• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. MENGENAL AL-RAZI DAN THANTHAWI BESERTA

2. Selayang Pandang Tentang al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh

Tafsir ini juga dikenal sebagai Tafsîr al-Kabîr atau Tafsîr ar-Râzi. Ada riwayat yang menjelaskan bahwa Fakhr al-Dîn al-Râzî tidak menyelesaikan tafsir ini secara utuh (sampai surat al-Anbiyâ‟ saja).24

Seperti yang dituturkan al-Dzahabi dalam kitabnya menukil pendapat Ibnu Qadhi Syuhbah dan Ibnu Khalkân, bahwa yang melanjutkan adalah Syihabuddîn bin Khalîl al-Khûyi (w. 639 H.) dan Najmuddîn Ahmad bin Muhammad al-Qamûli (w. 727 H.) yang melengkapinya lebih lanjut, demikian merujuk keterangan dari Ibnu Hajar

al-„Asqalâni dan Malâ Kâtib Jalbi.25

Sayyid Muhammad Alî Iyâzî, dengan merujuk keterangan Muhsin Abdul Hamid, dalam hal ini memberikan klarifikasi bahwa sekelompok pembahas menetapkan kitab tafsir ini sebagai karya mandiri dari Fakhr al-Dîn al-Râzî secara

24

Muhammad Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Dar al-Hadits,2005), Jilid I, h. 250.

25

utuh. Karenanya, pendapat sebelum ini dianggap syubhat (meragukan) dan tidak bisa dijadikan pegangan.26

Lepas dari polemik di atas, ini adalah salah satu kitab tafsir bi al-Ra‟yi

yang paling komprehensif, karena menjelaskan seluruh ayat al-Qur‟an. Sang

pengarang terlihat berusaha menangkap substansi (ruh) makna yang terkandung dalam teks al-Qur‟an. Muhsin Abdul Hamid menegaskan: “Dia (al-Râzî) menggunakan ilmu-ilmu humaniora untuk menggapai tujuan (tafsir)-nya, yaitu menetapkan keistimewaan akal dan ilmu di hadapan al-Qur‟an, membersihkan

dari kerancuan fikiran dan kedangkalan akal, serta menegaskan kebenaran riwayat

(teks) dengan kedalaman fikiran”.27

Adapun maksud dari tafsir ini dan segala uraiannya, antara lain: Pertama, menjaga dan membersihkan al-Qur‟an beserta segala isinya dari kecenderungan-kecenderungan yang rasional, tetapi justru dengan itu diupayakan bisa memperkuat keyakinan terhadapnya (al-Qur‟an); Kedua, pada sisi lain, al-Râzî

meyakini pembuktian eksistensi Allah dengan dua hal, yaitu “bukti terlihat”

dalam bentuk wujud kebendaan dan kehidupan, serta “bukti terbaca” dalam

bentuk al-Qur‟an al-Karim. Apabila kita merenungi hal yang pertama secara mendalam, maka kita akan semakin memahami hal yang kedua, menurutnya lebih lanjut. Karena itu, dia merelevansikan antara keyakinan ilmiah dengan kebenaran ilmiah dalam tafsirnya; Ketiga, al-Râzî ingin menegaskan bahwa sesungguhnya studi balaghah dan pemikiran bisa dijadikan sebagai materi tafsir, serta digunakan

26

Sayyid Muhammad Ali Iyâzî, al-Mufassirûn hayâtuhum wa minhâjuhum, (Muassasah al-Thaba‟ah wa al-Nasyr, 1212 H), h. 652.

