• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Sayur Kaleng Sebagai Alternatif Sumber Serat Untuk Pangan Darurat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Sayur Kaleng Sebagai Alternatif Sumber Serat Untuk Pangan Darurat"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN PRODUK SAYUR KALENG SEBAGAI

ALTERNATIF SUMBER SERAT UNTUK PANGAN

DARURAT

DEWI EMILLIA BAHRY

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengembangan Sayur Kaleng sebagai Alternatif Sumber Serat untuk Pangan Darurat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

ABSTRAK

DEWI EMILLIA BAHRY. Pengembangan Sayur Kaleng sebagai Alternatif Sumber Serat untuk Pangan Darurat. Dibimbing oleh FRANSISKA RUNGKAT ZAKARIA dan ELVIRA SYAMSIR.

Produk sayur kaleng siap santap merupakan salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan ragam pangan para korban bencana alam, khususnya dalam pemenuhan kebutuhan serat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui formula kuah sayur yang disukai, kondisi proses termal yang sesuai untuk pengalengan sayur serta mengetahui stabilitas produk sayur kaleng selama penyimpanan. Bahan nabati yang diuji cobakan di dalam formula sayur kaleng adalah wortel, labu siam dan kacang merah. Indikator keamanan produk sayur kaleng dilihat berdasarkan nilai kecukupan panas pada saat proses sterilisasi. Karakteristik produk sayur kaleng yang dievaluasi adalah tekstur, warna, komposisi kimia dan atribut sensori. Profil kekerasan sayur dianalisis menggunakan Texture Analyzer TA-XT2i, warna produk diuji menggunakan Chromameter Minolta, sedangkan atribut sensori dievaluasi menggunakan uji rating hedonik dan deskriptif. Stabilitas produk diamati menggunakan metode ASLT. Formula kuah sampel yang terpilih adalah formula A yang memiliki preferensi rasa asin. Pengalengan menggunakan tiga jenis komoditi sayur menunjukkan hasil yang tidak memuaskan dari segi sensori maupun keamanan. Kacang merah akhirnya digunakan menjadi bahan utama dikarenakan karakteristik fisiknya yang paling baik di antara dua komoditi lainnya. Proses sterilisasi yang terpilih adalah proses sterilisasi pada suhu 115 oC dengan waktu operasi 45 menit. Waktu venting dan coming up time (CUT) proses berturut-turut adalah 7 dan 9 menit. Sampel kacang merah kaleng yang disimpan selama enam minggu pada suhu ruang, 40 oC, 45 oC dan 50 oC menunjukkan adanya perubahan kinetika pada atribut mutu tertentu. Atribut organoleptik (aroma dan rasa) menunjukkan adanya korelasi yang baik pada kurva perubahan mutu sebagai fungsi waktu dan kedua atribut dapat dijelaskan menggunakan model ordo 0. Laju perubahan atribut rasa adalah yang paling sensitif terhadap perubahan suhu. Produk sayur kaleng memiliki kandungan serat 11.4 gram per porsi dan mampu memenuhi 46 % AKG serat sehari-hari.

(6)

ABSTRACT

DEWI EMILLIA BAHRY. Development of Canned Vegetable as an Alternative of Fiber Source for Emergency Food Product. Supervised by FRANSISKA RUNGKAT ZAKARIA and ELVIRA SYAMSIR.

The canned vegetable product is one of solution to meet the refugee needs of variative foods, particularly in meeting their needs of fiber. The aim of this research was to determine the preferred vegetable’s sauce recipes, a suitable thermal process conditions for canning and to evaluate the product stability. The vegetables used in this study were carrot, chayote and kidney bean. Product safety was indicated by F0-value, while the product characteristics were described by texture, color, chemical composition and sensory profile. The hardness of product was measured with Texture Analyzer TA-XT2i, while color analysis was done using Chromameter Minolta. Sensory profile was studied with hedonic rating and descriptive test. Product stability was evaluated using ASLT method. Formula A sauce with a salty taste preference was selected as the most preferred recipe. Canning with three vegetable commodities showed an unsatisfied result based on sensory and safety evaluation. Kidney bean became the only vegetable used since its physical characteristic was the best among other commodities. The chosen thermal process conditions for kidney beans based on the safety aspect and consumer acceptance was the sterilization at a temperature of 115 °C with 45 minutes operating time. Venting time and CUT of process were 7 and 9 minutes consecutively. Samples of canned kidney beans stored for six weeks at room temperature, 40 °C, 45 oC and 50 °C indicated a change in the kinetics of specific quality attributes. Organoleptic attributes, which were aroma and taste, showed a good correlation toward the curve of quality changes as a function of time and both of them can be explained using the zero-order regression. The flavor attribute was the most sensitive characteristic toward the temperature changes. The canned vegetable contained 11.4 gram of fiber and fulfilled 46 % daily need of fiber consumption.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

PENGEMBANGAN SAYUR KALENG SEBAGAI

ALTERNATIF SUMBER SERAT UNTUK PANGAN

DARURAT

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS PERTANIAN BOGOR

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2016

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Pengembangan Sayur Kaleng sebagai Alternatif Sumber Serat untuk Pangan Darurat. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Fransisca Rungkat Zakaria MSc. dan Dr. Elvira Syamsir, STP, MSi. selaku pembimbing yang memberi arahan dan motivasi, serta Dian Herawati, STP, MSi. yang telah banyak memberi saran selama masa penelitian.

2. Kementerian riset teknologi dan pendidikan tinggi yang telah memberikan bantuan melalui dana penelitian strategis aplikatif (PSA) 2015.

3. Pak Nur, pak Gatot, ibu Sri, ibu Antin, pak Yahya, mbak Ulfa, mbak Yuli, pak Rojak, mbak Irin dan mbak Ririn selaku teknisi laboratorium yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian.

4. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat serta mendukung kemajuan penulis. 5. Mama, ayah, bang Ridwan dan bang Ricky selaku keluarga yang selalu

memberi dukungan moril selama masa penelitian.

6. Desi dan Manaf selaku teman satu dosen pembimbing serta Maria dan Bagus selaku teman satu proyek penelitian yang saling bahu membahu dalam penyelesaian skripsi.

7. Mima, Rizki, Rizka, Citra, Muji, Sarah, Brahma, Ifa, Chevia, DPPI Himitepa beserta seluruh teman-teman ITP 48 yang menemani dan mendukung selama masa-masa awal penulisan hingga skripsi ini selesai.

Semoga skripsi ini bermanfaat dan memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu dan teknologi pangan.

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Pangan Darurat 2

Sayuran 3

Proses Pengalengan 4

Sterilitas Proses Pengalengan 5

Pengaruh Suhu Tinggi terhadap Sayuran 7

METODE 8

Bahan 8

Alat 8

Metode Penelitian 8

Penelitian Tahap 1 : Pencarian resep formula kuah yang disukai 9 Penelitian Tahap 2 : Penentuan waktu proses termal dengan tiga jenis

komoditi sayur 10

Penelitian Tahap 3 : Penetapan prosedur dan waktu proses termal kacang

merah kaleng 16

Penelitian Tahap 4 : Pengujian stabilitas produk sayur kaleng 16

Metode Analisis 17

HASIL DAN PEMBAHASAN 22

Formula sayur yang disukai 22

Penentuan waktu proses termal dengan tiga jenis komoditi sayur 23 Penetapan prosedur dan waktu proses termal kacang merah kaleng 28 * Sampel yang diuji adalah sampel kacang merah sebelum dan setelah

dikalengkan 34

Stabilitas produk sayur kaleng 34

SIMPULAN DAN SARAN 44

Simpulan 44

Saran 45

DAFTAR PUSTAKA 45

(13)

DAFTAR TABEL

1 Syarat jumlah kandungan nutrien produk pangan darurat 3

2 Formula produk sayur sampel A dan sampel B 10

3 Nilai ohue dan daerah kisaran warna kromatis 20 4 Hasil analisis warna sampel sayur kaleng dengan waktu operasi 15

menit dan 25 menit 26

5 Karakteristik fisik dan sensori sampel sampel kacang merah kaleng dengan waktu operasi 45 (K1) dan 60 menit (K2) 30 6 Hasil analisis proksimat sampel kacang merah sebelum perlakuan

pengalengan dan setelah dikalengkan 34

7 Nilai r2 dan persamaan ordo 0 dan 1 dari perubahan parameter atribut

sensori sebagai fungsi dari waktu 40

8 Nilai r2 dan persamaan ordo 0 dan 1 dari perubahan parameter

kekerasan sebagai fungsi dari waktu 40

9 Nilai r2 dan persamaan ordo 0 dan 1 dari perubahan parameter atribut

warna sebagai fungsi dari waktu 41

10 Persamaan arhenius dan nilai Ea dari parameter aroma dan rasa 41

11 Hasil analisis serat pada kacang merah 43

12 Informasi nilai gizi kacang merah kaleng 44

DAFTAR GAMBAR

1 Alur penelitian pengembangan sayur kaleng sebagai alternatif sumber

serat untuk pangan darurat 9

2 Variasi ukuran wortel (Wb: ukuran besar, Wm: ukuran medium, Wk:

ukuran kecil) 11

3 Variasi ukuran labu siam (Lb: ukuran besar, Lm: ukuran medium, Lk:

ukuran kecil) 12

4 Alur proses produksi wortel kaleng (W) 13

5 Alur proses produksi labu siam kaleng (L) 14

6 Alur proses produksi kacang merah kaleng (K) 15

7 Hubungan antara lethal rate (LR) dan waktu (Δt) 17

8 Contoh kurva hubungan waktu dan respon pada suhu inkubasi sampel

sayur kaleng 21

9 Hasil uji rating hedonik pemilihan resep formula sayur dengan atribut overall (A: formula kuah asin dan B: formula kuah manis) 22 10 Grafik distribusi panas di dalam retort pada beberapa titik

