• Tidak ada hasil yang ditemukan

Politik Luar Negeri RRC Pada Masa Kepemimpinan Mao Tse Tung (Tahun 1949 – 1976)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Politik Luar Negeri RRC Pada Masa Kepemimpinan Mao Tse Tung (Tahun 1949 – 1976)"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK LUAR NEGERI RRC PADA MASA KEPEMIMPINAN MAO TSE

TUNG (TAHUN 1949 – 1976)

SKRIPSI

DISUSUN OLEH:

NAMA: ZIA HIDAYAT

NIM: 060906061

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ………. i

ABSTRAKSI ………. ii

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ………..1

2. Fokus Dan Pertanyaan Penelitian ……….7

3. Tujuan Penelitian ……….7

4. Konsep Teoritis ………. 8

4.1. Kepentingan Nasional ………. 8

4.2. Politik Luar Negeri ………. 9

4.3. Nasionalitas ………. 10

4.4. Sistem Internasional ……….. 14

5. Metode Penelitian ……….. 17

5.1. Pendekatan Penelitian ………. 17

5.2. Teknik Pengumpulan Data ………. 18

5.3. Analisis Data ……… 18

6. Sistematika Penulisan ……… 19

BAB II POLITIK LUAR NEGERI RRC TAHUN 1949 – 1976 1. 1949 – 1953 Aliansi Kepada Komunisme Internasional ……… 20

2. 1954 – 1959 Dinamika Politik Dalam Negeri RRC ……… 23

3. 1960 – 1965 Anti-revisionisme dan Anti-inperialisme ………. 27

4. 1966 – 1970 Revolusi Kebudayaan ……….. 34

(3)

BAB III

FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI POLITIK LUAR NEGERI RRC

1. Fakto Internal ………. 43

1.1. Partai Komunis Cina dan Kongres-Kongres Nasionalnya………. 43

1.2. Dinamika Politik Dalam Negeri RRC……….. 49

2. Faktor Eksternal ……… 61

2.1. Hubungan Segitiga RRC, Amerika Serikat, dan Uni Soviet ……… 61

2.2. Hubungan RRC Dengan Negara-Negara Dunia Ketiga ……… 70

3. Kepentingan RRC Dalam Politik Luar Negerinya ………. 76

BAB IV KESIMPULAN……….. 82

(4)

ABSTRAKSI

Setelah diproklamasikan pada 1 Oktober 1949, RRC dibawah kepemimpinan Mao Tse Tung, RRC berusaha untuk meningkatkan keamanan internasionalnya dengan menjalin hubungan-hubungan dengan negara-negara komunis yang dipimpin oleh Uni Soviet dan menganjurkan perjuangan revolusi bersenjata untuk melawan imprealisme di seluruh dunia.

Semenjak tahun 1947, Amerika Serikat dan Uni Soviet memegang kepemimpinan dalam mencetuskan dan merumuskan isu-isu internasional. Hubungan Uni Soviet dan Amerika Serikat mencakup lingkup permasalahan yang sangat luas, yang menyebabkan dunia secara sah terbagi dalam dua kutub yang berlawanan.

(5)

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Skripsi ini membahas tentang politik luar negeri Republik Rakyat Cina (RRC) pada masa kepemimpinan Mao Tse Tung (1949 – 1976). Topik ini menjadi menarik karena walaupun sebagai negara yang baru lepas dari penjajahan pada tahun 1949, dibawah kepemimpinan Mao Tse Tung RRC langsung mengambil peran yang khusus dalam dunia Internasional. Ini terlihat dari perannya dalam perang Perang Korea pada tahun 1950 serta kampanye perjuangan revolusionernya ke seluruh dunia. Bahkan posisinya dapat dikatakan sebagai kekuatan yang sangat mempengaruhi dalam persaingan antara dua negara adikuasa saat itu, Amerika Serikat dan Uni Soviet.

Dilahirkan pada 26 Desember 1893 di Shaoshan, provinsi Hunan Cina, Mao Tse Tung pertama kali diperkenalkan kepada Marxisme saat bekerja sebagai asisten perpustakaan di Peking University. Pada tanggal 23 Juli 1921 Mao yang berumur 27 tahun menghadiri Kongres Nasional Partai Komunis Cina (PKC) di Shanghai. Duat tahun kemudian, ia terpilih sebagai salah satu dari lima komisaris dari Komite Sentral Partai.1

Pada masa ini sebagian besar wilayah Cina dikuasai oleh Pemerintahan Nasionalis dibawah kepemimpinan Chiang Kai Sek. Pada tahun 1927, Mao Tse Tung melancarkan suatu pemberontakan di Propinsi Hu Nan di Cina Tengah. Pemberontakan yang dilakukan Mao bersama kaum tani ini mengalami kegagalan. Dari pengalaman tersebut Mao Tse Tung kemudian mengembangkan strategi perang grilya dengan pedesaan sebagai daerah andalannya, yang kemudian

1

(6)

daripada itu menjadi kekuatan merongrong kelangsungan hidup Pemerintah Republik Nasional Cina.2

Untuk menumpas gerakan kaum komunis tersebut Chiang Kai Sek membangun kekuatan militer untuk melaksanakan suatu operasi militer di Propinsi Jiangxi. Akibat serangan itu kaum komunis mengalami kehancuran yang cukup besar. Untuk menghindari kehancuran total Mao Tse Tung memutuskan untuk meninggalkan Propinasi Jiang Xi bersama sisa pasukan yang selamat, menuju ke arah barat melalui daerah pegunungan dan pedesaan yang medannya sulit dijangkau oleh tank, artileri, dan pesawat terbang pihak lawan (Oktober 1934).

3

Sementara itu Jepang yang mulai menjalankan politik ekspansionisnya mulai memperluas agresinya di Cina. Invasi Jepang ini menciptakan musuh bersama bagi bangsa Cina yang kemudian mendorong terbentuknya Front Persatuan Cina (Februari 1937). Yaitu adalah front persatuan kaum komunis dengan kaum nasionalis untuk melawan Jepang.

Gerakan penyelamatan diri tersebut kemudian dikenal dengan nama Hijrah Akbar (The Long March).

4

Setelah Jepang Berhasil dipukul mundur dan keluar dari Cina (Agustus 1945). Maka konflik antar kaum Komunis dan Nasionalis berlanjut dan meningkat lagi menjadi bentrokan bersenjata. Pertempuran semakin lama semakin meluas. Pada akhir tahun 1947 kaum komunis berhasil melumpuhkan kekuatan pokok dari pasukan nasionalis. Setelah berhasil menguasai lebih dari separuh wilayah Cina, Mao Tse Tung memproklamasikan Republik Rakyat Cina (1 oktober 1949).

2

WD Sukisman, Sejarah Cina Kontemporer dari Revolusi Nasional Melalui Revolusi Kebudayaan Sampai Modernisasi Sosialis, Jakarta, PT. Pradnya Paramitha,, 1992, hal. 12

3 Ibid 4

(7)

Dimana mao Tse Tung ditetapkan sebagai Pemimpin tertinggi Partai Komunis Cina yang sekaligus juga menjadi Pemimpin tertinggi RRC.

Sebagaimana negara-negara komunis lainnya pada masa itu, RRC juga menggunakan sistem politik yang otoriter, dimana pengambilan keputusan dan proses perumusan kebijakan sangat dominan pada Pemimpin tertinggi. Ini terlihat jelas, dimana selama memimpin RRC, kebijakan Mao Tse Tung sangat dominan dalam menentukan kebijakan RRC di semua bidang. Berbagai tulisan, hasil pemikirannya dan namanya dijadikan menjadi konstitusi RRC dan anggaran dasar bagi Partai Komunis Cina, bahkan kemudian berkembang menjadi kultus pribadi.

Di bawah pemerintahan Mao (1949-1976), RRC menjalankan sistem perencanaan terpusat, ekonomi komando dan menempuh secara ekstrim jalan sosialis.5

Berbagai kampanye politik seperti Biarkan Seratus Bunga Berkembang (1956), Lompatan jauh Kedepan (1958), Revolusi Kebudayaan (1966-1969)

Di bawah gerakan revolusi sosialis pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan yang membatasi kebebasan individu, serta pengaturan dan kontrol penuh negara atas; alat-alat produksi dan kehidupan rakyatnya. Berbagai kebijakan seperti gerakan landreform (1950), pembentukan komune-komune rakyat, undang-undang perkawinan (1953) dikeluarkan untuk mewujudkan suatu konstruksi masyarakat yang sosialis menurut perspektif Mao. Menurut Mao suatu konstruksi masyarakat sosialis akan menjadi sempurna bilamana semua sumber penyebab munculnya sistem kapitalisme, yaitu semangat berkompetisi, kebebasan individu, kehidupan yang eksklusif, elitis, profesionalis, teknokratis, dan dipenuhi rangsangan material akibat perkembangan nilai kultur, agama dan intelektualisme dilenyapkan.

5

(8)

dilancarkan Mao untuk mengeliminasi para pemimpin nasional yang bertentangan dengannya dari percaturan politik RRC, agar pembangunan sosialis dapat diarahkan sesuai dengan konsepsi pemikirannya. Tentu saja kondisi di dalam negeri tersebut juga mempengaruhi dan membentuk politik luar negeri RRC pada masa itu.

Sejak dahulu bangsa Cina merupakan sebuah bangsa yang berperadaban tinggi. Di saat bangsa-bangsa lain yang masih langka dengan pengetahuan tentang teknologi unggul seperti pembuatan tekstil, kertas, keramik, arsitektur bangunan, sistem pengobatan dan lainnya, bangsa Cina justru telah memanfaatkan semua hal itu dalam kehidupan sehari-hari.6

Dalam konsepsi bangsa Cina, bangsa yang hidup di wilayah tengah merupakan bangsa yang mulia dan berpreadaban tinggi. Sedangkan bangsa-bangsa yang hidup di luar wilayahnya, dikategorikan sebagai bangsa-bangsa barbar, yang berperadaban rendah, sebab Kaisar Cina merupakan Putra Surga yang memerintah umat manusia di seluruh dunia. Disebutkan pula kerajaan-kerajaan Cina memandang kerajaan-kerajaan yang hidup di luar wilayah tengah sebagai negara-negara vassal belaka, yang wajib mengakui kedaulatan bangsa Cina, melalui penyerahan upeti.

