• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi model Contextual And Creative Teaching And Learning (CCTL) dalam pembelajaran Bahasa Arab: sebuah gagasan awal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aplikasi model Contextual And Creative Teaching And Learning (CCTL) dalam pembelajaran Bahasa Arab: sebuah gagasan awal"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

APLIKASI MODEL

CONTEXTUAL AND CREATIVE TEACHING AND LEARNING (CCTL)

DALAM PEMBELAJARAN BAHASA ARAB (Sebuah Gagasan Awal)

Oleh Muhbib Abdul Wahab

Abstrak

Pembelajaran bahasa Arab di lembaga pendidikan kita masih dihadapkan pada berbagai persoalan linguistik dan non-linguistik. Salah satu persoalan dimaksud adalah kesan umum bahwa belajar bahasa Arab itu sangat sulit dan tidak menarik. Sementara itu, pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran bahasa Arab sudah banyak bermunculan, namun semua itu belum sepenuhnya dapat menyelesaikan masalah tersebut secara efektif. Seiring dengan banyaknya model pembelajaran bahasa, tampaknya model pembelajaran kontekstual dan kreatif (CCTL) patut dipertimbangkan sebagai alternatif, karena model ini memberikan kesempatan terbuka kepada tenaga pendidik untuk mengembangkan proses pembelajaran bahasa Arab secara efektif dan menyenangkan, dengan melakukan kontekstualisasi dan responsi terhadap kebutuhan siswa sesuai dengan konteks dan situasi pembelajaran yang riil (nyata). Hanya saja, model ini menuntut tenaga pendidik untuk bekerja keras, berpikir kreatif, dan mampu menciptakan lingkungan pembelajaran bahasa Arab yang kondusif dan dinamis. Selain itu, model ini juga menghendaki adanya perumusan visi, misi, dan orientasi pembelajaran bahasa Arab yang jelas dari tenaga pendidik sehingga proses pembelajarannya berada pada ―jalur‖ yang benar dan

mengarah pada pencapaian tujuan pembelajaran bahasa Arab, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik dan spiritual. Efektivitas model ini dicirikan oleh kebermaknaan materi bahasa Arab yang diberikan, dinamika situasi dan kondisi, terciptanya lingkungan berbahasa Arab yang hidup, dan produktivitas atau kreativitas peserta didik dalam berbahasa Arab (dapat dilihat dari performa empat keterampilan berbahasa plus keterampilan menerjemahkan).

(2)

ميلس جهـن ىلع ميلعتلاو ملعتلا ةيلمع ريستل ملعملا لبق نم ةحضاو تا اجتاو لئاسرو ةيلبقتسم

.ةيبرعلا ميلعت نم ةيعقاولا ةيحورلاو ةيكرحسف لاو ةينادجولاو ةيفرعملا فاد أا ىلإ ب لصوي

تاجايتحا بسا ملا ى عملا تاذ ةداملا رايتخا يف بولسأا اذ ةيلاعف لثمتتو

،ملعتملا

د ع عادتبااو جاتنإا ىوتسمو ،ةيويحلا ةيبرعلا ةيوغللا ةئيبلا داجيإو ،ةيميلعتلا فقاوملا ةيما يد

.ةمجرتلا ةراهم ىلإ ةفاضإاب ،عبرأا ةيوغللا تاراهملا ةداجإ يف يأ يوغللا ءادأا يف ملعتملا

A. Pendahuluan

Model pembelajaran belakangan ini banyak bermunculan. Di antaranya adalah pembelajaran kolaboratif, quantum learning dan active learning1. Yang pertama menekankan proses pembelajaran dalam bentuk kerjasama antar pembelajar, sedangkan yang kedua menekankan pada optimalisasi potensi pembelajar melalui teori modelling dengan "lompatan-lompatan" dalam belajar. Adapun yang ketiga mengoptimalkan tingkat partisipasi pembelajar. Belajar tidak hanya melalui optimalisasi kecerdasan intelegensi, tetapi juga perlu diperkuat dengan kecerdasan emosi dan lingkungan belajar yang nyaman serta menyenangkan. Kekurangan kedua model pembelajaran tersebut adalah belum dioptimalkannya proses kreatif, kecerdasan spiritual, dan kontekstualisasi. Padahal proses kreatif, kekuatan doa, pengaitan materi pelajaran dengan nilai-nilai religius dan realitas sosial diasumsikan dapat mempengaruhi akselarasi, prestasi, dan kreativitas pembelajaran yang optimal.

Model pembelajaran yang dikembangkan dan harus menjadi prioritas utama saat ini adalah membelajarkan peserta didik how to learn and how to think. Hanya dengan dua

―keterampilan super‖ inilah –meminjam istilah Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl— kita dapat mengatasi perubahan dan kompleksitas serta menjadi manusia yang secara ekonomi tidak tergantung dan tidak akan menganggur pada abad ke-21. Kita memang membutuhkan perubahan, baik pada apa yang dipelajari dan dalam cara bagaimana ia dipelajari.2 Perubahan substansi dan metodologi pembelajaran memungkinkan lahirnya perubahan cara berpikir, bertindak, dan berkarya, sehingga pada gilirannya melahirkan perubahan kualitas hidup yang lebih baik.