(termokopel 1 (T1) hingga termokopel 10 (T10) 23 11 Hasil analisis deskripsi kekerasan sampel wortel dan labu siam 24 12 Kurva penetrasi panas pada wortel (Wm), labu siam (Lm) dan kacang

merah (K) dengan waktu operasi 15 menit (A) dan 25 menit (B) 24 13 Nilai F0 produk sayur kaleng dengan waktu operasi 15 dan 25 menit

(14)

(K) kaleng dengan waktu operasi 15 menit dan 25 menit 26 15 Alur proses produksi kacang merah kaleng modifikasi 28 16 Kurva penetrasi panas sampel kacang merah kaleng dengan waktu

operasi 45 (K1) dan 60 menit (K2) 30

17 Diagram spider-web hasil uji deskriptif sampel kacang merah kaleng dengan waktu operasi 45 (K1) dan 60 menit (K2) 33 18 Hasil uji rating hedonik sampel kacang merah kaleng dengan waktu

operasi 45 (K1) dan 60 menit (K2) pada atribut overall 33 19 Kurva perubahan atribut aroma sampel kacang merah kaleng selama

proses penyimpanan 35

20 Kurva perubahan atribut warna sampel kacang merah kaleng selama

proses penyimpanan 35

21 Kurva perubahan atribut rasa sampel kacang merah kaleng selama

proses penyimpanan 36

22 Kurva perubahan atribut tekstur sampel kacang merah kaleng selama

proses penyimpanan 36

23 Kurva perubahan atribut kekerasan sampel kacang merah kaleng

selama proses penyimpanan 37

24 Kurva perubahan nilai L sampel kacang merah kaleng selama proses

penyimpanan 37

25 Kurva perubahan nilai a sampel kacang merah kaleng selama proses

penyimpanan 38

26 Kurva perubahan nilai b sampel kacang merah kaleng selama proses

penyimpanan 38

27 Kurva perubahan nilai hue sampel kacang merah kaleng selama

proses penyimpanan 39

28 Kurva arhenius parameter aroma dan rasa 42

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisis uji hedonik pemilihan formula sayur menggunakan

SPSS 49

2 Lembar uji rating hedonik 50

3 Hasil analisis deskripsi kekerasan wortel berukuran kecil (Wk),

medium (Wm) dan besar (Wb) menggunakan SPSS 51

4 Hasil analisis deskripsi kekerasan labu siam berukuran kecil (Lk),

medium (Lm) dan besar (Lb) menggunakan SPSS 52

5 Hasil analisis SPSS kekerasan pada kacang merah kaleng dengan waktu operasi 45 menit (K1) dan 60 menit (K2) 53 6 Hasil analisis SPSS nilai L pada kacang merah kaleng dengan waktu

operasi 45 menit (K1) dan 60 menit (K2) 53

7 Hasil analisis SPSS nilai a pada kacang merah kaleng dengan waktu

operasi 45 menit (K1) dan 60 menit (K2) 54

8 Hasil analisis SPSS nilai b pada kacang merah kaleng dengan waktu

operasi 45 menit (K1) dan 60 menit (K2) 55

(15)

10 Hasil uji hedonik pemilihan kacang merah kaleng dengan waktu operasi 45 menit (K1) dan 60 menit (K2) menggunakan SPSS 56 11 Hasil data uji kadar air kacang merah sebelum dikalengkan (S) dan

sesudah dikalengkan (K) 58

12 Hasil data uji kadar abu kacang merah sebelum dikalengkan (S) dan

sesudah dikalengkan (K) 59

13 Hasil data uji kadar protein kacang merah sebelum dikalengkan (S)

dan sesudah dikalengkan (K) 60

14 Hasil data uji kadar lemak kacang merah sebelum dikalengkan (S)

dan sesudah dikalengkan (K) 61

15 Hasil data uji karbohidrat (by difference) kacang merah sebelum

dikalengkan (S) dan kacang merah kaleng (K) 62

16 Hasil analisis SPSS kadar air (BB) sampel kacang merah sebelum

dikalengkan (S) dan sesudah dikalengkan (K) 63

17 Hasil analisis SPSS kadar air (BK) sampel kacang merah sebelum

dikalengkan (S) dan sesudah dikalengkan (K) 63

18 Hasil analisis SPSS kadar abu (BB) sampel kacang merah sebelum

dikalengkan (S) dan sesudah dikalengkan (K) 64

19 Hasil analisis SPSS kadar abu (BK) sampel kacang merah sebelum

dikalengkan (S) dan sesudah dikalengkan (K) 65

20 Hasil analisis SPSS kadar protein (BB) sampel kacang merah sebelum dikalengkan (S) dan sesudah dikalengkan (K) 65 21 Hasil analisis SPSS kadar protein (BK) sampel kacang merah

sebelum dikalengkan (S) dan sesudah dikalengkan (K) 66 22 Hasil analisis SPSS kadar lemak (BB) sampel kacang merah sebelum

dikalengkan (S) dan sesudah dikalengkan (K) 67

23 Hasil analisis SPSS kadar lemak (BK) sampel kacang merah sebelum

dikalengkan (S) dan sesudah dikalengkan (K) 67

24 Hasil analisis SPSS karbohidrat by difference (BB) sampel kacang merah sebelum dikalengkan (S) dan sesudah dikalengkan (K) 68

25 Lembar uji deskriptif 69

26 Hasil analisis SPSS serat tak larut sampel kacang merah kaleng sebelum dikalengkan (S), sesudah dikalengkan (K), sampel kacang merah kaleng yang diinkubasi selama 6 minggu pada suhu ruang (A),

40 oC (B), 45 oC (C) dan 50 oC (D) 70

27 Hasil analisis SPSS serat larut sampel kacang merah kaleng sebelum dikalengkan (S), sesudah dikalengkan (K), sampel kacang merah kaleng yang diinkubasi selama 6 minggu pada suhu ruang (A), 40 oC

(B), 45 oC (C) dan 50 oC (D) 71

28 Hasil uji stabilitas warna selama 6 minggu 71

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bencana alam merupakan insiden yang kerap terjadi di kawasan Republik Indonesia. Kondisi bumi yang menua serta ketidak acuhan dalam merawat lingkungan hidup merupakan faktor penunjang terjadinya bencana alam. Menurut Badan Pusat Statistik (2015), selama tiga tahun terakhir telah terjadi beragam bencana alam yang menimpa desa-desa di wilayah Indonesia. Selama tiga tahun terakhir ini, sekitar 7861 desa mengalami tanah longsor, 7143 desa mengalami angin puting beliung, 3827 desa mengalami gempa bumi, 1478 desa mengalami banjir bandang dan 16 desa mengalami tsunami. Efek paling nyata pasca bencana alam ini adalah kurangnya pemenuhan kebutuhan primer para korban. Sektor primer yang sering mengalami kelangkaan pasca bencana alam adalah kebutuhan pangan.

Mayoritas, produk pangan yang kerap disumbangkan untuk para korban bencana alam adalah mi instan. Kepraktisan pangan olahan ini dinilai berguna untuk situasi darurat di tenda pengungsian. Di sisi lain, produk olahan ini baru mampu memenuhi asupan karbohidrat para korban bencana alam. Keterbatasan energi, sumber daya dan fasilitas di tenda pengungsian tidak memungkinkan untuk tersedianya variasi pangan yang bisa memenuhi kebutuhan nutrisi para korban bencana alam secara penuh. Pengembangan produk pangan darurat yang dapat memenuhi kebutuhan ragam pangan para korban bencana alam pun mulai dirasa penting untuk dikaji lebih dalam.

Menurut Zoumas et al. (2002), pangan darurat atau emergency food product adalah makanan yang memiliki energi dan densitas gizi tinggi untuk korban bencana alam yang dapat dikonsumsi segera pada keadaan darurat. Merunut dari jenis pangan darurat yang pernah diteliti, biskuit atau food bar merupakan salah satu bentuk pangan darurat populer yang sering dikembangkan. Namun, warga Indonesia yang menjadikan nasi sebagai makanan pokok, cenderung belum terbiasa dengan pangan utama berwujud selain nasi. Hal ini memberi sedikit kendala dalam pengaplikasian pangan darurat berwujud food bar secara massal di Indonesia. Pengembangan produk pangan yang telah lazim dikonsumsi serta sesuai dengan preferensi umum masyarakat Indonesia perlu digiatkan guna memperoleh pangan darurat aplikatif yang sesuai dengan budaya dan selera masyarakat Indonesia. Paket lengkap berupa nasi, lauk serta sayur siap santap merupakan alternatif produk pangan darurat yang layak diteliti mengingat kebiasaan pola makan penduduk Indonesia.

(18)

sayur di tenda darurat tergolong kecil. Oleh karena itu, sayur sebagai sumber serat siap santap diperlukan dalam paket pangan darurat.

Ketersediaan produk sayur siap santap merupakan salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan ragam pangan para korban bencana alam. Proses pengalengan mampu membantu produk olahan untuk memiliki umur simpan yang panjang. Metode pengalengan pun telah umum digunakan sebagai pengawetan sayur. Oleh karena itu, sayur kaleng adalah bentuk produk yang sesuai untuk memperoleh sayur siap santap yang praktis dan tahan lama. Sayur umumnya tergolong sebagai pangan berasam rendah. Metode proses termal serta pengalengan secara hermetis dibutuhkan untuk menangani produk sayur kaleng ini. Kajian terhadap formula sayur, metodologi pengalengan serta stabilitas produk akan memberikan dampak positif terhadap pengembangan alternatif pangan praktis guna tersedianya keragaman pangan bagi para korban bencana alam.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui formula kuah yang disukai, kondisi proses termal yang sesuai untuk pengalengan sayur serta mengetahui stabilitas produk sayur kaleng selama penyimpanan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk pengembangan sayur kaleng yang bermutu baik pada skala besar dan dapat dijadikan sebagai alternatif serat untuk pangan darurat.

