• Tidak ada hasil yang ditemukan

SINTESIS DAN KARAKTERISASI BAHAN MAGNET BARIUM HEKSAFERIT (BaFe12O19) MENGGUNAKAN BAHAN DASAR BARIUM KARBONAT (BaCO3) DAN PASIR BESI DARI DAERAH PESISIR SELATAN PANDEGLANG-BANTEN (SYINTHESIS AND CHARACTERIZATION OF MAGNETIC MATERIALS BARIUM HEXAFERITTE (B

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "SINTESIS DAN KARAKTERISASI BAHAN MAGNET BARIUM HEKSAFERIT (BaFe12O19) MENGGUNAKAN BAHAN DASAR BARIUM KARBONAT (BaCO3) DAN PASIR BESI DARI DAERAH PESISIR SELATAN PANDEGLANG-BANTEN (SYINTHESIS AND CHARACTERIZATION OF MAGNETIC MATERIALS BARIUM HEXAFERITTE (B"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

MATERIALS BARIUM CARBONATE AND IRON SAND FROM THE SOUTHERN COASTAL AREA OF PANDEGLANG-BANTEN

By

M ARIF MUHAJIR

Synthesis and characterization of magnetic materials barium hexaferitte (BaFe12O19) using basic material barium carbonate (BaCO3) and natural iron sand from the southern coastal area of Pandeglang-Banten was done by powder technology methods. Characterization using SEM-EDX results show ferrite purity of natural iron sand extraction at 92.15%. Synthesized magnetic materials with composition BaCO3 and Fe2O3 by calculations based on stoichiometry and smooth used ball milling for 10 hours. Results by thermal analysis DTA showed the presence of a magnetic phase change in temperature 900,1000,1100 dan 1200oC. XRD characterization result sample X-900 dominated by hematite phase (Fe2O3), sample X-1000 dominated by dibarium monoferitte phase (Ba2FeO4), sample X-1100 dominated by barium hexaferitte phase (BaFe12O19) and sample X-1200 dominated by pseudobrookite phase (Fe2TiO5). Hysteresis curves of magnetic materials using VSM techniques shows the magnetic properties of the sample material X-1200 magnetic saturation (Ms) of 23.60 emu/g, remanensi magnetic (Mr) of 5.6066 emu/g and coercivity (Hc) of 204 Gauss.

(3)

ABSTRAK

SINTESIS DAN KARAKTERISASI BAHAN MAGNET BARIUM HEKSAFERIT (BaFe12O19) MENGGUNAKAN BAHAN DASAR BARIUM

KARBONAT (BaCO3) DAN PASIR BESI DARI DAERAH PESISIR SELATAN PANDEGLANG-BANTEN

Oleh

M ARIF MUHAJIR

Telah dilakukan sintesis dan karakterisasi bahan magnet barium heksaferit (BaFe12O19) menggunakan bahan dasar barium karbonat (BaCO3) dan pasir besi alam dari daerah pesisir selatan Pandeglang-Banten menggunakan metode teknologi serbuk. Karakterisasi menggunakan SEM-EDX menunjukan kemurnian ferit hasil ekstraksi pasir besi alam sebesar 92,15%. Bahan magnet disintesis dengan komposisi BaCO3 dan Fe2O3 sesuai stoikiometri dan dihaluskan menggunakan ball milling selama 10 jam. Hasil analisis termal menggunakan DTA menunjukan adanya perubahan fasa magnetik pada temperatur 900,1000,1100 dan 1200oC. Hasil karakterisasi XRD sampel X-900 didominasi oleh fasa

hematite (Fe2O3), sampel X-1000 didominasi oleh fasa dibarium monoferitte (Ba2FeO4), sampel X-1100 didominasi oleh fasa barium hexaferitte (BaFe12O19) dan sampel X-1200 didominasi oleh fasa pseudobrookite (Fe2TiO5). Kurva histerisis bahan magnetik menggunakan teknik VSM menunjukan sifat magnetik bahan sampel X-1200 memiliki saturasi magnetik (Ms) 23,60 emu/gr, remanensi magnetik (Mr) sebesar 5,6066 emu/gr dan koersivitas (Hc) sebesar 204 Gauss.

(4)
(5)
(6)
(7)

x DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Batasan Masalah ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Pasir Besi ... 7

2.2 Ferit Sebagai Bahan Magnet ... 8

2.3 Sifat Kemagnetan Bahan ... 9

2.3.1 Bahan Diamagnetik ... 9

2.3.2 Bahan Paramagnetik ... 9

2.3.3 Bahan Ferromagnetik ... 10

2.3.4 Bahan Antiferromagnetik ... 11

2.3.5 Bahan Ferrimagnetik ... 11

2.4 Ekstraksi Pasir Besi ... 12

2.4.1 Presipitasi ... 12

2.4.2 Metode Hidtrotermal dan Oksidasi ... 13

2.5 Metode Metalurgi Serbuk ... 14

2.5.1 Sintesis Serbuk ... 15

2.5.2 Proses Penekanan atau Kompaksi ... 16

2.5.3 Sintering ... 17

2.6 Vibrating Sampel Magnetometer (VSM) ... 17

2.6.1 Komponen VSM ... 17

2.6.2 Prinsip Kerja VSM ... 20

2.6.3 Kurva Histerisis Bahan Ferromagnetik ... 21

2.7 Thermal Analysis ... 23

2.7.1 Differential Thermal Analysis (DTA) ... 23

2.7.2 Prinsip Kerja DTA ... 25

2.7.3 Differential Thermal Analysis Dalam Riset ... 27

(8)

xi

2.9.1 Sejarah Sinar-x ... 33

2.9.2 Prinsip Kerja Sinar-x... 34

2.9.3 Penggunaan dan Aplikasi Sinar-x ... 35

2.9.4 Keunggulan dan Kelemahan Sinar-x ... 36

III. METODE PENELITIAN ... 37

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 37

3.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 37

3.3 Prosedur Penelitian ... 38

3.3.1 Preparasi ... 38

3.3.2 Ekstraksi Pasir Besi (Oksidasi Hidrotermal) ... 38

3.3.3 Sintesis Bahan Magnet Barium Heksaferit ... 39

3.3.4 Karakterisasi dan Analisis ... 40

3.4 Diagram Alir ... 40

3.4.1 Ekstraksi pasir Besi ... 41

3.4.2 Sintesis Bahan magnet Barium Heksaferit ... 42

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN……….. 43

4.1 Hasil Ekstraksi Pasir Besi ... 43

4.1.1 Hasil Ekstraksi Menggunakan Metode Fisika ... 42

4.1.2 Hasil Ekstraksi Menggunakan Metode Kimia ... 44

4.2 Hasil Karakterisasi Pasir Besi Menggunakan EDX ... 45

4.3 Hasil Karakterisasi Menggunakan DTA/TG ... 48

4.4 Hasil Sintesis Bahan Magnet Barium Heksaferit ... 51

4.5 Hasil Karakterisasi Menggunakan XRD ... 53

4.5.1 Hasil Karakterisasi XRD Sampel X-900 ... 54

4.5.2 Hasil Karakterisasi XRD Sampel X-1000 ... 56

4.5.3 Hasil Karakterisasi XRD Sampel X-1100 ... 58

4.5.4 Hasil Karakterisasi XRD Sampel X-1200 ... 59

4.5.5 Transformasa Bahan Magnet Hasil Karakterisasi XRD ... 61

4.6 Hasil Karakterisasi Sifat Magnetik Menggunakan VSM ... 64

V. KESIMPULAN DAN SARAN……….. 65 5.1 Kesimpulan……….. 65 5.2 Saran………. 66 DAFTAR PUSTAKA

(9)

I.PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Riset pengolahan pasir besi di Indonesia saat ini telah banyak dilakukan, bahkan karakteristik dari pasir besi sudah diketahui, namun penelitian ini masih terus dilakukan guna memanfaatkan deposit pasir besi yang melimpah di Indonesia. Besi dan baja adalah produk yang banyak dihasilkan dari pengolahan pasir besi, tetapi jika diproduksi menjadi magnet, tentunya akan memiliki nilai ekonomi yang jauh lebih tinggi.

