• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Time Series Produksi Dan Konsumsi Pangan Ubi Kayu Dan Ubi Jalar Di Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Time Series Produksi Dan Konsumsi Pangan Ubi Kayu Dan Ubi Jalar Di Sumatera Utara"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS TIME SERIES PRODUKSI DAN KONSUMSI

PANGAN UBI KAYU DAN UBI JALAR DI SUMATERA

UTARA

SKRIPSI

OLEH:

MIMI HERI KARNI

090304103

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(2)

ANALISIS TIME SERIES PRODUKSI DAN KONSUMSI

PANGAN UBI KAYU DAN UBI JALAR DI SUMATERA

UTARA

SKRIPSI

OLEH:

MIMI HERI KARNI

090304103

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana

di Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan

KOMISI PEMBIMBING

Ketua Anggota

( Dr. Ir. Satia Negara Lubis M.Ec ) ( Sri Fajar Ayu, SP,MM, DBA NIP. 19630204199703 1 001 NIP. 19700827200812 2 001

)

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

(3)

ABSTRAK

Mimi Heri Karni “Analisis Time Series Konsumsi Pangan Ubi kayu dan Ubi Jalar di Sumatera Utara” yang dilakukan pada tahun 2013 dibawah bimbingan Bapak Dr.Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec serta Ibu Sri Fajar Ayu SP, MM, DBA.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis produksi serta produktivitas ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara (1996-2010), menganalisis konsumsi ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara (1996-2010), meramalkan produksi dan konsumsi ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara (2015-2025), dan menentukan alternatif kebijakan pangan dalam upaya meningkatkan diversifikasi pangan berbasis umbi-umbian di Sumatera Utara.

Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa wilayah penelitian ini termasuk sebagai sentra produksi pangan yang diteliti serta memiliki populasi penduduk yang cukup besar. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan diporeh hipotesi I dapat diterima dimana produksi dan konsumsi ubi kayu di Sumatera Utara mengalami trend yang menaik sedangkan untuk hipotesi II tidak diterima karena walaupun produksi ubi jalar di Sumatera Utara mengalami trend yang menaik, namun untuk konsumsi ubi jalar menalami trend yang menurun.

(4)

CURRICULUM VITAE

MIMI HERI KARNI, dilahirkan di Padangsidimpuan pada tanggal 21

November 1990 dari pasangan Bapak H. Muhammad Hendrik dan Ibu Hj.

Roswita Karni Pulungan. Penulis merupakan anak kedua dari 4

bersaudara.

Pendidikan yang pernah ditempuh penulis adalah :

1. Tahun 2002 lulus dari SD Negeri 200117 Padangsidimpuan

2. Tahun 2006 lulus dari SMP Negeri 4 Padangsidimpuan

3. Tahun 2009 lulus dari SMA Negeri 1 Padangsidimpuan

4. Tahun 2009 diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi

Agribisnis Departemen Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas

Sumatera Utara melalui jalur SMPTN

5. Bulan Juli-Agustus melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL)

di Desa Rawang Panca Pasar VI Kecamatan Rawang Panca Arga

Kabupaten Asahan

6. Bulan Januari-Maret 2013 melaksanakan penelitian untuk skripsi

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat

Rahmat dan KaruniaNya sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini

dengan baik. Adapun judul skripsi ini adalah Analisis Time Series

Produksi dan Konsumsi Pangan Ubi Kayu dan Ubi Jalar di Sumatera

Utara. Penelitian dilakukan di Kotamadya Medan.

Skripsi ini selesai berkat bantuan dan dukungan dari berbagai

pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak

yang telah mendukung penulis baik dari segi moril maupun materil, yakni:

1. Bapak Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec selaku Ketua Komisi

Pembimbing skripsi penulis.

2. Ibu Sri Fajar Ayu, SP, MM, DBA selaku Anggota Komisi

Pembimbing skripsi penulis.

3. Ibu Dr. Ir. Salmiah, MS selaku Ketua Departemen SEP FP-

USU dan Dosen Wali Penulis selama kuliah di FP-USU.

4. Seluruh Dosen dan Pegawai Departemen SEP FP-USU.

5. Seluruh Instansi terkait yang telah membantu penulis dalam

memperoleh data-data selama penelitian.

Pada kesempatan ini, dengan hati yang tulus, penulis mengucapkan

terima kasih yang tak terhingga kepada ayahanda H. Mhd. Hendrik dan

(6)

Karni dan adik penulis Loly Heny Karni, Putri Syawalani Heny Karni dan

seluruh keluarga yang telah memberikan dorongan semangat dan curahan

perhatian yang tidak ternilai.

Selanjutnya, penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada

teman – teman penulis stambuk 2009, senior dan junior lainnya yang telah

membantu dan memberikan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga hasil karya atau skripsi

ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas,

pengembangan ilmu dan masyarakat.

Medan, Agustus 2013

(7)

DAFTAR ISI

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian ..……….. 28

3.2 Metode Pengumpulan Data ………. 28

3.3 Metode Analisis Data ………... 28

3.4 Defenisi dan Batasan Operasional ………. 31

3.4.1 Defenisi Operasional ……….. 31

3.4.2 Batasan Operasional ……….. 32

BAB IV. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak dan Keadaan Geografis Sumatera Utara ………... 42

(8)

4.3 Keadaan Penduduk Sumatera Utara ………. 43

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Produksi serta Produktivitas Ubi Kayu dan Ubi Jalar

di Sumatera Utara (1996-2010) ……….. 45 5.2 Konsumsi Ubi Kayu dan Ubi Jalar di Sumatera Utara

(1996-2010) ……… 56 5.3 Peramalan Produksi serta Konsumsi Ubi Kayu dan Ubi Jalar

di Sumatera Utara (2015-2025) ………... 62 5.3.1 Peramalan Produksi dan Konsumsi Ubi Kayu ……… 62 5.3.2 Peramalan Produksi dan Konsumsi Ubi Jalar ………. 65 5.4 Alternatif Kebijakan untuk Meningkatkan Diversifikasi

Pangan Berbasis Umbi-umbian ……….. 70

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ……….. 77 6.2 Saran ………. 78

(9)

DAFTAR TABEL

No Keterangan Halaman

1. Tingkat Konsumsi Beras di Sumatera

Utara………

4. Kandungan Gizi Tepung Ubi kayu per 100 gr bahan………...

17

5. Kandungan Gizi Ubi jalar per 100 gr

bahan……….

20

6. Kandungan Gizi Tepung Ubi jalar dibandingkan Tepung

Terigu………..

22

7. Jumlah Penduduk Indonesia Tahun

2010……….

28

8. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan

Penduduk Menurut Kabupaten/Kota tahun 2010………

36

9. Produksi Ubi Kayu di Sumatera Utara (1996-2010)…………

37

10. Produktivitas Ubi Kayu di Sumatera Utara (1996-2010)…….

39

11. Produksi Ubi Jalar di Sumatera Utara (1996-2010)………….

43

12. Produktivitas Ubi Jalar di Sumatera Utara (1996-2010)……..

45

13. 14.

15.

Konsumsi Ubi Kayu di Sumatera Utara (1996-2010)………..

Konsumsi Ubi Jalar di Sumatera Utara (1996-2010)………...

(10)

16.

Angka Ramalan Produksi dan Konsumsi Ubi Kayu di Sumatera Utara (2015-2025)………

Angka Ramalan Produksi dan Konsumsi Ubi Jalar di Sumatera Utara (2015-2025)………

55

(11)

DAFTAR GAMBAR

No Keterangan Halaman

1. Garis Trend Deret

Waktu………

21

2. Komponen-komponen Data Deret

Waktu………

22

3. Skema Kerangka

Pemikiran……….

26

4. Produksi Ubi Kayu di Sumatera Utara (1996-2010)…………

38

5. Produktivitas Ubi Kayu di Sumatera Utara (1996-2010)…….

39

6. Produksi Ubi Jalar di Sumatera Utara (1996-2010)………….

44

7. Produktivitas Ubi Jalar di Sumatera Utara (1996-2010)……..

45

8. Konsumsi Ubi Kayu di Sumatera Utara (1996-2010)………..

49

9. Konsumsi Ubi Jalar di Sumatera Utara (1996-2010)………...

52

10 Ramalan Produksi dan Konsumsi Ubi Kayu di Sumatera Utara (2015-2025)………

56

11. Ramalan Produksi dan Konsumsi Ubi Jalar di Sumatera Utara (2015-2025)………

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Keterangan

1. Jumlah Penduduk Sumatera Utara (1996-2010)

2. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Ubi Kayu (1996-2010)

3. Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Ubi Jalar (1996-2010)

4. Konsumsi Ubi Kayu Penduduk Sumatera Utara (1996-2010)

5. Konsumsi Ubi Jalar Penduduk Sumatera Utara (1996-2010)

6. Trend Produksi Ubi Kayu dengan Metode Least Square

7. Trend Produksi Ubi Jalar dengan Metode Least Square

8. Trend Konsumsi Ubi Kayu dengan Metode Least Square

9. Trend Konsumsi Ubi Jalar dengan Metode Least Square

10. Peramalan Produksi dan Konsumsi Ubi Kayu Sumatera Utara

(2015-2025)

11. Peramalan Produksi dan Konsumsi Ubi Jalar Sumatera Utara

(13)

ABSTRAK

Mimi Heri Karni “Analisis Time Series Konsumsi Pangan Ubi kayu dan Ubi Jalar di Sumatera Utara” yang dilakukan pada tahun 2013 dibawah bimbingan Bapak Dr.Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec serta Ibu Sri Fajar Ayu SP, MM, DBA.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis produksi serta produktivitas ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara (1996-2010), menganalisis konsumsi ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara (1996-2010), meramalkan produksi dan konsumsi ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera Utara (2015-2025), dan menentukan alternatif kebijakan pangan dalam upaya meningkatkan diversifikasi pangan berbasis umbi-umbian di Sumatera Utara.

Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa wilayah penelitian ini termasuk sebagai sentra produksi pangan yang diteliti serta memiliki populasi penduduk yang cukup besar. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan diporeh hipotesi I dapat diterima dimana produksi dan konsumsi ubi kayu di Sumatera Utara mengalami trend yang menaik sedangkan untuk hipotesi II tidak diterima karena walaupun produksi ubi jalar di Sumatera Utara mengalami trend yang menaik, namun untuk konsumsi ubi jalar menalami trend yang menurun.

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak

meledaknya pertumbuhan penduduk dunia dan pengaruh perubahan iklim

global yang makin sulit diprediksi. Fluktuasi harga bahan bakar fosil yang

mencapai nilai US$ 150/barel, spekulasi harga bahan pangan dan fluktuasi

pendapatan rumah tangga turut memicu terjadinya krisis pangan. Pangan

bukan hanya sekedar menjadi komoditas ekonomi tetapi telah menjadi

komoditas politik yang memiliki dimensi sosial yang meluas. Di beberapa

negara, seperti Maroko, Senegal, Meksiko, Uzbekistan, Etiopia, Pantai

Gading, Papua Nugini, Mauritania, Yaman, Filipina dan Korea Utara,

krisis pangan telah menyulut gejolak sosial. Di dalam World Food Summit

pada tahun 1996, para pemimpin dunia bertekad untuk melawan kelaparan

dengan agenda menghapus 400 juta warga miskin dan lapar, tetapi hingga

tahun 2002, kecepatan pengentasan kemiskinan dan kelaparan hanya

mencapai 6 juta/tahun dari target 22 juta/tahun (Wiroto, 2003).

Di Indonesia, isu kelangkaan pangan dan malnutrisi di beberapa daerah

telah banyak diberitakan dan sangat ironi sekali bahwa daerah rawan

pangan dan terancam rawan pangan sebenarnya memiliki potensi sumber

(15)

saat ini, sudah barang tentu bahwa setiap negara akan mencukupi

kebutuhan negaranya masing-masing. Negara dengan surplus pangan pun

tidak akan serta merta untuk melakukan eksport, karena surplus akan

disimpan sebagai cadangan pangannya. Berbagai upaya dilakukan untuk

mempersiapkan diri menghadapi ancaman krisis global pangan.

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2005 menunjukkan

bahwa sepertiga kecamatan di Indonesia yaitu berjumlah 5.570 kecamatan

mengalami masalah gizi serius. Sedangkan dari hasil pemetaan status

nutrisi terkini yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) bekerjasama

dengan Badan Pangan Dunia (World Food Programme/WFP) dan

AUSAID di 30 provinsi di Indonesia, diketahui bahwa persentase gizi

buruk masih lebih dari 30%. Tingkat relevansi malnutrisi tertinggi di

kecamatan-kecamatan yang berada di wilayah Sumatera Utara, Sumatera

Barat, Sumatera Selatan, Jambi, Jawa Timur, NTB, NTT dan Kalimantan

Barat. Tingkat konsumsi kalori penduduk juga masih kurang yaitu 1.700

kkal/kapita/hari, jauh lebih rendah dari standar internasional kebutuhan

kalori minimun orang dewasa yakni sebesar 2.100 kkal/kapita/hari.

Pada tahun 2004, peta rawan pangan (Food Insecurity Atlas)

dikelompokkan pada tiga dimensi ketahanan pangan yaitu ketersediaan

pangan, akses terhadap pangan dan penyerapan pangan. Hasil penyusunan

(16)

tahan pangan hingga sangat tahan pangan: Jawa; 3) Kondisi agak rawan

pangan: NTB, NTT, sebagian kecil Kalimantan Timur dan Kalimantan

Tengah; 4) Kondisi cukup rawan pangan hingga rawan pangan: Sumatera

Utara; 5) Kondisi rawan pangan: sebagian besar Kalimantan Barat; 6)

Kondisi agak rawan pangan hingga rawan pangan: sebagian besar

Sulawesi Tenggara dan Gorontalo; 7) Kondisi agak rawan pangan hingga

sangat rawan pangan : Maluku, Maluku Utara dan Papua (BKP, 2005).

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan menyebutkan

bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap

rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik

jumlah maupun mutu, aman, merata dan terjangkau. Pembangunan pangan

ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan produktivitas sumberdaya

manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan

nasional. Konsumsi pangan penduduk Indonesia masih belum memenuhi

kecukupan gizi. Kuantitas, kualitas dan keragaman pangan belum

memenuhi kaedah berimbang, karena masih didominasi oleh serealia

khususnya beras, sebaliknya kontribusi jagung, umbi-umbian,

kacang-kacangan, pangan hewani, sayur-sayuran dan buah-buahan masih sangat

kurang. Ketergantungan terhadap beras dapat diperlonggar dengan

penganekaragaman pangan melalui perubahan citra bahan pangan pokok

(17)

Program peningkatan ketahanan pangan dimaksudkan sebagai upaya

untuk menjaga ketersediaan pangan nasional (beras dan sumber bahan

pangan lain), agar dapat dipenuhi dan diproduksi domestik sehingga

mampu mengurangi ketergantungan akan impor. Sumatera Utara sebagai

daerah agraris yang memprioritaskan pertanian sebagai sektor andalan

pembangunan daerahnya, juga mengalami permasalahan kekurangan

pangan khususnya beras setiap tahunnya.

Maka untuk mengatasi hal tersebut pemerintah melakukan diversifikasi

pangan. Dengan dilakukannya program diversifikasi pangan di Sumatera

Utara membuat konsumsi beras di Sumatera Utara sejak beberapa tahun

terakhir mengalami penurunan. Penurunan konsumsi beras rata-rata 1,89%

per tahun diharapkan bisa meningkatkan ketahanan pangan di Sumatera

Utara. Data konsumsi beras dapat dilihat pada tabel 1. Penurunan

konsumsi beras ini dikarenakan pemerintah melakukan sosialisasi

peningkatan konsumsi bahan pangan nonberas seperti umbi-umbian,

kentang, sayuran dan bahan pangan lainnya (BKP, 2012).

Tabel 1. Tingkat Konsumsi Beras di Sumatera Utara

Tahun Konsumsi Beras (Kg/kapita)

2009 139,50

2010 136,85

2011 134,24

(18)

Satu diantaranya yaitu dengan membangkitkan kearifan lokal di Sumatera

Utara, yakni mengkonsumsi ubi sebelum makan nasi terutama ubi jalar,

dengan sebutan Manggadong (memakan ubi). Manggadong merupakan

program dari Badan Ketahanan Pangan Sumatera Utara untuk

mempercepat diversifikasi pangan berbasis sumber daya dan budaya lokal.

Program manggadong merupakan budaya leluhur yang sudah ada sejak

zaman orde baru dan merupakan kearifan lokal yang terdapat di daerah

Tapanuli. Umbi-umbian merupakan sumber karbohidrat yang mempunyai

potensi untuk dikembangkan sebagai bahan pangan alternatif (pengganti

beras dan tepung terigu). Tanaman umbi-umbian yang dimaksud dalam

kajian ini adalah ubi kayu dan ubi jalar.

Ubi kayu dan ubi jalar merupakan tanaman yang sudah lama dikenal dan

dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia. Hal tersebut tercermin dari

daerah penyebaran komoditas tersebut di hampir seluruh provinsi di

Indonesia. Sebagai bahan sumber karbohidrat, ubi kayu dan ubi jalar

banyak dimanfaatkan untuk bahan pangan, bahan pakan serta bahan baku

industri (pangan dan kimia).

Di Indonesia luas panen ubi kayu pada tahun 1999 mencapai 1,34 juta

hektar dan ubi jalar mencapai 0,167 juta hektar. Produksi ubi kayu dan ubi

jalar segar masing-masing sebesar 16,3 juta ton dan 1,627 ton, bahkan

(19)

tahun 2008. Produksi umbi-umbian di Sumatera Utara hingga oktober

2011 meningkat. Peningkatan terjadi pada produksi ubi kayu yang telah

mencapai 811.517 ton dan ubi jalar sebanyak 109.883 ton. Berdasarkan

data produksi ubi kayu yang mencapai 811.517 ton ini diperoleh dari luas

tanam 31.849 hektar dan panen 28.814 hektar. Sedangkan produksi ubi

jalar sebanyak 109.833 ton dari luas tanam 10.351 hektar dan panen 9.009

hektar (BPS, 2012).

