BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pusataka
Pangan merupakan elemen penting dalam siklus kehidupan dan menjadi
hak azasi manusia untuk mendapatkannya dalam jumlah dan mutu yang
diinginkan. Peran pangan yang sangat strategis tersebut mewajibkan
Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk
mewujudkan ketahanan pangan yang sangat menentukan bagi
keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bertanah air. Kewajiban tersebut
tercakup dalam amanat Undang-Undang No.7 Tahun 1996 tentang pangan
(Broto, 2008).
UU No. 7 Tahun 1996 ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah No.
68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Di Peraturan Pemerintah
tersebut disebutkan bahwa dalam rangka pemerataan ketersediaan pangan
ke seluruh wilayah dilakukan distribusi pangan melalui upaya
pengembangan sistem distribusi pangan secara efisien, dapat
mempertahankan keamanan, mutu dan gizi pangan serta menjamin
keamanan distribusi pangan. Disamping itu, untuk meningkatkan
ketahanan pangan dilakukan diversifikasi pangan dengan memperhatikan
teknologi pengolahan dan produk pangan dan peningkatan kesadaran
masyarakat untuk mengkonsumsi aneka ragam pangan dengan gizi
seimbang (Anonim, 2002).
Kegiatan diversifikasi pangan telah dirintis sejak awal tahun 60-an. Saat
itu pemerintah mulai menganjurkan konsumsi bahan-bahan pangan pokok
selain beras. Di akhir Pelita I (1974), secara eksplisit pemerintah
mencanangkan kebijakan diversifikasi pangan melalui Inpres No. 14
Tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat dan disempurnakan
melalui Inpres No. 20 Tahun 1979 tentang Diversifikasi Pangan. Pada era
2000-an, pemerintah membentuk kelembagaan Badan Bimas Ketahanan
Pangan (yang kemudian menjadi Badan Ketahanan Pangan) dan dibentuk
pula Lembaga Fungsional Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang
langsung dipimpin oleh Presiden. Pada tahun 2004, 2005 dan 2006 dibuat
kesepakatan Gubernur, Walikota dan Bupati tentang perlunya upaya
diversifikasi pangan yang bertujuan untuk meningkatkan keanekaragaman
produksi bahan pangan segar maupun olahan, mengembangkan
kelembagaan pangan yang menjamin peningkatan produksi dan konsumsi
yang lebih beragam, mengembangkan bisnis pangan dan menjamin
ketersediaan gizi dan pangan bagi masyarakat (Marianto dan Baliwati,
Sebagian besar masyarakat Indonesia selama ini memenuhi kebutuhan
pangan sebagai sumber karbohidrat berupa beras. Ketergantungan
Indonesia terhadap beras yang tinggi, membuat ketahanan pangan nasional
sangat rapuh. Dari aspek kebijakan pembangunan makro, kondisi tersebut
mengandung resiko (rawan), yang juga terkait dengan stabilitas ekonomi,
sosial, dan politik. Salah satu kebijakan pembangunan pangan dalam
mencapai ketahanan pangan adalah melalui diversifikasi pangan, yang
dimaksudkan untuk memberikan alternatif bahan pangan sehingga
mengurangi ketergantungan terhadap beras (Husodo dan Muchtadi,
2004).
Penganekaragaman pangan, juga diharapkan akan memperbaiki kualitas
konsumsi pangan masyarakat, karena semakin beragam konsumsi pangan
maka suplai zat gizi lebih lengkap daripada jika didominasi oleh satu jenis
bahan saja. Pengertian penganekaragaman pangan mencakup peningkatan
jenis dan ragam pangan, baik dalam bentuk komoditas (bahan pangan),
pangan semi olahan dan olahan, maupun bentuk pangan yang siap saji.
Pendekatan penganekaragaman tersebut dalam program pembangunan
nasional dikenal dengan istilah diversifikasi horisontal dan vertikal.
