• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis

BAB II

Biblografi Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu

2.1. Spesifikasi dan Latar Belakang Buku

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu adalah salah satu-satunya karya non-fiksi Pramoedya semasa tahanan di Buru, bukan novel. Buku ini merupakan kumpulan catatan berisi surat-surat pribadi kepada anak-anaknya yang tak pernah terkirim, juga esai-esai, terutama sangat mencekam adalah renunganya yang tajam merekam apa yang dialami sebagai pribadi, sebagai suami dan ayah, ebagai pengarang dan sebagai tahanan politik rejim militerisme yang merampas segala darinya; hasil cipta jiwa dan pemikirnnya berikut harta bendanya – naskah, buku, dokumentasi, rumah, sampai kepada kebebasan kewarganegaraannya dan sebagai manusia.

Walaupun naskah sudah siap cetak sejak 1987, tidak ada percetakan yang berani mencetaknya. Pencetakan dikerjakan tergesa-gesa dalam lima hari sebelum ultah penulis, berkat bantuan yang berani para rekan wartawan muda dari Asosiasi Jurnalis Independen. Mutu cetakan memang tidak memadai karena dilakukan sembuni-sembunyi dan terburu-buru, memakai kertas Koran dengan penjlidan yang rapuh. Kualitas tampilannya rendah, tetapi kualitas dalam isi sangat tinggi – makna terpentingnya: Penulis dan Penerbit dengan menempuh resio tinggi telah menembus arogansi kekuasaan.

Keunikan lain yang perlu dicatat: bila “Bumi Manusia” mencapai rekor usia terpanjang sampai enam bulan peredaran, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu saat diterbitkan semasa jendral Soeharto memerintah dengan mesin kekuasannya, hanya mampu beredar dalam sepuluh hari.

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I: Catatan dari Pulau Buru. Jakarta. Lentera.

Berisi 319 halaman. Pertama kali diterbitkan di Belanda dengan judul Lied van een

Stomme, 1988 dan 1989 (dua jilid). Disertai dengan lampiran foto dan lampiran nama-nama tapol yang meninggal di Pulau Buru, peta kondisi, dan situasi Pulau Buru.

Naskah buku ini disunting dari kertas–kertas berserakan berisi catatan berharga yang ditulis tidak teratur dari waktu ke waktu hanya bila keadaan memungkinkan selama tahun 1969-1979. Diakui oleh Pramoedya bahwa konsep dasar penulisan buku ini berasal dari permintaan kapten IM Sudiraka, Komandan Unit III yang meminta kepada Pramoedya agar menuliskan suka duka hidup di Pulau Buru.

Diakui olehnya bahwa izin menulis baru diberikan pada tahun 1973. Pemberian izin dan dorongan untuk menulis juga diberikan pada tahun 1976, ketika Dan Inherab, Kolonel Sutikno meminta kepada Pramoedya agar menuliskan pengalaman pribadinya selama di Mako. Bahkan sempat diminta untuk membuat komik dan diminta membuatkan riwayat hidup beberapa orang perwira. Hal itu

disadari oleh Pramoedya bahwa walau bagaimanapun pada suatu saat dia akan menuliskan dan menyusun memoir pribadinya, apalagi sebagai pengarang Indonesia. Sejak itu Pramoedya mulai menuliskan memoarnya. Akan tetapi sembilan buku tulis yang telah terisi pernah disita dan tak pernah dikembalikan lagi oleh Wadan Tefaat, Letkol Soetarto.

Buku ini ditulis terburu-buru tanpa diperiksa kembali, kecuali di beberapa

bagian. Naskah buku ini mulai ditulis tahun 1973, ketika Pramoedya mendapat izin untuk boleh menulis. Kesempatan menulisnya tergantung pada intuisi keamanan sebagai tapol yang menyebabkan tulisannya tidak terencana dan tidak terpelihara formatnya. Sebagian catatan itu sempat dirampas oleh petugas dan sebagian dapat diselamatkan oleh beberapa teman penulis. Sebagian catatan ditulis dengan bentuk surat yang ditujukan kepada anaknya di Jakarta.

Nyanyian Sunyi Seorang Bisu II. Jakarta. Lentera Pustaka Alternatif. (295 halaman). Buku Pramoedya kedua ini sebelumnya diterbitkan di negeri Belanda

dengan judul Lied van een Stomme, 1989, penerbit Unie Boek, dalam dua jilid

sekaligus. Buku ini diterbitkan sebagai kenang-kenangan Pramoedya berusia 72 tahun. Buku ini lebih banyak menceritakan tentang kehidupan Pramoedya dan keluarganya. Sedangkan tentang pengasingannya di Pulau Buru hanya sedikit. Sama seperti buku yang pertama, dalam buku keduanya ini juga terdapat beberapa lampiran berupa beberapa foto dan epilog dari penyuntingnya.