27

untuk menakwil ayat-ayat al-Qur‟an, selama berdasarkan kaidah-kaidah madzhab

yang jelas, yaitu Ahlus Sunnah wal Jama‟ah.28

Namun, karena pembahasan di dalamnya menggunakan metode penalaran logika dan istilah-istilah ilmiah, serta mencakup ilmu kedokteran, ilmu mantiq, ilmu filsafat, dan ilmu hikmah, maka kitab ini terkesan kehilangan intisari tafsir dan hidayah keislamannya. Sampai-sampai, sebagian ulama menilai “di dalamnya

(Tafsir al-Râzî) terkandung berbagai hal, kecuali tafsir”. Dengan bahasa lain, Abu

Hayyan menegaskan bahwa Fakhr al-Dîn al-Râzî menghimpun dan menjelaskan banyak hal secara panjang lebar dalam tafsirnya, sehingga (seolah-olah) tidak lagi membutuhkan ilmu tafsir.29 Dalam hal ini, wajar kiranya bila al-Dzahabi menyebut tafsir ini sebagai ensiklopedi akademis dalam bidang ilmu kalam (teologi) dan ilmu pengetahuan alam.30

Fakhr Dîn Râzî sangat mementingkan korelasi antar ayat-ayat

al-Qur‟an dan surat-suratnya, di samping penjelasan secara panjang lebar tentang

tata bahasa (gramatika).31 Walau mencakup pembahasan yang ekstensif mengenai permasalahan filsafat, di antara berbagai aspek dari tafsir ini yang paling penting adalah pembahasan tentang ilmu kalam. Pembahasan ini memuat persoalan-persoalan yang berhubungan dengan Allah Swt. dan eksistensi-Nya, alam semesta, dan manusia, yang dikaitkan dengan ilmu pengetahuan alam, astronomi, perbintangan, langit dan bumi, hewan dan tumbuh-tumbuhan, serta bagian-bagian tubuh manusia.

28

http://minice1.blogspot.com/2008/07/tafsir-mafatih-al-ghaib.html

29

al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, h. 249-253. 30

al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, h. 253. 31

Tafsir ini merujuk pada kitab al-Zujâj fi Ma‟âni al-Qur‟an, Al-Farrâ‟ wa al-Barrâd, dan Gharîb al-Qur‟an karya Ibnu Qutaibah dalam masalah gramatika. Riwayat-riwayat (tafsir bi al-ma‟tsur) yang jadi rujukan adalah riwayat dari Ibnu

„Abbas, Mujahid, Qatadah, Suday, Sa‟id bin Jubair, riwayat dalam Tafsir at

-Thabari (Jâmi‟ al-Bayân) dan Tafsir Ats-Tsa‟labi (al-Kasyf wa al-Bayân), juga

berbagai riwayat dari Nabi Saw, keluarga dan para sahabatnya, serta tabi‟in.

Sedangkan Tafsir bi al-Ra‟yi yang jadi rujukan ialah Tafsir Abu Ali al-Juba‟i,

Abu Muslim al-Asfahani, Qadhi Abd al-Jabbar, Abu Bakar al-Asham, Ali bin Isa ar-Rummani, az-Zamakhsyari, Tafsir-tafsir Persia, dan Tafsir Abu Futuh al-Razi.

3. Latar Belakang Penulisan al-Tafsîr al-Kabîr Mafâtîh al-Ghayb

Menurut Cyril Classe, penamaan tafsir ini dengan Mafâtîh al-Ghaib

diilhami oleh sebuah ayat dalam al-Qur‟an surat al-An‟am ayat 59 yang berbunyi:

“Pada sisi Allah terdapat kunci-kunci semua yang gaib (Mafâtîh al-Ghaib) dan

tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia (Allah) sendiri.”32

4. Metode, corak dan sistematika penulisan Tafsîr Kabîr Mafâtîh

al-Ghaib

Komponen internal tafsir ini berbentuk bi al-Ra‟yi sekaligus bi al-Ma‟tsur, dengan metode ijmali dan bercorak bil „ilmi. Sebagai seorang penafsir yang

