• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Pencapaian Swasembada GKP Sisi Penyediaan

5 KERAGAAN SISTEM AGROINDUSTRI GKP

Skenario 7: Peningkatan Rendemen dan Penurunan Pertumbuhan Penduduk

6.6 Strategi Pencapaian Swasembada GKP

6.6.1 Strategi Pencapaian Swasembada GKP Sisi Penyediaan

Dalam upaya meningkatkan daya saing industri atau ekspor gula, mutlak diperlukan peningkatan produktivitas dan efisiensi di tingkat usahatani melalui peningkatan rendemen tebu menjadi gula (Asmarantaka 2012) sebagai strategi pencapaian swasembada GKP dari sisi penyediaan. Rendemen merupakan bentuk efisiensi pengolahan tebu mulai dari usahatani hingga proses produksi di pabrik (Susilohadi et al. 2012). Pada prinsipnya peningkatan rendemen dilaksanakan

69 dengan cara meningkatkan gula yang dapat diperoleh pada tebu di meja giling dan menurunkan kehilangan gula selama prosesing tebu menjadi gula (P3GI 2008). Dalam prosesnya rendemen yang dihasilkan oleh tanaman dipengaruhi oleh keadaan tanaman dan lingkungan tumbuhnya serta proses penggilingan di pabrik (Soemarno 2010). Oleh karena itu, upaya peningkatan rendemen harus dilakukan secara bersama sama baik dari sisi on farm maupun off farm, seperti Gambar 44 berikut ini:

Gambar 44 Strategi peningkatan rendemen

Peningkatan efisiensi pabrik dapat dicapai melalui optimasi kapasitas giling dan menjaga kelancaran giling. Sementara optimasi kapasitas giling tidak akan tercapai jika tidak ada keseimbangan antara pasokan bahan baku tebu dan kapasitas giling pabrik. Peningkatan pasokan bahan baku yang tidak diimbangi oleh peningkatan kapasitas giling akan menyebabkan tebu terlambat digiling sehingga rendemen menjadi turun, sebaliknya peningkatan kapasitas giling yang tidak diimbangi dengan peningkatan pasokan bahan baku tebu akan menyebabkan terjadinya kompetisi antar pabrik gula dalam mendapatkan bahan baku. Pabrik gula yang kinerjanya kurang baik akan mengalami kekurangan bahan baku karena petani akan lebih memilih menggilingkan tebu nya ke pabrik gula dengan kinerja yang lebih baik. Akibatnya pabrik gula tersebut akan bekerja di bawah kapasitasnya yang berakibat tingginya jam henti giling, sehingga akan mempengaruhi efisiensi pabrik gula dan kualitas produk yang dihasilkannya. Oleh karena itu, peningkatan efisiensi pabrik harus dilakukan secara bersama sama dengan peningkatan pasokan bahan baku. Peningkatan pasokan bahan baku dapat dilakukan melalui penataan varietas untuk menghasilkan komposisi varietas yang seimbang antara masak awal, tengah dan akhir. Penataan varietas tidak dapat dilakukan tanpa adanya pembibitan yang baik yang menghasilkan bibit yang benar, murni dan sehat. Penataan varietas ini baru akan membuahkan hasil berupa rendemen yang tinggi jika diimbangi oleh penerapan baku teknis budidaya tebu yang benar. Namun meskipun pasokan bahan baku dan efisiensi pabrik telah sama sama baik, rendemen akhir tidak akan tinggi tanpa dukungan manajemen tebang, muat dan angkut (TMA) yang baik. Manajemen TMA yang kurang baik akan menyebabkan antrian tebu di emplasemen menjadi panjang, sehingga menyebabkan penurunan pol tebu yang berarti penurunan rendemen. Sementara

70

manajemen TMA yang baik ini sangat tergantung kepada penentuan awal giling yang tepat, dan penentuan awal giling yang tepat sangat tergantung kepada komposisi varietas yang baik.

Berikut ini adalah penjelasan rinci langkah langkah yang dapat dilakukan dalam upaya peningkatan rendemen:

1. Penataan Varietas dan Pembibitan

Penataan varietas dimulai dari perbaikan mutu bibit atas varietas unggul yang akan dikembangkan (P3GI 2008), penggantian varietas unggul baru dengan melakukan bongkar ratoon dan melakukan penataan varietas sesuai dengan komposisi kemasakan yang ideal (Susilohadi et al. 2012). Penggunaan benih unggul sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan produktivitas dan rendemen (Asmarantaka 2012). Salah satunya melalui penyelenggaraan kebun bibit secara benar dan terencana untuk menghasilkan bibit yang baik, yaitu bibit yang terjaga kebenaran varietas, kemurnian dan kesehatannya.