Model pembelajaran tradisional yang menempatkan dosen sebagai sumber utama informasi dan pengetahuan tidak relevan lagi. Pembelajaran yang hanya mengandalkan indera pendengaran kini dipandang tidak efektif. Peserta didik akan menyerap lebih banyak informasi ketika disampaikan dalam bentuk visual dan auditori (pandang dan dengar) atau keduanya: audio-visual, seperti dalam multimedia. Dosen dituntut mampu memberikan motivasi

1Baca M. Silberman, Active Learning: 101 Strategies to Teach Any Subjects, (Massachusetts: A Simon &

Schuster Company, 1996).

(3)

(motivating) yang kuat dan mampu menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan, sehingga peserta didik dapat belajar secara efektif, kontekstual, dan kreatif.

Model-model pembelajaran yang sudah ada tentu tidak luput dari kelemahan. Karena itu, Contextual and Creative Teaching and Learning (CCTL) dipandang sebagai model pembelajaran alternatif. Pembelajaran kontekstual dan kreatif ini diasumsikan tidak hanya potensial memandirikan mahasiswa, melainkan juga menumbuhkan kreativitas dalam belajar, transformasi proses kreatif, sehingga segenap potensi dan kompetensi mahasiswa dapat dioptimalkan. Model pembelajaran ini mengandaikan akselerasi pemerolehan informasi, ilmu, keterampilan, penciptaan suasana religius yang menyenangkan, transformatif, serta bermuara pada pengembangan kompetensi berekspresi, meneliti, dan menulis karya ilmiah. Model ini diasumsikan dapat menumbuhkan tradisi intelektualisme dan profesionalisme yang kreatif dan produktif, sehingga pada gilirannya diharapkan dapat menjadi salah satu faktor pendukung dalam realisasi universitas riset. Menurut penulis, indikator terwujudnya universitas riset – yang dicita-citakan oleh UIN Jakarta- adalah meningkatnya baik kuantitas maupun kualitas hasil penelitian yang dilakukan oleh sivitas akademika, banyak karya ilmiah yang diterbitkan baik dalam bentuk buku maupun artikel yang dimuat dalam jurnal nasional maupun internasional. Untuk mencapai cita-ideal tersebut mutlak diperlukan adanya model pembelajaran kontekstual dan kreatif.

Tulisan ini berusaha menjawab bagaimana aplikasi model contextual and creative teaching and learning (CCTL) dalam pembelajaran bahasa Arab? Faktor apa saja yang mempengaruhi aplikasi model CCTL dalam pembelajaran bahasa Arab tersebut? Dan mengapa model CCTL perlu dikembangkan dan diorientasikan kepada pembelajaran bahasa Arab?

B. Konsep Pembelajaran: Sebuah Kerangka Teoritik 1. Pengertian Belajar

Usia pendidikan dan pembelajaran diyakini sudah setua usia perabadan manusia, karena hakekat hidup ini adalah belajar. Semua proses yang dilalui manusia dalam hidup merupakan proses pembelajaran. Manusia adalah makhluk pembelajar. Manusia belajar untuk hidup. Tanpa belajar hidup tak bernilai dan peradaban tidak akan pernah berkembang maju.3

Banyak pengertian belajar diberikan oleh para ahli. Menurut sebuah situs internet:

www.emtech.net/learning teories, jumlah teori belajar saat ini lebih dari 70 teori, antara lain:

Behaviorism Theory, Cognitivism Theory, Gestalt Theory, Social Learning Theory, Situated Learning, Constructivism, Cooperative Learning, Mastery Learning, Active Learning, Accelerated Learning, dan sebagainya.

3Ahmad Zakî Shâlih, ‘Ilm al-Nafs al-Tarbawî, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1988), Cet.

(4)

Behaviorisme mendefinisikan belajar sebagai proses pemberian respon terhadap

stimulus. Sementara Morgan (1978) menyatakan bahwa ‖belajar adalah setiap perubahan yang

relatif menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai hasil dari latihan atau pengalaman." Belajar berarti mendayagunakan potensi (fisik, intelektual, emosional, moral, dan spiritual) menuju suatu pemahaman dan perubahan sikap, perilaku dan kepribadian.4

Belajar merupakan kegiatan aktif peserta didik dalam membangun makna atau pemahaman. Karena itu, belajar harus bermakna dan memberikan peningkatan pemahaman peserta didik terhadap apa yang dipelajarinya. Ada beberapa prinsip yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam belajar yang bermakna, yaitu: (1) berpusat kepada peserta didik, (2) belajar dengan melakukan (learning by doing), (3) mengembangkan kemampuan sosial, (4) mengembangkan keingintahuan (curiosity), imajinasi, dan fitrah bertuhan, (5) mengembangkan keterampilan dalam pemecahan masalah, (6) mengembangkan kreativitas peserta didik, (7) mengembangkan kemampuan dalam menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi, (8) menumbuhkan kesadaran kebangsaan sebagai warga negara yang baik, (9) belajar sepanjang hayat, dan (10) perpaduan kompetisi, kerjasama, dan solidaritas.5

Robert M. Gagne membedakan pola-pola belajar ke delapan tipe, di mana yang satu merupakan prasyarat bagi lainnya. Delapan tipe belajar dimaksud adalah: (1) belajar isyarat (signal learning), (2) belajar stimulus-respon (stimulus-response learning), (3) perangkaian (chaining), (4) asosiasi verbal (verbal association), (5) belajar diskriminasi (discrimination learning), (6) belajar konsep (concept learning), (7) belajar aturan (rule learning), dan (8) pemecahan masalah (problem solving).6 Kedelapan pola belajar ini menunjukkan hirarki perkembangan psikologis, mental, intelektual, dan sosial pembelajar.

