Dalam analisa resiko gempa, parameter resiko gempa merupakan faktor yang sangat
penting yang digunakan untuk mendeskripsikan adanya aktifitas gempa dalam suatu
wilayah atau region tertentu. Suatu model sumber gempa dapat digunakan untuk
memprediksikan adanya gempa yang mempunyai potensi untuk terjadi di masa yang
akan datang, dalam kaitannya dengan variasi pada jarak, besarnya gempa, frekuensi
terjadinya, serta kedalamannya yang ditentukan oleh analisis probabilitas, sehingga
diperoleh nilai percepatan gempa di batuan dasar. Percepatan gelombang gempa di
batuan dasar dihitung berdasarkan fungsi atenuasi berdasarkan mekanisme gempa
yang pernah terjadi.
Pengaruh setiap kejadian gempa di batuan dasar pada lokasi yang ditinjau, ditentukan
dalam bentuk percepatan menggunakan fungsi atenuasi dengan asumsi
masing-masing kejadian gempa independen terhadap titik tersebut. Distribusi pengaruh
kejadian gempa tersebut terhadap lokasi yang ditinjau, ditentukan dengan
menggunakan teorema probabilitas total dari model Gumbel Tipe I dan fungsi
atenuasi dari Crouse (1991) dan Joyner and Boore (1988). Percepatan gelombang
gempa di batuan dasar merupakan input bagi program aplikasi Shake2000 guna
menentukan percepatan rambat gelombang gempa di lapisan permukaan tanah.
Percepatan gelombang gempa pada batuan dasar terdiri dari 325 lokasi yang tersebar
di wilayah Sumatera Utara. Hasil perhitungan kemudian digunakan dalam
menghasilkan kontur percepatan gelombang gempa batuan dasar di Kota Medan,
Sekitar Kota Medan dan di Provinsi Sumatera Utara, yakni akibat dari pra dan pasca
gempa Nias.
Berdasarkan hasil penelitian dalam tesis ini bahwa kota Medan dan sekitarnya, serta
di daerah Sumatera Utara sebagian besar akibat terjadinya gempa Nias, percepatan
gelombang gempa pada batuan dasar dan di permukaan tanah bertambah besar. Bila
hasil penelitian dalam tesis ini, baik sebelum maupun sesudah gempa Nias
dibandingkan menurut SNI 03-1726-2003, untuk kota Medan dan sekitarnya nilai
percepatan gelombang gempa di batuan dasar lebih besar yang diberikan oleh SNI
03-1726-2003. Untuk daerah Sumatera Utara ada beberapa kota yakni
Siborong-borong, Aek Silubung dan Desa Buntu Buyu hasil penelitian lebih besar nilai
Percepatan gelombang gempa di batuan dasar. Sedangkan untuk Kota Tebing Tinggi
akibat adanya gempa Nias nilai percepatan gelombang gempa di batuan dasar lebih
besar hasil penelitan dari pada SNI 03-1726-2003.
The risk of earthquake parameter is the most important factor to describe the
existence of earthquake activities in one area. A model of earthquake source can be
used to predict the potential occurrence of earthquake in the future, in relation to
distance variation, scale, frequency, and the depth of earthquake which determined
by probability analysis, so that the value of earthquake velocity on basement rock can
be obtained. The earthquake wave velocity on basement rock is calculated based on
attenuation function considering the mechanism of the earthquake.
The influence caused by every earthquake on basement rock at the observed location,
was determined in velocity form, using attenuation function with assumption of each
independent earthquake to the point. Distribution of the earthquake influence to the
observed location was determined by using total probability theory of Type I Gumbel
model and attenuation function from Crouse (1991) and Joyner and Boore (1988).
The earthquake wave velocity on basement rock was the input for Shake 2000
application program to determine the propagation velocity of earthquake on soil
layer surface.
The earthquake wave velocity of earthquake on basement rock consisted of 325
locations spread out of North Sumatera. The calculation result was then used to
produce contour of earthquake wave velocity on basement rock in Medan City,
surrounding Medan City area and North Sumatera Province as the result of pre and
pasca earthquake of Nias.
Based on the research result in this thesis, the earthquake wave velocity on basement
rock and soil surface became greater, particularly as the effect of Nias earthquake in
Medan City and the surrounding area as well as North Sumatera. If the result of this
thesis, either before or after the Nias earthquake, compared to SNI 03-1726-2003, the
value of earthquake wave velocity on basement rock was greater than the SNI
03-1726-2003 itself for Medan city and surrounding area. For North Sumatera area, i.e.
Siborong-borong, Aek Silubung and Desa Buntu Buyu, the earthquake wave velocity
on basement rock was greater. For Tebing Tinggi City, referred to research result,
the value of earthquake wave velocity on basement rock was greater than SNI
03-1726-2003.
Penyusunan tesis merupakan persyaratan wajib dalam menyelesaikan studi S2,
untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan studi pada Program Studi
Magister Teknik Sipil Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU), Puji
dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi
Penyayang atas rahmat dan KaruniaNya, penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis
dengan judul
”Rekonturing Zona Percepatan Gempa Di Permukaan Tanah
Provinsi Sumatera Utara Dengan Program Aplikasi Shake2000”
.
Penyusunan tesis ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan berbagai pihak,
untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan hormat dan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1.
Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof, dr Chairuddin P. Lubis,
DTM&H, SpA(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis
untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
2.
Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang di jabat oleh
Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc. atas kesempatan yang diberikan kepada
penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
3.
Bapak Dr. Ir. Indra Sati Harahap, MSCE, sebagai Ketua Komisi Pembimbing.
4.
Bapak Dr. Ir. Roesyanto, MSCE, selaku Ketua Program Studi Magister Teknik
Sipil Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai
Anggota Komisi Pembimbing dan Penguji, yang telah memberikan ilmu dan
pemahaman yang sangat diperlukan dalam penulisan tesis ini.
6.
Bapak Dr. Ir. Sofyan A. Silalahi, M.Sc, sebagai Penguji yang telah memberikan
masukan yang berarti dalam penulisan tesis ini.
7.
Bapak Dr. Ir. Fachri Panusunan Nasution, MT, sebagai Penguji.
8.
Bapak-bapak Dosen (Staff Pengajar) pada Program Studi Magister Teknik Sipil
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah membekali penulis
dengan ilmu pengetahuan selama menjalani masa perkuliahan.
9.
Kedua orang tuaku tercinta, Bapak Nurman Effendi, Ibu Yusnani dan adik-adikku
yang telah memberikan dorongan dan pengertiannya selama ini.
10. Secara khusus, penulis mengucapkan terimakasih kepada istri tercinta Budi
Aprillisa dan anak tersayang Reflis Marshella, selalu senantiasa menemani
penulis dalam penyusunan tesis ini.
11. Seluruh mahasiswa Sekolah Pascasarjana Teknik Sipil Universitas Sumatera
Utara angkatan 2004, khususnya Bapak Ir. Ependi Napitu, MT yang telah
memberikan dorongan, semangat dan motivasi sehingga terselesainya tesis ini.
12. Seluruh teman-teman yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu atas
masa-masa mendatang. Akhir kata penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.
Medan, Agustus 2008
Razali lahir di Medan pada tanggal 1 Desember 1971 dari pasangan Nurman
Effendi dan Yusnani, anak pertama dari tujuh bersaudara.
Pendidikan akademis untuk pertama kali di peroleh pada Sekolah Dasar pada
tahun 1979 di SD Negeri 060793/40 Medan. Setamat Sekolah Dasar pada tahun 1985,
penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 2 Medan
dari tahun 1985 s.d 1988, kemudian pada tahun 1988 s.d 1991 melanjutkan
pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA UISU Medan. Penulis melanjutkan
pendidikan komputer selama satu tahun, setelah tamat dari Sekolah Menengah Atas
di Yayasan Ani Idrus ”Eria”. Untuk memperoleh pendidikan di perguruan tinggi (S1),
penulis berkesempatan menimba ilmu di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
pada tahun 1992 dengan bidang ilmu yang didalami adalah Teknik Sipil. Pendidikan
S1 ini ditekuni oleh penulis sampai dengan tahun 1998 dengan memperoleh gelar
Sarjana Teknik (ST). Tahun 2004 penulis memperoleh kesempatan untuk dapat
melanjutkan pendidikan S2 di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara pada
program studi Magister Teknik Sipil dengan bidang keahlian Geoteknik. Pendidikan
S2 ini penulis selesaikan pada bulan Agustus 2008.
