menjadi 1.3 persen per tahun. Ketujuh skenario tersebut disimulasikan dengan asumsi utama bahwa swasembada akan tercapai apabila secara netto jumlah produk dalam negeri minimal mencapai 90% dari jumlah konsumsi domestiknya.

(6)

0.30 juta ton. Hal ini berarti swasembada GKP yang ditargetkan oleh pemerintah pada tahun 2014 tidak akan tercapai pada kondisi aktual.

Analisis dampak kebijakan RIGN terhadap pencapaian swasembada GKP menunjukkan bahwa skenario peningkatan rendemen memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan skenario peningkatan luas areal dan skenario peningkatan produktivitas tebu. Skenario ini berhasil membuat Indonesia mencapai swasembada GKP pada tahun 2014 hingga akhir periode simulasi. Ketersediaan GKP pada tahun 2014 mengalami defisit sebesar 0,2 juta ton dengan skenario 1 dan defisit sebesar 0.19 juta ton dengan skenario 2. Sementara ketersediaan GKP pada tahun 2014 mengalami surplus sebesar 0,06 juta ton dengan skenario 3.

Skenario kebijakan alternatif dilakukan dengan menggabungkan antara kebijakan dari sisi penyediaan dan kebutuhan. Hasil simulasi menunjukkan bahwa gabungan skenario peningkatan rendemen dan pengelolaan penduduk memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan skenario kebijakan alternatif lainnya. Skenario ini berhasil membuat Indonesia mencapai swasembada GKP pada tahun 2013 hingga akhir periode simulasi. Hal ini dikarenakan peubah rendemen merupakan peubah yang very sensitive dan penduduk merupakan peubah yang highly sensitive berpengaruh terhadap kinerja model berdasarkan hasil analisis sensitivitas. Defisit ketersediaan GKP pada tahun 2014 berdasarkan skenario 4, 5 dan 6 berturut turut adalah sebesar 0.27 juta ton, 0.17 juta ton dan 0.16 juta ton. Sementara surplus ketersediaan GKP pada tahun 2014 berdasarkan skenario 7 adalah sebesar 0.05 juta ton.

Hasil analisis switching value menunjukkan bahwa pencapaian swasembada GKP pada tahun 2014 melalui kebijakan alternatif peningkatan rendemen dan penurunan pertumbuhan penduduk dapat dicapai apabila peningkatan rendemen tidak kurang dari 0.99 persen per tahun. Dengan kata lain, agar swasembada GKP dapat terwujud melalui skenario 7, maka tingkat keberhasilan skenario tersebut harus mencapai minimal 70.21 persen dari target peningkatan rendemen yang ditetapkan.

Kebijakan alternatif yang sebaiknya diterapkan oleh pemerintah dalam upaya pencapaian swasembada GKP adalah: (1) tetap melaksanakan program RIGN, (2) memfokuskan pelaksanaan RIGN pada upaya peningkatan rendemen dan (3) mengupayakan penurunan pertumbuhan penduduk. Langkah langkah operasional yang dapat dilakukan untuk meningkatkan rendemen adalah penataan varietas dan pembibitan, penerapan baku teknis budidaya tebu, penentuan awal giling yang tepat, manajemen tebang muat dan angkut yang baik serta peningkatan efisiensi pabrik. Untuk penelitian lebih lanjut disarankan pengembangan model industri gula dengan memasukkan industri gula rafinasi di dalam simulasinya.

(7)

SUMMARY

RIZKA AMALIA NUGRAHAPSARI. National Self Sufficiency Model of White Crystal Sugar With System Dynamics Approach. Supervised by RITA NURMALINA and HENY KUSWANTI SUWARSINAH.

White Crystal Sugar (GKP) is a type of direct consumption sugar from sugarcane. Sugarcane plantations in Indonesia is dominated by smallholder farmers with low productivity. This led to the low production rate of white crystal sugar, moreover this rate is actually lower than the consumption rate. As a result, sugar production cannot meet domestic consumption, thus importing sugar is the easy solution to fill the gap. Efforts to reduce dependency on imports of white crystal sugar prompted the government to implement the National Sugar Industry Revitalization program (RIGN) to achieve self-sufficiency of white crystal sugar on 2014. Achieving self-sufficiency of white crystal sugar in the future will be influenced by factors related to the supply of raw materials, processing, trading and sugar demand, either individually or as a result of the interaction between these factors. Therefore, it was important to analyze the dynamic of self-sufficiency thru a self self-sufficiency model of white crystal sugar which covers all the four sub-models.

The purpose of this study were to (1) study the possibility of achieving sufficiency of white crystal sugar, (2) study the impact of RIGN policy on self-sufficiency of white crystal sugar achievement, and (3) formulate scenario and alternative policies to reach the national self sufficiency of white crystal sugar. Data were analyzed by building the system dynamic model using powersim studio tool. The simulation period was from 2010 to 2025. RIGN policy impacts were analyzed using three scenarios: (1) scenario 1 (increasing land area 3.2 percent per year), (2) scenario 2 (increasing productivity of sugarcane 1.6 percent per year, (3) scenario 3 (increasing yield 1.41 percent per year). While to formulate alternative policies used four scenarios, which were: (1) scenario 4 (decreasing population growth to 1.3 percent per year), (2) scenario 5 (a combination of increasing land area 3.2 percent per year and decreasing of population growth to 1.3 percent per year), (3) scenario 6 (a combination of increasing productivity 1.6 percent per year and decreasing population growth to 1.3 percent per year, (4) scenario 7 (a combination of increasing yield 1.41 percent per year and decreasing population growth to 1.3 percent per year.

The results showed that, on actual conditions, national self sufficiency of white crystal sugar will not be realized during simulation period. In 2010, the deficit of white crystal availability is 0.12 million tonnes. If there is no policy, the deficit of white crystal sugar availability will increase to the end of the simulation. The deficit of white crystal sugar availability in 2025 is 1.23 million tons. While in 2014, the deficit of white crystal sugar availability is 0.30 million tons. This means self-sufficiency of white crystal sugar targeted by the government in 2014 will not be achieved in actual conditions.

(8)

2014 to the end of analysis period. The deficit of white crystal sugar availability in 2014 is 0.2 million tons by scenario 1 and 0.19 million ton by scenario 2. While the surplus of white crystal sugar in 2014 by scenario 3 is 0.06 millions ton.

The results suggested that policy scheme which combines provision and needs is necessary. A combination of increasing sugarcane yield and population management policy would give the best performance. By this combination policy, Indonesia is predicted to reach self-sufficiency of white crystal sugar in 2013 to the end of simulation period. This is because the results of sensitivity analysis showed that sugarcane yield is a very sensitive variable and population is a highly sensitive variable. The deficit of white crystal sugar availability in 2014 is 0.27 million tons by scenario 4, 0.17 million ton by scenario 5 and 0.16 millions ton by scenario 6. While surplus of white crystal sugar availability in 2014 by scenario 7 is 0.05 millions ton.

The results of switching value analysis indicate that the attainment of self-sufficiency of white crystal sugar in 2014 through increasing sugarcane yield and decreasing population growth can be achieved when an increasing of sugarcane yield is not less than 0.99 percent per year. In other words, self-sufficiency of white crystal sugar can be realized when the achievement rate of scenario 7 at least 70.21 percent from the target.

Alternative policies that should be implemented by the government to achieve self-sufficiency of white crystal sugar are: (1) continue to implement the RIGN program, (2) implement RIGN by focusing on increasing sugarcane yield and (3) reduce population growth. Operational steps that can be taken to improve sugarcane yield are varieties and seeding arrangement, the application of technical raw cane cultivation, the proper determination of starting grinding, a good cutting, unloading and transporting management, and increasing overall recovery. For further research, it is suggested to develop the sugar industry model by including refined sugar industry in the simulation.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)
(11)

MODEL SWASEMBADA GULA KRISTAL PUTIH (GKP)

NASIONAL DENGAN PENDEKATAN

SISTEM DINAMIK

RIZKA AMALIA NUGRAHAPSARI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Anna Fariyanti, MSi

(13)

Judul Tesis : Model Swasembada Gula Kristal Putih (GKP) Nasional Dengan Pendekatan Sistem Dinamik

Nama : Rizka Amalia Nugrahapsari

NIM : H451110211

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS Ketua

Dr Ir Heny Kuswanti Suwarsinah, MEc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agribisnis

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(14)

PRAKATA

Puji dan Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena rahmat dan hidayah-Nya, tesis yang berjudul “Model Swasembada Gula Kristal Putih (GKP) Nasional dengan Pendekatan Sistem Dinamik” dapat diselesaikan. Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik atas dukungan dan bantuan dari banyak pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, khususnya kepada:

1. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS, selaku Ketua Komisi Pembimbing, dan Dr Ir Heny Kuswanti Suwarsinah, MEc selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan, arahan, motivasi dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

2. Dr Ir Nunung Kusnadi, MS selaku Dosen Evaluator pada pelaksanaan kolokium proposal penelitian yang telah memberikan banyak arahan dan masukan sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik.