32Cyril Classe, “ar-Razi Fakhr ad-Din”, Ensiklopedi Islam (Ringkas), terj. Ghufran A. Mas‟adi, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1996), cet. ke-1, h. 337

jenius, Fakhr al-Dîn al-Râzî menggunakan metode-metode yang berbeda dengan tafsir-tafsir lainnya. Beberapa metode yang digunakan antaranya adalah :

a. Menjelaskan masalah-masalah fiqh

Dalam menjelaskan ayat ahkam (ayat-ayat hukum), al-Râzî cenderung

kepada madzhab Syafi‟i. Ia mengemukakan pendapat-pendapat dari berbagai

madzhab mengenai istinbath hukum fiqh, kemudian melakukan pentarjihan. Namun ia sering mengemukakan bahwa pendapat Imam Syafi‟I lebih rajih

(unggul) daripada madzhab lain.33

b. Menjelaskan masalah qira‟at

Qira‟at adalah cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur‟an sebagaimana yang diucapakan Nabi Saw, lalu beliau mentaqrirkannya.34 al-Râzî banyak memaparkan tentang perbedaan qira‟at yang terjadi di kalangan ahli qira‟at.

Terkadang ia mengungkapkan arti dari setiap qira‟at tersebut atau meng-i‟rab

ayat-ayat ditinjau dari segi qira‟at tersebut kepada ucapan para ahli ilmu nahwu.35

c. Menjelaskan tentang ilmu kalam

Dalam menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan ilmu kalam, al-Râzî lebih menonjolkan dirinya sebagai penganut al-Asy‟ariyah yang kontra terhadap golongan lain, terutama Mu‟tazilah. Ia sering memaparkan pendapat-pendapat

Mu‟tazilah kemudian pendapat-pendapat tersebut disanggah dan dipaparkan

33

al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, h. 253. 34

Hasanuddin AF, Anatomi al-Qur‟an: Perbedaan Qira‟at dan pengaruhnya Terhadap

Istinbat Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), cet. ke-1, h.113 35

kelemahan-kelemahannya, walaupun terkadang argumennya tidak cukup memadai dan memuaskan. 36

B. Thanthawi Jauhari

1. Biografi singkat dan beberapa karyanya

Thanthawi Jauhari lahir di Mesir pada tahun 1280 H / 1870 M. dan wafat pada tahun 1358 H/1940 M.37 Thanthawi Jauhari adalah seorang yang menyukai sastra, sehingga mendapat julukan Pujangga Mesir. Beliau juga tertarik akan keajaiban serta fenomena alam dan ilmu pengetahuan. Mengenai karya-karya Thanthawi Jauhari antara lain: Jawâhir al-Ulûm (mutiara-mutiara ilmu); Nizhâm al-Âlam wa al-Umam (tata dunia dan umat manusia); al-Tâz al-Arsy (mahkota

yang bertahta); Jamâl al-Âlam (keindahan alam); al-Islâm wa al-Nizhâm (Islam dan sistem); al-Hikmah wa al-Hukamâ‟ (kebijaksanaan dan orang-orang yang bijaksana) dan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm (Mutiara-mutiara dalam tafsir al-Qur‟an yang mulia). Kitab ini merupkan karyanya yang terbesar dalam bidang tafsir al-Qur‟an.38

Di Universitas al-Azhar, ia bertemu dengan seorang pembaharu terkemuka, Muhammad Abduh. Baginya, Abduh bukan sekedar guru, tetapi juga mitra dialog. Pergesekan pemikiran dengan Abduh memercikkan pengaruh besar pada pemikiran dan keilmuannya terutama dalam bidang tafsir. Sebagai akademisi, Thanthawi aktif mencermati perkembangan ilmu pengetahuan.