Halaman
ABSTRAK
... i
ABSTRACT
... ii
KATA PENGANTAR
... iii
RIWAYAT HIDUP
... vi
DAFTAR ISI
... vii
DAFTAR TABEL
... xi
DAFTAR GAMBAR
... xii
DAFTAR NOTASI
... xv
DAFTAR LAMPIRAN
... xvii
BAB I PENDAHULUAN
... 1
1.1. Latar
Belakang ... 1
1.2. Permasalahan ... 6
1.3. Tujuan
Penelitian ... 9
1.4. Pembatasan
Masalah ... 10
1.5. Sistematika
Pembahasan ... 11
BAB II STUDI PUSTAKA
... 13
2.1. Teori Pergerakan Benua dan Lempeng Tektonik... 13
2.2. Patahan ... 19
2.2.1. Bentuk geometri dari patahan ... 20
2.2.2. Pergerakan
menghunjam
(dip slip movement) ... 20
2.4.2. Magnitude
gempa... 29
2.4.2.1. Richter
local
magnitude. ... 29
2.4.2.2. Magnitude gelombang permukaan... 29
2.4.2.3. Magnitude gelombang badan. ... 30
2.4.2.4. Moment
magnitude. ... 31
2.4.3. Energi
gempa ... 32
2.5. Resiko
Gempa ... 32
2.6. Analisa Resiko Gempa... 35
2.6.1. Deterministic Seismic Hazard Analysis (DSHA) ... 35
2.6.2. Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA) ... 37
2.7. Model Matematika Probabilitas Resiko Gempa ... 39
2.7.1. Model USGS (McGuire, 1976) ... 40
2.7.2. Model
gumbel
(point sources)
... 46
2.8. Fungsi Atenuasi dan Faktor yang Mempengaruhinya ... 48
2.8.1. Atenuasi Fukushima dan Tanaka (1990)... 51
2.8.2. Atenuasi Crouse (1991) ... 51
2.8.3. Atenuasi Joyner dan Boore (1981, 1988)... 52
2.8.4. Atenuasi Youngs et al. (1997)... 53
2.9. Spektrum
Respon ... 54
2.10. Pengaruh Tanah Terhadap Percepatan Gempa ... 56
2.10.1. Rambat gelombang satu dimensi ... 57
2.10.2. Perpindahan harmonik ... 59
2.10.3. Pergerakan transien ... 64
2.11. Kondisi Umum Geologi Wilayah Sumatera Utara... 69
BAB III PEMILIHAN LOKASI STUDI
... 73
3.1. Pendahuluan ... 73
3.2. Kondisi Seismisitasi Sumatera Utara ... 73
3.3. Kondisi Geologi Sumatera Utara ... 78
3.3.1. Topografi Kota Medan... 78
3.3.2. Kondisi geologi Kota Brastagi ... 81
3.3.3. Kondisi geologi daerah Tebing Tinggi ... 81
3.3.4. Kondisi geologi daerah Tapanuli Selatan ... 81
3.4. Gempa Nias dan Gempa Aceh ... 82
3.4.1. Gempa
Nias... 82
3.4.2. Gempa
Aceh... 83
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
... 85
4.1. Umum... 85
4.2. Identifikasi Episenter dan Sumber-sumber Gempa ... 89
4.3. Fungsi Atenuasi Gerakan Tanah ... 90
4.4. Percepatan Gempa di Batuan Dasar... 91
4.5. Model Matematika Probabilistik Resiko Gempa
pada Distribusi Gumbel ... 92
4.6. Pengaruh Magnitude dan Jarak Terhadap Intensitas
Gerakan Tanah ... 94
4.7. Data Digitasi Yang Dipilih ... 96
4.8. Efek
Skala ... 97
5.2.1. Percepatan gempa di batuan dasar pada Kota Medan... 104
5.2.2. Percepatan gempa di batuan dasar pada
Provinsi Sumatera Utara ... 110
5.3. Percepatan Maksimum di Permukaan Tanah... 120
5.3.1. Percepatan gempa di permukaan tanah pada
Kota Medan... 120
5.3.2. Percepatan gempa di permukaan tanah pada
Provinsi Sumatera Utara ... 126
5.4. Pembahasan dan Diskusi... 130
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
... 137
6.1. Kesimpulan ... 137
6.2. Saran – Saran ... 138
Nomor
Judul
Halaman
1.1
Jenis - jenis Tanah Berdasarkan SNI 03-1726-2003...7
1.2 Percepatan Puncak Batuan Dasar dan Percepatan Puncak Muka Tanah
Untuk Masing-masing Wilayah Gempa Indonesia, (SNI 03-1726-2003) ... 9
2.1 Perbandingan
Beberapa
Skala Intensitas Terhadap Modified Mercalli
Intensity (MMI), (Chen & Scawthorn, 2003) ... 28
2.2
Hubungan Antara Resiko Gempa Untuk Periode Ulang Tertentu
Terhadap Masa Layan Bangunan, (Sibero, 2004)... 33
2.3 Perbandingan Penentuan Perioda Ulang Gempa, (Sibero, 2004) ... 34
5.1 Skala Horizontal, Vertikal dan Magnitude Gempa, (Perhitungan, 2008) .... 101
5.2
Perbandingan Percepatan Gempa di Batuan Dasar dengan
SNI 03-1726-2003 dan Kenaikan Percepatan Gempa Akibat
Gempa Nias pada Kota Medan dan Sekitarnya, (Perhitungan, 2008)... 104
5.3
Perbandingan Percepatan Gempa di Batuan Dasar dengan
SNI 03-1726-2003 dan Kenaikan Percepatan Gempa Akibat
Gempa Nias pada Provinsi Sumatera Utara, (Perhitungan, 2008) ... 111
5.4
Perbandingan Percepatan Gempa di Permukaan Tanah Kota Medan
dan Sekitarnya dengan SNI 03-1726-2003, (Perhitungan, 2008) ... 121
5.5
Perbandingan Percepatan Gempa di Permukaan Tanah
Nomor Judul Halaman
1.1
Hypocenter dan Epicenter... 2
1.2 Pertemuan 4 Lempeng Tektonik di Wilayah Indonesia, (Sibero, 2004)... 3
1.3
Lokasi Episenter Gempa di Sekitar Sumatera Utara Tahun 1907 – 2007,
(http://neic.usgs.gov /neis/epic/)
... 5
1.4 Wilayah Gempa di Provinsi Sumatera Utara, (SNI 03-1726-2003) ... 8
2.1
Lempeng Tektonik Utama, Bubungan Tengah Lautan dan Transformasi
Patahan dari Bumi, (Kramer, 1996) ... 15
2.2 Interrelasi di Antara Bubungan Melebar, Zona Subduksi
dan Batas Patahan Lempeng, (Kramer, 1996) ... 19
2.3
Notasi Geometri Untuk Pendeskripsian dari Orientasi Bidang Patahan,
(Kramer, 1996)... 20
2.4 Pematahan Normal, (Kramer, 1996) ... 21
2.5 Pematahan Terbalik, (Kramer, 1996)... 21
2.6 Pematahan Strike-Slip Lateral Arah ke Kiri, (Kramer, 1996) ... 22
2.7 Deformasi yang Diakibatkan Oleh Gelombang Badan;
(a) P-Waves dan (b) SV-Waves, (Kramer, 1996) ... 23
2.8
Deformasi Yang Diakibatkan Oleh Gelombang Permukaan
(a) Gelombang Rayleigh dan (b) Gelombang Love, (Kramer, 1996) ... 24
2.9 Empat Tahapan Analisa Resiko Gempa dengan Metode Deterministic
Seismic Hazard Analysis (DSHA), (Kramer, 1996) ... 37
2.14 Fungsi Percepatan yang Mempengaruhi Struktur pada Gerak
Bolak-balik dari Suatu Sistem Berderajad Kebebasan Tunggal ... 56
2.15 Rambat Gelombang Sistem Satu Dimensi, (Schanabel Et, al, 1972)... 62
2.16 (a) Penentuan Gsec dan Gmax dari Hubungan Tegangan-Regangan
(b) Grafik Reduksi Modulus ... 67
3.1
Patahan di Wilayah Daratan dan Laut Sumatera Utara Selain Patahan
Antara Lempeng Australia dan Lempeng Eurasia, (Natawidjaja, 2002). ... 75
3.3 Peta Lokasi Pengeboran ... 80
4.1 Bagan Alir Perhitungan Percepatan Gempa di Suatu Lokasi... 87
4.2
Parameter dan Tahapan Dalam Menganalisa Resiko Gempa
pada Suatu Lokasi ... 88
4.3 Nilai Predominant Period Untuk Berbagai Percepatan Maksimum
(Kramer, 1996)... 95
5.1
Kontur Percepatan Gempa di Batuan Dasar Pra Gempa Nias pada
Kota Medan, (Perhitungan, 2008)... 107
5.2
Kontur Percepatan Gempa di Batuan Dasar Pasca Gempa Nias pada
Kota Medan, (Perhitungan, 2008)... 108
5.3
Kontur Percepatan Gempa di Batuan Dasar Pasca Gempa Nias
dengan SNI 03-1726-2003 pada Kota Medan dan Sekitarnya... 109
5.4
Kontur Percepatan Gempa di Batuan Dasar Pra Gempa Nias pada
Provinsi Sumatera Utara, (Perhitungan, 2008) ... 113
5.5