3. Dr Ir Anna Fariyanti, MSi selaku dosen penguji luar komisi dan Dr Ir Suharno, M.Adev selaku dosen penguji perwakilan program studi pada ujian tesis yang telah memberikan banyak kritikan membangun dalam penyempurnaan tesis ini.

4. Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku Ketua Program Studi Agribisnis dan Dr Ir Suharno, M.ADev selaku Sekretaris Program Studi Agribisnis, serta seluruh staf Program Studi Agribisnis atas bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penulis menjalani pendidikan.

5. Dr Aris Toharisman selaku Direktur Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dalam penyusunan tesis.

6. Kepala sekretariat Dewan Gula Indonesia atas bantuan dan kerjasamanya dalam memberikan data dan informasi yang diperlukan. 7. Peneliti Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia atas bantuan dan

kerjasamanya dalam memberikan informasi yang diperlukan.

8. Teman-teman seperjuangan pada Program Studi Agribisnis atas diskusi, masukan dan bantuan selama mengikuti pendidikan.

9. Penghormatan yang tinggi dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta Untung Slamet Riyadi, S.Pd dan Sri Budi Utami M.Pd, Adik Khairul Adhi Kurniawan, keponakan Callysta Griselda Solekha Kurniawan serta keluarga besar Temu Sastro Soemardjo.

10.Ucapan terima kasih khusus disampaikan kepada suamiku tercinta Sigit Purnomo ST yang telah memberikan dukungan penuh dan menjadi motivasi terbesar bagi penulis untuk segera menyelesaikan pendidikan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, April 2013

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xiii

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 6

Kegunaan Penelitian 6

Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian 6

2 TINJAUAN PUSTAKA

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Produksi dan Konsumsi Gula 7 Kebijakan Pengembangan Industri Gula di Indonesia 8

Analisis Swasembada Gula di Indonesia 8

Pendekatan Neraca Ketersediaan Untuk Menganalisis Dinamika

Swasembada 10

Pendekatan Sistem Dinamik untuk Merumuskan Strategi dan

Kebijakan Pengembangan Industri Gula 11

3 KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis 13

Konsep Swasembada dan Ketahanan Pangan 13

Konsep Revitalisasi 14

Teori Permintaan dan Penawaran 15

Pendekatan Sistem Dinamik 16

Pemodelan Sistem Dinamik 16

Kerangka Pemikiran Operasional 20

4 METODE PENELITIAN

Cakupan Penelitian 22

Jenis dan Sumber Data 22

Metode Analisis Data 22

Analisis Kebutuhan 23

Formulasi Masalah dalam Sistem 23

Identifikasi Sistem Ketersediaan GKP Nasional 24

Formulasi Model 27

Validasi Model 37

Simulasi Kebijakan 39

5 KERAGAAN SISTEM INDUSTRI GKP

Perkembangan Keragaan Penyediaan GKP di Indonesia 40 Perkembangan Luas Areal Tebu dan Produksi GKP di

Indonesia 40

(16)

6 HASIL DAN PEMBAHASAN

Model dan Dinamika Swasembada GKP 50

Validasi Model 50

Perilaku Submodel Penyediaan Bahan Baku 51

Perilaku Submodel Pengolahan 53

Perilaku Submodel Kebutuhan 54

Perilaku Submodel Perdagangan 56

Model Swasembada GKP Kondisi Aktual 57

Dampak Kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional Terhadap

Pencapaian Swasembada GKP 58

Skenario 1: Peningkatan Luas Areal 58 Skenario 2: Peningkatan Produktivitas Tebu 59

Skenario 3: Peningkatan Rendemen 60

Perbandingan Antara Kondisi Aktual dengan Skenario

Kebijakan 61

Skenario Kebijakan Alternatif Pencapaian Swasembada GKP 62 Skenario 4 (Penurunan Pertumbuhan Penduduk) 62 Gabungan Skenario Penyediaan dan Kebutuhan 63 Perbandingan Antara Kondisi Aktual dengan Skenario

Kebijakan Alternatif 65

Analisis Switching Value Model 66

Analisis Sensitivitas Model 67

Strategi Pencapaian Swasembada GKP 68

Strategi Peningkatan Rendemen 68

Strategi Penurunan Pertumbuhan Penduduk 72

7 SIMPULAN 73

8 SARAN 73

DAFTAR PUSTAKA 74

LAMPIRAN 80

(17)

DAFTAR TABEL

1 Analisis kebutuhan stakeholder dalam model swasembada GKP 23 2 Analisis formulasi permasalahan stakeholder dalam model

swasembada GKP nasional 24

3 Asumsi yang digunakan pada submodel penyediaan bahan baku 28 4 Asumsi yang digunakan pada submodel pengolahan 32 5 Asumsi yang digunakan pada submodel perdagangan GKP 34 6 Asumsi yang digunakan pada submodel kebutuhan 36 7 Asumsi yang digunakan pada model sistem swasembada GKP 37 8 Hasil uji validitas kinerja model swasembada GKP nasional 51 9 Ketersediaan GKP nasional hasil analisis switching value model 67 10 Sensitivitas perubahan peubah kunci ketersediaan GKP nasional 68

DAFTAR GAMBAR

1 Luas areal tebu dan produksi GKP Indonesia, tahun 1967-2010 2 2 Proporsi luas areal tebu di Indonesia berdasarkan status pengusahaan

Tahun 2010 2

3 Rata-rata konsumsi gula per kapita dunia pada tahun 2006-2010 3 4 Perkembangan produksi, konsumsi dan defisit GKP Indonesia 5

5 Tahapan pendekatan sistem 18

6 Kerangka pemikiran operasional 21

7 Diagram input output model swasembada GKP nasional 25 8 Diagram alir sebab akibat model swasembada GKP nasional 26 9 Struktur sub model penyediaan bahan baku 30

10 Struktur sub model pengolahan 31

11 Struktur sub model perdagangan 33

12 Struktur sub model kebutuhan 35

13 Produksi GKP Indonesia menurut status pengusahaan

tahun 1995-2010 41

14 Luas areal tebu Indonesia menurut status pengusahaan

tahun 1995-2010 42

15 Produktivitas GKP Indonesia menurut status pengusahaan

tahun 1995-2010 43

16 Produksi GKP dan luas areal tebu di Indonesia berdasarkan wilayah

tahun 2010 43

17 Perbandingan produksi tebu menurut provinsi dan status

pengusahaan tahun 2010 44

18 Perbandingan luas areal tebu menurut provinsi dan status

pengusahaan tahun 2010 44

19 Perkembangan rendemen gula di Indonesia tahun 2000-2010 45 20 Perkembangan pol tebu dan efisiensi pabrik gula di Indonesia

tahun 2004-2007 46

(18)

23 Perkembangan konsumsi GKP dan jumlah penduduk

tahun 2005-2010 48

24 Perkembangan konsumsi GKP per kapita rumah tangga

tahun 2007-2010 48

25 Proporsi konsumsi GKP tahun 2010 49

26 Luas areal perkebunan tebu kondisi aktual 2010-2025 51 27 Produktivitas tebu kondisi aktual tahun 2010-2025 52 28 Produksi tebu kondisi aktual aktual tahun 2010-2025 53 29 Produksi GKP kondisi aktual tahun 2010-2025 53 30 Kapasitas terpasang dan kapasitas terpakai industri gula kondisi

aktual, tahun 2010-2025 54

31 Kebutuhan GKP kondisi aktual tahun 2010-2025 55 32 Impor GKP kondisi aktual tahun 2010-2025 56 33 Harga domestik dan harga impor GKP kondisi aktual 56 34 Ketersediaan GKP nasional kondisi aktual tahun 2010-2025 57 35 Ketersediaan GKP nasional skenario 1 tahun 2010-2025 59 36 Ketersediaan GKP nasional skenario 2 tahun 2010-2025 60 37 Ketersediaan GKP nasional skenario 3 tahun 2010-2025 60 38 Perbandingan ketersediaan GKP pada skenario swasembada 61 39 Ketersediaan GKP nasional skenario 4 tahun 2010-2025 62 40 Ketersediaan GKP nasional skenario 5 tahun 2010-2025 64 41 Ketersediaan GKP nasional skenario 6 tahun 2010-2025 64 42 Ketersediaan GKP nasional skenario 7 tahun 2010-2025 65 43 Perbandingan ketersediaan GKP pada alternatif

skenario swasembada 66

44 Strategi peningkatan rendemen 69

DAFTAR LAMPIRAN

1 Struktur model sistem industri GKP nasional 80 2 Formula matematis sistem industri GKP nasional kondisi aktual 81 3 Ketersediaan GKP nasional kondisi aktual 83 4 Ketersediaan GKP nasional skenario 1 (peningkatan luas areal) 83 5 Ketersediaan GKP nasional skenario 2 (peningkatan produktivitas) 84 6 Ketersediaan GKP nasional skenario 3 (peningkatan rendemen) 84 7 Ketersediaan GKP nasional skenario 4 (penurunan pertumbuhan

penduduk) 85

8 Ketersediaan GKP nasional skenario 5 (gabungan peningkatan luas areal dan penurunan pertumbuhan penduduk) 85 9 Ketersediaan GKP nasional skenario 6 (gabungan peningkatan

produktivitas dan penurunan pertumbuhan penduduk) 86 10 Ketersediaan GKP nasional skenario 7 (gabungan peningkatan

(19)

1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Perkebunan merupakan salah satu subsektor strategis yang memainkan peran penting dalam pembangunan nasional dari sisi ekonomis, ekologis dan sosial budaya (Ditjenbun 2010). Sejalan dengan pendapat tersebut, Susila dan Goenadi (2004) menyatakan bahwa dengan pertumbuhan yang cukup konsisten, subsektor perkebunan mempunyai peran strategis baik dalam pembangunan ekonomi secara nasional maupun dalam menjawab isu-isu global. Subsektor perkebunan berperan dalam penyediaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, sumber devisa, pengentasan kemiskinan, dan konservasi lingkungan.