36

al-Razi, Mafatih al-Ghayb, jilid 11, h. 110. 37

al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, h. 441. 38

Caranya beragam, mulai dari membaca berbagai buku, menelaah artikel di media massa, hingga menghadiri berbagai seminar keilmuan. Dari beberapa ilmu yang dipelajarinya, ia tergila-gila pada ilmu tafsir. Di samping itu, Thanthawi juga fasih berbicara tentang fisika. Menurutnya, ilmu itu harus dikuasai oleh umat Islam. Hanya dengan cara itu maka anggapan bahwa Islam adalah agama yang menentang ilmu pengetahuan dan teknologi dapat ditepis.39

al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm adalah bentuk dari kepedulian dan kecintaannya terhadap al-Qur‟an. Dengan kemampuannya ia berusaha menafsirkan al-Qur‟an yang bercorak ilmu pengetahuan yang memang sangat

dibutuhkan oleh umat Islam saat ini.

Thanthawi Jauhari memulai penulisan kitab tafsir ketika menjadi pengajar pada perguruan tinggi Dâr al-Ulûm, Mesir. Dari hasil mengajar, kemudian ia membuat sebuah kitab tafsir yang terdiri atas dua puluh lima juz. Thanthawi Jauhari sebagai muallif (pengarang dan penyusun) menamakan kitab tafsirnya dengan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur‟an al-Karîm.40

2. Selayang Pandang Tentang al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an al-Karim

Kitab al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur‟an yang terdiri dari dua puluh lima juz tersebut lebih banyak menyoroti tentang ayat-ayat Kauniyah yang identik dengan kajian keilmuan dan sains. Maka oleh para mufassir kitab ini digolongkan sebagai kitab tafsir bil „ilmi, yaitu kitab tafsir yang lebih cenderung membahas ayat-ayat

39

http://nazil06.blogspot.com/2010/01/tafsir-jawahir.html

40

al-Qur‟an dari segi ilmu pengetahuan. Dalam penafsirannya ia menggunakan teori-teori ilmiah.41

3. Latar Belakang Penulisan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an al-Karim

Thanthawi termasyhur karena kegigihannya dalam gerakan pembaruan membangkitkan kepedulian masyarakat terhadap penguasaan ilmu pengetahuan. Karena itu, tidak berlebihan jika sejumlah kalangan menjulukinya "mufassir ilmu" lantaran ilmu yang dikuasainya sangat luas dan mendalam.

Dalam muqaddimah kitab tafsirnya, dijelaskan bahwa sejak dulu beliau sering menyaksikan kejaiban alam, mengagumi dan merindukan keindahannya baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi, evolusi matahari, perjalanan bulan, bintang yang bersinar, awan yang berarak, kilat yang menyambar dan listrik yang membakar serta keajaiban-keajaiban lainnya.

Selanjutnya ia menyatakan :"Ketika aku berpikir tentang keadaan umat islam dan pendidikan-pendidikan agama, maka aku menuliskan surat kepada para pemikir (al-'Uqalâ') dan sebagian ulama-ulama besar (Ajillah al-Ulamâ') tentang makna-makna alam yang sering ditinggalkan dan tentang jalan keluarnya yang masih sering dilakukan dan dilupakan. Sedangkan sedikit sekali dari mereka yang mau berpikir tentang kejadian alam dan keanehan-keanehan yang melingkupinya".

41

Itulah yang mendorong Thanthawi menyusun pembahasan-pembahasan yang dapat mengkompromikan pemikiran Islam dengan kemajuan Studi Ilmu Alam.42

4. Metode, corak dan sistematika penulisan al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur’an

Thanthawi Jauhari dalam menyusun kitab tafsir al-Jawâhir menggunakan metode Tahlily, yakni menjelaskan tentang arti dan maksud ayat-ayat al-Qur‟an dari sekian banyak seginya dengan menjelaskan ayat demi ayat sesuai dengan urutannya di dalam mushaf melalui penafsiran kosa kata, penjelasan asbab al-Nuzul, Munâsabah, dan kandugan ayat-ayat tersebut sesuai dengan keahlian dan

kecenderungan mufassir tersebut.43 Hal ini dapat dilihat dari bentuk penyusunannya yang dimulai dengan penafsiran Basmalah sebagai ayat pertama dalam surat al-Fatihah kemudian surat al-Baqarah dan surat-surat selanjutnya.