Umumnya, pasir besi yang ditemukan di alam mengandung ferit sebesar 58,39 – 60,23% berupa hematit ( -Fe2O3) dan maghemit ( -Fe2O3) meskipun komposisi kimia kedua bahan tersebut sama namun fasa keduanya berbeda. Maghemit berfasa kubus dan hematit berfasa heksagonal. Para peneliti lazimnya menggunakan hematit sebagai bahan dasar proses sintesis serbuk magnet. Maghemit dapat diperoleh dengan proses oksidasi pasir besi pada temperatur 300oC, sedangkan hematit dapat diperoleh dengan temperatur 700-800oC (Yulianto, 2007). Selain maghemit dan dan hematit, ferit juga dapat ditemukan berupa magnetit (Fe3O4) (Dunlop and Ozdemir, 1997).

(10)

listrik hingga mainan anak-anak. Tidak hanya itu magnet dapat diaplikasikan dalam berbagai komponen elektromotor, CD room, hardisk dan komponen elektronika lainya seperti film tipis yang digunakan sebagai media rekam atau sensor hingga perangkat listrik yang berbasis teknologi nano (Muljadi, 2010).

Ferit yang terkandung dalam pasir besi dapat diolah menjadi magnet sesuai kebutuhan pasar. Magnet yang paling banyak beredar di pasar berdasarkan bahan yang digunakan adalah ferit (Fe2O3) dengan campuran bahan aditiv berupa; BaO, SrO, Nd, La203, Al2O3, SiO2, CaO, Cr2O3, CoO, MnO, Na2O,SO4 (PT.NX, Cilegon-Indonesia).

Magnet permanen ferit dapat dibedakan menjadi dua kelompok utama, yaitu magnet keramik selfbonded dan magnet dengan agen (pengikat). Salah satu jenis ferit yang laku secara komersial adalah barium heksaferit (BaFe12O19) dan stronsium heksaferit (SrO.6Fe2O3). Serbuk ferit jenis ini dapat disintesis dengan cara mencampurkan hematit ( -Fe2O3) dengan barium karbonat (BaCO3) atau stronsium karbonat (SrCO3), selanjutnya dipanaskan pada temperatur di atas 1000oC. Proses pemanasan tersebut lazim dinamakan proses kalsinasi (Billah, 2006).

(11)

3

menghasilkan magnet yang lebih baik, misalnya ko-presipitasi (Didin et al, 2010), crystallization (Sung-chan et al, 2000), sol-gel (Sulistyo et al, 20012), presipitasi

(Rahmawati, 2011), sintesis hidrotermal (Waludjojati, 2008), mechanical alloying (Suryadi et al, 2007).

Untuk mendapatkan magnet permanen dengan gaya remanen maksimum (1,5-2,4 kG) dibutuhkan kandungan ferit dengan kemurnian 99,99%. Proses hidrotermal dan oksidasi dapat meningkatkan prosentase kemurnian ferit sehingga dapat meningkatkan induksi remanen magnet (Br) yang dihasilkan. Proses hidrotermal dapat dilakukan dengan menambahkan katalis (ex : HCL, HNO3 dan H2SO4) dalam temperatur 90oC, kemudian dilakukan oksidasi dalam furnace pada temperatur 700-800oC (Setioko, 2010). Nilai remanen yang tinggi juga dapat diperoleh jika kerapatan bahan tinggi (Idayanti et al, 2002). Untuk memperoleh kerapatan yang tinggi dapat dilakukan dengan menggiling bahan dengan ball milling sampai ukuran nano (Smith, 1959).

(12)

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Berapakah prosentase kemurnian ferit ( -Fe2O3) hasil ekstraksi pasir besi alam yang diperoleh dari pesisir selatan Pandeglang-Banten dengan teknik scanning electron microscopy-energy dispersive x-ray (SEM-EDX).

2. Berapakah temperatur optimal yang dibutuhkan untuk proses sintering bahan magnet barium heksaferit (BaFe12O19) berbahan dasar barium karbonat (BaCO3) dan pasir besi alam yang diperoleh dari pesisir selatan Pandeglang-Banten dengan teknik differential thermal analysis (DTA).

3. Bagaimanakah kurva histerisis bahan magnet barium heksaferit (BaFe12O19) berbahan dasar barium karbonat (BaCO3) dan pasir besi alam yang diperoleh dari pesisir selatan Pandeglang-Banten dengan teknik vibrating sample magnetometer (VSM).

4. Bagaimanakah pola fasa yang terbentuk dalam magnet barium heksaferit (BaFe12O19) berbahan dasar barium karbonat (BaCO3) dan pasir besi alam yang diperoleh dari pesisir selatan Pandeglang-Banten dengan teknik x-ray diffraction (XRD).

1.3 Batasan Masalah

(13)

5

kemurnian 99,99% standar laboratorium, sedangkan ferit diperoleh dari ekstraksi pasir besi dari daerah pesisir selatan Pandeglang-Banten, kemurnian ferit di uji dengan teknik SEM-EDX dan suhu sintering bahan magnet di uji dengan teknik DTA sedangkan karakterisasi pola fasa barium heksaferit menggunakan teknik XRD dan kurva histerisis magnet menggunakan teknik (VSM).

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan adalah untuk:

1. Mengetahui prosentase kemurnian ferit ( -Fe2O3) hasil ekstraksi pasir besi alam yang diperoleh dari pesisir selatan Pandeglang-Banten dengan teknik scanning electron microscopy-energy dispersive x-ray (SEM-EDX).

2. Mengetahui temperatur optimal yang dibutuhkan untuk proses sintering bahan magnet barium heksaferit (BaFe12O19) berbahan dasar barium karbonat (BaCO3) dan pasir besi alam yang diperoleh dari pesisir selatan Pandeglang-Banten dengan teknik differential thermal analysis (DTA).

3. Mengetahui kurva histerisis bahan magnet barium heksaferit (BaFe12O19) berbahan dasar barium karbonat (BaCO3) dan pasir besi alam yang diperoleh dari pesisir selatan Pandeglang-Banten dengan teknik vibrating sample magnetometer (VSM).

(14)

1.5 Manfaat Penelitian

Berikut ini manfaat yang dapat diperoleh dalam penelitian :

1. Dapat memberikan informasi mengenai sintesis dan karakterisasi bahan magnet barium heksaferit (BaFe12O19) menggunakan bahan dasar barium karbonat (BaCO3) dan pasir besi dari daerah pesisir selatan Pandeglang-Banten.

(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dibahas konsep dasar teori sebagai pendukung topik penelitian. Pembahasan dimulai dari bahan baku meliputi pasir besi (hematit, magnetit, maghemit) serta pengolahan bahan magnet meliputi ekstraksi pasir besi, sintesis menggunakan metode metalugi serbuk hingga karaktersisasi bahan magnet yang meliputi teknik DTA, VSM, XRD dan EDX.

