• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Karya Pramoedya Ananta Toer Tentang Pelanggaran HAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Karya Pramoedya Ananta Toer Tentang Pelanggaran HAM"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS BUKU NYANYI SUNYI SEORANG BISU KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER TENTANG PELANGGARAN HAM

M. Kevin Khosy 110906034

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

M. KEVIN KHOSY (110906034)

ANALISIS BUKU NYANYI SUNYI SEORANG BISU KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER TENTANG PELANGGARAN HAM

Rincian isi Skripsi, 99 halaman, 11 buku, 4 jurnal, 1 situs internet, 1 transkrip radio.

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba menguraikan tentang bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pada tahanan politik PKI di Pulau Buru yang dituliskan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya yang berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Para tahanan ini ditangkap atas tuduhan keterlibatan mereka dalam tragedi G30S/PKI. Selama menjalani pengasingan di Pulau Buru, tahanan politik sering diperlakukan tidak manusiawi dan diluar batas wajar. Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dipilih karena merupakan catatan yang ditulis langsung oleh Pramoedya Ananta Toer selama menjadi tahanan politik di Pulau Buru.

Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan tersebut adalah teori mengenai Hak Asasi Manusia yang didasarkan kepada Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Kovenan ini sendiri sudah diratifikasi oleh hampir seluruh negara anggota PBB, termasuk Indonesia yang meratifikasi kovenan ini melalui undang-undang no.12 tahun 2005. Teori ini digunakan untuk melihat dan menganalisis bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pada tahanan politik di Pulau Buru. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode studi kepustakaan.

(3)

sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh tahanan politik. Hak Atas Keutuhan Jasmani, menjelaskan penyiksaan yang diterima oleh tahanan politik, penyiksaan tersebut meupakan sebuah sanksi maupun perlakuan spontan yang dilakukan oleh petugas. Hak Atas Hidup dipilih, menjelaskan 310 tahanan politik yang tewas selama di Pulau Buru dengan berbagai alasan. Setelah keluar dari Pulau Buru para tahanan politik tetap mendapatkan batasan-batasan sebagai masyarakat sipil.

(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE

M. KEVIN KHOSY (110906034)

ANALYSIS OF THE MUTE’S SOLILOQUY BOOK WRITTEN BY PRAMOEDYA ANANTA TOER ABOUT HUMAN RIGHTS INFRACTION

Content: 99 pages, 11 books, 4 journals, 1 websites, 1 radio transcript.

ABSTRACT

This research tries to describe about type of human rights infraction which happen to Indonesian Comunist Party’s political captive on Buru Island who written by Pramoedya Ananta Toer on his book called The Mute’s Soliloquy. This captive is captured because their charge of involvement on G30S/PKI tragedy. During their isolation in Buru Island, the political captive treated inhumanly and out of bounds. The Mute’s Soliloquy is chosen because it was a note that written directly by Pramoedya Ananta Toer during his period as political captive on Buru Island.

The theory which are used to explain the problems was theory about human rights which is based on the International Covenant on Civil and Political Rights. This covenant has already been ratified by almost member states on United Nation, including Indonesia that ratified this covenant through Law number 12 of 2005. The theory in used to see and analyze type of human rights infraction which happen to political captive on Buru Island. The method of research is qualitative study with descriptive study. The data was collected by library research method.

(5)

with any reasons. After being release from Buru Island, the political captive still get some restriction as civil society.

(6)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan panitia penguji skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara oleh:

Halaman Pengesahan

Nama : M. Kevin Khosy

NIM : 110906034

Judul : Analisis Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Karya Pramoedya Ananta Toer Tentang Pelanggaran HAM

Dilaksanakan pada:

Hari :

Tanggal :

Pukul :

Tempat :

Majelis Penguji:

Ketua :

Nama ( )

NIP

Penguji Utama:

Nama ( )

NIP

Penguji Tamu:

Nama ( )

(7)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh:

Nama : Alamanda Cathartica

NIM : 110906007

Departemen : Ilmu Politik

Judul : Analisis Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Karya Pramoedya Ananta

Toer Tentang Pelanggaran HAM

Menyetujui:

Ketua Departemen Ilmu Politik Dosen Pembimbing

(Dra. T. Irmayani, M.Si)

NIP. 196806301994032001 NIP. 196210131987031004

(Drs. Tony P. Situmorang, M. Si.)

Mengetahui:

Dekan FISIP USU

(8)
(9)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini berjudul “Analisis Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Karya

Pramoedya Ananta Toer Tentang Pelanggaran HAM”. Skripsi ini diajukan guna

memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) pada

Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas

Sumatera Utara.

Alhamdulillahirabbil alamin, atas berkah dan rahmat Allah SWT, penulis

diberikan kesehatan dan kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan

salam juga penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta para

sahabatnya, semoga para pengikutnya mendapatkan syafaat di akhir zaman.

Skripsi ini menjelaskan mengenai pelanggaran HAM yang terjadi pada

tahanan politik di Pulau Buru. Tahanan politik ini sendiri merupakan orang-orang

yang tertuduh atas keterlibatan mereka dalam tragedi G30S/PKI. Skripsi ini sendiri

dikerjakan kurang lebih selama 10 bulan, dihitung mulai akhir November sampai ke

awal Oktober. Lamanya proses pengerjaan skripsi ini antara lain dikarenakan faktor

teknis berupa laptop yang rusak dan buku yang sempat hilang, dan juga faktor dari

diri sendiri. Sehingga, penulis merasa sangat bersyukur atas selesainya skripsi ini

sendiri.

Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada orang

tua, mama Ferisia dan Papa Awaludin atas dedikasinya yang tak terbatas yang tak

akan bisa penulis balas sampai kapanpun, kakek dan nenek penulis, Alm. Yusni

Amrin dan Hj. Nurma serta Alm. Alang Gombang dan Almh. Syafiah, kakak Sharin

Alfi Putri dan adik Amalia Fermanita. Juga kepada seluruh keluarga dari penulis yang

tidak mungkin bisa dituliskan secara keseluruhan disini, terimakasih atas doa

semangat serta dukungan secara penuh yang tidak pernah putus diberikan kepada

penulis. Semoga Allah SWT membalas setiap doa, dukungan serta kebaikan dengan

(10)

Dalam kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu Politik Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Drs. Tony P. Situmorang, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah

memberikan bantuan dan bimbingan berupa kritik dan saran yang

membangun selama penulisan skripsi ini

4. Bapak Faisal Andri Mahrawa, S.IP, M.Si selaku Dosen Pembimbing

Akademik

5. Dosen dan Staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara

6. Kak Ema, Kak Siti, dan Pak Burhan yang selalu membantu dalam setiap

urusan administrasi.

7. Sahabat maupun teman sekolah penulis yang selalu memberikan dukungan

baik langsung maupun tidak langsung Ibnu, Ari, Aisa, Abdi, Cyntia, Ina, Pija,

Alif, Fani, Ira, Anes, Evi, Tika, Ika, Fitra. Terimakasih teman-teman atas

waktunya untuk selalu bisa bersama baik suka maupun duka.

8. Teman-teman seperjuangan Politik 2011 Farah, Manda, Fira, Nufus, Indi,

Mezbah, Deni, Adam, Said, Mujahid, Kokom, April, Rina, Jeje, Wulan,

Desya, Nota, Yakson, Anug, Delpri, Kristin, Noveli, Mantily, Kristian, Hans,

Pasrah, Reni, Sanri, Rio, Josua, Lambok serta semuanya di Politik 2011. Kita

hebat!

Medan, 3 Oktober 2015

(11)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iv

Halaman Pengesahan ... vi

Halaman Persetujuan ... vii

Lembar Persembahan ... viii

Kata Pengantar ... x

Daftar isi ... xi

BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 10

1.3 Pembatasan Masalah ... 10

1.4 Tujuan Penelitian ... 10

1.5 Manfaat Penelitian ... 11

1.6 Kerangka Teori... 11

1.6.1 Teori Tentang Hak Asasi Manusia ... 11

(12)

1.7.1 Jenis Penelitian ... 20

1.7.2 Teknik Pengumpulan Data ... 20

1.7.3 Teknik Analisa Data ... 21

1.8 Sistematika Penulisan ... 21

BAB II: BIBLOGRAFI BUKU NYANYI SUNYI SEORANG BISU 2.1 Spesifikasi dan Latar Belakang Buku ... 23

2.2 Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia Masa Orde Baru ... 26

2.3. Latar Belakang G30S/PKI dan Implikasinya ... 32

BAB III: ANALISIS PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI PULAU BURU 3.1 Bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Pulau Buru ... 49

3.1.1 Hak Atas Kebebasan dan Keamanan ... 52

3.1.2 Hak Atas Kebebasan Berpendapat ... 60

3.1.3 Hak Atas Kebebasan Dari Perbudakan dan Kerja Paksa ... 70

3.1.4 Hak Atas Keutuhan Jasmani ... 76

3.1.5 Hak Atas Hidup ... 84

3.2 Keadaan Hak Asasi Manusia Tahanan Politik Setelah Bebas ... 91

(13)

4.2 Saran ... 99

(14)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

M. KEVIN KHOSY (110906034)

ANALISIS BUKU NYANYI SUNYI SEORANG BISU KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER TENTANG PELANGGARAN HAM

Rincian isi Skripsi, 99 halaman, 11 buku, 4 jurnal, 1 situs internet, 1 transkrip radio.