Jumlah penduduk Sumatera Utara pada tahun 2010 yaitu 12.985.075 juta

jiwa (BPS, 2011) dengan pertumbuhan yang masih tinggi mendorong

Pemerintah untuk terus meningkatkan produksi ubi kayu sebagai bahan

pangan alternatif mendukung ketahanan pangan Nasional. Ubi kayu

banyak digunakan sebagai bahan pangan untuk dikonsumsi langsung

maupun digunakan sebagai bahan baku industri yang diolah menjadi

beranekaragam makanan dan maupun olahan setengah jadi yaitu tepung

Mocaf yang saat ini diharapkan mampu menjadi barang subsitusi

pengganti tepung terigu. Komoditi umbi-umbian sudah banyak

dikembangkankan oleh petani. Ini didukung dengan tingginya harga jual

dan permintaan pasar. Untuk peningkatan produksi ubi kayu, dibantu dari

beberapa perusahaan seperti PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II yang

menyewakan lahannya hingga ribuan hektar ke petani di Kabupaten Deli

(20)

Seperti halnya ubi kayu, sebagian besar ubi jalar juga dimanfaatkan

sebagai bahan pangan, baik secara langsung (direbus, digoreng, dioven)

atau setelah melalui proses pengolahan (kue basah, kue kering, roti, mie,

selai). Hanya sebagian yang digunakan untuk bahan pakan dan baku

industri. Sejalan dengan Program Diversifikasi Pangan, ubi jalar yang

banyak mengandung karbohidrat, mineral dan vitamin ubi jalar juga

berpeluang dimanfaatkan sebagai sumber pangan alternatif (non beras),

bahkan dengan beberapa keunggulannya yaitu mengandung betakaroten,

antosianin, senyawa fenol dan serat pangan, ubi jalar juga dapat dijadikan

sebagai makanan untuk kesehatan.

Dengan keunggulan dan pemenuhan kebutuhan gizi yang cukup,

pengadaan ubi kayu dan ubi jalar sebagai pangan lokal alternatif yang

bersumber daya lokal cukup menjanjikan. Sehingga sebagai sumber

pangan alternatif yang digunakan oleh pemerintah Sumatera Utara untuk

mendukung ketahanan pangan nasional maka peneliti tertarik untuk

melihat bagaimana prospek produksi dan konsumsi ubi kayu dan ubi jalar

dimasa mendatang agar dapat digunakan sebagai input dalam menyusun

perencanaan dalam hal mendukung ketahanan pangan nasional.

1.2Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka

(21)

1. Bagaimana perkembangan produksi dan produktivitas ubi kayu dan

ubi jalar di Sumatera Utara Tahun 1996-2010?

2. Bagaimana perkembangan konsumsi pangan ubi kayu dan ubi jalar di

Sumatera Utara Tahun 1996-2010?

3. Bagaimana produksi dan konsumsi ubi kayu dan ubi jalar di Sumatera

Utara dari Tahun 2015 - 2025?

4. Apakah alternatif kebijakan pangan yang dapat diambil pemerintah

dalam upaya meningkatkan diversifikasi pangan berbasis

umbi-umbian di Sumatera Utara?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah, maka tujuan penelitian adalah sebagai

berikut:

1. Untuk menganalisis produksi serta produktivitas ubi kayu dan ubi

jalar di Sumatera Utara 1996-2010.

2. Untuk menganalisis perkembangan konsumsi pangan ubi kayu dan

ubi jalar di Sumatera Utara tahun 1996-2010.

3. Untuk meramalkan produksi serta konsumsi ubi kayu dan ubi jalar di

Sumatera Utara Tahun 2015-2025.

4. Untuk dapat mengetahui alternatif kebijakan pangan dalam upaya

meningkatkan diversifikasi pangan berbasis umbi-umbian di Sumatera

(22)

1.4Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, maka kegunaan penelitian adalah sebagai

berikut:

1. Sebagai sumbangan pemikiran dalam kajian produksi dan konsumsi

pangan terkait dengan upaya ketahanan pangan.

2. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi policy maker dalam

proyeksi kebutuhan pangan di masa mendatang serta dalam

penyusunan kebijakan pemantapan dan diversifikasi pangan.

3. Sebagai bahan referensi dan studi bagi pihak-pihak yang

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA

PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Tinjauan Pusataka

Pangan merupakan elemen penting dalam siklus kehidupan dan menjadi

hak azasi manusia untuk mendapatkannya dalam jumlah dan mutu yang

diinginkan. Peran pangan yang sangat strategis tersebut mewajibkan

Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk

mewujudkan ketahanan pangan yang sangat menentukan bagi

keberlanjutan kehidupan berbangsa dan bertanah air. Kewajiban tersebut

tercakup dalam amanat Undang-Undang No.7 Tahun 1996 tentang pangan

(Broto, 2008).

UU No. 7 Tahun 1996 ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah No.

68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Di Peraturan Pemerintah

tersebut disebutkan bahwa dalam rangka pemerataan ketersediaan pangan

ke seluruh wilayah dilakukan distribusi pangan melalui upaya

pengembangan sistem distribusi pangan secara efisien, dapat

mempertahankan keamanan, mutu dan gizi pangan serta menjamin

keamanan distribusi pangan. Disamping itu, untuk meningkatkan

ketahanan pangan dilakukan diversifikasi pangan dengan memperhatikan

(24)

teknologi pengolahan dan produk pangan dan peningkatan kesadaran

masyarakat untuk mengkonsumsi aneka ragam pangan dengan gizi

seimbang (Anonim, 2002).

Kegiatan diversifikasi pangan telah dirintis sejak awal tahun 60-an. Saat

itu pemerintah mulai menganjurkan konsumsi bahan-bahan pangan pokok

selain beras. Di akhir Pelita I (1974), secara eksplisit pemerintah

mencanangkan kebijakan diversifikasi pangan melalui Inpres No. 14

Tahun 1974 tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat dan disempurnakan

melalui Inpres No. 20 Tahun 1979 tentang Diversifikasi Pangan. Pada era

2000-an, pemerintah membentuk kelembagaan Badan Bimas Ketahanan

Pangan (yang kemudian menjadi Badan Ketahanan Pangan) dan dibentuk

pula Lembaga Fungsional Dewan Ketahanan Pangan (DKP) yang

langsung dipimpin oleh Presiden. Pada tahun 2004, 2005 dan 2006 dibuat

kesepakatan Gubernur, Walikota dan Bupati tentang perlunya upaya

diversifikasi pangan yang bertujuan untuk meningkatkan keanekaragaman

produksi bahan pangan segar maupun olahan, mengembangkan

kelembagaan pangan yang menjamin peningkatan produksi dan konsumsi

yang lebih beragam, mengembangkan bisnis pangan dan menjamin

ketersediaan gizi dan pangan bagi masyarakat (Marianto dan Baliwati,

(25)

Sebagian besar masyarakat Indonesia selama ini memenuhi kebutuhan

pangan sebagai sumber karbohidrat berupa beras. Ketergantungan

Indonesia terhadap beras yang tinggi, membuat ketahanan pangan nasional

sangat rapuh. Dari aspek kebijakan pembangunan makro, kondisi tersebut

mengandung resiko (rawan), yang juga terkait dengan stabilitas ekonomi,

sosial, dan politik. Salah satu kebijakan pembangunan pangan dalam

mencapai ketahanan pangan adalah melalui diversifikasi pangan, yang

dimaksudkan untuk memberikan alternatif bahan pangan sehingga

mengurangi ketergantungan terhadap beras (Husodo dan Muchtadi,

2004).

Penganekaragaman pangan, juga diharapkan akan memperbaiki kualitas

konsumsi pangan masyarakat, karena semakin beragam konsumsi pangan

maka suplai zat gizi lebih lengkap daripada jika didominasi oleh satu jenis

bahan saja. Pengertian penganekaragaman pangan mencakup peningkatan

jenis dan ragam pangan, baik dalam bentuk komoditas (bahan pangan),

pangan semi olahan dan olahan, maupun bentuk pangan yang siap saji.

Pendekatan penganekaragaman tersebut dalam program pembangunan

nasional dikenal dengan istilah diversifikasi horisontal dan vertikal.

Melalui pengembangan anekaragam budidaya pertanian (diversifikasi

horisontal) akan dihasilkan beragam pangan pokok seperti singkong, ubi,

(26)

pengembangan aneka produk pangan olahan akan dihasilkan produk

seperti tepung instan, kue, sereal, biskuit, bolu, dan sebagainya

(diversifikasi vertikal) (Briawan, dkk, 2004).

Bahan pangan yang dapat dikonsumsi sehari-hari dapat dikelompokkan

menjadi 9 (sembilan) kelompok besar. Jenis pangan pada masing-masing

kelompok dapat berbeda pada setiap daerah/kota sesuai sumberdaya

pangan yang tersedia. Secara Nasional bahan pangan dikelompokkan

sebagai berikut (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, 1998) :

Tabel 2. Kelompok Bahan Pangan Nasional

No. Kelompok Bahan Pangan Komoditi

1. Padi-padian Beras, jagung, sorghum dan terigu

2. Umbi-umbian Ubi kayu, ubi jalar, kentang, talas dan sagu. 3. Pangan Hewani Ikan, daging, susu dan telur

4. Minyak dan Lemak Minyak Kelapa, minyak sawit 5. Buah/biji berminyak Kelapa daging

6. Kacang-kacangan Kedelai, kacang tanah, kacang hijau 7. Gula Gula pasir, gula merah

8. Sayur dan buah Semua jenis sayuran dan buah-buahan yang biasa dikonsumsi

9. Lain-lain Teh, kopi, coklat, sirup, bumbu-bumbuan, makanan dan minuman jadi

Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi

Salah satu faktor penting yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah

kebiasaan pangan. Kebiasaan pangan merupakan cara individu memilih

makanannya dan kemudian mengkonsumsinya sebagai respon terhadap

kebutuhan fisiologi, psikologi, sosial dan budaya. Ragam kebiasaan

makan di kalangan bangsa Indonesia tidak terlepas dari perbedaan sosial

(27)

orang Maluku mengkonsumsi sagu, orang Papua menyukai umbi-umbian,

sebagian penduduk Jawa ada yang makan tiwul dan sebagian besar bangsa

Indonesia mengkonsumsi nasi (Nikmawati, 1999).