Salah satu komoditas unggulan perkebunan yang memberikan kontribusi pada pencapaian fungsi subsektor perkebunan adalah tebu. Tanaman tebu yang memiliki nama latin Saccharum officinarum L merupakan tanaman asli tropika basah yang memiliki sejarah cukup panjang di Indonesia. Tanaman ini menjadi komoditas unggulan karena peran nya sebagai bahan baku pembuatan gula.

Berdasarkan perundingan perdagangan internasional (WTO), gula merupakan salah satu dari empat komoditas pertanian strategis (Pambudy 2003) karena memiliki keterkaitan ke depan (forward linkage) dan ke belakang (backward linkage) yang sangat tinggi (Hanani et al. 2012). Gula berperan dalam memenuhi kebutuhan pokok dan kalori bagi masyarakat maupun industri di satu sisi, sementara di sisi lain merupakan sumber bagi pendapatan dan kehidupan sekitar satu juta petani dan hampir dua juta tenaga kerja yang terlibat langsung dalam sistem industri tersebut (Litbang Deptan 2007 dan Wibowo 2012). Gula juga ditetapkan sebagai Barang Dalam Pengawasan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2004. Hal ini menunjukkan bahwa gula memegang peranan penting dalam sistem ekonomi (pangan) dunia khususnya di Indonesia. Kedudukan industri gula dalam ekonomi Indonesia dapat dilihat dari sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), penyerapan devisa negara dan penyerapan tenaga kerja (Pambudy 2003). Dengan demikian dinamika produksi, konsumsi dan harga akan berpengaruh langsung maupun tidak langsung pada parameter parameter ekonomi, seperti inflasi, kesempatan kerja, pendapatan serta kesejahteraan petani dan masyarakat (Wibowo 2012).

(20)
(21)

3 mengalami ketidaktepatan jumlah, waktu, harga dan kualitas, (4) kurangnya sarana irigasi terutama pada wilayah pengembangan/lahan kering, dan (5) kelangkaan tenaga kerja di sektor budidaya. Sementara permasalahan dari sisi off farm meliputi: (1) keterbatasan kapasitas giling PG sehingga kurang mampu bersaing, (2) tingkat efisiensi pabrik (overall recovery) di bawah standar dan (3) umumnya mesin produksi perusahaan gula putih sudah tua (Pambudy 2004; Ditjen Industri Agro dan Kimia 2009; Kementerian BUMN 2011).

Gambar 3 Rata-rata konsumsi gula per kapita dunia pada tahun 2006-2010 34

60 56

43

7 61

48

34 37

17 16 18 27

50 36

30 34

0 10 20 30 40 50 60 70

Konsum

si

Gul

a (Kg/

Kap/

Thn)

Negara

Sumber: USDA dalam Koo dan Taylor (2011)

Apabila dilihat dari sisi kebutuhan, konsumsi gula dibedakan atas gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi langsung masyarakat dan gula kristal rafinasi (GKR) untuk industri (Asmarantaka 2012; Ginandjar 2012; Zaini et al. 2012). Data Kementerian BUMN (2011) menunjukkan bahwa Indonesia membutuhkan 5.7 juta ton gula untuk memenuhi konsumsi langsung sebanyak 2.96 juta ton dan keperluan industri sebanyak 2.74 juta ton pada tahun 2014. Sementara produksi gula nasional baru memenuhi 53 persen dari kebutuhan total dan sisanya dipenuhi melalui impor. Di sisi lain meskipun Indonesia merupakan negara pengimpor gula terbesar kelima di dunia, namun tingkat konsumsi gula perkapita Indonesia masih rendah apabila dibandingkan dengan negara lain. Berdasarkan data USDA dalam Koo dan Taylor (2011), konsumsi gula per kapita Indonesia diketahui sebesar 16 kilogram per kapita per tahun. Nilai ini masih di bawah konsumsi per kapita dunia yaitu sebesar 21 kilogram per kapita per tahun (Gambar 3). Namun akan semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, pendapatan masyarakat dan perkembangan industri makanan dan minuman (Hartono 2012 dan Asmara et al. 2012).

(22)

4

sesuai dengan konsep ketahanan pangan dalam Undang Undang Nomor 18 Tahun 2012. Pentingnya komoditas gula dengan berbagai potensi pengembangan yang dimiliki serta berbagai masalah yang menghambat ketersediaannya mendorong pemerintah menerapkan berbagai kebijakan. Salah satu kebijakan tersebut adalah Revitalisasi Industri Gula Nasional (RIGN).

RIGN merupakan rencana jangka panjang industri gula selama lima tahun (2010-2014) sebagai pedoman dalam rangka meningkatkan produksi gula untuk memenuhi kebutuhan gula nasional. RIGN diharapkan dapat meningkatkan produksi gula untuk konsumsi langsung yaitu jenis Gula Kristal Putih (GKP) sebanyak 3.54 juta ton pada tahun 2014, terdiri dari produksi gula dari perkebunan besar negara (PBN) sebanyak 2.32 juta ton dan produksi gula dari perkebunan besar swasta (PBS) sebanyak 1.22 juta ton. Dengan demikian kebutuhan konsumsi gula langsung akan dapat dicukupi dari produksi gula nasional yang berbahan baku tebu lokal, bahkan diperkirakan akan mengalami surpus gula konsumsi sekitar 584 ribu ton (Kementerian BUMN, 2011).

Namun target swasembada gula ini dihadapkan pada berbagai tantangan dari sisi on farm, off farm dan manajemen serta melibatkan kepentingan berbagai macam stakeholders mulai dari pemerintah, industri (PBN dan PBS), petani, pedagang besar, lembaga keuangan dan masyarakat. Untuk itu diperlukan sebuah pendekatan sistem dengan cara membangun model yang mampu merepresentasikan sistem industri GKP nasional, sehingga berbagai dinamika swasembada GKP dapat disimulasikan untuk menghasilkan rekomendasi kebijakan yang tepat. Model swasembada GKP nasional ini dibangun dengan pendekatan sistem dinamis. Pendekatan ini dipilih karena mampu menangkap sistem pergulaan nasional yang bersifat dinamis dimana setiap kebijakan pergulaan yang dibuat didasarkan pada kondisi politik, sosial, ataupun ekonomi yang dinamis dari waktu ke waktu. Pendekatan ini juga tepat karena mampu menangkap kompleksitas permasalahan yang terjadi pada sistem industri gula nasional dan menyederhanakannya dalam bentuk model. Dari pemodelan ini, akan dapat diketahui dinamika swasembada GKP, serta dapat dilakukan simulasi dampak kebijakan RIGN dan penyusunan skenario kebijakan alternatif untuk mendukung swasembada GKP.

1.2Perumusan Masalah

Industri gula Indonesia pernah mencapai kejayaan pada tahun 1930-an dengan menjadi eksportir gula terbesar di dunia setelah Kuba. Namun pada perkembangan selanjutnya, industri gula Indonesia lambat laun mengalami penurunan kinerja sehingga menjadi salah satu importir gula utama (Susilohadi et al.2012). Secara umum permasalahan ini disebabkan adanya ketidakseimbangan antara sisi penyediaan dan kebutuhan gula.

(23)

5 yang meningkat selama periode 1991-2001 dengan laju 16.6 persen per tahun. Peningkatan ini terjadi karena laju konsumsi meningkat sebesar 2.96 persen per tahun, sedangkan produksi menurun sebesar 3.03 persen per tahun. Laju impor ini terus meningkat pada periode selanjutnya. Data AGI (2011) menunjukkan adanya peningkatan laju impor GKP sebesar 29.49 persen per tahun selama 2005-2010.