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba menguraikan tentang bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pada tahanan politik PKI di Pulau Buru yang dituliskan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya yang berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Para tahanan ini ditangkap atas tuduhan keterlibatan mereka dalam tragedi G30S/PKI. Selama menjalani pengasingan di Pulau Buru, tahanan politik sering diperlakukan tidak manusiawi dan diluar batas wajar. Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dipilih karena merupakan catatan yang ditulis langsung oleh Pramoedya Ananta Toer selama menjadi tahanan politik di Pulau Buru.

Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan tersebut adalah teori mengenai Hak Asasi Manusia yang didasarkan kepada Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Kovenan ini sendiri sudah diratifikasi oleh hampir seluruh negara anggota PBB, termasuk Indonesia yang meratifikasi kovenan ini melalui undang-undang no.12 tahun 2005. Teori ini digunakan untuk melihat dan menganalisis bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pada tahanan politik di Pulau Buru. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode studi kepustakaan.

(15)

sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh tahanan politik. Hak Atas Keutuhan Jasmani, menjelaskan penyiksaan yang diterima oleh tahanan politik, penyiksaan tersebut meupakan sebuah sanksi maupun perlakuan spontan yang dilakukan oleh petugas. Hak Atas Hidup dipilih, menjelaskan 310 tahanan politik yang tewas selama di Pulau Buru dengan berbagai alasan. Setelah keluar dari Pulau Buru para tahanan politik tetap mendapatkan batasan-batasan sebagai masyarakat sipil.

(16)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE

M. KEVIN KHOSY (110906034)

ANALYSIS OF THE MUTE’S SOLILOQUY BOOK WRITTEN BY PRAMOEDYA ANANTA TOER ABOUT HUMAN RIGHTS INFRACTION

Content: 99 pages, 11 books, 4 journals, 1 websites, 1 radio transcript.

ABSTRACT

This research tries to describe about type of human rights infraction which happen to Indonesian Comunist Party’s political captive on Buru Island who written by Pramoedya Ananta Toer on his book called The Mute’s Soliloquy. This captive is captured because their charge of involvement on G30S/PKI tragedy. During their isolation in Buru Island, the political captive treated inhumanly and out of bounds. The Mute’s Soliloquy is chosen because it was a note that written directly by Pramoedya Ananta Toer during his period as political captive on Buru Island.

The theory which are used to explain the problems was theory about human rights which is based on the International Covenant on Civil and Political Rights. This covenant has already been ratified by almost member states on United Nation, including Indonesia that ratified this covenant through Law number 12 of 2005. The theory in used to see and analyze type of human rights infraction which happen to political captive on Buru Island. The method of research is qualitative study with descriptive study. The data was collected by library research method.

(17)

with any reasons. After being release from Buru Island, the political captive still get some restriction as civil society.

(18)

BAB 1 Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah

Hak asasi manusia dianggap sebagai hak yang dimiliki setiap manusia, yang

melekat atau inheren padanya karena dia adalah manusia. Dalam pembukaan

Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, dicanangkan: Hak-hak ini berasal dari

harkat dan martabat yang melekat pada manusia. Hak ini sangat mendasar atau asasi

sifatnya, yang mutlak diperlukan agar manusia dapat berkembanag sesuai bakat,

cita-cita serta martabatnya. Hak ini juga dianggap universal, artinya dimiliki semua

manusia tanpa perbedaan berdasarkan bangsa, ras, agama, atau jender1

• Hak asasi umumya tidak terkena restrikasi atau batasan

.

Dengan meluasnya konsep dalam konteks globalisasi dewasa ini, masalah hak

asasi manusia menjadi isu yang hangat dibicarakan di hampir seluruh bagian dunia.

Dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik, Miriam Budiarjo menjelaskan beberapa sifat

dari hak asasi, antara lain:

• Hak asasi boleh di restrikasi dalam keadaan darurat

• Ada hak asasi yang boleh direstrikasi oleh Undang-undang; Pasal 19

(mempunyai pendapat), Pasal 21 (berkumpul secara damai), Pasal 22 (berserikat)

• Ada hak asasi yang tidak boleh di restrikasi dala keadaan apapun; Pasal 6 (hak

atas hidup), Pasal 7 (siksaan), Pasal 8 (antiperbudakan), Pasal 11 (antipasang badan), Pasal 15 (sifat kadaluwarsa tindakan criminal atau non-retroaktif), Pasal

1

(19)

16 (pribadi atau person di hadapan hukum), Pasal 18 (berpikir, berkeyakinan, beragama).

Masalah hak asasi manusia serta perlindungan terhadapnya merupakan bagian

penting dari demokrasi. Makna terdalam dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat

sehingga rakyat merupakan pemegang kekuasaan politik tertinggi, ini berarti secara

langsung menyatakan adanya jaminan terhadap hak sipil dan politik rakyat2

Indonesia sebagai negara yang menganut paham demokrasi tidak

mengabaikan nilai-nilai HAM dalam kehidupan bernegaranya. Di Indonesia HAM

bersumber dan bermuara pada Pancasila, artinya bahwa HAM menjadi jaminan

filsafat yang kuat dari filsafat bangsa. Beberapa instrumen HAM di Indonesia antara

lain; undang-undang dasar 1945, ketetapan MPR nomor XVII/MPR/1998 tentang

Hak Asasi Manusia, undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia dan instrumennya yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas

HAM

.

Sehingga negara demokratis diukur dari sejauh mana negara menjamin kesejahteraan

warga negaranya serta menjamin hak-hak warga negara dalam mendapatkan

kehidupan yang layak. Demokrasi akan terwujud apabila negara mampu menjamin

tegaknya hak asasi manusia.

3

2

Ramlan Surbakit. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Universitas Airlangga Press. Masyarakat Kebudayaan dan Politik. Th XII. No 2. April 1999. Hal.1

3

Gunawan Setiardja. 1993. Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hal. 107

(20)

Dalam perkembangannya, pelaksanaan HAM di Indonesia sering tidak sesuai

dengan hal-hal yang tertulis pada konstitusi. Sejalan dengan amanat konstitusi,

Indonesia berpandangan bahwa pemajuan dan perlindungan HAM harus didasarkan

pada prinsip bahwa hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hak

pembangunan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, baik dalam

penerapan, pemantauan, maupun dalam pelaksanaannya. Namun dalam praktiknya,

masih banyak pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia baik atas

nama negara maupun institusi tertentu.

Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang

termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi,

menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau

kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang4

Salah satu masa dimana masih banyak kasus-kasus pelanggaran HAM di

Indonesia adalah pada masa orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Di era

yang disebut sebagai Demokrasi Pancasila justru pelanggaran HAM banyak terjadi

selama usia kekuasaan itu. Sila “kemanusiaan yang adil dan beradab” adalah sila

yang dikhianati karena pelanggaran HAM dilakukan sedemikian rupa secara harfiah. . Dibandingkan antara

pelanggaran HAM yang dilakukan negara dan perseorangan, negara lebih rentan

untuk melakukan pelanggaran HAM karena negara memiliki kekuatan memaksa,

negara berwenang melakukan kekerasan secara fisik. Tidak terkecuali Indonesia.

4

(21)

Penangkapan, penahanan, dan penghilangan aktivis atau tokoh kritis secara paksa,

pembredelan media cetak, penembakan tanpa alasan dan proses hukum, pembantaian

warga sipil di berbagai daerah merupakan contoh kejahatan kemanusiaan pada masa

orde baru5

Soeharto pada masa pemerintahannya menerapkan tiga kebijakan sekaligus,

yaitu; mengekang hak berserikat, berekspresi, dan berpendapat; melakukan eliminasi

dan kebijakan reduksionis konsep – terhadap konsep HAM; dan melakukan

pembunuhan dan penghilangan orang secara paksa tanpa alasan hukum. Ketiga hal

tersebut merupakan suatu kesatuan tindakan pelanggaran HAM sebagai bagian politik

mempertahankan kekuasaan .

6

Contoh jelas kasus pelanggaran HAM pada masa Orde Baru adalah mengenai

tahanan politik (tapol) .