Pembelajaran tidak sama dengan pelatihan dan pengajaran, karena pembelajaran merupakan proses menjadi; sedangkan pelatihan belajar melakukan; dan pengajaran adalah belajar mengetahui. Tujuan pembelajaran adalah membentuk watak, mendewasakan penalaran dan pemikiran, memandirikan sikap, memerdekakan dan memberdayakan, sementara tujuan pelatihan adalah membentuk perilaku dan menerampilkan, sedangkan tujuan pengajaran adalah membentuk konsep dan mentransfer ilmu.7 Pembelajaran merupakan upaya sistematis dalam mengoptimalkan potensi manusia, baik aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik, sosial dan spiritualnya, sehingga peserta menjadi manusia dewasa dan memiliki integritas keilmuan maupun moral.

4Ahmad Zakî Shâlih, ‘Ilm al-Nafs al-Tarbawîh. 380.

5 Puskur Balitbang Depdiknas, Ringkasan Kegiatan Belajar Mengajar, (Jakarta: Balitbang Depdiknas,

2002), h. 1-3.

6Saeful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002; dan

Robert M. Gagne, Condition of Learning, (New York: Holt Rinehart and Winson, 1989).

(5)

Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan sebuah proses yang kompleks dan melibatkan berbagai aspek yang bertujuan untuk pembentukan kepribadian dan kompetensi peserta didik sehingga memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan dan peningkatan kualitas hidup. Pembelajaran tidak sekedar transfer pengetahuan atau informasi, melainkan juga penanaman nilai, pembentukan sikap positif, dan penerampilan kecakapan-kecakapan profesional untuk kepentingan hidupnya (life skill), serta kedewasaan berperilaku.

2. Model Pembelajaran

Ernest Chang dan Don Simpson menawarkan model pembelajaran the circle of learning: individual and group process. Model ini merupakan pengembangan dari model pembelajaran tradisional yang lebih banyak menekankan pada tanggung jawab individual dalam proses pembelajaran. Pembelajaran dapat berlangsung tidak hanya tanggung jawab individual, akan tetapi dapat berbentuk kolaboratif melalui proses kehidupan kelompok. Model ini mendasarkan pada paradigma hubungan antara aktivitas dan orientasi. Dalam proses pembelajaran ada dua dimensi, yaitu: aktivitas pembelajaran dan orientasi proses. Dari dimensi aktivitas pembelajaran ada aktivitas yang dilakukan oleh dirinya sendiri dan ada aktivitas yang harus dilakukan bersama kelompok sebaya. Dari dimensi orientasi proses, ada proses pembelajaran individu sebagai fokus dan ada proses pembelajaran kelompok sebagai fokus.8

Hubungan dua dimensi itu menghasilkan lima pola atau model pembelajaran, yaitu: (1) ceramah tradisional (traditional lectures), (2) belajar mandiri (self study), (3) pembelajaran berbarengan (concurrent learning), (4) pembelajaran kolaboratif (collaborative learning), dan (5) pembelajaran aktif (active learning).9 Masing-masing memiliki karakteristik dan pola tersendiri.

Pertama, model pembelajaran dengan ceramah. Strategi pembelajaran dengan model ceramah bercirikan: (1) mendengarkan penjelasan pengajar, (2) kegiatan dan lingkungan dikendalikan oleh pengajar, (3) pengetahuan yang diperoleh tergantung pada penangkapan pembicaraan pengajar, (4) sedikit dukungan teknologi, dan (5) berlangsung dalam suasana otoriter. Model ini dinilai sangat tradisional karena pembelajaran berpusat pada satu sumber, yaitu pengajar10. Model ini kurang memberdayakan kompetensi pembelajar, karena guru/dosen

masih terlalu ―dominan‖ sebagai sumber informasi dan ilmu pengetahuan, sementara peserta

8 Lihat Ernest Chang & Don Simpson, ―The Circle of Learning: Individual and Group of

Process”, dalam Educatioan Policy Analysis, Volume 5 Number 7, 1997.

9 Ernest Chang & Don Simpson, ―The Circle…‖, ibid.

10

Lihat Mohammad Surya, "Tantangan Pembelajaran di Era Millenium", dalam Jurnal

(6)

didik kurang mandiri dalam mencari dan mengembangkan pengetahuannya. Peserta didik kurang dilatih untuk bersikap kritis dan partisipatif dalam belajar.