Kontur Percepatan Gempa di Batuan Dasar Pra Gempa Nias pada
Provinsi Sumatera Utara dengan SNI 03-1726-2003 (Perhitungan, 2008).. 114
5.6
Kontur Percepatan Gempa di Batuan Dasar Pasca Gempa Nias pada
SNI 03-1726-2003 (Perhitungan, 2008)... 117
5.9
Kontur Percepatan Gempa di Batuan Dasar Pasca Gempa Nias pada
Provinsi Sumatera Utara yang Kurang Aman dengan
SNI 03-1726-2003, (Perhitungan, 2008)... 118
5.10 Kontur Percepatan Gempa di Permukaan Tanah Pra Gempa Nias pada
Kota Medan, (Perhitungan, 2008)... 123
5.11 Kontur Percepatan Gempa di Permukaan Tanah Pasca Gempa Nias
pada Kota Medan (Perhitungan, 2008) ... 124
5.12
Kontur Percepatan Gempa di Permukaan Tanah Pasca Gempa Nias
pada Kota Medan dengan SNI 03-1726-2003, (Perhitungan, 2008)... 125
5.13
Kontur Percepatan Gempa di Permukaan Tanah Pra Gempa Nias
pada Provinsi Sumatera Utara, (Perhitungan, 2008)... 128
α
: Jumlah terjadinya gempa rata-rata per tahun
α
m :
Complex impedance ratio, rasio impendansi kompleks
%
β
: Parameter hubungan antara distribusi gempa dengan magnetude
Δ
: Jarak episentral terhadap seismometer
oD :
Damping ratio, rasio redaman tanah
%
Dmax : Maximum damping ratio
, rasio redaman tanah maksimum
%
E
: Energi yang dilepaskan selama berlangsungnya gempa
ergs
e
: Angka pori lapisan tanah
φ
: Sudut geser dalam lapisan tanah
f
M:
Density function dari suatu kekuatan gempa
f
R:
Density function dari jarak hiposenter gempa
γ
: Berat isi tanah
gr/cm
3γ
dry
: Berat isi tanah kering
gr/cm
3γ
sat
: Berat isi tanah jenuh
gr/cm
3G
: Modulus geser tanah
kN/m
2Gmax : Modulus geser tanah maksimum
kN/m
2K
0: Koefisien tekanan tanah pasif
Mw :
Moment magnetude gempa
dyne-cm
mb
: Magnitude gelombang badan gempa
N
: Nilai hasil test penetrasi standar rata-rata pada tanah
OCR :
Over consolidated ratio, rasio tanah terkonsolidasi lebih
PBA :
Peak baserock acceleration, percepatan puncak gempa
di batuan dasar
g
PGA :
Peak ground acceleration, percepatan puncak gempa
di permukaan tanah
g
PI :
Plasticity Index, indeks plastis dari suatu lapisan tanah (LL – PL)
%
PL :
Plastic limit, batas plastis dari suatu lapisan tanah
%
ρ
: Rapat massa tanah
kg/m
3R
A :Resiko tahunan dari suatu intensitas gempa
%
R
N :Resiko gempa dengan suatu masa layan dan intensitas tertentu
%
σ
’
0: Tegangan effektif tanah
kN/m
2σ
’
v :Tegangan effektif vertikal tanah
kN/m
2S
u
: Kuat geser niralir rata-rata pada tanah
kPa
T
: Perioda ulang rata-rata gempa
detik
Nomor
Judul
Halaman
1
Data Kejadian Gempa Dengan Hiposenter di Laut
Sekitar Pulau Sumatera (http://neic.usgs.gov /neis/epic/)... 141
2
Data Kejadian Gempa Dengan Hiposenter di Darat
Sekitar Pulau Sumatera (http://neic.usgs.gov /neis/epic/)... 173
3
Data tanah Jln. SM. Raja (Kantor PT. Astra Graphia)... 180
4
Data tanah Jln. Gandhi ... 181
5
Data tanah Jln. Maulana Lbs... 182
6
Data tanah Jln. Setia Budi (Kampus UMI) ... 183
7
Data tanah Jln. Yos Sudarso (PT. Berlian Eka Sakti) ... 184
8
Data tanah KIM (Mabar)... 185
9
Data tanah Jln. Jamin Ginting / Perumahan Ciputra (Pancur Batu)... 186
10
Data tanah Tanjung Morawa... 187
11
Data tanah Percut Sei Tuan ... 188
12 Data
tanah
Namoranbe... 189
13
Data tanah Kuala Namu ... 190
14
Data tanah Pangkalan Susu ... 191
15
Data tanah Siborong-Borong (Kab. Tapanuli Utara) ... 192
16
Data tanah Batang Lenggunai (Kab. Tapanuli Selatan)... 193
17 Data
tanah
Besitang ... 194
22
Data tanah Aek Kun-Kun... 199
23
Data tanah Tebing Tinggi ... 200
24
Data tanah Sei Berumun ... 201
25
Data tanah Tanjung Tiram ... 202
26
Data tanah Gunung Sitoli (Kab. Nias) ... 204
27
Data tanah Rantau Prapat ... 205
28
Data tanah Jln. Imam Bonjol (Kab. Sibolga) ... 206
29
Data tanah Desa Buntu Buyu (Kab. Simalungun) ... 207
30
Data tanah Perdagangan... 208
31
Data tanah Negeri Lama (Kab. Labuhan Batu)... 209
32
Data tanah Torgamba (Kab. Labuhan Batu) ... 210
33
Data tanah Huta Harapan Tiurindu ... 211
34
Data tanah Patogu Janji (Kab. Tapanuli Selatan)... 212
35 Data
tanah
Manduamas ... 213
36
Percepatan Gempa di Batuan Dasar Metode Crouse 1991 dan
Dalam analisa resiko gempa, parameter resiko gempa merupakan faktor yang sangat
penting yang digunakan untuk mendeskripsikan adanya aktifitas gempa dalam suatu
wilayah atau region tertentu. Suatu model sumber gempa dapat digunakan untuk
memprediksikan adanya gempa yang mempunyai potensi untuk terjadi di masa yang
akan datang, dalam kaitannya dengan variasi pada jarak, besarnya gempa, frekuensi
terjadinya, serta kedalamannya yang ditentukan oleh analisis probabilitas, sehingga
diperoleh nilai percepatan gempa di batuan dasar. Percepatan gelombang gempa di
batuan dasar dihitung berdasarkan fungsi atenuasi berdasarkan mekanisme gempa
yang pernah terjadi.
Pengaruh setiap kejadian gempa di batuan dasar pada lokasi yang ditinjau, ditentukan
dalam bentuk percepatan menggunakan fungsi atenuasi dengan asumsi
masing-masing kejadian gempa independen terhadap titik tersebut. Distribusi pengaruh
kejadian gempa tersebut terhadap lokasi yang ditinjau, ditentukan dengan
menggunakan teorema probabilitas total dari model Gumbel Tipe I dan fungsi
atenuasi dari Crouse (1991) dan Joyner and Boore (1988). Percepatan gelombang
gempa di batuan dasar merupakan input bagi program aplikasi Shake2000 guna
menentukan percepatan rambat gelombang gempa di lapisan permukaan tanah.
Percepatan gelombang gempa pada batuan dasar terdiri dari 325 lokasi yang tersebar
di wilayah Sumatera Utara. Hasil perhitungan kemudian digunakan dalam
menghasilkan kontur percepatan gelombang gempa batuan dasar di Kota Medan,
Sekitar Kota Medan dan di Provinsi Sumatera Utara, yakni akibat dari pra dan pasca
gempa Nias.
Berdasarkan hasil penelitian dalam tesis ini bahwa kota Medan dan sekitarnya, serta
di daerah Sumatera Utara sebagian besar akibat terjadinya gempa Nias, percepatan
gelombang gempa pada batuan dasar dan di permukaan tanah bertambah besar. Bila
hasil penelitian dalam tesis ini, baik sebelum maupun sesudah gempa Nias
dibandingkan menurut SNI 03-1726-2003, untuk kota Medan dan sekitarnya nilai
percepatan gelombang gempa di batuan dasar lebih besar yang diberikan oleh SNI
03-1726-2003. Untuk daerah Sumatera Utara ada beberapa kota yakni
Siborong-borong, Aek Silubung dan Desa Buntu Buyu hasil penelitian lebih besar nilai
Percepatan gelombang gempa di batuan dasar. Sedangkan untuk Kota Tebing Tinggi
akibat adanya gempa Nias nilai percepatan gelombang gempa di batuan dasar lebih
besar hasil penelitan dari pada SNI 03-1726-2003.