7

5

Dr. Suparman Marzuki.2014. Politik Hukum Hak Asasi Manusia, Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal. 24

6

Dr. Suparman Marzuki, Ibid. Hal.106

7

T. Mulya Lubis.1981. Langit Masih Mendung: Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia Di Indonesia 1980, Jakarta: PT. Djaya Pirusa. Hal. 55

. Salah satu kasus mengenai tahanan politik yang sering

terdengar adalah tahanan politik G30S/PKI, tahanan politik G30S/PKI berisi

orang-orang yang terlibat langsung dengan Partai Komunis Indonesia ataupun

gerakan-gerakan yang dibawahi oleh PKI. Tahanan politik G30S/PKI ini disebar ke beberapa

daerah di Indonesia, salah satunya Pulau Buru, namun tidak menutup kemungkinan

(22)

Dasar pijakan hukum penempatan para tapol ke Pulau Buru adalah Keputusan

Presiden Soeharto No 16 tahun 1969 tentang pembentukan Komando Operasi

Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang mempunyai tugas

memulihkan keamanan dan ketertiban dari akibat peristiwa pemberontakan

G30S/PKI serta kegiatan ekstrim dan subversi lainnya serta mengamankan

kewibawaan pemerintah demi kelangsungan hidup Pancasila dan UUD 45.

Prinsip yang digariskan pemerintah untuk pelaksanaan tindakan tersebut, ialah

tidak menggangu keamanan nasional, sesuai dengan perundangan yang berlaku, dan

tahanan harus memproduksi sendiri kebutuhannya, sebagai penunjang pelaksanaan

pembangunan lima tahun. Pemilihan Pulau Buru didasarkan karena; Pulau Buru

terletak jauh dari suhu politik ibu kota yang sangat peka; untuk meringankan beban

keuangan pemerintah demi suksesnya program Pelita. Di Buru diharapkan para

tahanan akan bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka sendiri, tanpa tergantung

kepada anggaran keuangan Negara dengan bertitik tolak pada gagasan transmigrasi8

Selanjutnya, walaupun para tahanan politik ini telah bebas mereka masih

diberikan pembatasan-pembatasan. Contoh yang paling jelas adalah pemberian tanda

ET (Eks Tahanan) pada setiap kartu penduduk, dengan tanda ini para tahanan politik

dibatasi gerak-geriknya, mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan, tidak bisa dipilih, .

8

(23)

dan tidak bisa bebas bepergian. Lebih ironisnya, keluarga bekas tahanan politik ini

turut pula menanggung kemalangan berupa tidak bisa sekolah dan bekerja9

Dari banyaknya tahanan politik yang diasingkan ke Pulau Buru, terdapat lima

tahanan yang membuat memoar tentang kehidupan mereka selama menjadi tahanan

politik di Pulau Buru. Lima orang dengan latar belakang dan profesi yang berbeda

menuliskan memoar mereka dengan kecenderungan bahasa dan arah masing-masing.

Kelima orang tersebut antara lain

.

10

• Pramoedya Ananta Toer (Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I&II)

:

• Hersri Setiawan (Memoar Pulau Buru & Diburu di Pulau Buru)

• Adrianus Gumelar Demokrasno (Dari Kalong sampai Pulau Buru)

• Kresno Saroso (Dari Salemba ke Pulau Buru: Memoar Seorang Tapol

Orde Baru)

• Suyatno Prayitno (Kesaksian Tapol Orde Baru: Guru, Seniman, dan

Prajurit Tjakra)

Dari kelima tahanan yang pernah menuliskan memoar kehidupannya di Pulau

Buru, hanya buku dari Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan pada masa Orde

Baru sedangkan tahanan lain bukunya di terbitkan setelah masa Orde Baru. Buku

Pramoedya ini sebenarnya diterbitkan pertama kali di Belanda pada tahun 1988 dan

1989 dengan judul Lied Van Een Stome, lalu pada tahun 1995 dan 1997 buku ini di

9

T. Mulya Lubis, Opcit,Hal. 56

10

(24)

terbitkan di Indonesia dengan judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, walau pada akhirnya

buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu ditarik peredarannya setelah 10 hari terbit karena

mendapat cekalan dari pemerintah Indonesia pada saat itu.

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, dikatakan oleh Pramoedya merupakan sebuah

catatan-catatan yang dibuatnya selama menjadi tahanan politik di Pulau Buru atau

lebih lengkapnya,

“Buku itu adalah catatan-catatan pribadi sebetulnya, yang semula ditulis untuk anak-anak saya sendiri bukan untuk orang lain. Untuk memberikan kesaksian bahwa anak-anak saya mempunyai seorang ayah yaitu saya. Catatan-catatan itu saya buat untuk menghadapi kemungkinan saya mati disana baik mati secara alami maupun dibunuh. Catatan itu saya tulis saat pengawasan terhadap saya lengang atau tidak ada, begitu selesai ditulis langsung disembunyikan karena jika kedapatan oleh mereka dapat menjadi jaksa dan hakim bagi saya. Jadi catatan itu tidak pernah saya baca kembali, setelah selesai ditulis disembunyikan dan jika sudah banyak diseludupkan keluar dari Pulau Buru.”11

Penulisan buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu didasarkan pada pertimbangan

apa dan bagaimana pun pengalaman pribadi, apalagi dituliskan, ia menjadi bagian

dari pengalaman suatu bangsa dan umat manusia pada umumnya. Menurut

Pramoedya, pengalaman merupakan hak pribadi yang tidak dapat dirampas12

Pramoedya Ananta Toer sendiri merupakan seorang sastrawan Indonesia yang

mempunyai pengaruh cukup signifikan pada kesusasteraan di Indonesia. Begitu nama

Pramoedya Ananta Toer disebut, segera sejumlah kontroversi bermunculan. Bahkan, .

11

Dikutip dari wawancara Pramoedya Ananta Toer oleh radio Democracy Now pada tahun 1999

12

(25)

nyaris dari segala segi -karya maupun sosok- Pramoedya selalu memancing

kontroversi dan perdebatan, dukungan dan penolakan13

Pramoedya sebelumya pernah ditangkap dan dipenjara oleh Belanda selama

tiga tahun serta dipenjara selama satu tahun pada masa Orde Lama. Di masa Orde

Baru ia dipenjara selama 14 tahun, Pramoedya ditangkap pada 13 Oktober 1965

karena dianggap berafiliasi dengan Lekra dan PKI. Penahanan Pramoedya ke Pulau

Buru dilakukan tanpa pengadilan terlebih dahulu, ia menghabiskan 10 tahun menjadi

tahanan politik di Pulau Buru setelah menghabiskan 3 tahun di Nusakambangan.

Kemudian ia bebas dari Pulau Buru pada tahun 1979, dan dipindahkan ke Magelang

selama sebulan. Setelah bebas dari penjara, Pramoedya menjadi tahanan rumah di

Jakarta hingga tahun 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga tahun

1999

.

14

Semasa hidunya, Pramoedya telah melahirkan lebih kurang 50 buku dan

sudah diterjemahkan ke dalam 41 bahasa. Dari semua bukunya terdapat beberapa

yang sangat terkenal di dalam maupun luar Indonesia, antara lain; Tetratologi Pulau

Buru, Gadis Pantai, Arus Balik, Bukan Pasar Malam, Panggil Aku Kartini Saja serta

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Pramoedya juga salah satu sastrawan Indonesia yang

mempunyai cukup banyak penghargaan dan apresiasi dari luar negri, salah satunya .

13

Jamal D. Rahman. 2014. 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Hal. 295

14

(26)

adalah dicalonkannya Pramoedya untuk mendapatkan Nobel Sastra namun gagal

karena permasalahan pada hasil terjemahan buku-bukunya yang tidak maksimal.

Ciri khas dari kepujanggan Pramoedya adalah bahwa dia dengan caranya

sendiri sebagai sastrawan berkomunikasi dan mencoba menjelaskan kepada bangsa

Indonesia terutama generasi mudanya, mengapa nasib Indonesia menjadi belingsat

sebagaimana yang terjadi di masa Orde Baru. Untuk itu dia tetap menggunakan media

bahasa yang menjadi ciri kekuatannya dengan tetap berkukuh berada di wilayah

sastra, meski kisah yang dia bawa sarat muatan politik. Dan, lahan serta bahan

ramuan yang dipakai untuk berkomunikasi adalah panggung sejarah Nusantara

sendiri15

.

Buku Nyani Sunyi Seorang Bisu merupakan sebuah simbol penolakan

terhadap ketidakadilan, bagaimana Pram tetap menulis semua keluh kesah serta

curhatan hatinya walaupun disaat ia diasingkan, dibungkam bahkan kehilangan

hak-haknya sebagai manusia. Pramoedya walaupun dalam setiap bukunya banyak

menghubungkan dengan bagian-bagian sejarah, ia pada dasarnya tidaklah sedang

menyajikan sejarah Indonesia dalam bungkus sastra. Ia menyajikan sejarah sebagai

bagian untuk dikonfrontasikan dengan situasi nyata Indonesia saat ini. Begitupun

pada buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pramoedya mengungkapkan sejarah yang

terlupakan, terpinggirkan, dan tidak dipelakukan dengan adil.