Kedua, model belajar mandiri. Dalam model ini, strategi pembelajaran dilakukan secara mandiri oleh pembelajar dalam keseluruhan aktivitasnya. Ciri-ciri model ini adalah: (1) berfokus pada pemikiran sendiri, (2) prosesnya diarahkan sendiri, (3) isi pengetahuan berupa refleksi dan integrasi, (4) menggunakan multimedia, (5) penghargaan diri secara otonom. Model ini menuntut disiplin diri yang kuat dari pembelajar.11 Motivasi pembelajar harus kuat dan stabil, agar pencapaian tujuan pembelajaran optimal.

Ketiga, model pembelajaran berbarengan. Pembelajaran dengan model ini pada dasarnya dilakukan atas tanggung jawab pembelajar sendiri, namun dalam suasana berbarengan dengan yang lain dan saling berinteraksi. Ciri utama model ini adalah: (1) dilakukan secara partisipatif, (2) dalam satu forum terbuka, (3) dalam suasana saling menghargai, (4) perspektif terhadap materi dapat berbeda-beda, (5) suasana demokratis dan didukung oleh teknologi informasi.12 Model pembelajaran ini memungkinkan peserta didik untuk terampil mengekspresikan pendapatnya dan mempunyai sikap toleran dalam perbedaan pemahaman dan pendapat.

Keempat, model pembelajaran kolaboratif. Pembelajaran dilakukan dalam bentuk kolaboratif (kerja sama) antar pembelajar dalam satu tim. Karakteristik utama model ini adalah: (1) dilakukan melalui satu bentuk kerja sama, (2) untuk mendapatkan konsensus, (3) adanya berbagai pemahaman nilai, dan (4) adanya keputusan yang dibuat bersama atas dasar nilai yang disepakati bersama. Model ini cenderung demokratis dan dapat menumbuhkan kebersamaan.13 Hanya saja, jika tidak dibimbing dan diarahkan oleh tenaga pendidik yang profesional, model ini akan mengalami disorientasi, kehilangan arah, dan akibatnya tujuan pembelajaran tidak tercapai secara optimal.

Kelima, model pembelajaran aktif (active learning) merupakan model pembelajaran yang meniscayakan dinamika interaktif antara pembelajar dan guru/dosen. Pembelajaran aktif adalah pembelajaran yang mengajak siswa/mahasiswa untuk belajar secara aktif. Ketika belajar secara aktif, berarti siswa/mahasiswa mendominasi aktivitas pembelajaran. Dengan ini mereka secara aktif menggunakan otak, baik untuk menemukan ide pokok dari materi kuliah, memecahkan persoalan, atau mengaplikasikan hal baru yang mereka pelajari ke dalam suatu persoalan yang ada dalam kehidupan nyata. Belajar aktif sangat dibutuhkan oleh siswa/mahasiswa untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal.

11Mohammad Surya, "Tantangan…‖, ibid. 12Mohammad Surya, "Tantangan…‖, ibid.

13Mohammad Surya, "Tantangan…‖. Bandingkan dengan Anita Lie, Cooperative Learning:

(7)

Belajar aktif adalah suatu cara untuk mengikat informasi yang baru kemudian menyimpannya dalam otak. Belajar aktif memungkinkan siswa/mahasiswa yang memiliki

learning style (gaya belajar) yang bervariasi dapat disinergikan dan dikolaborasikan satu sama lain.14 Menurut Silberman, banyak strategi yang dapat dilakukan untuk menciptakan pembelajaran aktif. Di antaranya adalah: (1) learning starts with question (belajar dimulai dengan pertanyaan), (2) reading guide (membaca buku petunjuk), (3) Information search

(mencari informasi), (4) Critical incident (kejadian penting), (5) Everyone is teacher here

(setiap orang adalah guru dalam forum ini), (6) Jigsaw learning (pembelajaran ala Jigsaw), (7)

the Power of two (kekuatan berpasangan), (8) snowballing (belajar ala bola salaju), (9)

Brainstorming (curah gagasan), (10) Active debate (debat aktif), (11) Synergic teaching

(pengajaran bersinergi), (12) Role playing (bermain peran), dan (12) Concept mapping (peta konsep atau pemetaan konsep).15

Selain kelima model tersebut, ada pula model quantum learning. Model ini pada mulanya dicetuskan oleh Dr. Georgi Lazanov. Pembelajaran model ini didasarkan pada prinsip bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi situasi belajar. Melalui suggestology,

pemercepatan belajar (accelarated learning) dapat dilakukan, dengan dibarengi suasana penuh kegembiraan. Untuk menumbuhkan sugesti belajar positif, dapat ditempuh melalui teknik seperti memberikan kenyamanan, meningkatkan partisipasi individu, dan menghadirkan seni.16 Model ini mensyaratkan lingkungan pembelajaran yang aman, nyaman, menggembirakan (ada musiknya; ruang belajar yang menarik, dilengkapi gambar warna-warni, ilustrasi, peta, dsb.), positif, dan dilakukan dengan metode berupa: mencontohkan, permainan, simulasi, dan simbol.

3. Pembelajaran Kontekstual

Elaine B. Johnson mendeskripsikan Contextual Teaching and Learning (CTL) sebagai suatu sistem pembelajaran yang didasarkan pada filosofi bahwa pembelajar akan belajar apabila mereka menemukan makna dalam materi akademis/pelajaran dan apabila mereka dapat mengaitkan sebuah informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka dapatkan sebelumnya. Dalam hal ini beliau menyatakan: ―The CTL system is an educational process that aims to help students see meaning in the academic material they are studying by

14Hisyam Zaini, dkk., Strategi Pembelajaran Aktif di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: CTSD,

2002), h. xii-xv.