Dalam lembaran mukaddimah kitab tafsirnya ia menyebutkan “Kami memulainya

dengan surat al-Fatihah dan pertama-tama adalah Basmalah, demikianlah hingga

surat demi surat”.44

Ia memulai menafsirkan lafadz ayat-ayat yang ia kemukakan, lalu dibacanya dengan syarah (penjelasan) dan penelitian. Cara yang digunakan dalam penyusunan dan penafsiran dalam kitab al-Jawâhir antara lain, ia menulis beberapa atau keseluruhan ayat-ayat al-Qur‟an sesuai dengan urutan surat dan

ayat. Setelah itu dijelaskan tafsir al-Lafadzh berupa kata-kata dan kalimat dari seluruh ayat yang ditulisnya. Dilanjutkan dengan Syarh Idhah (penjelasan

42

http://nazil06.blogspot.com/2010/01/tafsir-jawahir.html 43

Definisi tersebut sesuai yang ada pada buku yang membahas ilmu al-Qur‟an. Lihat: antara lain Azumardi Azra, Sejarah Ilmu Ulum al-Qur‟an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 172

44

Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur‟an, (Kairo, Mathba‟ah al-Bab al-Halabi, Tth), juz 1, h. 2.

ringkas) yang terkandung disertai pernyataan al-Qur‟an yang lain dan Hadis Nabi

Saw. Analisa penafsiran ilmiahnya dimasukkan pada sebuah penjelasan tersendiri.

Pada tahap berikutnya Thantawi Jauhari berupaya menafsirkan ayat-ayat dari tiap surat yang ditulisnya dengan beberapa penjelasan dalam bentuk al-Maqâm al-Fashl (dari tiap-tiap al-Fashl terdapat beberapa Maqâshid yang

menafsirkan kalimat dari tiap-tiap ayat yang tersebar di dalam al-Qur‟an secara

ringkas).

Untuk mendukung metodologinya Thantawi Jauhari memasukkan dalam tafsir al-Jawâhir penjelasan-penjelasan berupa gambar tumbuh-tumbuhan, hewan, pemandangan alam, manusia, eksperimen ilmiah, dan tabel-tabel ilmiah spesialis dengan tujuan untuk memberikan gambaran yang transparan yang menjadikan fakta-fakta tersebut benar-benar riil, layaknya fakta empiris.45

Dengan maksud menghindarkan dari kealfaan dalam penyusunan maupun penjelasan, ia menggunakan lampiran pada akhiran juz, dengan kata lain ia merancang secara luas disiplin keilmuan modern yang beragam. Dalam lembaran mukaddimah kitab tafsir al-Jawahir ia menyatakan:

Amma ba‟d. Sesungguhnya kami telah berketetapan dalam beberapa penjelasan kita al-Jawâhir fî tafsîr a-Qur‟an al-Karim, bahwa kami menyertainya dengan lampiran yang akan menjelaskan beberapa hal yang

lupa kami bahas dalam tafsir tersebut…. dan, insya Allah kami akan

mengemukakan hal-hal yang kami anggap urgen untuk memperluas

wawasan umat Islam”.46

Pemikiran metodologi yang dilakukan oleh Thantawi Jauhari tidak lepas dari pengaruh dan tendensi Muhammad Abduh, yang sama-sama mufassir dan

45

Lihat: Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur‟an, juz 1, h.209 46

juga satu almamater di Dâr al-Ulûm sebagai guru, cendikiawan muslim serta

memiliki i‟tikad baik untuk memajukan dan membangkitkan pemikiran kaum

muslimin dari kemundurannya. Sebagaimana yang ia katakan dalam mukaddimah tafsirnya :

