• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kamal Analisis Komunitas Siput Kekede (Conus Spp) Di Perairan Laluin Kayoa Maluku Utara.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kamal Analisis Komunitas Siput Kekede (Conus Spp) Di Perairan Laluin Kayoa Maluku Utara."

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KOMUNITAS SIPUT KEKEDE (

Conus

spp) DI

PERAIRAN LALUIN KAYOA MALUKU UTARA

RAUDA G. KAMAL

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Komunitas Siput Kekede (Conus spp) di Perairan Laluin Kayoa Maluku Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(3)
(4)

RINGKASAN

RAUDA G. KAMAL Analisis Komunitas Siput Kekede (Conus spp) di Perairan Laluin Kayoa Maluku Utara. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA dan ISDRAJAD SETYOBUDIANDI.

Conus atau yang biasa disebut siput kekede sudah dimanfaatkan oleh masyarakat terutama cangkangnya sebagai hiasan atau bahan baku untuk kerajinan tangan, dan sumber makanan. Perairan Laluin merupakan satu–satunya daerah yang masyarakatnya banyak memanfaatkan siput kekede sebagai mata pencaharian (perikanan) dan konsumsi. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis struktur komunitas siput kekede di perairan Laluin, serta strategi pengelolaan populasi dan habitat siput kekede tersebut.

Pengambilan sampel dan analisis data dilakukan dari bulan Agustus hingga Desember 2013 di perairan Laluin, stasiun pengamatan di bagi menjadi 2 berdasarkan daerah penangkapan siput kekede. Metode sampling yaitu line transek dengan analisis data meliputi kepadatan, keanekaragaman jenis, indeks dominasi, pola penyebaran, indeks kemerataan, distribusi frekuensi panjang, hubungan panjang bobot, pertumbuhan siput kekede, dan produksi surplus. Hasil analisis data tersebut kemudian dihubungkan dengan kegiatan penangkapan di perairan Laluin agar dapat diketahui pengaruhnya terhadap struktur komunitas siput.

Conus yang di temukan di Perairan Laluin sebanyak 9 spesies yaitu Conus planorbis, Conus flavidus, Conus literatus, Conus leopardus, Conus marmoreus, Conus batulinus, Conus eburneus, Conus textile, dan Conus magus. Kualitas air pada Perairan Laluin masih tergolong baik untuk pertumbuhan siput kekede. Conus flavidus memiliki kepadatan tertinggi pada stasiun 1 yaitu sebesar 46 Ind/120 m2 yang ditemukan pada bulan Agustus dan yang terendah yaitu Conus planorbis yaitu sebesar 4 ind/120 m2 sedangkan kepadatan tertinggi pada stasiun 2 yaitu C.marmoreus dan C. flavidus sebesar 41 Ind/120 m2 yang ditemukan pada bulan Agustus dan C.batulinus tidak ditemukan pada bulan september. Jenis siput kekede yang terdapat pada stasiun 1 dan 2 memiliki pola sebaran mengelompok, pada kedua stasiun tidak ada jenis yang mendominasi, keanekaragaman jenis pada stasiun 1 sedang sedangkan pada stasiun 2 keanekaragaman jenis siput kekede tinggi, spesies siput kekede pada kedua stasiun tersebar secara merata. Kisaran panjang kelas siput kekede tersebut terdiri atas 6-8 kelas dengan frekuensi terbanyak ditemukan pada selang kelas 27-69.76 mm, dan siput kekede ini memiliki 1 dan 2 generasi yang mampu hidup dalam waktu dan di lokasi yang sama.

Pertumbuhan siput kekede di perairan Laluin tergolong cepat, hal ini dapat di lihat dengan panjang maksimal (Lmaks) yang dicapai siput kekede ini berkisar

antara 55.86-108.73 mm dalam waktu 1-6 tahun. Panjang dan bobot siput kekede cenderung memanjang.

(5)

penangkapan maksimum 16 orang nelayan dan jumlah tangkapan yang di perbolehkan sebesar 38,87 kg/minggu. Strategi pengelolaan yang diperlukan untuk memperbaiki struktur komunitas siput kekede dilakukan melalui pengaturan waktu penangkapan, ukuran tangkap dan kegiatan budidaya.

(6)

SUMMARY

RAUDA G. KAMAL. Analysis Community of Kekede Snail (Conus spp) in Kayoa Laluin Waters of North Maluku. Supervised by FREDINAN YULIANDA and ISDRAJAD SETYOBUDIANDI

Conus snails commonly called kekede have many functions the people using shells for decoration or raw materials of handicrafts, and food sources. The Laluin waters is the one and the only area where people tend to use kekede as their livelihood (fishing) and consumption. This study aimed to analyze the community structure of kekede snails in the Laluin waters, as well as it is population and habitat management strategies.

The sampling and analysis of data conducted from August to December 2013 in the Laluin waters. Observing station was divided into two regions based on kekede catching area. The sampling methods used is line transect. Data analysis include density, diversity type, dominance index, the spread pattern, evenness index, length frequency distribution, length-weight relationship, growth and surplus production of kekede snails. Finally, the results of this analysis was linked to fishing activities in the Laluin waters in order to determine it is effect on the structure of the kekede snail community.

Conus were found in Laluin waters by 9 species are Conus planorbis, Conus flavidus, Conus literatus, Conus leopardus, Conus marmoreus, Conus batulinus, Conus eburneus, Conus textile and Conus magus. Water quality in the Laluin relatively good for the growth of kekede. Conus flavidus had the highest density at Station 1 46 is ind/120m2 which was found in August and the lowest of that was Conus planorbisis 4 ind/120m2 which was found in September. The highest density at station 2 was C.tmarmoreus and C.flavidus 41 Ind /120m2 which was found in August and C.batulinus not found in September. Kekede snails types founded in station 1 and 2 have a clumped distribution pattern. At the both stations there is no dominant species. The value of kekede-species diversity at station 1 was moderate, while at station 2 that was high. Kekede species at both stations spread evenly. The length-range class of kekede consists of 6-8 class with the highest frequency was found in the interval of 27-69.76 mm. The kekede snails have 1st and 2nd generation which able to live in the same time and location.

The growth of kekede in Laluin waters classified as fast. This was saw at the value of maximum length (Lmaks) which ranged from 55.86-108.73 mm within 2 years. The length and weight of kekede snails were tending with length wise.

Catching activities of kekede snails constantly in this Laluin waters threats the population sustainability. Surplus production estimate was conduct by Schaeffer. MSY of 45,59 kg/week with maximum effort fishing people of 16 and catches of fishermen who are allowed at 38,87 kg/week. the strategies are needed to improve the management of kekede snails community structure, such as fishing-season, fishing size and activities aquaculture in the Laluin waters in order to keep the sustainable of kekede resources.

(7)
(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)
(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Perairan

ANALISIS KOMUNITAS SIPUT KEKEDE (

Conus

spp) DI

PERAIRAN LALUIN KAYOA MALUKU UTARA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(12)

Judul Tesis : Analisis Komunitas Siput Kekede (Conus spp) di Perairan Laluin Kayoa Maluku Utara

Nama : Rauda G. Kamal NIM : C251120121

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Fredinan Yulianda, MSc Ketua

Dr Ir Isdrajad Setyobudiandi, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Perairan

Dr Sigid Hariyadi, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 27 Januari 2015

(13)

PRAKATA

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah ini dengan judul Analisis komunitas Siput kekede (Conus spp) di Perairan Laluin Kayoa Maluku Utara. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya perairan Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis haturkan kepada Ayahanda H. Gani Kamal dan Ibundaku tercinta Hadijah Mahmud yang dengan tulus menyayangi, mengasuh dan mendidik penulis sejak kecil hinggá sekarang, Semoga selalu mendapat Rahmat dan lindungan dari Allah SWT.

Penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Penulis menyampaikan banyak terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada:

1. Dr. Ir Fredinan Yulianda M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. Ir Isdrajad Setyobudiandi M.Sc atas ketersediaan waktu untuk membimbing, memberikan arahan dan masukan dalam melakukan penelitian dan penyusunan tesis ini. Pengelolaan Sumberdaya Perairan yang telah banyak membantu dan kerjasama yang baik selama penulis menempuh studi.

5. Kakak-kakakku (Ka Ul, ka Udin, ka Ona, ka Sukri, ka aman, uci dan ka tia) serta ponakanku tersayang Alfayed, M.fadhil, dan Syifa terima kasih atas doa, motivasi, finansial dan semangat selama penulis menempuh studi.

6. Kepada seluruh keluarga besarku yang selalu membantu dan memberikan dorongan kepada penulis selama masa studi.

7. Syamsul Bahri L.M ST dan Keluarga yang telah memberikan dorongan, motivasi baik moril maupun materil selama penulis menempuh studi. 8. Sahabat-sahabat Citra, Ika dan Ka Ana yang telah banyak berbagi dalam

suka dan duka selama penulis menenpuh studi.

9. Rekan-rekan SDP 2012 (Alim, Caca, Ka pepen, Irma) dan yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu atas kerjasama, dukungan, motivasi, persahabatan selama penulis menenpuh studi.

10.Rekan-rekan dan Masyarakat Laluin yang telah membantu penulis selama proses penelitian.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna. Semoga karya ilmiah ini membawa manfaat bagi seluruh civitas IPB dan masyarakat Indonesia umumnya. bimbingan, petunjuk serta bantuan yang diberikan mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, Insya Allah, Amin.