2.1 Pasir Besi

(16)

Magnetit memiliki fasa kubus, sedangkan maghemit dan hematit meskipun memiliki komposisi kimia yang sama namun kedua bahan tersebut memiliki fasa yang berbeda. Maghemit berfasa kubus sedangkan hematit berfasa heksagonal. Para peneliti lazimnya menggunakan hematit sebagai bahan dasar dalam proses sintesis serbuk magnet ferit karena hematit memiliki fasa tunggal yang dipercaya akan memiliki sifat kemagnetan yang kuat jika dibandingkan dengan fasa campuran (Yulianto, 2007). Ketiga fasa tersebut dapat diperoleh melalui oksidasi dengan temperatur yang berbeda. Awalnya bahan berupa magnetit dan ketika pemanasan mencapai temperatur 250oC maghemit mulai terbentuk dan mendominasi pada temperatur 350oC. Pada suhu 450oC komposisi fasa maghemit mulai menurun dan bertransformasi fasa menjadi maghemit dengan bentuk struktur tetragonal. Sedangkan hematit mulai muncul pada suhu 550oC berfasa tunggal dan mendominasi pada suhu 700-800oC (Mashuri et al, 2007).

2.2 Ferit Sebagai Bahan Magnet

(17)

9

murah untuk diproduksi dan banyak digunakan sebagai magnet permanen, (iii) ferit berstruktur garnet mempunyai magnetisasi spontan yang bergantung pada suhu secara khas. Strukturnya sangat rumit, berbentuk kubik dengan sel satuan disusun tidak kurang dari 160 atom (Idayanti et al, 2002).

2.3 Sifat Kemagnetan Bahan

Bahan magnetik adalah suatu bahan yang memiliki sifat kemagnetan dalam komponen pembentuknya. Menurut sifatnya terhadap adanya pengaruh kemagnetan, bahan dapat digolongkan menjadi 5 yaitu:

2.3.1 Bahan Diamagnetik

Adalah bahan yang tidak memiliki momen dipol magnet permanen. Jika bahan diamagnetik diberi medan magnet luar, maka elektron-elektron dalam atom akan mengubah gerakannya sedemikian rupa sehingga menghasilkan resultan medan magnet atomis yang arahnya berlawanan dengan medan magnet luar tersebut. Contoh bahan diamagnetik yaitu bismut, perak, emas, tembaga dan seng.

2.3.2 Bahan Paramagnetik

(18)

momen magnetik spin yang menjadi terarah oleh medan magnet luar. Pada bahan ini, efek diamagnetik (efek timbulnya medan magnet yang melawan medan magnet penyebabnya) dapat timbul, tetapi pengaruhnya sangat kecil.

(a) (b)

Gambar 1. Arah domain dalam bahan paramagnetik sebelum (a) dan sesudah (b) diberi medan magnet luar.

2.3.3 Bahan Ferromagnetik

Bahan ferromagnetik adalah bahan yang mempunyai resultan medan atomis besar. Hal ini terutama disebabkan oleh momen magnetik spin elektron. Pada bahan ferromagnetik banyak spin elektron yang tidak berpasangan, misalnya pada atom besi terdapat empat buah spin elektron yang tidak berpasangan. Masing-masing spin elektron yang tidak berpasangan ini akan memberikan medan magnetik, sehingga total medan magnetik yang dihasilkan oleh suatu atom lebih besar.

(19)

11

2.3.4 Bahan Antiferromagnetik

Jenis ini memiliki arah domain yang berlawanan arah dan sama pada kedua arah. Arah domain magnet tersebut berasal dari jenis atom sama pada suatu kristal. Contohnya MnO, MnS, dan FeS. Pada unsur dapat ditemui pada unsur cromium, tipe ini memiliki arah domain yang menuju dua arah dan saling berkebalikan. Jenis ini memiliki temperature curie yang rendah sekitar 37ºC untuk menjadi paramagnetik.

Gambar 3. Arah domain dalam bahan anti ferromagnetik.

2.3.5 Bahan Ferrimagnetik

Jenis tipe ini hanya dapat ditemukan pada campuran dua unsur antara paramagnetik dan ferromagnetik seperti magnet barium ferit dimana barium (Ba) adalah jenis paramagnetik dan ferit (Fe) adalah jenis unsur yang termasuk dalam kategori ferromagnetik (Barsoum, 1997).

(20)

2.4 Ekstraksi Pasir Besi

Ekstraksi pasir besi yang dimaksud disini adalah suatu proses pemurnian pasir besi yang diperoleh dari alam yang akan digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan magnet atau untuk kebutuhan lainnya. Pasir besi yang diperoleh dari alam biasanya bercampur dengan pasir atau tanah liat, sehingga membutuhkan suatu metode untuk memurnikan pasir besi secara magnetik. Beberapa industri yang menggunakan pasir besi sebagai bahan dasar sudah menggunkan alat separator magnetik yang dapat memisahkan pasir besi dengan pengotornya dalam skala ratusan bahkan ribuan ton perharinya. Sedangkan untuk skala laboratorium, peneliti biasanya lebih memilih menggunakan metode manual untuk mengekstrak pasir besi dengan magnet permanen. Perbedaan metode tersebut hanya terletak pada skala kuantitas. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, ekstraksi manual harus dilakukan dengan syarat menggunakan magnet permanen yang memiliki induksi remanen yang besar, sekitar 2500 - 6000 Gauss.

2.4.1 Presipitasi

(21)

13

2.4.2 Metode Hidrotermal dan Oksidasi

Pada tahun 1839, ahli kimia Jerman Robert Whilhelm Bunsen menggunakan larutan encer sebagai media dan menempatkannya dalam tabung pada keadaan temperatur diatas 200oC dan tekanan diatas 100 barr. Hal tersebut digunakan untuk proses hidrotermal pada suatu material. Material yang digunakan adalah barium karbonat dan stronsium karbonat. Kristal yang terbentuk pada material dalam kondisi tersebut merupakan proses hidrotermal yang pertama kali dilakukan dengan menggunakan larutan encer sebagai media (Fernandes et al, 2011). Bateman (1956) menyatakan bahwa larutan hidrotermal adalah suatu cairan atau fluida yang panas, kemudian bergerak naik ke atas dengan membawa komponen-komponen mineral logam, fluida ini merupakan larutan sisa yang dihasilkan pada proses pembekuan magma.

(22)

hematit awal sebanyak 6.45% dan terus bertambah seiring dengan kenaikan suhu. Kondisi ini terjadi dalam furnace yang tidak vakum sehingga oksigen dengan mudah keluar masuk ruang pembakaran yang mengakibatkan oksidasi bisa berjalan dengan cepat. Dalam penelitian terbaru, kita dapat menyimpulkan bahwa dengan temperatur lebih tinggi kita dapat membuat hematit secara ekonomis dan efisien. Selain waktu yang dibutuhkan relatif singkat, pembakaran diruang terbuka tanpa oksigen memiliki nilai ekonomis yang jauh lebih murah.

Secara sederhana metode hidrotermal dan oksidasi digunakan dalam pemurnian pasir besi dengan cara melarutkan pasir besi dengan bahan katalis berupa asam kuat (HCL,HNO3 dan H2SO4) pada suhu 90oC sampai larutan mengering kemudian dilanjutkan dengan pemanasan dengan furnace pada suhu 800oC selama 4 jam, maka akan didapatkan peningkatan kandungan Fe2O3 (Setiyoko, 2010).