Peradaban bangsa Cina yang sudah tinggi ini menyebabkan negerinya disebut Zhongguo, kerajaan tengah yang menjadi pusat orientasi dunia.

7

Penolakan penyerahan upeti akan berakibat pada dikirimkannya armada Cina untuk memberi pelajaran dan hukuman, karena dianggap tidak mengakui kedaulatannya. Sebagai salah satu contoh adalah pendaratan armada Cina di Tuban pada tahun 1293, untuk menghukum Kertanegara.8

6

Ibid, hal. 104 7

Paul H. Clyde, The Far East: A History of the Impact of the West on Eastern Asia, New York, Prentice-Hall, 1958, hal. 44

8

Partogi, op.cit, hal. 112

(9)

raja-raja yang tidak menolak membayar upeti, memperoleh perlindungan dari Kaisar Cina, dari serangan musuh-musuh mereka.

Kalau secara historis selama berabad-abad Cina merupakan suatu kekuatan besar dan menjadi pusat orientasi dunia, maka pada abad ke 19 Cina merupakan daerah semi-koloni, karena banyak wilayah Cina terbagi-bagi dalam wilayah konsesi milik sekian banyak negara Eropa, Kerajaan Rusia serta Jepang.9

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, setelah diproklamasikan pada 1 Oktober 1949, RRC dibawah kepemimpinan Mao Tse Tung, RRC berusaha untuk meningkatkan keamanan internasionalnya dengan menjalin hubungan-hubungan dengan negara-negara komunis yang dipimpin oleh Uni Soviet dan menganjurkan perjuangan revolusi bersenjata untuk melawan imprealisme di seluruh dunia.

Bahkan pada Perang Dunia II Cina merupakan daerah ekspansi Jepang dan merasakan kekejaman tentara Jepang.

10

9

Ibid, hal. 3 10

Lilian Craig Harris, China’s Foreign Policy Toward The Third World, Praegers Publishers, Naw York, 1985, hal. 27

Sebagaimana yang terlihat dari keterlibatan RRC di dalam perang kemerdekaan Vietnam dan Perang Korea (1950). Berbagai dukungan dan bantuan RRC terhadap gerakan revolusioner tersebut membawa RRC dicap oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan dunia internasional sebagai negara agresor.

(10)

Pergantian kepemimpinan Uni Soviet dari Joseph Stalin kepada Nikita Khrushchev ikut mempengaruhi politik luar negeri RRC pada tahun 1960-an, dimana kemudian Uni Soviet sebagai pemimpin dari blok komunis yang sekaligus sekutu terdekat RRC mengadakan peredaan ketegangan (détente) dengan Amerika Serikat yang dianggap RRC sebagai lambang dari imprealis dunia. Keadaan ini disebut Mao sebagai “persekongkolan imprealisme Amerika Serikat dan revisionisme Uni Soviet”.11

Akan sangat menarik untuk meneliti politik luar negeri RRC pada masa-masa itu, masa-masa-masa-masa yang menurut seorang Sinolog asal Australia Stuart Harris sebagai masa-masa dimana politik luar negeri RRC tidak dapat diprediksi.

Maka RRC menjalankan politik luar negeri yang menentang kedua negara adidaya tersebut melalui pendekatan ke negara-negara berkembang di Dunia Ketiga.

Meningkatnya ancaman Uni Soviet terhadap RRC pada tahun 1970-an yang ditandai pelipatgandaan kekuatan militer Uni Soviet di sepanjang perbatasan RRC untuk mencegah RRC menuntut kembali wilayah yang telah dikuasainya, perluasan pengaruh Uni Soviet di kawasan Asia, dan ekspansi Uni Soviet ke beberapa negara Eropa Timur mendorong RRC untuk menjalin persekutuan dengan Amerika Serikat untuk menentang Uni Soviet. Yang kemudian membawa pengakuan PBB terhadap RRC sebagai pemerintahan yang sah di dataran Cina.

12

11

Umar, S. Bakry, Cina Quo Vadis? Pasca Deng Xiaopeng, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997, hal. 103

12

Stuart Harris, Globalisation and China’s Diplomacy: Structur and Process, Canberra, RSPAS Australian National University, 2002, hal. 4

(11)

Oleh sebab itu skripsi ini mencoba untuk membahas secara mendalam dengan menggunakan beberapa pendekatan untuk dapat menjelaskan politik luar negeri RRC pada masa kepemimpinan Mao Tse Tung yang menjadi topik dalam penulisan skripsi ini.

2. Fokus Dan Pertanyaan Penelitian

Penelitian ini akan berfokus pada politik luar negeri RRC pada masa kepemimpinan Mao Tse Tung (tahun 1949 – 1976).

Pertanyaan yang hendak dicari jawabannya yaitu:

1. Bagaimana politik luar negeri RRC pada masa kepemimpinan Mao Tse Tung (1949 – 1976)?

2. Apa yang menjadi kepentingan dari politik luar negeri RRC pada masa kepemimpinan Mao Tse Tung (1949 – 1976)?

3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan – pertanyaan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui bagaimana politik luar negeri RRC pada masa kepemimpinan

Mao Tse Tung (1949 – 1976)

(12)

4. Konsep Teoritis

4.1. Kepentingan Nasional

Konsep kepentingan nasional merupakan dasar untuk menjelaskan

perilaku luar negeri suatu negara. Morgenthau mendeinisikan kepentingan nasional sebagai suatu konsep yang harus diartikan sebagai power. Artinya bahwa posisi

power yang harus dimiliki negara merupakan pertimbangan utama yang

memberikan bentuk kepada kepentingan nasional. Morgenthau menyamakan kepentingan nasional dengan usaha negara untuk mengejar power dimana power dipandang sebagai sesuatu yang dapat dipergunakan untuk memelihara maupun mengembangkan kontrol terhadap negara lain.13

Sedangkan dalam merumuskan kepentingan nasional J. Frankel berpendapat bahwa gagasan mengenai kepentingan nasional didasarkan pada nilai-nilai dari masyarakat nasional bersangkutan, nilai-nilai-nilai-nilai yang dapat dianggap sebagai produk kebudayaanya dan sebagai ekspresi dari rasa perpaduan nilai-nilai yang menetapkan apa yang dianggap benar dan adil bagi manusia.

Oleh karena itu menurut Morgenthau strategi diplomasi harus dimotivasi oleh kepentingan nasional yang bersifat prudent dan realistis bukan oleh kriteria moralistik dan legalistic.

14

Selanjutnya Budiono mengatakan bahwa dalam kenyataanya berbagai sasaran politik luar negeri dapat mencakup lebih dari satu kategori dan dapat mempunyai lebih dari satu sifat sekaligus. Kepentingan nasional jarang dapat dibaca secara sederhana, aspeknya sering tidak dapat ditafsirkan secara eksklusif.

Jadi menurut Frankel dalam menetapkan kepentingan, sistem nilai menjadi pedoman perilaku.

13

Suprapto, Hubungan Internasional: Sistem Interaksi dan Perikaku, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997, hal. 143

14

(13)

Kepentingan nasional selalu berkaitan erat dengan keamanan, kesejahteraan dan juga power.15

4.2. Politik Luar Negeri

Untuk dapat menganalisis politik luar negeri suatu negara, diperlukan berbagai tingkat analisis yang dapat memberikan kepada kita perspektif yang paling berguna dan dari perspektif itu kita menjelaskan dan memahami politik luar negeri suatu negara.16

15

Budiono Kusumohadidjojo, Hubungan Internasional: Keragka Studi Analitis, Jakarta, Binacipta, 1987, hal. 35

16

K J Holsti, Politik Internasional Kerangka untuk Analisis Jilid 1, Jakarta, Penerbit Erlangga, 1988, hal, 16

(14)

4.3. Nasionalitas

Dalam bagian ini, peneliti mencoba menjelaskan faktor-faktor internal atau dengan kata lain kepentingan nasional dari RRC sebagai alat analisis dalam menjelaskan dan memahami politik luar negeri RRC. Analisis ini meliputi lima faktor, yaitu kebutuhan sosial dan atribut nasional, ideologi, dinamika politik dalam negeri, tipe rezim, dan faktor birokratis RRC pada masa dimana penelitian ini difokuskan (1949 – 1976). Dimulai dengan melihat faktor pertama yaitu kebutuhan sosial dan atribut nasional.

Beberapa tujuan, keputusan, dan tindakan politik luar negeri dirumuskan atau diambil untuk memenuhi kebutuhan sosial umum dan memajukan kepentingan khusus dari berbagai kelompok domestik.17

Lebih penting lagi adalah karakter geografis, demografis, tingkat perkembangan (akan dibahas lebih jauh pada bagian sistem internasional), dan sumber daya suatu negara yang menciptakan kebutuhan sosial dan ekonomi umum yang hanya dapat dipenuhi melalui transaksi dengan negara lain.

Beberapa kebutuhan hanya dapat dijamin oleh tindakan pemerintah terhadap negara lain. Contohnya adalah bila suatu pemerintahan merundingkan suatu persetujuan tarif dengan negara lain untuk melindungi investasinya atau investasi warga negaranya.

18

17

K J Holsti, Politik Internasional Kerangka untuk Analisis Jilid 2, Jakarta, Penerbit Erlangga, 1988, hal, 105

18 Ibid

(15)

Soviet dan dikelilingi oleh tiga kawasan penting yaitu Asia Tenggara, Asia Timur, dan Asia Pasifik (sekalipun setiap kawasan tumpang tindih) serta memiliki jumlah penduduk sekitar 22% dari seluruh penduduk dunia, di samping itu pada saat itu RRC juga masih mempunyai banyak sumber-sumber daya alam yang belum dimanfaatkan.19

Selain itu besar negara yang diukur menurut jumlah penduduk juga mempengaruhi kebijakan politik luar negeri. Negara besar lebih banyak merupakan pemerakarsa konflik daripada negara kecil. Negara besar cnderung melihat diri mereka sebagai mempunyai tugas – tugas dan fungsi – fungsi yang lebih besar daripada negara kecil. Bila kita mengaitkan tujuan suatu negara dengan unsur kekuatannya, maka suatu negara besar mempunyai keunggulan yang lebih unggul, Karakteristik geografi dan penyebaran sumber daya alam menentukan kepercayaan diri suatu negara dan ketergantungan terhadap negara lain, iklim menentukan tumbuhan pangan apa yang dapat ditanam dan lain sebagainya. Berbagai karakteristik di atas tentu saja mempengaruhi kebijakan dengan mendorong atau membatasi pilihan-pilihan dalam merumuskan kebijakan luar negeri.

