ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI
(Studi Komparatif Penafsiran al-Râzi dan Thanthawi
Terhadap QS. Al-
Isra’: 1 dan QS. Al
-Najm: 13-15)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)
Oleh:
Abdul Ghaffar NIM: 105034001196
Jurusan Tafsir Hadis
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
Jakarta
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI
(STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN AL-RAZI DAN THANTHAWI
TERHADAP QS. AL-ISRA’:1 DAN QS.AL-NAJM: 13-15)” telah diujikan
dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filasafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 15 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) pada
Program Studi Tafsir Hadis.
Jakarta, 15 Juni 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Dr. M. Suryadinata, M.A Muslim, S.Th.I NIP: 19600908 198903 1 005
Anggota,
Penguji I Penguji II
Dr. Ahzami Sami’un Jazuli, M.A Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A
NIP: 19620624 200003 1 001 NIP: 19711003 199903 2 001
Pembimbing,
ISRA’ MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI
(Studi komparatif penafsiran al-Razi dn Thantawi
Terhadap QS. al-Isra: 1 dan Qs. al-Najm: 13-15).
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud)
Oleh:
ABDUL GHAFFAR 105034001196
Pembimbing,
Dr. Yusuf Rahman, MA. NIP. 19670213 199203 1 002
Jurusan Tafsir Hadis
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 15 Juli 2010
KATA PENGANTAR
Berjuta puja, puji serta syukur aku haturkan kehadirat Allah SWT, Dia-lah
yang melimpahkan rahmat, karunia, kekuatan serta kesabaran kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan Tugas Akhir yang berjudul “ISRA‟ MI‟RAJ
DALAM TAFSIR BIL ILMI (STUDI KOMPARATIF PENAFSIRAN AL-RAZI
DAN THANTHAWI TERHADAP QS. AL-ISRA‟:1 DAN QS.AL-NAJM:
13-15)” ini.
Berjuta kangen yang meliputi cintaku kepadamu duhai Muhammad
Kekasih Allah, selayaknya shalawat dan salam untukmu. Saksikanlah ummat-mu
ini bershalawat kepadamu allahumma shalli ’ala sayyidina wa habibina
Muhammad, kiranya engkau lihatlah lambaian tanganku yang sangat bangga
menjadi bagian umat-mu yang mengemis syafaat darimu duhai Kekasih Allah.
Terwujudnya tulisan dalam bentuk skripsi ini, tentunya tidak lepas dari
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Terima kasih sebesar-besarnya
penulis haturkan pada segenap orang-orang terkasih yang berada di sekeliling
penulis, yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini :
1. Bapak Dr. Zainun Kamal, M.A. (Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta), serta para pembantu Dekan.
2. Bapak Dr. Bustamin, M.Si selaku ketua jurusan dan Bapak Rifqi Muhammad
Fatkhi, MA. Selaku sekretaris jurusan.
3. Bapak Yusuf Rahman, MA selaku pembimbing yang tiada henti dan bosannya
mampu menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa pula kepada Bapak Eva Nugraha
M.A. sebagai dosen akademik juga teman diskusi penulis dan tak ketinggalan
Bapak Muslim yang telah banyak memudahkan urusan penulis.
4. Umi Wa Ode Zamani dan Abah A.Chodri Romli tercinta, serta kakak-kakakku
yang layak untuk aku jadikan cerminan hidup: Mbak Anisatul Maliha, Mas
Harisul Anas, dan Mas Khathibul Umam. Juga malaikat-malaikat kecilku
yang selalu membuat tersenyum dengan tingkah polahnya: Amira, Rian,
Nayla, dan Efal. Seluruh keluarga tercinta yang telah memberikan doa,
dukungan baik moril maupun materil yang tak terhingga dalam menyelasaikan
skripsi ini.
5. Segenap Dosen Fakultas Ushuluddin yang telah berkenan memberikan
ilmunya, yang telah berkenan menemani dalam setiap langkah pencarian ilmu
dan bersedia mengajar penulis dalam setiap jengkal kebodohan.
6. Juga kepada sejumlah karyawan Perpustakaan Utama, Perpustakaan
Ushuluddin, Perpustakaan Pusat Studi al-Qur‟an Lentera Hati, serta
Perpustakaan Iman Jama‟ yang telah bersedia membantu penulis.
7. Terima kasih kepada Murizky Gayo atas kesabaran dan pengertiannya.
Teman-temanku; Mas Hafidin, Cak Beni, Kang Awang, Saomi, Chabibi,
Muis, Rony dll. Juga Teman-teman seperjuangan di tafsir hadis angkatan
2005, Mas Labib, Kang Asep, Kiyai Rosyidi, Cak Salman, Syarif, Zee, Laily,
Lili, Bedah, Itoh, Neneng, Syahid dsb, terima kasih untuk semua canda, tawa,
kekonyolan, diskusi, pinjam printer, minta kertas, bantu terjemah, minta
tolong foto copy dan yang terpenting adalah motivasinya dan telah bersedia
Dari sangat kecilnya yang dapat penulis lakukan dengan karya ini,
merupakan satu usaha kecil untuk berusaha ikut mengais sepercik air di hamparan
samudra ilmu Allah yang teramat luas. Dengan keterbatasan yang dimiliki
penulis, kekurangan pasti ditemui dalam banyak sisinya, karna kesempurnaan
hanya milik Allah semata.
Akhirnya, harapan penulis, semoga atas segala bantuan dan perhatian yang
diberikan mendapatkan balasan yang berlipat dari Allah SWT., amin. Selain itu
semoga segala aktivitas yang kita kerjakan diberikan kemudahan dan menjadi
nilai ibadah di sisi-Nya. Sekali lagi penulis mengucapkan terima kasih.
Jakarta, 2 Juni 2010
MOTTO PENULIS
”Yang terbaik dari kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengamalkannya”
”manusia terbaik adalah yang bermanfaat untuk orang lain”
”jangan mengejar bayangan karena kamu tidak akan
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………. i
MOTTO PENULIS……….. iii
DAFTAR ISI……… . iv
TRANSLITERASI……… vi
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………….. 7
C. Tujuan Penelitian ………. 9
D. Manfaat Penelitian ………... 9
E. Tinjauan Pustaka ……….. 9
F. Metode Penelitian ………. 11
G. Sistematika Penulisan ……… 12
BAB II. TINJAUAN UMUM ATAS ISRA’ DAN MI’RAJ A. Definisi Isra‟ Mi‟raj …….………. 13
1. Etimologi ……….. 13
2. Terminologi ……….. 14
B. Isra‟ Mi‟raj perspektif ahli tafsir ……….. 15
C. Isra‟ Mi‟raj perspektif Rasionalis ………. 17
D. Pro-kontra atas Isra‟ Mi‟raj ..…..……….. 25
BAB III. MENGENAL AL-RAZI DAN THANTHAWI BESERTA TAFSIRNYA A. Fakhr al-Dîn al-Râzî .……….………. 29
1. Biografi singkat dan beberapa karyanya ... 29
al-Ghaib ...... 39 4. Metode, corak dan sistematika penulisan al-Tafsîr al-Kabîr
Mafâtîh al-Ghaib ... 39 B. Thanthawi Jauhari ……….. 41
1. Biografi singkat dan beberapa karyanya ... 41
2. Selayang pandang tentang al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an 42
3. Latar belakang penulisan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an 43
4. Metode, corak dan sistematika penulisan al-Jawâhir fî
Tafsîr al-Qur’an ... 44
BAB IV. PENAFSIRAN AL-RAZI DAN THANTHAWI TERHADAP
ISRA’ MI’RAJ
A. Perbandingan kedua tafsir atas Qs. Al-Isra‟: 1 ……… 47
B. Perbandingan kedua tafsir atas Qs. Al-Najm: 13-15 .... 54
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ... 57
B. Saran-saran ... 58
DAFTAR PUSTAKA
TRANSLITERASI
Skripsi ini menggunakan alih aksara (translitersi) yang mengikuti atau
sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam pedoman transliterasi
arab-latin dengan menggunakan pedoman penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis,
disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2006-2007.
I. Konsonan
Arab Latin Arab Latin Arab Latin
ا tidak dilambangkan ز z ق q
ب b س s ك k
ت t ش sy ل l
ث ts ص s م m
ج j ض d ن n
ح h ط t و w
خ kh ظ z ـه h
د d ع „ ء ,
ذ dz غ gh ي y
ر r ف f
II. Vokal Pendek III. Vokal Panjang
_ َ_ : a اأ :â
َ
- : i يﺇ : î
IV. Vokal Rangkap
يأ : ai وأ : au
V. Singkatan
Swt : Subhanau wa ta‟ala
Saw : Shalla Allah „alaihi wa Sallam
Ra : Radhiya Allah „anhu
H : Tahun Hijriyah
M : Tahun Masehi
W : Wafat
Tt : Tanpa Tempat
Tth : Tanpa Tahun
Tp : Tanpa Penerbit
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Peristiwa Isra‟ dan Mi„râj tidak dapat ditangkap oleh akal manusia yang
penuh dengan segala keterbatasannya. Bagi manusia yang selalu memakai
kemampuan penalarannya, Isra‟ dan Mi„râj itu sangat tidak rasional dan tidak
sesuai dengan pengalaman hidup selama ini. Sangat mustahil seseorang dapat
menempuh jarak antara Makkah dan Yerusalem pulang-pergi pada waktu itu,
hanya dalam waktu kurang dari semalam : pergi dari Makkah ke Madinah dengan
mengendarai unta saja memerlukan waktu puluhan hari, apalagi naik dan
menerobos perbatasan langit yang tujuh cacah.1
Namun para mufassir tidak mempersoalkan apakah Nabi Muhammad
SAW memang ber- Isra‟ Mi„râj atau tidak, mereka lebih mempersoalkan apakah
Nabi Muhammad SAW ber-Isra‟ dengan jasadnya atau ruhnya saja. Dalam hal ini
ulama tafsir terpecah ke dalam dua golongan. Satu golongan mengatakan bahwa
Nabi Muhammad SAW ber-Isra‟ hanya dengan ruhnya saja dan golongan lain
mengatakan Nabi Muhammad SAW ber-Isra‟ berikut jasadnya.2
1
Achmad Baiquni, Al-Qur‟an dan Pengetahuan Kealaman (Yogyakarta: Prima bakti Prima Yasa, 1997), h. 252.