2.5 Metode Metalurgi Serbuk

(23)

15

2.5.1 Sintesis Serbuk

Teknologi nano tidak terlepas dari proses pembuatan serbuk, baik serbuk logam maupun non logam. Berbagai tuntutan aplikasi dalam era terbaru membuat perkembangan riset teknologi ini semakin pesat. Perkembangan teknologi nano tidak terlepas dari riset mengenai material nano. Dalam pengembangannya, material nano diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu: material nano berdimensi nol (nanoparticle), material nano berdimensi satu (nanowire), dan material nano berdimensi dua (thin films). Pengembangan metoda sintesis nanopartikel merupakan salah satu bidang yang menarik minat banyak peneliti.

Nanopartikel dapat terjadi secara alamiah ataupun melalui proses sintesis oleh manusia. Sintesis nanopartikel bermakna pembuatan nanopartikel dengan ukuran yang kurang dari 100 nm dan sekaligus mengubah sifat atau fungsinya. Secara garis besar, pembentukan nanopartikel logam dapat dilakukan dengan metoda top down (fisika) dan bottom up (kimia). Metoda fisika (top down) yaitu dengan cara memecah padatan logam menjadi partikel-partikel kecil berukuran nano. Sedangkan metoda kimia (bottom up) dilakukan dengan cara menumbuhkan partikel-partikel nano mulai dari atom logam yang didapat dari prekursor molekular atau ionik. Sintesis nanopartikel logam dengan metoda kimia dilengkapi dengan penggunaan surfaktan atau polimer yang membentuk susunan teratur (self-assembly) pada permukaan nano partikel logam. Bagian surfaktan atau polimer

(24)

polimer) dapat mengontrol kecepatan reduksi dan agregasi nanopartikel logam. Nanopartikel logam mempunyai struktur 3 dimensi berbentuk seperti bola (solid). Partikel ini dibuat dengan cara mereduksi ion logam menjadi logam yang tidak bermuatan atau nol (Hakim, 2008).

Pembentukan nanopartikel dengan keteraturan yang tinggi dapat menghasilkan pola yang lebih seragam dan ukuran yang yang seragam pula. Kebanyakan penelitian telah mampu menghasilkan nanopartikel yang lebih bagus dengan menggunakan metoda kimia basah (wet chemical method) seperti kopresipitasi, sol-gel, mikroemulsi, hidrotermal/solvotermal, menggunakan cetakan (templated synthesis), sintesis biomimetik, metoda cairan superkritis, dan sintesis cairan ionik (Fernandes et al, 2011). Pasir besi (Fe3O4) berukuran nano bersifat ferimagnetik memiliki peluang luas dalam aplikasinya. Pasir besi dalam ukuran partikel nano merupakan alternatif yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri yang diaplikasikan sebagai keramik, katalis, energy storage, magnetic data storage, ferofluida maupun dalam diagnosis medis.

2.5.2 Proses Penekanan atau Kompaksi

(25)

17

interlocking antar permukaan, interaksi adesi-kohesi, dan difusi antar permukaan.

yang dapat terjadi pada saat dilakukan proses sintering.

2.5.3 Sintering

Sintering merupakan tahapan penting dalam memproses suatu bahan padat, baik pada bahan unsur, paduan, komposit, hingga keramik. Dalam sintering akan terjadi fenomena penyusutan (shrinkage) yaitu proses eliminasi dan porositas pada saat pemadatan belum mencapai kejenuhan, setelah itu akan terjadi fenomena pertumbuhan butir pada saat pemadatan mencapai kejenuhan. Fenomena yang terjadi pada proses sintering dipengaruhi oleh siklus yang melibatkan temperatur, kecepatan pemanasan, waktu penahanan (holding time), kecepatan pendinginan dan tekanan (atm).

2.6 Vibrating Sampel Magnetometer (VSM)

Vibrating sampel magnetometer merupakan perangkat yang bekerja untuk

menganalisis sifat kemagnetan suatu bahan. Alat ini ditemukan oleh Simon Foner pada tahun 1955 di Laboratorium Lincoln MIT.

2.6.1 Komponen Vibrating Sampel Magnetometer

Vibrating sampel magnetometer mempunyai komponen yang dapat dibedakan

(26)

membentuk satu set perangkat VSM yang menjalankan fungsinya masing-masing. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Komponen vibrating sampel magnetometer (VSM).

Berdasarkan gambar 5 dapat diuraikan beberapa komponen dari vibrating sampel magnetometer (VSM), yaitu:

1. Kepala generator

Sebagai tempat melekatnya osilasi sampel yang dipindahkan oleh transduser piezoelectric.

2. Elektromagnet atau kumparan hemholtz

Berfungsi untuk menghasilkan medan magnet untuk memagnetisasi sampel dan mengubahnya menjadi arus listrik. Resonansi sampel oleh transduser piezoelectric juga dilairkan kebagian ini dengan capaian frekuensi sama dengan

(27)

19

3. Pick-up coil

Berfungsi untuk mengirim sinyal listrik ke amplifier. Sinyal yang telah diinduksi akan ditransfer oleh pickup coil ke input diferensial dari lock-in amplifier. Sinyal dari pick-up koil terdeteksi oleh lock-in amplifier diukur sebagai fungsi dari medan magnet dan memungkinkan kita untuk mendapatkan loop histeresis dari sampel diperiksa. Untuk osilasi harmonik dari sampel, sinyal (e) induksi di pick-up coil sebanding dengan amplitudo osilasi (K), frekuensi osilasi sampel (ω) dan

momen magnet (m) dari sampel yang akan diukur pada vibrating sampel magnetometer (VSM).

4. Sensor hall

Digunakan untuk mengubah dan mentransdusi energi dalam medan magnet menjadi tegangan (voltase) yang akan menghasilkan arus listrik. Sensor hall juga digunakan untuk mengukur arus tanpa mengganggu alur arus yang ada pada konduktor. Pengukuran arus ini akan menghubungkan sensor hall dengan teslameter.

5. Sensor kapasitas

Berfungsi memberikan sinyal sebanding dengan amplitudo osilasi sampel dan persediaan tegangan untuk sistem elektronik yang menghasilkan sinyal referensi. Selanjutnya sinyal akan diberikan kepada masukan referensi dari lock-in amplifier. Output konverter digital akan dikirim ke analog (DAC1out) dan output

(28)

Selain itu, VSM juga memiliki beberapa komponen pendukung misalnya teslameter yang berfungsi untuk mengukur medan magnet berdasarkan sinyal yang di transdusi oleh sensor hall. Alat pendukung lainnya yaitu voltmeter yang berfungsi untuk mengukur tegangan listrik yang dikirim oleh pick up koil ke amlpifier VSM.

2.6.2 Prinsip Kerja Vibrating Sampel Magnetometer (VSM)

Prinsip kerja dari vibrating sampel magnetometer dapat dilihat pada gambar 6.

Gambar 6. Prinsip kerja vibrating sampel magnetometer (VSM).

Berdasarkan gambar 6, maka langkah kerja dari vibrating sampel magnetometer dapat di jelaskan sebagai berikut :

1. Menempatkan sampel dalam medium preparat

(29)

21

2. Menginduksi momen dipol sampel

Sampel dari partikel yang telah ditempatkan pada preparat, akan dikondisikan dalam medan magnet yang seragam. Hal ini terjadi karena adanya induksi magnetik yang dilakukan oleh tepi dinding magnetizing pada pick-up coil VSM.

3. Mengukur sinyal standar sampel

Setelah induksi magnet dilakukan pada magnetizing, sampel akan memperlihatkan sinyal berupa getaran-getaran dengan gerakan sinusoida dalam medium pick-up coil. Sinyal ini memiliki frekuensi yang sama, dimana getaran sampel akan sebanding dengan amplitude dan medan magnet partikel.