Peningkatan laju impor tersebut salah satunya disebabkan oleh adanya peningkatan defisit GKP sebesar 27.65 persen per tahun, hingga pada tahun 2010 defisit GKP terhitung sebesar 511 612 ton. Hal ini dikarenakan peningkatan laju konsumsi GKP yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan laju produksi GKP. Selama periode 2005-2010 laju produksi meningkat sebesar 0.63 persen per tahun, sedangkan laju konsumsi meningkat sebesar 1.28 persen per tahun (BKP 2010). Gambar 4 menunjukkan perkembangan produksi, konsumsi dan defisit GKP Indonesia periode 2005 hingga 2010.

‐1000000

‐500000 0 500000 1000000 1500000 2000000 2500000 3000000

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Produksi Konsumsi Surplus/Defisit

Gambar 4 Perkembangan produksi, konsumsi dan defisit GKP Indonesia Sumber: BKP (2010)

Peningkatan permintaan yang tidak dibarengi peningkatan produksi pada masa yang akan datang akan mengancam industri gula nasional karena gula impor akan mengalahkan gula dalam negeri yang umumnya mempunyai kualitas lebih rendah (Asmarantaka et al. 2012). Disamping itu membiarkan ketergantungan kebutuhan pokok yang harganya sangat fluktuatif dengan koefisien keragaman harga tahunan sekitar 48 persen akan berpengaruh negatif terhadap upaya mencapaian ketahanan pangan (Pakpahan 2000; Simatupang et al. 2000 dalam Natawidjaja et al. 2012). Selanjutnya beban devisa untuk mengimpor juga akan terus meningkat.

Upaya mengurangi ketergantungan terhadap GKP impor menuntut industri gula untuk merealisasikan swasembada GKP. Tercapainya swasembada GKP di masa datang akan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terkait dalam penyediaan bahan baku, pengolahan gula, perdagangan dan kebutuhan gula, baik secara sendiri-sendiri maupun sebagai hasil interaksi antara faktor-faktor tersebut. Faktor faktor ini akan membentuk perilaku sistem industri GKP nasional.

(24)

6

teknologi, kebijakan protektif dan kelembagaan ekonomi (Zaini et al. 2012), tetapi kurang memperhatikan dinamika pengadaan bahan baku, pengolahan gula, konsumsi dan perdagangan secara bersama sama dengan pendekatan sistem dinamis dalam menganalisis swasembada gula.

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Mungkinkah swasembada Gula Kristal Putih akan terwujud tanpa kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional?

2. Bagaimana dampak kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional terhadap pencapaian swasembada Gula Kristal Putih?

3. Bagaimana skenario dan kebijakan alternatif pencapaian swasembada Gula Kristal Putih?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dinamika swasembada Gula Kristal Putih nasional dengan membangun model sistem dinamik. Secara spesifik tujuan penelitian adalah sebagai berikut :

1. Mengkaji kemungkinan pencapaian swasembada Gula Kristal Putih tanpa Revitalisasi Industri Gula Nasional.

2. Mengkaji dampak kebijakan Revitalisasi Industri Gula Nasional terhadap pencapaian swasembada Gula Kristal Putih.

3. Menyusun skenario dan kebijakan alternatif pencapaian swasembada Gula Kristal Putih.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai dinamika swasembada GKP nasional. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan untuk mengevaluasi kebijakan RIGN yang telah diterapkan oleh pemerintah dalam upaya pencapaian swasembada GKP tahun 2014. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah khazanah penelitian yang terkait dengan komoditas gula dan penggunaan sistem dinamik dalam menganalisis kebijakan di bidang pertanian serta menjadi bahan rujukan bagi penelitian lanjutan.

1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

(25)

7

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Konsumsi Gula

Dinamika ketersediaan gula tidak dapat dilepaskan dari dinamika produksi dan konsumsi gula. Produksi gula nasional dipengaruhi secara signifikan oleh luas lahan tebu, produktivitas dan rendeman (Priyono 2008; P3GI 2008; Asmara et al. 2012), efisiensi pabrik (Asmarantaka 2012), jumlah tebu, rendemen, jam mesin, dan tenaga kerja (Widarwati 2008), bahan baku tebu, tenaga kerja dan mesin (Cahyono 2009), hari hujan, tenaga kerja dan rendemen efektif (Istianto 2008). Hasil penelitian Tchereni et al. (2012) juga menunjukkan bahwa ukuran lahan merupakan faktor penting dalam meningkatkan produksi. Faktor penentu efisiensi teknis lainnya antara lain pengalaman petani, pendidikan dan jenis kelamin. Sementara hasil penelitian Widhaningsih (2007) menunjukkan bahwa ketersediaan dan produksi gula domestik hanya dipengaruhi oleh luas area. Luas area dan manajemen stok memberikan kontribusi yang besar terhadap produksi dan ketersediaan gula. Senada dengan pendapat tersebut, hasil penelitian Zaini (2008) menyimpulkan bahwa peningkatan produksi gula dapat dilakukan dengan memperluas areal perkebunan tebu di luar pulau Jawa dan mengurangi konversi (alih guna) lahan perkebunan tebu di pulau Jawa.

Dari berbagai faktor tersebut, faktor yang paling mendapat perhatian masyarakat industri gula adalah rendemen. Rendemen adalah kadar kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen (Trisnawati et al. 2012). Peningkatan rendemen merupakan upaya praktis yang berdampak positif dan signifikan terhadap produksi gula (Wibowo 2012). Oleh karena itu salah satu upaya menuju swasembada gula nasional 2014 adalah peningkatan rendemen. Tanaman tebu harus dapat diberdayakan sehingga kapasitasnya untuk menghasilkan dan menyimpan sukrose menjadi lebih baik (Soemarno 2010).

(26)

8

2.2Kebijakan Pengembangan Industri Gula di Indonesia

Pembangunan pertanian selama lima tahun ke depan (2010-2014) difokuskan kepada pencapaian empat target utama pembangunan pertanian, yaitu: (1) pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan, (2) peningkatan diversifikasi pangan, (3) peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, dan (4) peningkatan kesejahteraan petani (Kementan 2011). Oleh karena itu, sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dan pembangunan pertanian, kebijakan umum pembangunan perkebunan diarahkan untuk mensinergikan seluruh sumberdaya perkebunan dalam rangka peningkatan daya saing, nilai tambah, produktivitas dan mutu produk perkebunan melalui partisipasi aktif masyarakat perkebunan dan penerapan organisasi modern yang berlandaskan kepada ilmu pengetahuan dan teknologi serta didukung oleh tata kelola pemerintahan yang baik (Ditjenbun 2010). Hal ini tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pertanian 2010-2014 dan Rencana Strategis Pembangunan Perkebunan 2010-2014.

Salah satu komoditas yang menjadi sasaran swasembada dalam Renstra Kementerian Pertanian adalah gula. Swasembada yang dimaksud adalah swasembada gula konsumsi langsung rumah tangga, industri dan sekaligus menutup defisit neraca perdagangan gula nasional yang diupayakan akan dicapai pada tahun 2014 (Kementan 2011). Sasaran tersebut diimplementasikan dalam program Revitalisasi Industri Gula Nasional. Program RIGN merupakan salah satu program unggulan pemerintah dalam rangka swasembada gula nasional tahun 2014 (Kementrian BUMN 2011).

Adapun langkah langkah operasional untuk mengimplementasikan strategi pencapaian swasembada gula tersebut difokuskan kepada: (1) peningkatan produktivitas melalui rasionalisasi atau penataan varietas, penerapan teknologi budidaya, percepatan bongkar/rawat ratoon, efisiensi hara dan penggunaan pupuk organik serta suplesi air (embung dan pompa), (2) perluasan areal melalui kebun bibit untuk pabrik gula baru, optimalisasi atau pemanfaatan lahan dan penyediaan lahan pertanaman tebu, (3) revitalisasi dan pembangunan industri gula berbasis tebu melalui rehabilitasi/peningkatan kapasitas giling PG dan mutu produk, optimalisasi atau efisiensi hari giling, pemanfaatan idle capacity PG dan pembangunan PG baru, (4) kelembagaan dan pembiayaan, melalui penguatan kelembagaan riset dan pengembangan, penguatan kelembagaan usaha petani, penyiapan pengembangan SDM, fasilitasi KKP-E/guliran PUMK, serta pembiayaan untuk revitalisasi dan pembiayaan PG baru, (5) kebijakan pemerintah melalui pengaturan tata niaga (penetapan BPP/HPP, stabilisasi harga), perpajakan dan infrastruktur (Kementan 2011).

2.3 Analisis Swasembada Gula di Indonesia

(27)

9 yang tepat agar kebijakan dapat berjalan efektif Nielsen-Farrel (2006).

Swasembada pangan telah menjadi isu dunia, hal ini terlihat dari banyaknya penelitian mengenai swasembada pangan, baik yang terkait dengan gula maupun komoditas lain. Amid (2007) melakukan penelitian mengenai swasembada gandum di Iran. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kebijakan harga roti yang murah menjadi penyebab ketidakseimbangan permintaan dan penawaran dalam negeri sehingga impor meningkat.