15

(27)

1.2.Perumusan Masalah

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu adalah satu-satunya karya non-fiksi Pramoedya

Ananta Toer yang dibuat semasa tahanan di Pulau Buru. Buku ini ingin

memperlihatkan adanya peristiwa sejarah kemanusiaan yang perlu untuk diingat dan

dimasukan dalam bagian dari perjalanan sejarah Indonesia, yang selama ini ada kesan

untuk ditutup-tutupi dan dianggap tidak pernah ada. Buku memoar ini pun sungguh

baik untuk dijadikan rujukan sejarah dalam mengungkapkan penahan tapol akibat

peristiwa berdarah tahun 1965. Penerbitan buku memoar ini tentunya juga berusaha

untuk mengungkapkan tentang adanya penahanan secara tidak prosedural terhadap

hampir puluhan ribu orang Indonesia dalam periode rezim militer otoritarian Orde

Baru di Indonesia.

Maka yang menjadi pertanyaan penelitian yaitu:

1. Bagaimana bentuk pelanggaran HAM di pulau Buru berdasarkan buku

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu?

1.3. Pembatasan Masalah

Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebatas pada analisis

pelanggaran HAM di Pulau Buru berdasarkan Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk melihat bentuk pelanggaran HAM di pulau Buru berdasarkan buku

(28)

2. Untuk menganalisis pelanggaran HAM yang terjadi di Pulau Buru.

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan agar mampu memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan terhadap

perkembangan dan pendalaman studi politik terutama tentang Hak Asasi

Manusia.

2. Secara akademis, penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tidak hanya

bagi peneliti, tetapi juga bagi akademisi lainnya di berbagai tingkatan

pendidikan.

3. Menambah pengetahuan bagi masyarakat, yang dalam hal ini lebih

diprioritaskan kepada kenyataan tentang pelanggaran HAM di Indonesia.

1.6. Kerangka Teori

1.6.1 Teori Tentang Hak Asasi Manusia

Konsep hak-hak asasi manusia mempunyai pengertian dasar bahwa hak-hak

yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut adalah hak manusia karena ia seorang

manusia. Hak-hak ini adalah hak-hak moral yang berasal dari kemanusiaan setiap

insan dan hak-hak itu bertujuan untuk menjamin martabat setiap manusia16

16

Leah Levin. 1987. Hak-Hak Asasi Manusia: Tanya Jawab. Jakarta: Perc. Hastama. Hal. 3

. Manusia

mempunyai derajat yang luhur sebagai manusia, manusia mempunyai budi sendiri

(29)

dan derajat yang sama dan dengan demikian memiliki hak-hak dan

kewajiban-kewajiban yang sama.

HAM melekat pada kodrat manusia sendiri, artinya hak-hak yang paling

fundamental tidak lain adalah aspek-aspek dari kodrat manusia ataupun kemanusiaan

sendiri. Kemanusiaan setiap manusia bernilai sangat tinggi karena merupakan suatu

ide yang luhur dari sang pencipta, yang menghendaki supaya setiap orang

berkembang dan mencapai kesempurnaannya sebagai manusia. Oleh karena itu,

setiap manusia harus dapat mengembangkan diri sedemikian rupa sehingga ia dapat

terus berkembang secara leluasa. Ini adalah hak paling fundamental yang tidak boleh

diganggu-gugat. Dimana ada manusia, disitu ada HAM, dan harus dihargai dan

dijunjung tinggi, tanpa kecuali17

Sebetulnya, HAM melekat pada kodrat manusia dan dimiliki oleh setiap insan

sebagai manusia, di mana pun dan kapan pun ia berada. Namun, kenyataannya belum

begitu lama bahwa sebagian umat manusia menyadari adanya HAM itu. Latar

belakang historis HAM tercatat melewati banyak fase dalam waktu yang cukup lama,

dimulai dari sebuah Piagam Agung “Magna Charta” (1215) yang berisi mengenai

batasan yang jelas dan tegas terhadap kekuasaan raja yang absolute dan totaliter .

17

(30)

dibuat oleh bangsawa Inggris untuk mendapatkan kembali hak-hak mereka yang telah

dicampakkan oleh kekuasaan raja John yang berkuasa saat itu18

1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948).

.

Sampai kepada pembuatan Undang-undang Internasional HAM yang terdiri

dari:

2. Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (1966/1976)

3. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (1966/1976).

4. Optional Protocol dari Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik

(mengenai pengaduan perorangan) (1966/1976).

5. Optional Protocol II dari Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang

bertujuan menghapus hukuman mati (1966/1976)19

Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik memuat ketentuan mengenai

pembatasan penggunaan kewenangan oleh negara, karenanya hak yang terhimpun di

dalamnya juga sering disebut hak-hak negatif. Artinya, hak-hak dan kebebasan yang

dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat

minus. Sedangkan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya justru menuntut peran

maksimal negara. Negara justru melanggar hak-hak yang dijamin di dalamnya apabila .

18

Ibid. Hal.77

19

(31)

negara tidak berperan secara aktif atau menunjukkan peran yang minus, karena itu

Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya sering disebut sebagai hak-hak positif20

Tanggung jawab perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan kebebasan

yang dijanjikan di dalam kovenan ini adalah di pundak negara. Pada pasal 2 Hak Sipil

dan Politik ditegaskan negara diwajibkan untuk menghormati dan menjamin hak-hak

yang diakui dalam kovenan ini, yang diperuntungkan bagi semua individu yang

berada di dalam wilayah dan tunduk pada yuridikasinya. Kalau hak dan kebebasan

yang terdapat di dalam Kovenan ini belum dijamin dalam yuridikasi suatu negara,

maka negara tersebut diharuskan untuk mengambil tindakan legislatif atau tindakan

lainnya yang perlu guna mengefektifkan perlindungan hak-hak itu

.

21

Hak Atas Hidup, Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Politik menyatakan, setiap manusia memiliki hak atas hidup yang bersifat melekat. Hak atas hidup ini, tidak

.

Tanggung jawab negara yang dalam konteks memenuhi kewajiban yang terbit

dalam kovenan ini adalah bersifat mutlak dan harus dijalankan, singkatnya hak-hak

yang terdapat dalam kovenan ini bersifat justiciable. Inilah yang membedakannya

dengan tanggung jawab negara dalam konteks Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan

Budaya, yang tidak harus segera dijalankan pemenuhannya. Tetapi secara bertahap,

dan karena itu bersifat non-justiciable.

Adapun cakupan Kovenan Hak Sipil dan Politik antara lain:

20

Ifdhal Kasim. 2001. Hak Sipil dan Politik: Esai-Esai Pilihan. Jakarta: Elsam. Hal. Xvii

21

(32)

perlu diragukan, paling penting dari semua hak asasi manusia. Masyarakat yang

beradab tidak dapat eksis tanpa ada perlindungan hukum terhadap hidup manusia.

Tidak dapat diganggu-gugatnya hak atau kesucian hidup mungkin merupakan nilai

yang paling dasar dari peradaban modern. Dalam analisis yang bersifat final, jika

tidak ada hak atas hidup maka tidak akan ada pokok persoalan dalam hak asasi

manusia22

• Penyiksaan berarti suatu tindakan yang menimbulkan rasa sangat

menyakitkan atau penderitaan, baik fisik maupun mental, yang dibebankan

oleh atau atas dorongan pejabat public pada seseorang dengan tujuan untuk

memperoleh informasi atau pengakuan darinya atau orang ketiga, dan

menghukum atas tindakan yang telah ia lakukan atau dicurigai telah ia

lakukan, atau mengintimidasi, atau orang-orang lain. .

Hak Atas Keutuhan Jasmani, Pasal 7 Kovenan melarang (a) penyiksaan; (b) perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau menurunkan martabat;

(c) percobaan medis atau ilimiah tanpa persetujuan yang bebas. Larangan penyiksaan

dapat dipandang sebagai bagian integral dari hukum kebiasan internasional, bahkan

memperoleh ciri tersendiri dalam norma hukum internasional umun yamg tak dapat

diubah. Definisi dari penyiksaan dalam cakupan ini adalah:

22

(33)

• Penyiksaan merupakan bentuk yang lebih buruk dan disengaja dari pelakuan

atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau yang merendahkan

martabat23

Perlakuan yang merendahkan martabat telah dicermati bahwa kata

“perlakuan” seharusnya tidak diterapkan dalam situasi yang merendahkan martabat,

yang disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi dan sosial secara umum. Dengan

demikian “perlakuan” pasti merupakan tindakan khusus yang dilakukan secara

sengaja dengan tujuan untuk menghina korban.