Jelaslah diketahui bahwa setiap perkembangan politik internasional di sepanjang perbatasan di kawasan Asia Tenggara, Asia timur, dan Asia Pasifik akan mempengaruhi RRC, mengingat beberapa daerah di kawasan itu secara historis maupun ekonomi merupakan tempat-tempat yang strategis bagi RRC. Berbagai kawasan di atas menyediakan berbagai kebutuhan yang diperlukan oleh RRC. Seperti bahan mentah, aliran modal, dan teknologi yang diperlukan bagi industry serta pasar bagi hasil produksi RRC. Mengingat bahwa Mao melancarkan berbagai program pembangunan yang radikal.

19

(16)

dengan kata lain, semakin besar negara itu, semakin besar kekuatannya, semakin ambisius sasarannya. Makin banyak kepentingan yang haru dibela dan dilindungi.

Kedua faktor ideologi, faktor ideologi menjadi penting dalam menjelaskan politik luar negeri RRC, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa ideologi Marxist-Leninist menjadi sangat penting dan yang paling dominan dalam membentuk kebijakan RRC dalam negerinya pada masa kepemimpinan Mao Tse Tung.

Ideologi merupakan kerangka intelektual yang digunakan oleh para pembuat kebijakan untuk memperhatikan realitas, untuk menetapkan sasaran jangka panjang suatu perilaku ekstern negara, untuk digunakan sebagai suatu rasionalisasi dan pembenaran bagi pilihan berbagai keputusan politik luar negeri yang khusus, ideologi juga digunakan untuk member batasan terhadap tahap-tahap perkembangan sejarah yang mengedepankan strategi politik luar negeri yang khusus, serta membentuk sistem moral dan etika yang membantu menentukan sikap dan krtiteria penilaian yang tepat untuk menilai suatu tindakan.20

Faktor ketiga adalah dianmika politik dalam negeri RRC. Dinamika politik dalam negeri RRC tidak pernah berhenti dari pergolakan. Di amping karena adanya permusuhan pribadi, permusuhan antar kelompok kian mempertajam pertentangan mengingat terdapatnya perbedaan dalam garis pemikiran dan perjuangan yang dianut masing-masing subjek. Dapat digambarkan bahwa terjadi tarik menarik kepentingan antara Partai Komunis Cina (PKC) dengan unsur kekuatan Tentara Pembebasan Rakyat (TPR), serta kekuatan-kekuatan politik lain yang diidentifikasi sebagai: Kelompok Revolusioner Radikal, Kelompok

20

(17)

Pragmatis-Realis dan Kelompok Moderat.21

Faktor kelima tipe rejim. Tipe rejim politik atau ekonomi pada sebuah negara dapat menjadi sangat penting. RRC dengan sistem politik yang otoriter, dimana pengambilan keputusan terbatas pada beberapa tokoh tingkat tinggi yang Perlu diingat bahwa individu-individu merupakan kekuatan politik tersendiri. Keadaan ini sangat mempengaruhi proses perumusan kebijakan. Karena suatu perumusan kebijakan akan menghadapi tekanan-tekanan untuk penyesuaian dari kekuatan-kekuatan politik yang bertarung.

Keempat faktor birokratis, faktor birokratis mempengaruhi psoses pembuatan kebijakan. Karena tujuan keputusan, dan kebijakan biasanya dibuat dalam hubungan birokratis-politis. Suatu kebijakan merupakan akibat dari perundingan dari berbagai instansi pemerintah yang dipengaruhi oleh tradisi organisasi dan pertentanga birokratis yurisdiksi. Menurut Agraham Allison dan Morton Halperin kompleksitas birokratis merupakan karakteristik yang terdapat pada hamper semua negara.

Dalam konteks RRC, struktur perumusan kebijakan luar negeri merupakan interaksi dari tiga lembaga, yaitu negara, partai, dan militer serta lembaga-lembaga lain yang sifatnya hanya memberikan referensi-referensi di bidangnya masing-masing seperti bidang ekonomi, militer dan lain sebagainya. Kebijakan merupakan suatu campuran dari bagaimana para birokrat memberikan cirri pada situasi dan posisi apa yang telah mereka tujuan, dengan memperjuangkan persaingan dan tradisi birokratis. Perlu diingat bahwa pimpinan tertinggi merupakan faktor dominan dalam proses pembentukan kebijakan di RRC. Kualitas dari staf-staf birokrasi juga mempengaruhi proses-proses perumusan kebijakan terutama kemampuan negosiasi, dan bahasa.

21

(18)

sering diputuskan berdasarkan analisis-analisis objektif terhadap keadaan eksteren dan interen, akan terdapat imperatif yang kuat untuk menjalankan kebijakan beresiko tinggi atau memerintahkan perubahan tujuan, peran, orientasi, atau tindakan secara mendadak.22

4.4. Sistem Internasional

Para pemimpin puncak dapat pula menjalankan petualangan luar negeri untuk memperkuat kedudukan politik mereka di dalam negeri. Pada rezim-rezim yang dipimpin oleh para pemipin yang berkharisma, para pengambil keputusan dapat mencapai kepuasan pribadi yang cukup besar apabila mereka dapat menjalankan kekuasaan dengan sewenang-wenang, mencari prestise internasional, atau mengagungkan diri mereka sendiri dengan pamer atau ekspedisi militer keluar negeri.

Bagian ini akan menjelaskan faktor eksternal atau dengan kata lain keadaan diluar sebagai alat analisis dalam menjelaskan dan memahami politik luar negeri RRC. Sistem internasional dapat dirumuskan sebagai suatu himpunan kesatuan-kesatuan politik yang merdeka yang cukup sering berinteraksi dan mengikuti proses yang teratur.23

22

Holsti jilid 2, op. cit, hal. 108 23

Ibid, hal. 29

(19)

Semenjak tahun 1947, Amerika Serikat dan Uni Soviet memegang kepemimpinan dalam mencetuskan dan merumuskan isu-isu internasional.24 Hubungan Uni Soviet dan Amerika Serikat mencakup lingkup permasalahan yang sangat luas, yang menyebabkan dunia secara sah terbagi dalam dua kutub yang berlawanan. Kondisi ini menyebabkan negara-negara lain hanya mempunyai sedikit pilihan dalam menentukan kebijakan luar negerinya. Sistem internasional yang bersifat dua kutub ini memunculkan persepsi tentang adanya zero-sum game antara dua negara adikuasa dimana perolehan atau keuntungan (gain) bagi satu pihak dengan sendirinya menjadi kerugian (loss) bagi pihak lainnya.25

Proses perumuan kebijakan dalam dan luar negeri tanpa mempertimbangkan faktor-faktor dari luar adalah sangat kecil kemungkinannya. Kekurangan sumber-sumber membuat banyak negara berkembang lemah dalam semua dimensi; untuk bertahan negara tersebut memerlukan bantuan sumber-sumber ekonomi dari luar, yang sering merupakan bantuan yang sifatnya

Dalam konstelasi ini, sebagaimana yang dikatakan Andrew J. Nathan dan Robert S. Ross, RRC merupakan satu-satunya negara yang beridiri di persimpangan dari dua kekuatan, sebuah target yang sangat mempengaruhi permusuhan keduanya. Atau dengan kata lain posisi RRC dalam struktur ini tidak sepenuhnya berada di bawah dominasi dari dua kekuatan tersebut. Keadaan ini, ditambah dengan lahirnya Gerakan Non Blok, dimana RRC menjadi salah satu anggotanya, memberikan tempat untuk alternatif pilihan-pilihan yang lebih banyak dan strategis bagi RRC dalam merumuskan kebijakan luar negeri untuk mencapai tujuan nasionalnya sendiri.

24

Lyn H. Miller, Agenda Politik Internasional, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006, hal. 118 25

(20)

kemanusiaan ataupun bantuan yang sifatnya membangun, bantuan militer untuk membangun atau bahkan memelihara angkatan bersenjata yang belum mapan, yang sering lebih banyak digunakan untuk mempertahankan rejim melawan para pengkritik internal daripada melawan serangan dari luar.

Selain dari negara terdapat juga aktor non negara yang mempunyai pengaruh yang tidak sedikit. Beberapa aktor non negara tersebut seperti gerakan pembebasan, partai, gerakan politik, perusahaan multi nasional, dan organisasi antarpemerintah. Walaupun aktor non negara tidak memiliki atribut kedaulatan, namun gerakan mereka sering memiliki berbagai konsekuensi penting terhadap sistem internasional.26 Misalnya Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang menjalin hubungan diplomatik dengan sejumlah besar pemerintah dan kelompok militan dari luar negeri, dimana PLo memiliki politik luar negeri sendiri, menyebarkan propaganda, menjalin hubungan dengan semua simpatisan di seluruh dunia, dan membeli persenjataan baik dari perusahaan pemerintah maupun dari perusahaan swasta luar negeri.27

26

Holsti jilid 1, op. cit, hal. 73 27

Ibid

(21)

5. Metode Penelitian

5.1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini bersifat deskripti analitis, yaitu memberikan gambaran tentang politik luar negeri RRC pada masa kepemipinan Mao Tse Tung. Menurut Winarno Surakhmad metode deskriptif lebih merupakan istilah umum yang mencakup teknik deskriptif, diantaranya adalah dengan menganalisa suatu data.28

Metode deskriptif lebih memusatkan perhatiannya pada penemuan fakta-fakta sebagaimana keadaan sebenarnya.