Melalui pengembangan anekaragam budidaya pertanian (diversifikasi
horisontal) akan dihasilkan beragam pangan pokok seperti singkong, ubi,
pengembangan aneka produk pangan olahan akan dihasilkan produk
seperti tepung instan, kue, sereal, biskuit, bolu, dan sebagainya
(diversifikasi vertikal) (Briawan, dkk, 2004).
Bahan pangan yang dapat dikonsumsi sehari-hari dapat dikelompokkan
menjadi 9 (sembilan) kelompok besar. Jenis pangan pada masing-masing
kelompok dapat berbeda pada setiap daerah/kota sesuai sumberdaya
pangan yang tersedia. Secara Nasional bahan pangan dikelompokkan
sebagai berikut (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 1998) :
Tabel 2. Kelompok Bahan Pangan Nasional
No. Kelompok Bahan Pangan Komoditi
1. Padi-padian Beras, jagung, sorghum dan terigu
2. Umbi-umbian Ubi kayu, ubi jalar, kentang, talas dan sagu. 3. Pangan Hewani Ikan, daging, susu dan telur
4. Minyak dan Lemak Minyak Kelapa, minyak sawit 5. Buah/biji berminyak Kelapa daging
6. Kacang-kacangan Kedelai, kacang tanah, kacang hijau 7. Gula Gula pasir, gula merah
8. Sayur dan buah Semua jenis sayuran dan buah-buahan yang biasa dikonsumsi
9. Lain-lain Teh, kopi, coklat, sirup, bumbu-bumbuan, makanan dan minuman jadi
Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
Salah satu faktor penting yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah
kebiasaan pangan. Kebiasaan pangan merupakan cara individu memilih
makanannya dan kemudian mengkonsumsinya sebagai respon terhadap
kebutuhan fisiologi, psikologi, sosial dan budaya. Ragam kebiasaan
makan di kalangan bangsa Indonesia tidak terlepas dari perbedaan sosial
orang Maluku mengkonsumsi sagu, orang Papua menyukai umbi-umbian,
sebagian penduduk Jawa ada yang makan tiwul dan sebagian besar bangsa
Indonesia mengkonsumsi nasi (Nikmawati, 1999).
Terdapat hubungan yang erat antara faktor budaya dan kebiasaan makan.
Menurut den Hartog dan Van Staveren (1983), pangan selain untuk
memenuhi kebutuhan gizi tubuh, juga berperan dalam konteks budaya,
religi dan bahkan mistik. Preferensi pangan seseorang dapat berbeda antar
suku atau antar etnis dalam suatu bangsa. Konsumsi pangan,
sesungguhnya juga dipengaruhi aspek ketersediaan, daya beli masyarakat
dan pengetahuan gizi konsumen. Produksi pangan harus tersedia dengan
cukup agar dapat mencukupi kebutuhan akan pangan.
Menurut Kasno dkk (2006), tanaman umbi-umbian merupakan penghasil
protein nabati dan karbohidrat yang efisien, murah dan dapat digunakan
sebagai suplemen bahan pangan pokok beras dan terigu. Bahan pangan
dari umbi-umbian yaitu ubi kayu dan ubi jalar dalam bentuk segar
memiliki kandungan kalori dan protein yang rendah. Untuk memperoleh
kalori yang sama dengan beras, harus dikonsumsi ubi sebanyak 2–3 kali
beras. Sedangkan untuk memperoleh protein setara beras perlu dikonsumsi
Menurut Kasno dkk (2006), karakteristik rendah kalori ubi segar dapat
dihilangkan dengan memprosesnya menjadi bahan kering berupa irisan
atau tepung dengan kadar air setara beras dan aman simpan. Dengan bobot
yang sama ubi dalam bentuk kering atau tepung dapat memberikan kalori
yang sama dengan beras. Kelebihan dari tepung umbi itu sendiri adalah
ketahanan terhadap dehidrasi yang tinggi, sehingga produk pangan
yang dihasilkan dapat lebih lama di simpan, tanpa perubahan tekstur yang
berarti. Di samping itu tekstur yang halus, tidak berbau atau tidak apek,
lebih putih dari tepung sejenisnya mampu menghasilkan produk pangan
lebih enak, tekstur halus, namun renyah (utuk olahan kue-kue kering atau
makanan ringan biskuit, bolu, kue-kue basah, mie, dan
sebagainya) kelebihan lainnya adalah harga lebih murah dibandingkan
tepung-tepung lain yang berbasis impor.