Hak Atas Kebebasan dan Keamanan, Pasal 9 Kovenan mengajukan hak atas kebebasan dan keamanan seseorang. Istilah “hak atas kebebasan”

mengimplikasikan kebabasan fisik dan meliputi kebebasan yang benar-benar konkret

dan khusus dari penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang. Pasal 9

Konvenan menguraikan kebebasan ini sebagai, “tidak ada orang yang bisa dicabut

kebebasannya kecuali atas dasar dan sesuai dengan prosedur yang ditegakkan oleh

hukum”. Pada umumnya ada keharusan landasan penahanan dan prosedur yang

ditempuh harus “ditegakkan oleh hukum”, dengan menekankan adanya kebutuhan

untuk menyebarluaskan aturan yang melandasinya dan bertanggung jawab atas siapa

yang ditangkap, mengapa, dan bagaimana. .

Pasal 9(2) menyatakan, “seseorang yang ditangkap akan diberitahu pada saat

pengakapan, dan akan diberitahu secara tepat tuduhan-tuduhan terhadapnya”. Hak ini

23

(34)

diterapkan dalam proses pidana yang sah dan merupakan hak yang dimiliki oleh

mereka yang dituduh. Hak ini juga dirancang untuk menghindari terjadinya

kesewenangan-wenangan dalam proses pidana. Tujuannya adalah untuk

menghindarkan orang menemukan kebebasan diri mereka dicabut tanpa mengetahui

alasannya24

Pasal 9(3) menyatakan, “seseorang yang ditangkap atau ditahan karena

tuduhan kriminal akan dibawa secepat mungkin ke hadapan hukum atau petugas yang

diberi kuasa oleh hukum untuk menggunakan kekuasaan pengadilan dan diberi hak

untuk mengadakan pemeriksaan pengadilan dalam waktu yang layak atau untuk

dibebaskan”. Ada dua bagian dari hak ini. Pertama, kebebasan eksekutif di

pemerintahan untuk bertindak dibatasi. Penahanan administratif secara temporer

dapat diizinkan tetapi yang ditahan harus dibawa secepat mungkin ke hadapan

pengadilan. Kedua, sekali orang yang ditahan dituduh maka penahanannya dapat

diperpanjang (atas perintah hakim) meskipun ia harus dibawa ke pengadilan dalam

waktu yang layak .

25

Pasal 9(4) menyatakan, “seseorang yang dicabut kebebasannya melalui

penangkapan atau penahanan berhak mendapatkan prosedur di depam pengadilan

agar pengadilan dapat memutuskan keabsahan penahanannya tanpa penundaan dan

memerintahkan pelepasannya jika penahanan itu tidak sah”. Tujuan dari ketentuan ini .

24

Ibid. Hal. 167

25

(35)

adalah untuk menjamin para tahanan berhak mendapakan peninjauan kembali atas

keabsahan penangkapan mereka. Dengan demikian, hak itu dibatasi oleh hal-hal di

mana keputusan untuk mencabut kebebasan seseorang dilakukan oleh badan

administratif26

Pasal 9(5) menyatakan, “seseorang yang menjadi korban penangkapan atau

penahanan yang tidak sah berhak mendapatkan kompensasi”. Pernyataan ini

merupakan pengawasan yang sangat penting terhadap kekuasaan eksekutif secara luas

untuk melindungi seseorang dalam penahanan. Jika eksekutif berbuat salah atau

menyalahgunakan kekuasaanya, maka negara harus member korban ganti rugi atas

pencabutan kebebasan yang salah .

27

Mencermati pada kovenan ini terdapat pembedaan antara kebebasan

berpendapat dan kebebasan berkespresi. Kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa

paksaan adalah sesuatu yang absolute; sementara kebebasan untuk berekspresi .

Hak Atas Kebebasan Berpendapat, Pasal 19 Kovenan menjelaskan setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dengan tidak

mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan

serta pendapat dengan cara apapun juga dan dengan tidak memiliki batas-batas.

Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan tonggak dari hak asasi manusia,

dan memiliki posisi penting bagi beberapa jenis hak dan kebebasan lainnya.

26

Ibid. Hal.173

27

(36)

dimungkinkan untuk tunduk pada batasan-batasan tertentu. Kebebasan bereskpresi

mencakup kebebasan untuk mencari, menerima dan meneruskan informasi dan

ide-ide. Hak-hak dan kebebasan ini ada tanpa terikat batasan wilayah. Hak atas

kebebasan berpendapat dan bereskpresi dapat diterapkan tidak hanya dalam satu

negara saja, tetapi berlaku secara internasioal28

Paragraf 3 dari pasal 19 kovenan mengandung kalusal pembatasan, bahwa

penerapan dalam pasal ini juga disertai tugas dan tanggung jawab khusus. Tugas dan

tanggung jawab khusus ini dapat menjadi subjek dari aturan dan batasan tertentu,

tetapi aturan dan batasan ini hanya sesuai dengan yang diatur dalam undang-undang,

dan dianggap perlu

.

29

Hak Atas Kebebasan dari Perbudakan dan Kerja Paksa, Pasal 8 Kovenan menjelakan tidak ada seorang pun boleh diharuskan melakukan kerja paksa atau

wajib kerja. Namun istilah kerja paksa atau wajib kerja tidak mencakup: Segala

macam pekerjaan atau pelayanan, yang biasanya ditujukan kepada seorang tahanan

sebagai akibat dari peraturan hukum pengadilan; Segala tugas kemiliteran; Segala

tugas yang dituntut dalam keadaan darurat atau malapetaka yang mengancam

kehidupan masyarakat; Segala pekerjaan atau pelayanan yang merupaka bagian dari

kewajiban penduduk yang lazim .

30 .

28

Ibid. Hal. 255

29

Ibid. Hal. 259

30

(37)

1.7. Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan analisis kualitatif. Dimana

penelitian ini hanya akan memahami serta melakukan interpretasi terhadap interaksi

social terhadap para aktor dalam sebuah konteks sosial, terporal dan historis tertentu.

Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk menyelidiki,

menemukan, menggambarkan, dan menjelaskan kualitas dan keistimewaan dari

pengaruh sosial yang disajikan dalam bentuk uraian naratif31

Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Dimana dalam

penelitian ini akan menggambarkan serta memaparkan tentang kondisi dan

fenomena-fenomena social yang terjadi. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang

berusaha menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data,

menyajikan data, menganalisis dan menginterpretasi dan juga bersifat komperatif dan

korelatif

.

1.7.1 Jenis Penelitian

32

Dalam sebuah penelitian, data merupakan acuan yang akan dikaji dan

dianalisis sebagai objek yang ingin dikupas ataupun diolah sehingga menjadi sebuah

informasi yang lebih bersifat akademis. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan .

1.7.2. Teknik Pengumpulan Data

31

Saryono dan Mekar Dwi Anggraeni. 2010. Metode Penelitian Kualitatif Dalam Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika, hal.1

32

(38)

data pada yang digunakan adalah teknik pengumpulan data sekunder atau data-data

kepustakaan. Bahan-bahan yang diambil untuk penelitian ini berasal dari buku,

tulisan-tulisan maupun artikel dari jurnal, makalah, internet yang berkaitan dengan

penelitian ini.

1.7.3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan teknik analisis kualitatif tanpa menggunakan alat bantu rumus statistik.

Penelitian ini akan bersifat deskriptif dengan tujuan memberikan gambaran mengenai

situasi dan kejadian. Yang kemudian akan mengolah data yang didapat dari lokasi

penelitian yang akan dianalisis, kemudian akan di eksplorasi lebih dalam dan akan

memunculkan sebuah kesimpulan yang akan menjelaskan dan menjawab masalah

yang diteliti.

1.8. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini berisi tentang latar belakang permasalahan, perumusan

masalah, pembatasan masalah, pertanyaan penelitian, manfaat

penelitian, tujuan penelitian, kerangka teori serta metode penelitian

BAB II :BIBLOGRAFI BUKU NYANYI SUNYI SEORANG BISU

Pada bab ini akan diuraikan tentang buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu

(39)

BAB III :ANALISI PELANGGARAN HAM DI PULAU BURU BERDASARKAN BUKU NYANYI SUNYI SEORANG BISU Pada bab ini akan berisi analisis terhadap buku nyanyi sunyi seorang

bisu yang dianalisis dan diteliti dengan menggunakan teori HAM.

Sehingga diperoleh uraian tentang tindak pelanggaran HAM yang

terjadi di Pulau Buru.