Salah satu komoditas yang menjadi sasaran swasembada oleh pemerintah Indonesia adalah gula. Swasembada gula bisa terwujud bila ketergantungan pada impor sedikit demi sedikit dikurangi dan harus memiliki paradigma swasembada dengan menaikkan produksi dalam negeri melalui penambahan luas tanam (Ginandjar, 2012). Namun strategi pemenuhan kebutuhan gula belum terintegrasi dengan upaya pencapaian swasembada pangan secara keseluruhan, kebijakan pemenuhan kebutuhan gula berorientasi pada pemenuhan dalam arti swasembada fisik, tanpa memperhatikan pertimbangan ekonomis (Natawidjadja et al. 2012). Di sisi lain intervensi kebijakan atau pemihakan pada sistem produksi gula di Indonesia menjadi salah satu prasyarat pencapaian swasembada gula (Arifin 2012). Secara umum keamanan nasional juga menjadi faktor penting dalam mewujudkan swasembada (Hollander 2005).

Hasil penelitian Widyastutik (2005), Cahyani (2008), Sawit (2010), Zaini (2011), Asmarantaka (2012) dan Trisnawati et al. (2012) menunjukkan bahwa swasembada gula yang berkelanjutan akan sulit dicapai artinya produksi gula dalam negeri belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Widyastutik (2005) menyatakan bahwa untuk mencapai DRC =1, analisis simulasi menunjukkan perlunya upaya peningkatan efisiensi pengusahaan gula (dari subsistem agribisnis hulu hingga ke subsistem agribisnis hilir) yang sangat tinggi dan dalam waktu yang sangat singkat, sehingga upaya mencapai swasembada gula secara berkelanjutan tidak mungkin terwujud. Hal ini terlihat dari nilai DRC > 1 yang mengindikasikan bahwa pengusahaan gula pada berbagai pola tidak memiliki keunggulan komparatif. Kesimpulan ini diperkuat oleh hasil penelitian Asmarantaka (2012) yang menyatakan bahwa agroindustri gula belum efisien atau belum memiliki keunggulan komparatif berdasarkan hasil analisis integrasi, RCA dan EPD, sehingga sukar untuk mencapai swasembada gula pada tahun 2014.

Cahyani (2008) melakukan peramalan produksi dan konsumsi gula di Indonesia dan sampai pada kesimpulan bahwa konsumsi gula akan terus meningkat sampai tahun 2025. Sedangkan produksi gula cenderung konstan. Pesatnya perkembangan kebutuhan gula sementara peningkatan produksi relatif belum seimbang menjadikan Indonesia sebagai importir gula baik untuk gula kristal mentah maupun gula industri (Ditjen Industri dan Agro Kimia 2009). Ketidakmampuan produksi dalam negeri mencukupi kebutuhan konsumsi dalam negeri ini disebabkan oleh rendahnya produktivitas hablur terkait persoalan teknis dan non teknis agronomis, antara lain kesalahan dalam rekomendasi pemupukan yang dibuat atas dasar hasil analisis tanah saja dan mengabaikan beragam varietas, iklim, kondisi tanaman, dan hama/penyakit tanaman (Hakim 2006).

(28)

10

luar Pulau Jawa dan membangun pabrik gula baru tanpa diikuti oleh peningkatan efisiensi produksi di Pulau Jawa, maka hanya mengalihkan rente ekonomi gula dari yang semula diterima importir ke produsen gula namun tetap membebani konsumen. Sawit (2010) juga menilai bahwa kebijakan gula yang dibuat oleh pemerintah belum terintegrasi dengan baik dan belum mengarah ke tujuan yang sama. Pada umumnya, masing masing kementerian atau lembaga lebih berorientasi pada kepentingan jangka pendek daripada jangka panjang, dan dirancang secara ad hoc dan parsial. Disamping itu, kebijakan distribusi/perdagangan yang dirancang pemerintah belum mampu mengoreksi konsentrasi perdagangan gula, akibatnya pasar gula semakin menjauhi struktur pasar yang adil dan yang muncul adalah pasar oligopoli/oligopsoni.

Priyono (2008) menyebutkan bahwa untuk mencapai program swasembada diperlukan pembukaan lahan tebu dan pendirian pabrik gula baru di sejumlah wilayah oleh investor baik dari dalam dan luar negeri. Untuk mewujudkan swasembada gula 2014 pemerintah juga perlu menitikberatkan sektor off farm, diantaranya peremajaan mesin pabrik gula serta perbaikan kelembagaan pemasaran (Asmarantaka et al. 2012). Sementara menurut Ditjen Industri Agro dan Kimia (2009), diperlukan pengembangan industri gula (pengolahan tebu) yang terpadu mulai dari perkebunan, pengolahan, pemasaran dan distribusi yang didukung oleh pemangku kepentingan termasuk lembaga pendukung seperti litbang, SDM, keuangan/perbankan dan transportasi. Selain itu juga diperlukan upaya upaya merevitalisasi koperasi tebu rakyat (Hanani et al. 2012).

Peningkatan produktivitas secara global juga dapat tercapai bila pemangku penentu kebijakan mengambil keputusan kebijakan Pengembangan Produk Alternatif, lalu diikuti keputusan Dukungan Kebijakan Moneter, dan terakhir kebijakan Penentuan Tarif Bea Masuk. Dengan mengikuti pola pemeringkatan kebijakan tersebut, maka diharapkan pada tahun 2014 dapat dicapai swasembada gula (Dibyoseputro 2012). Sejalan dengan pendapat tersebut, Susila (2005) menunjukkan bahwa berbagai kombinasi kebijakan harga provenue, tarif impor,

Tariff Rate Quota (TRQ), dan subsidi input merupakan instrument kebijakan yang efektif untuk mengembangkan industri gula nasional dan mengurangi impor.

Namun dalam mewujudkan swasembada gula, terdapat berbagai kondisi yang kontra produktif terhadap upaya pencapaian swasembada antara lain aktivitas lobi dan tekanan politik produsen. Zaini (2011) melalui analisis regresi menunjukkan adanya hubungan positif antara tingginya aktivitas lobi/tekanan politik produsen dengan besarnya biaya sosial perburuan rente dan berhubungan negatif dengan pencapaian swasembada. Aktivitas lobi dan tekanan politik ditujukan untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan sehingga produsen gula mendapatkan rente ekonomi melalui hambatan impor.

2.4Pendekatan Neraca Ketersediaan Untuk Menganalisis Dinamika Swasembada

(29)

11 distribusi dan tata niaga, mengabaikan pengaruh faktor lingkungan dan pengaruh faktor harga gabah beras terhadap tingkat penawaran. Sementara Nurmalina (2007) melakukan penelitian ketersediaan beras nasional secara komprehensif dengan memanfaatkan data primer dan data sekunder. Analisis dimulai dengan menilai indeks dan status keberlanjutan ketersediaan beras nasional dengan metode multi dimensional scalling (MDS), menganalisis peubah yang dominan mempengaruhi ketersediaan beras dengan analisis prospektif, kemudian membuat model neraca ketersediaan beras yang berkelanjutan dengan pendekatan sistem dinamik.

Pendekatan yang sama juga digunakan oleh Utami (2006) dan Soemantri dan Machfud (2008) untuk membangun model ketersediaan ubi kayu. Model ketersediaan ubi kayu terdiri dari tiga submodel yaitu sub model persediaan, sub model kebutuhan konsumsi dan submodel kebutuhan industri. Terdapat lima skenario menurut tujuan model yaitu skenario tanpa kebijakan (usaha pemeliharaan), skenario dengan pemberdayaan sumberdaya lahan, skenario dengan kebijakan peningkatan produktivitas, skenario kebijakan pemberdayaan lahan dan peningkatan produktivitas serta skenario dengan kebijakan peningkatan konsumsi dan peningkatan kebutuhan industri.

Supriyati (2011) melakukan penelitian terkait dengan neraca gula. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa konsep FAO yang diacu oleh BKP lebih tepat untuk dijadikan format neraca gula baik oleh DGI dan BKP. Sementara Widhaningsih (2007) melakukan penelitian mengenai pengaruh kebijakan tataniaga gula terhadap ketersediaan dan harga domestik gula pasir di Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa indeks ketersediaan dapat diproyeksikan dengan trend polynomial (kuadratik). Berdasarkan trend ini maka ketersediaan akan meningkat tapi pada titik/periode terentu akan mencapai puncak dan kembali mengalami penurunan.

Secara umum hasil hasil penelitian terdahulu tersebut menggambarkan bahwa pendekatan neraca ketersediaan merupakan pendekatan yang tepat untuk mengetahui ketersediaan suatu komoditas. Selanjutnya neraca ketersediaan tersebut dapat digunakan sebagai dasar simulasi kebijakan untuk menganalisis dinamika swasembada.