The risk of earthquake parameter is the most important factor to describe the
existence of earthquake activities in one area. A model of earthquake source can be
used to predict the potential occurrence of earthquake in the future, in relation to
distance variation, scale, frequency, and the depth of earthquake which determined
by probability analysis, so that the value of earthquake velocity on basement rock can
be obtained. The earthquake wave velocity on basement rock is calculated based on
attenuation function considering the mechanism of the earthquake.
The influence caused by every earthquake on basement rock at the observed location,
was determined in velocity form, using attenuation function with assumption of each
independent earthquake to the point. Distribution of the earthquake influence to the
observed location was determined by using total probability theory of Type I Gumbel
model and attenuation function from Crouse (1991) and Joyner and Boore (1988).
The earthquake wave velocity on basement rock was the input for Shake 2000
application program to determine the propagation velocity of earthquake on soil
layer surface.
The earthquake wave velocity of earthquake on basement rock consisted of 325
locations spread out of North Sumatera. The calculation result was then used to
produce contour of earthquake wave velocity on basement rock in Medan City,
surrounding Medan City area and North Sumatera Province as the result of pre and
pasca earthquake of Nias.
Based on the research result in this thesis, the earthquake wave velocity on basement
rock and soil surface became greater, particularly as the effect of Nias earthquake in
Medan City and the surrounding area as well as North Sumatera. If the result of this
thesis, either before or after the Nias earthquake, compared to SNI 03-1726-2003, the
value of earthquake wave velocity on basement rock was greater than the SNI
03-1726-2003 itself for Medan city and surrounding area. For North Sumatera area, i.e.
Siborong-borong, Aek Silubung and Desa Buntu Buyu, the earthquake wave velocity
on basement rock was greater. For Tebing Tinggi City, referred to research result,
the value of earthquake wave velocity on basement rock was greater than SNI
03-1726-2003.
1.1.
Latar Belakang
Rekayasa gempa berhubungan dengan pengaruh gempa bumi terhadap
manusia, lingkungan dan metode yang dapat digunakan untuk mengurangi
pengaruhnya. Gempa bumi merupakan fenomena dan problem global di dunia, tidak
mungkin melakukan pencegahan terhadap kejadian gempa, namun dimungkinkan
untuk memitigasi pengaruhnya terhadap manusia.
menentukan perioda ulang gempa.
Gempa itu sebenarnya adalah adanya pergeseran lempengan di dalam bumi,
akibat pergeseran lempengan tentu akan menyebabkan getaran ke permukaan bumi.
Kapan terjadi pergeseran itu tidak bisa diketahui secara pasti. Tempat terjadinya
pergeseran itu disebut juga hypocenter atau focus atau pun pusat gempa, sedangkan
proyeksi hypocenter terhadap permukaan bumi disebut juga epicenter (dapat dilihat
pada gambar di bawah ini). Pusat gempa di Sumatera terletak di sebelah barat pulau
Sumatera termasuk Lautan Hindia.
h
Epicenter
Hypocenter / Focus / Pusat Gempa
s
KOTA
Gambar 1.1 Hypocenter dan Epicenter
Wegener, Ahli Geologi Bangsa Jerman : dulunya (dua ratus juta tahun yang
lalu), bumi hanya satu benua dan sangat luas yang disebut Pangaea. Akibat adanya
aktifitas magma dan perputaran bumi itu sendiri, maka lapisan bumi bagian atas
pecah menjadi lempeng-lempeng benua dan lempeng samudera. Pergerakan lempeng
mangakibatkan daratan terpencar seperti kondisi saat ini.
Java Trench
Gambar 1.2 Pertemuan 4 Lempeng Tektonik di Wilayah Indonesia, (Sibero, 2004)
Kepulauan Indonesia merupakan tempat pertemuan 4 (empat) lempeng yaitu :
1.
Lempeng benua eurasia (eropah-asia), pulau sumatera, jawa dan kalimantan,
terdapat di lempeng ini.
2.
Lempeng pasific, sulawesi, maluku dan irian jaya terdapat pada lempeng ini.
3.
Lempeng samudra hindia - australia, terdapat di samudra hindia dan hanya
4.
Lempeng philiphina dekat dengan kepulauan irian. Lempeng hindia - australia
bergerak ke arah utara. Lempeng pasific bergerak ke arah barat dan keduanya
menghujam ke arah lempeng eurasia (subduction zone).
Fungsi atenuasi yang digunakan untuk menentukan percepatan gempa yang
terjadi pada batuan dasar di bawah daerah yang ditinjau adalah fungsi Crouse (1991)
dan fungsi Joyner & Boore (1988). Percepatan gempa maksimum pada batuan dasar
ditentukan dengan teori probabilitas dengan Model Point Source (Gumbel Tipe I),
sedangkan untuk menentukan percepatan gempa maksimum di permukaan tanah pada
daerah yang ditinjau, digunakan program SHAKE2000. Program SHAKE2000 yaitu
program untuk menghitung respons lapisan horizontal deposit tanah yang
semi-infinite dan terletak di atas material half-space yang seragam akibat penjalaran
gelombang geser secara vertikal.
Gambar 1.3 Lokasi Episenter Gempa di Sekitar Sumatera Utara Tahun 1907 - 2007
(http://neic.usgs.gov /neis/epic/)
! ! ! ! ! ! ! ! ! ! !! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! !! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! !! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! ! !)
)
)
)
Kota Medan Kab. Tapteng Kab. Taput Kab. Nias Kdy. Sibolga Kab. Simalungun Kdy. P. Siantar Kab. Dairi Kab. Labuhan Batu Kdy. Tg. Balai Kab. Toba Samosir Kdy. T. Tinggi Kab. Asahan Kab. Karo Kab. Tapsel Kab. Mandailing Natal Kab. Langkat Kab. Serdang Bedagai Kab. Deli Serdang 2°N 1°N 3°N 0°N 4°N 97° E 98 °E 99° E 100° E !KETERANGAN :
Mekanisme gempa
subduksi
Mekanisme gempa
strike slip
!)
)
)
Gempa Nias
28 Maret 2005
Namun demikian ada beberapa kejadian gempa berkategori gempa dalam,
dengan magnetude dalam skala Richter antara 4.0 – 7.0. Mekanisme gempa yang
terjadi merupakan mekanisme subduksi, dimana Lempeng Australia menghunjam ke
arah Lempeng Eurasia. Sebaran lokasi episenter gempa yang pernah terjadi antara
tahun 1907 hingga tahun 2007 di sekitar wilayah Sumatera Utara, dapat dilihat pada
Gambar 1.3 diatas.
1.2.
Permasalahan
Perencanaan suatu bangunan tahan gempa di Indonesia harus berdasarkan
rekomendasi yang terdapat pada Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa untuk
Bangunan Gedung (SNI 03-1726-2003), yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi
Nasional (BSN) pada tahun 2003. Tata cara ini secara umum membagi Indonesia
menjadi 6 (enam) zona percepatan puncak gempa dan mengklasifikasikan kondisi
tanah menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu tanah keras, tanah sedang, dan tanah lunak. Hal
ini menyebabkan koefisien geser gempa di tanah dasar yang direkomendasikan untuk
bangunan, tidak mempertimbangkan kondisi geologi dan seismologi, atenuasi
rambatan gelombang gempa di batuan dasar, spesifik time histories
percepatan dan
kondisi tanah lokal.
Tabel 1.1
Jenis - jenis Tanah Berdasarkan SNI 03-1726-2003
Jenis Tanah
Kecepatan Rambat
Gelombang Geser
Rata-rata,
V
s (m/det)
Nilai Hasil Test
Penetrasi Standar
Rata-rata,
N
Kuat Geser Niralir
Rata-rata
S
u (kPa)
Tanah Keras
V
s
≥
350
N
≥
50
S
u
≥
100
Tanah Sedang
175
≤
V
s < 350
15
≤
N
< 50
50
≤
S
u < 100
V
s < 175
N
< 15
S
u < 50
Tanah Lunak
atau, setiap jenis tanah lempung lunak dengan total tebal lebih dari 3 m
dengan Indeks Plastis > 20, kadar air alami tanah (wn)
≥
40 % dan kuat
geser niralir (Su) < 25 kPa
Tanah Khusus
Diperlukan evaluasi khusus disetiap lokasi
Tata cara ini juga menerapkan aturan, apabila lapisan tanah di atas batuan dasar
tidak memenuhi syarat seperti pada Tabel 1.1, maka pengaruh gempa rencana di
permukaan tanah harus ditentukan dari hasil analisis perambatan gelombang gempa
dari kedalaman batuan dasar ke permukaan tanah, menggunakan gerakan gempa
masukan dengan percepatan puncak untuk batuan dasar menurut Tabel 1.2.