BAB IV :PENUTUP

Dalam bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis

(40)

BAB II

Biblografi Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu

2.1. Spesifikasi dan Latar Belakang Buku

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu adalah salah satu-satunya karya non-fiksi

Pramoedya semasa tahanan di Buru, bukan novel. Buku ini merupakan kumpulan

catatan berisi surat-surat pribadi kepada anak-anaknya yang tak pernah terkirim, juga

esai-esai, terutama sangat mencekam adalah renunganya yang tajam merekam apa

yang dialami sebagai pribadi, sebagai suami dan ayah, ebagai pengarang dan sebagai

tahanan politik rejim militerisme yang merampas segala darinya; hasil cipta jiwa dan

pemikirnnya berikut harta bendanya – naskah, buku, dokumentasi, rumah, sampai

kepada kebebasan kewarganegaraannya dan sebagai manusia.

Walaupun naskah sudah siap cetak sejak 1987, tidak ada percetakan yang

berani mencetaknya. Pencetakan dikerjakan tergesa-gesa dalam lima hari sebelum

ultah penulis, berkat bantuan yang berani para rekan wartawan muda dari Asosiasi

Jurnalis Independen. Mutu cetakan memang tidak memadai karena dilakukan

sembuni-sembunyi dan terburu-buru, memakai kertas Koran dengan penjlidan yang

rapuh. Kualitas tampilannya rendah, tetapi kualitas dalam isi sangat tinggi – makna

terpentingnya: Penulis dan Penerbit dengan menempuh resio tinggi telah menembus

(41)

Keunikan lain yang perlu dicatat: bila “Bumi Manusia” mencapai rekor usia

terpanjang sampai enam bulan peredaran, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu saat diterbitkan

semasa jendral Soeharto memerintah dengan mesin kekuasannya, hanya mampu

beredar dalam sepuluh hari.

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I: Catatan dari Pulau Buru. Jakarta. Lentera.

Berisi 319 halaman. Pertama kali diterbitkan di Belanda dengan judul Lied van een

Stomme, 1988 dan 1989 (dua jilid). Disertai dengan lampiran foto dan lampiran

nama-nama tapol yang meninggal di Pulau Buru, peta kondisi, dan situasi Pulau

Buru.

Naskah buku ini disunting dari kertas–kertas berserakan berisi catatan

berharga yang ditulis tidak teratur dari waktu ke waktu hanya bila keadaan

memungkinkan selama tahun 1969-1979. Diakui oleh Pramoedya bahwa konsep

dasar penulisan buku ini berasal dari permintaan kapten IM Sudiraka, Komandan

Unit III yang meminta kepada Pramoedya agar menuliskan suka duka hidup di Pulau

Buru.

Diakui olehnya bahwa izin menulis baru diberikan pada tahun 1973.

Pemberian izin dan dorongan untuk menulis juga diberikan pada tahun 1976, ketika

Dan Inherab, Kolonel Sutikno meminta kepada Pramoedya agar menuliskan

pengalaman pribadinya selama di Mako. Bahkan sempat diminta untuk membuat

(42)

disadari oleh Pramoedya bahwa walau bagaimanapun pada suatu saat dia akan

menuliskan dan menyusun memoir pribadinya, apalagi sebagai pengarang Indonesia.

Sejak itu Pramoedya mulai menuliskan memoarnya. Akan tetapi sembilan buku tulis

yang telah terisi pernah disita dan tak pernah dikembalikan lagi oleh Wadan Tefaat,

Letkol Soetarto.

Buku ini ditulis terburu-buru tanpa diperiksa kembali, kecuali di beberapa

bagian. Naskah buku ini mulai ditulis tahun 1973, ketika Pramoedya mendapat izin

untuk boleh menulis. Kesempatan menulisnya tergantung pada intuisi keamanan

sebagai tapol yang menyebabkan tulisannya tidak terencana dan tidak terpelihara

formatnya. Sebagian catatan itu sempat dirampas oleh petugas dan sebagian dapat

diselamatkan oleh beberapa teman penulis. Sebagian catatan ditulis dengan bentuk

surat yang ditujukan kepada anaknya di Jakarta.

Nyanyian Sunyi Seorang Bisu II. Jakarta. Lentera Pustaka Alternatif. (295

halaman). Buku Pramoedya kedua ini sebelumnya diterbitkan di negeri Belanda

dengan judul Lied van een Stomme, 1989, penerbit Unie Boek, dalam dua jilid

sekaligus. Buku ini diterbitkan sebagai kenang-kenangan Pramoedya berusia 72

tahun. Buku ini lebih banyak menceritakan tentang kehidupan Pramoedya dan

keluarganya. Sedangkan tentang pengasingannya di Pulau Buru hanya sedikit. Sama

seperti buku yang pertama, dalam buku keduanya ini juga terdapat beberapa lampiran

(43)

2.2. Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia Masa Orde Baru

Pada awal Orde Baru ada harapan besar bahwa akan dimulai suatu proses

demokratisasi. Banyak kaum cendikiawan menggelar berbagai seminar untuk

mendiskusikan masa depan Indonesia dan hak asasi. Akan tetapi euphoria demokrasi

tidak berlangsung lama, karena sesudah beberapa tahun golongan militer

berangsur-angsur mengambil alih pimpinan.

Pada awalnya diupayakan untuk menambah jumlah hak asasi yang termuat

dalam UUD melalui suatu panitia Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara

(MPRS) yang kemudian menyusun “Rancangan Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan

Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara” untuk diperbincangkan dalam sidang

MPRS V tahun 1968. Panitia diketuai oleh Jenderal Nasution dan sebagian bahan

acuan ditentukan antara lain hasil Konstituante yang telah selesai merumuskan hak

asasi secara terperinci, tetapi dibubarkan pada tahun 1959.

Rancangan Piagam MPRS, disamping mencakup hak politik dan ekonomi,

juga merinci kewajiban warga negara terhadap negara. Akan tetapi, karena masa

sidang yang telah ditetapkan sebelumya sudah berakhir, maka Rancangan Piagam

tidak jadi dibicarakan dalam sidang pleno. Dengan demikian, perumusan dan

pengaturan hak asasi seperti yang ditentukan pada 1945 tidak mengalami perubahan.

Ada usaha untuk menyusun suatu eksekutif yang kuat, dan menyelenggarakan

(44)

mencoba menggali kembali beberapa unsur khazanah kebudayaan nenek moyang

yang cenderung membentuk kepemimpinan yang kuat dan sentralistik.

Pemikiran-pemikiran yang pernah timbul di masa penyusunan UUD 1945 berkembang kembali,

dan konsep-konsep seperti negara integralis, negara kekeluargaan, gotong royong,

musyawarah mufakat, anti-individualisme, kewajiban yang tidak dapat terlepas dari

hak, kepentingan masyarakat yang lebih penting dari kepentingan individu, mulai

masuk agenda politik.

Akan tetapi, dalam usaha mewujudkan stabilitas politik untuk menunjang

ekonomi, pemenuhan berbagai hak politik, antara lain kebebasan mengutarakan

pendapat, banyak diabaikan dan dilanggar. Pengekangan terhadap pers mulai lagi,

antara lain dengan ditentukannya bahwa setiap penerbitan harus mempunyai Surat

Ijin Terbit (SIT) dan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Terjadi pembredelan

terhadap Sinar Harapan (1984) dan majalah Tempo, Detik, dan Editor (1994). Fungsi

utama Pers sebagai penyalur informasi mengalami kemunduran, sehingga yang lebih

menonjol adalah fungsinya yang lain sebagi sarana hiburan. Dengan demikian

fungsinya sebagai alat pendidikan formal mengalami kepincangan, terutama dalam

bidang pendidikan politik karena terbatasnya kesempatan untuk membahas

masalah-masalah kenegaraan serta gejolak sosial dalam forum terbuka. Konflik di Aceh

(45)

Banyak kasus kekerasan terjadi, antara lain Peristiwa Tanjung Priuk dan Peristiwa

Trisakti.

Sebenarnya pada waktu itu ekonomi Indonesia sedikit banyak telah berhasil

ditingkatkan melalui serentetan Rencana Lima Tahun. Hasil lima Pelita menunjukkan

bahwa hak masyarakat atas pangan (hak yang paling mendasar) sebagian besar telah

dilaksanakan melalui swasembada beras pada tahun 1983, padahal sepuluh tahun

sebelumnya Indonesia merupakan importir beras terbesar di dunia. Miriam Budiarjo

dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik menunjukkan Pendapatan per kapita (GNP)

yang pada 1967 hanya $50, pada tahun 90-an telah naik menjadi hamper $600.

Jumlah orang miskin yang pada 1970 berjumlah 70 juta atau 60%, pada 1990 turun

menjadi 72 juta atau 15,1%.