2.1.1 Ubi Kayu
Menurut Sutrisno dan Edris (2009), ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.)
merupakan salah satu pangan sumber karbohidrat pengganti beras karena
memiliki kandungan gizi yang mendekati beras. Konsumsi ubi kayu
sebagai pangan alternatif cukup penting dalam mewujudkan
penganekaragaman pangan karena ketersediaannya cukup banyak dan
lahan marjinal. Kandungan gizi yang terkandung dalam ubi kayu dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 3. Kandungan gizi ubi kayu per 100 gram bahan
Zat Gizi Ubi Kayu Satuan
Ubi kayu merupakan penghasil karbohidrat yang efisien, murah dan dapat
digunakan sebagai bahan industri pembuatan tepung. Umumnya ubi kayu
diolah menjadi tepung tapioka dan gaplek. Namun saat ini telah dilakukan
pengembangan ubi kayu menjadi produk yang lebih bernilai tambah dan
dilaksanakan dengan menggunakan prinsip-prinsip bioteknologi. Produk
yang telah dihasilkan dari ubi kayu adalah Modified Cassava Flour (biasa
disebut Mocaf) yang menggunakan teknik fermentasi dengan mikroba
bakteri asam laktat (BAL). Teknologi ini terinspirasi oleh teknologi pada
pembuatan gatot makanan Indonesia dari ubi kayu dan cassava flour sour
kayu yaitu tepung tapioka, tepung gaplek dan tepung mocaf dapat dilihat
pada Tabel 4 (Rofiq dan Subagio, 2009).
Tabel 4. Kandungan gizi dari tepung ubi kayu per 100 gram bahan
Komposisi Tepung
Sumber : Depkes Gizi RI, 2000
Mocaf adalah produk produk dari ubi kayu yang diproses menggunakan
prinsip memodifikasi sel ubi kayu secara fermentasi. Mikrobia yang
tumbuh menyebabkan perubahan karakteristik tepung yang dihasilkan
berupa naiknya viskositas, kemampuan gelatinasasi, daya rehidrasi dan
kemudahan melarut. Mikroba juga menghasilkan asam-asam organik,
terutama asam laktat yang akan terimbibisi dalam bahan. Ketika bahan
tersebut diolah akan dapat menghasilkan aroma dan citarasa khas yang
dapat menutupi aroma dan citarasa ubi kayu yang cenderung tidak
menyenangkan konsumen. Selain proses fermentasi terjadi pula
kehilangan komponen penimbul warna, dan protein yang dapat
menyebabkan warna coklat ketika pengeringan. Dampaknya adalah warna
tepung ubi kayu biasa. Perbaikan kualitas tepung dipengaruhi oleh reaksi
biokimia selama fermentasi dengan bakteri asam laktat (BAL) (Suismono
dan Misgiarta, 2009).
Karakteristik ini membuat Mocaf sangat ideal digunakan sebagai
komposisi makanan dari produk-produk kering dan semi basah. Mocaf
cocok sekali untuk biskuit, kue, donat, campuran roti, campuran mie,
bakso, empek-empek dan kue-kue basah dan sebagainya. Sehingga sangat
berpotensi sebagai produk modern penyanding tepung terigu dan
komplemen tepung beras dan tepung gandum (Rofiq dan Subagio, 2009).
Mocaf juga mempunyai aspek kesehatan yang cukup menonjol, seperti
bebas gluten, kaya serat dan mudah difortifikasi. Ketiadaan gluten
menjadikan produk ini baik untuk penderita autis dan tidak menyebabkan
alergi yang terkadang muncul sebagai akibat mengkonsumsi gluten.