Akselerogram gempa masukan yang ditinjau dalam analisis ini, harus diambil dari
rekaman gerakan tanah akibat gempa yang didapat di suatu lokasi, yang mirip kondisi
geologi, topografi dan seismotektoniknya dengan lokasi yang ditinjau tempat struktur
bangunan berada. Untuk mengurangi ketidakpastian mengenai kondisi lokasi
tersebut, paling sedikit harus ditinjau 4 (empat) akselerogram dari 4 (empat) gempa
berbeda, salah satunya harus diambil gempa El-Centro N-S yang telah direkam pada
tanggal 15 Mei 1940.
Gambar 1.4 Wilayah Gempa di Provinsi Sumatera Utara, (SNI 03-1726-2003)
Kab. Tapsel
Kab. Labuhan Batu Kab.
Asahan Kab.
Karo
Kab. Nias
Kdy. Sibolga Kab. Tapteng Kab. Taput Kab. Dairi
Kab. Mandailing Natal Kab. Toba Samosir Kab.
Simalungun Tg. BalaiKdy.
Kdy. P. Siantar Kab.
Deli Serdang Kab.
Langkat
Kab. Serdang Bedagai
Kdy. T. Tinggi Kota
Medan
2°N 3°N
1°N
0°N
98°
E
100°
E
99
°E
4°N
KETERANGAN :
Wil. 2 : 0,10 g
Wil. 3 : 0,15 g
Wil. 4 : 0,20 g
Wil. 5 : 0,25 g
Tabel 1.2 Percepatan Puncak Batuan Dasar dan Percepatan Puncak Muka Tanah
Untuk Masing-masing Wilayah Gempa Indonesia, (SNI 03-1726-2003)
Percepatan Puncak Muka Tanah Ao (g)
Wilayah
Gempa
Percepatan Puncak
Batuan Dasar (g)
Tanah
Keras
Tanah
Sedang
Tanah
Lunak
Tanah
Khusus
1
0.03
0.03
0.04
0.08
2
0.10
0.12
0.15
0.23
3
0.15
0.18
0.22
0.30
4
0.20
0.24
0.28
0.34
5
0.25
0.29
0.33
0.36
6
0.30
0.33
0.36
0.36
Diperlukan
evaluasi
khusus di
setiap lokasi
Sehingga, berdasarkan hal tersebut di atas, perlu kiranya diupayakan suatu
analisa potensi gempa yang terdapat di daerah Sumatera Utara, terutama dalam hal
akselerasi gelombang permukaan yang muncul akibat terjadinya gempa dengan
kondisi tanah geologi setempat. Mengingat wilayahnya yang luas, maka dibutuhkan
program Shake2000 yang dapat memprediksi kemungkinan besarnya akselerasi
gelombang permukaan dan respon spektrum desain pada suatu lokasi di wilayah
Sumatera Utara berdasarkan data-data gempa yang ada dan kondisi geologi setempat.
1.3.
Tujuan Penelitian
Tujuan yang diharapkan dari penulisan tesis ini adalah untuk :
1.
Menentukan Percepatan gempa di batuan dasar dan di permukaan tanah.
permukaan tanah untuk Kota Medan, sekitar Kota Medan dan Provinsi Sumatera
Utara.
1.4.
Pembatasan Masalah
Penulis membatasi hanya menganalisa percepatan gempa di permukaan tanah
(dengan menggunakan aplikasi program SHAKE2000) di Provinsi Sumatera Utara,
yang hasil analisisnya ditampilkan dalam bentuk peta kontur mikrozonasi, untuk
menampilkan percepatan gempa di permukaan tanah pada lokasi tersebut. Untuk
menganalisa percepatan gempa di permukaan batuan dasar, ditetapkan dengan :
1.
Fungsi atenuasi yang digunakan adalah fungsi atenuasi dari Crouse (1991), untuk
data gempa dengan mekanisme subduction (Hypocenter gempa di Laut) dan
fungsi atenuasi dari Joyner and Boore (1988) untuk data gempa dengan
mekanisme strike slip (hypocenter gempa di darat).
2.
Pemodelan matematika untuk probabilitas resiko gempa dari episenter ke batuan
dasar menggunakan model Distribusi Gumbel Tipe I (Point Souce Method), tanpa
mempertimbangkan model dari Metode USGS dari McGuire.
3.
Perioda ulang gempa yang diambil 500 tahun dengan data digitasi El Centro.
4.
Kontur mikrozonasi pada tesis ini tidak mencakup seluruh Sumatera Utara, karena
penulis kesulitan memperoleh data lapisan tanah.
tahun 1907 sampai 2007 di sekitar wilayah Sumatera Utara, yang diperoleh dari
situs internet USGS Earthquake Hazard Programs (http//neic.usgs.gov/neis/epic).
6.
Data-data pada lapisan tanah diambil dari tesis Jupriah Sarifah 2004
“Mikrozonasi Percepatan Gempa Sumatera Utara” dan Joyke Sibero 2004
“Program Komputasi Analisa Resiko Gempa Pada Daerah Sumatera Utara”, serta
berdasarkan data hasil penyelidikan tanah di wilayah Sumatera Utara.
1.5.
Sistematika Pembahasan
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi tentang latar belakang, permasalahan, tujuan penelitian, dan
pembatasan masalah.
BAB II : STUDI PUSTAKA
Berisi tentang teori sebab terjadinya gempa, gelombang gempa, ukuran
gempa, uraian tentang resiko dan analisa resiko gempa. Bab ini juga
menguraikan tentang parameter gerakan tanah pada batuan dasar,
pengaruh tanah terhadap percepatan gempa, spektrum respon gelombang
gempa dan kondisi umum geologi wilayah Sumatera Utara.
BAB III : PEMILIHAN LOKASI STUDI
sekitar Sumatera Utara, kondisi geologi Sumatera Utara, ciri khas
kerusakan bangunan akibat gempa Nias dan gempa Aceh.
BAB IV : METODOLOGI PENELITIAN
Berisi tentang langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian,
mengindentifikasi episenter dan sumber-sumber gempa, fungsi atenuasi
gerakan tanah yang menggambarkan korelasi antara intensitas gerakan
tanah setempat (i) dan magnitude (M) serta jarak (R) dari suatu sumber
titik dalam daerah sumber gempa.
BAB V : ANALISA HASIL DAN PEMBAHASAN
Berisikan tentang besar percepatan gempa batuan dasar dan permukaan
tanah sebelum dan sesudah gempa Nias, pembahasan dan diskusi hasil
perhitungan percepatan gempa di Kota Medan, sekitar Kota Medan dan
Provinsi Sumatera Utara.
BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN,
2.1.
Teori Pergerakan Benua dan Lempeng Tektonik
Teori orisinil pergerakan benua memberikan gambaran benua yang sangat
besar mendesak melalui lautan dan melintasi lantai samudera. Diketahui bahwa lantai
samudera terlampau kokoh untuk dapat mengijinkan pergerakan, dan teori ini semula
ditolak oleh para ilmuwan. Dari latar belakang inilah sesungguhnya teori lempeng
tektonik mulai berkembang. Hipotesa dasar dari lempeng tektonik adalah bahwa
permukaan bumi terdiri dari sejumlah blok utuh yang besar disebut lempeng, dan
lempeng-lempeng ini bergerak saling bersenggolan satu dengan lainnya. Kulit bumi
dibagi atas enam lempeng yang seukuran benua (Afrika, Amerika, Antartika,
Australia, Eurasia, dan Pasifik) serta terdiri atas empat belas lempeng sub-benua
(Caribean, Cocos, Nazca, Phillipine, dan lain-lain) seperti pada Gambar 2.1.
Lempeng yang lebih kecil, disebut lempeng mikro, juga sangat banyak bertebaran di
sekitar lempeng yang lebih besar. Deformasi antara lempeng-lempeng tersebut
terjadi hanya pada area di sekitar tepian atau batasnya. Deformasi dari lempeng ini
dapat terjadi secara lambat dan terus-menerus (a seismic deformation) atau dapat
pula terjadi secara tidak teratur dalam bentuk gempa bumi (seismic deformation).
Apabila deformasi terjadi terutama pada batas-batas antara lempeng, dapat dipastikan
bahwa lokasi-lokasi gempa terkonsentrasi di sekitar batas lempeng.
1
5
[image:39.612.87.680.111.483.2]Tanda Panah Menunjukkan Arah dari Pergerakan Lempeng.