Sekalipun demikian, kesenjangan sosial masih sangat mencolok dan

pemerataan sangat perlu ditingkatkan. Ini disebabkan karena perubahan yang

diakibatkan oleh upaya pembangunan ternyata telah membentuk struktur yag

dominant-dependence. Pengaturan yang dilakukan telah memberi kesempatan kepada

lingkar-lingkar tertentu yang berada paling dekat dengan kekuasaan politik dan

sumber daya ekonomi di masing-masing tingkat untuk memperoleh fasilitas-fasilitas

mengembangkan diri, dan di pihak lain telah mendesak kelompok-kelompok pinggir

(46)

Hukum di masa Orde Baru juga tidak begitu berpihak terhadap hak asasi

manusia. Hukum ini sebagian masih merupakan warisan dari pemerintah kolonial

Belanda, pemerintah Orde Lama, dan juga produk dari Orde Baru sendiri. Antara lain

di sini bisa disebut Haatzaai Artikelen, Undang-undang Anti-Subversi, sejumlah

peraturan perburuhan, Undang-undang Penanaman Modal Asing, Undang-undang

Partai Politik dan Keormasan, Undang-undang Pemilihan Umum dan Undang-undang

Pemerintahan Desa. Kadar ketidakberpihakan terhadap hak asasi manusia pada

hukum-hukum di atas tentu tidak sama, tetapi satu kecenderungan umum yang

melekat pada hukum-hukum di atas adalah sifatnya yang sarat dengan pembatasan

dan pengontrolan.

Haatzaai Artikelen membatasi kebebasan menyebarluaskan informasi dan

opini; Undang-undang Anti Subversi membuat pengertian “subversi” begitu elastis

sehingga banyak hal yang bisa dikategorikan sebagai subversi; Peraturan perburuhan

banyak yang membenarkan penindasan majikan terhadap buruh; Undang-undang

Partai Politik dan Keormasan membatasi hak hidup organisasi politik dengan segala

macam cara atas nama penyederhanaan struktur politik; Undang-undang pemilihan

umum malah tidak mengikutsertakan masyarakat pemilih ke kotak suara dengan

bebas; dan Undang-undang Pemerintahan Desa telah merusak rembung desa yang

(47)

adalah pembatasan hak asasi manusia secara sah dilakukan dan dibenarkan oleh

hukum di Indonesia.

Di bidang pendidikan, Indonesia telah mencapai kemajuan yang berarti

melalui program wajib belajar untuk anak usia 7-12 tahun, rasio murid sekolah dasar

yang berusia 7-12 terhadap penduduk kelompok umur 7-12 tahun naik dari 41,1%

pada 1968/1969 menjadi sekitar 93,5% pada 1993/1994. Ini berarti bahwa akses

pendidikan sebagian besar telah berhasil diselenggarakan sekalipun mutu pendidikan

masih sangat perlu ditingkatkan. Jumlah penduduk buta huruf dari umur 10 tahun ke

atas telah turun dari 39,1% pada awal Pelita I menjadi 15,8% pada 1990. Angka

kematian bayi (per 1000 kelahiran hidup) yang pada 1967 berjumlah 145 ditekan

sampai 58 pada akhir Pelita V. Angka harapan hidup naik dari usia rata-rata 46,5

tahun pada 1971 menjadi 62,7 tahun 1993. Akan tetapi kemajuan ini telah dicapai

dengan harga mahal, antara lain berkembangnya korupsi pada skala besar, dan represi

terhadap kalangan yang berani beroposisi dengan pemerintah.

Menjelang akhir masa Presiden Soeharto ada seruan kuat dari kalangan

masyarakat, terutama civil society, untuk lebih meningkatkan pelaksanaan hak politik,

dan agar stabilitas, yang memang diperlukan untuk pembangunan yang

berkesinambungan, tidak menghambat proses demokratisasi.

Salah satu masalah ia tidak adanya persamaan persepsi antara penguasa dan

(48)

jelas kapan kepentingan individu berakhir dan kepentingan umum mulai. Misalnya,

jika sejumlah penduduk digusur untuk mendirikan fasilitas umum seperti rumah sakit,

masyarakat tidak akan mempersoalkannya. Akan tetapi, jika dipaksa menyerahkan

sawahnya untuk didirikan tempat rekreasi, tafsiran mengenai “kepentingan umum”

dapat bertolak belakang dan lebih melanggar hak asasi. Penafsiran mengenai konsep

“kepentingan umum”, “keamanan umum”, dan “stabilitas nasional” seolah-olah

merupakan monopoli dari pihak yang memiliki kekuasaan politik dan kekuasaan

ekonomi.

Bagaimanapun juga, tidak dapat disangkal bahwa citra Indonesia di luar negri

sangat rendah, baik mengenai pelanggaran hak asasi, maupun mengenai korupsi yang

merajalela, sekalipun penguasa selalu menolak pandangan bahwa hak asasi di

Indonesia menjadi masalah besar. Akumulasi tindakan represif akhirnya menjatuhkan

Presiden Soeharto.

Menjelang berakhirnya rezim Soeharto beberapa indikasi masa transisi mulai

tampak. Berkat suksesnya pembangunan ekonomi, ditambah keberhasilan di bidang

pendidikan, telah timbul suatu kelas menengah terdidik terutama di daerah perkotaan,

dengan sejumlah besar professional seperi insinyur, manajer, dan pakar di berbagai

bidaang. Selain dari itu telah berkembang kelompok mahasiswa dan civil society yang

vokal. Dengan demikian tuntutan untuk melaksanakan hak asasi politik secara serius,

(49)

menguat. Juga tuntutan akan berkurangnya dominasi eksekutif, peningkatan

transparasi, akuntabilitas, dan demokratisasi sukar dibendung. Berkat

tuntutan-tuntutan itu pada akhir tahun 1993 dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

(Komnas HAM) dengan dua puluh lima anggota tokoh masyarakat yang dianggap

tinggi kredibilitasnya, yang diharapkan dapat meningkatkan penanganan hak asasi.

2.3. Latar Belakang G30SPKI dan Implikasinya

PKI merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar

Tiongkok dan Uni Soviet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta

dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang

mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang

mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi

penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta

anggota dan pendukung.

Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan

konstitusi di bawah dekrit presiden. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata

dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno

menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". Beliau juga membentuk Dewan

Perwakilan Rakyat Gotong-Royong dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara,

dengan penunjukan anggota-anggota yang menjamin dukungan terhadapnya. Dengan

(50)

politik menurut "ajaran-ajarannya" sebagai Pemimpin Besar Revolusi Indonesia.

Beliau menjadikan "penyelesaian revolusi menuju sosialisme Indonesia" sebagai

tujuan politik. Dan sebagai sarana ialah: "demokrasi dan ekonomi terpimpin"

(MANIPOL/USDEK) dan NASAKOM (yakni, kerja sama antara aliran politik

Nasionalis, Agama dan Komunis di bawah pimpinannya sebagai Pemimpin Besar

Revolusi). Juga hukum dan peradilan mesti tunduk kepada revolusi. Karenanya, azas

pemisahan kekuasaan negara (Trias Politica) dihapus.

Sikap anti-imperialisnya-pun makin dinyatakan. Salah satu tahap

"penyelesaian revolusi" Soekarno adalah pembebasan Irian-Barat (bagian bekas

Nederlands-Indie yang emoh diserahkan oleh Belanda). Upaya ini mendapat prioritas

agar tanah-air Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 menjadi

utuh. Hampir satu setengah milyar dollar AS (pinjaman dari Uni Sovyet)

dipergunakan untuk untuk pembelian kapal-kapal perang dan terbang, termasuk

penambahan persenjataan dan personalia angkatan darat dan angkatan bersenjata pada

umumnya, serta latihan,-pasukan relawan. Akhirnya perjuangan "pembebasan"

Irian-Barat berhasil tanpa pertempuran besar-besaran. Belanda meninggalkannya dan PBB

meyerahkannya kepada Indonesia.

Dalam masa itu, kondisi ekonomi yang diabaikan, makin memburuk.

Pelaksanaan "penyelesaian revolusi" nampak terutama dalam bentuk verbal:

(51)

NASAKOM yang diwajibkan untuk diajarkan di lembaga-lembaga pengajaran,

politik dan pemerintahan. Dalam siaran radio, koran-koran dan penerbitan lain, orang

berlomba-lomba menunjukkan lafal ajaran-ajaran itu. Akan tetapi kesatuan pikiran

dalam masyarakat hanyalah di permukaan dan semu. Pertentangan kepentingan antara

berbagai kekuatan politik malah meruncing. Pembebasan Irian-Barat dapat dikatakan

mendapat dukungan seluruh masyarakat. Tetapi terhadap perubahan-perubahan dalam

masyarakat Indonesia sendiri untuk menuju pembagian hak milik dan hasil usaha

secara lebih merata, sebagai pelaksanaan keadilan sosial tidak tercapai karena

pertentangan di antara berbagai golongan dan partai politik. Kaum tidak berpunya,

kaum buruh, proletar dan marhaen, mendambakannya. Tetapi orang yang bermodal,

orang yang memiliki tanah luas menolaknya. Kondisi ini diperuncing oleh kondisi

ekonomi yang memburuk. Ini nampak dalam penyusunan UUPA (Pokok Agraria)

dan UUBH (Bagi Hasil) oleh DPR-GR (1959-1960), serta lebih-lebih dalam praktek

perubahan pemilikan dan bagi hasil dibidang pertanian menurut undang-undang

tersebut.