“Banyak orang yang terpaku dengan lafadz-lafadz ayat, banyak menghafal

namun miskin berpikir. Akhirnya kreatifitas menjadi stagnan dan ilmu-ilmu pun menjadi mati, sehingga ilmu-ilmu lari ke barat, dan pihak timur (Islam) kehilangan dasar dari atasnya secara cepat. Para ulama pasca kami harus memikirkan pada apa yang telah kami ketengahkan dengan cerdas. Mereka juga seharusnya mengkaji al-Qur‟an dengan metode seperti yang

telah kami jelaskan, hendaknya pandangan mereka menjadi terbuka”.47

Orientasi serta motivasi yang diambil oleh Thantawi Jauhari dalam menyusun metodologi tafsir al-Jawâhir dilandasi pada suatu sikap bahwa tafsir adalah sebagian anjuran dalam melakukan reformasi sosial, membersihkan agama dari bid‟ah, wahm (asumsi-asumsi keberagamaan tanpa pijakan metodologis),

khurafât, dan taklid. Ia pun berkeyakinan bahwa menafsirkan al-Qur‟an

merupakan tiupan rabbani dan isyarat-isyarat suci.

Menurut Thantawi jauhari ayat-ayat yang membahas masalah fiqh tidak lebih dari seratus lima puluh ayat, sedangkan dalam ilmu alam terdapat tujuh ratus lima puluh ayat. 48 Tanpa menghilangkan rasa hormatnya kepada seorang imam dan mufassir klasik sebelumnya, ia mengeluhkan begitu banyak para mufassir belomba-lomba menyusun kitab tafsir fiqh dibanding menyusun tafsir „ilmi.

47

Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur‟an, juz 2, h.203 48

47 BAB IV

PENAFSIRAN AL-RAZI DAN THANTHAWI TERHADAP ISRA’ MI’RÂJ

Bab ini berisi penjelasan QS. al-Isra‟: 1 dan Qs. al-Najm: 13-15 mengenai

Isra‟ Mi„râj dalam karya al-Râzî dan Thanthawi serta perbandingan atas

keduanya. Alasan kami memasukkan terjemah tesebut agar memudahkan pembaca untuk mengikuti alur dari diskusi ini dan supaya lebih mengkerucutkan persoalan yang akan dibahas di sini. Terjemah ini kami terjemahkan langsung dari kitab aslinya dan telah kami edit. Namun berbeda dengan terjemah Tafsir Mafâtîh al-Ghaib, mengingat al-Jawâhir fî Tafsir al-Qur‟an ketika menjelaskan surat

al-Isrâ‟ membagi menjadi beberapa lathîfah, maka kami hanya menerjemahkan

lathîfah pertama yang memang menjelaskan ayat pertama dari surat al-Isrâ‟ ini.

A. Perbandingan kedua tafsir atas Qs. al-Isra’: 1

Bila dilihat dari sisi sistematika penafsirannya, Thanthawi lebih teratur dalam penulisannya, ini dapat dilihat dari bagaimana Thanthawi memberikan sub bab pada penjelasannya, baik itu terdiri dari tafsir lafdzi, riwayat-riwayat, penjelasan global, pembahasan masalah, dilanjutkan dengan hikmah yang dapat diambil. Berbeda dengan al-Râzi yang tidak memberikan batas dan atau sub bab pada penjelasannya, sehingga hal ini membuat pembacanya memetakan atau mengklasifikasikannya sendiri mana bagian-bagian tafsirnya.