Bogor, Januari 2015

(14)
(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR v

DAFTAR LAMPIRAN iv

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

2 METODE

Bahan dan Alat 3

Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian 3

Prosedur Percobaan 4

Analisis Data 5

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Fisika Kimia Air 11

Struktur Komunitas 13

Distribusi Frekuensi Ukuran 17

Sebaran Ukuran dan Kohort 19

Hubungan Panjang Bobot 26

produksi Surplus 29

Strategi Pnegelolaan 31

4 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan 32

Saran 31

DAFTAR PUSTAKA 33

(16)

DAFTAR TABEL

1. Alat dan Bahan yang digunakan dalam penelitian 3

2. Parameter Kualitas Air di Perairan Laluin 11

3. Analisis Pola Sebaran Siput Kekede pada Stasiun 1 15

4. Analisis Pola Sebaran Siput Kekede pada Stasiun 2 15

5. Analsis Indeks Keanekaragaman, Indeks Dominansi, dan Indeks Kemerataan pada Stasiun 1 dan 2 16

6. Panjang Rata-rata Siput Kekede berdasarkan Metode Bhattacharya 21

7. Pendugaan Parameter Pertumbuhan Siput kekede di Perairan Laluin 22

8. Nilai b Dari Beberapa penelitian Tentang Siput 26

9. Hasil tangkapan, upaya penangkapan dan CPUE Model Schaeffer 29

DAFTAR GAMBAR

1. Peta Lokasi Penelitian 3

2. Komposisi dan Kepadatan Jenis Siput Kekede Pada Stasiun 1 13

3. Komposisi dan Kepadatan Jenis Siput Kekede Pada Stasiun 2 14

4. Distribusi Frekuensi panjang Siput Kekede pada Stasiun 1 dan 2 17

5. Sebaran Ukuran dan Kohort Siput Kekede pada Bulan Agustus dan September 19

6. Pendugaan Parameter Pertumbuhan Siput Kekede 23

7. Hubungan Panjang dan Bobot Siput Kekede 26

8. Hubungan Hasil Tangkapan dan Upaya Penangkapan model Schaeffer 30

DAFTAR LAMPIRAN

1. Stasiun Penelitian 39

2. Alat dan Bahan yang di Gunakan Dalam Peneltian 40

3. Spesies yang di Temukan di Lokasi Penelitian 41

4. Data Kualitas Perairan 42

5. Selang Kelas dan Frekuensi 43

6. Pertumbuhan Von Bertalanfy 45

(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perairan laut terdapat berbagai jenis organisme perairan dan tersebar pada berbagai habitat. Organisme laut terdapat dalam jumlah yang melimpah dan memiliki nilai ekonomis penting karena dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kelas gastropoda umumnya dikenal dengan nama keong/siput, merupakan salah satu kelas dalam filum moluska yang paling banyak akan jenisnya. Di Indonesia jumlah jenis gastropoda diperkirakan sebanyak 1500 jenis dan salah satunya adalah conus (Nontji 2005).

Conus atau yang di kenal masyarakat dengan nama siput kekede merupakan genus dari family Conidae yang memiliki keragaman warna dan pola yang besar. Jumlah siput kekede cukup banyak ditemukan di perairan laut yang ada di seluruh dunia dan tidak kurang dari 16 spesies baru siput kekede teridentifikasi setiap tahunnya, dan hingga tahun 2009, siput kekede yang telah teridentifikasi berjumlah lebih dari 3253 spesies (Kohn dan Anderson 2010). Menurut Nontji (2005), Conus mempunyai pola gambar yang indah pada cangkangnya, misalnya loklak panjang (Conus gloria maris) merupakan siput indah yang tergolong paling langka di dunia yang hidup di Indonesia. Harganya dapat mencapai ratusan ribu rupiah per ekor, termasuk siput yang termahal di dunia.

Habitat siput kekede pada umumnya berada di daerah ekosistem pesisir seperti ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Siput kekede adalah hewan bentik/bentos, sehingga tempat hidup siput kekede adalah substrat atau dasar perairan, namun demikian ada juga yang hidup dengan cara membenamkan diri di dalam substrat (infauna). Kohn (1959) menyatakan siput kekede paling banyak ditemukan pada kawasan pantai dan platform dari terumbu karang, terutama pada substrat pasir di daerah pantai dan di celah-celah batu karang. National Geographic (2010) menambahkan bahwa siput kekede tersebar paling banyak di Kawasan Indo Pasifik Barat.

Siput kekede sudah dimanfaatkan oleh manusia terutama cangkangnya sebagai hiasan atau bahan baku untuk kerajinan tangan dan sumber makanan bernutrisi. Perairan Laluin merupakan satu–satunya perairan yang masyarakatnya banyak memanfaatkan siput kekede sebagai mata pencaharian (perikanan) dan konsumsi. Setiap hari para nelayan yang berasal dari desa Laluin maupun desa– desa di sekitarnya mengambil siput terutama jenis siput kekede untuk dikonsumsi dan dijual. Kegiatan tersebut berlangsung ketika air surut. Hasil survei awal menunjukkan bahwa satu orang nelayan kerang dapat mengambil minimal 3-8 kg dalam satu kali periode tangkap, sehingga dalam sebulan sekitar ±240 kg siput kekede diambil dari habitatnya. Jumlah ini suda sangat menurun, berdasarkan wawancara terhadap nelayan setempat di katakan bahwa beberapa tahun lalu jumlah tangkapan mereka 15-20 kg dalam sehari. Pengambilan siput kekede yang dilakukan oleh masyarakat tidak pernah memperhatikan komposisi ukuran dan berat, implikasinya siput kekede yang sedang tumbuh, berkembang dan memijah akan ikut tertangkap.

(18)

2

merasakan adanya penurunan produksi, hal ini karena peningkatan aktivitas penangkapan yang dilakukan dengan cara terus-menerus tanpa memperhitungkan akan mengancam kelestarian sumberdaya ini. Untuk mengantisipasi hal tersebut, diperlukan pengaturan daerah pencuplikan siput kekede dan ukuran yang layak tangkap. Hal ini dimaksudkan agar populasi siput kekede dapat dipertahankan secara lestari, maka di perlukan penelitian atau kajian tentang analisis komunitas siput kekede (Conus) di perairan Laluin Kecamatan Kayoa Selatan Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara.

Perumusan Masalah

Masyarakat nelayan Maluku Utara khususnya Kabupaten Halmahera Selatan desa Laluin telah memanfaatkan moluska sejak zaman dahulu sebagai bahan makanan. Permasalahan yang terjadi terhadap siput kekede adalah belum diketahuinya potensi stok siput kekede akan tetapi sudah dilakukan penangkapan yang cukup tinggi di daerah Halmahera Selatan khususnya di desa Laluin, sehingga terjadinya penurunan populasi siput kekede. Hal ini dapat di lihat dari hasil tangkapan yang cenderung berukuran kecil semakin dominan sehingga yang berukuran kecil tidak diberi kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Untuk mengatasi hal tersebut diperlukan analisis tentang ekologi dasar melalui pendekatan terhadap struktur komunitas di alam yang seperti (kepadatan, keanekaragaman jenis, indeks dominansi, indeks kemerataan, pola penyebaran, kelompok umur, hubungan panjang dan bobot), dan aktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi perairan tersebut, seperti parameter fisika-kimia air, dan setelah semua elemen tersebut dianalisis, sehingga dapat di lakukan manajemen pemanfaatan siput kekede yang baik sehingga potensi stok dapat tersedia dan berkelanjutan.

Tujuan Penelitian

Menganalisis komunitas siput kekede (Conus spp), tingkat eksploitasi yg berhubungan dengan kondisi komunitas dan strategi pengelolaan komunitas populasi siput kekede sehingga tetap lestari.

Manfaat Penelitian

(19)

3

2 METODE

Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan untuk mengukur parameter kualitas air, dan Conus (Tabel 1).

Tabel 1. Alat dan Bahan yang digunakan dalam Penelitian

Parameter Satuan Alat Tempat Analisis Kualitas air (Fisika-Kimia):

Suhu °C Horiba tipe U52 In situ

pH - Horiba tipe U52 In situ

Salinitas ‰ Horiba tipe U52 In situ

DO (Dissolved Oxygen) mg/l Horiba tipe U52 In situ

Substrat Visual In situ

Biologi Conus :

Jumlah dan kepadatan Ind/m2 Kuadran 1 x 1 In situ

panjang mm Jangka Sorong Digital Lab

Bobot g Timbangan Ohauss Lab

Data Tangkapan

Nelayan kg

Observasi dan wawancara

Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Perairan Laluin Kecamtan Kayoa Selatan Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku Utara pada bulan Agustus hingga Desember 2013 (Gambar 1).

(20)

4

Prosedur Percobaan

Penentuan Stasiun Pengamatan

Stasiun pengambilan siput kekede di tentukan berdasarkan substrat tempat hidup dari siput kekede. Terdapat 2 stasiun yang menjadi daerah penangkapan (gambar 1). Stasiun 1 terletak pada koordinat 000 03’ 62,1” LS dan 127042’ 66,3” BT dan stasiun 2 terletak pada koordinat 000,04’ 84,3” LS dan 1270 43’ 30,7” BT. Jarak antara stasiun 1 dan 2 yaitu ± 2 Km.