2
Muhammad Jarir al-Thabari dalam Jâmi‟ al-Bayân fî Ta‟wîl al-Qur‟an (Muassasah al-Risalah, 2000M/1420H) menjelaskan tentang pendapat para ulama mengenai peristiwa Isrâ‟ mirâj berikut riwayat-riwayat yang digunakan oleh masing-masing pendapat, pendapat pertama mengatakan bahwa Nabi SAW ber-Isrâ‟ dengan jasadnya (jilid17 h. 335), pendapat kedua dengan jasad dan ruhnya (h. 348), pendapat ketiga dengan ruhnya saja dan tanpa jasad (h. 349). Lihat juga: KH. Moenawar Chalil, dalam bukunya berjudul Peristiwa Isrâ‟ dan Mi‟râj (Jakarta: Bulan bintang, 1975), yang telah mengklasifikasikan pendapat-pendapat mengenai hal ini, ia menulis: “Tentang bagaimana terjadinya Isrâ‟ dan Mi‟râj yang dilakukan Nabi SAW. yakni apakah dengan tubuh halus (ruhani) serta tubuh kasar (jasmani) nya, ataukah hanya tubuh halus (ruhani) nya saja. Tentang ini antara para ulama, para cerdik pandai dan para sarjana sejak dari dahulu hingga sekarang masih banyak pertikaian pendapat dan perselisihan paham, yakni:
Berlainan dengan permasalahan di atas, para mufassir berpendapat sama
mengenai pengertian Isra‟ dan Mi„râj, yakni Isra‟ adalah perjalanan seorang
hamba (Muhammad SAW) di malam hari3 dari Masjid Haram ke Masjid
al-Aqsha. Dan Mi„râj adalah dinaikkannya Nabi Muhammad SAW dari Masjid
al-Aqsha menuju langit untuk melihat keajaiban besar4 dan bertemu dengan para
nabi5 dan kemudian berhenti di Sidratul Muntaha.6
Hal yang penting untuk dikritisi adalah, bahwa ternyata tidak ada
perbedaan mendasar yang cukup mendominasi antar tafsir-tafsir bi al-Ma‟tsur7
dan bi al-Ra‟yi8 berkaitan dengan pembahasan mereka mengenai Isra‟ dan Mi„râj.
Misalnya saja dalam tafsirnya Abu Laits al-Samarkandi pada Bahr al-„Ulûm, yang
hanya menjelasakan Isra‟ dan Mi„râj secara tekstual dan kemudian mengutip
- Isra‟ dan mirâj dilakukan dengan ruh saja
- Isra‟ dan mirâj dilakukan dengan jalan mimpi
- Isra‟ dan mirâj dilakukan dengan badan halus, tidak dengan jasmani dan tidak dengan ruhani
- Isra‟ dan mirâj dilakukan dengan wahdatul wujud
- Isra dilakukan dengan tubuh kasar serta ruhani, dan Mi‟rajnya dilakukan hanya
Al-Alusi al-Baghdadi, Tafsir Rûh al-Ma„âni (Beirut: Dâr ihyâ‟ al-Turats al-„Arabi, 1405 H), juz 15, h. 12.
5
Abu Muhammad al-Husain al-Baghawi, Ma„âlim al-Tanzîl (Dâr Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi‟, 1997), juz 5, h.58
6
Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jâmi‟ al-Bayân fî ta‟wîl al-Qur‟an (Muassasah al-risalah, 2000), juz 17, h. 333.
7
Tafsir bi al-Ma‟tsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih menurut urutan yang telah disebutkan di muka dalam syarat-syarat tafsir. Yaitu menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar tabi‟in karena pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat. Lihat: Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Qur‟an (Jakarata, Halim Jaya, 2007), h.482. Tafsir dengan sumber ini harus diikuti dan dipedomani karena ia adalah jalan pengetahuan yang benar dan merupakan jalan paling aman untuk menjaga diri dari ketergelinciran dan kesesatan dalam memahami kitabullah (Studi ilmu-ilmu Qur‟an, h.486).
8
riwayat-riwayat berkaitan dengan peristiwa ini9. Demikian juga dengan penafsiran
al-Thabari dalam Jâmi‟ al-Bayân fî Ta‟wîl al-Qur‟an yang setelah menjelaskan
kedudukan ayat secara tekstual, mengutip riwayat-riwayat sahabat dan para
tabi‟in, serta mengklasifikasi perbedaan-perbedaan riwayat-riwayat tersebut.10
Walaupun tentu kedua kitab tafsir di atas yang digolongkan oleh al-Dzhahabi
sebagai tafsir bi al-Ma‟tsur ini tidak bisa men-jenalisir bahwa tafsir bi al-Ma‟tsur
demikian seluruhnya.
Tidak berbeda jauh dengan kitab-kitab tafsir bi al-Ma‟tsur di atas, dalam
tafsir-tafsir bi al-Ra‟yi pun, misalnya penafsiran Abu Sa‟ûd al-„Imadi pada kitab
Irsyâd al-„Aql al-Salîm li mizâyan al-Kitâb al-Karîm yang hanya menjelaskan
ayat secara tekstual dan mengutip riwayat-riwayat terdahulu.11 Demikian juga
dengan tafsir al-Nasafi dalam kitabnya Madârik al-Tanzîl wa Haqâ‟iq al-Ta‟wîl.
Kedua tafsir ini pun tentu tidak dapat dijenalisir bahwa tafsir-tafsir bi al-Ra‟yi
demikian seluruhnya. Berbeda misalnya dengan penafsiran Fakhr al-Dîn al-Râzî
dalam Mafâtîh al-Ghaib. Di samping menjelaskan ayat secara tekstual, mengutip
riwayat-riwayat terdahulu, menjelaskan perbedaan-perbedaan pemahaman
sahabat, tabi‟in dan para ulama terdahulu, al-Râzî juga berusaha memberikan
penjelasannya dengan berbagai argumentasi rasional dengan dalil-dalil ilmiah
(dengan memakai ukuran waktu itu) seperti fisika kuantum (prinsip ketidakpastian
9
Lihat: al-Samarkandi, Bahr al-„Ulûm, juz 2, h. 493-492. 10
Lihat: Muhammad Jarir al-Thabari, Jâmi‟ al-Bayân fî ta‟wîl al-Qur‟an (Muassasah al-Risalah, 2000M/1420H), juz 17, h. 331-351
11Lihat: Abu Sa‟ud al
dan indeterminisme),12 metafisika, kosmologi.13 Ia juga menggunakan
matematika, kimia dan biologi dalam penafsiran ayat-ayat lainnya.14
Tak berbeda jauh dengan metodologi tafsir-tafsir di atas, ketika berbicara
mengenai peristiwa Isra‟ dan Mi„râj, M.Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah
-nya yang notabene tafsir Indonesia dan bisa dikatakan sebagai tafsir „baru‟,
ternyata juga lebih menitikberatkan penjelasan tekstual dan mengutip
riwayat-riwayat mengenainya.15
Terlepas dari itu semua, jika melihat kembali fungsi diturunkannya
al-Qur‟an, maka para ulama sepakat bahwa al-Qur‟an adalah petunjuk untuk
manusia16 yang selalu relevan pada setiap zaman dan tempat. Di sisi lain, jika
turut menekankan prinsip fungsi ke-hidayah-an al-Qur‟an untuk manusia, maka
mau tidak mau harus menerima perkembangan tafsir al-Qur‟an sebagai
monitoring pemahaman masyarakat yang juga berkembang. Hal ini tidak lain
sebagai bentuk perwujudan relevansi al-Qur‟an tadi pada setiap zaman dan
kondisi.