Gambar 2.1
Lempeng Tektonik Utama, Bubungan Tengah Lautan dan Transformasi Patahan dari Bumi (Kramer, 1996)
PHILLIPINE
PLATE
S
outh
Eas
t Indianrise
EURASIA PLATE
AUSTRALIA
PLATE
J a v a t r e nc hAleutian trench
Juan
De Fuca
Plate
Marianas trench Japan trench Kurli trench Macqua ridge Mexico TrenchCocos
Plate
PACIFIC
PLATE
ANTARCTIC PLATE
Pacif ic-An tartic ridge Kermadec-Tonga Trench rie E a s t P a cif ic riseNazca
Plate
Chillerise eP
r i u h -C ll e tr en ch
NORTH
AMERICA
PLATE
SOUTH
AMERICA
PLATE
CARIBBEAN
PLATE
M id-A tlantic rid g e Rey kj rid gANTARCTIC PLATE
AFRICA
PLATE
EURASIA
PLATE
Atlanti c-In d g ia d nri e Carl s be rg ri d g eSubduction zone
Strike-slip (transform) faults
Uncertain plate boundary
Ridge axis
Universitas
Sumatera
Penjelasan yang paling dapat diterima secara meluas tentang sumber pergerakan
lempeng bersandar kepada hukum keseimbangan termomekanika material bumi.
Lapis teratas dari kulit bumi bersentuhan dengan kerak bumi yang relatif dingin,
sementara lapis terbawah bersentuhan dengan lapis luar inti panas.
Jelas peningkatan temperatur pasti terjadi pada lapisan. Variasi kepadatan
lapisan dan temperatur menghasilkan situasi tidak stabil pada ketebalan material
(yang lebih dingin) di atas material lebih tipis (yang lebih panas) dibawahnya.
Akhirnya, material tebal yang lebih dingin mulai tenggelam akibat gravitasi dan
pemanasan, dan material yang lebih tipis mulai naik. Material yang tenggelam
tersebut berangsur-angsur dipanaskan dan menjadi lebih tipis, sehingga akhirnya
bergerak menyamping dan dapat naik lagi yang kemudian sebagai material
didinginkan yang akan tenggelam lagi. Proses ini biasa disebut sebagai konveksi.
Arus konveksi pada batuan setengah lebur pada lapisan mengakibatkan
tegangan geser di bawah lempeng, yang menggeser lempeng tersebut ke arah yang
bervariasi melalui permukaan bumi. Fenomena lain, seperti tarikan bubungan atau
tarikan irisan dapat juga menjadi penyebab pergerakan lempeng.
merenggang. Dengan demikian, lempeng ”mengembang” pada bubungan yang
melebar. Tingkat pelebaran berkisar dari 2 hingga 18 cm/tahun; tingkat tertinggi
ditemukan pada Lautan Pasifik, dan terendah ditemukan sepanjang Bubungan
Mid-Atlantic. Telah diestimasi bahwa kerak bumi yang baru di lautan terbentuk pada
tingkatan sekitar 3,1 km
2/tahun di seluruh dunia. Kerak bumi yang masih berusia
muda ini, disebut basal baru, terbentuk tipis di sekitar bubungan yang melebar. Hal
ini juga dapat terbentuk oleh pergerakan ke atas magma yang relatif lambat, atau
dapat pula oleh semburan yang cepat saat terjadinya aktivitas kegempaan.
Lapisan material mendingin setelah mencapai permukaan pada celah lempeng
yang melebar. Lapisan akan menjadi bersifat magnet sejalan dengan pendinginannya
dengan kutub tergantung arah bidang magnet bumi saat itu. Bidang magnet bumi
tidak konstan terhadap skala waktu geologi, karena berfluktuasi dan berbalik pada
interval waktu yang tidak tentu, sehingga penyimpangan sifat magnetik yang tidak
biasa pada bebatuan terbentuk pada pinggiran bubungan yang melebar.
Karena ukuran bumi tetap konstan, maka pembentukan material lempeng baru
pada bubungan melebar harus seimbang dengan berkurangnya material lempeng di
lokasi yang lain. Hal ini terjadi pada batas zona subduksi dimana pergerakan relatif
dari dua lempeng saling menghunjam satu dengan lainnya. Saat bersentuhan, salah
satu lempeng menyusup ke bawah lempeng yang satunya.
sendirinya di bawah kerak benua yang lebih ringan. Saat tingkat konvergensi
lempeng tinggi, semacam saluran terbentuk pada batas antara lempeng. Sehingga
batas zona subduksi biasa juga disebut sebagai batas saluran. Saat tingkat
konvergensinya pelan, endapan terakumulasi pada suatu pertambahan irisan di atas
perpotongan dari pengkerakan batuan, sehingga membuat saluran tertutup.
Apabila lempeng mengakibatkan benua bertubrukan, maka dapat menjadi
formasi jajaran pegunungan. Himalaya terbentuk dari dua pengkerakan lapisan yang
dibentuk ketika lempeng Australia bertubrukan dengan lempeng Eurasia. Tubrukan
antar benua dari lempeng Afrika dan lempeng Eropa mengakibatkan berkurangnya
luas Laut Mediterania dan pada akhirnya nanti akan menjadi jajaran pegunungan.
Transformasi patahan terjadi ketika lempeng bergerak dan berselisihan satu
dengan yang lainnya tanpa menciptakan kerak bumi yang baru atau mengurangi
kerak bumi yang sudah ada. Transformasi patahan ini biasanya ditemukan pada
kelengkungan bubungan melebar, dan diidentifikasi berdasarkan penyimpangan sifat
magnetiknya dan torehan yang terdapat pada permukaan kerak bumi. Kelengkungan
penyimpangan magnetik memperlihatkan zona retakan yang dapat terjadi sepanjang
ribuan kilometer.
ketiga jenis pergerakan lempeng seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Batas transformasi patahan
Batas bubungan
melebar
Batas bubungan
melebar
Batas zona subduksi
Zona retakan
Lempeng subduksi Batuan
pendorong lapisan
Lem
pe
ng s
ubd
uks
i
Gambar 2.2
Interrelasi di Antara Bubungan Melebar, Zona Subduksi
dan Batas Patahan Lempeng, (Kramer, 1996)
2.2.
Patahan
2.2.1.
Bentuk geometri dari patahan
Standar notasi geologi digunakan untuk menentukan orientasi suatu bidang
patahan. Apabila permukaan suatu patahan besar adalah tak-tentu, maka biasanya
diperkirakan sebagai suatu bidang datar. Orientasi bidang patahan ditentukan
berdasarkan tabrakan (strike) dan hunjamannya (dip). Tabrakan patahan merupakan
garis horizontal yang dihasilkan dari perpotongan bidang patahan dengan bidang
horizontal (Gambar 2.3). Azimuth tabrakan digunakan untuk menentukan orientasi
patahan yang mengacu terhadap arah utara. Kemiringan ke bawah dari bidang
patahan ditentukan oleh sudut hunjaman, yang mana merupakan sudut antara bidang
patahan dengan bidang horizontal dihitung tegak lurus terhadap tabrakan. Patahan
vertikal memiliki sudut hunjuman sebesar 90
0Bidang Patahan
Bidang Horizontal Vektor
Tabrakan
Vektor Hunjaman Sudut
Hunjaman
Gambar 2.3
Notasi Geometri Untuk Pendeskripsian dari
Orientasi Bidang Patahan, (Kramer, 1996)
2.2.2.
Pergerakan menghunjam
(dip slip movement)
terjadi ketika komponen horizontal pergerakan hunjaman adalah suatu perpanjangan
ketika material di atas patahan bergerak miring relatif menuju material di bawahnya.
[image:45.612.242.399.182.291.2]Bidang Pataha n
Gambar 2.4
Pematahan Normal, (Kramer, 1996
)
Pematahan normal biasanya terjadi bersamaan dengan tegangan regang pada kerak
bumi dan menghasilkan suatu pemanjangan pada kerak bumi. Saat komponen
horizontal gerakan menghunjam dimampatkan dan material patahan bergerak relatif
ke atas menuju material dibawah patahan, maka pematahan terbalik yang terjadi.
Pergerakan patahan terbalik seperti pada Gambar 2.5 menghasilkan suatu
pemendekan kerak bumi secara horizontal. Suatu jenis khusus dari patahan terbalik
merupakan suatu patahan tusukan, yang terjadi ketika bidang patahan membentuk
sudut hunjaman yang kecil.
[image:45.612.226.412.568.677.2]2.2.3.
Pergerakan tabrakan (
strike-slip movement
)
Pergerakan tabrakan pada patahan biasanya hampir mendekati vertikal dan
dapat menghasilkan gerakan besar. Patahan strike-slip lebih jauh diketegorikan oleh
arah relatif pergerakan dari material di setiap sisi patahan.
Gambar 2.6
Pematahan Strike-Slip Lateral Arah ke Kiri,
(Kramer, 1996)
Suatu pengamat berdiri di dekat patahan strike-slip lateral arah kanan akan
melihat permukaan di sisi sebelahnya bergerak ke arah kanan pula, dan demikian
juga sebaliknya suatu pengamat yang berdiri di dekat patahan strike-slip lateral arah
kiri akan melihat permukaan di sisi sebelahnya bergerak ke arah kiri.
2.3.