Mocaf juga kaya akan serat sehingga mempunyai efek sebagai prebiotik
yang membantu pertumbuhan mikroba menguntungkan dalam perut dan
cocok untuk penderita diabetes. Bentuknya yang tepung dengan
kandungan pati yang tinggi menjadikan Mocaf mudah untuk difortifikasi
dengan zat-zat gizi yang lain, sesuai dengan kebutuhan dari produk (Rofiq
2.1.2 Ubi Jalar
Ubi jalar (Ipomea batatas L.) berasal dari benua Amerika. Nikolai
Ivanovich Vavilov, seorang ahli botani Soviet, memastikan daerah
sentrum primer asal tanaman ubi jalar adalah Amerika Tengah. Ubi jalar
mulai menyebar ke seluruh dunia terutama Negara-negara beriklim tropis
pada abad ke-16. Orang-orang Spanyol menyebarkan ubi jalar ke kawasan
Asia terutama Filipina, Jepang, Indonesia. Pada tahun 1960-an penanaman
ubi jalar sudah meluas ke seluruh provinsi di Indonesia. Pada tahun 1968
Indonesia merupakan negara penghasil ubi jalar nomor empat di dunia
(Sri, 1997).
Ubi jalar merupakan komoditas sumber karbohidrat utama, setelah padi,
jagung dan ubi kayu, dan mempunyai peranan penting dalam penyediaan
bahan pangan, bahan baku industri maupun pangan ternak. Ubi jalar
dikonsumsi sebagai makanan tambahan atau sampingan, kecuali di Irian
Jaya dan Maluku, ubi jalar digunakan sebagai makanan pokok. Ubi jalar di
kawasan dataran tinggi Jayawijaya merupakan sumber utama karbohidrat
dan memenuhi hampir 90% kebutuhan kalori penduduk (Wanamarta,
1981).
Menurut Lingga (1984), ubi jalar dapat dimanfaatkan sebagai pengganti
makanan pokok karena merupakan sumber kalori yang efisien. Selain itu,
fosfor, besi dan kalsium. Di samping sumbangan vitamin dan mineral,
kadar karotin pada ubi jalar sebagai bahan utama pembentukan vitamin A
setaraf dengan karotin pada wortel. Kandungan vitamin A yang dicirikan
oleh umbi yang berwarna kuning kemerah-merahan. Kadar vitamin C
yang terdapat di dalam umbinya memberikan peran yang tidak sedikit bagi
penyediaan dan kecukupan gizi dan dapati dijangkau oleh masyarakat di
pedesaan. Dari kandungan gizinya, maka ubi jalar memiliki kesetaraan
dengan sumber pangan lain dan pada beberapa hal kandungan gizinya
lebih baik. Kandungan gizi ubi jalar disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Kandungan gizi Ubi Jalar di dalam 100 gram bahan
Komponen Gizi Umbi Putih Umbi Merah/Orange Umbi Kuning
Energi (kal) 123,0 123,0 136,0
Sumber : Depkes RI 1981 dalam Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan (2002).
Sebagai sumber karbohidrat, ubi jalar memiliki peluang sebagai subsitusi
bahan pangan utama, sehingga bila diterapkan mempunyai peran penting
beras. Pada saat krisis pangan akibat kegagalan panen maupun krisis
ekonomi, beras menjadi barang langka dan mahal karena harnganya
melonjak tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh masyarakat miskin.
Sementara itu, kebutuhan pangan tidak bisa ditunda, maka masyarakat
baik di pedesaan maupun di perkotaan memerlukan alternatif pangan
nonberas. Ubi jalar sebagai makanan tambahan maupun makan selingan,
selain cocok dengan selera masyarakat, harganya jauh lebih murah
dibandingkan dengan harga beras. Meskipun konsumsi beras tidak
semuanya dapat disubsitusi oleh ubi jalar, namun dalam saat krisis pangan
pemanfaatan ubi jalar sebagai alternatif sumber karbohidrat untuk
mengatasi kelangkaan pangan sangat kompetitif dibandingkan dengan
bahan pangan lainnya (Zuraida dan Supriati, 2001).