4. Output unit vibrasi magnetometer

Sinyal yang dikirim dari sistem pick-up coil akan diteruskan ke penguat differensial yang terdapat pada unit vibrasi. Output dari penguat differensial ini kemudian diproses di amplifier yang menerima sinyal referensi. Dan hasil akhir dari proses identifikasi sinyal ini akan diberikan oleh magnetometer berupa sinyal DC proporsional yang memberikan informasi momen magnetik sampel yang sedang dianalisis.

2.6.3 Kurva Histerisis Bahan Ferromagnetik

(30)
[image:30.595.234.406.334.446.2]

B(H) seperti ini disebut kurva induksi normal. Pada gambar 7 tampak bahwa kurva tidak berbentuk garis lurus sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan antara B dan H tidak linier. Dengan kenaikan harga H, mula-mula B turut naik dengan lancar, tetapi mulai dari satu titik tertentu harga H hanya menghasilkan sedikit kenaikan B dan makin lama B hampir konstan. Keadaan ini disebut dengan kedaan saturasi, yaitu keadaan di mana medan magnet B tidak banyak berubah. Harga medan magnet untuk keadaan saturasi disebut dengan Bs atau medan magnet saturasi.

Gambar 7. Kurva induksi normal.

[image:30.595.210.379.538.673.2]
(31)

23

Pada gambar 8 tampak bahwa setelah mencapai nol harga intensitas magnet H dibuat negatif (dengan membalik arus lilitan), kurva B(H) akan memotong sumbu pada harga Hc. Intensitas Hc inilah yang diperlukan untuk membuat rapat fluks B=0 atau menghilangkan fluks dalam bahan. Intensitas magnet Hc ini disebut koersivitas bahan. Bila selanjutnya harga diperbesar pada harga negatif sampai mencapai saturasi dan dikembalikan melalui nol, berbalik arah dan terus diperbesar pada harga H positif hingga saturasi kembali, maka kurva B(H) akan membentuk satu lintasan tertutup yang disebut kurva histeresis. Bahan yang mempunyai koersivitas tinggi kemagnetannya tidak mudah hilang, bahan seperti itu baik untuk membuat magnet permanen (Haliday dan Resnick, 1983).

2.7 Thermal Analysis.

Thermal analysis merupakan teknik untuk mengkarakterisasi sifat material yang

dipelajari berdasarkan respon material tersebut terhadap temperatur. Untuk menentukan sifat termo-fisiknya metode yang biasa digunakan salah satunya adalah differential thermal analysis (DTA). Dalam bidang metalurgi dan ilmu material

kegunaan dari DTA ini adalah untuk mempelajari transisi fasa yang terjadi dibawah pengaruh atmosfer, temperatur, laju pemanasan atau pendinginan.

2.7.1 Differential Thermal Analysis (DTA)

Differential thermal analysis adalah analisis termal yang menggunakan referensi

(32)
[image:32.595.242.350.249.380.2]

Sampel dan material referensi dipanaskan secara bersamaan dalam satu tempat, perbedaan temperatur sampel dengan temperatur material referensi direkam selama siklus pemanasan dan pendinginan. Bentuk alat DTA dapat dilihat dalam gambar 9 (Grega et al, 2009).

Gambar 9. Alat differential thermal analysis (DTA).

(33)

25

DTA dapat merekam transformasi apakah panas didalam chamber itu diserap atau dikeluarkan. DTA sangat membantu untuk memahami hasil dari XRD, analisis kimia dan mikroskopi. Keuntungan dari DTA yaitu ; (i) dapat menentukan kondisi eksperimental sampel (baik dengan tekanan tinggi atau vakum); (ii) instrument dapat digunakan dalam temperatur tinggi; (iii) karakteristik transisi dan reaksi pada temperatur tertentu dapat dideteksi dengan baik. Karena DTA mengijinkan sampel mengalami kehilangan berat saat pengukuran, DTA sangat berguna untuk material dengan dekomposisi yang cukup intensif seperti elastomer, material eksotermik, dll. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil pengujian DTA yaitu berat sampel, ukuran partikel, laju pemanasan, kondisi atmosfir, kondisi material itu sendiri (Bhadeshia. 1997). Jadi dapat didefinisikan bahwa DTA adalah teknik untuk merekap perbedaan temperatur antara sampel material dengan material referensi terhadap waktu atau temperatur, dimana kedua spesimen diperlakukan dibawah temperatur yang identik didalam lingkungan pemanasan atau pendinginan pada laju yang terkontrol.

2.7.2 Prinsip Kerja

Alat-alat yang terdapat pada DTA kit adalah sebagai berikut:

1. Sampel holder beserta thermocouples, sampel containers dan blok keramik atau logam yang biasanya terbuat dari Al2O3.

(34)

3. Temperature programmer penting untuk menjaga laju pemanasan agar tetap konstan.

4. Sistem perekaman (recording).

Sampel holder terdiri dari thermocouple yang masing-masing terdapat pada

material sampel dan reference. Thermocouple ini dikelilingi oleh sebuah blok untuk memastikan tidak ada kebocoran panas. Sampel ditaruh di kubikel kecil dimana bagian bawahnya dipasangkan thermocouple. Thermocouple diletakkan langsung berkontakan dengan sampel dan material referensi. Gambar 10 menunjukkan skematis dari DTA kit yang digunakan untuk mengkarakterisasi sampel.

Gambar 10. Skematis sel DTA.

(35)

-150-27

2400°C. Dapur crucible dibuat dari tungsten atau grafit. Sangat penting untuk menggunakan atmosfer inert untuk mencegah degradasi dari dapur crucible. Tahap kerja pada DTA adalah sebagai berikut:

1. Memanaskan heating block.

2. Ukuran sampel dengan ukuran material referensi sedapat mungkin identik dan dipasangkan pada sampel holder.

3. Thermocouple harus ditempatkan berkontakan secara langsung dengan sampel dan material referensi.

4. Temperatur di heating block akan meningkat, diikuti dengan peningkatan temperatur sampel dan material referensi.

5. Apabila pada thermocouple tidak terdeteksi perbedaan temperatur antara sampel dan material referensi, maka tidak terjadi perubahan fisika dan kimia pada sampel. Apabila ada perubahan fisika dan kimia, maka akan terdeteksi adanya ΔT (Shaise et al, 2010).

2.7.3 Differential Thermal Analysis Dalam Riset.

Ada 2 jenis DTA yang sering digunakan dalam riset, yaitu: 1. Mikro DTA (µ-DTA)

(36)

surface tension yang tinggi. Hal tersebut menyebabkan oksidasi yang tinggi pada

sampel. Sistem µ-DTA ini tidak boleh dalam atmosfer oksidasi. Rentang temperatur yang biasa digunakan berkisar -45°C sampai 120°C, sedangkan laju pendingian dan pemanasannya sampai 2K/menit (lebih rendah dari DTA klasik), serta tekanan yang mampu diaplikasikan pada sistem hanya maksimal 1 bar.

2. High pressure DTA (HP-DTA)

Evaporasi yang berlebihan dapat mengurangi massa sampel dan mengubah komposisi kimia. Hal tersebut dapat menyebabkan kesalahan pengukuran. Untuk mempelajari termodinamika sampel yang berdasarkan perbedaan tekanan gas, digunakan HP-DTA. Komponen sistem DTA klasik dapat terdekomposisi jika tekanan gas (biasanya menggunakan gas argon) yang tidak mendekati kondisi sintesa. Rentang tekanan yang digunakan pada HP-DTA mampu mencapai ratusan bar dengan rentang temperatur -150°C sampai 600°C. Laju pemanasan dan pendinginan sampai 50K/menit dengan tekanan maksimum 150 bar.