15 Mel Silberman manawarkan 101 strategi belajar aktif. Penjelasan rincinya lihat Mel

Silberman, Active Learning: 101 Strategies to Teach Any Subjects, (Massachusetts: A Simon & Schuster Company, 1996).

16Bobbi DePotter dan Mike Hernacki, Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan

Menyenangkan, Terj. Alawiyah Abdurrahman dari Quantum Learning Unleasing the Genius in You”,

(8)

connecting academic subjects with the context of their daily lives, that is, with the context of their personal, sosial, and cultural circumstances. To achieve this aim, the system encompasses certain components.17

Pendekatan kontekstual merupakan suatu sistem pembelajaran dalam suatu proses pendidikan yang bertujuan untuk membantu peserta didik dengan mengaitkan materi pelajaran dengan situasi dan kondisi personal, sosial, dan kultural mereka. Pengaitan ini, tentu saja, dimaksudkan agar materi pembelajaran tidak kehilangan relevansi dengan kehidupan peserta didik dan perkembangan sosial yang ada.

Pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong mereka membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan kata lain, CTL merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata, sehingga peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari.18 Asumsinya adalah bahwa jika peserta didik kembali ke masyarakat, maka ia dapat menjadikan apa yang pernah diperolehnya dalam proses pembelajaran sebagai bekal dan keterampilan hidupnya

Johnson menyebutkan adanya delapan komponen yang tercakup dalam sistem pendidikan yang menggunakan pendekatan kontekstual atau CTL. Kedelapan komponen tersebut adalah: (1) making meaningfull connections atau membuat kaitan yang bermakna, (2)

doing significant work atau melakukan karya yang berarti, (3) self-regulated learning atau belajar dengan kontrol pribadi, (4) collaborating atau bekerjasama, (5) critical and creative thinking atau berpikir kritis dan kreatif, (6) nurturing the individual atau memupuk bakat individu, (7) reaching high standard atau mencapai standar yang cukup tinggi, serta (8) using authentic assessment atau menggunakan penilaian sebenarnya.19

Sementara itu, tim C-Star dari University of Washington memiliki pendapat serupa, meskipun beberapa dengan istilah yang sedikit berbeda dari yang dikemukakan oleh Johson tersebut. Tim ini, menyebutkan adanya tujuh komponen utama CTL yang apabila diterapkan ketujuhnya, maka sebuah kelas dapat dikatakan menggunakan pendekatan CTL. Ketujuh komponen tersebut adalah: (1) konstruktivisme (constructivism), (2) menemukan (inquiry), (3) bertanya (questioning), (4) masyarakat belajar (learning community), (5) pemodelan

17Elaine B. Johnson, Contextual Teaching and Learning: What It is and Why It’s Here to Stay.

(Thousand Oaks: Corwin Press, Inc., 2002), p. 25

(9)

(modeling), (6) refleksi (reflection), serta (7) penilaian yang sebenarnya (authentic assessment).20

Komponen pertama, konstruktivisme (constructivism) merupakan pemikiran filosofis yang mengasumsikan bahwa pengetahuan diperoleh dan dibangun manusia sedikit demi sedikit, kemudian hasilnya diperluas atau diperdalam melalui konteks yang terbatas dan bukannya terjadi secara tiba-tiba (in a sudden). Sedangkan Menemukan (Inquiry) merupakan suatu siklus pemerolehan pengetahuan yang terdiri dari langkah-langkah observasi, bertanya, mengajukan dugaan, pengumpulan data, dan penyimpulan. Bertanya (Questioning) merupakan strategi utama yang bagi guru merupakan kegiatan untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa; sementara bagi siswa, bertanya merupakan bagian penting untuk menggali informasi, mengkonfirmasi pengetahuan, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahui.

Komponen keempat adalah Masyarakat Belajar (Learning Community), yakni situasi yang diciptakan berdasarkan konsep yang menyarankan agar proses dan hasil pembelajaran diperoleh dari bekerjasama (collaborating) dengan orang lain, baik itu kerjasama siswa-siswa, siswa-pengajar, maupun siswa-ahli. Dalam Pemodelan (Modeling), pengajar (meskipun kadang melibatkan siswa) memberi contoh, mempresentasikan, atau mendemonstrasikan tentang cara bekerja sesuatu sebelum siswa mengerjakan tugas. Sedangkan Refleksi (Reflection) adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang (thinking back) tentang hal-hal yang sudah kita lakukan di masa lalu. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktifitas, maupun pengetahuan yang baru diterima. Adapun Penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment) adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa, yang diperoleh dari kegiatan nyata yang dikerjakan siswa pada saat melakukan proses pembelajaran.