Terdapat hubungan yang erat antara faktor budaya dan kebiasaan makan.

Menurut den Hartog dan Van Staveren (1983), pangan selain untuk

memenuhi kebutuhan gizi tubuh, juga berperan dalam konteks budaya,

religi dan bahkan mistik. Preferensi pangan seseorang dapat berbeda antar

suku atau antar etnis dalam suatu bangsa. Konsumsi pangan,

sesungguhnya juga dipengaruhi aspek ketersediaan, daya beli masyarakat

dan pengetahuan gizi konsumen. Produksi pangan harus tersedia dengan

cukup agar dapat mencukupi kebutuhan akan pangan.

Menurut Kasno dkk (2006), tanaman umbi-umbian merupakan penghasil

protein nabati dan karbohidrat yang efisien, murah dan dapat digunakan

sebagai suplemen bahan pangan pokok beras dan terigu. Bahan pangan

dari umbi-umbian yaitu ubi kayu dan ubi jalar dalam bentuk segar

memiliki kandungan kalori dan protein yang rendah. Untuk memperoleh

kalori yang sama dengan beras, harus dikonsumsi ubi sebanyak 2–3 kali

beras. Sedangkan untuk memperoleh protein setara beras perlu dikonsumsi

(28)

Menurut Kasno dkk (2006), karakteristik rendah kalori ubi segar dapat

dihilangkan dengan memprosesnya menjadi bahan kering berupa irisan

atau tepung dengan kadar air setara beras dan aman simpan. Dengan bobot

yang sama ubi dalam bentuk kering atau tepung dapat memberikan kalori

yang sama dengan beras. Kelebihan dari tepung umbi itu sendiri adalah

ketahanan terhadap dehidrasi yang tinggi, sehingga produk pangan

yang dihasilkan dapat lebih lama di simpan, tanpa perubahan tekstur yang

berarti. Di samping itu tekstur yang halus, tidak berbau atau tidak apek,

lebih putih dari tepung sejenisnya mampu menghasilkan produk pangan

lebih enak, tekstur halus, namun renyah (utuk olahan kue-kue kering atau

makanan ringan biskuit, bolu, kue-kue basah, mie, dan

sebagainya) kelebihan lainnya adalah harga lebih murah dibandingkan

tepung-tepung lain yang berbasis impor.

2.1.1 Ubi Kayu

Menurut Sutrisno dan Edris (2009), ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.)

merupakan salah satu pangan sumber karbohidrat pengganti beras karena

memiliki kandungan gizi yang mendekati beras. Konsumsi ubi kayu

sebagai pangan alternatif cukup penting dalam mewujudkan

penganekaragaman pangan karena ketersediaannya cukup banyak dan

(29)

lahan marjinal. Kandungan gizi yang terkandung dalam ubi kayu dapat

dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3. Kandungan gizi ubi kayu per 100 gram bahan

Zat Gizi Ubi Kayu Satuan

Ubi kayu merupakan penghasil karbohidrat yang efisien, murah dan dapat

digunakan sebagai bahan industri pembuatan tepung. Umumnya ubi kayu

diolah menjadi tepung tapioka dan gaplek. Namun saat ini telah dilakukan

pengembangan ubi kayu menjadi produk yang lebih bernilai tambah dan

dilaksanakan dengan menggunakan prinsip-prinsip bioteknologi. Produk

yang telah dihasilkan dari ubi kayu adalah Modified Cassava Flour (biasa

disebut Mocaf) yang menggunakan teknik fermentasi dengan mikroba

bakteri asam laktat (BAL). Teknologi ini terinspirasi oleh teknologi pada

pembuatan gatot makanan Indonesia dari ubi kayu dan cassava flour sour

(30)

kayu yaitu tepung tapioka, tepung gaplek dan tepung mocaf dapat dilihat

pada Tabel 4 (Rofiq dan Subagio, 2009).

Tabel 4. Kandungan gizi dari tepung ubi kayu per 100 gram bahan

Komposisi Tepung

Sumber : Depkes Gizi RI, 2000

Mocaf adalah produk produk dari ubi kayu yang diproses menggunakan

prinsip memodifikasi sel ubi kayu secara fermentasi. Mikrobia yang

tumbuh menyebabkan perubahan karakteristik tepung yang dihasilkan

berupa naiknya viskositas, kemampuan gelatinasasi, daya rehidrasi dan

kemudahan melarut. Mikroba juga menghasilkan asam-asam organik,

terutama asam laktat yang akan terimbibisi dalam bahan. Ketika bahan

tersebut diolah akan dapat menghasilkan aroma dan citarasa khas yang

dapat menutupi aroma dan citarasa ubi kayu yang cenderung tidak

menyenangkan konsumen. Selain proses fermentasi terjadi pula

kehilangan komponen penimbul warna, dan protein yang dapat

menyebabkan warna coklat ketika pengeringan. Dampaknya adalah warna

(31)

tepung ubi kayu biasa. Perbaikan kualitas tepung dipengaruhi oleh reaksi

biokimia selama fermentasi dengan bakteri asam laktat (BAL) (Suismono

dan Misgiarta, 2009).

Karakteristik ini membuat Mocaf sangat ideal digunakan sebagai

komposisi makanan dari produk-produk kering dan semi basah. Mocaf

cocok sekali untuk biskuit, kue, donat, campuran roti, campuran mie,

bakso, empek-empek dan kue-kue basah dan sebagainya. Sehingga sangat

berpotensi sebagai produk modern penyanding tepung terigu dan

komplemen tepung beras dan tepung gandum (Rofiq dan Subagio, 2009).

Mocaf juga mempunyai aspek kesehatan yang cukup menonjol, seperti

bebas gluten, kaya serat dan mudah difortifikasi. Ketiadaan gluten

menjadikan produk ini baik untuk penderita autis dan tidak menyebabkan

alergi yang terkadang muncul sebagai akibat mengkonsumsi gluten.

Mocaf juga kaya akan serat sehingga mempunyai efek sebagai prebiotik

yang membantu pertumbuhan mikroba menguntungkan dalam perut dan

cocok untuk penderita diabetes. Bentuknya yang tepung dengan

kandungan pati yang tinggi menjadikan Mocaf mudah untuk difortifikasi

dengan zat-zat gizi yang lain, sesuai dengan kebutuhan dari produk (Rofiq

(32)

2.1.2 Ubi Jalar

Ubi jalar (Ipomea batatas L.) berasal dari benua Amerika. Nikolai

Ivanovich Vavilov, seorang ahli botani Soviet, memastikan daerah

sentrum primer asal tanaman ubi jalar adalah Amerika Tengah. Ubi jalar

mulai menyebar ke seluruh dunia terutama Negara-negara beriklim tropis

pada abad ke-16. Orang-orang Spanyol menyebarkan ubi jalar ke kawasan

Asia terutama Filipina, Jepang, Indonesia. Pada tahun 1960-an penanaman

ubi jalar sudah meluas ke seluruh provinsi di Indonesia. Pada tahun 1968

Indonesia merupakan negara penghasil ubi jalar nomor empat di dunia

(Sri, 1997).

Ubi jalar merupakan komoditas sumber karbohidrat utama, setelah padi,

jagung dan ubi kayu, dan mempunyai peranan penting dalam penyediaan

bahan pangan, bahan baku industri maupun pangan ternak. Ubi jalar

dikonsumsi sebagai makanan tambahan atau sampingan, kecuali di Irian

Jaya dan Maluku, ubi jalar digunakan sebagai makanan pokok. Ubi jalar di

kawasan dataran tinggi Jayawijaya merupakan sumber utama karbohidrat

dan memenuhi hampir 90% kebutuhan kalori penduduk (Wanamarta,

1981).

Menurut Lingga (1984), ubi jalar dapat dimanfaatkan sebagai pengganti

makanan pokok karena merupakan sumber kalori yang efisien. Selain itu,

(33)

fosfor, besi dan kalsium. Di samping sumbangan vitamin dan mineral,

kadar karotin pada ubi jalar sebagai bahan utama pembentukan vitamin A

setaraf dengan karotin pada wortel. Kandungan vitamin A yang dicirikan

oleh umbi yang berwarna kuning kemerah-merahan. Kadar vitamin C

yang terdapat di dalam umbinya memberikan peran yang tidak sedikit bagi

penyediaan dan kecukupan gizi dan dapati dijangkau oleh masyarakat di

pedesaan. Dari kandungan gizinya, maka ubi jalar memiliki kesetaraan

dengan sumber pangan lain dan pada beberapa hal kandungan gizinya

lebih baik. Kandungan gizi ubi jalar disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Kandungan gizi Ubi Jalar di dalam 100 gram bahan

Komponen Gizi Umbi Putih Umbi Merah/Orange Umbi Kuning

Energi (kal) 123,0 123,0 136,0

Sumber : Depkes RI 1981 dalam Ditjen Bina Produksi Tanaman Pangan (2002).