Pengambilan Sampel Siput Kekede dan Pengukuran Kualitas Perairan

Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 8 kali pengamatan yaitu tanggal 7 Agustus 2013, 14 Agustus 2013, 21 Agustus 2013, 28 Agustus 2013, 4 September 2013, 11 September 2013, 18 September 2013, dan 25 September 2013.

Tahapan penelitian meliputi pengamatan dan pengambilan sampel di lapangan di lakukan dengan metode transek kuadran (Setyobudiandi et al. 2009) Pengambilan sampel siput kekede dilakukan saat surut terendah dengan teknik line transek yang di tarik tegak lurus kearah laut sepanjang 100 m pada setiap stasiun. Setiap stasiun terdiri dari 3 transek garis, penempatan kuadran 1 x 1 m ke arah laut secara acak sebanyak 10 kali ulangan pada setiap transek garis. Selanjutnya dalam kuadran berukuran 1x1 m dilakukan perhitungan jumlah jenis siput kekede yang berada dalam kuadran, kemudian dilakukan identifikasi jenis dengan buku petunjuk(Dance, 1974, the encyclopedia of shells) dan (Eugene N. K, 1987, marine invertebrates of the pacific northwest), semua jenis siput kekede yang ditemukan diawetkan menggunakan formalin 10%, dilakukan pengukuran panjang dan penimbang berat siput kekede (pengukuran panjang dan penimbangan berat siput kekede dilakukan pada saat siput kekede masih dalam kondisi basah), pengukuran sampel air dilakukan sebanyak 8 kali selama penelitian. secara keseluruhan sampel air diukur secara insitu dengan menggunakan horiba.

Pengukuran Panjang (mm) dan Bobot (Gr) Siput Kekede

(21)

5

atas ke tepi cangkang bagian bawah (Tlig-Zouari et al. 2010). Pengukuran bobot tubuh total dilakukan dengan cara menimbang keseluruhan dari tubuh siput kekede beserta cangkangnya menggunakan timbangan Ohauss dengan ketelitian 0,01 g.

Analisis Data

Rumus yang digunakan untuk menghitung kepadatan, keanekaragaman jenis, indeks dominasi, indeks kemerataan, pola sebaran jenis, parameter pertumbuhan, umur, panjang bobot dan surplus produksi.

Kepadatan

Kepadatan adalah jumlah individu persatuan luas (Brower dan Zar 1977) dengan formulasi sebagai berikut:

Keterangan :

D = Kepadatan Conus (ind/m2)

Ni = Jumlah individu Conus tiap spesies (i = spesies ke-1, 2, 3,..9) (ind)

A = Luas transek kuadran (m2)

Keanekaragaman Jenis

Keanekaragaman spesies merupakan ciri khas struktur komunitas. Rumus yang di gunakan adalah rumus Shannon-Winner (Krebs 1989) :

Keterangan :

H' = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener

pi = Proporsi spesies ke-i (ni) terhadap jumlah total individu (N)

s = Jumlah total spesies di dalam komunitas

N = Jumlah total individu

n = Jumlah individu spesies ke-i

Nilai indeks keanekaragaman yang didapat kemudian di bandingkan berdasarkan stasiun penelitian.

Indeks Dominasi

Untuk mengetahui ada tidaknya dominasi dari spesies tertentu digunakan indeks dominasi simpson (Brower dan Zar 1977) yaitu:

Keterangan :

(22)

6

N = Jumlah individu total C' = Indeks dominasi Simpson

Nilai C' berkisar antara 0-1. Jika nilai C' mendekati 0 berarti tidak ada jenis yang mendominasi dan apabila nilai C’ mendekati 1 berarti ada salah satu jenis yang mendominasi.

Indeks Kemerataan

Kemerataan dapat di katakan sebagai keseimbangan, yaitu komposisi individu tiap spesies yang terdapat dalam suatu komunitas. Rumus indeks kemerataan (Krebs 1989) sebagai berikut :

Keterangan: tidak sama dan dalam ekosistem tersebut ada kecenderungan terjadinya dominansi spesies yang disebabkan oleh adanya ketidakstabilan faktor-faktor lingkungan dan populasi. Bila indeks keseragaman mendekati 1, maka hal ini menunjukkan bahwa ekosistem tersebut dalam kondisi yang relatif baik, yaitu jumlah individu tiap spesies relatif sama (Brower et al., 1989).

Pola Sebaran Jenis

Pola sebaran individu di alam ini ada tiga (3) macam, yaitu seragam, acak, dan mengelompok. Pola ini diketahui dengan menggunakan indeks penyebaran morisita (Id) (Brower dan Zar 1977).

Keterangan:

Id = indeks sebaran morisita

q = jumlah kuadran pengambilan sampel

ni = jumlah individu jenis pada kuadran pengambilan sampel ke - i

N = jumlah total individu jenis pada semua kuadran sampel Kriteria:

Id < 1 = penyebaran spesies bersifat seragam Id = 1 = penyebaran spesies bersifat acak

Id > 1 = penyebaran spesies bersifat mengelompok

Untuk menguji kebenaran Indeks Morisita diatas, digunakan suatu uji statistik yaitu Uji Chi-Square dengan persamaan berikut:

Keterangan: χ2

(23)

7

n = Jumlah unit pengambilan contoh xi = Jumlah individu tiap stasiun

N = Jumlah total individu yang diperoleh I = 1,2,3…,n

Distribusi frekuensi panjang adalah distribusi ukuran panjang pada kelompok panjang tertentu. Distribusi frekuensi panjang didapatkan dengan menentukan selang kelas, nilai tengah kelas, dan frekuensi dalam setiap kelompok panjang. Tahapan-tahapan analisis sebaran frekuensi panjang sebagai berikut:

1. Menentukan nilai maksimum dan nilai minimum dari seluruh data panjang cangkang total siput kekede.

2. Menentukan jumlah kelas dan interval kelas berdasarkan hasil pengamatan frekuensi pada setiap selang kelas panjang cangkang Siput kekede.

3. Menentukan limit bawah kelas bagi selang kelas yang pertama dan kemudian limit atas kelas. Limit atas didapatkan dengan cara menambahkan lebar kelas pada limit bawah kelas.

4. Mendaftarkan semua limit kelas untuk setiap selang kelas.

5. Menentukan nilai tengah kelas bagi masing-masing kelas dengan merata-ratakan limit kelas.

6. Menetukan frekuensi bagi masing-masing kelas.

Distribusi frekuensi panjang yang telah ditentukan dalam masing-masing kelas, diplotkan dalam sebuah grafik untuk melihat jumlah distribusi normalnya. Grafik tersebut dapat terlihat jumlah puncak yang menggambarkan jumlah kelompok umur (kohort) yang ada. Pergeseran sebaran frekuensi panjang cangkang menggambarkan jumlah kelompok umur (kohort) yang ada, bila terjadi pergeseran modus sebaran frekuensi panjang berarti terdapat lebih dari satu kohort. Distribusi frekuensi panjang dapat menentukan kelompok ukuran dari siput kekede yang ditemukan dengan melihat modus frekuensi panjang cangkang tersebut.

Parameter Pertumbuhan dan Umur

Parameter pertumbuhan siput kekede dilakukan dengan menggunakan pendekatan Plot-Walford yang mencakup panjang cangkang asimtotik (L∞), dan koefisien pertumbuhan (K) dari persamaan von Bertalanffy (Sparre dan Venema 1999) :

Lt = L∞ (1 - e-k(t-t0)) keterangan:

(24)

8

t0 = umur teoritis saat panjang sama dengan nol.

Pendugaan umur siput kekede pada umur teoritis (t0) berdasarkan

pengalaman Pauly (1980) dalam menganalisis data frekuensi panjang yang kemudian di kenal dengan dengan rumus empiris Pauly:

Log (-t0) = 0,3922 – 0,2752 (Log L) - 1,038 (Log K)

Parameter pertumbuhan siput kekede yang mencakup panjang cangkang asimtotik (L∞), koefisien pertumbuhan (K) dan umur teoritis pada saat siput mempunyai ukuran nol (t0) dianalisis menggunakan program Electronic Lengths Frequency Analysis (ELEFAN I) yang terakomodasi dalam program FiSAT II berdasarkan data frekuensi panjang cangkang.

Hubungan Panjang – Bobot

Menurut Babaei et al. (2010), panjang dan bobot adalah dua komponen dasar dalam biologi spesies pada tingkat individu dan populasi. Informasi tentang hubungan panjang-bobot (LWR) sangat penting bagi pengelolaan perikanan yang sesuai. Data panjang-bobot juga digunakan dalam investigasi fisiologis, serta untuk mendapatkan perkiraan variasi musiman dalam pertumbuhan atau produktivitas. Pola pertumbuhan siput kekede dapat diketahui melalui hubungan panjang cangkang dengan bobot tubuh siput kekede (berat basah) yang dianalisis melalui hubungan persamaan regresi kuasa (power regression) sebagai berikut (Sparre dan Venema 1999):

Potensi sumberdaya adalah jumlah maksimum yang dapat ditangkap dari suatu perairan setiap tahun secara berkesinambungan. Froose dan Binohlan (2003) menyatakan bahwa ada beberapa model produksi surplus yang dapat di gunakan untuk menduga potensi potensi sumberdaya perikanan. Tujuan utama penggunaan metode produksi surplus adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang (Tinungki 2005).