Pada umumnya bentuk metode deskriptif ini adalah menuturkan dan menafsirkan data yang ada, misalnya tentang situasi yang dialami, satu hubungan, kegiatan, dan pandangan.

29

5.2. Teknik Pengumpulan Data

Pada hakekatnya setiap penyelidikan mempunyai sifat deskriptif, dan setiap penelitian mengadakan proses analitik, dan untuk mengadakan analisa, seorang peneliti seharusnya lebih dahulu telah mempunyai satu cara berpikir, cara pengupasan, dengan refernsi atau titik tolak tertentu.

Data adalah segala keterangan atau informasi tentang segala hal yang berkaitan dengan tujuan penelitian yang akan dilakukan, dan adapun metode yang digunakan untuk mengumpukan data tersebut adalah dengan Library Research (Penelitian Kepustakaan) yang sering juga disebut dengan metode dokumentasi. Penelitian dengan menggunakan studi pustakan ini dilakukan dengan cara

28

Winarno Surakhmad, Penelitian Ilmiah: Dasar Metode Teknik, Bandung, Penerbit Tarsito, 1985, hal. 140

29

(22)

nmenelusuri, megumpulkan dan membahas bahan-bahan informasi dari karangan yang termuat di buku, artikel-artikel yang termuat dalam jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini.30

30

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 1995, hal. 40

5.3. Analisis Data

(23)

6. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi latar belakang masalah, fokus dan pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, konsep teoritis, metode penelitian, sistematika penulisan

BAB II POLITIK LUAR NEGERI RRC PADA MASA KEPEMIMPINAN

MAO TSE TUNG (1949-1976)

Dalam bab ini diuraikan kronologis implementasi politik luar negeri RRC pada masa kepemimpinan Mao Tse Tung (1949-1976)

BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI POLITIK LUAR

NEGERI RRC

Bab ini berisi faktor-faktor yang mempengaruhi politik luar negeri RRC dan kepentingan nasional dari RRC

BAB IV KESIMPULAN

(24)

BAB II

POLITIK LUAR NEGERI CINA 1949 – 1976

1. 1949 – 1953 Aliansi Kepada Komunisme Internasional

Kebijakan luar negeri pada masa ini sangat di pengaruhi oleh kondisi internal dalam negeri RRC dan hubungan RRC dengan Uni Soviet dan Amerika Serikat.

Pada masa awal berdirinya pada tahun 1949, kebijakan luar negeri RRC dicurahkan pada usaha-usaha dalam level internasional untuk mendukung konsolidasi kekuatan, penyatuan wilayah, dan pencegahan terhadap bahaya dari luar negeri. Dimana pada waktu itu masih terdapat beberapa daerah yang dikuasai oleh sisa-sisa Pemerintahan Nasionalis. Kekuatan pokok Pemerintah Nasionalis sendiri berhasil melarikan diri dengan meyeberang ke Pulau Taiwan (Mei 1950), yang kemudian bahkan Armada ke-7 Angkatan Laut Amerika Serikat dikerahkan ke Selat Taiwan untuk melindungi Pemerintahan Nasionalis Cina, sehingga untuk sementara RRC tidak dapat menjamahnya.1

Dalam usahanya itu RRC pertama-tama mengadakan pendekatan dengan Uni Soviet. Kunjungan Mao Tse Tung ke Moscow untuk mengadakan perundingan dengan Perdana Menteri Josef Stalin, empat bulan setelah RRC diproklamasikan, kunjungan ini menjadi kebijakan luar negeri RRC yang pertama.2

1

WD Sukisman, Sejarah Cina Kontemporer dari Revolusi Nasional Melalui Revolusi Kebudayaan Sampai Modernisasi Sosialis, PT. Pradnya Paramitha, Jakarta, 1992, hal. 47

2

(25)

untuk mengembalikan kota-kota pelabuhan Dairen dan Port Arthur yang diuasai Uni Soviet selambat-lambatnya pada tahun 1952.

Kunjungan ini juga menunjukkan hasrat Mao untuk mengkonsolidasikan RRC dengan kekuatan komunis dunia dan menyebarkan paham komunis ke negara sekitarnya. RRC menjadikan kemenangan Partai Komunis Cina melawan Jepang dan kaum nasionalis di negaranya sebagai model perjuangan untuk negara-negara lain, untuk melawan kekuatan-kekuatan kolonialis dan imperialis dengan menganjurkan perjuangan revolusi bersenjata di negara-negara non-komunis. Sesuai dengan teori “Dua Blok” yang digunakan oleh Uni Soviet, yang untuk pertama kalinya diperkenalkan dalam rapat Komitern pada bulan September 1947.3 Oleh sebab itu pada akhir tahun 1949 sampai awal 1950-an RRC berkontribusi pada pemberontakan-pemberontakan di beberapa negara-negara asia termasuk Burma, Filipina, Indonesia, Malaya setidaknya dengan bantuan material yang terbatas.4

Ditengah kesibukkan dengan urusan dalam negerinya itu, terjadilah suatu ketegangan di semenanjung Korea. Yang menjadi masalah adalah bahwa sejak Akibat berbagai peristiwa di atas dan kampanye penolakan terhadap penerimaan rezim komunis RRC di dunia internasional yang dilakukan oleh Amerika Serikat, RRC menjadi terpencil.

Sekembalinya dari Moskow Mao Tse Tung mulai mencurahkan perhatiannya dalam penertiban dan pengembangan dalam negeri, antara lain penyusunan konstitusi dan gerakan land reform. Semua lahan milik tuan tanah disita oleh negara untuk dibagikan secara merata kepada para petani dan penggarap.

3

Lilian Craig Harris, China’s foreign Policy Toward The Third World, Praegers Publishers, New York, 1985, Hal. 31

4

(26)

berakhirnya perang dunia semenanjung Korea terbagi menjadi dua negara, yaitu Republik Rakyat Korea (di bagian utara) yang komunis dan Republik Korea (di bagian selatan) yang liberal, dimana pada bulan juni 1950 Korea Selatan menjalin Perjanjian Pertahanan Bersama dengan Amerika Serikat yang kemudian membawa serta dibuatnya negara tersebut menjadi pangkalan militer Amerika Serikat.5

Pada saat yang bersamaan dengan Perang korea, RRC juga mengerahkan Tentara Pembebasan Rakyat untuk menguasai Tibet, tepatnya pada oktober 1952 dalam rangka mencapai keutuhan wilayah. Pada masa-masa ini juga, walaupun pimpinan RRC masih sangat curiga terhadap negara-negara non-komunis, tetapi nampaknya ada sedikit perubahan, yang terlihat dari dukungan secara lisan RRC terhadap rencana Iran untuk menasionalisasi konsesi minyak milik asing; dan

Setelah ketegangan semakin meningkat terjadilah bentrokan senjata pada tanggal 25 Juni 1950 yang kemudian membawa Amerika Serikat dan PBB mengirimkan pasukan dan mengutuk Korea Utara sebagai aggressor. Uni Soviet yang kebetulan sedang memboikot sidang PBB tidak sempat menggunakan hak veto. Kondisi ini mendapat tentangan keras dari RRC. Ketika bentrokan semakin membesar dan sudah mendekati perbatasan RRC – Korea Utara, maka RRC mengerahkan sejuta tentara sukarelawan untuk masuk ke Korea Utara dan melawan pasukan Amerika. Kondisi ini juga membuat PBB mengutuk RRC sebagai negara agresor.

Minimnya bantuan Uni Soviet dalam Perang Korea membuat Mao Tse Tung kecewa kepada Stalin apa lagi setelah salah satu anaknya tewas dalam perang itu. Di samping itu rencana penyerahan kembali Dairen dan Port Arthur yang dalam perjanjian akan diserahkan dari Uni Soviet ke RRC pada tahun 1952, terpaksa ditunda dengan alasan keamanan.

5

(27)

untuk kebijakan-kebijakan anti Inggris oleh Mesir pada tahun 1951, serta mengadakan Konferensi Perdamaian Asia Pasifik yang juga diikuti beberapa negara Amerika Latin pada tahun 1952.

Perang Korea sendiri mengalami kejenuhan, selain masing-masing menderita korban dalam jumlah yang besar, mereka juga bersepakat mengakui kembali garis bujur 38 derajat sebagai garis perbatasan, sehingga pada tanggal 27 Juli 1957 tercapai gencatan senjata.6

2. 1954 – 1959 Hidup Berdampingan Secara Damai

Keterlibatan RRC pada perang Korea, serangan terhadap Tibet, dan gerakan pembebasan Taiwan membuat RRC dicap sebagai negara agresor yang berbahaya oleh dunia. Untuk menghilangkan cap itu, meningkatkan pengaruh RRC terhadap negara-negara netral, dan tercapainya kemantapan politik dan keamanan dalam negeri RRC yang memungkinkan dilancarkannya Rencana Pembangunan Lima Tahun Pertama, RRC mulai menganut kebijakan politik luar negeri Hidup Berdampingan Secara Damai. Yang pertama kali terdengar dalam laporan politik Menteri Luar Negeri Zhou En Lai kepada Komite Nasional pada Konferensi Badan Penasihat Politik Rakyat di bulan Februari 1953.

Diawali hubungan RRC dengan India menyangkut masalah Tibet. Yang kemudian Perdana Menteri kedua negara, Pandit Jawaharlal Nehru dan Zhou En Lai menandatangani Perjanjian pada bulan April 1954 mengenai hubungan dagang RRC-India di Daerah Tibet yang pada intinya pengakuan dan penarikan pasukan India dari Tibet. Kemudian Kebijakan Politik Luar Negeri Hidup Berdampingan Secara Damai ini mendapat kesempatan untuk diaplikasikan pada bulan April 1955

6

(28)

dalam Konferensi negara-negara Asia di New Delhi yang kemudian diikuti dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung, Indonesia pada bulan yang sama. Pada Konferensi Asia Afrika inilah perinsip hidup berdampingan secara damai yang dibawa oleh RRC di kembangkan menjadi Dhasa Sila Bandung.

Mulai bulan November 1956 sampai Januari 1957, Zhou En Lai mengunjungi delapan negara Asia, dan mulai menjalin hubungan dengan berbagai negara Timur Tengah dan Afrika sambil mengkampanyekan lima perinsip hidup berdampingan secara damai ( Dhasa Sila Bandung) sebagai perilaku hubungan luar negeri yang bertanggung jawab.