TINJAUAN PUSTAKA

Pangan Darurat

(19)

Tabel 1 Syarat jumlah kandungan nutrien produk pangan darurat Nutrien Kandungan nutrien (% dari kalori total)

Lemak 35 – 45

Protein 13.5 – 15

Karbohidrat 40 – 50

Sumber : Zoumas et al. (2002)

Rincian komposisi karbohidrat pada pangan darurat antara lain mampu menyumbang energi sebesar 40 – 50 % dengan syarat minimum 50 % energi berasal dari pati, monosakarida yang terkandung tidak lebih dari 25 % serta tidak ada penambahan serat ke dalam produk. Kandungan serat pada produk food bar cenderung dibatasi untuk menghasilkan produk pangan darurat dengan energi setinggi mungkin. Prototipe pangan darurat perlu diuji organoleptiknya dan harus menerima skor hedonik sebesar sama atau lebih dari 6 dengan skala 9 atau setara untuk dianggap layak dari sisi penerimaan konsumen (Zoumas et al. 2002).

Sayuran

Sayur adalah salah satu komponen pangan pendukung pola makan sehat. Sayur mengandung serat, mineral, vitamin maupun komponen bioaktif yang diperlukan oleh tubuh (Patricia et al. 2014). Dua jenis komoditi sayur yang cukup tinggi penggunaannya menurut Susenas (2012) antara lain wortel dan labu siam. Penggunaan wortel sebagai bahan makanan mengalami peningkatan sejak tahun 2007 – 2011 dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 7.67 %. Penggunaan labu siam sebagai bahan makanan mengalami peningkatan sejak tahun 2007 – 2011 dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 4.47 %. Selain tren konsumsinya yang cukup tinggi, wortel dan labu siam segar pun memiliki kandungan serat yang cukup baik yaitu sebesar 3.6 dan 1.7 gram per 100 gram bahan (USDA 2015) . Menurut Badan Pusat Statistik (2011), produksi kacang merah di Indonesia tergolong lumayan tinggi, yaitu mencapai 116.397 ton pada tahun 2010. Kacang merah merupakan sumber protein nabati dan mengandung serat tidak larut yang tinggi serta mengandung oligosakarida seperti rafinosa dan stakiosa (Zakaria dan Soesanto 1996). Total kadar serat pangan komoditi kacang merah segar adalah sebesar 24.9 gram per 100 gram bahan (USDA 2015). Oleh karena kandungan nutrisi serta tren konsumsi yang cukup tinggi, ketiga bahan makanan ini potensial untuk dijadikan alternatif serat pada produk sayur kaleng.

(20)

menunjukkan bahwa komponen fitokimia utama yang terkandung pada labu siam adalah flavonoid dan saponin. Komponen flavon yang terdeteksi pada sampel labu siam hijau adalah myricetin dengan jumlah sebesar 756.13 ± 49.99 μg/g DW (Chao et al. 2014).

Wortel (Daucus carota L.) merupakan salah satu komoditi sayuran yang paling diminati karena kaya akan komposisi nutrisi seperti fitonutrien, serat pangan dan mineral. Kehadiran komponen fenolik di dalam wortel memberi kontribusi dari segi sensori, khususnya warna wortel. Wortel mentah yang diekstrak menggunakan etanol memiliki jumlah total fenolik sebesar 84 ± 0.96 mg (GAE) / 100 g jaringan segar (Goncalves 2010). Karotenoid dan antosianin adalah pigmen utama yang ditemukan pada wortel. Perbedaan kultivar pada wortel tergantung pada jenis pigmen yang terkandung di masing-masing wortel. Karotenoid adalah senyawa fitokimia yang memberi warna kuning, oranye atau kemerahan dan biasa ditemukan di kebanyakan kultivar wortel oranye dan kuning. Wortel oranye yang lazim digunakan mengandung α– dan β - karoten yang tinggi serta merupakan sumber provitamin A yang baik (Silva 2014). Wortel pun memiliki kombinasi yang unik dari tiga flavonoid, yaitu kaempferol, quercetin dan luteolin serta mengandung komponen fenol lainnya seperti klorogenat, kafeat, dan asam p-hidroksibenzoat bersama dengan berbagai turunan asam sinamat (Silva 2014).

Kacang merah atau biasa disebut kidney bean (Phaseolus vulgaris L.) mengandung banyak nutrisi, yaitu protein (20 – 30 %), karbohidrat (50 – 60 %) serta mengandung vitamin, mineral yang cukup dan memiliki kandungan lemak yang rendah, yaitu berkisar 1 – 2 % dalam bobot kering (MM Pedrosa et al. 2015). Karakter properti pada kacang merah secara umum dikaitkan dengan kehadiran asam fenolik, flavonol, isoflavon, flavon, antosianin dan condensed tannin (Tiwari & Singh 2012 ; Xu et al. 2007).

Proses Pengalengan

Salah satu metode peningkatan umur simpan produk pangan adalah dengan cara pengalengan. Pengertian pengalengan bukan hanya terbatas pada proses pengalengan konvensional menggunakan kemasan kaleng, tetapi dapat juga menggunakan kemasan non-kaleng, seperti retort pouch (Murniyati 2009), tetrapack, kaleng alumunium, gelas jar, kemasan plastik, dan sebagainya. Prinsip proses pengalengan pangan antara lain meliputi persiapan alat dan bahan, pengisian bahan, exhausting, pengeliman, proses sterilisasi, dan pendinginan (Muchtadi 1994).

(21)

– 10 menit pada suhu kisaran 75 – 95 oC dengan ketentuan kombinasi waktu dan suhu tergantung pada jenis sayuran (Canon 1996).

Pengisian bahan harus dilakukan secara baik dan tertata ke dalam kaleng yang bersih. Pengisian bisa diterapkan menggunakan cara manual, mesin semi otomatis maupun mesin otomatis. Saat mengisi bahan, kita perlu memperhatikan head space. Head space adalah ruang antara permukaan bahan dengan tutup kaleng. Ruang ini diadakan untuk membantu proses pengeluaran gas dari dalam kaleng. Besarnya ruang head space bergantung pada jenis bahan pangan dan kemasan. Jenis pangan cair dalam kaleng membutuhkan ruang head space kira-kira sebesar 0.25 inci. Bila pangan tersebut dikemas menggunakan gelas jar, akan memerlukan ruang head space yang lebih besar lagi. Bila pangan tersebut menggunakan suatu medium pemanasan, ruang head space tidak boleh kurang dari 0.25 inci. Bila tidak menggunakan medium pemanasan, bahan pangan diperbolehkan untuk diisi hingga hampir penuh memenuhi kemasan dengan meninggalkan sedikit ruang untuk head space (Muchtadi 1994). Ruang head space digunakan untuk ruang mengembang bagi isi di dalam kaleng.

Exhausting adalah proses pengeluaran gas atau udara dari dalam kaleng sehingga keberadaan oksigen yang diduga sebagai pemicu reaksi oksidasi bisa dihambat. Setelah keluar dari exhaust box, suhu yang diharapkan dimiliki oleh produk adalah berkisar 70o C (Muchtadi 1994). Pengeliman dilakukan tepat setelah proses exhausting. Kondisi hermetis pada pengalengan merupakan salah satu kunci mutu dan keamanan produk kaleng, Proses pun dilanjutkan menuju proses sterilisasi yang yang diakhiri dengan proses pendinginan.

Sterilitas Proses Pengalengan

(22)

dari serangan mikroba. Sterilisasi komersial adalah proses penghilangan semua mikroba pembusuk yang ada pada produk. Suhu sterilisasi yang dibutuhkan untuk menangani spora C. botulinum yang sangat resisten terhadap pemanasan adalah kisaran 115 – 133 oC (Winarno 2004).

Umumnya, sterilisasi komersial pada suhu 121oC atau 250o F selama 15 menit mampu mendestruksi mikroba pembusuk serta spora bakteri yang mungkin terkandung dalam produk. Namun, fluktuasi suhu pada proses pemanasan sangatlah mungkin terjadi sehingga diperlukan waktu pemanasan yang lebih lama. Beberapa parameter penting yang perlu diketahui dalam proses sterilisasi adalah nilai D, nilai Z dan nilai F0. Nilai D merupakan waktu yang dibutuhkan dalam menit untuk menghilangkan mikroba sebesar satu siklus log atau 90%. Target pembunuhan proses termal sering dinyatakan dalam satuan reduksi desimal mikroba, misalnya 12D untuk target sterilisasi yang artinya reduksi mikroba sebanyak 12 siklus logaritma atau reduksi 1 menjadi 10-12. Nilai Z merupakan perubahan suhu yang diperlukan untuk menurunkan atau menaikkan nilai D. Nilai F0 merupakan jumlah waktu dalam menit pada suhu 121.1 oC yang setara dengan efektifitas pemanasan dari suatu proses yang sedang dievaluasi pada suhu tertentu yang aktual (Winarno 2004). Nilai F0 ini diperlukan untuk mengukur derajat kecukupan panas suatu proses. Pengukuran nilai F0 bisa menggunakan berbagai metode, diantaranya adalah metode umum dan metode fomula. Metode paling sederhana adalah metode umum. Bila data mengenai profil penetrasi panas pada titik terdingin sampel telah diketahui melalui eksperimen maupun teori, lethal rate (L) dapat dikalkulasikan menggunakan suatu persamaan dan di plotkan ke dalam sebuah fungsi waktu. Nilai F0 diperoleh melalui penentuan luas area di bawah kurva lethal rate. Metode ini seringkali disebut metode trapesium karena penghitungan luas di bawah kurva yang serupa dengan bentuk trapesium (YH Hui 2005). Lethal rate adalah suatu laju destruksi yang memperhitungkan derajat ketahanan mikroba terhadap suhu tertentu (nilai D) serta daya tahan relatif mikroorganisme pada suhu-suhu destruktif (nilai Z). Pada proses penentuan nilai L ini, suhu sterilisasi yang dijadikan standar adalah 121.1 oC atau 250 oF.