Salah satu pemikir Muslim besar yang juga seorang mufassir, yakni
Muhammad Abduh, banyak memberi warna dan inspirasi karena
menitik-tekankan perkembangan dalam dunia tafsir serta mengkritisi tafsir-tafsir yang
telah ada sebelumnya, karena unsur hidayah pada tafsir-tafsir tersebut kurang
12
Setelah al-Râzî menjelaskan perbedaan ulama‟ mengenai Isra‟ Mi‟râj dan mengklasifikasikannya menjadi dua hal, yakni : 1) konfirmasi kebolehan akal (itsbât Jawâz
al-„Aql), dan 2) kenyataan (al-Wuqû‟) dari peristiwa tersebut, ia menjelaskan bahwa gerakan yang terjadi secara cepat sampai batas ini adalah mungkin, dan Allah Maha Kuasa atas segala kemungkinan. Hal ini menunjukkan bahwa tercapainya gerakan dengan kecepatan tersebut tidak ada halangan. Kemudian al-Razi menjelaskan secara rinci mengenai konfirmasi kebolehan akal ini. (Lihat: al-Râzî, Mafâtih al-Ghaib, Juz 9, h. 494)
13
Lihat, M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2009), vol.7, h. 9-19 16
dapat ditangkap oleh manusia. Hal ini tidak berlebihan karena pada kenyataannya
banyak ahli tafsir yang jiwanya dikuasai oleh ilmu balaghah misalnya, maka
dalam menafsirkan al-Qur‟an yang bersangkutan lebih menitik beratkan uraian
-uraiannya pada kaidah ilmu tersebut. Ada yang semangat dalam ilmu nahwu dan
sharaf, maka ia memusatkan perhatiannya pada masalah kedudukan kata di dalam
kalimat (I‟rab al-Kalimât) dan perubahan-perubahannya. Ada pula yang
menguasai ilmu sejarah, sehingga ia mengutamakan kisah dan riwayat, bahkan
ada yang berlebihan sehingga memasukkan dongeng-dongeng Yahudi
(Isrâ‟iliyyât) tanpa diteliti terlebih dahulu. Demikianlah seterusnya.17
Oleh karena itu berbagai cara tafsir yang dipengaruhi bermacam sikap dan
pandangan seperti di atas, menyulitkan pembacanya untuk memperoleh petunjuk
a-Qur‟an secara memuaskan hati. Dengan demikian fungsi al-Qur‟an sebagai
petunjuk kurang dapat ditangkap.
Di antara sekian sikap dan pandangan mufassir, al-Râzî misalnya
menafsirkan al-Qur‟an dari kaca mata ilmu pengetahuan yang lebih condong ke
arah sains. Terlebih ketika berbicara mengenai ayat-ayat yang mengarah kepada
alam, penciptaan, dan lain sebagainya seperti ayat yang menceritakan tentang
peristiwa Isra‟ dan Mi„râj ini. Hal ini sebenarnya bukan hal yang berlebihan
karena tafsir dengan corak seperti ini bertujuan untuk memudahkan manusia
menangkap petunjuk al-Qur‟an. Namun tafsir corak ini tentu saja tidak terlepas
dari kritik para ulama. Misalnya saja definisi yang diajukan oleh Amin al-Khûli
mengenai tafsir bil „ilmi adalah: "Tafsir yang memaksakan istilah-istilah keilmuan
kontemporer atas redaksi Al-Qur'an, dan berusaha menyimpulkan berbagai ilmu
17Rif‟at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh
dan pandangan-pandangan filosofis dari redaksi Al-Qur'an itu."18 Demikian juga
dengan definisi yang diajukan oleh Abdul Majid Abdul Muhtasib, yaitu : "Tafsir
yang mensubordinasikan redaksi Al-Qur'an ke bawah teori dan istilah-istilah
sains-keilmuan dengan mengerahkan segala daya untuk menyimpulkan pelbagai
masalah keilmuan dan pandangan filosofis dari redaksi Al-Qur'an itu."19
Kedua definisi di atas tampak mirip, dan dapat kita berikan catatan dalam
dua hal yaitu: yang pertama, kedua definisi tersebut mendiskreditkan model tafsir
saintifik, sebab memberi kesan bagi orang awam yang membaca definisi itu
bahwa corak tafsir itu agar dihindari karena dinilai telah "menundukkan redaksi
Al-Qur'an" ke dalam teori-teori sains yang kerap berubah-ubah. Lagi pula sosok
Amin al-Khûli dan Abdul Muhtasib ini dikenal berada di barisan ulama yang
kontra dan tak merestui corak tafsir ini.20
Kedua definisi tersebut tak mampu menggambarkan konsep yang
sebenarnya diinginkan para pendukung tafsir bil „ilmi. Para pendukungnya tak
pernah berkeinginan untuk memaksakan istilah-istilah keilmuan modern kepada
redaksi Al-Qur'an, atau menundukkan redaksi Al-Qur'an itu kepada teori-teori
sains yang selalu berubah. Apa yang dimaksudkan para ulama pendukung corak
tafsir ini adalah berupaya menjelaskan salah satu aspek kemukjizatan Al-Qur'an
18
Abdul Majid al-Muhtasib, Ittijâhât al-Tafsîr fi al-'Ashr al-Hadîts, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1973), h. 309.
19
al-Muhtasib, Ittijâhât al-Tafsîr fi al-'Ashr al-Hadîts, h. 247. 20
Mengenai tafsir bil „ilmi, Amin Al-khûli mengkritik keras dalam bukunya, ia menulis :
“Bagaimana mungkin prinsip-prinsip dasar kedokteran, astronomi, ilmu hitung, dan kimia disimpulkan dari al-Qur‟an dengan cara sebagaimana yang dikatakan tadi, sementara prinsip-prinsip tersebut pada saat ini tidak ada seorangpun yang memberikan kaidah pasti. Setiap sarjana muncul merevisi prinsip tersebut dalam suatu waktu atau lebih. Apapun yang telah diformulasikan oleh sarjana terdahulu pastilah mengalami perubahan, kemudian mengalami perubahan yang
agar mudah difahami oleh manusia modern, terlebih di saat rasa dan cita
kebahasaan Arab sudah sangat melemah, di kalangan orang Arab sekalipun.21
Apalagi kini, ilmu dan sains telah menyerbu seluruh sendi kehidupan umat
manusia. Oleh sebab itu kiranya, definisi yang lebih tepat untuk corak tafsir bil
„ilmi dan sesuai dengan realitas di lapangan adalah: "Tafsir yang berbicara tentang
istilah-istilah sains yang terdapat dalam Al-Qur'an dan berusaha sungguh-sungguh
untuk menyimpulkan pelbagai ilmu dan pandangan filosofis dari istilah-istilah
Al-Qur'an itu."22
Dengan latar belakang inilah penulis ingin mengkaji lebih dalam lagi
masalah ini. Untuk itu penulis mengajukan skripsi ini dengan judul: ISRA’
MI’RAJ DALAM TAFSIR BIL ILMI (Studi komparatif penafsiran al-Razi
dn Thantawi terhadap QS. al-Isra: 1 dan Qs. al-Najm: 13-15).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar pembahasan lebih jelas dan terarah serta tidak menyimpang jauh dari
pembahasan, penulis memberi batasan hanya pada pembagian Sayyid Muhammad
21
Dalam pandangan Muhammad Abduh, masyarakat amat membutuhkan petunjuk-petunjuk guna mengantarkan mereka menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Masyarakat tidak akan menanyakan hal-hal terkait kaidah bahasa, i‟rab, dan sebagainya, begitupula dengan Allah Swt. Masih menurut Abduh, hal-hal tersebut yang terdapat dalam beberapa kitab tafsir di masanya, dan masa-masa sebelumnya, justeru menjadikan kitab tersebut bagaikan pelajaran bahasa, dan kitab-kitab yang seolah hanya merupakan penjelasan ulama yang berbeda-beda tersebut makin menjauh dari tujuan diturunkannya al-Qur‟an. Lihat: Lihat M. Quraish Shihab, Rasionalitas
al-Qur‟an: Studi Kritis Atas Tafsir al-Manar (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 20. 22
Ali Iyâzî dalam kitab al-Mufassirûn hayâtuhum wa minhajuhum23 atas tafsir-tafsir
dengan corak bil „ilmi dalam pembahasan Isra‟Mi„râj.
Dalam kitabnya, Ali Iyâzî membagi tafsir bil „ilmi menjadi dua bagian,
Yakni, 1) Tafsir-tafsir bil „ilmi periode salaf terdiri dari Jawâhir al-Qur‟an karya
al-Ghazâli, al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghaib karya Fakhr al-Dîn al-Râzî,
al-Burhân fî „Ulûm al-Qur‟an karya al-Zarkasyi, al-Itqân karya al-Suyûti. 2)
Tafsir-tafsir bil „ilmi periode khalaf terdiri dari Kasyf al-Asrâr al-Nûrâniyyah karya
al-Iskandârâni dan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur‟an karya Thanthawi.24
Dari dua pembagian Ali Iyâzî atas tafsir bil „ilmi di atas, penulis hanya
akan mengambil satu tafsir dari masing-masing periode untuk dibahas. Dari tafsir
periode salaf yakni al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghaib karya Fakhr Dîn
al-Râzî. Adapun dari periode khalaf yakni al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur‟an al-Karim
karya Thanthawi. Sedangkan ayat yang akan dibahas hanyalah Q.S. al-Isrâ‟ :1 dan
Qs. Al-Najm: 13-15.
Untuk memudahkan pembahasan dalam skripsi ini perlu adanya rumusan
permasalahan yang menjadi tema pokok yang dibahas dalam skripsi ini.
Permasalahan tersebut adalah :
1. Bagaimana tafsir-tafsir dengan corak bil „ilmi memandang peristiwa
Isra‟ dan Mi„râj ?
2. Apa perbedaan mendasar dari tiap tafsir dengan corak bil „ilmi
terhadap pembahasan Isra‟Mi„râj ?