Pendekatan kontekstual merupakan pilihan strategi pembelajaran yang berpihak pada dan memberdayakan siswa. CTL memungkinkan proses belajar yang tenang dan menyenangkan, karena pembelajaran dilakukan secara alamiah, sehingga peserta didik dapat mempraktikkan secara langsung apa-apa yang dipelajarinya. Pembelajaran kontekstual mendorong peserta didik memahami hakekat, makna, dan manfaat belajar, sehingga memungkinkan rajin dan termotivasi untuk senantiasa belajar, bahkan kecanduan belajar.21

Dalam pembelajaran kontekstual, tugas guru/dosen adalah memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadai. Guru bukan hanya menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hafalan, tetapi juga mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik

(10)

belajar. Lingkungan belajar yang kondusif sangat menunjang pembelajaran kontekstual dan keberhasilan pembelajaran secara keseluruhan.

Signifikansi lingkungan pembelajaran tampak pada hal-hal berikut: (a) belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada peserta didik; (b) pembelajaran harus berpusat pada ˝bagaimana cara― peserta didik menggunakan pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan daripada hasilnya; dan (c) umpan balik sangat penting bagi peserta didik, yang berasal dari proses penilaian (assessment) yang benar; dan (d) menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.22 Jadi, kontekstualisasi pembelajaran diorientasikan kepada pemandirian peserta didik dalam mengembangkan kompetensi dan kemampuannya untuk memecahkan masalah. Belajar memecahkan masalah mendorong peserta didik untuk mencari informasi atau melakukan investigasi.

4. Pembelajaran Kreatif

Pembelajaran kreatif mengharuskan tenaga pendidik dapat memunculkan kreativitas peserta didik dalam kelas, baik kreativitas berpikir maupun kreativitas dalam melakukan sesuatu. Kreativitas berpikir merupakan kemampuan imajinatif, tetapi rasional. Berpikir kreatif berawal dari berpikir kritis, yaitu menemukan dan melahirkan sesuatu yang sebelumnya belum ada atau memperbaiki seseuatu yang sebelumnya tidak baik.23 Pembelajaran kreatif adalah pembelajaran yang dilakukan di dalam maupun di luar kelas dengan cara memanfaatkan segenap potensi dan multi-kecerdasan yang dimiliki peserta didik secara maksimal. Secara implisit, pembelajaran ini mengandung muatan baru yang disesuaikan dengan keadaan, terutama dalam penyajiannya yang lebih inovatif.

Bila di dalam ruangan kelas tidak tersedia fasilitas pembelajaran yang memadai, guru bisa memanfaatkan fasilitas yang ada, termasuk mengeksploitasi secara maksimal alam lingkungan di sekitarnya. Dengan demikian, pembelajaran ini mampu beradaptasi dengan berbagai macam situasi dan keadaan sehingga bisa dilakukan di mana dan kapan saja.

Karakter pembelajaran kreatif itu sangat fleksibel dan bergantung pada guru "sang kreator". Ini menunjukkan bahwa pembelajaran tersebut akan dapat disajikan oleh guru-guru yang memiliki kreativitas tinggi. Unsur kreativitas yang dipertaruhkan di sini pada dasarnya dimiliki oleh setiap orang. Orang-orang yang memiliki kreativitas tinggi, biasanya dapat memelihara unsur tersebut dengan baik, begitu pun sebaliknya. Pembelajaran kreatif dapat dikembangkan melalui empat tahap. Keempat tahap ini oleh Daniel Goleman disebut anatomi

22Nurhadi, Pendekatan Kontekstual, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2002), Cet. I, h. 4. 23 Abdul Rahman Shaleh, Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa, (Jakarta:

(11)

momen kreatif.24 Tahap pertama adalah persiapan, yaitu proses pengumpulan berbagai informasi untuk diuji. Dalam tahap ini, otak mengumpulkan informasi dan data yang berfungsi sebagai dasar atau riset untuk karya kreatif yang sedang terjadi. Pengalaman hidup turut menyumbang proses persiapan menjadi kreatif.

Kedua, inkubasi, (disebut juga tahap istirahat), yaitu suatu rentang waktu untuk merenungkan hipotesis informasi tersebut sampai memperoleh keyakinan bahwa hipotesis tersebut rasional. Hal ini antara lain dapat diperkuat dengan intuisi dan suara hati nurani. Dalam proses mengaitkan ide, pikiran sebenarnya juga melakukan berbagai proses, yaitu: menjajarkan, memadukan, memilah, mengitari, dan membayangkan ide.

Ketiga,illuminasi (pencerahan). Pengendapan informasi dan ―lamunan‖ bahkan intuisi

akan membawa kepada pencerahan, ketika secara seketika jawaban yang dicari datang menemui pembelajar tanpa diketahui sumbernya. Inilah tahapan yang biasanya memperoleh limpahan perhatian. Pembelajar mendapat inspirasi dan motivasi untuk menjawab tantangan kreatif yang dihadapi25 Tahap lanjutannya adalah penerjemahan, ketika pembelajar mengubah wawasan menjadi tindakan.

Keempat, tahap pembuktian/pelaksanaan (verifikasi), yaitu pengujian kembali hasil hipotesis tersebut untuk dijadikan sebagai sebuah rekomendasi. Dalam tahap ini, ada gagasan berhasil dengan cepat, sedang yang lain perlu waktu berbulan-bulan atau bahkan tahunan. Kemampuan dan keterampilan berpikir dibarengi hasrat kuat dan rasa gembira, memainkan peran penting dalam aktualisasi kreativitas.