(25)

9

Keterangan :

CPUE = Hasil tangkapan per upaya penangkapan (kg/jumlah nelayan) Catch = Produksi siput kekede (kg)

Effort =Upaya penangkapan (jumlah nelayan/alat); penangkapan dilakukan menggunakan tangan, jika di asumsikan nelayan memiliki ketrampilan yang sama maka satu orang nelayan sama dengan 1 alat tangkap (penangkapan dilakukan pada saat air surut dengan rentan waktu yang sama)

Metode ini digunakan untuk menentukan tingkat upaya optimum yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi produktifitas stok secara jangka panjang, yang biasa disebut dengan hasil tangkapan maksimum lestari maximum sustainable yield (MSY). Teori yang mendasari model Produksi Surplus telah dikaji ulang oleh banyak penulis, misalnya Ricker (1975), Caddy (1980), Gulland (1983) dan Pauly (1984). Hasil tangkapan maksimum sustainable lestari (MSY) dapat diduga dari data masukan berikut :

F (i) = upaya pada minggu i, i=1,2,….,n

Y/f = Hasil tangkapan (dalam bobot) per unit upaya pada minggu I

Data yang di gunakan dalam model surplus produksi terdiri dari data time series,data yang di ambil tiap minggu (8 kali) selama 2 bulan.

Y/f dapat diturunkan dari hasil tangkapan, (Yi) dari minggu i untuk seluruh perikanan dan upayanya f (i), melalui :

Atau dengan pengamatan langsung berdasarkan sampel dari perikanan.

Upaya optimum model Schaefer dapat diperoleh dengan mensubtitusikan nilai koefisien regresi a dan b. Cara yang digunakan untuk mengekspresikan hasil tangkapan per unit upaya adalah dengan model linier sederhana Schaeffer (1945), yaitu :

Tinungki (2005), menyebutkan bahwa salah satu keuntungan model Schaefer adalah dapat digunakan dengan tidak tergantung pada adanya data kelimpahan stok. Jika data runtun waktu untuk data penangkapan dan upaya tersedia, maka pendugaan parameter-parameter dengan menggunakan metode regresi linear sederhana dapat dilakukan. Model Schaeffer mengasumsikan populasi pertumbuhan logistik yakni tangkapan meningkat secara cepat di awal, namun kemudian laju perubahannya melambat dengan peningkatan upaya (Coppola dan Pascoe 1998 in Tinungki 2005). Model ini menetapkan dua hasil dasar, yaitu:

1. Upaya penangkapan adalah suatu fungsi linear dari ukuran populasi (atau tangkapan per satuan upaya)

(26)

10

Maximum sustainable yield (MSY) atau merupakan hasil tangkapan optimum adalah dimana regresi linier sederhana yang di lakukan antara CPUE (sebagai variable x) dan upaya atau Effort (sebagai variable y) yang kemudian diperoleh koefisien (a) yaitu intersept dan (b) yaitu slope/kemiringan. Kemiringan, b, harus negatif bila hasil tangkapan per unit upaya (Y/f), menurun untuk setiap peningkatan upaya, (f). intersept, (a) bernilai positif.

Menurut Sparre & Venema (1999) tingkat pemanfaatan dinyatakan dengan persen (%) didapat dengan menggunakan rumus:

Keterangan:

TP = Tingkat pemanfaatan = Rata-rata hasil tangkapan

MSY = Potensi lestari (maximum sustainable yield)

Jumlah tangkapan yang di perbolehkan atau Total Allowable Catch (TAC) ditentukan dengan analisis produksi surplus dan berdasarkan prinsip kehati-hatian:

Jumlah tangkapan yang di perbolehkan (TAC) adalah 80 % dari potensi maksimum lestari (MSY) (FAO 1998). Oleh karena itu, agar kegiatan perikanan dapat dilakukan secara berkelanjutan maka jumlah hasil tangkapan sebaiknya tidak melebihi nilai TAC.

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Kawasan Penelitian

Perairan Laluin terletak di wilayah Kecamatan Kayoa Selatan Kabupaten Halmahera Selatan Provinsi Maluku utara. Desa Laluin merupakan ibu kota kecamatan yang memiliki penduduk terbanyak yaitu 360 kepala keluarga (KK) dan kurang lebih 90% penduduknya berprofesi sebagai nelayan. Secara administratif perairan Laluin memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : sebelah utara berbatasan dengan desa Pasir putih, sebelah selatan berbatasan dengan desa Posi-posi, sebelah timur berbatasan dengan desa Sagawele dan sebelah barat berbatasan dengan desa Orimakurunga, secara keseluruhan tedapat lima desa dan kelima desa ini di kenal dengan sebutan Pulau Waidoba. Pulau Waidoba merupakan salah satu gugusan pulau Kayoa yang terletak pada posisi 00 36’ 2’’ LU dan 1260 39’ 54’’ BT –

(27)

11

atau 21,67% dan luas pemukiman 110 Ha atau 1,51%, sedangkan luas perairannya sekitar 381.132 Ha atau 13,22% dari total luas Pulau.

Perairan Laluin memiliki substrat yang heterogen, substratnya terdiri dari substrat pasir berlumpur, berbatu, berpasir, pasir berkarang, dan karang mati. Kondisi substrat yang heterogen tersebut yang menyebabkan terdapat berbagai jenis biota laut, baik dari jenis moluska, maupun dari jenis-jenis biota laut lainnya seperti bintang laut, teripang dan bulu babi. Lokasi penelitian stasiun 1 (satu) berada pada titik koordinat sebagai berikut : 000 03’ 62,1” LS dan 1270 42’ 66,3” BT. Lokasi penelitian stasiun I memiliki kondisi dengan substrat dasar perairan adalah pasir, berbatu, karang hidup maupun mati dan terdapat beberapa biota serta jenis tumbuhan lainnya, sedangkan disepanjang pantai ditumbuhi oleh vegetasi mangrove, sedangkan stasiun II (2) berada pada titik koordinat 000,04’ 84,3” LS dan 1270 43’ 30,7” BT lokasi dengan substrat dasar pasir berlumpur, karang hidup maupun mati, dimana jarak antara stasiun I dan stasiun II ± 2 km.

Pemilihan kedua stasiun ini karena perairan Laluin merupakan daerah penangkapan Conus (siput kekede) yang di lakukan sejak dulu secara terus menerus. Kedua stasiun penelitian selain memiliki karakteristik perairan yang sama juga memilki tipe pasang surut yang sama yaitu pasang surut Tipe pasang surut di perairan ini adalah pasang surut harian ganda (semi diurnal tide) yaitu pasang surut yang terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan tinggi yang hampir sama dan terjadi secara berurutan dan teratur, dengan rata-rata waktu adalah 12 jam 24 menit (Zahel et al. 2000).

Kondisi Fisika-Kimia Air

Parameter fisika dan kimia merupakan faktor pembatas bagi distribusi dan kepadatan siput kekede, selain faktor tingkah laku dan interaksi antar organisme. Secara keseluruhan, kondisi kualitas perairan laluin masih mendukung kehidupan siput , karena memiliki tingkat toleransi yang tinggi terhadap lingkungan.

Tinggi rendahnya kelimpahan suatu organisme dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya faktor adalah fisika-kimia perairan yang meliputi suhu, salinitas, arus, pH, kedalaman air, dan substrat dasar. Faktor lain yang berpengaruh adalah ketersediaan nutrien dan adanya oksigen yang cukup. Allard and Moreau (1987) dalam APHA (2005).

Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan penyebaran siput kekede yang ada di perairan, serta merupakan indikator yang penting dalam menunjukkan perubahan ekologi.

Table 2. Parameter Kualitas Air di Perairan Laluin

Parameter lingkungan Stasiun

1 2

Suhu (0C) 28,02-29,07 28,05-28,70

pH 6,12-7,00 6,12-7,15

Salinitas (‰) 33,10-33,54 33,00-33,75

DO (mg/l) 6,20-7,90 6,30-8,20

(28)

12

perairan di tempat penelitian memperlihatkan nilai yang baik untuk kehidupan organisme air pada umumnya. Menurut Reynolds (1990), tingkat percepatan proses metabolisme dalam sel sejalan dengan peningkatan suhu, nilai maksimum metabolisme akan terjadi dalam sel hewan pada selang 25-400C. Sementara itu suhu perairan yang baik bagi biota laut adalah 15-320C (Kantor Menteri KLH dan LON LIPI in Porpeswadi, 1998).

Suhu sangat mempengaruhi laju pertumbuhan, karena suhu yang tinggi akan meningkatkan laju respirasi pada biota air (termasuk siput kekede) untuk pemeliharaan tubuh, sebagai konsekuensinya energi yang di peroleh untuk pertumbuhan somatik berkurang dan menyebabkan perkembangan organ-organ reproduksi berlangsung lama (Dudgeon dan Morton, 1983). Menurut Hutabarat dan Evans (1985), suhu merupakan salah satu faktor yang penting bagi kehidupan organisme di lautan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan organisme tersebut.