(23)

Pengaruh Suhu Tinggi terhadap Sayuran

Perlakuan termal yang biasa digunakan dalam proses pengalengan menyebabkan penurunan tekstur yang signifikan. Efek termal terhadap tekstur dari bahan nabati, seperti wortel, labu siam dan kacang merah secara umum dikaitkan dengan kondisi pektin pada masing-masing pangan nabati. Seiring dilakukannya proses termal pada sayur-sayuran, pektin terdegradasi serta terlarut dari dinding sel dan lapisan antar sel (lamela tengah) yang berdekatan. Fenomena ini mengakibatkan hilangnya adesi antar sel dan penurunan lebih lanjut pada kekerasan jaringan (Abu-Ghannam 2006).

Proses termal pada wortel yang dilakukan oleh Vervoort et al. (2012) menunjukkan terjadinya penurunan kualitas warna wortel. Penurunan kualitas warna ini dipengaruhi oleh perubahan profil serta total karotenoid yang terkandung di dalam wortel. Suhu tinggi yang digunakan pada sterilisasi komersil mampu mendestruksi karoten karena strukturnya yang tidak jenuh sehingga rentan terhadap isomerisasi dan oksidasi. Vervoort et al. (2012) menunjukkan adanya korelasi positif antara nilai b wortel dengan total karotenoid, α- dan β- karoten serta berkorelasi negatif dengan tiga cis-isomer dari β- karoten. Di sisi lain, nilai a hanya memiliki korelasi negatif dengan tiga cis-isomer dari β- karoten. Nilai L mengalami penurunan yang signifikan selama proses termal, namun penurunan ini tidak menunjukkan adanya korelasi terhadap perubahan profil karotenoid.

Proses menggunakan suhu tinggi dilakukan oleh Lopez et al. (2013) selama 60 menit dengan mendidihkan dark bean (Phaseolus vulgaris L) yang kemudian memicu penurunan kadar komponen fenolik pada sampel. Proses termal menggunakan suhu tinggi dan waktu yang lama mampu merusak komponen tertentu pada kacang merah yang berakibat terjadinya degradasi warna. Beninger & Hosfield (2003) mengisolasi dan mengidentifikasi komponen flavonoid yang berkontribusi terhadap warna pada kacang merah. Warna merah yang dihasilkan disebabkan oleh kehadiran prosianidin B2, C1 dan C2. Kandungan asam fenolik pun diduga memberi kontribusi pada warna kacang merah. Han Kyu-Ho et al. (2015) melakukan karakterisasi kandungan antosianin dan proantosianidin pada adzuki bean dan meyimpulkan bahwa komponen yang berkontribusi pada warna adalah proantosianidin.

Dinding sel tumbuhan terdiri dari tiga lapisan yang berbeda yaitu dinding sel pertama, kedua dan lapisan antar sel (lamela tengah). Kandungan utama dinding sel pertama adalah polisakarida hemiselulosa, selulosa, senyawa pektat dan beberapa glikoprotein. Pada dinding sel kedua adalah selulosa, lignin dan hemiselulosa, sedangkan pada lamella tengah adalah senyawa pektat. Hal ini menunjukkan bahwa komponen utama serat pangan adalah selulosa, hemiselulosa, lignin dan senyawa pektat, sedangkan komponen lainnya seperti glikoprotein, glikolipid, musilase maupun fitat terdapat dalam jumlah kecil (Yuanita 2006). Perlakuan suhu tinggi akan memberi efek yang berbeda terhadap masing-masing serat. Pektin adalah komponen serat yang paling terpengaruh oleh perlakuan suhu tinggi. Suhu proses yang tinggi menginisiasi terjadinya peningkatan reaksi

(24)

METODE

Bahan

Proses produksi sayur yang akan dikalengkan menggunakan beberapa bahan, yaitu sampel wortel, labu siam dan kacang merah (kacang jogo) sebagai bahan utama beserta garam, gula, air dan bumbu rempah yang dibeli di toserba wilayah Dramaga. Kaleng yang digunakan pada penelitian ini adalah two piece drawn can dengan material TFS atau tin free steel berdimensi 307 x 113 produksi PT. United Can Company Limited, Indonesia.

Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis antara lain HCl 25%, akuades, heksana, K2SO4, HgO, H2SO4, H2BO3, Na2S2O3.5H2O, indikator merah metilen-biru metilen, HCl 0.02 N, buffer fosfat pH 6 , termamil, pankreatin dan protease merk sigma, HCl 4 M, NaOH 4M, etanol 94%, etanol 78% dan aseton.

Alat

Peralatan yang digunakan dalam pembuatan produk sayur adalah panci, neraca digital, saringan, talenan, piring, pisau, sendok dan centong, sedangkan instrumen proses pengalengannya antara lain blancher, exhauster, dan seamer (Armfield, UK), beserta retort (Korimat, Jerman).

Peralatan yang digunakan dalam menganalisis parameter uji pada penelitian ini antara lain texture analyzer TA XT-2i, chromameter (Minolta, Jepang), kjeldahl, buret, soxhlet, oven, tanur, neraca analitik, ruang asam, penyaring vakum, waterbath dengan shaker, pH meter, kertas saring, cawan aluminium, cawan porselen, labu lemak, labu kjeldahl, penangas, erlenmeyer, labu takar, pipet volumetrik, gelas ukur, whatmann 43, pipet dan gelas kimia.

Metode Penelitian

(25)

Penelitian Tahap 1 : Pencarian resep formula kuah yang disukai

Tahapan satu ini bertujuan untuk mencari resep formula kuah yang paling disukai panelis. Resep formula yang terpilih kemudian akan digunakan sebagai formula kuah sayur kaleng yang akan dikembangkan pada tahapan berikutnya. Formula yang akan diuji diperoleh melalui hasil pencarian resep menggunakan studi literatur serta modifikasi resep berdasar evaluasi dari uji mandiri yang

Penelitian tahapan II

Penentuan waktu proses termal dengan tiga jenis

komoditi sayur

Perlakuan:

- Tiga variasi ukuran wortel - Tiga variasi ukuran labu

siam

- Dua variasi operating time

Parameter uji:

- Dua variasi formula kuah (preferensi asin : A dan preferensi manis : B)

- Dua variasi operating time

Parameter uji:

(26)

diwakili oleh beberapa responden. Sampel formula yang dilakukan uji lanjut ada sebanyak dua resep, yaitu sampel A yang cenderung asin dan gurih serta sampel B yang cenderung manis (Tabel 2). Formula kuah tersebut dievaluasi segi sensorinya bersama dengan tiga jenis sayur yaitu wortel, labu siam dan kacang merah. Labu siam dan wortel dipotong berbentuk persegi dan setengah lingkaran dengan ketebalan 0.5 cm, sedangkan kacang merah digunakan dalam bentuk utuh. Proporsi jumlah wortel : kacang merah : labu siam yang digunakan adalah sebanyak 4 : 3 : 3. Ketiga jenis sayur direbus bersama bumbu-bumbu yang telah disiapkan sesuai formula.

Tabel 2 Formula produk sayur sampel A dan sampel B

Bahan Sampel A (%)* Sampel B (%)*

Sayur 70 90

Garam 0.91 0.52

Gula 0.54 0.72

Bawang merah 0.4 0.8

Bawang putih 0.4 -

Pala 0.006 -

Merica 0.01 -

Daun salam - 0.2

Temu kunci - 0.4

* persentase dibandingkan terhadap air

Evaluasi kesukaan panelis terhadap sampel formula kuah dilakukan menggunakan uji rating hedonik. Instrumen uji yang diperlukan adalah 70 panelis tidak terlatih. Atribut yang dinilai pada uji ini meliputi kesukaan secara overall. Nilai skala yang digunakan pada uji rating hedonik adalah 1 - 7 yang mengindikasikan penilaian sangat tidak suka (1) hingga sangat suka (7). Masing-masing panelis akan memperoleh dua buah sampel yaitu sampel A dan sampel B. Data rating hedonik produk diolah menggunakan program SPSS dengan uji Independent Sample T Test.

Penelitian Tahap 2 : Penentuan waktu proses termal dengan tiga jenis komoditi sayur

(27)

juga diamati untuk memperoleh ukuran sayur yang paling baik dari segi estetika maupun kualitas fisiknya. Sampel labu siam dan wortel diberi perlakuan tiga variasi ukuran, sedangkan sampel kacang merah tidak diberi variasi ukuran. Uji penetrasi panas bertujuan untuk melihat kecepatan rambat panas yang dilakukan oleh retort menuju titik dingin produk. Uji pendahuluan tersebut ditujukan untuk memperoleh dua variasi waktu operasi (operating time) yang nilai sterilitas prosesnya memenuhi kaidah konsep 12D dalam sterilisasi komersil dan mengikuti nilai F0 rekomendasi dari FAO. Waktu operasi adalah lamanya proses sterilisasi sejak retort mencapai suhu yang diinginkan hingga proses pemanasan berakhir.