2.7.4 Aplikasi Differential Thermal Analysis

Karakterisasi dengan menggunakan DTA banyak dilakukan oleh banyak peneliti karena perbedaan karakteristik material terhadap perilaku panas yang unik. Misalnya pada penelitian yang telah dilakukan oleh A. Schilling dan M. Reibelt, DTA memiliki kegunaan untuk mengukur variasi entropi. Differential thermal analysis (DTA) banyak digunakan pada bidang kimia dan material untuk

(37)

29

pengukuran metode DTA digunakan untuk mengetahui secara kualitatif sifat termodinamika suautu material di atas temperatur. Pada penelitian yang dilakukan oleh Klancnik grega et al, differential-thermal analysis (DTA) digunakan untuk mengetahui sifat termodinamika, dimana sifat tersebut akan memberi informasi mengenai perilaku material pada proses pemanasan yang berbeda, pada kondisi inert atau tidak, lingkungan oksidasi atau reduksi serta pada tekanan gas yang berbeda. DTA juga banyak digunakan untuk menentukan temperatur sintering dan dipadukan dengan thermo gravimetrical analysis (TGA) yang dapat menentukan atmosfir dan digunakan untuk cukup melindungi proses sintering. Alat tersebut juga dapat digunakan untuk menentukan kinetika reaksi, termasuk kinetika kristalisasi dari paduan Fe-B amorf. Dengan menggunakan DTA, mekanisme reaksi dari alumunium borat dengan alumunium nitrid dan mekanisme oksidasi dari material keramik (seperti AlN-TiB2-TiSi2) dapat diketahui (Smykatz et al, 1982).

2.8 Scanning Electron Microscop-Energy Dispersive X-Ray

(38)

2.8.1 Cara Kerja SEM-EDS

Elektron Gun merupakan sumber electron dari bahan material yang menggunakan

energy tegangan tinggi sekitar 10-40 kV. Adapun material yang biasa digunakan yaitu tungsten dan lanthanum atau hexaboride cerium (LaB6 atau CeB6). Tungsten yang digunakan sebagai electron gun dalam SEM-EDX adalah material pertama yang digunakan sebagai sumber elektron karena memiliki sifat mekanik dan titik lebur yang tinggi sekitar 3400oC dan sesuai jika diaplikasikan dalam tabung x-ray yang bekerja mengunakan tegangan tinggi.

Adanya energy panas pada bahan bahan material akan diubah menjadi energy kinetik oleh electron sehingga ada pergerakan elektron. Semakin besar panas yang diterima maka energy kinetiknya akan semakin besar sehingga pergerakan electron semakin cepat dan tidak menentu yang mengakibatkan electron tersebut terlepas dari permukaan bahan material. Bahan yang digunakan sebagai sumber electron disebut sebagai emitter atau lebih sering disebut katoda sedangakan bahan yang menerima electron disebut sebagai anoda atau plate dalam instrument SEM-EDS.

Lensa magnetic yang terdiri dari dua buah (kodensator) bekerja untuk memfokuskan

arah elektron. Selain itu, lensa magnetik juga berfungsi untuk menguatkan elektron sehingga informasi gambar yang dihasilkan memiliki kualitas yang baik. Lensa magnetic terbuat dari kumparan kawat tembaga yang membawa arus langsung dan menghasilkan medan magnet.

Scanning foil pada instrument berfungsi untuk mengumpulkan berkas sinar elektron,

(39)

31

kontinu melainkan berupa paket-paket energi. Setelah terjadi tumbukan antara elektron dan sampel, detekor akan merekam interaksi yang terjadi pada sampel.

Detekor SE (secondary elektron) merupakan sebuah sintilator yang akan menghasilkan cahaya jika mengenai elektron, cahaya tersebut akan dikonversi menjadi sinyal elektrik oleh photomultiplier. Dalam sintilator terdapat potensial positif yang digunakan untuk mempercepat aliran SE, sehingga SE yang memiliki energi rendah (beberapa volt) dapat ditangkap detekor dengan baik. Sedangkan detekor BSE yang juga terdapat sintilator dapat menerima sinyal BSE tanpa adanya beda potensial, karena pada dasarnya BSE sudah memiliki energi yang cukup tingi untuk diterima oleh detekor BSE. Skematik alat SEM-EDS dapat dilihat dalam gambar 11.

Keterangan :

1. Electron Gun

2. Wehnelt cup (negative potensial)

3. Anoda plate (positive potensial)

4. Magnetic lens

5. Scanning coil

6. SE Detekor

7. BSE Detekor

[image:39.595.106.416.459.640.2]

8.Specimen

Gambar 11. Skematik alat SEM-EDS.

(40)

2.8.2 Interaksi Elektron

Secondary electron dan backscatered electron dimanfaatkan dalam instrument SEM-EDS sebagai analisis bahan material yang didasarkan pada tingkat energi dan tentunya menggunakan spektometer jenis ED (energy dispersive). Karena spektrometer jenis ED diakui memiliki akurasi yang tinggi untuk menganalisis jenis unsur pada bahan material. Berbeda dengan alat XRD yang menggunakan spektrometer jenis WD (wave dispersive) dengan analisis yang didasarkan pada panjang gelombang untuk mengetahui senyawa pada bahan material.

Secondary elektron (SE) adalah sebuah pancaran elektron yang dihasilkan akibat

interaksi elektron dengan sampel (hamburan inelastik). SE berasal dari interaksi elektron yang energinya rendah (kurang dari 50 eV) dan hanya mampu berinteraksi pada permukaan sampel, maka informasi yang dapat diambil dari secondary elektron yaitu mencakup bentuk permukaan sampel (topografi).

Backscatered electron dihasilkan oleh interaksi elektron yang memiliki energi tinggi

sebagai akibat adanya hamburan elastik. Energi yang dimiliki elektron ini mampu berinteraksi dengan sampel hingga menembus lapisan permukaan sampel. Informasi yang diperoleh dari elektron BSE mencakup morfologi struksur pada bahan material.

(41)

33

2.9 X-Ray Diffraction (XRD)

2.9.1 Sejarah Sinar-X

Sinar-x ditemukan pertama kali oleh Wilhelm Conrad Rontgen pada tahun 1895. Karena pada saat itu asalnya tidak diketahui maka disebut sinar-x . Sinar-x digunakan untuk tujuan pemeriksaan yang tidak merusak pada material maupun manusia. Disamping itu, sinar -x dapat juga digunakan untuk menghasilkan pola difraksi tertentu yang dapat digunakan dalam analisis kualitatif dan kuantitatif material. Pada waktu suatu material dikenai sinar-x, maka intensitas sinar yang ditransmisikan lebih rendah dari intensitas sinar datang. Hal ini disebabkan adanya penyerapan oleh material dan juga penghamburan oleh atom-atom dalam material tersebut. Berkas sinar -x yang dihamburkan tersebut ada yang saling menghilangkan karena fasanya berbeda dan ada juga yang saling menguatkan karena fasanya sama. Berkas sinar -x yang saling menguatkan itulah yang disebut sebagai berkas difraksi.

Hukum Bragg merupakan perumusan matematika tentang persyaratan yang harus dipenuhi agar berkas sinar -x yang dihamburkan tersebut merupakan berkas difraksi. Sinar -x dihasilkan dari tumbukan antara elektron kecepatan 3 tinggi dengan logam target. Dari prinsip dasar ini, maka dibuatlah berbagai jenis alat yang memanfaatkan prinsip dari hukum Bragg ini.