Gelombang Gempa
Pelepasan energi tegangan mendadak oleh rekahan pada tepian lempeng
tektonik merupakan penyebab utama dari aktifitas gempa, yang menyebabkan
menjalarnya getaran pada bahagian bumi dalam bentuk gelombang.
atas dua tipe, yaitu : p-waves dan s-waves. Tipe p-waves dikenal juga dengan sebutan
gelombang utama, atau gelombang kompresi, atau gelombang membujur yang akan
menekan dan merapatkan material padat maupun material cair yang dilaluinya
(Gambar 2.7 a). Sementara s-waves disebut juga sebagai gelombang sekunder,
gelombang geser, atau gelombang memotong yang menyebabkan deformasi geser
pada material yang dilaluinya.
Panjang Gelombang
Panjang Gelombang
Kompresi Media Undisturbed
Media Undisturbed Perapatan
(a)
(b)
Gambar 2.7
Deformasi yang Diakibatkan Oleh Gelombang Badan;
(a) P-Waves dan (b) SV-Waves, (Kramer, 1996)
Gelombang permukaan terjadi akibat interaksi antara gelombang badan dengan
bagian permukaan lapisan bumi. Gelombang ini menjalar sepanjang permukaan bumi
dengan panjang gelombang (amplitude) yang semakin berkurang secara eksponensial
terhadap kedalamannya. Akibat interaksi tersebut, gelombang permukaan akan lebih
besar efeknya pada jarak yang semakin jauh dari sumber gempa.
Panjang
Gelombang Media
Undisturbed
(a)
Panjang
Gelombang Media
Undisturbed
(b)
Gambar 2.8
Deformasi Yang Diakibatkan Oleh Gelombang Permukaan
(a) Gelombang Rayleigh dan (b) Gelombang Love,
(Kramer, 1996)
2.4.
Ukuran Gempa
Ukuran besar dari suatu gempa merupakan parameter penting, yang dapat
dideskripsikan dengan beberapa cara berbeda. Sebelum berkembangnya
instrumentasi modern, metoda mengukur besarnya gempa didasarkan atas deskripsi
kualitatif dan deskripsi kasar dari efek suatu gempa. Namun dengan keberadaan
seismograf dapat dikembangkan suatu ukuran gempa yang bersifat kuantitatif.
2.4.1.
Intensitas gempa
Skala intensitas Rossi-Forel (RF), merupakan deskripsi intensitas gempa
dengan nilai berkisar I
−
X, yang dikembangkan pada tahun 1880-an dan telah
digunakan selama bertahun-tahun. Namun negara-negara yang berbahasa Inggris
telah mengganti skala intensitas ini dengan skala intensitas Mercalli yang
dimodifikasi (MMI, Modified Mercalli Intensity) yang awalnya dikembangkan oleh
seimologist Italia bernama Mercalli dan dimodifikasi pada tahun 1931 agar dapat
menggambarkan lebih baik kondisi-kondisi di California. Skala intensitas MMI
mempunyai nilai I – XII sebagai berikut :
I
: Getaran tidak dirasakan kecuali dalam keadaan luar biasa oleh beberapa
orang.
II
: Getaran dirasakan oleh beberapa orang, benda-benda ringan yang digantung
bergoyang.
III : Getaran dirasakan nyata dalam rumah, terasa getaran seakan-akan ada truk
berlalu.
IV : Pada siang hari dirasakan oleh orang banyak dalam rumah, malam hari dapat
membangunkan orang, piring-piring pecah, jendela / pintu gemeretak dan
dinding bergetar
VI : Getaran dirasakan oleh semua orang; kebanyakan semua terkejut dan lari
keluar, plester dinding retak dan cerobong asap pada pabrik rusak, kerusakan
ringan.
VII : Tiap-tiap orang keluar rumah. Kerusakan ringan pada rumah-rumah dengan
bangunan dan konstruksi yang baik sedangkan pada bangunan dengan
konstruksi kurang baik terjadi retak-retak dan kemudian cerobong asap
pecah. Terasa oleh orang yang naik kendaraan.
VIII : Kerusakan ringan pada bangunan dengan konstruksi yang kuat; retak-retak
pada bangunan yang kuat, dinding dapat lepas dari rangka rumah, cerobong
asap dari pabrik-pabrik dan monumen-monumen roboh, air menjadi keruh.
IX : Kerusakan pada bangunan yang kuat rangkanya; rumah menjadi tidak lurus
dan banyak retak-retak pada bangunan yang kuat. Rumah tampak agak
berpindah dari fondamennya. Pipa-pipa dalam rumah putus.
X : Bangunan dari kayu yang kuat rusak; rangka-rangka rumah lepas dari
fondamennya; tanah terbelah; rel melengkung; tanah longsor ditiap-tiap
sungai dan ditanah-tanah yang curam.
XI : Bangunan-bangunan hanya sedikit yang tetap berdiri.; jembatan rusak, terjadi
lembah. Pipa dalam tanah tidak dapat dipakai sama sekali; tanah terbelah; rel
sangat melengkung.
Tabel 2.1
Perbandingan Beberapa Skala Intensitas Terhadap Modified Mercalli
Intensity (MMI), (Chen & Scawthorn, 2003)
a
gals
MMI
Modified
Mercalli
R–F
Rossi–Forel
MSK
Medvedev–
Sponheur–Karnik
JMA
Japan
Meteorological
Agency
0.7
1.5
3.0
7.0
15
32
68
147
316
681
(1468)*
(3162)*
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XII
I
I – II
III
IV – V
V – VI
VI – VII
VIII –
VIII+ to IX–
IX+
X
–
–
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XII
0
I
II
II–III
III
IV
IV–V
V
V–VI
VI
VII
Jawatan Meteorologi Jepang (JMA, Japanese Meteorological Agency)
memiliki skala intensitasnya sendiri, yang terdiri dari 7 (tujuh) tingkatan berdasarkan
pengamatan gempa yang terjadi di Jepang, sementara skala intensitas
Medvedev-Spoonheuer-Karnik (MSK) yang dibuat berdasarkan pengamatan di Rusia digunakan
di negara-negara sentral Eropa dan Eropa timur. Perbandingan beberapa skala
intensitas yang telah disebutkan di atas terhadap Modified Mercalli Intensity (MMI).
di lokasi berbeda pada suatu peta akan memberikan pemetaan kontur intensitas
gempa yang sama. Peta sedemikian disebut dengan peta isoseismal. Intensitas
terbesar biasanya berada di sekitar episenter gempa. Peta Isoseismal menunjukkan
bagaimana berkurangnya intensitas gempa, dengan meningkatnya jarak ke episenter.
2.4.2.
Magnitude gempa
Kemungkinan untuk memperoleh ukuran suatu gempa sejalan dengan
berkembangnya instrumentasi modern untuk mengukur besarnya gerakan tanah
selama terjadinya gempa. Instrumentasi kegempaan dapat mengukur secara objektif
kuantitatif besarnya gempa, yang disebut sebagai magnitude.
2.4.2.1. Richter local magnitude
Pada tahun 1935, Charles Richter dengan menggunakan seismometer
Wood-Anderson mendefinisikan skala magnitude untuk gempa dangkal dan gempa
lokal (jarak episenter lebih kecil dari 600 km) di selatan California. Skala
magnitude yang didefinisikan oleh Richter ini dikenal sebagai magnitude lokal
(local magnitude, M
L) dan merupakan skala magnitude yang terkenal dan
dipakai hingga saat ini.
2.4.2.2.
Magnitude gelombang permukaan
gelombang tertentu yang dihasilkan akibat adanya gempa. Pada jarak episentral
yang besar, gelombang badan biasanya mengalami penyebaran dan pelemahan,
sehingga menghasilkan gerakan yang didominasi oleh gelombang permukaan.
Magnitude gelombang permukaan (surface wave magnitude, M
S) merupakan
skala magnitude yang berdasarkan amplitudo gelombang Rayleigh dengan
periode sekitar 20 detik, yang diperoleh dari persamaan berikut :
M
S= log A + 1.66 log
Δ
+ 2.0
(2.1)
dimana :
A = perpindahan tanah maksimum (mikrometer)
Δ =
jarak episentral terhadap seismometer (dalam derajat)
Magnitude gelombang permukaan ini biasanya digunakan untuk
mendeskripsikan besarnya gempa dangkal, dengan jarak menengah hingga
jauh (lebih 1000 km).