Suhu retort yang digunakan selama proses uji pendahuluan maupun proses termal lanjut adalah 115 oC. Uji distribusi panas dilakukan pada retort yang memiliki 3 buah rak dengan peletakan total 10 buah termokopel secara acak di rak dengan posisi yang meliputi sisi tengah, kanan dan kiri. Sampel yang digunakan dalam uji distribusi panas ini adalah 90 kaleng berisi air. Penentuan ukuran sayur dilakukan sebelum tahapan uji penetrasi yang sesungguhnya. Sampel sayur yang diuji adalah sebanyak 3 jenis, yaitu labu siam kaleng (L) dan wortel kaleng (W) yang memiliki 3 variasi ukuran beserta kacang merah kaleng (K). Variasi ukuran wortel dan labu siam kaleng terdiri atas ukuran besar (Wb & Lb), medium (Wm & Lm) dan kecil (Wk & Lk). Rincian ukuran sayur dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3. Bobot netto masing-masing produk kaleng sebesar 195.5 gram. Perbandingan komposisi antara sayur dan kuah dalam kaleng sesuai dengan resep formula yang terpilih pada tahapan pertama. Proses pengalengan sesuai dengan alur produksi pada Gambar 4, 5 dan 6. Waktu operasi yang digunakan dalam tahap penentuan ukuran ini adalah 25 menit. Parameter sayur yang diamati adalah kekerasan tekstur sayur secara sensori yang dideskripsikan oleh 5 orang panelis menggunakan skor dari 1 (sangat lunak) hingga 7 (sangat keras).

Gambar 2 Variasi ukuran wortel (Wb: ukuran besar, Wm: ukuran medium, Wk: ukuran kecil)

Wb Wm Wk

Keterangan

x : 3 cm b : 0.5 cm

y : 3 cm p : 5 cm

(28)

Uji penetrasi panas dilakukan pada sayur kaleng yang masih terpisah dan prosedur pengalengan mengikuti Gambar 4, 5 dan 6. Termokopel diletakkan pada sampel dengan ukuran yang telah terpilih. Masing-masing jenis sayuran dievaluasi penetrasi panasnya sebanyak tiga kaleng. Uji penetrasi masing-masing jenis sayur bertujuan untuk mengetahui distribusi panas ke titik terdingin masing-masing bahan sehingga nilai kecukupan panas (F0) dapat dihitung. Setelah memperoleh nilai F0 dari kedua waktu operasi, dilakukan uji pengalengan dengan tiga komoditi sayur di dalam satu kaleng.

Masing-masing sampel sayur dilakukan pencucian dan pemotongan yang kemudian dilanjutkan dengan blansir. Proporsi air : sayuran yang digunakan untuk proses blansir adalah 5 : 1 (Patras et al. 2011; Slupski 2012). Sampel yang telah diblansir diberi perlakuan pendinginan segera di air dingin. Proses cooling setelah perlakuan blansir bertujuan untuk menghindari adanya pelunakan jaringan yang berlebihan (FAO 1995). Proses selanjutnya adalah tahapan filling. Ketiga jenis sayur dimasukkan ke dalam satu kaleng dengan perbandingan jumlah sayur : kuah mengikuti hasil rating hedonik yang terpilih di tahapan pertama, sedangkan proporsi wortel : kacang merah : labu siam sebesar 4 : 3 : 3. Kaleng yang telah selesai diisi, dilakukan proses exhausting untuk menghilangkan udara pada kaleng. Proses exhausting dilakukan dengan melewatkan kaleng ke dalam kotak uap (exhauster) pada suhu 80 oC selama 5 menit. Tujuan proses ini antara lain untuk mencegah adanya oksigen yang bisa memicu korosi pada kaleng dan menstimulus oksidasi pada pangan, serta untuk mengurangi kemungkinan destruksi vitamin C dan untuk menciptakan kondisi vakum saat kaleng didinginkan (FAO 1995). Tepat setelah keluar dari exhauster, kaleng segera dikelim menggunakan double seamer. Produk kaleng yang telah dikelim selanjutnya dilakukan sterilisasi di dalam retort pada suhu 115 oC dengan perlakuan dua waktu operasi, yaitu X dan Y. Tahapan berikutnya adalah proses cooling terhadap sampel sayur kaleng hingga mencapai suhu ruang.. Hasil pengalengan dengan tiga jenis sayur tersebut dievaluasi dari segi sensori dan visual.

Gambar 3 Variasi ukuran labu siam (Lb: ukuran besar, Lm: ukuran medium, Lk: ukuran kecil)

Keterangan

a : 0.5 cm y : 4 cm

b : 3 cm p : 2 cm

c : 3.5 cm q : 0.5 cm

x : 1 cm r : 3 cm

(29)

a Patras et al. (2011); * proporsi sayur : kuah sesuai dengan resep formula yang terpilih.

Gambar 4 Alur proses produksi wortel kaleng (W)

2 waktu operasi: X dan Y

Wortel kaleng Seaming

Retorting (115 oC)

Cooling Pengisian*

Kuah sayur

Exhausting (80 oC, 5 menit) Wortel

Pencucian, penirisan & pemotongan

(30)

b Akonor & Tortoe (2014); * proporsi sayur : kuah sesuai dengan resep formula yang terpilih.

Gambar 5 Alur proses produksi labu siam kaleng (L)

2 waktu operasi: X dan Y Blansir

(80 oC, 3 menit) b Labu siam

Pengisian*

Kuah sayur

Exhausting (80 oC, 5 menit) Pencucian, penirisan &

pemotongan

Seaming

Retorting (115 oC)

Cooling

(31)

c Slupski (2012); * proporsi sayur : kuah sesuai dengan resep formula yang terpilih.

Gambar 6 Alur proses produksi kacang merah kaleng (K)

2 waktu operasi: X dan Y Blansir

(96 oC, 3 menit) c Kacang merah

Pengisian*

Kuah sayur

Exhausting (80 oC, 5 menit) Pencucian dan penirisan

Seaming

Retorting (115 oC)

Cooling

(32)

Penelitian Tahap 3 : Penetapan prosedur dan waktu proses termal kacang merah kaleng

Tahapan ketiga bertujuan untuk melakukan perbaikan terhadap proses pengalengan berdasarkan evaluasi pada tahapan kedua. Sampel sayur terpilih dijadikan sebagai bahan utama sayur kaleng dan dilakukan uji penetrasi panas untuk menyeleksi dua waktu operasi yang memiliki nilai keamanan sesuai standar. Sayur kaleng dengan dua waktu operasi berbeda tersebut dianalisis karakteristik warna, tekstur beserta deskripsi atributnya. Uji deskriptif dilakukan menggunakan metode QDA dengan instrumennya adalah 9 orang panelis terlatih. Penentuan satu waktu operasi termal terbaik dilakukan dengan melihat tingkat kesukaan panelis menggunakan uji rating hedonik. Uji rating hedonik menggunakan 70 panelis tak terlatih dengan aribut yang dinilai adalah kesukaan secara overall. Data rating hedonik produk diolah menggunakan program SPSS dengan uji Independent Sample T Test. Uji organoleptik dilakukan dengan memanaskan produk kaleng terlebih dahulu selama 10 menit di air mendidih. Sampel yang akan dipilih adalah sampel yang memiliki nilai F0 sesuai standar rekomendasi FAO dan nilai kesukaan yang paling baik. Sampel sayur kaleng yang telah terpilih lalu dianalisis komposisi kimianya (proksimat). Uji proksimat dilakukan terhadap sampel terpilih yang telah dikalengkan dan sampel sayur terpilih sebelum dikalengkan. Penelitian Tahap 4 : Pengujian stabilitas produk sayur kaleng

(33)

Metode Analisis

Distribusi panas

Uji distribusi panas dilakukan dengan menggunakan sejumlah kaleng berisi air sebagai sampel untuk dilihat keseragaman peningkatan suhu selama pemanasan di dalam retort. Uji ini bertujuan untuk mengevaluasi kinerja retort dalam penyebaran panas yang merata ke seluruh area. Uji distribusi panas dilakukan pada retort yang memiliki 3 buah rak dengan peletakan 3 buah termokopel di masing-masing rak dengan posisi yang meliputi sisi tengah, kanan dan kiri secara acak. Sampel yang digunakan dalam uji distribusi panas ini adalah 90 kaleng berisi air.

Nilai F0 dengan metode umum (YH Hui 2005)

Over process dan under process yang mungkin terjadi dalam proses termal dapat dicegah dengan mengevaluasi kecukupan panas dari proses yang telah dilakukan. Nilai sterilitas proses dihitung dari luasan daerah di bawah kurva pada semilogaritma. Bentuk luasan di bawah kurva tersebut dapat dilakukan dengan cara membagi area di bawah kurva menjadi sejumlah pararelogram pada interval waktu (Δt) tertentu. Masing-masing kemudian dihitung luasnya dengan rumus luas trapesium sehingga diperoleh nilai sterilitas parsial (F0 parsial) pada (Δt) tersebut (Gambar 7). Bila masing-masing F0 parsial dijumlahkan, akan diperoleh nilai sterilitas total (F0) dari proses yang telah dilakukan (persamaan 1).