2.2. Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia Masa Orde Baru

Pada awal Orde Baru ada harapan besar bahwa akan dimulai suatu proses demokratisasi. Banyak kaum cendikiawan menggelar berbagai seminar untuk

mendiskusikan masa depan Indonesia dan hak asasi. Akan tetapi euphoria demokrasi

tidak berlangsung lama, karena sesudah beberapa tahun golongan militer berangsur-angsur mengambil alih pimpinan.

Pada awalnya diupayakan untuk menambah jumlah hak asasi yang termuat dalam UUD melalui suatu panitia Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang kemudian menyusun “Rancangan Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara” untuk diperbincangkan dalam sidang MPRS V tahun 1968. Panitia diketuai oleh Jenderal Nasution dan sebagian bahan acuan ditentukan antara lain hasil Konstituante yang telah selesai merumuskan hak asasi secara terperinci, tetapi dibubarkan pada tahun 1959.

Rancangan Piagam MPRS, disamping mencakup hak politik dan ekonomi, juga merinci kewajiban warga negara terhadap negara. Akan tetapi, karena masa sidang yang telah ditetapkan sebelumya sudah berakhir, maka Rancangan Piagam tidak jadi dibicarakan dalam sidang pleno. Dengan demikian, perumusan dan pengaturan hak asasi seperti yang ditentukan pada 1945 tidak mengalami perubahan.

Ada usaha untuk menyusun suatu eksekutif yang kuat, dan menyelenggarakan stabilitas di seluruh masyarakat. Untuk menunjang usaha itu pemerintah Orde Baru

mencoba menggali kembali beberapa unsur khazanah kebudayaan nenek moyang yang cenderung membentuk kepemimpinan yang kuat dan sentralistik. Pemikiran-pemikiran yang pernah timbul di masa penyusunan UUD 1945 berkembang kembali, dan konsep-konsep seperti negara integralis, negara kekeluargaan, gotong royong, musyawarah mufakat, anti-individualisme, kewajiban yang tidak dapat terlepas dari hak, kepentingan masyarakat yang lebih penting dari kepentingan individu, mulai masuk agenda politik.

Akan tetapi, dalam usaha mewujudkan stabilitas politik untuk menunjang ekonomi, pemenuhan berbagai hak politik, antara lain kebebasan mengutarakan pendapat, banyak diabaikan dan dilanggar. Pengekangan terhadap pers mulai lagi, antara lain dengan ditentukannya bahwa setiap penerbitan harus mempunyai Surat Ijin Terbit (SIT) dan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Terjadi pembredelan

terhadap Sinar Harapan (1984) dan majalah Tempo, Detik, dan Editor (1994). Fungsi

utama Pers sebagai penyalur informasi mengalami kemunduran, sehingga yang lebih menonjol adalah fungsinya yang lain sebagi sarana hiburan. Dengan demikian fungsinya sebagai alat pendidikan formal mengalami kepincangan, terutama dalam bidang pendidikan politik karena terbatasnya kesempatan untuk membahas masalah-masalah kenegaraan serta gejolak sosial dalam forum terbuka. Konflik di Aceh dihadapkan dengan kekerasan militer melalui Daerah Operasi Militer (DOM).

Banyak kasus kekerasan terjadi, antara lain Peristiwa Tanjung Priuk dan Peristiwa Trisakti.

Sebenarnya pada waktu itu ekonomi Indonesia sedikit banyak telah berhasil ditingkatkan melalui serentetan Rencana Lima Tahun. Hasil lima Pelita menunjukkan bahwa hak masyarakat atas pangan (hak yang paling mendasar) sebagian besar telah dilaksanakan melalui swasembada beras pada tahun 1983, padahal sepuluh tahun sebelumnya Indonesia merupakan importir beras terbesar di dunia. Miriam Budiarjo dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik menunjukkan Pendapatan per kapita (GNP) yang pada 1967 hanya $50, pada tahun 90-an telah naik menjadi hamper $600. Jumlah orang miskin yang pada 1970 berjumlah 70 juta atau 60%, pada 1990 turun menjadi 72 juta atau 15,1%.