Ditengah dijalankannya perinsip hidup berdampingan secara damai - mulai Juni 1954 sampai 1958 - RRC justru menghadapi masalah di Selat Taiwan pada bulan Juli 1954. Yang diawali oleh dikerahkannya armada ke-7 Angkatan Laut Amerika ke Selat Taiwan untuk mencegah RRC menggunakan kekuatan bersenjata untuk merebut Taiwan yang menyebabkan terjadinya ketegangan di Selat Taiwan. Untuk menyelesaikan masalah ini maka diadakanlah perundingan tingkat Duta Besar antar RRC dan Amerika Serikat di Warsawa, Polandia. Dalam perundingan tersebut Amerika Serikat mendesak RRC untuk tidak menggunakan kekerasan senjata terhadap Taiwan. Sebaliknya RRC menuntut dihapusnya kehadiran tentara Amerika Serikat di Taiwan dan sekitarnya.

(29)

dengan meriam antara pasukan di daratan Cina dengan pasukan Taiwan di Pulau Que Moy dan Matsu.7

Dalam konfrontasi RRC – Amerika Serikat ini, Amerika menjalankan politik membendung RRC sepanjang pantai lautnya mulai dari timur sampai selatan, dimana selain dengan Korea Selatan dan Taiwan, Amerika Serikat juga mengadakan hubungan militer bilateral dengan Jepang, dan Filipnina, sedangkan untuk membendung RRC dari Selatan, Amerika Serikat membentuk SEATO (1954) dimana juga ikut serta Thailand, dan Filiphina selain Inggris, Perancis, Australia, Selandia Baru dan Pakistan.8

Pada saat ketegangan yang semakin meningkat di Selat Taiwan, pada September 1954 berlangsung kunjungan Perdana Menteri Nikita Khrushchev dan Menteri Pertahanan Rodion Maliovski ke Beijing. Perundingan antara Uni Soviet dan RRC yang sebelumnya sempat mengalami keretakan pada masa Perang Korea serta penundaan pengembalian dua daerah RRC yang dikuasai Uni Soviet, menghasilkan suatu pernyataan bersama yang pada pokoknya, kedua negara akan bertukar pikiran mengenai masalah-masalah yang sama-sama dihadapinya di Asia dan Eropa. Sebulan setelah kunjungan tersebut, Khrushchev menyatakan bahwa: “Serangan terhadap RRC dianggap pula sebagai serangan terhadap Uni Soviet”.

9

Namun kembali terciptanya hubungan yang baik dengan Uni Soviet ini tidak berlangsung lama. Perpecahan kembali terjadi dan menjadi lebih buruk pada Februari 1956, setelah Khruschev menganjurkan politik destalinisasi pada Kongres Setelah pernyataan itu RRC dan Amerika Serikat bersepakat untuk menghentikan tembak-menembak.

7

Ibid, Hal. 63 8

Umar, S. Bakri, Cina Quo Vadis? Pasca Deng Xiaopeng, Putaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997, hal. 131

9

(30)

Partai Komunis Soviet ke dua puluh, dan kembali diulangi ketika Mao berkunjung ke Moscow pada November 1957, ditambah dengan kecurigaan RRC terhadap peningkatan aktivitas militer Uni Soviet di perbatasan kedua negara. Pada saat itu kedua pemimpin negara komunis terbesar di dunia itu saling melemparkan kecaman satu sama lain, dimana Khruschev menuduh Mao Tse Tung sebagai fanatik dan terlalu kekiri-kirian, yang dijawab Mao dengan mengatakan Khruschev seorang revisionis. Perbedaan politik kedua negara tersebut juga tercermin dari tindakan masing-masing, misalnya pada saat Mao Tse Tung sedang hangat-hangatnya melancarkan “Gerakan Loncatan Jauh ke Depan” pada tahun 1959 untuk merealisasikan kebijakan “Berdiri di Atas Kaki Sendiri” maka Khruschev justru mengadakan pertemuan dengan Presiden Amerika Serikat, Dwight Eisenhower, di Camp David. Sejak saat itu sengketa ideologi kedua negara semakin menjadi-jadi.

Sebenarnya, antara RRC dan Uni Soviet terdapat pula sengketa teritorial karena faktor sejarah, walaupun masalah perbatasan ini telah diseleaikan lewat Perjanjian Persahabatan pada tanggal 14 Februari 1950, tetapi hal-hal yang disebutkan di dalam perjanjian tidak dilaksanakan oleh Uni Soviet.10

Bukan itu saja, RRC juga terlibat perselisihan yang sangat serius dengan tetangganya India -mengenai garis perbatasan kedua negara pada tahun 1959 yang kemudian pada tahun 1962 berkembang sampai mengakibatkan bentrokan bersenjata di daerah perbatasan - dan juga dengan Indonesia mengenai kewarganegaraan warga keturunan Cina di Indonesia pada tahun 1959. Politik dalam negeri RRC juga mengalami dinamika, dimana kampanye anti-kanan

10

(31)

meningkatkan posisi dari elemen-elemen yang lebih militan di dalam hirearkis politik RRC.

Berbagai peristiwa diatas berangsur-angsur mulai memberi tekanan kembali kepada aspek perjuangan bersenjata pada politik luar negeri RRC. Seperti yang digambarkan dalam pidato oleh pemimpin RRC mengenai krisis Timur Tengah yang memperlihatkan sikap anti terhadap PBB. Jadi, akhir tahun 1950-an menandakan suatu titik balik dalam politik luar negeri RRC, dimana RRC dengan cepat menjauhkan diri dari semangat Bandung dan menjadi jauh lebih militan, dan menyimpulkan bahwa hidup berdampingan secara damai yang sebenarnya tidaklah mungkin sehingga dukungan aktif RRC kepada perjuangan revolusioner itu penting.11

3. 1960 – 1965 Anti-revisionisme dan Anti-imprealisme

Memasuki tahun 1960 RRC merasa dirinya benar-benar terisoler dari semua negara non-komunis, termasuk negara-negara yang sebelumnya mendukung RRC di Bandung pada tahun 1955 dengan pernyataan mereka terhadap komitmen RRC mengenai hidup berdampingan secara damai.

Perpecahan antara RRC dan Uni Soviet berlanjut pada periode ini. Juli 1960 Uni Soviet menghentikan bantuan ekonominya kepada RRC, dan menarik pulang semua ahlinya dari RRC, akibatnya pembangunan ekonomi maupun proyek-proyek penting di bidang penelitian ilmiahnya RRC benar-benar terpukul .12

November 1960 Uni Soviet memprakarsai suatu Rapat Segenap Partai Komunis di dunia. Dimana Uni Soviet menganjurkan agar kubu sosialis

11

Harris, op.cit, hal. 114 12

(32)

menghindarkan perang terbuka dengan kubu Imprealis, melainkan menunjukkan keunggulan kubu sosialis dengan menunjukkan produksi ekonomi yang melebihi kubu imprealis. Sebaliknya Mao Tse Tung menganjurkan agar segenap Partai komunis mendukung “perang pembebasan nasional” di seluruh dunia, dan disebutkan pula perjuangan komunisme melalui jalan damai adalah impian kosong. Dalam perdebatan tersebut ternyata partai Komunis Uni Soviet mendapat dukungan dari Partai-Partai Komunis lainnya, sehingga komunike yang dikeluarkan oleh Konferensi adalah sesuai dengan aliran politik Uni Soviet.13

Dengan sikap Khruschev yang baru ini, RRC menganggap perjuangan masyarakat komunisnya dikhianati, lalu terjadilah perubahan orientasi politik luar negeri RRC, dari teori Dua Blok (Two Camp) ke teori Tiga Dunia (Three World).14

Atas dasar itulah, maka pada 28 Maret 1961 Menteri Luar Negeri RRC, Chen Yi, mengadakan kunjungan ke negara-negara pemerakarsa Konferensi Asia Afrika I, yaitu: Burma, Srilangka, Indonesia, India, Pakistan. Di Burma Chen Yi Dimana RRC menempatkan dirinya sebagai bagian dari Dunia Ketiga, yaitu kelompok negara-negara yang terjajah yang telah merdeka atau disebut juga negara-negara yang sedang berkembang. Sedangkan Dunia Kedua didefinisikan sebagai kelompok negara-negara yang bangkit maju setelah Perang Dunia II atau disebut juga negara yang sudah berkembang, yang terdiri dari negara-negara Eropa Barat, Kanada, Jepang dan lain sebagainya. Dunia pertama yang terdiri dari negara adikuasa Amerika dan Uni Soviet yang merupakan kekuatan hegemoni dunia yang harus ditentang oleh aliansi dari kekuatan Dunia Ketiga dan Dunia Kedua. Mulailah persaingan dengan Uni Soviet untuk menguasai gerakan-gerakan komunis dan organisasi-organisasi Internasional di seluruh dunia.

13 Ibid 14

(33)

mengemukakan gagasan RRC untuk menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika II, usul Chen Yi tersebut pada dasarnya mendapat sambutan baik dari Ketua Dewan Revolusi Burma, Jenderal Newin. Dalam konferensi persnya Chen Yi menyatakan, bahwa “Konferensi Asia Afrika II akan berperan positif dalam perjuangan melawan imprealisme.15

Kunjungan berikutnya adalah Indonesia. Pertama-tama Chen Yi menyelesaikan perselisihan Indonesia – RRC mengenai warga negara keturunan Cina di Indonesia, setelah itu Chen Yi bertemu dengan Presiden Soekarno dan berhasil memperoleh persetujuan beliau mengenai gagasan penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika II, Komunike bersama Indonesia – RRC pada April 1961 menyebutkan bahwa kedua negara bersangkutan menganggap perlu agar konferensi Asia-Afrika II diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnya.16

15

Sukisman, op. cit, hal. 79 16

Ibid

(34)

Tujuh bulan kemudian delegasi RRC dalam Konferensi Sastrawan Asia-Afrika di Cairo (Februari 1962) sekali lagi mengecam Uni Soviet sebagai orang Eropa jahat yang harus dilawan dengan persatuan dari bangsa-bangsa berwarna.