Salinitas pada stasiun 1 dan 2 berkisar antara 33,10-33,54‰ dan 33,00-33,75‰. Pola salinitas cenderung meningkat kearah perairan terbuka (laut), hal ini dapat disebabkan adanya pengaruh air laut yang semakin kuat dari pada pengaruh daratan. Penyebaran gastropoda di perairan intertidal sangat di pengaruh oleh salinitas. Daerah intertidal memiliki kisaran salinitas yang cepat berubah yang di pengaruhi oleh aliran air tawar yang berasal dari sungai maupun air hujan. Kondisi ini membuat gastropoda harus mampu beradaptasi dengan menyeimbangkan tekanan osmotik dalam tubuh dengan tekanan osmotik lingkungan. Nybakken (1997), mengatakan bahwa kerang-kerangan ataupun siput mampu hidup pada perairan estuari dengan salinitas 10-30 ‰ maupun pada perairan laut dengan salinitas berkisar antara 33-37 ‰.

pH di lokasi penelitian menunjukan pada stasiun 1 dan 2 adalah 6,12-7 dan 6,12-7,15. Kondisi pH yang tidak terlalu berbeda ini menandakan keadaan umum perairan yang relatif sama. pH selama pengamatan berada pada kisaran yang baik untuk pertumbuhan siput yaitu perairan dengan kisaran pH 6,5 – 9 (kantor Menteri KLH & LON –LIPI in Porpeswadi, 1998). Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup nomor 51 (2004) nilai pH yang sesuai untuk kehidupan biota laut berkisar antara 7-8.5mg/l.

Menurut Effendi (2003), jika pH antara 5,50-6,00 maka keanekaragaman bentosnya sedikit. Nilai pH berpengaruh dalam proses metabolisme dalam tubuh kerang. Jika proses metabolisme dapat berjalan dengan baik, maka kerang darah dapat tumbuh dan berkembang biak melalui energi yang di hasilkan dari proses metabolisme. pH mempengaruhi pertumbuhan kerang maupun siput karena pH yang terlalu rendah dapat merusak jaringan cangkang, mantel dan insang (Turgeon, 1988). Selama terjadi pemaparan terhadap pH rendah, kebutuhan kalsium untuk menyangga darah berasal dari cangkang dan mantel bukan dari insang.

(29)

13

perairan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi distribusi dan kelimpahan makrozoobenthos.

Struktur Komunitas

Jumlah individu siput kekede yang di temukan pada stasiun 1 dan 2 bervariasi. Jumlah individu terbanyak terdapat pada stasiun 2 (475 individu dari 9 spesies siput kekede) sedangkan pada stasiun 1 (275 individu dari 5 spesies). Komposisi dan kepadatan (ind/120m2) jenis siput kekede yang ditemukan pada Stasiun 1 dan Stasiun 2 di tampilkan pada Gambar 2 dan Gambar 3.

Gambar 2. Komposisi dan Kepadatan jenis Siput kekede (ind/120 m2) pada Stasiun 1

Berdasarkan Gambar 1 jenis siput kekede yang ditemukan pada stasiun 1 sebanyak 5 jenis yaitu: C.planorbis yang ditemukan pada bulan Agustus sebanyak 33 Ind/120m2 dan bulan September 4 Ind/120m2, C.flavidus pada bulan Agustus ditemukan sebanyak 46 Ind/120m2 dan bulan September 13 Ind/120m2, C.literatus pada bulan Agustus di temukan sebanyak 33 Ind/120m2 dan bulan September 21 Ind/120m2, C.leopardus pada bulan Agustus ditemukan sebanyak 37 Ind/120m2 dan bulan September 18 Ind/120m2, C.marmoreus pada bulan Agustus ditemukan sebanyak 40 Ind/120m2 dan bulan September sebanyak 30 Ind/120m2. Dapat dilihat bahwa pada stasiun 1 kepadatan tertinggi terdapat pada Conus flavidus yang ditemukan pada bulan September yaitu sebanyak 46 Ind/120m2 dan kepadatan terendah terdapat pada C.planorbis yang ditemukan pada bulan September sebanyak 4 Ind/120m2.

(30)

14

Gambar 3. Komposisi dan Kepadatan jenis Siput kekede (ind/120 m2) pada Stasiun 2

Jenis siput kekede yang ditemukan pada stasiun 2 sebanyak 9 jenis yaitu: C.planorbis yang ditemukan pada bulan Agustus sebanyak 11 ind/120m2 dan bulan September sebanyak 25 ind/120m2, C.flavidus pada bulan Agustus ditemukan sebanyak 41 Ind/120m2 dan bulan September sebanyak 27 Ind/120m2, C.literatus pada bulan Agustus ditemukan sebanyak 25 Ind/120m2 dan bulan September sebanyak 18 Ind/120m2, C.leopardus pada bulan Agustus ditemukan 26 Ind/120m2 dan bulan September sebanyak 35 Ind/120m2, C.marmoreus pada bulan Agustus ditemukan sebanyak 41 Ind/120m2 dan bulan September sebanyak 24 Ind/120m2, C.batulinus pada bulan Agustus ditemukan sebanyak 35 Ind/120m2 dan pada bulan September tidak di temukan, C.eburneus pada bulan Agustus ditemukan sebanyak 25 Ind/120m2 dan pada bulan September ditemukan sebanyak 12 Ind/120m2, C.textile pada bulan Agustus ditemukan sebnyak 38 Ind/120m2 dan pada bulan September ditemukan sebanyak 31 Ind/120m2, dan C.magus pada bulan Agustus ditemukan sebanyak 31 Ind/120m2 dan bulan September sebanyak 25 Ind/120m2. Dapat di lihat bahwa pada stasiun 2 kepadatan tertinggi terdapat pada C.marmoreus dan C.flavidus yaitu sebesar 41 ind/120m2 yang ditemukan pada bulan Agustus dan pada bulan September C.btulinus tidak ditemukan.

(31)

15

dalamnya. Banyak pula yang hidup sebagai pemakan bangkai-bangkai hewan bahkan ada pula yang sebagai pemangsa terhadap siput lainnya.

Kepadatan adalah besarnya populasi dalam satu unit ruang yang dinyatakan dalam jumlah individu atau biomasa dari populasi dalam setiap unit luas atau volume (Odum, 1971). Selanjutnya Nybakken (1992), menyatakan kepadatan yaitu kelimpahan organisme yang dihitung berdasarkan jumlah individu per luas areal dalam satuan individu/m2.

Tingginya nilai kepadatan menunjukan bahwa habitat, makanan dan ruang pada lokasi tersebut mampu mendukung kehadiran organisme di dalamnya (indra Aswandy at al, 2008). Kandungan substrat di sekitar mangrove mengandung banyak organik (Nybakken, 1992). Kondisi substrat berpengaruh terhadap perkembangan komunitas gostropoda dimana substrat yang terdiri dari lumpur dan pasir dengan sedikit liat merupakan substrat yang di senangi oleh gastropoda (Rangan, 1996).

Conus marmoreus dan C.flavidus juga banyak di temukan pada stasiun 2 karena sesuai dengan habitat hidupnya. Hal ini sesuai dengan penelitian Hendriks (2002) yang menemukan bahwa C.marmoreus dan C.flavidus banyak di temukan pada perairan dangkal, pasir, dan berbatu.

Tabel 3. Analisis pola sebaran siput kekede pada stasiun 1.

Spesies id χ2hit χtab Pola Penyebaran

C. Planorbis 5,01 770,42 C. flavidus 4,08 2383,22

C.literatus 4,48 1951,76 10,13 Mengelompok C. leopardus 4,30 2035,00

C. marmoreus 4,50 3466,82

Tabel 4. Analisis pola sebaran siput kekede pada stasiun 2.

Spesies id χ2hit χtab Pola Penyebaran stasiun 1 dan stasiun 2 (Tabel 1 dan 2) semua jenis siput kekede pola sebarannya mengelompok hal ini dapat di lihat bahwa indeks morisita (Id) lebih besar dari 1 (Id>1).

(32)

16

sesuai dengan preferensi habitatnya, selain itu juga diduga berhubungan dengan tipe substrat pada daerah pengamatan yaitu pasir berbatu dan berkarang yang merupakan areal yang tenang dan terlindung dari gerakan arus yang kuat serta ketersediaan makanan yang ada di sekitar tempat hidupnya.

Pola sebaran mengelompok ini juga berkaitan erat dengan hewan bentik untuk memilih daerah yang akan ditempatinya, khususnya substrat yang ada. Kemampuan hewan bentik memilih daerah untuk menetap serta kemampuannya untuk menunda metamorfosis membuat penyebarannya tidak acak (Nybakken 1998).

Tabel 5. Analisis indeks keanekaragaman, indeks dominansi dan indeks kemerataan pada stasiun 1 dan stasiun 2.

Stasiun H' C' E

1 1,73 0,33 1,41

2 2,47 0,22 1,40

Hasil perhitungan indeks keanekaragaman jenis (H') siput kekede yang diperoleh pada stasiun I adalah 1,73 dan stasiun 2 adalah 2,47 (Tabel 5) menunjukan bahwa keanekaragaman siput kekede pada stasiun 2 lebih tinggi di bandingkan pada stasiun 1. Keanekaragaman jenis yang diperoleh di lokasi penelitian ini disebabkan oleh jumlah spesies yang diperoleh, pada stasiun 1 spesies siput kekede yang di temukan sebanyak 5 spesies sedangkan pada stasiun 2 spesies siput kekede yang di temukan sebanyak 9 spesies. Suatu komunitas dikatakan mempunyai keanekaragaman yang tinggi jika komunitas itu disusun oleh banyak spesies, sebaliknya jika komunitas itu disusun oleh sedikit spesies maka keanekaragamannya rendah (Odum, 1971).