Gambar 7 Hubungan antara lethal rate (LR) dan waktu (Δt)

………..(1)

(34)

dimana :

F0 = nilai sterilisasi pada suhu 250 oF (121.1 oC) bagi mikroorganisme yang mempunyai nilai Z tertentu

∆T = peningkatan atau selang waktu yang digunakan untuk mengamati nilai T

T = suhu pengamatan pada waktu tertentu LR = 10 (T-Tref/z) adalah nilai lethal rate Proksimat

Sampel dipersiapkan dengan cara menghancurkan sampel dengan food processor. Sampel diproses hingga menjadi partikel yang halus dan kecil (± 30 – 60 detik), kemudian sampel tersebut dipindahkan menggunakan sendok.

Kadar air (SNI 01-2891-1992)

Analisis kadar air dilakukan dengan menggunakan metode gravimetri oven udara. Mula-mula, cawan alumunium kosong dikeringkan dalam oven bersuhu 105 oC selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator selama 10 menit. Setelah didinginkan, cawan kosong tersebut kemudian ditimbang. Sejumlah sampel dengan bobot 2-5 gram dimasukan kedalam cawan, kemudian cawan yang telah berisi sampel tersebut dikeringkan dalam oven suhu 105 °C selama 24 jam atau sampai berat sampel konstan. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang berat akhirnya.

Analisis kadar abu (SNI 01-2891-1992)

Analisis kadar abu dilakukan menggunakan metode pengabuan kering dengan oven. Mula-mula, cawan porselen kosong yang akan digunakan harus dikeringkan terlebih dahulu di dalam oven bersuhu 105 oC selama 15 30 menit lalu didinginkan di dalam desikator. Cawan yang telah didinginkan kemudian dihitung bobotnya. Sampel dimasukkan sebanyak 2-5 gram ke dalam cawan yang telah kering tersebut. Sampel dipanaskan menggunakan pembakar hingga tidak lagi terbentuk asap. Cawan berisi sampel tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tanur bersuhu 550 – 600 oC sampai pengabuan terjadi sempurna dan diperoleh bobot konstan.

Analisis kadar lemak metode soxhlet (SNI 01-2891-1992)  Tahap hidrolisis sampel

(35)

 Tahap analisis kadar lemak

Labu lemak yang telah dikeringkan terlebih dahulu di oven bersuhu 105 oC selama 15 – 30 menit perlu didinginkan di dalam desikator lalu ditimbang bobotnya. Kertas saring hasil tahapan hidrolisis sampel dimasukkan ke dalam selongsong kertas saring yang telah dialasi dengan kapas lalu sumbat selongsong dengan kapas. Selongsong kertas saring kemudian dimasukkan ke dalam alat soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak. Pelarut heksana sebanyak 150 mL dimasukkan ke dalam alat soxhlet dan dibiarkan mengalami proses refluks selama 6 jam. Labu lemak beserta hasil ekstrasi dikeringkan pada oven bersuhu 105 oC lalu didinginkan di dalam desikator. Labu lemak beserta sampel pun ditimbang hingga mencapai bobot konstan.

Kadar Protein dengan Metode Kjeldahl (AOAC 960.52)

Sebanyak 100-250 mg contoh ditimbang di dalam labu Kjeldahl kemudian ditambahkan 1.0±0.1 gram K2SO4, 40±10 mg HgO dan 2±0.1 mL H2SO4. Contoh dididihkan selama 1-1.5 jam dengan kenaikan suhu bertahap hingga larutan menjadi jernih kemudian didinginkan. Air destilata ditambahkan perlahan lewat dinding labu dan digoyang untuk melarutkan kristal yang terbentuk. Larutan dalam labu Kjeldahl dipindahkan ke dalam alat destilasi dan dibilas sebanyak 5-6 kali dengan 1-2 mL air destilata. Sebanyak 8-10 mL larutan 60 % NaOH - 5 % Na2S2O3.5H2O ditambahkan. Sebanyak 5 mL larutan H2BO3 dan 2-4 tetes indikator metilen red-metilen blue ditempatkan diujung kondensor. Ujung kondensor harus terendam larutan. Proses destilasi dilakukan hingga didapatkan 15 mL destilat. Destilat kemudian diencerkan hingga volumenya mencapai 50 mL. Destilat yang telah diencerkan dititrasi dengan HCl 0,02 N hingga terjadi perubahan warna menjadi abu-abu.

Serat pangan (Asp et al. 1992)

Sejumlah 1 gram sampel kering ditempatkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan 25 mL buffer natrium fosfat 0.1 N pH 6 dan 0.1 mL termamil. Erlenmeyer tersebut ditutup alumunium foil dan diinkubasi dalam penangas bergoyang pada 100 oC selama 15 menit. Setelah dingin, suspensi ditambahkan 20 mL air destilata dan diatur menjadi pH 6.8 dengan penambahan NaOH, lalu suspensi ditambahkan dengan 100 mg pankreatin, ditutup dan diinkubasi pada suhu 40 oC selama 60 menit. Setelah usai inkubasi, pH supsensi diturunkan menjadi 4.5 dengan penambahan HCl dan selanjutnya disaring melalui crucible kering dengan pencucian 2 x 10 mL air destilata. Kertas saring yang digunakan adalah whatmann 43. Residu pada kertas saring dicuci dengan 2 x 10 mL etanol 94 dan 2 x 10 mL aseton. Residu dikeringkan pada suhu 105 oC dan ditimbang lalu diabukan pada 550 oC selama 5 jam. Setelah selesai diabukan, residu didinginkan di dalam desikator dan kemudian ditimbang bobotnya. Residu ini berisi serat pangan tidak larut.

(36)

dan 2 x 10 mL aseton. Kertas saring dikeringkan pada suhu 105 oC dan ditimbang lalu diabukan pada tanur 550 oC. Setelah selesai diabukan, kertas saring didinginkan dalam desikator dan kemudian ditimbang.

Tekstur (Roeck et al. 2010)

Analisis tekstur dilakukan dengan menggunakan Texture analyzer TA-XT2i. Parameter tekstur yang diuji adalah kekerasan. Kekerasan sampel dievaluasi dengan uji kompresi menggunakan TA dengan rincian probe berdiameter 20 mm dan kecepatan tes sebesar 1 mm/detik. Kekerasan didefinisikan sebagai kekuatan maksimum yang dibutuhkan untuk melakukan kompresi sampai sampai 70% dari ketebalan aslinya.

Warna (Hutching 1999)

Pengukuran warna dilakukan dengan Chromameter (Minolta, Jepang). Prinsip dari alat Chromameter adalah pengukuran perbedaan warna melalui pantulan cahaya oleh permukaan sampel. Parameter yang diperhitungkan antara lain nilai L, a dan b. Nilai L melambangkan tingkat kecerahan sampel, mulai dari gelap (0) hingga sangat cerah (100). Nilai a melambangkan pantulan cahaya yang menghasilkan warna hijau (-80 sampai 0) hingga warna merah (0 sampai 100). Nilai b melambangkan pantulan cahaya yang menghasilkan warna biru (-70 sampai 0) hingga warna kuning (0 sampai 70). Nilai 0hue menggambarkan kisaran warna kromatis yang dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Nilai ohue dan daerah kisaran warna kromatis Nilai 0hue Daerah kisaran warna

3420– 180 Merah – Ungu 180– 540 Merah 540– 900 Kuning – Merah 900– 1260 Kuning 1260– 1620 Kuning – Hijau 1620– 1980 Hijau 1980– 2340 Biru Hijau 2340– 2700 Biru 2700– 3060 Biru – Ungu 3060– 3420 Ungu

Rating Hedonik

(37)

Quantitative Descriptive Analysis (QDA)

Metode analisis deskriptif melibatkan deteksi dan deskripsi terhadap aspek kualitatif dan kuantitatif atribut sensori produk yang dilakukan oleh 5 - 100 panelis terlatih (Meilgaard et al. 2006). Metode uji deskriptif yang biasa digunakan antara lain metode flavor profile, metode texture profile dan metode quantitave descriptive analysis (QDA). Uji deskriptif pada sampel kacang merah kaleng dilakukan menggunakan metode QDA dengan 9 orang panelis terlatih. Atribut yang dinilai akan didiskusikan oleh panelis terlatih pada tahap pengenalan produk dipandu seorang panel leader. Panel leader berfungsi sebagai fasilitator yang bersifat netral dan tidak memengaruhi diskusi. Analisis deskriptif dilakukan sekali seminggu dengan jangka waktu uji selama enam minggu. Skor uji deskriptif setiap minggunya dievaluasi dengan menggunakan referens sampel.

Kinetika Termal

Model kinetika merupakan model matematika yang bisa dipakai untuk menjelaskan laju perubahan suatu atribut mutu sebagai fungsi waktu pada suatu suhu tertentu (Boekel 2008). Atribut mutu yang dievaluasi antara lain tekstur kekerasan, nilai L, a, b dan skor deskriptif. Data analisis yang diperoleh digunakan untuk mengetahui atribut mutu yang dapat dijelaskan sebagai fungsi waktu pada suhu penyimpanan sampel sayur kaleng. Kurva hubungan waktu proses dan respon pada suhu inkubasi sampel tertera pada Gambar 8.

Kinetika perubahan atribut mutu dievaluasi menggunakan model ordo 0 (persamaan a) dan ordo 1 (persamaan b).

C = Co - ko t………(a)

C = Co exp (- k1 t)………...(b)

dimana ko = konstanta laju reaksi untuk model ordo 0, k1 = konstanta laju reaksi untuk model ordo 1, C = nilai atribut yang diukur pada waktu t, Co = nilai atribut awal. Pemilihan model yang paling tepat untuk masing-masing respon atribut

R

espon

Waktu inkubasi (hari ke-) T1

T2

T3 T4

(38)

mutu dilihat melalui nilai korelasi R2 terbesar. Model kinetik yang memiliki nilai korelasi R2 yang tinggi menunjukkan bahwa model itu bisa menjelaskan kinetika perubahan respon atribut mutu selama penyimpanan pada suhu yang berbeda (Charanjiv dan Sharma 2015).