Di bulan November 1962 terjadilah krisis misil Kuba, dimana letak Kuba yang sangat dekat dengan Amerika Serikat dimanfaatkan Uni Soviet dengan memasang peluncur-peluncur peluru kendalinya. Amerika menganggap ini sebagai ancaman yang serius kepadanya. Maka ketika diketahui bahwa kapal-kapal Uni Soviet yang membawa peluru kendali tersebut mendekati Kuba, datanglah kapal Amerika Serikat yang memaksa kapal-kapal tersebut untuk kembali ke Uni Soviet. Bahkan Amerika Serikat mendesak Uni Soviet untuk membongkar peluru-peluru kendali yang sudah terpasang di Kuba. Dalam keadaan yang genting ini, akhirnya Uni Soviet menerima permintaan Amerika Serikat. Kondisi ini dikecam oleh Mao Tse Tung sebagai tindakan pengecut oleh Uni Soviet, apalagi peristiwa ini didahului dengan penandatanganan Perjanjian Pembatasan Percobaan Nuklir oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet.17

Februari 1963 RRC berperan banyak dalam Konferensi Solidaritas Asia-Afrika di kota Moshi, Tanzania. Pada kesempatan itu delegasi RRC mengutuk Uni Soviet sebagai Imprealisme sosialis, dan mendesak agar negara-negara berkembang memencilkannya, disamping itu delegasi RRC juga mengemukakan penilainnya, bahwa bangsa-bangsa Afrika sudah matang untuk mengobarkan revolusi terhadap imprealis dunia, yang ditanggapi oleh Presiden Julius Nyerere dengan menyatakan, bahwa Afrika tidak mau lagi dijadikan rebutan oleh negara-negara adidaya.

18

17

Ibid, hal. 77 18

(35)

Pada bulan Maret 1963 RRC dan Pakistan berhasil menandatangani perjanjian perbatasan. Ini menjadi penting untuk kedua negara dalam rangka mengimbangi koalisi India dan Uni soviet. Pakistan juga mendukung usul tentang penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika II.

Antara tahun 1964 – 1965, Perdana Menteri Zhou En Lai melakukan perjalanan yang luas di Afrika, selama perjalanan tersebut Zhou mempromosikan cita-cita RRC yang dinyatakan sebagai anti-revisionisme dan anti-imprealisme dan persatuan Asia dan Afrika. Beberapa negara yang dikunjungi antara lain Aljazair, Tunisia, Mali, Eithiopia, Ghana, Sudan, Somalia, Guinea. Diantara sepuluh negara yang dikunjungi hanya enam negara saja yang sepenuhnya mendukung gagasan penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika II.

Pada saat yang sama RRC memelihara dan berusaha untuk memperluas hubungan-hubungan dengan berbagai organisasi revolusioner afrika yang sedang berusaha untuk menggulingkan pemerintahan yang berkuasa, suatu kebijakan yang sangat oportunis, yang membawa RRC untuk memberi dukungan kepada kelompok-kelompok yang kemungkinan untuk dapat berhasil dalam perjuangannya sangat kecil. Politik oportunis dan revolusioner ini mengakibatkan banyaknya ketegangan dalam hubungan diplomatik RRC di Afrika. Usaha RRC ini hanya berhasil di Algeria, dimana RRC telah memberikan bantuannya sejak akhir 1950.

Pada pertengahan 1960an para diplomat RRC dipaksa untuk keluar dari Burundi atas tuduhan memakai negara itu sebagai basis untuk mensponsori pemberontakan di Kongo, serta juga dipaksa keluar dari Niger, Benin, Republik Sntral Afrika, dan dari Ghana atas tuduhan mengajak untuk aktivitas subversi.19

19

(36)

Selain Afrika, Beijing juga berusaha untuk memperluas pengaruhnya di Amerika Latin, seperti juga ditempat lain, tujuan utama RRC adalah untuk melawan pengaruh Uni Soviet, akan tetapi kecuali dengan Kuba – itu pun terlihat adanya benih-benih keretakan – ikatan diplomatik RRC dengan satu pun negara Amerika Latin tidak terlaksana di dalam permulaan tahun 1960. Walaupun RRC melihat keberhasilan Fidel Castro di Kuba sebagai tempat berpijak bagi Komunisme di belahan bumi barat, tetapi RRC tidak suka melihat ketergantungan Kuba kepada Uni Soviet yang semakin meningkat, dan usaha Kuba untuk lebih mempromosikan model revolusi Kuba ketimbang model revolusi RRC di Amerika Latin.20

Dalam perayaan hari ulang tahun ke-20 Kemenangan Perang Rakyat Melawan Jepang pada setember 1965, RRC mempublikasikan makalah Menteri Pertahanan Lin Piao yang berjudul Long Live The Victory of People’s War yang

Dalam usahanya untuk meningkatkan pengaruh di Afrika dan Amerika Latin, maka pada permulaan tahun 1960-an RRC membentuk asosiasi-asosiasi seperti Asosiasi Persahabatan Cina-Afrika (Chinese-African Friendship

Association), dan Asosiasi Persahabatan Cina-Amerika Latin (Sino-Latin America

Friendship Association), yang adalah cabang dari Chinese Peoples Association for

Friendship with Foreign Countries.

Pada februari 1965 Vietnam Utara mulai dijatuhi bom oleh pesawat Amerika Serikat. Ini mengawali apa yang kemudian dikenal sebagai Perang Vietnam, dimana setengah juta pasukan Amerika Serikat dikerahkan membantu Pemerintah Vietnam Selatan melawan Republik Demokrasi Vietnam Utara, dan dimana lebih dari 60% persenjataan Vietnam Utara adalah bantuan dari RRC.

20

(37)

menyebutkan bahwa strategi perang rakyat, yaitu pengepungan desa-desa terhadap kota-kota yang menghasilkan kemenangan total adalah sumbangan besar RRC bagi perjuangan revolusi segenap rakyat tertindas di seluruh dunia. Menurut Lin Bao, strategi “desa mengepung kota” bila dilihat secara global dapat digambarkan bahwa, Amerika Utara dan Eropa Barat dapat disebut sebagai “kota-kota dunia” sedangkan Asia, Afrika, dan Amerika Latin adalah “daerah pedesaan dari dunia”. Pada hakikatnya revolusi dunia yang sedang berkembang juga menggambarkan pengepungan daerah pedesaan terhadap daerah perkotaan yang akhirnya nasib dari revolusi dunia tergantung dari rakyat Asia, Afrika, dan Amerika latin yang menduduki bagian terbesar dari umat manusia.21

Persaingan dengan Uni Soviet dalam memperebutkan pengaruh membuat RRC banyak melakukan salah perhitungan yang membawa RRC mengalami kemunduran yang serius dalam hubungan-hubungannya dengan dunia. Di Asia kemunduran-kemunduran ini mencakup kecurigaan yang semakin besar terhadap RRC sebagai akibat dari konflik perbatasan pada tahun 1962 dengan India dan putusnya hubungan diplomatik dengan Indonesia, sesudah percobaan kudeta yang diilhami oleh Partai Komunis, lagipula RRC tidak mempunyai hubungan-hubungan diplomatik dan hanya memiliki sedikit hubungan-hubungan dengan beberapa negara Asia yang besar termasuk Jepang, Thailand, Filipina, Malaysia, dan Korea Selatan, satu-satunya keberhasilan politik luar negeri RRC di Asia selama periode ini adalah terjalinnya hubungan persahabatan dengan Pakistan yang saling menguntungkan, dimana RRC berusaha untuk melawan koalisi India-Uni Soviet, dan Pakistan berusaha untuk memagari dirinya terhadap ancaman India.

22

21

Sukisman, op. cit, hal. 90 22

Harris, op.cit, hal. 35

(38)

Politik luar negeri RRC pada periode ini yang terlihat lebih militan cenderung untuk ditolak oleh negara-negara Asia dan Afrika yang baru merdeka dengan alasan masing-masing, dan penolakan itu semakin ditegaskan karena keretakan hubungan RRC dengan Uni Soviet juga akan menyebabkan mereka tidak mendapat bantuan asing dan akan ditolak dari keanggotaan PBB apabila mereka memihak kepada RRC. Ditambah dengan dukungan RRC kepada kelompok-kelompok yang menghendaki penggulingan pemerintahan yang sah, yang bahkan pemerintahan tersebut mempunyai hubungan diplomatik dengan RRC, terbukti menjadi sangat dibenci di Afrika.

Selain itu, di dalam negeri, perselisihan di tingkat elit pimpinan sebagai akibat dari kegagalan Gerakan Loncatan Jauh Kedepan (1957), dan Kampanye Seratus Bunga Berkembang (1958) serta perbedaan-perbedaan politik yang disebabkan Rencana Ekonomi Lima Tahun pertama (1953-1957) menuntun kepada Revolusi Kebudayaan.23

4. 1966 – 1970 Revolusi Kebudayaan

Revolusi Kebudayaan berawal dari kritikan terhadap suatu seni drama yang disebut menyindir kebijakan Mao tse tung yang memecat Peng Du Hai dan mengandung unsur-unsur anti partai, bersifat kapitalis, dan feodal. Kemudian berkembang menjadi gerakan penertiban besar-besaran terhadap orang-orang yang dituduh revisionis dan oportunis kanan. Juni 1966 Partai Komunis Cina menyerukan kepada mahasiswa untuk memobilisasi rakyat massa guna digerakkan memberantas seni budaya yang ingin merubah diktator proletariat menjadi

(39)

kepemimpinan borjuis.24 Atas seruan itulah maka mahasiswa turun ke jalan dan membentuk Pengawal Merah. Gerakan Pengawal Merah tersebut dari hari ke hari semakin menjadi-jadi. Terjadi kerusuhan massa di seantero RRC. Selain dari lawan-lawan politik Mao Tse Tung yang dijadikan sasaran kritik dan penangkapan, berbagai kantor pemerintah, tempat-tempat peribadahan, dan peninggalan purbakala pun menjadi sasaran pengrusakan.25 Bahkan Gerakan Pengawal Merah berulang kali menyerang anggota perwakilan diplomatik, termasuk para diplomat negara Eropa Timur yang dikecam sebagai revisionis. Dunia dipertunjukan kericuhan politik dalam negeri RRC yang sebelumnya berlangsung tertutup, kali ini secara terbuka.26

Pada masa ini upaya RRC untuk tetap mendorong dan mengkampanyekan perjuangan revolusi kepada dunia internasional meningkat, terutama kepada negara-negara dunia ketiga, sebagai akibat dari tekanan yang diberikan pada kemurnian ideologi. Tetapi karena terbentur masalah kemampuan keuangan, upayanya tersebut lebih banyak bersifat lisan, melalui dukungan-dukungan diplomatik. Pada periode ini RRC juga menjadi lebih selektif dalam mendukung negara-negara maupun gerakan-gerakan revolusioner, mengingat kesalahan-kesalahan yang dilakukan RRC sebelumnya. Pada akhir 1965 tercatat RRC telah

Kebijakan Luar negeri RRC pada periode ini, merefleksikan apa yang terjadi di dalam negeri RRC sendiri. Doktrin Perang Rakyat yang diperkenalkan Lin Piao pada tahun 1965 mencerminkan kesibukan RRC dengan ideologi pada periode ini, dimana melihat Uni Soviet yang disebut revisionis lebih berbahaya daripada Imprealis Amerika Serikat.