Menurut Damardjati dan Widowati (1994), dalam pengembangan program
diversifikasi pangan untuk mendukung pelestarian swasembada pangan,
ubi jalar merupakan komoditas pangan yang mempunyai keunggulan
sebagai penunjang program tersebut. Ubi jalar mempunyai potensi yang
cukup besar untuk ditingkatkan produksinya dan umbinya dapat diproses
menjadi aneka ragam produk yang mampu mendorong pengembangan
agroindustri dalam diversifikasi pangan. Alternatif produk yang dapat
dikembangkan dari ubi jalar menurut Damardjati dan Widowati, 1994 ada
ubi rebus, ubi goreng, kolak, nagosari, geruk dan pie; (2) produk ubi jalar
siap santap, seperti kremes, saos, selai; (3) produk ubi jalar siap masak,
umunya berbentuk produk instan seperti sarapan chips, mie atau bihun;
(4) produk ubi jalar bahan baku, bentuk produk ini umumnya bersifat
kering, merupakan produk setengah jadi untuk bahan baku, awet dan tahan
disimpan lama, antara lain irisan ubi kering (gaplek), tepung dan pati.
Menurut Antarlina dalam Zuraida dan Supriati (1998), penggunaan ubi
jalar yang masih terbatas pada pengolahan ubi segar menjadi penganan
secara tradisional perlu diusahakan menjadi suatu produk untuk bahan
baku dalam industri makanan. Tepung ubi jalar merupakan produk ubi
jalar setengah jadi yang dapat digunakan sebagai bahan baku dalam
industri makanan dan juga mempunyai daya simpan yang lebih lama.
Kandungan gizi tepung ubi jalar jika dibandingkan dengan tepung terigu
pada kadar air 7% menunjukkan bahwa kadar protein dan lemak tepung
ubi jalar lebih rendah daripada tepung terigu, tetapi mempunyai kadar abu
dan serat lebih tinggi serta kandungan karbohidrat hampir setara, yaitu
dapat dilihat pada tabel 6. Kandungan serat yang lebih tinggi pada tepung
ubi jalar menyebabkan warna tepung tidak putih. Nilai kalori pada tepung
ubi jalar lebih rendah daripada tepung terigu. Ternyata campuran 50%
karena lebih disukai, rasa enak, warna menarik, dan mempunyai tingkat
kemanisan sedang.
Tabel 6. Kandungan Gizi Tepung Ubi Jalar dibandingkan dengan Tepung Terigu
Kandungan gizi Tepung ubi jalar Tepung terigu
Air (%) 7,00 7,00
Sumber : Antarlina, 1998
Ubi jalar merupakan salah satu umbi-umbian yang mudah dibudidayakan
di berbagai wilayah di Indonesia. Badan Ketahanan Pangan bekerjasama
dengan Yayasan Gizi Kuliner selama ini telah mengembangkan aneka
resep berbahan baku tepung ubi jalar menjadi aneka kudapan dan cemilan
modern dengan cita rasa yang lezat, diantaranya adalah kue lumpur ubi
keju, bakpau ubi ungu, tape ubi jalar, keripik dan gaplek ubi jalar (BKP,
2009).
2.1.3 Konsumsi dan Produksi
Konsumsi adalah setiap kegiatan memanfaatkan, menghabiskan kegunaan
barang maupun jasa untuk memenuhi kebutuhan demi menjaga
kelangsungan hidup. Sedangkan menurut Dumairy (2004) konsumsi
adalah pembelanjaan atas barang dan jasa yang dilakukan oleh rumah
tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang
dan barang-barang kebutuhan lain digolongkan pembelanjaan atau
konsumsi. Barang-barang yang diproduksi untuk digunakan memenuhi
kebutuhan dinamakan barang konsumsi.