48

Walaupun sumber yang digunakan adalah bi al-Ra‟yi, sebuah tafsir tetap harus menggunakan syarat-syarat tertentu. Untuk menjaga ke-Ma‟tsur-annya, tentu saja dalam sebuah tafsir harus terdapat tafsîr al-Qur‟an bi al-Qur‟an dan riwayat-riwayat hadis, perkataan sahabat dan para tabi‟in.1

Mengenai ini nampaknya baik Mafâtîh al-Ghaib ataupun al-Jawâhir fî Tafsir al-Qur‟an

keduanya sama-sama menggunakan tafsîr al-Qur‟an bi al-Qur‟an dalam penafsirannya. Ini dapat dilihat misalnya ketika al-Râzî mengutip firman Allah:

“yang perjalananya itu di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalananya di waktu sore sama dengan perjalan sebulan (pula)” untuk membandingkan serta menjelaskan betapa maklumnya apa yang terkandung dalam QS. Al-Isra‟ ayat 1 ini.2

Contoh lain bagaimana al-Râzi menafsirkan potongan ayat Li nuriyahu Min Âyâtinâ merujuk kepada ayat lain dalam

al-Qur‟an, yakni QS. al-An‟âm ayat 75 yang berbunyi wa kadzâlika Nurî Ibrâhîm

Malakûta al-Samâwât wa al-Ardh.3 Sedang Thanthawi merujuk pada QS. Fushilat

ayat yakni Sanurîhim âyâtinâ fî al-Afâqi wa fî Anfusihim.4

Sebagaimana kitab tafsir pada umumnya, pada permulaan tafsirnya al-Râzi dan Thanthawi juga menggunankan Tafsir lafdzi (Mufradât) untuk menjelaskan secara bahasa makna dari kata per kata pada ayat secara keseluruhan. Dalam hal

1Manna‟ Khalil al-Qattan, Studi ilmu-ilmu Qur‟an (Jakarata, Halim Jaya, 2007), h.482. 2

Fakhr al-Din Muhammad bin Umar al-Razi, Mafâtih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1414 H/1993 M), jilid 9, h. 496.

3

al-Razi, Mafâtih al-Ghaib, jilid 9, h. 494. 4

Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur‟an, (Kairo, Mathba‟ah al-Bab al-Halabi, Tth), juz 9, h. 14.

49

ini keduanya tidak berbeda jauh dalam memberi makna tiap-tiap kata pada ayat ini. Namun keduanya sedikit berbeda ketika menjelaskan makna Min al-Masjid al-Harâm.

Thanthawi menjelaskan bahwa kata ini menunjukkan pengertian masjid dengan makna masjid yang sebenarnya, bukan dalam artian Tanah Haram secara keseluruhan.5 Ini berdasarkan hadis Nabi SAW: “Ketika saya tidur di Masjid al-Haram, di Hijr di sisi Baitullah (Ka‟bah) antara tidur dan terjaga, datang kepada saya Jibril dengan Buraq, dan naiklah buraq denganku menuju langit pada malam itu”. Sedangkan al-Râzi setelah menjelaskan bahwa memang ada

perbedaan pendapat ulama‟ mengenai hal ini, pendapat pertama yang mengatakan

bahwa yang dimaksud di sini adalah Masjid al-Haram sesungguhnya, dan

pendapat lain berdasarkan riwayat bahwa Nabi SAW Isra‟ dari rumah Hani bint

Abi Thalib mengatakan bahwa yang dimaksud Masjid al-Harâm pada ayat ini adalah Tanah Haram keseluruhannya, ini sebagaimana yang dikatakan oleh Abbas bahwa Tanah Haram keseluruhannya adalah masjid. Di sini nampaknya al-Razi lebih menjatuhkan pilihannya kepada pendapat yang terakhir, yakni maksud dari ayat Min al-Masjid al-Harâm di sini adalah Tanah Haram keseluruhannya (tidak sebatas Masjid al-Haram saja).6

5

Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur‟an, juz 9, h. 5.

6

50

Keduanya sama-sama tidak menjelaskan asbâb al-Nuzûl seperti ketika mereka membahas ayat lain. Ini dapat dimaklumi karena memang tidak semua ayat dalam al-Qur‟an terdapat asbâb al-Nuzûlnya, termasuk surat al-Isrâ‟ ayat

pertama ini.

Mengenai munâsabah (korelasi), Thanthawi lebih unggul karena pada

Dokumen terkait