Bibit yang sehat adalah bibit yang bebas dari serangan hama dan penyakit, khususnya harus bebas dari penyakit penyakit sistemik, seperti penyakit pembuluh (RSD), mosaik, blendok (leaf scald) dan luka api (smut). Berbagai teknologi penyediaan bibit sehat telah dikembangkan, antara lain metode perawatan air panas dan mikropropagasi. Pemakaian bibit yang sehat juga harus diikuti dengan pemakaian pisau pemotong bibit yang dioles disinfektan,seperti 20% lysol dan 70% alcohol (P3GI 2008).

Bibit yang murni adalah bibit yang bebas dari campuran varietas lain. Bibit yang murni akan menghasilkan tingkat pertumbuhan dan kemasakan yang seragam. Untuk mendapatan bibit yang murni, diperlukan teknik pencandraan varietas yang baik. Dengan mengenal karakter morfologi setiap varietas, maka upaya membuang campuran varietas lain pada tahap kebun bibit dapat dilakukan secara dini sehingga kemurnian bibit untuk tanaman tebu giling dapat dijamin. Penataan varietas dan pembibitan yang baik akan mempermudah penyusunan rencana tebang yang mengacu kepada kategori kemasakan sehingga diperoleh hasil tebu dengan tingkat rendemen tinggi (P3GI 2008). Soemarno (2010) menambahkan bahwa optimalisasi rendemen yang dimulai dari kebun bibit merupakan perbaikan jangka panjang sehingga evaluasinya harus dilakukan dalam kurun waktu yang memadai.

Perubahan teknologi melalui benih unggul dan mekanisasi diharapkan akan meningkatkan produktivitas dan menghemat penggunaan sumberdaya (input) sehingga menggeser kurva produksi total ke atas (Asmarantaka 2012). Nahdodin (1993) menyatakan bahwa pemakaian bibit yang murni dan bermutu mampu meningkatkan produksi sebesar 19%, dengan peningkatan penerimaan pendapatan hampir dua kali tambahan biaya pengadaan bibit tersebut.

2. Penerapan Baku Teknis Budidaya Tebu

Memelihara tanaman dengan baik sesuai dengan baku teknis budidaya tebu merupakan salah satu upaya meningkatkan rendemen (Susilohadi et al. 2012). Penerapan baku teknis budidaya tebu yang menunjang peningatan rendemen antara lain melalui pengaturan waktu tanam, kebutuhan air, pemupukan berimbang dan pengendalian hama penyakit. Masa tanam yang tepat merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam budidaya tebu. Keterlambatan waktu tanam akan berdampak signifikan terhadap penurunan produktifitas. Pemupukan terkait dengan keseimbangan neraca hara di dalam tanah. Pemupukan yang berimbang

71 akan menjaga keseimbangan neraca hara di dalam tanah, sehingga produktivitas tanah akan meningkat. Peningkatan produktivitas tanah akan meningkatkan kualitas hasil panen yang diukur dalam bentuk rendemen. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah pengendalian hama dan penyakit. Serangan hama dan penyakit akan menyebabkan batang batang tebu tidak dapat digiling karena mati dan penurunan rendemen akibat kerusakan pada ruas ruas batang (P3GI 2008).

Hama dan penyakit yang sering menyerang tanaman tebu antara lain hama penggerek pucuk dan batang, serta penyakit pembuluh dan luka api. Alternatif terbaik untuk mengatasi serangan penggerak pucuk dan batang adalah melalui pengendalian hama terpadu (PHT) yang menekankan pada pengendalian hayati. Alternatif terbaik untuk mengatasi penyakit pembuluh adalah dengan perawatan air panas 500C selama 2 jam terhadap bibit tebu dan penggunaan varietas yang tahan terhadap penggerek pucuk dan batang.

3. Penentuan awal giling yang tepat

Penentuan awal giling merupakan upaya efisiensi usaha industri gula, dalam menekan kerugian akibat penyimpangan masa giling, disamping itu sangat berarti bagi PG yang menganut sistem manajemen tunggal (P3GI 2008). Penentuan awal giling dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu awal giling diletakkan sepanjang musim kemarau, memanfaatkan data analisis pendahuluan (faktor kemasakan atau koefisien kemasakan), penentuan awal giling berdasarkan kurva rendemen rata-rata dan penentuan awal giling yang dimulai dengan pengaturan masa tanam, varietas dan kategori tanaman.