Produksi merupakan suatu kegiatan yang dikerjakan untuk menambah
nilai guna suatu benda atau menciptakan benda baru sehingga lebih
bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan. Kegiatan menambah daya guna
benda tanpa mengubah bentuknya dinamakan produksi jasa sedangkan
kegiatan menambah daya guna suatu benda dengan mengubah sifat dan
bentuknya dinamakan produksi barang. Produksi bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan manusia untuk mencapai kemakmuran.
Kemakmuran dapat tercapai jika tersedia barang dan jasa dalam jumlah
yang mencukupi (Soeharno, 2006).
2.2 Landasan Teori
Time Series (Data Berkala atau Data Deret Waktu) adalah data yang
dikumpulkan dari waktu ke waktu untuk menggambarkan perkembangan
suatu kegiatan atau sekumpulan hasil observasi yang diatur dan didapat
menurut aturan kronologis waktu, misalnya perkembangan produksi,
harga barang, hasil penjualan, jumlah penduduk, dan lainnya. Ada dua
tujuan dari analisis data berkala (Syukri, 2012):
a. Mengidentifikasi sifat dari fenomena diwakili oleh urutan pengamatan.
Kedua tujuan mengharuskan pola data berkala yang diamati diidentifikasi
terlebih dahulu. Dengan plot data ke dalam bentuk grafik dan melihat pola
yang terbentuk kita dapat menafsirkan dan kemudian menerapkan model
analisis yang sesuai untuk pola data tersebut untuk memprediksi kejadian
masa depan.
Analisis data deret waktu pada dasarnya digunakan untuk melakukan
analisis data yang mempertimbangkan pengaruh waktu. Data-data yang
dikumpulkan secara periodik berdasarkan urutan waktu, bisa dalam jam,
hari, minggu, bulan, kuartal dan tahun, bisa dilakukan analisis
menggunakan metode analisis data deret waktu. Analisis data deret waktu
tidak hanya bisa dilakukan untuk satu variabel (Univariate) tetapi juga
bisa untuk banyak variabel (Multivariate). Selain itu pada analisis data
deret waktu bisa dilakukan peramalan data beberapa periode ke depan
yang sangat membantu dalam menyusun perencanaan ke depan
(Syukri, 2012).
Analisis data berkala memungkinkan kita untuk mengetahui
perkembangan suatu atau beberapa kejadian serta pengaruhnya atau
hubungannya terhadap kejadian lain dan dapat pula membuat ramalan
berdasarkan garis regresi atau garis trend. Metode yang digunakan dalam
analisis data berkala adalah metode kuantitatif sehingga perlu diperhatikan
1. Ketersediaan informasi tentang masa lalu.
2. Informasi tersebut dapat dikuantitatifkan dalam bentuk data numerik.
3. Dapat diasumsikan bahwa beberapa aspek pola masa lalu akan terus
berlanjut di masa mendatang.
Menurut Supranto (2008), ada empat komponen pola gerakan atau variasi
data deret waktu adalah sebagai berikut:
1. Gerakan trend jangka panjang (long term movement or secular trend),
yaitu suatu gerakan yang menunjukkan arah perkembangan secara
umum (kecenderungan menaik/menurun). Perlu diketahui bahwa
garis trend sangat berguna untuk membuat peramalan yang sangat
diperlukan bagi perencanaan.
2. Gerakan siklus (cyclical movements), adalah gerakan jangka panjang
di sekitar garis trend (berlaku untuk data tahunan). Gerakan siklus ini
bisa terulang setelah jangka waktu tertentu (setiap 3 tahun, 5 tahun
atau lebih) dan bisa juga terulang dalam waktu yang sama.
3. Gerakan musiman (seasonal movements), adalah gerakan yang
mempunyai pola tetap dari waktu ke waktu. Walaupun pada
umumnya gerakan musiman terjadi pada data bulanan yang
dikumpulkan dari tahun ke tahun, gerakan musiman juga berlaku bagi
4. Gerakan yang tidak teratur atau acak (irregular or random
movements), adalah gerakan yang hanya terjadi sekali-kali dan tidak
mengikuti aturan tertentu dan karenanya tidak dapat diramalkan
terlebih dahulu.