23
Sayyid Muhammad Ali Iyâzî, al-Mufassirûn hayâtuhum wa minhajuhum, (Muassasah al-Thaba‟ah wa al-Nasyr,1212)
24
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini, di samping ditujukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud) pada program studi
tafsir-hadis, fakultas ushuluddin dan filsafat, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,
juga ditujukan untuk menganalisis bagaimana bentuk saintifikasi al-Qur‟an pada
tasir-tafsir dengan corak bil „ilmi yang selama ini ada, khususnya pada ayat-ayat
mengenai peristiwa Isra‟ dan Mi„râj.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan
pada kajian tafsir umumnya, khususnya pada kajian tentang saintifikasi al-Qur‟an.
Pada level akademik, diharapkan dapat memberi kontribusi bagi perkembangan
kajian akademik, khususnya tafsir, dan secara umum, penelitian ini
dipersembahkan sebagai sumbangsih bagi dunia pengetahuan di tengah-tengah
masyarakat.
E. Tinjauan Pustaka
Kajian saintifikasi al-Qur‟an mulai menyentil rasa ingin tahu (sense of
curiosity) penulis, saat membaca buku yang berjudul Terpesona di Sidratul
Muntaha,25 sebuah buku karya Agus Mustofa. Dalam buku tersebut, dijelaskan
bagaimana proses terjadinya peristiwa Isra‟ dan Mi„râj yang dialami Nabi SAW
melalui perubahan materi ke anti-materi, relativitas waktu dan reduksiasi dimensi
25
ruang dan waktu. Kesimpulan pribadi penulis bahwa apa yang dijelaskan oleh
Agus Mustofa dalam buku tersebut adalah sebuah penafsiran terhadap al-Qur‟an
yang bercorak bil „ilmi, walaupun ia tidak memberi judul yang menandakan
bahwa buku itu adalah tafsir al-Qur‟an. Rasa ingin tahu penulis ini tidak
terpuaskan karena dalam bukunya, Agus Mustofa tidak menjelaskan hadis-hadis
atau riwayat-riwayat yang ia gunakan dalam penafsirannya untuk mengungkap
Isra‟ dan Mi„râj dari sisi sains. Rasa penasaran pun berlanjut dengan menelusuri
bagaimana kitab-kitab tafsir bil „ilmi menjelaskan peristiwa Isra‟ dan Mi„râj.
Rasa ingin tahu tersebut tetap terpupuk hingga saatnya penulis menyusun
skripsi. Dengan berpedoman antara lain pada kitab al-Mufassirûn hayâtuhum wa
minhajuhum karya Ali Iyâzî yang dalam kitab ini Ali Iyâzî mengklasifikasi
kitab-kitab tafsir dan menjelaskan biografi singkat tentang penulisnya. Penulis mencoba
menelusuri bentuk saintifikasi al-Qur‟an yang dijelaskan oleh para mufassir pada
kitab-kitab tafsir bil „ilmi.
Untuk karya berupa skripsi yang berkaitan dengan topik yang penulis
ketengahkan dalam penelitian ini, penulis menemukan skripsi dengan judul
Kajian Isra‟ dan Mi„râj Menurut Pandangan Fakhr al-Dîn al-Râzî dalam Tafsîr
Mafâtîh al-Ghaib.26 Adapun skripsi kedua yang penulis temukan berjudul
Menyingkap Tabir Kisah Isra‟ dan Mi‟râj (Telaah Penafsiran Q.S. al-Isra‟ :1
dan Q.S. al-Najm :1-18) Perspektif Tafsir al-Azhar.27
26 Adi Amir Zainun, “K
ajian Isra‟ dan Mi‟raj Pandangan Fakhral-Din al-Razi Dalam Tafsir Mafatih al-Ghayb”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003)
Penulis menyadari, banyak karya yang telah membahas tafsir bil „ilmi,
terlepas dari pro dan kontranya. Namun, penulis melihat peluang melakukan
analisa untuk menjajaki kemungkinan pergeseran makna dalam tafsir-tafsir
dengan corak bil „Ilmi. Penulis berharap kajian awal ini memotivasi rekan-rekan
untuk lebih menggeluti kajian tafsir pada umumnya, khususnya tafsir
kontemporer, dan lebih khusus lagi pada bidang kajian saintifikasi al-Qur‟an.
F. Metode Penelitian
Setiap penulisan sebuah karya ilmiah haruslah menggunakan metode
penelitian. Dalam penulisan skripsi ini, metode yang penulis gunakan untuk
membahas masalah kisah Isra‟ dan Mi„râj adalah kepustakaan (Library
Research), yakni dengan cara membaca, meneliti serta menganalisa dari
buku-buku, majalah-majalah dan apa saja yang berkenaan dengan masalah yang penulis
bahas, yakni mengklasifikasi tafsir-tafsir bil „ilmi dengan cara melihat bagaimana
bentuk penafsiran pada ayat-ayat Isra‟ dan Mi„râj. Sedangkan data-data yang
diperlukan itu berasal dari sumber utama, dalam hal ini yang menjadi sumber
utama adalah kitab al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghaib karya Fakhr Dîn
al-Râzî dan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur‟an al-Karim karya Thanthawi.
Sedangkan mengenai teknik penulisan, penulis berpedoman pada buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh UIN Jakarta Press (CeQDA) cetakan
ke-11, 2007.28
28
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka penulis membagi ke
dalam beberapa bab, dan pada setiap bab terdapat beberapa sub-bab. Dengan
sistematika sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan berisi pokok permasalahan, pembatasan dan
perumusan masalah, metode pembahasan, dan sistematika penulisan.
Bab II : Tinjauan umum mengenai Isra‟ Mi„râj, meliputi definisi,
pandangan menurut para ahli tafsir dan ilmuan, serta pro-kontra yang meliputinya,
Bab III : Mengenal al-Razi dan Thanthawi beserta tafsirnya, yang terdiri
dari biografi singkat dan beberapa karya-karya mereka, selayang pandang tentang
tafisr keduanya, latar belakang penulisan tafsir, metode, corak dan sistematika
penulisan masing-masing tafsir.
Bab IV : Penafsiran al-Razi dan Thanthawi mengenai Peristiwa Isra‟ dan
Mi„râj, serta perbandingan antara kedua tafsir tersebut.
BAB II
TINJAUAN UMUM ATAS ISRA’ DAN MI’RÂJ
A. Definisi Isra’ Mi’râj
1. Etimologi
Kata-kata Isra‟ dan Mi‟râj yakni dua kata dalam bahasa Arab yang
masing-masing mempunyai arti sebagai berikut: Isra‟ (ءا سا = berjalan malam)
adalah bentuk masdar dari kata asrâ yusrî (ى سي - ى سا) yang secara etimologis
berarti „berjalan pada malam hari‟, atau „membawa berjalan pada waktu malam‟.
Kata asrâ sendiri adalah mazîd bi harf (ف حب ديزم) kata kerja yang sudah
mengalami penambahan satu huruf, yaitu alif. Dengan demikian, asrâ berasal dari
sarâ yasrî saryan wa sirâyatan (ةيا س و اي س ي سي ى س).1 Menurut Ibnu Manzur, di
dalam bukunya Lisân al-„Arab, kedua kata tersebut (asrâ dan sarâ) mempunyai
arti yang sama, yaitu: „perjalanan pada malam hari‟. Menurutnya, penambahan
alif pada kata asrâ itu adalah menurut bahasa penduduk hijaz, dan sebagai
buktinya al-Qur‟an menggunakan kedua kata tersebut dengan arti yang sama.
Misalnya, di dalam QS. Al-Isrâ‟ (17): 1 digunakan kata asrâ dan QS. Al-Fajr
(89): 4 yang menggunakan kata sarâ yasrî.2 Menurut Abu Ishaq, makna kedua
makna tersebut adalah „perjalanan yang dilakukan pada malam hari‟. Hanya saja,
pada QS. Al-Isrâ‟ (17): 1, Allah SWT memperkuat atau ta‟kîd kata asrâ dengan
al-Lail (malam). Pendapat lain, seperti yang dikutip oleh al-Raghib al-Asfahani di
1
Tim Penulis, Ensiklopedi Al-Qur‟an ajian Kosa Kata dan tafsirnya, (Jakarta: Yayasan Bimantara, 2002), jilid 1, h. 1.