Menurut He S. (2014), ketergantungan konstanta laju reaksi (k) terhadap suhu direpresentasikan melalui persamaan Arhenius (persamaan c):

k = kA exp (-Ea / RT)………(c)

dimana k = konstanta laju reaksi, Ea = energi aktivasi (kJ/mol), R = konstanta gas universal (8.314 J/mol/K), T = suhu absolut (K)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Formula sayur yang disukai

Analisis rating hedonik I

Resep formula yang diujikan adalah sebanyak 2 sampel, dengan sampel A sebagai formula yang mewakili rasa asin serta sampel B sebagai formula yang mewakili rasa manis. Contoh lembar uji dapat dilihat pada Lampiran 2.

Gambar 9 Hasil uji rating hedonik pemilihan resep formula sayur dengan atribut overall (A: formula kuah asin dan B: formula kuah manis)

Hasil uji rating hedonik pemilihan resep formula kuah produk (Gambar 9) menunjukkan bahwa formula A memiliki skor rata-rata paling tinggi yaitu 5.94 dan berbeda nyata dengan skor formula B pada tingkat kepercayaan 95 % (rincian dapat dilihat pada Lampiran 1). Indikasi ini menunjukkan bahwa formula sampel A lebih disukai oleh panelis.

a

(39)

Penentuan waktu proses termal dengan tiga jenis komoditi sayur

Profil distribusi panas

Gambar 10 Grafik distribusi panas di dalam retort pada beberapa titik (termokopel 1 (T1) hingga termokopel 10 (T10)

Uji awal dalam tahapan ini adalah uji distribusi panas untuk melihat kinerja retort melalui keseragaman panas yang dihasilkan selama proses. Tren perubahan suhu yang diperoleh pada masing-masing termokopel (Gambar 10) menunjukkan hasil yang tidak bervariasi satu sama lain. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penyebaran panas pada retort cukup merata di setiap titik. Waktu venting dan coming up time (CUT) yang diperoleh adalah sebesar 7 dan 9 menit.

Profil penetrasi panas

(40)

yang cenderung lunak sehingga tidak terlalu disukai. Sampel berukuran medium (Wm & Lm) memiliki tekstur mendekati netral dan dideskripsikan masih bisa diterima oleh panelis. Variasi sampel berukuran besar memiliki tekstur yang agak lebih keras dibanding dua variasi lainnya, namun secara estetika ukurannya terlalu besar dan memenuhi ruang dimensi kaleng. Selain itu, ukuran yang terlalu besar menurunkan laju penetrasi panas suatu produk (Paine & Heather 1992). Oleh karena itu, wortel dan labu siam berukuran medium (Wm & Lm) terpilih sebagai ukuran sayur yang digunakan untuk uji penetrasi panas.

Gambar 11 Hasil analisis deskripsi kekerasan sampel wortel dan labu siam

Sembilan buah termokopel digunakan untuk mengawasi perubahan suhu dari 3 kaleng K, 3 kaleng L dan 3 kaleng W selama pemanasan. Termokopel diletakkan pada sayur dengan ukuran terpilih. Melalui uji pendahuluan, diperoleh dua perkiraan waktu operasi termal yang akan dianalisis nilai kecukupan panas (F0) nya, yaitu 15 dan 25 menit.

Labu siam Wortel

1.8c

3.2b

4.4a

1.8c

3.6b

4.8a

A B

(41)

Proses termal pertama (Gambar 12 A) dilakukan dengan total waktu 39 menit. Nilai CUT proses, yaitu waktu yang dibutuhkan retort untuk mencapai suhu proses yang diinginkan, adalah 7 menit sedangkan waktu proses (operating time) nya adalah 15 menit. Nilai F0 terendah dari produk kaleng wortel, kacang merah dan labu siam secara berturut-turut adalah 4.51 menit, 4.69 menit dan 5.37 menit. Proses termal kedua (Gambar 12 B) dilakukan dengan total waktu 51 menit. Nilai CUT proses adalah 7 menit sedangkan waktu proses (operating time) nya adalah 25 menit. Nilai F0 terendah dari produk kaleng wortel, kacang merah dan labu siam secara berturut-turut adalah 6.44 menit, 7.26 menit dan 8.95 menit. Nilai F0 untuk kedua proses termal dapat dilihat pada Gambar 13.

Uji penetrasi panas pada ketiga jenis sayur memberi hasil nilai F0 yang berbeda. Hasil uji penetrasi panas yang dilakukan dengan dua waktu proses menunjukkan bahwa wortel memiliki nilai F0 yang lebih rendah dibanding kedua bahan lainnya (Gambar 13). Nilai F0 yang rendah ini mengindikasikan bahwa wortel mengalami penetrasi panas yang paling lambat. Waktu CUT maupun penetrasi akan bervariasi tergantung pada jenis retort, ukuran serta bentuk kaleng maupun botol yang digunakan dan perbedaan komposisi makanan (Potter & Joseph 1995). Ukuran dan bentuk dari isi kontainer juga memengaruhi proses pemanasan. Makanan yang tidak patah, seperti kacang-kacangan, mengalami pemanasan dengan cara yang hampir sama seperti yang terjadi pada potongan makanan kecil dalam air garam, yaitu cenderung lebih cepat. Pemanasan berjalan lebih lambat ketika potongan-potongan makanannya besar, karena panas harus menembus ke pusat sepotong makanan sebelum mencapai suhu retort (Paine & Heather 1992). Bila dibandingkan dengan kacang merah, ukuran potongan wortel lebih besar serta dimensi wortel yang berwujud balok memanjang membuat penetrasi panas menuju titik pusat wortel lebih lambat dari kacang merah yang berukuran kecil. Oleh karena laju penetrasinya yang paling lambat, nilai F0 wortel ditetapkan sebagai acuan nilai F0 produk sayur kaleng dengan kombinasi tiga jenis komoditi dalam satu kaleng. Melalui uji penetrasi panas, nilai F0 produk sayur kaleng yang dilakukan dengan waktu operasi 15 dan 25 menit secara

berturut-6.72 ± 0.27

7.68 ± 0.41

9.08 ± 0.31

5.47 ± 0.28 5.14 ± 0.41

4.71 ± 0.3

Gambar 13 Nilai F0 produk sayur kaleng dengan waktu operasi 15 dan 25 menit (Wm : wortel kaleng, Lm : labu siam, K: kacang merah)

15 menit 25 menit

(42)

turut adalah 4.51 dan 6.44.

Merujuk pada rekomendasi nilai F0 untuk negara tropis dari FAO, yaitu 12-15 menit, produk sayur kaleng yang dirancang dengan waktu operasi 15 dan 25 menit belum mencapai nilai minimum standar F0. Peningkatan waktu proses sterilisasi diperlukan untuk menghasilkan nilai kecukupan panas yang memiliki daya letal lebih tinggi. Namun, peningkatan waktu proses akan berdampak signifikan terhadap mutu fisik produk. Di sisi lain, mutu fisik produk dengan waktu proses 15 dan 25 menit ini pun telah menunjukkan karakter yang tidak begitu baik dari segi warna dan tekstur.

Tabel 4 Hasil analisis warna sampel sayur kaleng dengan waktu operasi 15 menit dan 25 menit

Sampel L a b hue

Kacang merah

15 menit 25.70 ± 0.01 8.95 ± 0.01 5.53 ± 0.01 31.71 ± 0.03 25 menit 25.38 ± 0.01 8.26 ± 0.02 4.99 ± 0.01 31.13 ± 0.06 Wortel 15 menit 34.47 ± 0.03 17.27 ± 0.02 16.18± 0.03 43.14 ± 0.03 25 menit 32.95 ± 0.16 11.92 ± 0.08 11.89± 0.04 44.92 ± 0.1 Labu siam 15 menit 35.37 ± 0.07 2.33 ± 0.02 4.93 ± 0.01 64.72 ± 0.14

25 menit 34.06 ± 0.05 2.8 ± 0.06 6.62 ± 0.03 67.06 ± 0.35 Berdasar Tabel 4, kenampakan warna pada produk sayur kaleng menunjukkan nilai L yang rendah, yaitu kisaran 25 - 35. Nilai L sebesar 0 menunjukkan hitam, sedangkan nilai L sebesar 100 menunjukkan putih. Nilai L sampel yang di bawah kisaran 50 memperlihatkan bahwa warna sampel dari kedua produk sayur kaleng yang diproses dengan dua waktu berbeda memiliki warna yang cenderung gelap. Pada proses termal yang paling singkat (yaitu waktu operasi 15 menit), ketiga jenis sayur sudah memiliki respon warna yang tidak cerah. Selain warna, tekstur masing-masing bahan nabati pun tidak terlalu keras (Gambar 14) – khususnya labu siam dan wortel - sehingga bila waktu proses termalnya diperpanjang hingga di atas 25 menit, risiko penurunan kualitas tektsur dan warna produk akan semakin tinggi.