Trend Turun
Gambat 1. Garis Trend Deret Waktu
Y=f(X)
Trend Naik
X
Waktu
X Waktu
Y=f(X)
Y=f(X Y=f(X)
(a) Trend Jangka Panjang
X X
Gambar 2. Komponen-komponen Data Deret Waktu
Trend melukiskan gerak data berkala selama jangka waktu yang panjang
atau cukup lama. Gerak ini mencerminkan sifat kontinuitas atau keadaan
yang serba terus dari waktu ke waktu selama jangka waktu tersebut.
Karena sifat kontinuitas ini, maka trend dianggap sebagai gerak stabil dan
menunjukkan arah perkembangan secara umum (kecenderungan
menaik/menurun). Trend sangat berguna untuk membuat peramalanan
(forecasting) yang merupakan perkiraan untuk masa depan yang
diperlukan bagi perencanaan. Trend dibedakan menjadi dua jenis, yakni
Trend Linier dan Trend Non Linier (Syukri, 2012).
Trend linier adalah merupakan model persamaan garis lurus yang
terbentuk berdasarkan titik-titik diagram pencar dari data selama kurun
waktu tertentu. Pada model trend ini garis vertikal (tegak) dinyatakan
sebagai jumlah perkembangan data yang akan dianalisis (y), dan untuk X X
(c) Trend Jangka Panjang, Gerakan Siklis dan Musiman
(d) Trend Jangka Panjang, Gerakan Siklis, Musiman dan Random (acak)
Y=f(X
garis horizontal (mendatar) dinyatakan sebagai waktu (x) (Supangat,
2007).
Analis trend linier dapat dilakukan dengan Metode Least Square (Metode
Kuadrat Terkecil). Trend dengan metode kuadrat terkecil diperoleh
dengan menentukan garis trend yang mempunyai jumlah terkecil dari
kuadrat selisih data asli dengan data pada garis trend. Dalam hal
menentukan nilai a dan b dengan menggunakan metode kuadrat terkecil
pada prinsipnya adalah membentuk persamaan normal Hesse, kemudian
perhatikan data yang tersedia, apakah jumlah data yang ada ganjil atau
genap, karena hal ini akan berpengaruh pada model penyelesaian
(Supangat, 2007).
Perhatian berikutnya adalah kapan waktu dasar ditetapkan, keberadaan
waktu dasar sangat berperan dalam menentukan nilai-nilai a dan b model
trend linier tersebut. Jika datanya ganjil atau genap, dan waktu dasar yang
ditetapkan berada pada posisi tertentu (tidak berada di tengah-tengah data
selama kurun waktu yang ditentukan), maka penyelesaiannya dikatakan
sebagai model penyelesaian dengan cara panjang (∑ 𝑥𝑥 ≠0), namun
demikian jika waktu dasar ditetapkan berada pada posisi di tengah-tengah
data selama kurun waktu yang ditentukan, maka model penyelesaian
dikatakan sebagai model penyelesaian cara pendek (∑ 𝑥𝑥 = 0), dengan
2.3 Kerangka Pemikiran
Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu untuk
mempertahankan hidup dan kehidupannya. Ketersediaan akan pangan
tersebut sangat tergantung oleh jumlah produksi dan jumlah konsumsi.
Pada masa sekarang ini kita tidak bisa lagi terus mengandalkan beras
sebagai konsumsi utama pangan karena ketersediaan pangan beras yang
semakin menurun, ditambah lagi jumlah penduduk yang semakin
meningkat.