Sebagai sumber karbohidrat, ubi jalar memiliki peluang sebagai subsitusi

bahan pangan utama, sehingga bila diterapkan mempunyai peran penting

(34)

beras. Pada saat krisis pangan akibat kegagalan panen maupun krisis

ekonomi, beras menjadi barang langka dan mahal karena harnganya

melonjak tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh masyarakat miskin.

Sementara itu, kebutuhan pangan tidak bisa ditunda, maka masyarakat

baik di pedesaan maupun di perkotaan memerlukan alternatif pangan

nonberas. Ubi jalar sebagai makanan tambahan maupun makan selingan,

selain cocok dengan selera masyarakat, harganya jauh lebih murah

dibandingkan dengan harga beras. Meskipun konsumsi beras tidak

semuanya dapat disubsitusi oleh ubi jalar, namun dalam saat krisis pangan

pemanfaatan ubi jalar sebagai alternatif sumber karbohidrat untuk

mengatasi kelangkaan pangan sangat kompetitif dibandingkan dengan

bahan pangan lainnya (Zuraida dan Supriati, 2001).

Menurut Damardjati dan Widowati (1994), dalam pengembangan program

diversifikasi pangan untuk mendukung pelestarian swasembada pangan,

ubi jalar merupakan komoditas pangan yang mempunyai keunggulan

sebagai penunjang program tersebut. Ubi jalar mempunyai potensi yang

cukup besar untuk ditingkatkan produksinya dan umbinya dapat diproses

menjadi aneka ragam produk yang mampu mendorong pengembangan

agroindustri dalam diversifikasi pangan. Alternatif produk yang dapat

dikembangkan dari ubi jalar menurut Damardjati dan Widowati, 1994 ada

(35)

ubi rebus, ubi goreng, kolak, nagosari, geruk dan pie; (2) produk ubi jalar

siap santap, seperti kremes, saos, selai; (3) produk ubi jalar siap masak,

umunya berbentuk produk instan seperti sarapan chips, mie atau bihun;

(4) produk ubi jalar bahan baku, bentuk produk ini umumnya bersifat

kering, merupakan produk setengah jadi untuk bahan baku, awet dan tahan

disimpan lama, antara lain irisan ubi kering (gaplek), tepung dan pati.

Menurut Antarlina dalam Zuraida dan Supriati (1998), penggunaan ubi

jalar yang masih terbatas pada pengolahan ubi segar menjadi penganan

secara tradisional perlu diusahakan menjadi suatu produk untuk bahan

baku dalam industri makanan. Tepung ubi jalar merupakan produk ubi

jalar setengah jadi yang dapat digunakan sebagai bahan baku dalam

industri makanan dan juga mempunyai daya simpan yang lebih lama.

Kandungan gizi tepung ubi jalar jika dibandingkan dengan tepung terigu

pada kadar air 7% menunjukkan bahwa kadar protein dan lemak tepung

ubi jalar lebih rendah daripada tepung terigu, tetapi mempunyai kadar abu

dan serat lebih tinggi serta kandungan karbohidrat hampir setara, yaitu

dapat dilihat pada tabel 6. Kandungan serat yang lebih tinggi pada tepung

ubi jalar menyebabkan warna tepung tidak putih. Nilai kalori pada tepung

ubi jalar lebih rendah daripada tepung terigu. Ternyata campuran 50%

(36)

karena lebih disukai, rasa enak, warna menarik, dan mempunyai tingkat

kemanisan sedang.

Tabel 6. Kandungan Gizi Tepung Ubi Jalar dibandingkan dengan Tepung Terigu

Kandungan gizi Tepung ubi jalar Tepung terigu

Air (%) 7,00 7,00

Sumber : Antarlina, 1998

Ubi jalar merupakan salah satu umbi-umbian yang mudah dibudidayakan

di berbagai wilayah di Indonesia. Badan Ketahanan Pangan bekerjasama

dengan Yayasan Gizi Kuliner selama ini telah mengembangkan aneka

resep berbahan baku tepung ubi jalar menjadi aneka kudapan dan cemilan

modern dengan cita rasa yang lezat, diantaranya adalah kue lumpur ubi

keju, bakpau ubi ungu, tape ubi jalar, keripik dan gaplek ubi jalar (BKP,

2009).

2.1.3 Konsumsi dan Produksi

Konsumsi adalah setiap kegiatan memanfaatkan, menghabiskan kegunaan

barang maupun jasa untuk memenuhi kebutuhan demi menjaga

kelangsungan hidup. Sedangkan menurut Dumairy (2004) konsumsi

adalah pembelanjaan atas barang dan jasa yang dilakukan oleh rumah

tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang

(37)

dan barang-barang kebutuhan lain digolongkan pembelanjaan atau

konsumsi. Barang-barang yang diproduksi untuk digunakan memenuhi

kebutuhan dinamakan barang konsumsi.

Produksi merupakan suatu kegiatan yang dikerjakan untuk menambah

nilai guna suatu benda atau menciptakan benda baru sehingga lebih

bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan. Kegiatan menambah daya guna

benda tanpa mengubah bentuknya dinamakan produksi jasa sedangkan

kegiatan menambah daya guna suatu benda dengan mengubah sifat dan

bentuknya dinamakan produksi barang. Produksi bertujuan untuk

memenuhi kebutuhan manusia untuk mencapai kemakmuran.

Kemakmuran dapat tercapai jika tersedia barang dan jasa dalam jumlah

yang mencukupi (Soeharno, 2006).

2.2 Landasan Teori

Time Series (Data Berkala atau Data Deret Waktu) adalah data yang

dikumpulkan dari waktu ke waktu untuk menggambarkan perkembangan

suatu kegiatan atau sekumpulan hasil observasi yang diatur dan didapat

menurut aturan kronologis waktu, misalnya perkembangan produksi,

harga barang, hasil penjualan, jumlah penduduk, dan lainnya. Ada dua

tujuan dari analisis data berkala (Syukri, 2012):

a. Mengidentifikasi sifat dari fenomena diwakili oleh urutan pengamatan.

(38)

Kedua tujuan mengharuskan pola data berkala yang diamati diidentifikasi

terlebih dahulu. Dengan plot data ke dalam bentuk grafik dan melihat pola

yang terbentuk kita dapat menafsirkan dan kemudian menerapkan model

analisis yang sesuai untuk pola data tersebut untuk memprediksi kejadian

masa depan.

Analisis data deret waktu pada dasarnya digunakan untuk melakukan

analisis data yang mempertimbangkan pengaruh waktu. Data-data yang

dikumpulkan secara periodik berdasarkan urutan waktu, bisa dalam jam,

hari, minggu, bulan, kuartal dan tahun, bisa dilakukan analisis

menggunakan metode analisis data deret waktu. Analisis data deret waktu

tidak hanya bisa dilakukan untuk satu variabel (Univariate) tetapi juga

bisa untuk banyak variabel (Multivariate). Selain itu pada analisis data

deret waktu bisa dilakukan peramalan data beberapa periode ke depan

yang sangat membantu dalam menyusun perencanaan ke depan

(Syukri, 2012).

Analisis data berkala memungkinkan kita untuk mengetahui

perkembangan suatu atau beberapa kejadian serta pengaruhnya atau

hubungannya terhadap kejadian lain dan dapat pula membuat ramalan

berdasarkan garis regresi atau garis trend. Metode yang digunakan dalam

analisis data berkala adalah metode kuantitatif sehingga perlu diperhatikan

(39)

1. Ketersediaan informasi tentang masa lalu.

2. Informasi tersebut dapat dikuantitatifkan dalam bentuk data numerik.

3. Dapat diasumsikan bahwa beberapa aspek pola masa lalu akan terus

berlanjut di masa mendatang.

Menurut Supranto (2008), ada empat komponen pola gerakan atau variasi

data deret waktu adalah sebagai berikut:

1. Gerakan trend jangka panjang (long term movement or secular trend),

yaitu suatu gerakan yang menunjukkan arah perkembangan secara

umum (kecenderungan menaik/menurun). Perlu diketahui bahwa

garis trend sangat berguna untuk membuat peramalan yang sangat

diperlukan bagi perencanaan.

2. Gerakan siklus (cyclical movements), adalah gerakan jangka panjang

di sekitar garis trend (berlaku untuk data tahunan). Gerakan siklus ini

bisa terulang setelah jangka waktu tertentu (setiap 3 tahun, 5 tahun

atau lebih) dan bisa juga terulang dalam waktu yang sama.

3. Gerakan musiman (seasonal movements), adalah gerakan yang

mempunyai pola tetap dari waktu ke waktu. Walaupun pada

umumnya gerakan musiman terjadi pada data bulanan yang

dikumpulkan dari tahun ke tahun, gerakan musiman juga berlaku bagi

(40)

4. Gerakan yang tidak teratur atau acak (irregular or random

movements), adalah gerakan yang hanya terjadi sekali-kali dan tidak

mengikuti aturan tertentu dan karenanya tidak dapat diramalkan

terlebih dahulu.