Setelah di UUPA diundangkan, pelaksanaannya justru macet. Pegawai

pemerintah yang bertugas di bidang ini tampaknya kurang berhasil. Sejak semula PKI

melancarkan kampanye pelaksanaan land- reform. Setelah pada tahun 1963 ada

paceklik, maka ‘aksi sepihak' dilaksanakan yakni memimpin serta mendampingi

(52)

UUPA/UUBH, dengan menduduki tanah pertanian dan menahan sebagian hasil serta

menuntut penggantian pegawai pemerintah yang gagal. Aksi-aksi sepihak yang

dijalankan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Bali dan sebagai akibat menimbulkan

konflik-konflik sosial.

Meskipun di banyak tempat pemerintah daerah mencoba menyejukkan

keadaan, umumnya mereka memihak pemilik-pemilik tanah. Pertentangan keras,

bahkan dengan penggunaan senjata tajam, terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur

antara PKI dengan organisasi NU. Sedangkan di Bali, PKI bertentangan keras dengan

PNI. Keadaan menjadi gawat sehingga sewaktu Presiden Soekarno berada di luar

negeri, pejabat presiden Leimena mengeluarkan instruksi penghentian aksi sepihak

pada pertengahan tahun 1964. Bung Karno dalam pidato kenegaraannya tahun itu

memberikan dukungan tidak langsung kepada aksi sepihak dengan menunjukkan

simpati pada buruh tani dan mengecam kelambanan pelaksanaan UUPA/UUBH.

Kemudian, bulan desember 1964, dilakukan musyawarah di Istana Presiden di Bogor

yang dihadiri perwakilan dari semua partai. Aksi sepihak itupun dibicarakan. Hasil

musyawarah, antara lain, menyerukan agar masalah-masalah nasional seperti

pelaksanaan UUPA dilakukan melalui musyawarah dan mufakat. Diserukan juga

bahwa pejabat dan petani diwajibkan untuk musyawarah tanpa menggunakan

(53)

menafsirkan deklarasi Bogor sebagai kemenangan dan aksi sepihak lambat laun

dihentikan. Akan tetapi di bawah permukaan saling benci dan dendam membara.

Terbentuknya negara Malaysia juga menjadi salah satu faktor terjadinya

pemberontakan oleh PKI. Insiden perobekan foto soekarno dan pemijakan lambang

negara Garuda Pancasila oleh Tuanku Abdul Rahman – Perdana Mentri Malaysia saat

itu, membuat amarah Soekarno memuncak. Soekarno yang murka karena hal itu

mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia dan ingin

melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan sebutan

"Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat menghina

Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk

meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu.

Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh

Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk

peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan

Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu

Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan

politik di Indonesia.

Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa

kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada

(54)

Malaysia" yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. Pada saat PKI

memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi keadaan

yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu

ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia,

khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh.

Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia memutuskan untuk mendiamkannya

karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi yang sedang

berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di lingkungan internasional sejak

keluarnya Indonesia dari PBB.

Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang

baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan

santai Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan

dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa

menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu "giliran PKI

akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu

terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya akan

membereskan PKI, tetapi tidak sekarang". Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan

internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari

Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat

(55)

terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan

dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para

jenderal ini.

Sepanjang Demokrasi Terpimpin, beberapa kali dibentuk

persekutuan/organisasi untuk membendung pertumbuhan pesat pengaruh PKI dalam

kehidupan politik-sosial, antara lain; Liga Demokrasi atas prakarsa PSI, Masyumi

(1960), Manifesto Kebudayaan (Manikebu) oleh sekelompok sastrawan yang

membela nilai-nilai humanisme dalam sastra dan kebudayaan umumnya untuk

melawan pemihakan revolusioner LEKRA (komunis) dan LKN (nasionalis) (1963)

dan Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS) oleh Adam Malik dan wartawan lain

yang menjabarkan pikiran politik Soekarno tetapi melawan pengaruh politik komunis

(1964). Tetapi setiap kali usaha-usaha di atas kandas karena Presiden Soekarno

mem-veto-nya. Sering ditandaskan oleh Bung Karno, bahwa dalam sosialisme Indonesia

tidak ada tempat untuk takut terhadap komunis. Hanya Angkatan Darat yang

anti-komunis bertahan secara kuat. Karena itu bagi banyak orang yang menolak

otoriterisme Demokrasi Terpimpin dan pengaruh komunisme, Angkatan Darat

menjadi harapan, namun mereka pada saat yang sama melupakan peranan Angkatan

Darat dalam pembentukan dan pengisian sistim Demokrasi Terpimpin, khususnya

kemandirian Angkatan Darat yang tumbuh subur di dalamnya dan bahaya besar

(56)

Keadaan ekonomi Indonesia makin merosot dengan inflasi yang menjulang.

Sedangkan suhu ketegangan politik justru naik dalam tahun 1965. Januari 1965

Indonesia menyatakan keluar dari PBB. Bulan berikutnya, 21 surat kabar anti

komunis dilarang terbit. Angkatan Darat langsung menerbitkan dua surat kabar

sendiri. Semangat anti-Amerika dipanaskan oleh berita-berita tentang peningkatan

pemboman dahsyat Vietnam oleh Amerika dan perusahaan A.S. diduduki oleh

serikat– serikat buruh kiri. Angkatan Darat mengambil alih pengelolaan perusahaan

asing tersebut. Bulan April 1965, Menteri Luar-Negeri RRT berkunjung ke Jakarta

dan mendukung saran Aidit untuk membentuk angkatan bersenjata kelima di samping

AD, AU, AL dan Kepolisian. Angkatan ini akan diisi oleh relawan yang dipersenjatai

untuk menyerang Malaysia. Usulan ini didukung juga oleh AU, Partindo dan PNI.

Bung Karno menyatakan bahwa PKI adalah contoh teladan kekuatan revolusioner.

Dalam perayaan meriah H.U.T.ke-45 PKI, bulan Mei 1965, beliau memuji-muji PKI.

PKI yang dalam pemilihan umum tahun 1955 menjadi partai besar ke-empat,

memang paling menonjol dukungannya pada bung Karno, sebagai Pemimpin Besar

Revolusi.

PKI semakin banyak anggotanya, juga karena banyak pengikut Bung Karno

menggabungkan diri dengan PKI. Mereka menyeberang bukan karena tertarik pada

ideologi komunis tapi mengingat keberpihakan PKI pada rakyat kecil (lebih nyata

(57)

akan meninggal. Bahkan dokter dokter dari RRT datang untuk mengobatinya sampai

sembuh. Pada pidato 17 Agustus 1965, beliau mengumumkan terbentuknya Poros

Anti-Imperialis: Jakarta-PnomPenh-Hanoi-Beijing, suatu keterikatan Republik

Indonesia dengan 4 negara komunis, dan menyerukan agar rakyat dipersenjatai.

Keadaan ekonomi semakin parah pada kwartal terakhir tahun ‘65, harga beras 9 kali

harga pada permulaan tahun dan harga dolar dipasar gelap menjulang dari Rp 5100

menjadi Rp 50.000. Desas-desus kemungkinan Kudeta, baik oleh Angkatan Darat

maupun oleh PKI dibisik-bisikkan secara luas.Tanggal 27 September Jenderal Ahmad

Yani menyatakan Angkatan Darat menolak p

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi yang berjudul Kajian Sosial dalam Novel Bumi Manusia karya.. Pramoedya Ananta Toer terdiri dari 4 (empat)

Skripsi yang berjudul Kajian Sosial dalam Novel Bumi Manusia karya.. Pramoedya Ananta Toer terdiri dari 4 (empat)

“Citra Perempuan dalam Novel Gadis Pantai Karya Pramoedya Ananta Toer (Kajian Feminisme)”.. Jurnal DEIKSIS Vol

Bagian hasil ini peneliti menguraikan hasil penelitian dan pembahasan terhadap Subaltern pada novel Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer dengan menggunakan

Hal ini yang melatarbelakangi peneliti memilih topik analisis novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer dan menggunakan kajian sosiologi sastra dengan penerapan

Data dalam penelitian ini adalah teks roman Larasati karya Pramoedya Ananta Toer yang berupa kata, frase, kalimat, yang menggambarkan latar tempat, waktu dan

Berdasarkan analisis strukturalisme genetik yang lakukan peneliti dalam novel Midah Simanis Bergigi Emas karya Pramoedya Ananta Toer seperti; kajian genetik,

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan muncul hasil analisis bio-bibliometrik pada karya Pramoedya Ananta Toer,yaitu total karya Pram sebanyak 267 karya, produktivitas akumulatif