24

Sukisman, op. cit, hal. 92 25

Ibid 26

(40)

mengalami pemutusan ataupun penangguhan hubungan diplomatik dengan enam negara yaitu Burundi, Republik Afrika Tengah, Dahomey, Ghana, Indonesia, dan Tunisia.

Pada akhir 1965 terjadi peningkatan aktivitas militer Uni Soviet di perbatasannya dengan RRC, dengan alasan untuk mencegah RRC menuntut kembali wilayah yang telah dikuasainya, RRC marah sekali dan menganggap ini sebagai usaha Uni Soviet yang lain dalam mencari daerah ekspansi baru di negerinya – setelah sebelumnya pada tahun 1956 Uni Soviet mengirimkan pasukannya untuk menduduki Bulgaria.27 Ketegangan semakin meningkat, terutama setelah Uni Soviet melancarkan invasi ke Cekoslovakia pada tahun 1968, dan mencapai klimaksnya dengan pertempuran di Sungai Ussuri tahun 1969, dimana kemudian Uni Soviet melakukan invasi terang-terangan atas daerah Hsinkiang, RRC.28

Sementara itu, penawaran damai yang diajukan Presiden Lyndon Jhonson terhadap Vietnam, dilihat oleh RRC sebagai pelonggaran tekanan Amerika Serikat kepada RRC, pada saat hubungan RRC-Soviet memburuk secara dramatis.

Bahkan kemudian ancaman dari Uni Soviet menjadi lebih serius lagi, dengan munculnya gagasan pembentukan Sistem Keamanan Kolektif Asia dari Brezhnev yang diartikan RRC sebagai maksud terkordinasi Uni Soviet untuk mengepung RRC dari segala arah, dimana Uni Soviet telah mempunyai ikatan yang kuat dengan India, mempengaruhi Laos secara luas, bersekutu dengan Republik Rakyat Mongolia sejak dulu. Kemudian ancaman dan keterpencilan ini membuat RRC mulai membuka hubungan dengan dunia barat.

29

27

Donald S. Zagoria, Soviet Policy in East Asia, New Haven: Yale University Press, 1982, hal.95 28

Partogi, op.cit, hal. 132 29

Harris, op.cit, hal. 41

(41)

Serikat dimana pada November 1968 RRC mengusulkan untuk meneruskan pembicaraan dengan Amerika Serikat dengan perantara Duta Besar masing-masing di Warsawa, walaupun pembicaraan-pembicaraan itu sebenarnya baru dimulai pada Januari 1970.

Pada bulan Maret 1969 RRC mengundang salah satu pimpinan Uni Soviet Alexsei Kosygin untuk mengunjungi Beijing, ini adalah upaya Zhou En Lai untuk mencegah konflik kedua negara menjadi lepas kendali. Pembicaraan kedua negara dimulai pada bulan Oktober, ini juga sebagai usaha RRC untuk menunjukkan kepada dunia bahwa RRC juga tidak tertarik untuk menjadi bagian dari Amerika Serikat.

Satu bulan kemudian, Kongres Partai Komunis Cina yang kesembilan (April 1969) mengisyaratkan kepada sebuah akhir dari masa-masa yang paling penuh kekerasan pada masa Revolusi Kebudayaan, dan pada bulan Mei 1969 RRC memulai membangun kembali hubungan-hubungan luar negerinya kepada seluruh dunia.30

Tahun 1969 – 1971 merupakan suatu peralihan bagi RRC dari politik luar negeri revolusioner kepada politik luar negeri pasca revolusioner karena Revolusi Kebudayaan sendiri telah berakhir, maka sekali lagi politik luar negeri RRC berganti menjadi lebih kepada peningkatan hubungan-hubungan diplomatik dan mengurangi bantuan dan dukungan lisan kepada gerakan-gerakan dan kelompok-kelompok revolusioner.

31

30 Ibid 31

(42)

5. 1971 – 1976 Pasca Revolusi Kebudayaan

Berakhirnya revolusi kebudayaan, menghasilkan peningkatan pengaruh dan otoritas Mao di dalam negeri, dimana Mao telah berhasil menyingkirkan para penentangnya yang berpuncak pada kematian Lin Piao – pada kongres Partai Komunis Cina (April 1969) Lin Piao dinobatkan sebagai Wakil Ketua Partai Komunis Cina dan ahli waris Mao Tse Tung – akibat kecelakaan pesawat pada saat pelariannya setelah gagal melakukan kudeta. Kemudian kondisi ini juga menghasilkan perdebatan di dalam negeri tentang siapa yang akan menggantikan posisi Mao nantinya, serta tentang usaha-usaha RRC untuk memodernisasi dan pembangunan kembali setelah kerusakan yang disebabkan Revolusi Kebudayaan. Kondisi-kondisi dalam negeri ini kemudian menentukan pandangan politik luar negeri RRC menyangkut apa yang harus dilakukan untuk menciptakan suatu keamanan lingkungan internasional dalam rangka mencapai tujuan-tujuan dalam negeri dan politik luar negeri yang independen.32

Setelah didahului pembicaraan pada bulan Oktober 1969 hubungan baik RRC – Amerika Serikat berlanjut. Pada awal 1970 Presiden Nixon menyatakan kehendaknya untuk menarik tentara Amerika di Vietnam disusul dengan pernyataan bahwa “ masalah-masalah besar Asia tidak akan dapat diselesaikan

Pada periode ini perhatian utama RRC adalah untuk mengakhiri keterpencilannya sebagai akibat dari kebijakan luar negerinya pada masa Revolusi Kebudayaan dan sebagai respon terhadap perubahan keseimbangan kekuatan dimana terjadi peningkatan ancaman dari Uni Soviet sementara pengaruh Amerika Serikat semakin berkurang.

32

(43)

tanpa mengikutsertakan RRC”.33

Empat bulan kemudian pada 1 Februari 1972, sebagaimana yang telah direncanakan, Presiden Richard Nixon berkunjung ke RRC. Kunjungan pemimpin tertinggi pemerintah Amerika Serikat yang pertama kali ini, menghasilkan persetujuan bersama antara kedua negara yang tertuang dalam Komunike Shanghai 1972. Yang isi pokoknya adalah pengakuan Amerika Serikat atas RRC sebagai sebuah negara besar di dunia dan pengakuan tentang perlunya eksistensi RRC dalam percaturan politik global.

Setahun kemudian, setelah didahului oleh diplomasi kebudayaan, olahraga dan berbagai pendekatan, Menteri Luar Negeri Henry Kisinger berkunjung ke Beijing (Juli 1871). Kunjungan tersebut menghasilkan rencana kunjungan Presiden Nixon ke RRC.

Perkembangan pendekatan RRC – Amerika Serikat yang demikian cepat tersebut membawa pengaruh kepada Sidang Umum PBB pada bulan Oktober 1971, dimana dalam sidang tersebut RRC diakui oleh PBB sebagai negara yang sah berkuasa di Cina sehingga diberi hak untuk menjadi anggotanya. Sebaliknya maka Pemerintah Nasionalis Cina di Taiwan menjadi batal keanggotaanya. Bahkan RRC yang sebelumnya telah dicap oleh PBB sebagai aggressor, secara mendadak menjadi negara pemegang Hak Veto di PBB.

34

33

Sukisman, op. cit, hal. 109 34

Michael B. Yahuda, China Role in World affairs, New York, St. Martin Press, 1978, hal. 212

(44)

terputus-putus, dan gerak tangannya yang tersendat-sendat, menjadi pertanda bahwa Pemimpin RRC itu telah lapuk dimakan usia.35

Sebagai tindak lanjut dari kunjungan Richard Nixon tersebut, RRC memulihkan hubungan dagangnya dengan negara-negara Eropa Barat dan Jepang. Pada tanggal 25 September 1972 Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka berkunjung ke Beijing, dimana pada kesempatan ini, Tanaka menyampaikan permintaan maaf pemerintah Jepang kepada rakyat RRC atas kekejaman tentara Jepang semasa Perang Cina-Jepang, yang disambut oleh Perdana Menteri Zhou En Lai dengan membatalkan tuntutan RRC atas perampasan perang terhadap Jepang.

36

Pada tanggal 24 sampai 28 Agustus 1973 diadakan Kongres Partai Komunis Cina X, dalam kesempatan ini Zhou En Lai mengatakan bahwa, dunia international sedang mengalami kekacauan, Uni Soviet dan Amerika Serikat saling berebut hegemoni, sedangkan rakyat-rakyat dari dunia berkembang justru menjelang masa kebangkitan. Uni Soviet dinilai merosot derajatnya dalam jangka waktu dua dasawarsa terakhir, yaitu dari negara sosialis menjadi negara revisionis, bahkan menjadi negara imprealis sosial.