2.4.2.3. Magnitude gelombang badan
Untuk gempa dengan fokus yang dalam, besar gelombang permukaan lebih
kecil daripada yang disyaratkan untuk melakukan pengukuran magnitude
gelombang tersebut. Magnitude gelombang badan (body wave magnitude, m
b)
m
b= log A – log T + 0.01
Δ
+ 5.9
(2.2)
dimana :
A = amplitudo
(mikrometer)
T = perioda
p-wave (biasanya sekitar satu detik)
Δ
= jarak episenter terhadap seismometer (dalam derajat)
2.4.2.4. Moment magnitude
Magnitude gempa yang diuraikan di atas merupakan magnitude gempa empiris
berdasarkan berbagai pengukuran dengan bantuan instrumentasi karakteristik
guncangan tanah. Ketika sejumlah energi terlepas saat terjadinya peningkatan
gempa, karakteristik guncangan tanah belum tentu meningkat pula. Pada
gempa yang besar, karakteristik guncangan tanah kurang sensitif terhadap
besarnya gempa dibanding pada gempa yang lebih kecil. Fenomena ini dikenal
sebagai kejenuhan; gelombang badan dan Richter local magnitude menjadi
jenuh pada magnitude 6 hingga 7; dan magnitude gelombang permukaan
menjadi jenuh pada M
S= 8. Untuk mendeskripsikan ukuran gempa yang
sangat besar, dibutuhkan suatu skala magnitude yang tidak tergantung pada
tingkat guncangan tanah dan tidak akan jenuh. Skala magnitude yang tidak
akan menjadi jenuh adalah moment magnitude (Kanamori. 1977; Hanks dan
Kanamori, 1979) karena didasarkan pada momen gempa, yang diukur
langsung dari faktor keruntuhan sepanjang patahan. Moment magnitude M
wini
M
w=
5
.
1
M
log
0−
10.7
(2.3)
dimana M
0adalah momen gempa dalam dyne-cm.
2.4.3.
Energi gempa
Besar total energi yang dilepaskan selama terjadinya suatu gempa dapat
diestimasi dari persamaan berikut :
log E = 11.8 + 1.5 M
S(2.4)
di mana E adalah energi yang dilepaskan (dalam ergs)
2.5.
Resiko Gempa
Peristiwa gempa merupakan gejala alam yang bersifat acak yang tidak dapat
ditentukan dengan pasti, baik besar, tempat maupun waktu kejadiannya. Dengan
konsep probabilitas, terjadinya gempa dengan intensitas dan perioda ulang tertentu
dapat diperkirakan. Angka kemungkinan (probability) inilah yang mencerminkan
resiko gempa.
Resiko tahunan (R
A)
dari suatu intensitas gempa adalah angka kemungkinan
T =
A
R
1
(2.5)
Resiko gempa
(R
N)
didefinisikan sebagai kemungkinan terjadinya gempa
dengan intensitas dan perioda ulang tertentu selama masa layan bangunan (N tahun).
Dengan asumsi bahwa resiko-resiko dalam tahun-tahun yang berurutan tidak saling
bergantungan, maka hubungan antara resiko per tahun (R
A),
dan resiko dalam jangka
waktu N tahun (R
N), dapat dinyatakan sebagai berikut :
R
N= 1 – (1 – R
A)
N(2.6)
Tabel 2.2
Hubungan Antara Resiko Gempa Untuk Periode Ulang Tertentu
Terhadap Masa Layan Bangunan, (Sibero, 2004)
Tingkatan
Beban Gempa
Sedang
Kuat
Sangat Kuat
Perioda, T (Tahun)
5
10
20
50
100
200
500
1000
R
A(%)
20.00
10.00
5.00
2.00
1.00
0.50
0.20
0.10
N = 10 Tahun
89.26
6513 40.13
18.29
9.56
4.89
1.98
1.00
N = 30 Tahun
99.88
95.76
78.54
45.45
26.03
13.96
5.83
2.96
N = 50 Tahun 100.00 99.48
92.31
63.58
39.50
22.17
9.52
4.88
R
N(%)
N =
100
Tahun 100.00 100.00 99.41
86.74
63.40
39.42 18.14
9.52
Resiko gempa untuk setiap kategori dengan berbagai macam masa layan bangunan
dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Wangsadinata mengusulkan kriteria gempa yang didasarkan pada resiko gempa
untuk bangunan dengan masa layan 100 tahun sebagai berikut :
Resiko terlampaui (risk of exceedance, R
N)
adalah 60 % atau mempunyai perioda
ulang 100 tahun.
2.
Gempa Menengah
Resiko terlampaui (risk of exceedance, R
N)
adalah 40 % atau mempunyai perioda
ulang 200 tahun.
3.
Gempa Kuat
Resiko terlampaui (risk of exceedance, R
N)
adalah 20 % atau mempunyai perioda
ulang 400 tahun.
4.
Gempa Desain (Maksimum)
Resiko terlampaui (risk of exceedance, R
N)
adalah 10 % atau mempunyai perioda
ulang 1000 tahun.
Pada Tabel 2.3 disajikan perbandingan penentuan perioda ulang gempa untuk
masing-masing kriteria yang dipakai pada peraturan pembebanan gempa di berbagai
negara.
Tabel 2.3
Perbandingan Penentuan Perioda Ulang Gempa, (Sibero, 2004)
Return Period (years)
Minor
Earthquake
Moderate
Earthquake
Major
Earthquake
Uniform Building Code (UBC), 1984
5
−
475
Code of Practice for general Structure Design and
Design Loadings for Buildings of New Zealand, 1992
10
−
475
Tri-Services Manual for Seismic Design of Essential
Buildings, 1986
−
73
950
2.6.
Analisa Resiko Gempa
Analisa resiko gempa (seismic hazard analysis) meliputi estimasi kuantitatif
dari goncangan tanah (ground-shaking) pada suatu lokasi tertentu. Resiko gempa
dapat dianalisa secara deterministik dengan mengambil suatu asumsi tertentu
mengenai kejadian gempa atau secara probabilisitik dimana dalam analisa juga
mempertimbangkan secara ekspiisit ketidakpastian dari besarnya gempa, lokasi
maupun waktu teriadinya.
2.6.1.
Deterministic Seismic Hazard Analysis (DSHA)
Salah satu metoda analisa resiko gempa adalah metoda Deterministic Seismic
Hazard Analysis
(DSHA), dimana dalam metoda ini evaluasi dari gerakan tanah
(ground motion) untuk suatu wilayah didasarkan kepada skenario gempa wilayah
tersebut. Skenario gempa ini berisi tentang kejadian gempa dengan besar
(magnitude) tertentu yang akan terjadi pada lokasi tertentu. Prosedur analisa resiko
gempa dengan metoda DSHA ini secara sistematika dapat dilihat pada Gambar 2.9.
Secara tipikal, analisa resiko gempa dengan metoda DSHA ini dapat dibagi
menjadi 4 (empat) proses tahapan (Reiter, 1990)
sebagai berikut :
2.
Pemilihan parameter jarak dari sumber ke lokasi (source-to-site distance
parameter). Biasanya dalam metoda DSHA, jarak yang dipilih adalah jarak
terdekat antara zona sumber gempa (source zone) dengan lokasi yang ditinjau.
Jarak yang digunakan dapat diekspresikan sebagai jarak dari episenter atau jarak
dari hiposenter, dimana hal ini tergantung pada pengukuran jarak dari persamaan
empiris yang akan digunakan untuk memprediksi pada tahap berikutnya.
3.
Pemilihan
controlling earthquake, yaitu gempa yang diperkirakan akan
menghasilkan tingkat goncangan yang terkuat, dimana biasanya diekspresikan
dalam parameter gerakan tanah pada suatu lokasi. Pemilihan ini dilakukan
dengan membandingkan tingkat goncangan yang dihasilkan oleh gempa (yang
diidentifikasi dalam tahap pertama) yang diasumsikan terjadi pada jarak yang
diidentifikasi pada tahap kedua. Controlling earthquake ini biasanya
dideskripsikan dengan besar (umumnya diekspresikan sebagai magnitude) dan
jaraknya dari lokasi yang bersangkutan.
R1
R2 R3
STEP 1 STEP 2
STEP 3
Y1
. . .
YN
Y2 Y =
STEP 4
Jarak
R1 R2
R3
M1
M2
M3 Controlling
Earthquake
Pa
re
me
te
r
G
erakan
T
a
nah, y
Sumber 1
M1
Lokasi yang ditinjau
Sumber 3
M2
M3
[image:61.612.150.485.106.449.2]Sumber 2
Gambar 2.9
Empat Tahapan Analisa Resiko Gempa dengan Metode
Deterministic Seismic Hazard Analysis (DSHA),
(Kramer, 1996)
2.6.2.
Probabilistic Seismic Hazard Analysis (PSHA)
Metoda
PSHA ini dapat dideskripsikan dalam 4 (empat) tahapan prosedur
(Reiter, 1990) sebagai berikut:
1.
Tahap pertama adalah identifikasi dan karakterisasi sumber gempa, termasuk
didalamnya adalah karakterisasi distribusi probabilitas dari lokasi rupture yang
berpontensi pada sumber. Dalam kebanyakan kasus, diterapkan distribusi
probabilitas yang sama untuk masing-masing zona sumber. Hal ini secara tidak
langsung menyatakan bahwa gempa mungkin sama-sama akan terjadi pada setiap
titik dalam zona sumber gempa. Distribusi ini, dikombinasikan dengan bentuk