Keanekaragaman yang tinggi disebabkan oleh kondisi lingkungan yang stabil dan telah berlangsung lama. Hal ini memungkinkan jenis-jenis berevolusi sehingga sangat berspesialisasi untuk dapat menghuni habitat atau memanfaatkan habitat tertentu. suatu ekosistem yang mengalami gangguan serta komunitas yang tidak terkendali secara fisik dan biologis memberikan kecenderungan rendahnya keanekaragaman jenis (Sanders, 1968 dalam Nybakken, 1992).

Clark (1974), mengatakan keanekaragaman mengekspresikan variasi spesies yang ada dalam suatu ekosistem, ketika suatu ekosistem memiliki indeks keanekaragaman yang tinggi maka ekosistem tersebut cenderung seimbang. Sebaliknya, jika suatu ekosistem memiliki indeks kenekaragaman yang rendah maka mengindikasikan ekosistem tersebut dalam keadaan tertekan atau terdegradasi.

Nilai total indeks dominansi (C') untuk stasiun 1 sebesar 0,33 sedangkan pada stasiun 2 yaitu 0,22 (Tabel 5) yang berarti tidak ada jenis yang mendominasi pada tiap stasiun. Tidak adanya spesies yang mendominasi pada kedua stasiun penelitian disebabkan karena spesies-spesies siput kekede tersebut bersaing secara bersama-sama dalam memperoleh makanan dan beradaptasi terhadap lingkungan untuk mempertahankan hidupnya, sehingga dapat di katakan struktur komunitas dalam keadaan stabil dan tidak terjadi tekanan ekologis yang berlebihan terhadap biota dalam ekosistem tersebut.

(33)

17

menunjukan bahwa spesies siput kekede tersebar secara merata dan diduga karena meratanya ketersediaan sumber makanan sehingga siput kekede mampu mempertahankan diri dan dapat berkembang biak dengan baik.

Nilai indeks kemerataan dapat menunjukan ada tidaknya dominansi spesies pada suatu habitat. Tingginya nilai indeks kemerataan mencerminkan rendahnya dominansi spesies pada suatu lokasi, sedangkan nilai indeks kemerataan yang rendah menunjukan adanya salah satu spesies yang mendominasi dalam satu lokasi (Heryanto, 1986).

Distribusi Frekuensi Ukuran

(34)

18

(35)

19

Distribusi frekuensi panjang siput kekede bervariasi kisaran panjang kelas terdiri atas 6-8 kelas. Dengan frekuensi terbanyak di temukan pada selang kelas 27,00-69.76 mm (Gambar 4), hal ini menunjukan penangkapan siput kekede yang sangat intensif dengan variasi ukuran yang berbeda-beda mulai dari juvenile sampai dewasa.

Selain itu, diduga siput kekede pada ukuran 27,00-69,76 mm mempunyai daya tahan hidup yang lebih baik dibandingkan dengan ukuran yang lebih kecil dan lebih besar. Ketidakmampuan biota berukuran kecil dalam beradaptasi terhadap lingkungan yang tidak kondusif akan mempengaruhi ukuran siput yang tertangkap, sedangkan siput yang berukuran besar lebih cepat mengalami kematian.

Pada umumnya siput kekede melimpah pada selang kelas di antara kecil dan besar. Menurut Revare dan Sprocati (1997), bentuk distribusi frekuensi panjang tersebut disebabkan oleh lebih tingginya laju kematian pada selang kelas kecil dan besar, dan laju pertumbuhan lebih besar pada selang kelas di antaranya. Laju kematian pada selang kelas lebih muda berkaitan dengan tingkat kelangsungan hidup siput muda dan sangat sensitif terhadap tekanan lingkungan, sedangkan pada siput yang lebih tua tingkat kematian lebih di sebabkan oleh kegiatan penangkapan penduduk.

Berkurangnya jumlah siput kekede yang tumbuh hingga berusia tua dapat menyebabkan rendahnya mortalitas alami. Sehingga faktor kematian siput kekede lebih besar disebabkan oleh kegiatan penangkapan. Hal ini juga didukung oleh mata pencaharian penduduk Laluin yang mayoritas adalah sebagai nelayan.

Sebaran Ukuran dan Kohort

Analisis kelompok ukuran siput kekede menggunakan metode Bhattacharya menghasilkan satu dan dua kohort yang berbeda pada masing-masing kelompok ukuran spesies.

1. C. Planorbis 2. C. Leopardus

a. Agustus a. Agustus

(36)

20

3. C. marmoreus 4. C.flavidus

a. Agustus a. Agustus

b. September b. September

5. C. literatus 6. C.textile

a. Agustus a. Agustus

b. September b. September

7. C.magus 8. C.eburneus

a. Agustus a. Agustus

9.C.batulinus

a. Agustus

(37)

21

Tabel 6. Panjang rata-rata siput kekede berdasarkan Metode Bhattacharya

Spesies Bulan

Agustus September

C.planorbis Panjang Rata-rata (mm) 37,04 42,61

Populasi (individu) 32 20

SI n.a n.a

C.leopardus Panjang Rata-rata (mm) 37,04 42,61

Populasi (individu) 32 6,93

SI n.a n.a

C.marmoreus Panjang Rata-rata (mm) 42,78 25,57 & 140,20

Populasi (individu) 17,9 26 & 70,15

SI n.a n.a & 6.440

C.flavidus Panjang Rata-rata (mm) 53,3 35,37 & 60,04

Populasi (individu) 87 26,00 & 15

SI n.a n.a & 4,280

C.literatus Panjang Rata-rata (mm) 52,44 41,36

Populasi (individu) 43 30

SI n.a n.a

C.textile Panjang Rata-rata (mm) 55,7 63

Populasi (individu) 35 38

Umumnya satu generasi maupun dua generasi siput kekede ditemukan pada bulan agustus dan bulan September. Panjang rata-rata siput kekede pada bulan Agustus berkisar 37,04-63,23 mm, dan bulan September berkisar 25.7-140,20 mm

(Tabel 6). Selanjutnya dari analisis menggunakan metode Bhattacharya tersebut

(38)

22

C.planorbis, C.magus, C.textile dan C.eburneus tidak memiliki keberlanjutan generasi (SI<2).

Berdasarkan sebaran ukuran tersebut, ditemukan kelompok umur siput kekede yang mampu hidup dalam waktu dan lokasi yang sama, yaitu 1 dan 2 generasi (Gambar 5). Frekuensi kelompok ukuran yang ditemukan berbeda-beda dan cenderung menurun setiap minggunya. Hal ini menandakan pemanfaatan siput terjadi pada semua ukuran. Berdasarkan informasi dari nelayan, siput kekede yang masih berukuran kecil di jual kepada masyarakat untuk di jadikan hiasan sedangkan yang berukuran besar di jual sebagai bahan makanan. Pada bulan Juni sampai Desember merupakan musim penangkapan efektif dalam setahun dengan puncak penangkapannya terjadi pada bulan Agustus, sehingga diduga ukuran yang banyak tertangkap antara 27,00-69,76 mm. Namun untuk menentukan musim pemijahan dan rekruitmen siput kekede di perairan Laluin.

Frekuensi kelompok ukuran yang ditemukan berbeda-beda dan cenderung meningkat setiap minggunya, yang menandakan pemanfaatan pada ukuran yang mengalami rekruitmen ataupun pertumbuhan. Adanya perbedaan panjang maksimum yang diperoleh dapat diduga, disebabkan oleh beberapa faktor yaitu perbedaan pengambilan contoh, keterwakilan contoh yang diambil, dan diduga terjadinya tekanan penangkapan yang tinggi tiap tahunnya.

Table 7. Pendugaan parameter pertumbuhan siput kekede di perairan Laluin.

Spesies Lt=L∞ (1-e-K(t-t0))

C.Planorbis Lt=58,5 (1-e-0,53 (t-1,17)) C.flavidus Lt=80,85 (1-e-1,6 (t-1,36)) C.literatus Lt=105 (1-e-0,73 (t-1,10)) C.leopardus Lt=114,45 (1-e-0,86 (t-1,03)) C.marmoreus Lt=79,8 (1-e-0,82 (t-1,01)) C.batulinus Lt=109,2 (1-e-0,41 (t-1,36)) C.eburneus Lt=88,2 (1-e-0,86 (t+1,00)) C.textile Lt=75,6 (1-e-1 (t+0,92)) C.magus Lt=77,7 (1-e-0,36 (t+1,38))

Panjang asimtotik menunjukkan seberapa besar ukuran cangkang yang dapat dicapai oleh suatu individu siput (ukuran tua). Koefisien pertumbuhan (K) merupakan faktor penting untuk mengetahui laju pertumbuhan kerang mencapai ukuran asimtotik. Menurut Sparre dan Venema (1998. Dari nilai-nilai L∞ dan K yang telah diperoleh kemudian dianalisis untuk mendapatkan nilai t0 (umur pada

saat panjang sama dengan nol). Umur t0 dinamakan juga sebagai parameter

(39)

23

Gambar 6. Grafik pendugaan parameter pertumbuhan siput kekede Pendugaan pertumbuhan siput kekede (gambar 6) saat masih muda memiliki laju pertumbuhan yang signifikan dan cepat sedangkan ketika mencapai tua laju pertumbuhannya tidak terlalu cepat bahkan cendrung statis. Setyobudiandi (2004) dalam Tamsar et al. (2013), mengatakan bahwa di wilayah perairan sub-tropis laju pertumbuhan hewan perairan cenderung melambat pada saat suhu air rendah, dengan demikian pada umur tersebut ukuran pertambahan panjang akan semakin kecil atau dengan kata lain semakin tua umur siput tersebut maka semakin lambat pertumbuhannya atau sudah tidak dapat lagi tumbuh karena sudah mencapai panjang maksimal. Hal ini disebabkan ketika mencapai pertumbuhan panjang cangkang maksimum siput, maka energi yang digunakan lebih kepada reproduksi, dimana perkembangan dari gonad tidak diikuti dengan pertambahan berat tubuh (Yulianda 2007).