Sekalipun demikian, kesenjangan sosial masih sangat mencolok dan pemerataan sangat perlu ditingkatkan. Ini disebabkan karena perubahan yang diakibatkan oleh upaya pembangunan ternyata telah membentuk struktur yag dominant-dependence. Pengaturan yang dilakukan telah memberi kesempatan kepada lingkar-lingkar tertentu yang berada paling dekat dengan kekuasaan politik dan sumber daya ekonomi di masing-masing tingkat untuk memperoleh fasilitas-fasilitas mengembangkan diri, dan di pihak lain telah mendesak kelompok-kelompok pinggir semakin lemah.

Hukum di masa Orde Baru juga tidak begitu berpihak terhadap hak asasi manusia. Hukum ini sebagian masih merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda, pemerintah Orde Lama, dan juga produk dari Orde Baru sendiri. Antara lain

di sini bisa disebut Haatzaai Artikelen, Undang-undang Anti-Subversi, sejumlah

peraturan perburuhan, Undang-undang Penanaman Modal Asing, Undang-undang Partai Politik dan Keormasan, Undang-undang Pemilihan Umum dan Undang-undang Pemerintahan Desa. Kadar ketidakberpihakan terhadap hak asasi manusia pada hukum-hukum di atas tentu tidak sama, tetapi satu kecenderungan umum yang melekat pada hukum-hukum di atas adalah sifatnya yang sarat dengan pembatasan dan pengontrolan.

Haatzaai Artikelen membatasi kebebasan menyebarluaskan informasi dan opini; Undang-undang Anti Subversi membuat pengertian “subversi” begitu elastis sehingga banyak hal yang bisa dikategorikan sebagai subversi; Peraturan perburuhan banyak yang membenarkan penindasan majikan terhadap buruh; Undang-undang Partai Politik dan Keormasan membatasi hak hidup organisasi politik dengan segala macam cara atas nama penyederhanaan struktur politik; Undang-undang pemilihan umum malah tidak mengikutsertakan masyarakat pemilih ke kotak suara dengan bebas; dan Undang-undang Pemerintahan Desa telah merusak rembung desa yang demokratis dan mengantinya dengan aitan birokrasi yang hirarkris. Kesemua itu

adalah pembatasan hak asasi manusia secara sah dilakukan dan dibenarkan oleh hukum di Indonesia.

Di bidang pendidikan, Indonesia telah mencapai kemajuan yang berarti melalui program wajib belajar untuk anak usia 7-12 tahun, rasio murid sekolah dasar yang berusia 7-12 terhadap penduduk kelompok umur 7-12 tahun naik dari 41,1% pada 1968/1969 menjadi sekitar 93,5% pada 1993/1994. Ini berarti bahwa akses pendidikan sebagian besar telah berhasil diselenggarakan sekalipun mutu pendidikan masih sangat perlu ditingkatkan. Jumlah penduduk buta huruf dari umur 10 tahun ke atas telah turun dari 39,1% pada awal Pelita I menjadi 15,8% pada 1990. Angka kematian bayi (per 1000 kelahiran hidup) yang pada 1967 berjumlah 145 ditekan sampai 58 pada akhir Pelita V. Angka harapan hidup naik dari usia rata-rata 46,5 tahun pada 1971 menjadi 62,7 tahun 1993. Akan tetapi kemajuan ini telah dicapai dengan harga mahal, antara lain berkembangnya korupsi pada skala besar, dan represi terhadap kalangan yang berani beroposisi dengan pemerintah.

Menjelang akhir masa Presiden Soeharto ada seruan kuat dari kalangan

masyarakat, terutama civil society, untuk lebih meningkatkan pelaksanaan hak politik,

dan agar stabilitas, yang memang diperlukan untuk pembangunan yang berkesinambungan, tidak menghambat proses demokratisasi.

Salah satu masalah ia tidak adanya persamaan persepsi antara penguasa dan masyarakat mengenai konsep “kepentingan umum” dan “keamanan nasional”. Tidak

jelas kapan kepentingan individu berakhir dan kepentingan umum mulai. Misalnya, jika sejumlah penduduk digusur untuk mendirikan fasilitas umum seperti rumah sakit, masyarakat tidak akan mempersoalkannya. Akan tetapi, jika dipaksa menyerahkan sawahnya untuk didirikan tempat rekreasi, tafsiran mengenai “kepentingan umum” dapat bertolak belakang dan lebih melanggar hak asasi. Penafsiran mengenai konsep “kepentingan umum”, “keamanan umum”, dan “stabilitas nasional” seolah-olah merupakan monopoli dari pihak yang memiliki kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi.

Bagaimanapun juga, tidak dapat disangkal bahwa citra Indonesia di luar negri sangat rendah, baik mengenai pelanggaran hak asasi, maupun mengenai korupsi yang merajalela, sekalipun penguasa selalu menolak pandangan bahwa hak asasi di Indonesia menjadi masalah besar. Akumulasi tindakan represif akhirnya menjatuhkan Presiden Soeharto.