(42)

tua dan paling sering digunakan hingga sekarang. Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi fasa kristalin dalam material dengan cara menentukan parameter struktur kisi serta untuk mendapatkan ukuran partikel.

2.9.2 Prinsip Kerja Sinar-X

Dasar dari prinsip pendifraksian sinar-x yaitu difraksi sinar-x terjadi pada hamburan elastis foton-foton sinar-x oleh atom dalam sebuah kisi periodik. Hamburan monokromatis sinar-x dalam fasa tersebut memberikan interferensi yang konstruktif. Dasar dari penggunaan difraksi sinar-x untuk mempelajari kisi kristal adalah berdasarkan persamaan Bragg:

n.λ = 2.d.sin θ ; n = 1,2 ...(1)

(43)

35

1. XRD terdiri dari tiga bagian utama, yaitu tabung sinar-x, tempat objek yang diteliti, dan detektor sinar-x .

2. Sinar -x dihasilkan pada tabung sinar-x yang berisi katoda dan memanaskan filamen, sehingga menghasilkan elektron.

3. Perbedaan tegangan menyebabkan percepatan elektron akan menembaki objek. Ketika elektron mempunyai tingkat energi yang tinggi dan menabrak elektron dalam objek sehingga dihasilkan pancaran sinar-x . 4. Objek dan detektor berputar untuk menangkap dan merekam intensitas

refleksi sinar-x. Detektor merekam dan memproses sinyal sinar-x dan mengolahnya dalam bentuk grafik.

2.9.3 Penggunaan dan Aplikasi Sinar-X

Adapun penggunaan sinar-x bertujuan untuk:

1. Membedakan antara material yang bersifat kristal dengan amorf. 2. Mengukur macam-macam keacakan dan penyimpangan kristal. 3. Karakterisasi material kristal.

4. Identifikasi mineral-mineral yang berbutir halus seperti tanah liat penentuan dimensi-dimensi sel satuan.

(44)

2.9.4 Keunggunalan dan Kelemahan Sinar-X

(45)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga Juni 2013. Sedangkan tempat penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisika Material FMIPA Univesitsas Lampung, Laboratorium Biomassa dan Kimia Instrumentasi FMIPA Universitas Lampung, PT BIN BATAN PUSPITEK Serpong dan Pusat Laboratorium Terpadu Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.2 Alat dan Bahan Penelitian

(46)

3.3 Prosedur Penelitian

Secara garis besar, prosedur penelitian ini dibagi dalam 4 tahap yaitu :

3.3.1 Preparasi

1. Mengambil sampel berupa pasir besi alam menggunakan sekop pasir. 2. Mencuci sampel dengan air bersih secara berulang-ulang.

3. Mengeringkan pasir besi di ruang terbuka yang terhindar dari sinar matahari langsung.

4. Mengekstrak pasir besi menggunakan ayakan 120 mesh.

5. Mengekstrak pasir besi secara manual menggunakan magnet berkekuatan 6 kG.

3.3.2 Ekstraksi Pasir Besi ( Metode Hidrotermal dan Oksidasi)

1. Melarutkan 100 g pasir besi kedalam asam nitrat 40% sebanyak 200 ml.

2. Memanaskan larutan hingga temperatur 120oC menggunakan kompor listrik hingga larutan mengering.

3. Mencuci endapan dengan aquades hingga bersih dan dikeringkan menggunakan oven 80oC.

4. Serbuk yang telah dikeringkan dikalsinasi menggunakan tungku furnace dan tungku dibiarkan terbuka agar cukup mendapatkan oksigen. waktu penahanan (holding time) dan temperatur dapat dilihat dalam gambar 12.

(47)

39 0 100 200 300 400 500 600 700 800 900

0 100 200 300 400 500 600 700 800

[image:47.595.146.462.137.314.2]

Te m p eratur ( oC) time (menit)

Gambar 12. Grafik oksidasi pasir besi menggunakan furnace.

3.3.3 Sintesis Bahan Magnet Barium Heksaferit (Metode Melaturgi Serbuk)

1. Menimbang massa bahan menggunakan neraca digital.

2. Mencampurkan bahan dengan perbandingan prosentase massa barium karbonat 17,027% dan ferit 82,973%.

3. Melarutkan kedua bahan tersebut kedalam alkohol higga volume larutan mencapai 500 ml.

4. Menggiling bahan menggunakan ball milling selama 10 jam.

5. Bahan yang berupa slurry (lumpur) dikeringkan dalam oven dengan temperatur 80oC untuk menguapkan alkohol.

6. Bahan yang telah kering di haluskan menggunakan mortal keramik dan dilakukan pengayakan 400 mesh.

(48)

8. Bahan di sinter dengan informasi temperatur yang telah di analisa menggunakan telnik DTA.

3.3.4 Karakterisasi dan Analisis.

1. Karakterisasi menggunakan vibrating sample magnetometer (VSM) untuk mengetahui sifat kemagnetan bahan (kurva histerisis) yang terbentuk.

2. Karakterisasi menggunakan XRD untuk mengetahui pola fasa yang terbentuk pada bahan barium heksaferit yang telah di sintering.

3.4 Diagram Alir

Diagram alir sintesis dan karakterisasi bahan magnet barium heksaferit (BaFe12O19) berbahan dasar barium karbonat (BaCO3) dan pasir besi alam ditunjukan pada gambar 13 dan gambar 14.

(49)

41

[image:49.595.102.472.191.578.2]

3.4.1 Ekstraksi Pasir Besi

Gambar 13.Diagram alir ekstraksi pasir besi. HNO3 200ml

40% Pasir besi

dicuci berulang dengan air bersih

eksrtaksi manual 120 mesh dan magnet permanen 6000 Gauss

Pasir besi 100 g

Dipanaskan 120oC hingga larutan mengering/hydrothermal

Dicuci dengan aquades

Oksidasi 800oC dengan holding time selama 4 jam

Fe2O3

(50)

5.4.2 Sintesis Bahan Magnet Barium Heksaferit

Gambar 14. Diagram alir sintesis bahan magnet barium heksaferit.

BaCo3 17,027%

Dicampurkan+alkoho hingga volume 500 ml

Fe2O3 82,973%

Ball milling 10 jam

Pengeringan dengan oven

Penghalusan&pengayakan 400 mesh

Sintering

VSM

DTA

BaFe12O19

(51)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Prosentase kemurnian ferit ( -Fe2O3) hasil ekstraksi pasir besi alam yang diperoleh dari pesisir selatan Pandeglang-Banten yaitu 92,15%.

2. Temperatur optimal yang dibutuhkan untuk proses sintering bahan magnet barium heksaferit (BaFe12O19) berbahan dasar barium karbonat (BaCO3) dan pasir besi alam yaitu 1200oC.

3. Hasil karakterisasi menggunakan XRD menunjukan barium heksaferit terbentuk mulai temperatur 900oC namun fasa tertinggi berada pada temperatur 1100oC.

4. Hasil uji sifat magnetik menggunakan VSM menunjukan bahwa bahan magnet barium heksaferit sampel X-1200 memiliki saturasi (Ms) sebesar 23.60 emu/gr dan remanensi (Mr) sebesar 5.6066 emu/gr serta koersivitas (Hc) sebesar 204 Gauss.

(52)

Adapun saran untuk penelitian selanjutnya yaitu:

1. Ekstraksi manual menggunakan magnet permanen dirasa kurang efektif, karena hanya butiran yang ukuranya lebih besar yang akan tertarik oleh magnet, hal ini menjadikan butiran akan lebih sulit disintesis.

2. Untuk melakukan ekstraksi ferit dari pasir besi alam dengan metode oksidasi hidrotermal hendaknya menggunakan HNO3 diatas 40%, sehingga pengotor akan terlarut sepenuhnya.