2
dalam Mu‟jam Mufradât li Alfâzi al-Qur‟an dan Mufradât fî Gharîb al-Qur‟an,
menyebutkan bahwa kata asrâ tidak berasal dari kata sarâ yasrî, tetapi dari kata
al-Sarâh (ةا سلا), yaitu al-Irtifa‟ wa al-„Uluw, kenaikan dan ketinggian, yang kata
dasarnya berasal dari saruwa sarwan wa sarâwatan (ةوا س و او س و س). Di samping
itu, kata al-Sarâh juga berarti „ard wâsi‟ah (ةعساو ا = bumi yang luas),
sehingga makna firman Allah di dalam QS. Al-Isrâ‟ (17): 1 adalah “Maha suci
Allah yang memperjalankan hamba-Nya di tanah yang luas pada malam hari”.3
Adapun pengertian Mi‟râj adalah kata benda tunggal yang berarti
al-Sullam wa al-Mas‟ad (دع ملا و ملسلا = tangga dan atau alat untuk naik). Secara
bahasa, menurut Ibnu Faris, kata yang terdiri dari huruf „ain (ع), ra‟ ( ), dan jim
(ج) menunjukkan tiga arti: pertama, mail (ليم = condong dan miring), seperti kata
al-A‟raj (ج عأا) yang terdapat di dalam QS. Al-Nur (24): 61. Kedua, ia juga bisa
menunjukkan kepada al-„Adad (ددعلا = bilangan). Dan ketiga, ia berarti al-Irtiqâ‟
wa al-Irtifâ‟ ilâ al-Sama‟ yang berarti meningkat dan naik ke atas langit.4
2. Terminologi
Isra‟ adalah perjalanan Nabi Muhammad SAW dengan arah horizontal,
yakni dari Masjid al-Haram di Mekkah sampai ke Masjid al-Aqsha di Yerusalem
yang dijalankan oleh Allah SWT pada malam hari. Perjalanan tersebut dilakukan
dalam satu malam.5
3
Tim Penulis, Ensiklopedi Al-Qur‟an ajian Kosa Kata dan tafsirnya, (Jakarta: Yayasan Bimantara, 2002), jilid 2, h. 1.
4
Tim Penulis, Ensiklopedi Al-Qur‟an ajian Kosa Kata dan tafsirnya, (Jakarta: Yayasan Bimantara, 2002), jilid 2, h. 2.
5
Sedangkan Mi‟râj secara terminologi, menurut Ibnu Manzur berarti
al-Tarîq al-Lazî tas‟udu fîhi al-Syai‟ (ئيشلا هيف دع ت ي لا قي طلا = jalan yang digunakan
padanya oleh sesuatu untuk naik).6 Lebih jelasnya adalah dinaikkannya Nabi
Muhammad SAW dari Masjid al-Aqsha menuju langit untuk melihat keajaiban
besar7 dan bertemu dengan para nabi8 dan kemudian berhenti di Sidratul
Muntaha.9 Di sini Nabi menerima wahyu yang mengandung perintah mendirikan
shalat lima waktu sehari semalam. Mayoritas ulama‟ berpendapat bahwa peristiwa
ini terjadi pada tanggal 27 Rajab, setahun sebelum Nabi SAW hijrah ke
Madinah.10
Berdasarkan keterangan hadis Nabi, dapat difahami bahwa perjalanan
malam itu berlangsung secepat kilat, dengan ditemani oleh malaikat Jibril dan
memakai kendaraan Buraq (akar katanya: barq, yang berarti kilat).11
B. Isra’ Mi’raj perspektif ahli tafsir
Peristiwa Isra‟ dan Mi‟râj Rasulullah SAW telah banyak menimbulkan
perbedaan pendapat. Pengertian menurut para ahli tafsir sangat penting, karena
peristiwa ini juga terdapat dalam al-Qur‟an. Di bawah ini penulis mengambil
beberapa pendapat dari beberapa ahli tafsir.
6
Muhammad bin Mukarram bin Manzur, Lisân al-„Arab, Juz 2, h. 320. 7
Al-Alusi al-Baghdadi, Tafsir Rûh al-Ma„âni (Beirut: Dâr ihyâ‟ al-Turats al-„Arabi, 1405 H), juz 15, h.12.
8
Abu Muhammad al-Husain al-Baghawi, Ma„âlim al-Tanzîl (Dâr Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzî‟, 1997), juz 5, h. 58.
1. Muhammad Jarir al-Thabari dalam tafsirnya mengatakan :
“Sesungguhnya Allah meng-isra‟-kan hambanya yakni Muhammad SAW.
dari Masjid al-Haram hingga Masjid al-Aqsha, ini sebagaimana yang dikabarkan Allah kepada hamba-hambanya, dan sebagaimana kabar-kabar dari nabi yang sangat jelas, bahwa sesungguhnya Allah membawanya ke atas Buraq sehingga Dia mendatangaka nabi kepada-Nya.”12
2. Mustafa al-Maraghi dalam tafsirnya mengatakan :
“Isra‟ dan Mi‟râj terjadi setahun sebelum hijrah pada 17 Rabiul Awwal..
Cara keberangkatannya adalah dalam keadaan terjaga bukan tidur, dengan mengendarai buraq. Hal ini berdasarkan pada pendapat sebagian ulama
yang mengatakan bahwa ayat tentang Isra‟ menegaskan bahwa Allah Swt
telah memperjalankan hamba-Nya, sedangkan hamba itu adalah kumpulan
dari ruh dan jasad. Oleh karena itu Isra‟ dan Mi‟râj pastilah terjadi dengan
jasad dan ruh.”13
3. Muhammad Ali al-Shabuny dalam tafsirnya Shafwat al-Tafâsir
menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan Isra‟ dan Mi‟râj
pada pertengahan malam dan perjalanan tersebut dilakukan dalam keadaan
sadar (tidak tidur) dengan ruh dan jasad.14
4. M. Husain Haikal berpendapat :
“Rasulullah SAW melakukan Isra‟ dan Mi‟râj hanya dengan ruhnya saja,
karena pada saat itu seluruh alam semesta sudah bersatu ke dalam jiwanya. Haikal menyandarkan pendapatnya pada dua hal, pertama adalah hadits
dari Muawiyah bin Abi Sofyan yang menyatakan bahwa Isra‟ dan Mi‟râj
hanya dengan ruh saja. Kedua adalah dengan ilmu pengetahuan modern
Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Marâghi, (Beirut: Dâr al-Fikr, tth), jilid 5, h.5. 14
Muhammad Ali al-Sabuni, Safwat al-Tafâsir, (Beirut: Dâr al-Qur‟an al-Karim, 1980), jilid II, h. 151.
15
C. Isra’ Mi’râj perspektif Rasionalis
Sebagaimana diketahui bahwa peristiwa Isra‟ dan Mi‟râj menjadi tanda
tanya besar bagi akal manusia pada masa itu. Sebagai sebuah peristiwa
supranatural Isra‟dan Mi‟râj menjadi isu sentral di kalangan terpelajar Quraisy,
dan mungkin akan terus menjadi objek perdebatan pengetahuan yang aktual. Ada
baiknya kita mencoba menguji teori-teori pengetahuan yang ada untuk melakukan
tasdiq(assent; pembenaran) terhadap peristiwa Isra‟ dan Mi‟râj.
1. Teori Rasional
Teori rasional mempercayai adanya dua sumber konsepsi: pertama,
penginderaan (sensasi). Kita mengkonsepsi panas, cahaya, rasa dan suara karena
penginderaan kita terhadap semuanya. Kedua, adalah fitrah, dalam arti bahwa akal
manusia memiliki pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi yang tidak
muncul dari indera, tetapi sudah ada dalam lubuk fitrah. Indera adalah sumber
pemahaman terhadap konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan sederhana,
sementara fitrah adalah yang mendorong munculnya sekumpulan konsepsi dalam
akal. Konsepsi Fitri itu adalah “ide Tuhan”.16
Menurut Descartes,17 agaknya
keputusannya tentang ide fitri ini karena ia menemukan hanya matematikalah
(ilmu pasti) yang merupakan kepastian, untuk satu hal yang irasional atau di luar
jangkauan ilmu pasti ia hanya mengatakan: “Bagaimana saya tahu dan meyakini
16
Lihat: Sayyid al-Islam Ayatullah al-‟Udzma Muhammad Baqir al-Shadr, Falsafatunâ: Dirâsah maudlû‟iyah fî al-mu‟tarak al-Sira‟ al-Fikr al-Qa‟im baina Mukhtalaf Thayarat al-Falsafiyah wa al-Falsafah al-Islâmiyyah al-Maddiyyah al-Diyaliktiyyah (al-Markasiyyah), (Qum, Dâr al-Kutub al-Islamiyyah, 1981), h. 29.
17
tentang semua benda yang saya nyatakan saya ketahui?” doktrin rasionalitas
guncang karena ia tidak bisa menembus alam metafisik.18
Adapun bagi Kant,19 semua bidang pengetahuan manusia adalah fitri,
tetapi ia mengingkari adanya ide fitri –yaitu ide yang diketahui sebelum
pengalaman indrawi apapun. Ia menyatakan bahwa fakultas-fakultas sensibilitas
dan pemahaman kita memiliki struktur-struktur formal yang mempola
pengalaman kita. Ini berarti bahwa kausalitas-kausalitas tertentu yang kita
persepsi pada objek-objek diberikan kepada objek-objek itu dari struktur alami
sensibilitas dan pemahaman kita.20
Dalam peristiwa Isra‟ dan Mi„râj, kedua teori di atas menjadi mentah.
Sebab, pertama, peristiwa Isra‟ dan Mi„râj adalah sensasi Nabi seorang diri dan
tidak bisa dicarikan pembuktiannya secara umum. Penginderaan Nabi berfungsi
sebagaimana mestinya. Kedua, tidak ada ide fitrah atau penghayatan fitriah
pra-konsepsi Isra‟ dan Mi„râj. Ia menjadi pengalaman indrawi Nabi yang pure
sensasional.
Jika kita mengikuti hukum rasio, maka harus ada pengalaman intuitif yang
diakui secara umum kebenarannya. Ia adalah informasi primer, sementara pikiran
manusia adalah informasi skunder. Jika kita melakukan penjajakan teoritis
(melalui proses berfikir) tentang Isra‟ dan Mi„râj, maka kita akan menemukan dua
18
Lihat : Siswanto, Dari Aristoteles sampai Derrida: Sistem-sistem Metafisika Barat, h. 27-28.