Setiap siput memiliki umur maksimal tertentu untuk mencapai panjang maksimalnya C.leopardus memiliki umur maksimum (tmaks) yaitu 2,45 tahun

untuk mencapai panjang maksimal (Lmaks) 108,73 mm, C.batulinus memiliki umur

maksimum (tmaks) yaitu 5,94 tahun untuk mencapai panjang maksimal (Lmaks)

mencapai panjang maksimal (Lmaks) 83,79 mm.

(40)

24

ukuran maksimumnya, namun semakin pendek masa hidupnya (Ward, 1967; Frank, 1969). Beverton and Holt (1975) mencatat bahwa K dapat di pergunakan sebagai sebuah indeks “laju pertumbuhan dasar” dari suatu spesies dan mempunyai nilai perbandingan pertumbuhan yang spesifik di dalam maupun antar spesies. Nilai ini mengukur kecepatan pengurangan dari pertumbuhan dengan pertambahan dalam umur, dan akan bertambah dengan berkurangnya lama waktu hidup dari suatu organisme.

Siput kekede memiliki pola pertumbuhan yang mengikuti kondisi lingkungan dibandingkan Pada lokasi yang tekanan lingkungan dan penangkapan tinggi siput kekede memiliki laju pertumbuhan untuk mencapai panjang tua (K dan Linf) sangat besar. Kurva pertumbuhan tersebut meperlihatkan bahwa

individu–individu muda dan juvenile tumbuh secara cepat hingga mencapai ukuran dewasa.

Adanya perbedaan panjang maksimum yang diperoleh dapat diduga, disebabkan oleh tekanan penangkapan yang tinggi tiap bulannya. Umumnya pada kondisi alami, siput kekede memiliki kecepatan tumbuh yang lebih cepat dibandingkan siput yang hidup di daerah tercemar. sebagian spesies ini memiliki laju pertumbuhan yang relatif cepat di lokasi dengan tekanan lingkungan dan penangkapan tinggi dibandingkan siput yang hidup lokasi alami. Hal tersebut dialami oleh C.flavidus dan C.textile, siput ini beradaptasi dengan mempercepat pertumbuhannya sehingga proses reproduksi cepat terjadi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yulianda (2003) dan Natan (2008) bahwa dalam kondisi buruk, moluska dapat mempercepat reproduksi atau memperlambatnya bahkan tidak bereproduksi sama sekali karena adanya ketidakseimbangan terhadap lingkungan perairannya.

Menurut Effendie (1997) ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan, diantaranya adalah faktor dalam dan faktor luar yang mencakup jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut, faktor kualitas air, umur, dan matang gonad.

Kecepatan pertumbuhan rata-rata hewan ini sebesar 0,16 mm/hari pada hewan muda dan kecepatan pertumbuhan akan melambat pada saat mulai memasuki stadia dewasa (Vermeij & Zipser 1986). Pola pertumbuhan cangkang siput kekede dipengaruhi oleh pertumbuhan mantel. Organ ini berperan dalam penyerapan bahan pembentuk cangkang. Pertumbuhan akan terganggu akibat parasit yaitu cacing trematoda yang menyerang organ gonad, sehingga selain kerdil juga dapat menyebabkan mandul (Lindner 1979).

(41)

25

C.leopardus, C.batulinus, C.eburneus, dan lebih besar dari C.Planorbis, C.flavidus, C.marmoreus, C.textile, dan C.magus. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sparre dan Venema (1999) bahwa nilai koefisien pertumbuhan (K) merupakan penentu seberapa cepat siput kekede mencapai panjang asimtotiknya (L∞) atau panjang maksimumnya, nilai koefisien laju pertumbuhan yang tinggi memerlukan waktu yang singkat untuk mencapai panjang asimptot dan yang mempunyai nilai koefisien laju pertumbuhan yang rendah memerlukan waktu yang lama untuk mencapai panjang asimptotnya.

Rentang hidup (tmaks) siput kekede di perairan Laluin berkisar antara

1,16-6,94 tahun dengan Lmaks yaitu 55,86-108,73 mm.. Hal ini menunjukkan bahwa

untuk mencapai panjang maksimal siput kekede membutuhkan waktu hingga 1,16-6,94 tahun. Siput kekede di perairan memiliki nilai K sebesar 0,41-1,6 per bulan dan L∞ berkisar antara 58,5-114,45 mm. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sparre dan Venema (1999) bahwa nilai koefisien pertumbuhan (K) merupakan penentu seberapa cepat panjang infiniti (L∞) di sebut juga dengan panjang rata-rata siput kekede yang sangat tua. Nilai L∞ yang lebih besar yaitu pada C.leopardus 114,45 mm, hal ini menunjukan umumnya semakin menuju kearah laut rata-rata panjang maksimum siput kekede semakin besar, sesuai dengan kelompok ukuran yang semakin besar ke arah laut. Nilai L∞ lebih besar mengidentifikasikan pengurangan kompetisi intraspesifik untuk makanan dan ruang (Yulianda, 1995).

Yonge (1976) dalam Andiarto (1989) mengatakan, bahwa pertumbuhan gastropoda dapat terganggu akibat parasit, biasanya cacing trematoda, parasit ini juga menyerang organ gonad sehingga selain kerdil juga dapat menyebabkan kemandulan. Sehingga diduga perbedaan nilai koefisien pertumbuhan dan nilai panjang asimtotik disebabkan karena adanya perbedaan genetik serta kondisi perairan yang berbeda.

Pertumbuhan individu merupakan perubahan ukuran dari suatu individu dalam kurun waktu tertentu, sehingga parameter pertumbuhan dapat di jadikan indikator pertumbuhan dari suatu individu pada lingkungan tertentu. Pertumbuhan individu di suatu habitat akan berbeda dengan habitat lainnya, di kerenakan pengaruh dari lingkungan dimana individu tersebut berada. Perbedaan dapat juga terjadi pada habitat yang berbeda meskipun pada jenis (spesies) yang sama, ataupun pada habitat yang sama namun spesiesnya berbeda.

Hubungan Panjang – Bobot

Pola pertumbuhan siput kekede dapat juga dilihat dari analisis hubungan panjang cangkang dan bobot total tubuh. Nilai koefisien b yang dimiliki siput kekede pada bulan agustus berkisar antara 1,067-2,485 dan pada bulan September berkisar antara 0,285-2,859. Nilai b menunujukan proporsi tubuh yang menggambarkan pertumubuhan panjang dan pertambahan bobot.

(42)

26

pada pertumbuhan isometrik siput kekede tidak sama dengan tiga 3. Nilai b di perairan Laluin kurang dari 3. Beberapa hasil pengukuran dari nilai koefisien regresi dari beberepa jenis siput menunjukan nilai kurang dari 3.

Tabel 8. Nilai b Dari Beberapa Penelitian Tentang Siput

No Spesies b Sumber Lokasi

1 Trochus niloticus 2,28 Abukena (2014) Maluku Tengah 2 Strombus canarium 2,35 Waris et al (2013) Riau 3 Babylonia spirata 2,45-2,78 Yulianda (2003) Pelabuhan ratu 4 Babylonia spirata 2,48 Novian et al (2013) Jepara

1.C.Planorbis

a.Agustus b.September 2.C.flavidus

a.Agustus b.September 3.C.literatus

(43)

27

4.C.leopardus

a.Agustus b.September 5.C.marmoreus

a.Agustus b.September 6.C.magus

a.Agustus b.September 7.C.textile

(44)

28

8.C.eburneus

a.Agustus b.September 9.C.batulinus

a.Agustus

Gambar 7. Hubungan panjang-bobot siput kekede; (a) Agustus; (b) September Hubungan panjang bobot merupakan bagian dari sifat morfometrik yang brekaitan dengan sifat pertumbuhan. Pertumbuhan merupakan pertambahan ukuran panjang atau bobot dalam suatu waktu, dimana pertumbuhan merupakan suatu proses biologi yang kompleks dan banyak faktor yang mempengaruhinya. Hasil studi hubungan panjang berat biota mempunyai nilai praktis yang memungkinkan merubah nilai panjang kedalam berat biota atau sebaliknya dan juga memberi keterangan biota mengenai pertumbuhan, kemontokan dan perubahan lingkungan (Effendie, 1979). Selanjutnya Ricker (1995) dalam Tamsar at al. (2013), menjelaskan bahwa proses pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor internal (kelamin, umur, parasit dan penyakit) dan faktor eksternal (makanan dan kondisi hidrologi perairan).