Gambar 14 Hasil analisis tekstur wortel (Wm), labu siam (Lm) dan kacang merah (K) kaleng dengan waktu operasi 15 menit dan 25 menit

(43)
(44)

Penetapan prosedur dan waktu proses termal kacang merah kaleng

Prosedur pengalengan kacang merah yang dimodifikasi

c Slupski (2012);

Kacang merah digunakan sebagai bahan utama produk sayur kaleng. Produksi kacang merah kaleng yang telah dimodifikasi mengikuti Gambar 15. Perbandingan komposisi kacang merah : kuah dimodifikasi mengikuti proporsi

2 waktu operasi:

45’ dan 60’

Blansir (96 oC, 3 menit) c

Kacang merah

Pengisian

(sayur:kaleng = 5:3) Kuah sayur

Exhausting (80 oC, 5 menit) Pencucian dan penirisan

Seaming

Retorting (115 oC)

Cooling

Kacang merah kaleng

(45)

kacang merah kaleng komersil (D’aucy red kidney beans) sebesar 62.5 % : 37.5 %

atau 5 : 3. Resep kuah tetap mengikuti resep formula A yang asin, sedangkan bobot total dimodifikasi menjadi sebesar 200 gram.

Prosedur produksi kacang merah kaleng :

1. Siapkan bahan-bahan rempah untuk kuah sayur formula A (lihat Tabel 2) 2. Siapkan dan cuci kacang merah segar

3. Lakukan proses blansir kacang merah pada suhu ± 96 oC selama 3 menit 4. Perbandingan air blansir dan kacang merah adalah 5 : 1

5. Setelah diblansir, segera masukkan kacang merah pada air dingin untuk menurunkan suhu kacang merah hingga mendekati suhu ruang

6. Lakukan pengisian kacang merah dan kuah sayur dengan bobot sebesar 125 dan 75 gram pada kaleng tin free steel 307 x 113

7. Kaleng yang telah diisi dimasukkan ke dalam exhaust box dengan suhu exhauster sebesar 80 oC dan proses exhausting dilakukan selama 5 menit. 8. Segera kelim kaleng yang telah keluar dari exhaust box menggunakan double

seamer

9. Masukkan kaleng yang telah dikelim ke dalam air dingin untuk menurunkan suhu internal kaleng hingga mendekati suhu ruang (30 oC)

10.Kaleng yang telah selesai didinginkan, diletakkan di dalam retort vertikal 11.Venting dilakukan dengan membuka katup secara penuh

12.Saat suhu retort mencapai 95 oC, katup ditutup setengah bagian

13.Venting dilakukan selama minimal 7 menit dan suhu retort telah mencapai 105 oC dan coming up time (CUT) proses sebesar ± 9 menit

14.Sterilisasi pada suhu 115 oC dilakukan dengan waktu operasi selama 45 (K1) dan 60 menit (K2)

15.Saat telah mencapai waktu operasi yang ditentukan, tekanan di dalam retort di turunkan secara perlahan

16.Penurunan tekanan dilakukan selama ± 9 menit

17.Pada menit ketiga turunkan tekanan hingga mencapai 0.6 bar, pada menit kelima mencapai 0.5 bar, pada menit ketujuh mencapai tekanan sebesar 0.3 bar dan pada menit kesembilan mencapai 0 bar

18.Setelah itu, alirkan air mengalir untuk merendam dan menurunkan suhu produk hingga mencapai suhu ruang.

Karakteristik produk kacang merah kaleng

Kedua sampel kacang merah kaleng (K1 dan K2) dianalisis nilai sterilitas, kekerasan, warna, penerimaan secara overall serta deskripsi atribut sensorinya. Kacang merah kaleng yang paling baik didasarkan pada nilai sterilitas proses yang telah memenuhi syarat dan penerimaan konsumen yang paling baik.

(46)

dengan total waktu 92 menit. Nilai CUT proses adalah 8 menit sedangkan waktu proses (operating time) nya adalah 60 menit. Nilai F0 terendah dari produk kacang merah kaleng adalah sebesar 19.42. Nilai F0 dari produk kacang merah kaleng yang diproduksi dengan waktu proses sebesar 45 dan 60 menit adalah 12.87 dan 19.42. Kedua nilai F0 tersebut sudah mencapai nilai F0 yang direkomendasikan FAO, yaitu sebesar 12 - 15, sehingga kedua waktu operasi ini dianggap layak dan bisa dilakukan uji lanjut untuk menentukan satu waktu operasi yang akan digunakan sebagai prosedur produksi kacang merah kaleng. Rincian mengenai nilai F0 serta kurva penetrasi panas dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 16.

Gambar 16 Kurva penetrasi panas sampel kacang merah kaleng dengan waktu operasi 45 (K1) dan 60 menit (K2)

Tabel 5 Karakteristik fisik dan sensori sampel sampel kacang merah kaleng dengan waktu operasi 45 (K1) dan 60 menit (K2)

Parameter Satuan Sampel

K1 K2

Nilai F0 Menit 13.53 ± 0.63 20.28 ± 0.56

Kekerasan gf 1565.32 ± 39.46 a 1017.68 ± 145.01 b Warna

L - 27.36 ± 0.02 a 24.68 ± 0.02 b

A - 12.32 ± 0.01 a 11.62 ± 0.04 b

B - 6.42 ± 0.01 b 6.74 ± 0.01 a

Hue o 27.54 ± 0.02 b 30.12 ± 0.07 a

Nilai kesukaan 5.8 a 5.41 b

Deskriptif

Aroma kacang - 8 7

Tekstur - 4 2.5

Warna - 5 7

Rasa kacang merah

- 8 8

(47)

Karakteristik fisik yang diuji adalah kekerasan dan warna. Data analisis tekstur yang diperoleh (Tabel 5) menunjukkan bahwa sampel K1 memiliki nilai kekerasan yang lebih tinggi (1565.32 ± 39.46 g) dibanding sampel K2 (1017.68 ± 145.01 g) . Nilai antara K1 dan K2 berbeda nyata dengan taraf signifikansi 5 % (Lampiran 5). Proses termal dengan waktu yang lebih lama memicu pelunakan jaringan yang semakin besar. Hal ini pun sesuai dengan yang ditunjukkan oleh Siqueira et al. (2013) pada proses termal terhadap carioca beans bahwa waktu pemasakan sangat memengaruhi kekerasan. Mayoritas, tumbuhan mengandung sejumlah air yang signifikan dan material larut air yang dikelilingi oleh membran semi permeabel dan dinding sel. Tekstur dari sayuran terbentuk oleh adanya tekanan turgor dan paduan komposisi dinding sel masing-masing tumbuhan serta lamela tengah. Dinding sel terdiri atas selulosa, hemi selulosa dan pektin (Barrett et al. 2010). Perubahan tekstur tumbuhan selama pematangan, pemasakan maupun penyimpanan seringkali dikaitkan dengan fenomena konversi biokimia terhadap pektin. Hal ini dikarenakan jumlah pektin yang cukup banyak di lamella tengah, berperan dalam interaksi adesi antar sel, memiliki sifat yang paling mudah terbawa ke dalam larutan serta paling reaktif dibanding polimer dinding sel lainnya (Van Buren 1979).

(48)

2011; Lopez et al. 2013). Di sisi lain, NE Rocha-gusman et al. (2007) melakukan penelitian terhadap aktivitas antioksidan pada kacang merah dan menghasilkan adanya korelasi antara aktivitas antioksidan dengan ekstrak total fenolik. Oleh karena itu, rendahnya nilai a sampel kacang merah bisa dikarenakan menurunnya kandungan total fenolik yang diikuti oleh penurunan aktivitas antioksidan sebagai dampak dari suhu tinggi yang digunakan pada sterilisasi. Nilai b pada kedua sampel berada pada kisaran warna kuning, yaitu 0 - 70. Nilai b sampel K2 lebih besar dibandingkan K1, sehingga disimpulkan intensitas warna kekuningan sampel K2 teridentifikasi lebih besar. Nilai b pada kacang merah berkorelasi positif terhadap kandungan Mn dan Fe (Parmar et al. 2014). Nilai hue kedua sampel berada pada kisaran warna kromatis merah, yaitu 18 o - 54 o.

Gambar

Tabel 1  Syarat jumlah kandungan nutrien produk pangan darurat
Gambar 1  Alur penelitian pengembangan sayur kaleng sebagai alternatif    sumber serat untuk pangan darurat
Tabel 2  Formula produk sayur sampel A dan sampel B
Gambar 2  Variasi ukuran wortel (Wb: ukuran besar, Wm: ukuran medium, Wk:
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pembelajaran dengan pende- katan inkuiri yang mensyaratkan keterlibatan aktif siswa diharapkan dapat meningkatkan prestasi belajar dan sikap anak terhadap pelajaran

Berdasarkan pengujian kapasitas kerja alat ini dilakukan dengan membersihkan 1 kg gabah dalam sekali pengumpanan secara kontinyu ke dalam alat pembersih gabah

Jika suku pertama, ke 3, dan ke 6 suatu barisan aritmetika masing-masing adalah b − a, a dan 36 serta jumlah 9 suku pertama barisan tersebut ada- lah 180, maka beda barisan

Dengan melihat latar belakang di atas maka, peneliti tertarik untuk meneliti masalah tersebut untuk mengetahui hubungan antara pemenuhan kebutuhan berafiliasi dengan

Berdasarkan analisa kebutuhan dan analisa pengguna yang ada di atas maka aplikasi yang dibutuhkan Fasilkom Universitas Mercu Buana adalah aplikasi yang komunikatif

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis 1) tingkat keberhasilan program PUAP, 2) tingkat peranan PPL dalam program PUAP, dan 3) faktor-faktor yang berhubungan dengan

membacanya, dalam seminggu dua jam dalam pembelajaran Alquran hadis disempatkan untuk para siswa membaca Alquran satu demi satu siswa membaca jika ada waktu

Temubual mendalam secara bersemuka dan separa bersturuktur telah dilakukan terhadap dua (2) syarikat yang menyediakan khidmat sertu (disebut sebagai Syarikat G