19
Immanuel Kant (1724-1804) adalah filosof Jerman, lahir di Konigsberg. Pada usia 10 tahun ia masuk Collegium Fredicianum dengan niat mempelajari teologi –ia tumbuh menjadi orang yang shaleh. Ketika ia masuk Universitas Konigsberg pada tahun 1740, ia mengembangkan minat pada matematika, geografi fisik, fisika, logika dan metafisika. Kemudian ia mengajar pada universitas tersebut. pada tahun 1770 ia diangkat menjadi profesor logika dan metafisika. Lihat: Kamus Filsafat hal. 170.
20
hal: pertama, pelaku peristiwa, kedua, peristiwa itu sendiri. Karena Isra‟ dan
Mi„râj bukan salah satu proporsi primer rasional, maka yang terjadi adalah aporia
(kebingungan), maka, kita harus kembali kepada sumber-sumber pengetahuan
yang ada yaitu nabi sendiri sebagai data primer (sedangkan rasio kita mau tak mau
hanya berfungsi sebagai data sekunder). Allah SWT menjadi fungsionaris tunggal
dalam rekayasa yang bernama Isra‟ dan Mi„râj ini.21
Kant juga menolak konsep a priori (pengalaman yang mendahului sebuah
kausa dan independen)22 dan menciptakan teori a posteriori (kausa (sesuatu)
datang sesudah pengalaman).23 Padahal keduanya sama-sama lemah. Semua
proporsi menuntut pengetahuan pendahuluan yang primer, yang jika ia
disingkirkan maka tidak akan pernah ada pengetahuan teoritis. Menyingkirkan
peran Allah dalam peristiwa isra‟ dan Mi„râj berarti menutup kemungkinan untuk
mengetahui Isra‟ dan Mi„râj sendiri. Isra‟ dan Mi„râj bukan peristiwa a priori nabi
karena ia tidak punya konsepsi fitri tentang itu.
Ayatullah Baqir al-Shadr menyatakan bahwa tidak ada gagasan apapun
dalam diri manusia pada saat lahir di muka bumi. Allah berfirman: “Dan Allah
yang mengeluarkan kalian dari perut ibu-ibu kalian. Kalian tidak mengetahui
sesuatu pun. Dan ia menjadikan bagi kalian pendengaran, penglihatan dan hati
agar kamu bersyukur. (QS. al-Nahl (16): 78).
Isra‟ dan Mi„râj juga bukan peristiwa a posteriori, tidak mengakibatkan
apapun. Pesan religius yang ada pada Isra‟ dan Mi„râj bukan pengangkatan status
21
Ini adalah metode Ayatullah Muhammad Baqir al-Shadr dalam membantah mutlaknya teori penginderaan. Lihat: Sayyid Baqir al-Shadr, Falsafatunâ, h.37-38
22
Lihat: Tim penulis Rosda, Kamus Filsafat, h. 21. 23
nabi dari seorang hamba, tetapi adalah pengukuhan kehambaan melalui dialog
transendental setelah ketakwaan dan kesadaran nabi membuahkan keterikatan
yang immanent (tetap ada) sebelumnya.
2. Teori Empirikal
Teori empirikal mendasarkan diri pada eksperimentasi dan observasi
sehingga sangat mengagungkan penginderaan karena ialah yang membekali akal
manusia dengan konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan. Eksperimen-eksperimen
ilmiah telah menunjukkan bahwa indera adalah sumber pokok konsepsi, dengan
tidak menafikan kemampuan akal budi menghasilkan pengertian-pengertian
baru.24 Kegagalan teori empirikal, bahwa ia tidak menjelaskan apa-apa dengan
indera selain gejala yang beriringan dalam hukum kausalitas. Ilmu-ilmu
eksperimental yang menjelaskan kausalitas menyatakan bahwa air akan semakin
panas ketika diletakkan di atas api, dan kemudian mendidih, tetapi tidak
menjelaskan keharusan mendidih pada suhu tertentu. Kalau eksperimen empirikal
tidak mampu mengungkapkan konsep kausalitas, bagaimana pula konsep itu
muncul dalam akal manusia.
David Hume25 lebih akurat dalam menerapkan teori empirikal. Ia
mendefinisikan bahwa kausalitas tak mungkin diketahui oleh indera. Semua
adalah kebiasaan “pengasosiasian ide-ide”. Ia berkata: “Aku melihat bola bilyar
bergerak dan menabrak bola lain yang lantas bergerak. Tetapi dalam gerak bola
yang pertama, tak ada yang menunjukkan kepadaku keharusan gerak bola yang
24
Lihat: Sayyid Baqir al-Shadr, Falsafatunâ, h. 31-34. 25
kedua. Indera batin menunjukkan kepadaku bahwa gerak anggota tubuh mengikuti
perintah kehendak. Tetapi itu tidak memberikanku pengetahuan langsung
mengenai hubungan yang mesti antara gerak dan perintah.26 Ia juga menjelaskan
bahwa tidak ada keharusan yang mengikuti sebuah kausa dengan efeknya. Kausa
dan efek dihubungkan dalam sebuah urutan temporal, keteraturan urutan,
kesinambungan dan keterkaitan yang konstan. Semua itu hanya masalah asosiasi
gagasan-gagasan kita, bukan masalah kekuatan produktif yang menghadirkan
sebuah efek dari sebuah kausa, atau menyebabkan sebuah kausa menuntut efek
tertentu.27 Ia mencontohkan bahwa cahaya yang keluar sebelum dentuman meriam
bukan penyebab suara atau terlontarnya peluru. Jauh sebelum Hume, al-Ghazali
telah menyatakan: “Ayam yang berkokok sebelum terbit fajar bukanlah penyebab
terbitnya fajar”. “Bergeraknya sesuatu dari A ke B, kemudian dari B ke C dan dari
C ke D tidak membuktikan bahwa pergerakan dari B ke C disebabkan oleh
pergerakan dari A ke B”, kata Newton, penemu gaya gravitasi.
Jika demikian, apa yang dinamakan hukum-hukum alam adalah “a
summary of statistical averages” (ikhtisar statistik pukul rata). Sehingga apa yang
dinamakan “kebetulan” bukan tidak mungkin juga suatu kebiasaan atau hukum
alam, kata Pierce, seorang ahli ilmu alam. Einstein menyatakan bahwa semua
kejadian diwujudkan oleh “superior reasoning power” (kekuatan nalar alam yang
superior). Inilah yang ditegaskan Allah dalam firmanNya sebagai pengantar
peristiwa Isra‟ dan Mi„râj: “Kepada Allah saja tunduk apa yang di langit dan apa
yang di bumi, termasuk binatang-binatang melata, juga malaikat, mereka tidak
26
Lihat: Sayyid Baqir al-Shadr, Falsafatunâ, h.34-35. 27
menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan yang berkuasa atas mereka dan
melaksanakan perintahnya” (QS. al-Nahl (16): 49-50).28
Jika pengetahuan seseorang belum atau tidak sampai pada pemahaman
secara ilmiah terhadap peristiwa Isra‟ dan Mi„râj maka pemaksaan pembuktiannya
menyebabkan ia menjadi tidak ilmiah lagi. Apalagi jika diingat bahwa asas
filosofis ilmu pengetahuan adalah trial and error (yakni observasi dan
eksperimentasi terhadap fenomena-fenomena alam yang berlaku di setiap tempat
dan waktu, oleh siapa saja), sedangkan peristiwa Isra‟ dan Mi‟raj hanya terjadi
sekali, tidak dapat diuji, diamati dan dilakukan eksperimentasi.
Itulah sebabnya mengapa Kierkegaard,29 tokoh salah satu eksistensialisme
menyatakan: “Seseorang harus percaya bukan karena ia tahu, tetapi karena ia
tidak tahu”. Immanuel Kant juga berkata: “Saya terpaksa menghentikan
penyelidikan ilmiah dan menyediakan waktu bagiku untuk percaya”.30
Kaum modernis, seperti M. Iqbal berpendapat, ketika membahas
perjalanan ke langit itu, telah menunjukkan bahwa Nabi dapat berbicara dengan
Allah dalam suatu hubungan “aku dan kau”. Bagi Iqbal hal ini merupakan suatu
koreksi amat penting atau doktrin “wahdat al-wujûd” bagi kalangan sufi.31
Peristiwa pengalaman naik ke langit itu menegaskan bahwa Allah
bukanlah suatu „prima causa‟ yang pasif lagi terpencil, namun benar-benar suatu
28
Lihat: Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Mizan, cet. X, Muharram 1416 H./1995 M), h. 340-341.
29
Soren Aaby Kierkegard (5 Mei 1813-11 November 1855) adalah filosof dan penulis religous Denmark yang lahir di Copenhagen dan menempuh pendidikan di Unversitas Copenhagen. Lihat: Tim penulis Rosda, Kamus Filsafat, h. 171.
30
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, h. 342. 31
kekuatan personal yang dapat disapa dan dengan demikian membuktikan bahwa
ada kemungkinan dialog person dengan person yakni antara pencipta dan
makhluk.