Salah satu upaya alternatif yang ditempuh agar ketergantungan beras bisa
dikurangi serta pencapaian pola pangan yang memenuhi persyaratan
nutrisi adalah dikembangkannya diversifikasi pangan. Penanaman dan
pemanfaatan sumber pangan lokal terutama pangan non-beras selayaknya
menjadi bagian integral dari upaya memperkokoh ketahanan pangan
melalui kemandirian pangan. Salah satu pangan lokal yang dapat
digunakan untuk menjalankan program diversifikasi pangan tersebut
adalah umbi-umbian.
Program diversifikasi pangan di Sumatera Utara dengan mengkonsumsi
umbi-umbian disebut Manggadong. Umbian yang dimaksud dalam kajian
ini adalah ubi kayu dan ubi jalar. Ubi kayu dan ubi jalar merupakan bahan
pangan alternatif dan makanan pendamping nasi menuju ketahanan
makanan pendamping nasi tetapi juga diharapkan dapat dijadikan sebagai
menu makanan sehari-hari sehingga dapat terciptanya menu makanan
yang beragam dan berimbang yang tidak hanya mengkonsumsi beras
sebagai pangan pokok tunggal.
Ubi kayu dan Ubi jalar merupakan bahan pangan bersumber karbohidrat
tinggi setelah beras dan jagung. Ubi kayu dapat dikonsumsi langsung
ataupun diolah terlebih dahulu. Dari olahan ubi kayu dapat dibuat
beberapa aneka makanan yang enak dan baik untuk dikonsumsi. Sekarang
ini ubi kayu dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuat tepung
termodifikasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tepung Mocaf
sebagai pengganti tepung terigu sehingga dari ubi kayu dapat dibuat
berbagai macam makanan seperti roti, kue dan lainnya.
Ubi jalar sangat membantu dalam diversifikasi pangan. Ubi jalar dapat
dikonsumsi langsung dan rasanya yang lebih enak dan gurih. Olahan
makanan dari ubi jalar tidak kalah banyak dengan olahan ubi kayu.
Banyak aneka makanan yang dibuat dengan bahan baku ubi jalar yaitu
keripik, kue, bolu dan makanan lainnya. Sehingga ubi kayu dan ubi jalar
banyak digunakan sebagai bahan baku industri makanan.
Langkah awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
mengidentifikasi pola data produksi dan konsumsi ubi kayu dan ubi jalar.
belas tahun yaitu dari tahun 1996-2010. Dari data yang diperoleh pola data
yang digunakan adalah gerak trend (kecenderungan). Kemudian
penentuan metode peralamalan yang digunakan yaitu metode gerak trend
yang linier. Setelah metode sudah ditentukan, kemudian dilakukan
peramalan untuk produksi dan konsumsi ubi kayu dan ubi jalar untuk
tahun 2015-2025.
Setelah hasil ramalan diperoleh maka dapat dilihat bagaimana pencapaian
produksi dan konsumsi ubi kayu dan ubi jalar. Hasil ramalan tersebut
dapat digunakan oleh pemerintah untuk membuat suatu kebijakan dalam
pengadaan ubi kayu dan ubi jalar sebagi bahan pangan alternatif untuk
meningkatkan diversifikasi pangan berbasis umbi-umbian dalam
Gambar 3. Skema Kerangka Pemikiran
Keterangan :
: Menyatakan Hubungan
: Menyatakan Pengaruh Ubi Kayu
Peramalan Produksi Ubi kayu dan Ubi Jalar
2015-2025 Produksi Ubi Kayu dan Ubi Jalar
(1996-2010)
Ubi Jalar
Konsumsi Ubi Kayu dan Ubi
Jalar (1996-2010)
Peramalan Konsumsi Ubi Kayu dan Ubi Jalar 2015-2025
Hasil Peramalan Produksi dan Konsumsi Ubi Kayu
2.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah dan landasan teori yang dibuat, maka
hipotesis dari penelitian ini adalah
1. Produksi dan konsumsi ubi kayu Sumatera Utara (2015-2025) akan
mengalami trend yang menaik.
2. Produksi dan konsumsi ubi jalar Sumatera Utara (2015-2025) akan