2.5Pendekatan Sistem Dinamik untuk Merumuskan Strategi dan Kebijakan Pengembangan Industri Gula

Beberapa penelitian dengan pendekatan sistem dinamik terkait dengan komoditas gula telah dilakukan. Rancang bangun modal yang telah dibuat memiliki tujuan yang bervariasi, mulai dari peningkatan produksi gula (Sriwana 2006), optimasi produksi gula (Prabawa 1998), produktivitas sistem kerja (Haskari 2008), peningkatan pendapatan petani tebu (Novitasari dan Wirjodirdjo 2010), efektifitas kelembagaan rantai pasok pergulaan nasional (Khumairoh 2010) serta sebagai alat pemeta dan simulasi (Dibyoseputro 2012).

(30)

12

alat dan mesin budidaya tebu, serta penentuan tingkat keprasan yang optimum (Prabawa 1998). Dari aspek off farm, analisis pemodelan dan sistem dinamik dapat digunakan untuk merancangbangun model peningkatan produksi gula tebu melalui perbaikan aspek aspek jadwal pemeliharaan mesin produksi gula, penentuan kapasitas operasional pabrik, penentuan jadwal tebang tebu dan analisa sistem antrian transportasi tebu (Sriwana 2006). Sementara Haskari (2008) menggunakan analisis pemodelan dan sistem dinamik untuk mempelajari dan menentukan parameter ergonomi mikro dan makro pada sistem kerja pengolahan tebu di pabrik gula. Parameter tersebut diaplikasikan dalam perancangan model faktor ergonomi makro terhadap produktivitas sistem kerja pada pabrik gula.

Pendekatan sistem dinamik yang komprehensif dilakukan oleh Novitasari dan Wirjodirdjo (2010) yang menggunakan pendekatan sistem dinamik untuk menggambarkan model secara keseluruhan dan melakukan simulasi skenario kebijakan pemerintah dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani tebu. Pendekatan sistem dinamik yang komprehensif juga dilakukan oleh Dibyoseputro (2012) untuk membangun model sebagai alat pemeta sekaligus alat simulasi dalam pengambilan keputusan kompleks pengembangan agroindustri gula tebu.

Model yang dibangun dalam penelitian Novitasari dan Wirjodirdjo (2010) terbagi ke dalam lima submodel yaitu submodel persediaan tebu di Indonesia, submodel persediaan gula kristal, submodel persediaan gula rafinasi, submodel impor gula kristal dan submodel impor gula rafinasi. Hasilnya menunjukkan bahwa skenario yang memberikan dampak paling signifikan terhadap peningkatan profit petani tebu Indonesia adalah melakukan revitalisasi pabrik gula dan penetapan bea masuk gula impor sebesar 20 persen. Sementara model yang dibangun dalam penelitian Dibyoseputro (2012) terbagi ke dalam tiga submodel yaitu submodel perkebunan tebu, submodel PG dan submodel kebijakan. Hasil simulasi menunjukan bahwa peningkatan produktivitas secara global dapat tercapai bila pemangku penentu kebijakan mengambil keputusan kebijakan pengembangan produk alternatif, lalu diikuti keputusan dukungan kebijakan moneter, dan terakhir kebijakan penentuan tarif bea masuk.

Dari sisi pemasaran, Khumairoh (2010) melakukan analisis keterkaitan pelaku pergulaan nasional. Penelitian ini menggunakan pendekatan pemodelan sistem dinamis, karena obyek kajian bersifat makro dan strategis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterkaitan pada pelaku distribusi terlihat pada variabel harga jual dan jumlah persediaan gula. Selain itu, dinamika harga gula lebih sering terjadi di retailer serta sangat dipengaruhi oleh supplai gula dan persediaan gula. Berdasarkan skenario yang disusun, pengurangan jumlah impor dapat dilakukan dengan revitalisasi industri gula, penurunan bea impor, serta pembatasan konsumsi gula kristal oleh industri.

(31)

13

3 KERANGKA PEMIKIRAN

3.1Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Konsep Swasembada dan Ketahanan Pangan

Pemilihan konsep swasembada pangan harus dikaitkan dengan pertimbangan hal hal berikut: (a) sejauh mana bahan pangan tersebut merupakan hajat hidup masyarakat banyak; (b) perkembangan teknis dan teknologi serta tipe dari bahan pangan tersebut dalam pola pangan pokok; (c) situasi dan kondisi lain dari daerah ditinjau dari local specific; dan (d) kedudukan bahan pangan tersebut dalam pasar global/internasional. Jadi dalam waktu yang sama untuk bahan pangan yang berbeda terdapat konsep swasembada pangan yang berbeda pula. Untuk perekonomian yang relatif maju, dimana sistem pasar telah berjalan, konsep swasembada yang paling tepat adalah dalam pengertian kemampuan ekonomi untuk ekspor dan impor dengan pertimbangan sejauh mana pengembangan bahan pangan tersebut mempunyai keterkaitan kuat dalam ekonomi (Bunasor 1993).

Swasembada akan tercapai apabila secara netto jumlah produk dalam negeri minimal mencapai 90% dari jumlah konsumsi domestiknya, baik untuk memenuhi konsumsi rumah tangga, industri maupun neraca perdagangan gula nasional. Dengan pengertian tersebut yang dimaksud swasembada gula adalah produksi gula berbasis tebu dalam negeri telah mencapai 90% dari kebutuhan nasional (Kementan, 2010).

Konsep swasembada memiliki keterkaitan yang erat dengan konsep ketahanan pangan dimana hasil rumusan International Congress of Nutrition (ICN) yang diselengarakan di Roma tahun 1992 mendefinisikan ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari hari (Arabi 2002). Senada dengan definisi tersebut, UU No 18 Tahun 2012 mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Sementara menurut FAO (1996) ketahanan pangan adalah situasi dimana semua orang dalam segala waktu memiliki kecukupan jumlah atas pangan yang aman (safe) dan bergizi demi kehidupan yang sehat dan aktif. Maleha dan Sutanto (2006) menambahkan bahwa ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terintegrasi yang terdiri atas berbagai subsistem. Subsistem utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan dan konsumsi pangan. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dari interaksi ketiga subsistem tersebut.

(32)

14

strategis dalam operasionalisasi ketahanan pangan menurut Deptan (2006) yaitu sebagai berikut:

1. Terwujudnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga yang diindikasikan oleh adanya jaminan ketersediaan dan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi seimbang.

2. Terjaminnya ketersediaan dan akses terhadap pangan secara merata dalam rangka mewujudkan hak setiap warga negara atas kecukupan pangan secara layak, dan dapat mendukung stabilitas dan keberlanjutan pembangunan perekonomian nasional.

3. Pemerintah dan masyarakat luas diharapkan dapat meningkatkan komitmen dan kerjasamanya secara partisipatif dalam membangun ketahanan pangan yang mandiri dan berbasis pedesaan.

4. Urgensi komitmen bersama dalam memandang pangan bukan saja sebagai komoditas ekonomi, tetapi juga sebagai komoditas strategis (politis dan ekologis) untuk mencapai ketahanan pangan dan keamanan nasional serta kedaulatan bangsa.

3.1.2 Konsep Revitalisasi

Krisnamurthi (2006) merumuskan 3 definisi penting revitalisasi pertanian, yaitu sebagai berikut:

1. Revitalisasi pertanian merupakan kesadaran untuk menempatkan (kembali) arti penting (re-vital-isasi) pertanian, perikanan dan kehutanan secara proporsional dan kontekstual. Secara proporsional pertanian memiliki arti penting dalam posisinya bersama dengan bidang dan sektor lain dilihat dari perannya bagi kesejahteraan dan berbagai dimensi kehidupan masyarakat. Arti penting pertanian juga dilihat secara kontekstual sesuai perkembangan masyarakat. Pertanian tidak dipentingkan hanya karena pertimbangan masa lalu, tetapi karena pemahaman atas kondisi saat ini dan antisipasi masa depan dalam masyarakat yang mengglobal, semakin modern dan menghadapi persaingan yang semakin ketat.

2. Revitalisasi pertanian merupakan usaha, proses dan kebijakan untuk menyegarkan kembali daya hidup pertanian, memberdayakan kemampuannya, membangun daya saingnya, meningkatkan kinerjanya serta mensejahterakan pelakunya, terutama petani, nelayan dan petani hutan sebagai bagian dari usaha untuk mensejahterakan seluruh rakyat.

3. Revitalisasi pertanian adalah strategi dan alat untuk meningkatkan kesejahteraan, tetapi pada saat yang sama juga merupakan tujuan yang harus dicapai (a mean and an end of its own) setidaknya sebagai tujuan antara yang harus dapat diwujudkan.

(33)

15 Sementara berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 33/Permentan/OT.140/7/2006 Program Revitalisasi Perkebunan adalah upaya percepatan pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi tanaman perkebunan yang didukung kredit investasi perbankan dan subsidi bunga oleh pemerintah dengan melibatkan perusahaan di bidang usaha perkebunan sebagai mitra dalam pengembangan perkebunan, pengolahan dan pemasaran hasil.