Trend Turun

Gambat 1. Garis Trend Deret Waktu

Y=f(X)

Trend Naik

X

Waktu

X Waktu

Y=f(X)

Y=f(X Y=f(X)

(a) Trend Jangka Panjang

X X

(41)

Gambar 2. Komponen-komponen Data Deret Waktu

Trend melukiskan gerak data berkala selama jangka waktu yang panjang

atau cukup lama. Gerak ini mencerminkan sifat kontinuitas atau keadaan

yang serba terus dari waktu ke waktu selama jangka waktu tersebut.

Karena sifat kontinuitas ini, maka trend dianggap sebagai gerak stabil dan

menunjukkan arah perkembangan secara umum (kecenderungan

menaik/menurun). Trend sangat berguna untuk membuat peramalanan

(forecasting) yang merupakan perkiraan untuk masa depan yang

diperlukan bagi perencanaan. Trend dibedakan menjadi dua jenis, yakni

Trend Linier dan Trend Non Linier (Syukri, 2012).

Trend linier adalah merupakan model persamaan garis lurus yang

terbentuk berdasarkan titik-titik diagram pencar dari data selama kurun

waktu tertentu. Pada model trend ini garis vertikal (tegak) dinyatakan

sebagai jumlah perkembangan data yang akan dianalisis (y), dan untuk X X

(c) Trend Jangka Panjang, Gerakan Siklis dan Musiman

(d) Trend Jangka Panjang, Gerakan Siklis, Musiman dan Random (acak)

Y=f(X

(42)

garis horizontal (mendatar) dinyatakan sebagai waktu (x) (Supangat,

2007).

Analis trend linier dapat dilakukan dengan Metode Least Square (Metode

Kuadrat Terkecil). Trend dengan metode kuadrat terkecil diperoleh

dengan menentukan garis trend yang mempunyai jumlah terkecil dari

kuadrat selisih data asli dengan data pada garis trend. Dalam hal

menentukan nilai a dan b dengan menggunakan metode kuadrat terkecil

pada prinsipnya adalah membentuk persamaan normal Hesse, kemudian

perhatikan data yang tersedia, apakah jumlah data yang ada ganjil atau

genap, karena hal ini akan berpengaruh pada model penyelesaian

(Supangat, 2007).

Perhatian berikutnya adalah kapan waktu dasar ditetapkan, keberadaan

waktu dasar sangat berperan dalam menentukan nilai-nilai a dan b model

trend linier tersebut. Jika datanya ganjil atau genap, dan waktu dasar yang

ditetapkan berada pada posisi tertentu (tidak berada di tengah-tengah data

selama kurun waktu yang ditentukan), maka penyelesaiannya dikatakan

sebagai model penyelesaian dengan cara panjang (∑ � ≠0), namun

demikian jika waktu dasar ditetapkan berada pada posisi di tengah-tengah

data selama kurun waktu yang ditentukan, maka model penyelesaian

dikatakan sebagai model penyelesaian cara pendek (∑ � = 0), dengan

(43)

2.3 Kerangka Pemikiran

Pangan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu untuk

mempertahankan hidup dan kehidupannya. Ketersediaan akan pangan

tersebut sangat tergantung oleh jumlah produksi dan jumlah konsumsi.

Pada masa sekarang ini kita tidak bisa lagi terus mengandalkan beras

sebagai konsumsi utama pangan karena ketersediaan pangan beras yang

semakin menurun, ditambah lagi jumlah penduduk yang semakin

meningkat.

Salah satu upaya alternatif yang ditempuh agar ketergantungan beras bisa

dikurangi serta pencapaian pola pangan yang memenuhi persyaratan

nutrisi adalah dikembangkannya diversifikasi pangan. Penanaman dan

pemanfaatan sumber pangan lokal terutama pangan non-beras selayaknya

menjadi bagian integral dari upaya memperkokoh ketahanan pangan

melalui kemandirian pangan. Salah satu pangan lokal yang dapat

digunakan untuk menjalankan program diversifikasi pangan tersebut

adalah umbi-umbian.

Program diversifikasi pangan di Sumatera Utara dengan mengkonsumsi

umbi-umbian disebut Manggadong. Umbian yang dimaksud dalam kajian

ini adalah ubi kayu dan ubi jalar. Ubi kayu dan ubi jalar merupakan bahan

pangan alternatif dan makanan pendamping nasi menuju ketahanan

(44)

makanan pendamping nasi tetapi juga diharapkan dapat dijadikan sebagai

menu makanan sehari-hari sehingga dapat terciptanya menu makanan

yang beragam dan berimbang yang tidak hanya mengkonsumsi beras

sebagai pangan pokok tunggal.

Ubi kayu dan Ubi jalar merupakan bahan pangan bersumber karbohidrat

tinggi setelah beras dan jagung. Ubi kayu dapat dikonsumsi langsung

ataupun diolah terlebih dahulu. Dari olahan ubi kayu dapat dibuat

beberapa aneka makanan yang enak dan baik untuk dikonsumsi. Sekarang

ini ubi kayu dapat dijadikan sebagai bahan baku pembuat tepung

termodifikasi atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tepung Mocaf

sebagai pengganti tepung terigu sehingga dari ubi kayu dapat dibuat

berbagai macam makanan seperti roti, kue dan lainnya.

Ubi jalar sangat membantu dalam diversifikasi pangan. Ubi jalar dapat

dikonsumsi langsung dan rasanya yang lebih enak dan gurih. Olahan

makanan dari ubi jalar tidak kalah banyak dengan olahan ubi kayu.

Banyak aneka makanan yang dibuat dengan bahan baku ubi jalar yaitu

keripik, kue, bolu dan makanan lainnya. Sehingga ubi kayu dan ubi jalar

banyak digunakan sebagai bahan baku industri makanan.

Langkah awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

mengidentifikasi pola data produksi dan konsumsi ubi kayu dan ubi jalar.

(45)

belas tahun yaitu dari tahun 1996-2010. Dari data yang diperoleh pola data

yang digunakan adalah gerak trend (kecenderungan). Kemudian

penentuan metode peralamalan yang digunakan yaitu metode gerak trend

yang linier. Setelah metode sudah ditentukan, kemudian dilakukan

peramalan untuk produksi dan konsumsi ubi kayu dan ubi jalar untuk

tahun 2015-2025.

Setelah hasil ramalan diperoleh maka dapat dilihat bagaimana pencapaian

produksi dan konsumsi ubi kayu dan ubi jalar. Hasil ramalan tersebut

dapat digunakan oleh pemerintah untuk membuat suatu kebijakan dalam

pengadaan ubi kayu dan ubi jalar sebagi bahan pangan alternatif untuk

meningkatkan diversifikasi pangan berbasis umbi-umbian dalam

(46)

Gambar 3. Skema Kerangka Pemikiran

Keterangan :

: Menyatakan Hubungan

: Menyatakan Pengaruh Ubi Kayu

Peramalan Produksi Ubi kayu dan Ubi Jalar

2015-2025 Produksi Ubi Kayu dan Ubi Jalar

(1996-2010)

Ubi Jalar

Konsumsi Ubi Kayu dan Ubi

Jalar (1996-2010)

Peramalan Konsumsi Ubi Kayu dan Ubi Jalar 2015-2025

Hasil Peramalan Produksi dan Konsumsi Ubi Kayu

(47)

2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah dan landasan teori yang dibuat, maka

hipotesis dari penelitian ini adalah

1. Produksi dan konsumsi ubi kayu Sumatera Utara (2015-2025) akan

mengalami trend yang menaik.

2. Produksi dan konsumsi ubi jalar Sumatera Utara (2015-2025) akan

(48)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1Metode Penentuan Daerah Penelitian

Daerah penelitian ditentukan secara teritorial atau wilayah yaitu di

wilayah Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari 33 Kabupatan/Kota dan

ditentukan secara purposive (sengaja) dengan mempertimbangkan bahwa

wilayah tersebut sebagai sentra produksi pangan yang diteliti serta

memiliki populasi penduduk yang cukup besar yaitu pada tahun 2010

jumlah penduduk Sumatera Utara sebesar 12.985.075 juta jiwa.

3.2Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder.

Data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ini adalah produksi dan

produktivitas pangan ubi kayu dan ubi jalar; konsumsi pangan ubi kayu

dan ubi jalar dan jumlah penduduk. Data sekunder diperoleh dari

instansi-instansi terkait yaitu Badan Ketahanan Pangan Sumatera Utara dan Badan

Pusat Statistik Sumatera Utara. Data sekunder adalah data yang diperoleh

atau dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari

sumber-sumber yang telah ada. Data ini, biasanya diperoleh dari perpustakaan atau

dari laporan-laporan peneliti terlebih dahulu. Data sekunder disebut juga

(49)

3.3Metode Analisis Data

Untuk menjawab identifikasi masalah pada point 1,2 dan 4, digunakan

analisis deskriptif yakni berupa penyajian data time series dengan

grafik/gambar dan penjelasan terhadap data yang diperoleh sesuai dengan

kondisi yang sebenarnya. Untuk menganalisis permasalahan pada point 1

dan 2 digunakan data lima belas tahun terakhir yaitu dari tahun 1996

sampai dengan tahun 2010.

Penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok

manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun

suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan penelitian deskriptif

adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis,

faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar

fenomena yang diselidiki (Nazir, 2005).

Untuk menjawab hipotesis yang merupakan identifikasi masalah pada

point 3 akan digunakan analisis Time Series, yakni Trend (Gerak Jangka

Panjang) dengan menggunakan cara Least Squares yang menggunakan

persamaan garis trend yang linier. Penggunaan metode ini didasarkan

karena data yang digunakan bersifat linier. Analisis Trend merupakan

suatu metode analisis yang ditujukan untuk melakukan suatu estimasi atau

peramalan pada masa yang akan datang. Metode ini dipilih dikarenakan

(50)

yang mampu untuk memperkirakan data setepat mungkin, atau perkiraan

yang mempunyai kesalahan sekecil mungkin. Kesalahan minimal tersebut

bisa diantisipasi dengan menggunakan cara Least Squares (kuadrat

minimum), yakni upaya untuk meminimumkan hasil kuadrat antara data

asli dengan data prediksi agar diperoleh ramalan yang lebih akurat.

Menurut Pasaribu (1981) persamaan nilai trend linier dapat di rumuskan

sebagai berikut :

y = a + bx

Dimana, nilai-nilai a dan b dapat dihitung dengan menggunakan

rumus-rumus berikut:

a = y – b x

Dimana :

y’ = Produksi Ubi Kayu dan Ubi Jalar, Konsumsi Ubi Kayu dan

Ubi Jalar

a = Koefisien Intercep

b = Koefisien Regresi dari x

x = Tahun (dinotasikan dengan angka)

n = Jumlah data time series

b = � ∑ �� −(∑ �) (∑ �)

(51)

Dimana : Model penyelesaian yang digunakan adalah Model penyelesaian

dengan cara pendek, yaitu : ∑ � = 0 (x = -7,-6, -5, -4, -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3,

4, 5, 6, 7 sehingga ∑ � =0)

Maka rumus untuk mencari a dan b dapat dirubah menjadi :

dan

Setelah persamaan garis trend linier tersusun. Kemudian dapat diramalkan

garis trend linier untuk masa mendatang, maka nilai a dan b yang

diramalkan itu :

Dimana :

y* = produksi ubi kayu dan ubi jalar, konsumsi ubi kayu dan ubi

jalar untuk tahun yang diramalkan

a = Koefisien Intercep

b = Koefisien regresi dari x

x* = Tahun yang diramalkan (dinotasikan dengan angka)

3.4Defenisi dan Batasan Operasional

Untuk memperjelas dan menghindari kesalah pahaman dalam penelitian

ini, maka dibuat Defenisi dan Batasan Operasional : b = ∑ ��

∑ �² a = y

(52)

Defenisi :

1. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air

baik yang diolah maupun tidak, yang diperuntukan sebagai makanan

atau minuman bagi konsumsi manusia; termasuk didalamnya bahan

tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan

dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan

atau minuman.

2. Konsumsi Pangan adalah sejumlah makanan dan minuman yang

dimakan atau diminum penduduk atau seseorang dalam rangka

memenuhi kebutuhan hayati.

3. Produksi Pangan adalah kapasitas/kuantitas pangan yang dapat

disediakan pada suatu wilayah.

4. Pangan Pokok adalah pangan sumber karbohidrat yang sering

dikonsumsi secara teratur sebagai makan utama, selingan, sebagai

sarapan atau sebagai makan pembuka atau penutup.

5. Pangan Lokal adalah pangan yang diproduksi setempat (satu wilayah

atau daerah) untuk tujuan ekonomi dan atau konsumsi. Pangan lokal

tersebut berupa bahan pangan baik komoditas primer maupun

sekunder.

6. Ketersediaan Pangan adalah kondisi penyediaan pangan bagi

(53)

7. Diversifikasi pangan adalah usaha untuk menyediakan berbagai

ragam produk pangan baik dalam jenis maupun bentuk, sehingga

tersedia banyak pilihan bagi konsumen untuk menu makanan harian.

8. Kebijakan pangan berbasis umbi-umbian adalah kebijakan yang

diambil pemerintah untuk dapat meningkatkan ketahanan pangan

dengan mengkonsumsi umbi-umbian sebagai makanan pendamping.

9. Peramalan adalah suatu kegiatan yang memperkirakan apa yang akan

terjadi pada masa mendatang dengan menggunakan data masa lalu

dari sebuah variable atau kumpulan variabel dan dapat dijadikan

sebagai perencanaan untuk jangka waktu panjang.

Batasan Operasional :

1. Penelitian merupakan pengamatan, analisis serta peramalan terhadap

data time series produksi dan konsumsi ubi kayu serta ubi jalar di

Sumatera Utara.

2. Waktu penelitian dilakukan pada Tahun 2013.

(54)

BAB IV

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

4.1Letak dan Keadaan Geografis Sumatera Utara

Provinsi Sumatera Utara berada di bagian Barat Indonesia, terletak pada

garis 1°-4° Lintang Utara dan 98°-100° Bujur Timur. Adapun batasan

wilayah Sumatera Utara adalah sebagai berikut :

- Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam.

- Sebelah Timur berbatasan dengan Negara Malaysia di Selat

Malaka.

- Sebelah Selatan berbasan dengan Provinsi Riau dan Sumatera

Barat.

- Sebelah Barat berbatasan dengan Samudra Hindia.

Luas daratan Provinsi Sumatera Utara adalah 71.680,68 Km2, sebagian

besar berasa di Daratan Pulau Sumatera dan sebagian kecil berada di

Pulau Nias. Berdasarkan luas daerah menurut Kabupaten/Kota di

Sumatera Utara, luas daerah terbesar adalah Kabupaten Mandailing Natal

dengan luas 6.620,70 Km2 atau 9,24 % diikuti Kabupaten Langkat dengan

luas 6.263,29 atau 8,74 % kemudian diikuti Kabupaten Simalungun

(55)

Kota Sibolga dengan luas 10,77 Km2 atau sekitar 0,02 % dari total luas

wilayah Sumatera Utara.

4.2Gambaran Umum Tanaman Pangan Sumatera Utara

Di daerah Sumatera Utara, terdapat beragam jenis tanaman bahan pangan

yang dibudidayakan. Diantaranya yaitu tanaman pangan ubi kayu dan ubi

jalar. Ubi kayu dan ubi jalar banyak dibudidayakan di daerah Kabupaten

Simalungun, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Deli Serdang,

Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupatan Dairi dan

Kabupaten Karo.

Produksi ubi kayu tertinggi pada tahun 2010 yaitu terdapat di daerah

Kabupaten Simalungun sebesar 353.950 Ton, kemudian Kabupaten

Serdang Bedagai sebesar 149.144 Ton, Kabupaten Deli Serdang sebesar

79.551 Ton, Kabupaten Nias Selatan sebesar 51.866 Ton dan Kabupaten

Tapanuli Utara sebesar 38.426 Ton. Kabupaten Simalungun merupakan

sentra produksi ubi kayu di Sumatera Utara yang dapat dilihat pada tahun

2010 dimana produksi ubi kayu sebesar 39,08 % dari total produksi

Sumatera Utara.

Sedangkan produksi ubi jalar pada tahun 2010 di Kabupaten Simalungun

50.736 Ton, kemudian di Kabupaten Nias Selatan sebesar 29.029 Ton,

Kabupaten Dairi sebesar 22.266 Ton, Kabupaten Tapanuli Utara sebesar

(56)

Kabupatan Simalungun bukan hanya sebagai sentra produksi ubi kayu

namun juga merupakan daerah yang menghasilkan produksi ubi jalar

tertinggi yaitu 28,28 % dari total produksi ubi jalar.

4.3Keadaan Penduduk Sumatera Utara

Menurut data dari Badan Pusat Statistik Sumatera Utara jumlah penduduk

Sumatera Utara pada tahun 2000 sebesar 11.513.973 jiwa. Laju

pertumbuhan penduduk Sumatera Utara tahun 1990-2000 adalah 1,32 %

per tahun, kemudian pada tahun selanjutnya yaitu 2000-2005 menjadi 1,35

% per tahun. Namun pada tahun 2005-2010 laju pertumbuhan penduduk

Sumatera Utara turun menjadi 1,2 % per tahun.

Kepadatan penduduk adalah perbandingan jumlah penduduk terhadap luas

lahan atau luas daerah. Kepadatan penduduk dinyatakan dengan satuan

Jiwa/Km. Sebagai catatan 1 Km2=100 Ha.

Jumlah penduduk Sumatera Utara tahun 2010 sebanyak 12.985.075 jiwa,

jika dibandingkan dengan lahan seluas 71.680,92 Km2 dapat digambarkan

kepadatan penduduk Provinsi Sumatera Utara adalah sebanyak 181

jiwa/Km2. Angka ini menggambarkan bahwa setiap 1 Km2 terdapat 181

jiwa. Secara rinci, jumlah penduduk dengan kepadatannya masing-masing

wilayah di Sumatera Utara beserta luas dari setiap wilayah tersebut dapat

(57)

Tabel 7. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota Tahun 2010

No. Kabupaten/Kota Luas Wilayah (Km2)

15. Humbang Hasundutan 2.297,20 171.687 75

16. Pakpak Barat 1.218,30 40.481 33

(58)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Produksi serta Produktivitas Ubi Kayu dan Ubi Jalar di Sumatera

Utara

Berdasarkan data yang telah dikumpulkan, maka dapat dilihat besarnya

produksi serta produktivitas ubi kayu dan ubi jalar untuk wilayah

Sumatera Utara (1996-2010) pada tabel-tabel dan grafik-grafik dibawah

ini. Untuk produksi ubi kayu di Sumatera Utara (1996-2010) dapat dilihat

pada tabel berikut ini.