4. Manajemen tebang, muat dan angkut (TMA) yang baik

Tujuan utama manajemen tebang, muat dan angkut adalah mendapatkan tebu giling yang masak, bersih dan segar (MBS) sebanyak banyaknya sejak ditebang hingga digiling dalam tempo yang secepatnya (P3GI 2008). Manajemen TMA yang kurang baik akan menyebabkan antrian tebu di emplasemen menjadi panjang, sehingga menyebabkan penurunan pol tebu yang berarti penurunan rendemen. Menurut Susilohadi et al. (2012) hal ini disebabkan karena terkonversinya sukrosa yang terkandung dalam tebu menjadi glukosa selama masa tunggu giling. Hasil pengamatan P3GI (2008) di sebuah pabrik gula di Jawa menunjukkan bahwa penurunan % pol tebu bisa mencapai 6.0 poin dalam perjalanannya mulai dari kebun, di cane yard atau emplasemen dan terakhir di pabrik. Dari kebun ke cane yard atau emplasemen mencapai 2.5%, sedangkan dari cane yard atau emplasemen hingga ke luar dari proses pabrik mencapai 3.5%.

Salah satu cara pengaturan jadwal tebang muat angkut yang baik adalah dengan menggunakan decision support system (DSS). DSS ini akan memperhitungkan tebu di lokasi mana yang telah siap untuk ditebang berdasarkan analisis kematangan oleh petugas serta perhitungan jarak tempuh dari kebun tebu hingga sampai ke pabrik, sehingga dapat ditetapkan areal kebun mana yang akan ditebang terlebih dahulu serta menentukan areal mana saja yang akan ditebang untuk memenuhi kapasitas giling pabrik yang normal sambil memperhitungkan estimasi sisa persediaan tebu yang belum diolah di cane yard. Sistem ini kemudian akan menotifikasi pihak pabrik, areal mana saja yang telah siap untuk ditebang dan dijadikan input untuk pabrik ke depannya (Susilohadi et al. 2012). 5. Peningkatan efisiensi pabrik

Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan rendemen adalah melalui penggunaan varietas unggul tebu di tingkat usahatani dan peningkatan efisiensi

72

penggilingan tebu di pabrik gula (Asmarantaka 2012). Untuk mengurangi kehilangan gula selama proses di pabrik maka diperlukan optimasi kapasitas giling dan menjaga kelancaran giling dan mengurangi kehilangan gula di stasiun gilingan dan pengolahan (P3GI 2008). Dalam upaya peningkatan produktivitas dan rendemen, Susilohadi et al. (2012) menyatakan bahwa peningkatan efisiensi di tingkat usahatani dan pabrik merupakan hal yang harus diprioritaskan. Perbaikan sistem pabrik berkontribusi sebesar 30% terhadap peningkatan rendemen. Hal ini dikarenakan masalah utama yang menyebabkan hasil rendemen gula tidak maksimal adalah karena tidak optimalnya kinerja mesin (Prabowo 2012). Ariesa dan Tinaprilla (2012) menambahkan bahwa penggunaan mesin tua telah menyebabkan banyaknya gula yang hilang dalam proses produksi. Oleh karena itu pemerintah mencanangkan program revitalisasi pabrik gula dengan fokus penggantian mesin produksi yang sudah tua. Penggantian mesin yang sudah tua dengan teknologi baru akan meningkatkan efisiensi pabrik dan mengurangi biaya produksi.

Keseimbangan antara pasokan bahan baku tebu dan kapasitas giling pabrik harus dipertimbangkan seharmonis mungkin karena akan berpengaruh baik pada kuantitas/kualitas produk (rendemen) maupun biaya produksi (Wibowo 2012). Gangguan pada kelancaran giling akan berakibat pada rendahnya pencapaian kapasitas giling. Hal ini akan menyebabkan terjadinya pemborosan pemakaian energi dan tingginya kehilangan gula karena kerusakan sukrosa. Semakin lama jam berhenti, semakin boros dan mahal pemakaian energi dan semakin tinggi kehilangan gula yang terjadi. Oleh karena itu kelancaran giling harus dijaga dengan meminimalkan jam berhenti giling. Minimalisasi jam berhenti dilakukan dengan memelihara kondisi peralatan, agar layak beroperasi dan melakukan pengawasan pengoperasian sebaik mungkin (P3GI 2008).

Dokumen terkait