Adapun mengenai buraq, Bahauddin Mudhary berkata bahwa buraq itu
mempunyai dua arti yaitu : Pertama, bagi ilmu pengetahuan eksakta buraq berarti
aliran elektris yang keluar dari benda mati. Kedua, bagi ilmu pengetahuan abstrak
buraq berarti aliran listrik yang keluar dari benda hidup, rohani. Buraq ialah
merupakan kendaraan yang digerakkan oleh tenaga atau kekuatan rohani
Rasulullahh SAW.32
Suatu peristiwa akan dikatakan masuk akal atau rasional oleh seseorang,
apabila pada dasarnya ia sesuai dengan pengalaman orang itu.33 Misalnya
jatuhnya sebuah benda yang terlepas dari tangan pemegangnya. Andaikan saya
mengatakan dalam sebuah cerita kepada orang-orang yang digolongkan sebagai
anggota suku terasing, bahwa ketika benda yang dipegang si Fulan terlepas dari
tangannya ia tak jatuh melainkan membumbumg di udara, maka mereka tentu
akan mengatakan bahwa saya berbohong, sebab mereka belum pernah melihat
benda yang “jatuh ke atas”. Tentu saja sikap mereka itu gigih dan kita tak perlu
heran sebab tak seorang pun diantara mereka pernah melihat membelikan anaknya
sebuah balon berisi gas seperti yang banyak dijual di kota. Bagi mereka benda
yang jatuh ke atas itu tidak ada, tidak masuk akal. Gejala semacam itu tidak
32
Bahauddin al-Mudhari, Menjelajah Angkasa Luar, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1989), jilid 1, h. 41.
33
rasional menurut mereka karena berlawanan dengan pengalaman mereka
sehari-hari, meskipun di kota kejadian semacam itu sudah biasa.
Dari contoh di atas tampak bahwa kebenaran penilaian rasio seseorang itu
terbatas hanya seluas pengalaman observasi atau ilmiahnya. Dan oleh karena itu,
apabila seseorang hanya mengandalkan pada rasionya saja dan tidak mau
mempercayai apapun kecuali yang dapat disesuaikan dengan pengalamannya,
maka ia akan terbentur pada kesulitan yang tak akan dapat diatasinya.
Peristiwa Isra‟ dan Mi„râj memang merupakan suatu mukjizat yang sangat
luar biasa yang dianugerahkan kepada Nabi SAW, sebagai tantangan bagi
manusia yang disodorkan oleh Allah Swt setelah al-Qur‟an. Peristiwa mu‟jizat itu
tidak sama dengan ilmu pengetahuan hasil olahan manusia, karena antara ilmu
pengetahuan dan mu‟jizat itu bukan tandingannya.
Hal tersebut karena ilmu pengetahuan apapun jenisnya masih tetap
berpijak kepada hukum akal dan hukum alam, sementara mu‟jizat berada di luar
itu. Namun kajian ilmu tersebut dan hasilnya dapat dipergunakan untuk
memperkuat keyakinan terhadap sesuatu yang datangnya dari ke-Maha Kuasa-an
Allah.
Jadi peristiwa Isra‟ Mi„râj benar-benar terjadi dan kejadiannya adalah
Mu‟jizat dari Allah sedangkan Rasul hanya pelakunya saja.
Dari berbagai perbedaan pendapat yang ada, mengenai kisah ini, yang
Shihab, jika peristiwa ini kita terima dengan dasar iman dan keyakinan penuh,
maka tidak ada masalah apapun yang perlu diragukan.34
D. Pro-kontra atas Isra’ Mi’râj
Ada tiga hal yang menjadi perdebatan ulama seputar peristiwa Isra‟ dan
Mi„râj, yaitu:
1. Tempat pemberangkatan Rasulullah pada malam Isra‟ dan Mi„râj.
Ada dua pendapat tentang tempat pemberangkatan Rasulullah pada saat
Isra‟ dan Mi„râj, pertama, sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa
Rasulullah pada saat Isra‟ dan Mi„râj berangkat dari rumah Ummu Hani‟ binti Abi
Thalib. Pendapat kedua, bahwa rasulullah berangkat dari Masjid al-Haram, yaitu
kawasan seputar Ka‟bah. Pendapat ini mendapat dukungan lebih kuat di kalangan
ulama. Ada juga yang berpendapat bahwa rasulullah keluar pada malam tersebut
dari rumah Ummu Hani‟ menuju Masjid al-Haram dan memulai perjalanan Isra‟
dan Mi„râj dari Masjid.35
2. Kapan peristiwa tersebut terjadi?
Karena peristiwa Isra‟ dan Mi„râj tidak diinformasikan al-Qur‟an dalam
satu kesatuan informasi ayat, dan juga karena sebagian hadis Nabi hanya
menyebut kenaikan Nabi ke langit, tanpa menyebut perjalanan ke masjid
34
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1998), cet. XVII, h.338. Lihat juga buku Drs. H. Basri Iba Asghary, Solusi al-Quran tentang Problema Sosial, Politik, Budaya, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 76
35
Aqsha, maka sebagian ulama‟ berkesimpulan bahwa Isra‟ dan Mi‟raj adalah dua
perjalanan Nabi Muhammad SAW pada dua malam yang berbeda. Mereka
cenderung menyimpulkan bahwa Mi„râj terjadi pada tahun ke-5 kerasulan (615/7
sebelum Hijrah), sedang Isra‟ pada tahun ke-11 atau 12 kerasulan (620 atau
621/622 sebelum Hijrah). Pada pihak lain, mayoritas ulama‟ berpendapat,
berdasarkan sejumlah hadis lainnya, bahwa Isra‟ dan Mi„râj itu terjadi dalam satu
malam saja.36
3. Apakah Isra‟ dan Mi‟raj merupakan perjalanan jasmaniah dan ruhaniah
Rasulullah?
Informasi-informasi yang bervariasi dari hadis-hadis Nabi, juga
menyebabkan timbulnya perbedaan pendapat tentang berbagai aspek lainnya di
sekitar Isra‟ dan Mi„râj. Sebagian ulama berpendapat bahwa Isra‟ dan Mi„râj itu
berlangsung dalam keadaan mimpi, jadi pada saat tidur. Kesadaran Nabi
dibukakan sedemikian rupa, sehingga beliau mengalami perjalanan yang luar
biasa itu dan menyaksikan ayat-ayat keagungan Tuhan. Kebanyakan ulama
cenderung memahaminya secara harfi: Nabi dibangunkan dari tidurnya, kemudian
beliau dengan jiwa raganya dibawa oleh Jibril untuk menempuh perjalanan malam
yang amat jauh itu. Kendati berbeda pemahaman, kedua pihak tetap sama-sama
memandang bahwa pengalaman Isra‟ dan Mi„râj itu sebagai pengalaman luar
biasa, yang merupakan anugerah dari Tuhan dan sekaligus untuk menunjukkan
keluarbiasaan kualitas rohaniah yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW.37
36
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 457.
37
Sebagian ulama salaf sepakat bahwa Isra‟ dan Mi‟raj Nabi Muhammad
SAW. itu dengan ruh dan jasad serta dalam keadaan terjaga (tidak tidur) dengan
alasan sebagai berikut: (a) kata „abd (hamba) menunjukkan manusia yang terdiri
atas jasad dan ruh. Jasad tanpa ruh adalah mayat, sedangkan ruh tanpa jasad tidak
dapat disebut sebagai hamba atau manusia. Dan jika Isra‟ dan Mi„râj itu dilakukan
dengan ruh saja, niscaya dalam QS. al-Isra‟ (17): 1 tersebut akan diungkapkan
dengan bi rûhi „abdihi (dengan ruh hambanya); (b) dalam QS. al-Najm (53) : 11
disebutkan: Penglihatan (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya dan
tidak (pula) melampauinya, ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW
benar-benar melihat tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah Swt dengan
segenap kesadarannya, sehingga tidak mungkin penglihatnnya keliru; (c) Jika
Isra‟ dan Mi„râj itu dilakukan dengan ruh saja atau hanya sebuah mimpi, niscaya
tidak akan muncul reaksi yang hebat dari orang-orang kafir Quraisy serta
kemurtadan beberapa orang Islam yang lemah imannya setelah Nabi
menyampaikan peristiwa tersebut, karena semua orang juga pernah bahkan sering
mendapat mimpi yang luar biasa (yang tidak pernah dipercayai oleh akal manusia)
dan mimpi yang bagaimanapun tidak pernah dibohongkan orang.38
Sedangkan pendapat yang mengatakan bahwa Allah hanya
memperjalankan ruh Rasulullah saja dengan dasar: pertama, Mu‟awiyah bin Abi
Sufyan jika ditanya tentang Isra‟ dan Mi‟raj Rasulullah selalu mengatakan itu
adalah mimpi dari Allah, dan mimpi dari Allah adalah benar adanya. Kedua,
sebagian keluarga Abu Bakar menyatakan bahwa Aisyah tidak melihat Rasulullah
pergi atau menghilang pada malam itu. Ia diperjalankan ruhnya saja. Ketiga,
38
Hasan berpendapat bahwa maksud dari firman Allah: “Dan tidaklah Kami
menjadikan penglihatan yang kami perlihatkan kepada Kamu sekalian kecuali
fitnah bagi manusia” adalah penglihatan pada saat tidur (kalimat al-ru‟ya
ditafsirkan mimpi, dan mimpi pasti hanya dialami oleh orang yang tidur).