3.1.3 Teori Permintaan dan Penawaran

Kurva permintaan merupakan kurva yang menggambarkan jumlah barang yang diminta oleh konsumen pada berbagai tingkat harga, sedangkan harga barang terkait, pendapatan, iklan dan variabel lain dianggap konstan (Baye 2006). Kurva permintaan juga merupakan titik titik yang masing masing menggambarkan tingkat maksimum pembelian pada harga tertentu dengan ceteris paribus (keadaan lain tetap sama). Senada dengan pendapat tersebut, Lipsey et al. (1995) mendefinisikan kurva permintaan sebagai hubugan antara jumlah yang diminta dengan harga, dengan faktor lain tetap sama.

Faktor faktor yang menentukan jumlah kuantitas yang diminta antara lain harga komoditi itu sendiri, rata rata penghasilan rumah tangga, harga komoditi yang berkaitan, selera, distribusi pendapatan diantara rumah tangga dan populasi (Lipsey et al. 1995). Perubahan jumlah barang yang diminta akibat perubahan harga dengan asumsi variabel lain konstan akan mengakibatkan pergerakan di sepanjang kurva permintaan (Lipsey et al. 1995 dan Baye 2006). Sementara pergeseran kurva permintaan akan terjadi akibat perubahan faktor lain pada harga yang sama, antara lain perubahan pendapatan konsumen, harga barang terkait, iklan, selera konsumen, populasi dan harapan konsumen (Baye 2006).

Permintaan suatu komoditi berdasarkan penggunaannya dapat dibedakan menjadi permintaan untuk konsumsi langsung dan permintaan untuk penggunaan antara (derived demand) yaitu sebagai bahan baku industri pengolahan. Untuk permintaan langsung, total permintaan merupakan perkalian antara konsumsi per kapita dengan jumlah penduduk. Konsumsi per kapita akan ditentukan oleh tingkat pendapatan, tingkat harga dan karakteristik demografis. Bila dalam jangka pendek tingkat harga dan faktor faktor lainnya dianggap konstan, maka pendapatan adalah sebagai penentu utama.

Kurva penawaran merupakan kurva yang menggambarkan jumlah barang yang diproduksi oleh produsen pada berbagai tingkat harga, sementara harga input, teknologi dan variabel lain dianggap konstan (Baye 2006). Kurva penawaran juga merupakan hubungan antara jumlah atau kuantitas yang ditawarkan dan harga jika faktor lainnya tetap sama (Lipsey et al. 1995).

(34)

16

3.1.4 Pendekatan Sistem Dinamik

America National Standards Institute dalam Squire (1992) mendefinisikan sistem sebagai serangkaian metode, prosedur atau teknik yang disatukan oleh interaksi yang teratur sehingga membentuk suatu kesatuan yang terpadu. Sistem juga merupakan gugus atau kumpulan dari komponen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau gugus tujuan tertentu (Hartrisari 2007). Sementara menurut Muhammadi et al. (2001), sistem adalah keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan.

Sistem dinamik adalah metode untuk meningkatkan pembelajaran dalam sistem yang kompleks (Sterman 2000). Sementara Hartrisari (2007) menjelaskan bahwa sistem dinamik merupakan metoda yang dapat menggambarkan proses, perilaku dan kompleksitas dalam sistem. Simulasi dengan menggunakan model dinamik dapat memberikan penjelasan tentang proses yang terjadi dalam sistem dan prediksi hasil dari berbagai skenario atau input model. Berdasarkan hasil simulasi model tersebut diperoleh alternatif alternatif untuk menunjang pengambilan keputusan.

Secara substansial terdapat dua alasan yang mendasari pentingnya perspektif sistem dinamik. Pertama, pendekatan sistem dengan sistem dinamis adalah proses berpikir menyeluruh dan terpadu yang mampu menyederhanakan kerumitan tanpa kehilangan unsur utama dari obyek yang menjadi perhatian. Kedua, metode sitem dinamis cocok untuk menganalisis mekanisme, pola dan kecenderungan sistem berdasarkan analisis terhadap struktur dan perilaku sistem yang rumit, berubah cepat dan mengandung ketidakpastian (Muhammadi et al. 2001).

3.1.5 Pemodelan Sistem Dinamik

Hartrisari (2007) menjelaskan bahwa pendekatan sistem merupakan cara pandang yang bersifat menyeluruh yang memfokuskan pada integrasi dan keterkaitan antar komponen, sedangkan model merupakan penyederhanaan dari sistem. Sedangkan Muhammadi et al. (2001) berpendapat bahwa model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Model juga merupakan jembatan antara dunia nyata dengan dunia berpikir untuk memecahkan suatu masalah. Proses penjabaran atau merepresentasikan ini disebut sebagai pemodelan yang merupakan proses berpikir melalui sekuen yang logis (Fauzi dan Anna 2005). Sejalan dengan pendapat tersebut Forrester (1965) dalam Hartrisari (2007) menyatakan bahwa model adalah representasi sebuah sistem, namun tidak akan sama persis dengan sistem sebenarnya. Semakin banyak variabel yang dimasukkan dalam model, semakin sulit untuk menjelaskan proses yang terjadi.

(35)

17 Tahapan pemodelan dalam penelitian ini merupakan kombinasi antara pendapat Sterman (2000) dengan pendapat Manetsch dan Park (1977) dalam Hartrisari (2007). Sterman (2000) merumuskan proses pemodelan menjadi lima tahapan yaitu:

1. Perumusan masalah

Tahapan perumusan masalah mencakup pemilihan tema, variabel kunci, waktu dan pendefinisian permasalahan dinamis. Pemilihan tema harus memperhatikan permasalahan yang melatarbelakangi dan mengapa permasalahan tersebut terjadi. Variabel kunci yaitu mencakup konsep dan variabel kunci apa yang harus dipertimbangkan. Waktu yaitu seberapa jauh rentang waktu di masa depan dan masa lalu yang akan diperhatikan. Sementara pendefinisian permasalahan dinamis mencakup perilaku variabel kunci di masa lalu dan prediksi perilaku variabel tersebut di masa yang akan datang.

2. Formulasi hipotesis

Tahapan formulasi hipotesis mencakup penurunan hipotesis awal, endogenous focus dan pemetaan. Penurunan hipotesis awal didasarkan kepada teori terbaru yang dilanjutkan dengan endogenous focus. Pada tahap endogenous focus dilakukan perumusan hipotesis dinamis yang menjelaskan dinamika sebagai konsekuensi endogen dari struktur umpan balik. Sementara pada tahap pemetaan akan dibuat causal structure yang didasarkan kepada hipotesis awal, variabel kunci, referensi dan data lainnya yang tersedia dengan menggunakan model boundary diagrams, subsystem diagrams, causal loop diagrams, stock and flow maps, policy structure diagrams dan alat lainnya.

3. Perumusan model simulasi

Tahapan perumusan model simulasi meliputi spesifikasi, estimasi dan pengujian. Spesifikasi yang dimaksud meliputi spesifikasi struktur dan aturan. Estimasi yang dimaksud meliputi estimasi parameter, hubungan perilaku dan kondisi awal. Sementara pengujian dilakukan untuk menguji konsistensi terhadap tujuan dan batasan yang telah ditetapkan.

4. Pengujian

Tahapan pengujian meliputi perbandingan dengan model referensi, ketahanan di bawah kondisi ekstrim dan sensitivitas. Perbandingan dengan model referensi ditujukan untuk mengetahui apakah model mereproduksi perilaku masalah dengan cukup baik sesuai dengan tujuan. Ketahanan di bawah kondisi ekstrim ditujukan untuk mengetahui apakah model berperilaku realistis ketika dihadapkan pada kondisi ekstrim. Sementara sensitivitas ditujukan untuk mengetahui bagaimana model berperilaku atas ketidakpastian parameter, kondisi awal dan agregrasi.

5. Desain kebijakan dan evaluasi

(36)

18

kebijakan digunakan untuk melihat apakah kebijakan saling berinteraksi dan apakah terdapat sinergi atau respon yang saling melengkapi.

Mulai

Analisis

Formulasi

Identifikasi

Pemodelan

Verifikasi dan Validasi

Gambar 5 Tahapan pendekatan sistem

Sumber: Manetsch dan Park dalam Hartrisari (2007)

Gambar 5 merupakan gambar tahapan pendekatan sistem. Manetsch dan Park (1977) dalam Hartrisari (2007) merumuskan tahapan pendekatan sistem ke dalam 6 tahapan yaitu:

1. Analisis kebutuhan

Pengkajian suatu sistem diawali dengan analisis kebutuhan. Pada tahap ini diidentifikasi kebutuhan kebutuhan dari masing masing pelaku (stakeholders) sebagai dasar pertimbangan dalam memahami sistem yang dikaji.