Selain itu, Teresa M. Amabile berpendapat bahwa proses pembelajaran kreatif itu melalui lima tahap dan diibaratkan seperti orang membuat sop. Kelima tahap dimaksud adalah: (1) tahap presentasi masalah (pembelajar menyadari adanya suatu masalah yang harus dipelajari dan dicarikan solusinya; (2) tahap persiapan (menyiapkan diri untuk belajar, menelaah bacaan yang relevan dengan masalah); (3) tahap penyimpulan gagasan (hasil pembacaan biasa melahirkan gagasan, sehingga ada titik simpul yang dapat dijadikan sebagai inspirasi dan media pemecahan masalah; (4) tahap validasi (aktualisasi gagasan dalam bentuk tindakan dan karya kreatif); dan (5) tahap pengukuran hasil (evaluasi).26

Adapun strategi pembelajaran kreatif adalah: (1) menyatu dengan masyarakat luas, termasuk berkolega dengan ilmuwan, (2) merancang lingkungan yang bernilai tambah, seperti: musik, pencahayaan, aroma, warna yang indah dan menarik; (3) mengembara keluar dari dunia

24

DanielGoleman, The Creative Spirit: Nyalakan Jiwa Kreatifmu di Sekolah, Tempat Kerja, dan Komunitas, Terj. dari The Creative Spirit oleh Yuliani Liputo, (Bandung: MLC, 2005), Cet. I, h. 30-37.

25Ayan, Jordan E., Bengkel Kreativitas, Terj. dari 10 Ways to Free Yoour Creative Spirit and

Find Your Great Ideas oleh Ibnu Setiawan, (Bandung: Kaifa, 2003), Cet. V, h. 56.

(12)

sempit dengan belajar, menemukan sudut pandang baru, dan perenungan pribadi; (4) menyulut inspirasi dari permainan dan humor, termasuk olah raga; (5) mengembangkan daya pikir dengan membaca kreatif, menjelajahi toko buku dan dunia maya; (6) menggemari kesenian dan memaknai musik dalam jiwa kreatif; (7) menggeluti teknologi; (8) menghadapi tantangan dengan teknik berpikir ampuh; (9) membebaskan alam kesadaran lain dengan memvisualisasikan tantangan kreatif; dan (10) menyatu dengan jiwa kreatif, termasuk di dalam

berdo‘a dan bermeditasi.27

D. Strategi Aplikasi CCTL dalam Pembelajaran Bahasa Arab

Berdasarkan ulasan teoritik tersebut, setidaknya ada 10 strategi atau langkah CCTL yang perlu dipenuhi ketika diaplikasikan dalam pembelajaran bahasa Arab. Kesepuluh syarat dan rukun dimaksud adalah (1) perumusan visi, misi, dan orientasi pembelajaran bahasa Arab; (2) desain rencana dan kontrak pembelajaran bahasa Arab; (3) pendekatan dan strategi pembelajaran kontekstual dan kreatif; (4) penciptaan suasana pembelajaran yang religius, nyaman, menyenangkan, dan partisipatoris; (5) pengembangan sikap positif dan berpikir kreatif; (6) optimalisasi multi-intelegensi dalam proses pembelajaran bahasa Arab; (7) pengembangan minat dan tradisi membaca, meneliti dan menulis dengan bahasa Arab; (8) kontekstualisasi substansi pembelajaran dengan masalah-masalah sosial yang aktual dalam kehidupan siswa/mahasiswa; (9) optimalisasi pendayagunaan media dan teknologi pendidikan, dan (10) penciptaan sistem evaluasi pembelajaran yang kreatif dan efektif.28

Oleh karena itu, pembelajaran kontekstual dan kreatif dapat diorientasikan kepada sebuah visi, misi, dan orientasi pembelajaran itu sendiri, yaitu: misalnya, mendayagunakan bahasa Arab secara optimal dalam pemahaman sumber-sumber ajaran Islam. Dapat juga

dirumuskan: ―Belajar bahasa Arab komunikatif sebagai media untuk pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi.‖ Karenanya, pembelajar yang kreatif akan berpikir: bagaimana memahami dan menguasai bahasa Arab –minimal pasif— dengan baik? Bagaimana bahasa Arab yang sudah dipahami itu dapat diaplikasikan dalam pemahaman literatur keislaman yang berbahasa Arab dan juga menulis karya dalam bahasa Arab? Bagaimana wujud pemahaman itu dapat diaktualisasikan dalam bentuk produk pemikiran? Bagaimana produk pemikiran itu dapat dikembangkan dan dimasyarakatkan? dan seterusnya. Jadi, pembelajaran kontekstual

27

Muhammad Fauzî 'Abd al-Maqshûd, al-Ibdâ' fi al-Tarbiyah al-'Arabiyyah: Mu'awwiqât wa Âliyât al-Muwâjahah, (Kairo: Dâr al-Tsaqâfah, 2004), h.

28 Kesepuluh ―syarat dan rukun‖ tersebut diabstraksikan dari pemaduan model pembelajaran

(13)

dan kreatif menghendaki adanya sense of creativity and making contextuality, kedalaman dan kontekstualitas dalam berpikir dan berkarya, sehingga suatu persoalan dapat dipecahkan secara tuntas dan kreatif.