Namun ketiga pendapat ini mendapat kritik dan dianggap lemah, karena
ketika terjadi peristiwa Isra‟ Mi‟raj Mu‟awiyah bin Abi Sufyan masih belum
memeluk aga Islam, sehingga pendapanya ditolak. Adapun Aisyah masih kecil
BAB III
MENGENAL AL-RAZI DAN THANTHAWI BESERTA TAFSIRNYA
A. Fakhr al-Dîn al-Râzî
1. Biografi Singkat dan Beberapa Karyanya
Fakhr al-Dîn al-Râzi adalah seorang argumentator Islam yang mempunyai
talenta besar. Gelar tersebut bukan hanya didapatkan begitu saja, melainkan
dengan upaya yang keras karena penguasaannya dalam bidang-bidang ilmu
pengetahuan seperti: Ilmu filsafat, Kalam, Argumentasi (Jalal), Ilmu Fiqh dan
Tasawuf.1 Bahkan ia juga disebut-sebut sebagai Hujjah Islam pada abad ke-7.2
Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Umar bin al-Husain3 bin
al-Hasan bin Ali al-Quraisi4 al-Bikri al-Taymi.5Laqabnya adalah al-Imâm,Fakhr
al-Dîn,6 al- Râzî, dan Syaikh al-Islâm7. Kunyah-nya adalah Abu „Abdullah, Abu al
-Ma‟âny, Abu al-Fadhl, Ibnu Khatîb al-Râzî atau ibn al-Khatîb.8
1
Ali Hasan al-„Aridhl, Sejarah Metodologi Tafsir, (Jakarta, Rajagrafindo Persala), cet-1, h.30-34 mengatakan bahwa kakeknya adalah al-Husain bin al-Hasan dan adapula yang membaliknya menjadi al-Hasan bin al-Husain. Lihat: Ali Muhammad al-Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzî; hayâtuhu wa „Asaruhu, (Uni Emirat Arab: al-Majlis al-„Ala li al-Syu‟un al-Islâmiyah, 1969), cet. ke-3, h.28-29
4
Al-Râzî termasuk keturunan Abu Bakar al-Shiddiq r.a. Lihat: Imam al-Suyuthi, Tabaqât al-Mufassirîn, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1980), h.99; Syamsu al-Dîn al-Dawuri, Tabaqât al-Mufassirîn, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), jilid 2, h.216
5
Al-Râzî berasal dari kabilah Tayyim Quraisi bukan kabilah Tayyim Tamimi. Tetapi ada juga yang menyatakan bahwa ia berasal dari bani Tamimi. Lihat: Syaikh al-Islam ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Ushul al-Tafsîr ma‟a „Ardh Mujâz li Ittijâhat asyar al-Tafsîr li Abi Huzaifah Ibrahim bin Muhammad, (Tonto: Dâr al-Shahabah li al-Turats, 1988), cet. Ke-1, h.30
6
Ia Lahir di sebuah desa yakni Dhailam dekat kota Khurasan tepatnya di
kota Rayy, dalam kobilah Arab Hijaz yang bermadzhab Syafi‟i dalam fiqihnya,
serta dalam teologi mengambil aliran Asy„ariyah. Pada tanggal 25 Ramadhan, 534
H atau 544 H disini terdapat dua pendapat, pendapat pertama yakni 534 H ialah
pendapat Ibn Subki, sedangkan pendapat kedua 544 H ialah pendapat Ibn
Khulkan, seperti yang dikutip oleh al-„Umadi dalam kitabnya mendasarkan pada
pendapat kedua karena banyaknya riwayat terpercaya di dalamnya.9
Orangtuanya bernama Diyâ‟ al-Dîn Umar (w.559 H)10, ia adalah salah
seorang ulama besar di kota Rayy, khususnya dalam bidang fiqh dan ushul.
Sebagai ulama besar, ia terkenal ahli pula dalam bidang teologi. Kitabnya dalam
bidang ini berjudul Ghayât al-Marâm yang terdiri dari dua jilid. Kitab ini dalam
jajaran kitab-kitab yang ditulis oleh kaum ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‟ah
merupakan kitab yang menduduki peringkat tertinggi. Di antara isinya yang
penting di bagian akhir kitab ini adalah penjelasan mengenai kelebihan tokoh Abu
Hasan al-Asy‟ary.11
Dia pernah belajar pada salah satu ulama hadis bergelar Muhy al-Sunnah
Muhammad al-Baghawi, belajar filsafat dan ilmu kalam (teologi) pada salah
seorang pemikir yang bernama al-„Alim al-Hakim al-Majd al-Jilli,12 ia adalah
seorang pemikir yang terkenal pada zamannya dan telah menulis beberapa karya.
7 „Adil Nuwaihid, Mu‟jam al-Mufassirîn: Min Sadr al-Islâm hatta al-Ashr al-Hadhr, (t.tp: Muassasah Nuwaihid al-Saqafah, 1986), jilid 2, cet. Ke-2, h.596.
8„Adil Nuwaihid, Mu‟jam al-Mufassirîn, h.596. Râzî. Lihat: Ibn Qhadi Syaihbah al-Dimasyqi, Tabaqât al-Syafi‟iyah, h. 82.
11
Ibn Qadhi Syaihbah al-Dimasqi, Tabaqât al-Syafi‟iyah, h.23 . 12
Di samping itu, al-Râzî juga mempelajari ilmu fiqh dan ushul fiqh dengan sanad
yang tersambung sampai Imam Syafi‟i dan ilmu kalam dengan sanad yang
bersambung sampai Imam al-Asy‟ary.13
Al-Râzî mengembara dan berkelana ke daerah-daerah bertetangga dengan
kawasan Rayy. Khawarizmi sebagai daerah yang mayoritas penduduknya
beraliran Mu‟tazilah merupakan daerah tujuannya untuk berdialog dan bertukar
fikiran. Daerah Transoksania (mâ wara al-Nahr) juga merupakan daerah tujuan
al-Râzî untuk berdialog dengan lawan-lawannya.14 Dialog yang dilakukannya
tidak hanya terbatas dengan golongan-golongan yang ada dalam Islam, akan
tetapi, diskusi-diskusi itu berkembang sampai dengan pemuka-pemuka agama
lain. Adapun dialog yang terpenting antara al-Râzî dengan tokoh-tokoh agama
lain adalah yang terjadi dengan salah seorang pendeta agama Nasrani di
Khawarizmi.15
Sayangnya dialog-dialog yang pernah berlangsung antara al-Râzî dengan
pemuka-pemuka golongan yang dinilainya sesat tidak memberikan keberuntungan
bagi dirinya. Karena itu ia terpaksa harus meninggalkan daerah Khawarizmi.
Peristiwa ini terjadi atas al-Râzî karena persekongkolan dan kerja sama antara
pihak lawan dan penguasa setempat untuk mengusirnya dari daerah tersebut.16
Karena ketajaman penalaran dan kuat argumen yang dibawa al-Râzî dalam
mempertahankan pendapatnya, maka perbedaan pendapat antara al-Râzî dan
13
Abd Aziz al-Majdub, al-Imâm al-Hakim Fakrh al-Dîn al-Râzî: Min Khilâl Tafsîrih, (Libya, Dâr al-Arabiyah al-Kitab, 1400 H/1980 M), cet. ke-2, h.76
14
al-Umari, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzî; hayâtuhu wa „Asaruhu, h.32 15
Fakhr al-Din Muhammad bin Umar al-Razi, Mafâtih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1993 M), jilid 1, h. 5
16
lawannya menjadi bertambah jelas dan serius. Pada tahun 599 H, saat ia berada di
kota Farrukh terjadi perdebatan yang sangat seru dan tajam. Di antara mereka ada
yang menuduhnya sebagai seorang yang telah merusak ajaran dasar agama Islam.
Di samping menuduh, intimidasi dan penekanan terhadap dirinya, baik dengan
cara menuduhnya sebagai seorang kafir ataupun dengan membawa fitnah terus
berlangsung.17
Tujuh tahun setelah peristiwa berdarah tersebut, tepatnya pada tahun 606
H, al-Râzî menderita sakit keras dan merasa umurnya tidak panjang lagi, ia
memutuskan untuk memberi pesan kepada salah seorang muridnya yang setia,
Ibrahim bin Abu Bakar al-Istifhani. Pesan tersebut diberikan pada tanggal 21
Muharram 606 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1209 M.18 Delapan bulan
setelah wasiat itu disampaikan al-Râzî wafat di Herat pada hari Senin 1 Syawal
(Hari Raya Idul Fitri) tahun 606 H pada usia 62 tahun 6 hari.19
Perihal meninggalnya terjadi perbedaan pendapat, sebagian pengamat
menyatakan bahwa meninggalnya disebabkan ia mencela Aliran Karramiyah dan
telah membeberkan kesalahan-kesalahan mereka sehingga kemudian mereka
menculik dan meminumkan racun kepadanya.20
Ada juga yang mengatakan perihal terbunuhnya al-Râzî ini disebabkan
oleh pengikut aliran Mu‟tazilah yang melakukan tipu daya serta pada akhirnya
17
al-Umari, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi; hayatuhu wa „Asaruhu, h.109 18
al-Umari, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi; hayatuhu wa „Asaruhu, h.111 19
al-Umari, al-Imam Fakhr al-Din al-Razi; hayatuhu wa „Asaruhu, h.6 20