Menjelang berakhirnya rezim Soeharto beberapa indikasi masa transisi mulai tampak. Berkat suksesnya pembangunan ekonomi, ditambah keberhasilan di bidang pendidikan, telah timbul suatu kelas menengah terdidik terutama di daerah perkotaan, dengan sejumlah besar professional seperi insinyur, manajer, dan pakar di berbagai

bidaang. Selain dari itu telah berkembang kelompok mahasiswa dan civil society yang

vokal. Dengan demikian tuntutan untuk melaksanakan hak asasi politik secara serius, meningatkan usaha pemberantasan kemiskinan, dan mengatasi kesenjangan sosial,

menguat. Juga tuntutan akan berkurangnya dominasi eksekutif, peningkatan transparasi, akuntabilitas, dan demokratisasi sukar dibendung. Berkat tuntutan-tuntutan itu pada akhir tahun 1993 dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dengan dua puluh lima anggota tokoh masyarakat yang dianggap tinggi kredibilitasnya, yang diharapkan dapat meningkatkan penanganan hak asasi. 2.3. Latar Belakang G30SPKI dan Implikasinya

PKI merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.

Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". Beliau juga membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, dengan penunjukan anggota-anggota yang menjamin dukungan terhadapnya. Dengan kemampuannya beliau memobilisasi sokongan luas masyarakat dalam kegiatan

politik menurut "ajaran-ajarannya" sebagai Pemimpin Besar Revolusi Indonesia. Beliau menjadikan "penyelesaian revolusi menuju sosialisme Indonesia" sebagai tujuan politik. Dan sebagai sarana ialah: "demokrasi dan ekonomi terpimpin" (MANIPOL/USDEK) dan NASAKOM (yakni, kerja sama antara aliran politik Nasionalis, Agama dan Komunis di bawah pimpinannya sebagai Pemimpin Besar Revolusi). Juga hukum dan peradilan mesti tunduk kepada revolusi. Karenanya, azas pemisahan kekuasaan negara (Trias Politica) dihapus.

Sikap anti-imperialisnya-pun makin dinyatakan. Salah satu tahap "penyelesaian revolusi" Soekarno adalah pembebasan Irian-Barat (bagian bekas Nederlands-Indie yang emoh diserahkan oleh Belanda). Upaya ini mendapat prioritas agar tanah-air Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 menjadi utuh. Hampir satu setengah milyar dollar AS (pinjaman dari Uni Sovyet) dipergunakan untuk untuk pembelian kapal-kapal perang dan terbang, termasuk penambahan persenjataan dan personalia angkatan darat dan angkatan bersenjata pada umumnya, serta latihan,-pasukan relawan. Akhirnya perjuangan "pembebasan" Irian-Barat berhasil tanpa pertempuran besar-besaran. Belanda meninggalkannya dan PBB meyerahkannya kepada Indonesia.

Dalam masa itu, kondisi ekonomi yang diabaikan, makin memburuk. Pelaksanaan "penyelesaian revolusi" nampak terutama dalam bentuk verbal: indoktrinasi ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi, MANIPOL USDEK dan

NASAKOM yang diwajibkan untuk diajarkan di lembaga-lembaga pengajaran, politik dan pemerintahan. Dalam siaran radio, koran-koran dan penerbitan lain, orang berlomba-lomba menunjukkan lafal ajaran-ajaran itu. Akan tetapi kesatuan pikiran dalam masyarakat hanyalah di permukaan dan semu. Pertentangan kepentingan antara berbagai kekuatan politik malah meruncing. Pembebasan Irian-Barat dapat dikatakan mendapat dukungan seluruh masyarakat. Tetapi terhadap perubahan-perubahan dalam masyarakat Indonesia sendiri untuk menuju pembagian hak milik dan hasil usaha secara lebih merata, sebagai pelaksanaan keadilan sosial tidak tercapai karena pertentangan di antara berbagai golongan dan partai politik. Kaum tidak berpunya, kaum buruh, proletar dan marhaen, mendambakannya. Tetapi orang yang bermodal, orang yang memiliki tanah luas menolaknya. Kondisi ini diperuncing oleh kondisi ekonomi yang memburuk. Ini nampak dalam penyusunan UUPA (Pokok Agraria) dan UUBH (Bagi Hasil) oleh DPR-GR (1959-1960), serta lebih-lebih dalam praktek perubahan pemilikan dan bagi hasil dibidang pertanian menurut undang-undang tersebut.