(53)

DAFTAR PUSTAKA

Barsoum. 1997. Nano Porous Materials. McGraw Hill. Publishing Company, Inc. New York.

Bhadeshia. 1997. Thermal Analysis Techniques. Materials Science & Metallurgy. Cambridge University Press.

Billah, A. 2006. Pembuatan dan Karakterisasi Magnet Stronsium Ferit dengan Bahan Dasar Pasir Besi. Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Semarang: Semarang.

Cullity, B.D. 1972. Introduction to Magnetic Material. Addison–Wesley. Publishing Company, Inc. USA. Hal 20-40.

Didin, Sukirman dan Ridwan. 2011. Sintesis Nanopartikel Heksaferit Dengan Metode Ko-Presipitasi. Jurnal Sains Materi Indonesia. Vol 14. No 1. Hal 39-43.

Dunlop, D.J and O, Ozdemir. 1997. Rock Magnetism: Fundamental and Frontiers. Cambridge University Press. Vol 135. Hal 278-300.

Fernandes, B.R. J, Novesar dan A, Syukri. 2011. Makalah Sintesis Nano Partikel. Program Studi Kimia Pasca Sarjana Universitas Andalas: Sumatra Barat. Grega, K. J, Medved. and M, Primoz. 2009. Differential Thermal Analysis (DTA)

and Differential Scanning Calorimetry (DSC) as a Method of Material Investigation. RMZ – Materials and Geoenvironment. Vol. 57. No 1. Hal 127–142.

Haliday and Resnick. 1983. Listrik Magnet dan Termofisika: Fisika jilid 1 terjemahan. Penerbit Inistut Teknologi Bandung: Bandung.

(54)

Mashuri. N, Masruroh. A, Malik. E, Yahya. Triwikantoro. dan Darminto. 2007. Transformasi fasa pada nanokomposit Fe3O4-Fe2O3. Jurnal Sains Material Indonesia Edisi Khusus Desember 2009. Vol 9. Hal 135-140.

Mohsen, Q. 2010. Barium Hexaferrite Synthesis by Oxalate Precursor route. Journal of Alloy and Compounds.Vol 500.Hal 125-128.

Muljadi. 2010. Pembuatan dan Karakterisasi Keramik Magnet Permanen Ba-Hexaferrite dan Sr-Ba-Hexaferrite. Pusat Penelitian Fisika-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Vol 29. No 1. Hal 27-30.

O’Handly, R.C. 2000. Modern Magnetic Materials Principles and Application. John Wiley & Sons: NewYork.

Rahmawati, M. 2011. Sintesis Partikel magnetik Fe3O4 Dengan Metode Presipitasi. Mulawarman Scientifie. Vol 10. No 2 . ISSN 1412-498X. Rashad, M.M and L.A, Ibrahim. 2011. Improvement Of The Magnetic Properties

Of Barium Hexaferite Nano Powders Using Modified Co-Precipitation Method. Jurnal Of Magnetism And Magnetic Material. Vol 323. Hal 2158-2164.

Ridwan. 2003. Sintesis bahan Magnet Barium Heksaferit Memanfaatkan Sumber Daya Lokal. Jurnal Sains Materi Indonesia. Vol 5. No 1. Hal 29-33. Saragi, Togar. 2011. International Symposium on Functional Material Science

The Development of Advantage Research on Material Science in Indonesia Nusa Dua Bali.

Schilling, A. dan M, Reibelt. 2007. Low Temperature Differential-Thermal Analysis to Measure Variations in Entropy. Winterthurerstrasse Physik-Institut der Universität Zürich Switzerland. Vol 78. Hal 033904-033906.

Setiyoko, A. 2010. Peningkaan Prosentase Fe2O3 dari Pasir Besi sebagai Bahan Baku Magnet Permanen Keramik dengan Metode Hydrothermal Oxydation. Jurusan Teknik Fisika Inisitut Teknologi Sepuluh November: Surabaya.

(55)

Smykatz, W. and Klos. 1982. Application of Differential Thermal Analysis in Mineralogy. Journal Thermal Analysis. Vol 23. Hal 15-44.

Solihah, L.K. 2010. Sintesis dan Karakterisasi Partikel Nano Fe3O4 yang Berasal dari Pasir Besi dan Fe3O4 Bahan Komersial (Aldrich). Jurusan Fisika Inisitut Teknologi Sepuluh November: Surabaya.

Snoek, J.L. 1947. New Development in Ferromagnetics Material. Elsevier Publication. New York.

Sulistyo, M. Indras dan Priyono. 2012. Sintesis dan Karakterisasi Material Magnetik Barium Heksaferit Tersubtitusi Menggunakan Teori Sol-Gel Untuk Aplikasi Serapan Gelombang Mikro Pada Frekuensi X-Band. Jurnal Berkala Fisika. Vol 15. No 2. Hal 63-68.

Sung-chan Nam, Sang-Do Park and Geong-Joong Kim. 2001. Preparation of Ba-Ferrite Particles Using The Super Criticaal Water Crystallization Method. Journal Ind.Eng Chem. Vol 7. No 1. Hal 38-43.

Suryadi, Budhy. K, Hasbiyallah, Agus dan Nurul. 2007. Sintesis Nanopartikel Ferit Untuk Bahan pembuatan Magnet Domain Tunggal Dengan Mechanical Alloying. Jurnal Sains Materi Indonesia. Vol 11. No 1. Hal 33-37.

Walujodjati, A. 2008. Sintesis Hidrotermal Dari Oksida Keramik. Jurnal Momentum. Vol 4. No 2. Hal 33-37.

Wang, G.H. 1999. Synthesis of Nanometer Sized TiO2: Particles by a Microemulsion Method. Nanostructured Material. Vol 11. Hal 663-668. Yulianto, A. S, Bijaksana. dan W, Loeksmanto. 2003. Produksi Hematit dari Pasir

Besi:Pemanfaatan Potensi Alam Sebagai Bahan Industri Berbasis Sifat Kemagnetan. Jurnal Sains Materia Indonesia. Vol 5. No 1. Hal 51-54. Yulianto, A. 2007. Fasa Oksida Besi Untuk Sintesis Serbuk Magnet Ferit. Jurnal

Gambar

Gambar 1.  Arah domain dalam bahan paramagnetik  sebelum (a) dan sesudah (b)
Gambar 3. Arah domain dalam bahan anti ferromagnetik.
Gambar 5.  Komponen vibrating sampel magnetometer (VSM).
Gambar 6. Prinsip kerja vibrating sampel magnetometer (VSM).
+6

Referensi

Dokumen terkait

doktrinal. Spesifikasi penelitian dalam penulisan hukum ini adalah bersifat deskriptif analitis. Jenis datanya berupa data primer dan sekunder, yang terdiri atas bahan hukum primer,

Sebagaimana yang diketahui bahwa Ilmu Hukum mengenal dua jenis penelitian, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Menurut Peter Mahmud Marzuki, 53

[r]

Metode Altman Z-Score merupakan sebuah metode yang digunakan dalam memprediksi potensi kebangkrutan sebuah perusahaan yang terdiri dari kombinasi beberapa rasio keuangan yaitu

Pemenuhan Tingkat Solvabilitas (dalam jutaan rupiah) Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi. (dalam

Untuk melihat hubungan antara Pemerintah daerah dengan Bank Pembangunan Daerah secara finansial maka perlu pengkajian terhadap pengaruh kondisi keuangan Pemermtah daerah dengan

World Trade Center 8th and 9th

[r]