Tabel 8. Produksi Ubi Kayu di Sumatera Utara (1996-2010)

Tahun Produksi Ubi Kayu (Ton)

1996 421.460

Sumber : Lampiran 2

Dari Tabel 8 diatas, terlihat bahwa jumlah produksi ubi kayu Sumatera

(59)

sebesar 1.007.284 Ton dengan jumlah produksi terendah di tahun 2003

sebesar 411.990 Ton. Total produksi ubi kayu di sepanjang tahun

1996-2010 adalah sebesar 7.198,81 Ton dengan rata-rata produksi sebesar

479,92 Ton per tahun.

Kondisi produksi ubi kayu Sumatera Utara diatas untuk lebih jelasnya

dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini.

Gambar 5. Produksi Ubi Kayu di Sumatera Utara (1996-2010)

Pada Gambar 5, dapat dilihat bahwa perkembangan produksi ubi kayu

Sumatera Utara (1996-2010) mengalami keadaan yang fluktuatif, dimana

pada tahun 2003 terjadi penurunan produksi ubi kayu dan kemudian

terjadi lagi penurunan di tahun 2007 yang sebelumnya sempat mengalami

kenaikan pada tahun 2005 yaitu sebesar 509.796 Ton. Kemudian produksi

ubi kayu mengalami kenaikan dengan puncak produksi yakni pada tahun

2009. Meskipun kenaikan produksi ubi kayu dapat meningkat dengan

0 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Produksi Ubi Kayu (Ton)

(60)

kenaikan yang sangat besar, namun pada tahun berikutnya produksi

kembali menurun. Sedangkan kondisi produktivitas ubi kayu di Sumatera

Utara tahun 1996-2010 dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 9. Produktivitas Ubi Kayu di Sumatera Utara (1996-2010)

Tahun Produktivitas Ubi Kayu (Kw/Ha)

1996 120

Sumber : Lampiran 2

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa produktivitas ubi kayu tertinggi di

Sumatera Utara di sepanjang tahun 1996-2010 terjadi pada tahun 2010

yakni sebesar 279,51 Kw/Ha. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa dari

tahun 2008-2010 terjadi kenaikan produktivitas. Kenaikan ini tentunya

disebabkan oleh campur tangan pemerintah yang melakukan intensifikasi

tanaman dengan luas lahan yang berkurang namun produktivitas dapat

ditingkatkan. Sedangkan produktivitas terendah terjadi pada tahun 1998

(61)

Gambar 6. Produktivitas Ubi Kayu di Sumatera Utara (1996-2010)

Dari Gambar 6, tampak bahwa produktivitas ubi kayu sepanjang tahun

1996-2010 mengalami kondisi yang fluktuatif. Dimana, pertumbuhan

produksi ubi kayu yang terjadi dapat dikatakan meningkat, yakni dapat

dilihat dengan pergeseran angka produktivitas yang meningkat per

tahunnya. Berdasarkan kondisi produksi ubi kayu dapat dilihat bahwa

disepanjang tahun 1996-2010 produksi ubi kayu di Sumatera Utara tetap

mengalami peningkatan, hanya saja pada tahun 1996-2007 angka

produktivitas cenderung stabil dengan produksi yang rendah apabila

dibandingkan dengan tahun berikutnya. Dimana pada tahun 2008-2010

produksi meningkat sejalan dengan meningkatnya produktivitas ubi kayu.

Produksi ubi kayu pada tahun 2003 paling rendah dikarenakan luas panen

pada tahun tersebut berkurang dari tahun-tahun sebelumnya dimana luas

panen ubi kayu pada tahun 2003 sebesar 33.452 Ha (Lampiran 2). Namun

jika dilihat pada tahun 2010 dimana luas panen ubi kayu lebih rendah

0

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Produktivitas Ubi Kayu (kw/Ha)

(62)

dibanding tahun 2003 yaitu sebesar 32.402 Ha (Lampiran 2) mampu

menghasilkan produksi yang jauh lebih besar.

Produksi ubi kayu dari tahun 1996-2001 mengalami peningkatan sebesar

86.059 Ton atau 20,42%. Peningkatan tersebut berbanding lurus dengan

luas panen, dimana luas panen dari tahun 1996-2001 mengalami

peningkatan sebesar 5.987 Ha atau 16,98%. Produktivitasnya juga

mengalami peningkatan sebesar 3 Kw/Ha atau 2,5%.

Selanjutnya produksi di tahun 2002-2005 mengalami penurunan dimana

pada tahun 2003 terjadi penurunan sebesar 95.529 Ton atau 18,82% dari

tahun 2001 dan merupakan produksi terendah disepanjang tahun

1996-2010. Penurunan produksi disebabkan luas panen yang berkurang sebesar

7.781 Ha atau 18,87% dari tahun 2001. Namun produksi kembali

meningkat di tahun 2005 sebesar 2.277 Ton atau 0,45% dari tahun 2001.

Adapun volume ekspor ubi kayu di tahun 2002, 2003 dan 2004

masing-masing sebesar 7.313,856 Ton, 6.508,744 Ton dan 11.409,803 Ton. Pada

tahun 2004 terjadi kenaikan ekspor ubi kayu dimana pada tahun tersebut

produksi ubi kayu meningkat yang diikuti peningkatan luas panen.

Produksi dari tahun 2006-2010 mengalami peningkatan. Namun

peningkatan produksi baru terjadi di tahun 2008, karena sebelumnya yaitu

tahun 2006 dan 2007 produksi menurun, dimana masing-masing 57.346

(63)

produktivitas dikarenakan luas panen pada tahun tersebut berkurang

sebesar 4.721 Ha dan 5.905 Ha atau sebesar 11,59% dan 14,50% dari

tahun 2005.

Untuk produksi tahun 2008 dan 2009 produksi meningkat sangat besar

yaitu 226.975 Ton dan 497.488 Ton atau sebesar 44,49% dan 97,59% dari

tahun 2005. Namun dapat dilihat bahwa jika dibandingkan dengan tahun

2001 dan 2005 dimana masing-masing luas panennya sebesar 41.233 Ha

dan 40.717 Ha sedangkan di tahun 2008 dan 2009 luas panen ubi kayu

hanya 37.941 Ha dan 38.611 Ha, mampu menghasilkan produksi yang

jauh lebih besar dengan produktivitas 194,19 Kw/Ha dan 260.88 Kw/Ha.

Sedangkan untuk produksi ditahun 2010 yang berkurang sebesar 101.713

Ton dari tahun 2009 dikarenakan luas panen yang berkurang sangat besar

dan merupakan luas panen terendah disepanjang tahun 1996-2010. Jika

dibandingkan tahun 2009, luas panen tahun 2010 berkurang sebesar 6.209

Ha atau 16,08%. Namun produktivitas di tahun 2010 lebih besar jika

dibanding 2009 yaitu sebesar 279,48%.

Dari analisis data-data tersebut dapat dilihat bahwa pada tahun 1996

produksi dan produktivitas ubi kayu masing-masing 421.460 Ton dan 120

Kw/Ha dan untuk tahun 2010 masing-masing sebesar 905.571 Ton dan

Gambar

Tabel 1. Tingkat Konsumsi Beras di Sumatera Utara
Tabel 2. Kelompok Bahan Pangan Nasional
Tabel 3. Kandungan gizi ubi kayu per 100 gram bahan
Tabel 4. Kandungan gizi  dari tepung ubi kayu per 100 gram bahan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Nilai R square atau koefisien determinasi yang terlihat pada Tabel 5.7 adalah 0,789, artinya kemampuan variabel volume produksi kedelai, jagung, ubi kayu dan ubi

Dari sisi konsumsi, yakni dengan merubah pola konsumsi masyarakat yang menganggap bahan pangan umbi-umbian sebagai pangan inferior dan juga melakukan pengolahan yang

Produktivitas ubi kayu di daerah penelitian lebih tinggi dari produktivitas ubi kayu di Kabupaten Simalungun namun lebih rendah dari produktivitas ubi kayu hasil

Hasil penelitian antara lain: Ketersediaan ubi kayu di Provinsi Sumatera Utara secara serempak dipengaruhi oleh luas panen ubi kayu, harga ubi kayu, jumlah

Dengan demikian F hitung < F tabel dan sig F (0,248) > 0,05, maka H0 diterima dan H1 ditolak yang artinya harga ubi kayu, harga tepung, produksi ubi kayu dan

Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketersediaan Ubi Kayu di Provinsi Sumatera Utara.. Variables

mempengaruhi pola konsumsi pangan di Sumatera Utara karena kedelai adalah. salah satu komoditi subtitusi konsumsi beras

jalar setengah jadi yang dapat digunakan sebagai bahan baku dalam. industri makanan dan juga mempunyai daya simpan yang