Setelah di UUPA diundangkan, pelaksanaannya justru macet. Pegawai pemerintah yang bertugas di bidang ini tampaknya kurang berhasil. Sejak semula PKI

melancarkan kampanye pelaksanaan land- reform. Setelah pada tahun 1963 ada

paceklik, maka ‘aksi sepihak' dilaksanakan yakni memimpin serta mendampingi tindakan-tindakan tani kecil dan buruh tani untuk memaksakan pelaksanaan

UUPA/UUBH, dengan menduduki tanah pertanian dan menahan sebagian hasil serta menuntut penggantian pegawai pemerintah yang gagal. Aksi-aksi sepihak yang dijalankan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Bali dan sebagai akibat menimbulkan konflik-konflik sosial.

Meskipun di banyak tempat pemerintah daerah mencoba menyejukkan keadaan, umumnya mereka memihak pemilik-pemilik tanah. Pertentangan keras, bahkan dengan penggunaan senjata tajam, terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur antara PKI dengan organisasi NU. Sedangkan di Bali, PKI bertentangan keras dengan PNI. Keadaan menjadi gawat sehingga sewaktu Presiden Soekarno berada di luar negeri, pejabat presiden Leimena mengeluarkan instruksi penghentian aksi sepihak pada pertengahan tahun 1964. Bung Karno dalam pidato kenegaraannya tahun itu memberikan dukungan tidak langsung kepada aksi sepihak dengan menunjukkan simpati pada buruh tani dan mengecam kelambanan pelaksanaan UUPA/UUBH. Kemudian, bulan desember 1964, dilakukan musyawarah di Istana Presiden di Bogor yang dihadiri perwakilan dari semua partai. Aksi sepihak itupun dibicarakan. Hasil musyawarah, antara lain, menyerukan agar masalah-masalah nasional seperti pelaksanaan UUPA dilakukan melalui musyawarah dan mufakat. Diserukan juga bahwa pejabat dan petani diwajibkan untuk musyawarah tanpa menggunakan ancaman kekerasan dan senjata. Kedua belah pihak dalam pertentangan tentang tanah

menafsirkan deklarasi Bogor sebagai kemenangan dan aksi sepihak lambat laun dihentikan. Akan tetapi di bawah permukaan saling benci dan dendam membara.

Terbentuknya negara Malaysia juga menjadi salah satu faktor terjadinya pemberontakan oleh PKI. Insiden perobekan foto soekarno dan pemijakan lambang negara Garuda Pancasila oleh Tuanku Abdul Rahman – Perdana Mentri Malaysia saat itu, membuat amarah Soekarno memuncak. Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.

Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang

Malaysia" yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB.

Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang". Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat

terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.

Sepanjang Demokrasi Terpimpin, beberapa kali dibentuk persekutuan/organisasi untuk membendung pertumbuhan pesat pengaruh PKI dalam kehidupan politik-sosial, antara lain; Liga Demokrasi atas prakarsa PSI, Masyumi (1960), Manifesto Kebudayaan (Manikebu) oleh sekelompok sastrawan yang membela nilai-nilai humanisme dalam sastra dan kebudayaan umumnya untuk melawan pemihakan revolusioner LEKRA (komunis) dan LKN (nasionalis) (1963) dan Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS) oleh Adam Malik dan wartawan lain yang menjabarkan pikiran politik Soekarno tetapi melawan pengaruh politik komunis (1964). Tetapi setiap kali usaha-usaha di atas kandas karena Presiden Soekarno mem-veto-nya. Sering ditandaskan oleh Bung Karno, bahwa dalam sosialisme Indonesia tidak ada tempat untuk takut terhadap komunis. Hanya Angkatan Darat yang anti-komunis bertahan secara kuat. Karena itu bagi banyak orang yang menolak otoriterisme Demokrasi Terpimpin dan pengaruh komunisme, Angkatan Darat menjadi harapan, namun mereka pada saat yang sama melupakan peranan Angkatan Darat dalam pembentukan dan pengisian sistim Demokrasi Terpimpin, khususnya kemandirian Angkatan Darat yang tumbuh subur di dalamnya dan bahaya besar militerisme.

Keadaan ekonomi Indonesia makin merosot dengan inflasi yang menjulang. Sedangkan suhu ketegangan politik justru naik dalam tahun 1965. Januari 1965 Indonesia menyatakan keluar dari PBB. Bulan berikutnya, 21 surat kabar anti komunis dilarang terbit. Angkatan Darat langsung menerbitkan dua surat kabar sendiri. Semangat anti-Amerika dipanaskan oleh berita-berita tentang peningkatan pemboman dahsyat Vietnam oleh Amerika dan perusahaan A.S. diduduki oleh

Dokumen terkait