Setiap pelaku sistem memiliki kebutuhan yang berbeda beda yang dapat mempengaruhi kinerja sistem, dimana masing masing pelaku berharap agar kebutuhan tersebut dapat terpenuhi jika mekanisme sistem tersebut dijalankan. Tahapan analisis kebutuhan ini sangat penting untuk dilakukan karena apabila pelaku merasa bahwa mekanisme sistem tidak dapat mengakomodasi kebutuhannya, maka pelaku sebagai komponen sistem tidak mau atau tidak akan menjalankan fungsi secara optimal sehingga mengakibatkan kinerja sistem terganggu.

2. Formulasi masalah

Kebutuhan yang sinergis antar semua pelaku sistem tidak akan menimbulkan permasalahan dalam pencapaian tujuan sistem karena semua pelaku menginginkan kebutuhan tersebut. Sebaliknya permasalahan akan muncul jika

Implementasi

(37)

19 terdapat kebutuhan yang saling kontradiktif antar pelaku. Kebutuhan yang saling kontradiktif dapat dikenali berdasarkan dua hal, yaitu: kelangkaan sumberdaya (lack of resources) dan perbedaan kepentingan (conflict of interest).

Kebutuhan pelaku yang saling kontradiktif ini memerlukan solusi penyelesaian yang didapatkan dari pemahaman terhadap mekanisme yang terjadi dalam sistem. Berdasarkan mekanisme tersebut, hubungan antar faktor dapat diketahui sehingga solusi dapat ditentukan berdasarkan pengetahuan keterkaitan antar faktor.

3. Identifikasi sistem

Identifikasi sistem dilakukan untuk memahami mekanisme yang terjadi dalam sistem. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah dengan menyusun diagram lingkar sebab-akibat (causal loop diagram) atau diagram input output (black box diagram). Hal ini bertujuan untuk mengenali hubungan antara “pernyataan kebutuhan” dengan “pernyataan masalah” yang harus diselesaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut.

4. Pemodelan sistem

Prosedur dalam pemodelan adalah menyatakan kembali permasalahan yang akan diselesaikan sesuai dengan tujuan kajian sistem, menyusun hipotesis, memformulasi model, menguji serta menganalisis model. Model disusun untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Suatu model dikatakan efektif apabila model tersebut mampu menyederhanakan sistem yang akan dicapai yaitu memiliki keterkaitan antara dunia maya yang dinyatakan dalam model dengan dunia nyata.

5. Verifikasi dan validasi

Tujuan dari verifikasi dan validasi model adalah menguji kebenaran struktur model untuk menunjukkan kesalahan minimal dibandingkan dengan data aktual termasuk menggunakan berbagai teknik statistika. Sementara Muhammadi et al. (2001) berpendapat bahwa validasi diperlukan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat dinyatakan baik apabila kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang ditirukan kecil.

Secara umum, pengujian model meliputi tiga hal yaitu pengujian kesesuaian model, evaluasi model dan validasi model. Pengujian kesesuaian model bertujuan untuk melihat apakah persamaan persamaan yang digunakan sudah benar, melihat kesesuaian prosedur perhitungan dan meyakinkan bahwa model telah bebas dari kesalahan kesalahan teknis. Evaluasi model bertujuan untuk melihat kesesuaian antara hasil model dengan realitas dan hasil model dengan tujuan yang ditentukan pada awalnya. Sementara validasi model bertujuan untuk melihat kesesuaian hasil model dengan realitas bila model dijalankan dengan data yang lain.

6. Implementasi model

(38)

20

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Program RIGN dilatarbelakangi oleh adanya kesenjangan antara produksi dan konsumsi GKP, dimana produksi tidak mampu memenuhi kebutuhan. Hal ini terlihat dari defisit GKP yang terus meningkat setiap tahunnya. Oleh karena itu penelitian model swasembada GKP nasional ini menjadi perlu dilakukan, terutama untuk mendukung strategi pencapaian swasembada GKP 2014.

(39)

21

Keterangan

: alur berfikir : analisis sistem dinamis : tahapan pemodelan : operasionalisasi alur berfikir

Gambar 6 Kerangka pemikiran operasional

Defisit GKP meningkat 27,65 % per tahun Pro GKP kat

0,63 % per tahun

duksi mening Konsumsi GKP meningkat

1,28 % per tahun

RIGN dengan target swasembada GKP

Perlunya penelitian Model Swasembada GKP

Keragaan Penyediaan dan Kebutuhan GKP

Model Swasembada GKP Nasional

Pendekatan analisis sistem dinamis

Y

ƒ Studi pustaka ƒ Studi penelitian

terdahulu ƒ Studi kebijakan

pemerintah ƒ Analisis kebutuhan

stakeholder

ƒ Analisis formulasi permasalahan

stakeholder

Membuat Model Sistem Industri GKP

Simulasi Model Identifikasi sistem

T

Menganalisis kebutuhan dan permasalahan stakeholder

Memahami mekanisme sistem

ƒ Diagram input output ƒ Diagram sebab akibat

Pemodelan sistem Diagram stock and flow

Menguji kebenaran struktur dan kinerja model

Validasi Model Uji RMSPE, AME, AVE

Menganalisis dinamika swasembada GKP nasional

Rekomendasi

Skenario:

ƒ Dampak kebijakan RIGN

(40)

22

4 METODE PENELITIAN

4.1 Cakupan Penelitian

Penelitian ini dianalisis secara makro pada tingkat nasional. Perhitungan ketersediaan GKP nasional dilakukan dengan pendekatan sistem dinamis. Model ini menggunakan tahun 2010 sebagai tahun dasar dengan pertimbangan tahun tersebut merupakan tahun dimulainya program RIGN. Analisis perilaku model ini akan dilakukan hingga tahun 2025 dengan pertimbangan tahun tersebut merupakan tahun berakhirnya rencana aksi jangka panjang program pengembangan klaster industri gula yang diatur dalam peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 11/M-IND/PER/2010. Penelitian dilaksanakan selama 2 bulan yaitu dari bulan November hingga Desember 2012.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder, yaitu data luas areal tebu, produktivitas tebu, rendemen, kapasitas giling pabrik, harga GKP impor, harga GKP domsetik, penduduk dan konsumsi GKP. Data dikumpulkan dari berbagai sumber seperti laporan, dokumen dan hasil penelitian dari berbagai instansi yang berhubungan dengan penelitian antara lain Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun), Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Dewan Gula Indonesia (DGI), Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) dan perguruan tinggi (PT).

4.3Metoda Analisis Data

(41)

23

4.2.1 Analisis Kebutuhan

Tahapan pengkajian sistem diawali dengan analisis kebutuhan. Analisis kebutuhan dilakukan dengan mengidentifikasi para stakeholder yang terkait dengan industri gula. Selanjutnya akan dilakukan identifikasi kebutuhan dari para stakeholder tersebut sebagai dasar pertimbangan dalam pemahaman sistem industri gula yang akan dikaji. Setelah kebutuhan tersebut dirumuskan, baru kemudian dilakukan tahap pengembangan terhadap kebutuhan-kebutuhan tersebut. Bedasarkan pada studi pustaka dan hasil penelitian, stakeholder industri gula dapat dikelompokkan sebagai berikut: (1) Pemerintah, (2) Swasta (PBS, pedagang besar, retailer), (3) BUMN (PBN), (4) Konsumen dan (5) Petani dan kelompok tani. Setiap pelaku sistem tersebut memiliki kebutuhan yang berbeda beda yang dapat mempengaruhi sistem ketersediaan GKP.

Tabel 1 Analisis kebutuhan stakeholder dalam model swasembada GKP nasional

Stakeholder Kebutuhan stakeholder

Pemerintah ƒ Peningkatan produksi tebu dan gula

ƒ Peningkatan rendemen

ƒ Neraca ketersediaan GKP positif

ƒ Swasembada GKP tahun 2014 Swasta ƒ Produksi gula tinggi

ƒ Harga gula tinggi

ƒ Efisiensi pabrik tinggi

ƒ Bahan baku memadai

ƒ Revitalisasi industri gula swasta mencapai target BUMN ƒ Produksi gula tinggi

ƒ Harga gula tinggi

ƒ Efisiensi pabrik tinggi

ƒ Bahan baku memadai

ƒ Revitalisasi industri gula BUMN mencapai target Konsumen ƒ Harga gula murah

ƒ Gula tersedia sepanjang waktu Petani ƒ Harga gula tinggi

ƒ Rendemen tinggi

ƒ Produktivitas tebu tinggi

Sumber: Diadaptasi dari Pambudy (2004), Mardianto et al. (2005), Ditjen Industri Agro dan Kimia (2009), Kementrian BUMN (2011)

4.2.2 Formulasi Masalah dalam Sistem

Gambar

Gambar 5  Tahapan pendekatan sistem
Gambar 6  Kerangka pemikiran operasional
Tabel 2  Analisis formulasi permasalahan stakeholder dalam model dinamika                    sistem industri GKP
Gambar 7  Diagram input output model sistem industri GKP nasional
+7

Referensi

Dokumen terkait