Selanjutnya kedua belah pihak mencapai persetujuan yang pada pokoknya menjalin hubungan diplomatik antara RRC dan Jepang serta pengakuan Jepang bahwa Taiwan merupakan wilayah yang tak terpisahkan dari RRC. Perjanjian ini segera diikuti dengan pemutusan hubungan diplomatik oleh Taiwan terhadap Jepang (April 1974).

37

(45)

Chekoslovakia, dan pengerahan tentaranya disepanjang perbatasan dengan RRC, bahkan telah memasuki wilayah Republik Rakyat Mongolia.

Pada kongres Rakyat Nasional IV Tahun 1975, Zhou En Lai dalam laporan poltiknya menyatakan bahwa politik luar negeri yang dianut RRC pada dasarnya tidak berbeda dengan yang dilaporkan pada Kongres Partai Komunis X (1973) hanya tekanannya saja yang berbeda.38 Dalam hal ini Zhou En Lai menekankan bahwa situasi internasional dalam keadaan yang sangat buruk, sehingga tidak mungkin diciptakan perdamaian. Selanjutnya Zhou mengutarakan bahwa Dunia Ketiga merupakan pokok kekuatan dalam melawan kolonialisme, imprealisme, dan hegemonisme. Mengenai hubungan antara RRC dan Amerika Serikat, Zhou menilai, kendati ada perbedaan yang fundamental, namun hubungan antara RRC dan Amerika Serikat dapat berkembang baik, selama Komunike Shanghai tahun 1972 dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.39 Berbeda halnya dengan hubungan antara RRC dan Uni Soviet, dimana perundingan perundingan mengenai perbatasan negara yang sudah berlangsung selama lima tahun terakhir itu tidak menghasilkan apa-apa. Oleh karena itu disebutkan juga bahwa, hubungan RRC-Uni Soviet dilaksanakan atas dasar kelaziman hubungan antara negara semata-mata.40

Pada masa ini Mao Tse Tung yang sudah semakin uzur dan dinyatakan oleh Komite Sentral untuk tidak lagi menerima tamu mancanegara setelah menjamu Presiden Pakistan Zulfikar Ali Bhuto. Kemudian pada tanggal 9 September 1976 Pemimpin Besar Rakyat dan Ketua Partai Komunis Cina Mao Tse Tung meninggal dunia. Kematian Mao Tse Tung ini adalah sebuah kehilangan dan perubahan besar

38

Ibid, hal. 123 39

Ibid 40

(46)
(47)

BAB III

FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI POLITIK LUAR

NEGERI RRC

1. Faktor Internal

1.1. Partai Komunis Cina Dan Kongres – Kongres Nasionalnya

Partai Komunis Cina didirikan pada tahun 1921. Pembentukan Partai Komunis Cina (PKC) ditujukan sebagai wadah untuk menentang para raja perang yang berusaha mempertahanakan sistem feodalismenya, kaum imprealis yang berniat melestarikan sistem kapitalismenya, dan Partai Nasionalis Cina (Kuomintang) yang dirasakan tidak memenuhi keinginan rakyat. Pendirian PKC tidak dapat dilepaskan dari peranan para cendikiawan seperti Li Dhazao dan Chen Duxiu. Kedua orang ini berjasa besar dalam memperkenalkan ajaran Marxisme-Leninisme di Cina, dimana kemudian mereka menjadi pemimpin pertama PKC. Pada mulanya struktur kepemimpinan PKC didominasi oleh orang-orang yang berorientasi ke Uni Soviet.1

1

Harold R. Issac, The Tragedy of the Chinese Revolution, California, Stanford University Press, 1961, hal. 184

(48)

tahun 1949 – tidak tergoyahkan hingga kematiannya pada tahun 1976. Keadaan tersebut didukung oleh jasa-jasa Mao yang besar dalam long march yang bersejarah, eksperimen sosialis di Yenan dan dalam perjuangan menegakkan revolusi sosialis Oktober 1949.

Dalam struktur pemerintahan RRC terdapa dua lembaga induk politik yaitu, Negara Republik Rakyat Cina dan Partai Komunis Cina. Dua lembaga tersebut dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. PKC bergerak dalam ruang lingkup kehidupan antar partai komunis dunia, sedangkan RRC bergerak dalam ruang lingkup kehidupan antar negara di dunia. PKC menyediakan kepemimpinan politik, organisasi, dan ideologi, sehingga membuat posisinya sebagai organisasi politik yang dominan.2

Berikut beberapa kongres yang menghasilkan kebijakan yang terkait dengan politik luar negeri:

Maka dapat dikatakan PKC merupakan penentu berbagai kebijakan dari RRC termasuk politik luar negerinya. Dalam struktur PKC, Kongres Nasional partai merupakan mekanisme untuk membahas dan memutuskan garis-garis utama kebijakan partai. Secara konstitusional kongres seharusnya diadakan setipa lima tahun sekali, tetapi karena berbagai kondisi dan kebutuhan beberapa kongres diadakan lebih cepat dan beberapa ditunda penyelenggaraanya.

3

• Kongres ke-2 Partai Komunis Cina tanggal 16 – 23 Juli 1922 Hasil:

Bergabung dengan Komunis Internasional dan menjadi anggotanya. Revolusi Cina adalah sebuah revolusi demokratik melawan imperialisme dan

2

James R. Townsend, Brantly W, Politics in China, Toronto, Little Brown And Company, 1986, hal. 89

3

(49)

feodalisme. Salah satu tujuan utama partai adalah menggulingkan penindasan oleh imperialis dunia untuk mendapatkan kemerdekaan penuh bagi bangsa Cina dan bangsa-bangsa lain di dunia.

• Kongres ke-3 Partai Komunis Cina tanggal 12 – 20 Juni 1923 Hasil:

Pembentukan Fron Persatuan antara PKC dan Nasionalis Kuomintang dalam rangka melawan Imprealisme di Cina dan dunia. Kebijakan ini merupakan rekomendasi dari rapat Komintern pada tanggal 12 Januari di Moskow. • Kongres ke-4 Partai Komunis Cina tanggal 11 – 22 Januari 1925

Hasil:

Bersama Fron Persatuan PKC dan Kuomintang melawan imprealisme di Cina dan dunia.

• Kongres ke-5 Partai Komunis Cina tanggal 27 April – Mei 1927 Hasil:

Penghentian kerjasama dengan kaum nasionalis dalam rangka melawan imprealisme. Atau dengan kata lain pembubaran Fron Persatuan. Melanjutkan perjuangan revolusioner melawan imprealisme.

• Kongres ke-6 Partai Komunis Cina tanggal 18 Juni – 11 Juli 1928 Hasil:

Melanjutkan perjuangan revolusioner melawan imperialisme di bawah kepemimpinan PKC..

• Kongres Partai Komunis Cina ke-7 tanggal 23 April – 11 Juni 1945 Hasil:

(50)

revolusi Cina, kemenangan perang anti-fasis dunia, dan untuk mencapai perdamaian di Cina dan di dunia.

• Kongres Partai Komunis Cina Ke-8 tanggal 15 – 27 Septeber 1956 Hasil:

Mengembangkan hubungan bersahabat, saling membantu dan kerjasama dengan negara-negara sosialis atas dasar internasionalisme proletar, mendukung dan membantu perjuangan revolusioner dari segenap rakyat dan bangsa tertindas, kaum nasionalis dan demokratis dari berbagai negara. Mengembangkan hubungan dengan segala negara atas dasar lima prinsip hidup berdampingan secara damai. Yaitu, saling menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah, saling tidak mengagresi, saling tidak campur tangan dalam urusan negara, sama derajat dan saling menguntungkan, dan hidup berdampingan secara damai.

• Kongres Partai Komunis Cina ke-9 tanggal 1 – 16 April 1969 Hasil:

(51)

• Kongres Partai Komunis Cina ke-10 tanggal 24 – 28 Agustus 1973 Hasil:

Dunia internasional dinilai sedang dalam keadaan kekacauan. Uni Soviet dan dan Amerika Serikat saling berebut hegemoni, sedangkan rakyat-rakyat dari dunia berkembang justru menjelang massa kebangkitan, negara-negara menghendaki kemerdekaan, bangsa-bangsa menghendaki kebebasan, dan rakyat-rakyat menghendaki revolusi. Uni Soviet dinilai merosot derajatnya dalam waktu dua dasawarsa terakhir, dari negara sosialis menjadi negara revisionis, bahkan menjadi negara imprealis sosial. Melanjutkan lima prinsip hidup berdampingan secara damai dan dukungan perjuangan revolusioner dari segenap rakyat dan bangsa tertindas.

Berbagai kebijakan hasil kongres diatas mencerminkan kondisi dalam maupun luar negeri pada waktu disaat kongres tersebut di laksanakan. Walaupun begitu, dari berbagai hasil kongres diatas dapat diambil beberapa prinsip yang dapat dikatakan sebagai prinsip politik luar negeri PKC. Yaitu prinsip-prinsip yang konsisten tercantum sepanjang kongres-kongres tersebut.

Prinsip-prinsip tersebut adalah:

1. Afiliasi dengan Komunis Internasional dan anti-imprealisme

(52)

2. Mendukung dan membantu perjuangan revolusioner dari berbagai negara nasionalis, demokratis dan segenap rakyat dan bangsa tertindas.

Prinsip ini merupakan refleksi dari hasil kongres PKC ke-3, yaitu front persatuan dengan kaum nasionalis Kuomintang untuk melawan imprealis Jepang, tetapi dalam tingkatan yang lebih tinggi dan luas. Prinsip ini secara resmi dan lengkap dihasilkan pada kongres-kongres setelah proklamasi RRC pada tahun 1949, yaitu kongres ke-8, ke-9, dan ke-10. Prinsip ini diadopsi RRC mulai tahun 1950-an ditandai dengan dukungan RRC terhadap kebijakan nasionalisasi perusahaan minyak asing. Prinsip ini menjadi dasar dari kebijakan luar negeri RRC terhadap negara-negara Dunia Ketiga.

3. Pelaksanaan Hubungan Luar Negeri Berdasarkan Lima Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai.

Referensi

Dokumen terkait