Pola pertumbuhan siput kekede di perairan Laluin menunjukan spesies siput kekede memiliki pola pertumbuhan cenderung memanjang yaitu pertambahan panjang lebih cepat dari pada bobot (seperti yang terlihat pada gambar 7). Selain itu pemanfaatan siput kekede dalam semua ukuran menyebabkan organisme ini tidak bisa memijah dan berkembang dengan baik.

(45)

29

seiring dengan pertambahan panjangnya sampai mencapai panjang cangkang maksimal.

Semakin banyak kandungan kalsium karbonat di dalam substrat maka pertambahan berat cangkang akan semakin cepat. Marshall at al. (2008), menyatakan bahwa selain tersedianya nutrisi yang cukup, faktor lain yang mempengaruhi pembentukan cangkang adalah kandungan kalsium dan pH dalam substrat. Kandungan kalsium yang tinggi dalam substrat akan mempercepat pembentukan cangkang akibatnya pertambahan cangkang akan lebih cepat dari pertambahan bobot.

Faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan nilai b selain perbedaan spesies adalah faktor lingkungan, tahap perkembangan, jenis kelamin, tingkat kematangan gonad, bahkan perbedaan waktu dalam hari karena perubahan isi perut, selain itu juga dapat disebabkan oleh perbedaan jumlah dan variasi ukuran yang diamati (Bagenal, 1978).

Produksi Surplus Siput Kekede

Tabel 9. Hasil tangkapan (kg), upaya penangkapan (jumlah nelayan) dan CPUE model Schaeffer

Waktu (minggu) C (hasil tangkapan/kg) F (jumlah nelayan) CPUE

08/07/2013 46 12 3,83

Dari hasil analisis menunjukan bahwa upaya penangkapan mengalami penurunan berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan faktor yang menyebabkan tidak stabilnya upaya penangkapan permintaan pasar, cuaca dan keadaan nelayan itu sendiri. Dari data yang di peroleh terlihat bahwa produksi dan effort mengalami penurunan hal ini merupakan suatu tanda bahwa sumberdaya siput kekede di perairan Laluin semakin menipis. Selain itu kapasitas sumberdaya yang terbatas mengalami penurunan akibat penangkapan yang terus meningkat. Guland (1983), mengatakan bahwa pada awal penangkapan terjadi peningkatan nilai CPUE karena bertambahnya effort dan selanjutnya akan terjadi penurunan nilai CPUE.

(46)

30

Berdasarkan model Schaffer, selama satu minggu jumlah nelayan yang melakukan penangkapan tidak boleh melebihi 16,38 (16 org nelayan). Hasil tangkapan maksimum lestari (MSY) dapat diduga dengan mensubtitusikan nilai koefisien regresi a dan b sebagai berikut:

Dari hasil analisis MSY dapat diduga tingkat pemanfaatan siput kekede di perairan Laluin selama 2 bulan :

Jumlah tangkapan yang di perbolehkan (JTB atau Total Allowable Catch) siput kekede di perairan Laluin yaitu 80 % dari potensi maksimum lestari (MSY):

Tingkat pemanfaatan siput kekede di perairan Laluin selama 2 bulan yaitu sebesar 70,43%, terlihat bahwa tingkat pemanfaatan siput kekede belum melebihi 80% dari jumlah tangkat yang di perbolehkan

Menurut model Schaeffer, untuk dapat memanfaatkan sumberdaya siput kekede secara lestari di perairan Laluin, maka potensi siput yang dapat di tangkap selama satu hari maksimal 48,59 kg/hari. Artinya hasil tangkapan maksimum lestari atau MSY siput kekede di perairan Laluin sebesar 48,59 kg/hari, dengan dugaan upaya penangkapan optimum 16 orang nelayan selama satu minggu dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 38,87 kg/hari.

Gambar 8. Kurva hubungan hasil tangkapan (C) dan upaya penangkapan (F) siput kekede di perairan Laluin berdasarkan model Schaeffer

Pendugaan produksi maksmum lestari (Maximum sustainable yield) di lakukan dengan menggunakan model produksi surplus dari Schaefer, data yang di

(47)

31

gunakan adalah data time series produksi siput kekede selama periode Agustus-September. Produksi tidak hanya di pengaruhi oleh banyaknya upaya penangkapan yang di lakukan tetapi mungkin juga di pengaruhi oleh sumberdaya siput kekede yang tersedia dan modal.

Berkurangnya jumlah siput kekede yang tumbuh hingga berusia tua dapat menyebabkan rendahnya mortalitas alami sehingga faktor kematian siput kekede lebih besar disebabkan oleh kegiatan penangkapan. Hal ini juga didukung oleh mata pencaharian penduduk desa Laluin yang mayoritas adalah sebagai nelayan.

Usaha penangkapan memang diyakini mendatangkan keuntungan yang lebih besar dibanding ranah usaha perikanan lainnya seperti budidaya dan pengolahan. Upaya penangkapan diukur oleh seberapa besar produksi yang dihasilkan dari upaya penangkapan. Sumberdaya hayati yang melimpah ditambah sifat sumberdaya yang open access mendorong masyarakat pemanfaat sumberdaya siput menjadikan produksi sebagai indikator dan target dalam pemenuhan aktivitas usaha penangkapan. Dengan karakteristiknya yang unik tersebut maka dalam pemanfaatannya dapat menyebabkan penangkapan berlebih (over fishing). Kondisinya menjadi berbahaya ketika upaya penangkapan tidak mengindahkan kaidah-kaidah keberlanjutan sumberdaya. Akhirnya kelestarian sumberdaya siput menjadi terancam dan itu berarti keberlanjutan sumberdaya juga terancam. Laju eksploitasi sumberdaya siput yang tinggi dan melebihi daya dukungnya berdampak langsung terhadap keberlanjutan ketersediaan sumberdaya, mempercepat proses kerusakan sumberdaya siput dan menurunnya pertumbuhan.

Rekomendasi Strategi Pengelolaan Siput kekede

Pemanfaatan siput kekede oleh masyarakat lokal bukan hanya sebatas sebagai sumber makanan tetapi juga berpotensi sebagai bahan baku hiasan dan aksesoris pakaian. Diperairan Laluin siput menjadi salah satu komoditas ekspor utama dan sumber mata pencarian penduduk lokal yang harganya Rp.5.000/kg. Semakin tingginya permintaan konsumen di khawatirkan akan berdampak pada meningkatnya upaya tangkap nelayan. Selama ini aspek pengelolaan siput kekede belum ada sama sekali. Tidak adanya TPI di daerah laluin juga mengakibatkan tangkapan siput kekede tidak terdata sama sekali. Hal ini menyebabkan terjadinya eksploitasi siput secara berlebihan guna memenuhi permintaan pasar, sehingga populasi siput di alam menurun drastis.

Berdasarkan informasi yang di dapat dari penelitian ini, dapat di buat upaya pengelolaan terkait sumberdaya siput di wilayah perairan Laluin. berdasarkan data ukuran tangkap siput kekede memiliki panjang 20-105 mm. Siput kekede yang tertangkap tergolong masih muda dan dewasa. Hal ini sesuai dengan penelitian John at. al (2009) yang menemukan bahwa ukuran juvenil conus di pulau Hawai berkisar antara 18-20 mm sedangkan pada panjang 65-95 mm conus mencapai fase matang gonad.

Gambar

Tabel 1. Alat dan Bahan yang digunakan dalam  Penelitian
Gambar 3. Komposisi dan Kepadatan jenis Siput kekede (ind/120 m2) pada
Gambar 4. Distribusi frekuensi panjang siput kekede di perairan Laluin.
Gambar 5. Sebaran ukuran dan kohort siput kekede; (a) Agustus; (b) September
+7

Referensi

Dokumen terkait

1) Peningkatan jumlah dan kualitas penelitian dosen tetap yang bidang keahliannya sesuai dengan program studi. 2) Peningkatan jumlah dan kualitas penelitian mahasiswa. 3)

Dampak dari terlambatnya informasi kepada pemegang saham adalah tidak cukupnya waktu dari pemegang saham untuk menganalisa dan memberikan masukan kepada perusahaan atas

Dengan menggunakan 46 orang responden yang berstatus mahasiswa, dan hasil respon diukur menggunakan metode statistika T-Test berpasangan, didapati hasil bahwa

Sebagian yang lain berpandangan bahwa untuk menjadi seorang pustakawan (bekerja di perpustakaan) tidak harus menempuh jenjang pendidikan tinggi, seperti sarjana dan

Askeri İdadideki Tarih öğretmeni Mehmet Tevfik Bey’de Mustafa Kemal’e Tarih alan ı nda “Yeni Ufuklar” açm ı ş (Cebesoy;1971), O’nda tarih sevgisi oluşturarak, vatan ı n

Hubungan pemetaan vegetasi mangrove ( Rhizophora mucronata ) dengan gastropoda yang ada di hutan mangrove Teluk Awur Jepara dapat dilihat gambaran bahwa

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pendidikan Ibnu Khaldun dalam perspektif sosiologi memandang pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi akal-pikiran,