Strategi aplikasi model CCTL dalam pembelajaran bahasa Arab dapat dilakukan melalui tiga tahap –meminjam teori Tammâm Hassân, yaitu: tahap ta’ârruf (pengenalan), tahap istî’âb (pemahaman), dan istimtâ’ (apresiasi dan penikmatan).29 Pada tahap pertama, pembelajaran bahasa Arab baru merupakan pengenalan unsur-unsur bahasa Arab, seperti: simbol bunyi, morfem, kosa kata, frase, dan struktur dasar bahasa Arab. Pada tahap kedua, pembelajaran bahasa Arab diorientasikan kepada pemahaman terhadap hubungan antara berbagai unsur bahasa Arab, perbedaan penggunaan unsur-unsur itu dalam struktur kalimat, sehingga pembelajar bahasa Arab dapat membedakan berbagai bentuk kalimat. Sedangkan tahap ketiga, pembelajaran bahasa Arab diarahkan untuk bisa mengapresiasi dan menikmati struktur dan sistem bahasa Arab.

Pembelajaran bahasa Arab tidak berada dalam ruang, konteks, dan orientasi yang kering. Bahasa Arab sebagai media komunikasi aktif maupun alat untuk memahami teks perlu ditunjukkan fungsi-fungsinya secara optimal, sehingga nilai dan signifikansi belajara bahasa Arab itu tidak sia-sia belaka. Jadi, pada tahap awal diperlukan upaya-upaya pencitraan dan pemberian kesan positif mengenai belajar bahasa Arab kepada para peserta didik. Pencitraan dan pengesanan positif ini menjadi titik tolak yang dapat menentukan perjalanan pembelajaran bahasa Arab berikut. Pengalaman menunjukkan bahwa sebelum belajar bahasa Arab sebagian besar peserta didik sudah memiliki kesan dan citra kurang positif terhadap bahasa Arab,

sehingga ―sugesti negatif‖ ini menjadi hambatan psikologis awal yang dapat mengurangi motivasi mereka dalam belajar bahasa Arab.30

Pada tahap berikutnya, penguatan motivasi dan orientasi belajar bahasa Arab perlu dilakukan. Pengamatan penulis menunjukkan bahwa para pembelajar bahasa Arab kebanyakan

posisinya seperti ―muallaf miskin‖, bukan ―muallaf kaya‖. Sebagai ―muallaf miskin‖, dalam belajar bahasa Arab ia perlu dibimbing, dikuatkan hati, keimanan, dan kesabarannya. Belajar bahasa Arab perlu dikaitkan dengan kebutuhan dan tuntutan nyata peserta.

Selain itu, model CCTL dapat diaplikasikan dalam bentuk pembelajaran bahasa Arab yang berbasis fungsi dan karakteristik bahasa Arab itu sendiri. Misalnya saja, fungsi bahasa Arab sebagai instrumental function (al-wazhîfah al-naf’iyyah) dan interactional function (

29Tammâm Hassân, al-Tamhîd fî Iktisâb al-Lughah al-Arabiyyah lî Ghair al-Nâthiqîna Bihâ, (Mekkah: Jâmi‘ah Umm al-Qurâ, 1984), h. 7-8.

30Hasil dari berbagai diskusi di lingkungan dosen PBA FITK UIN Jakarta meneguhkan bahwa

(14)

wazhîfah al-tafâ’uliyyah)31 dalam kehidupan sehari-hari siswa/mahasiswa. Dalam hal ini, guru bahasa Arab perlu mendesain materi pembelajarannya, membuat para siswa dapat menggunakan bahasa itu untuk memenuhi kebutuhannya seperti: berkenalan, menanyakan alamat, membeli sesuatu, sehingga proses pembelajaran harus komunikatif. Selain dituntut memiliki kompetensi berbahasa aktif, guru/dosen juga proaktif dalam memfasilitasi dan memotivasi siswa/mahasiswa untuk mau berkomunikasi, menggunakan bahasa Arab secara aktif, betapun masih terjadi kesalahan berbahasa. Dengan kata lain, proses pembelajaran bahasa Arab yang berorientasi komunikatif perlu memperhatikan konteks kebutuhan dan

lingkungan siswa, sehingga dalam diri siswa tumbuh ―komitmen‖ dan ―perasaan memerlukan‖

untuk berkomunikasi dalam bahasa Arab.

Bahasa Arab memiliki banyak karakteristik yang –boleh jadi— tidak dimiliki oleh bahasa lain. Misalnya saja, bahasa Arab itu lughat al-i’râb wa al-isytiqâq (bahasa i’râb dan derivasi)32. Jika guru memiliki visi bahwa pembelajaran bahasa Arab itu tidak identik dengan pembelajaran nahwu, lebih-lebih i’râb, maka bahasa Arab yang diajarkan semestinya tidak sekedar membaca dan mengi’rab. I’râb hanyalah salah satu fenomena kebahasaan yang harus dikaitkan dengan proses pemaknaan struktur kalimat. Jadi, konteks pembelajaran nahwu bukan untuk menjelaskan mawâqi’ i’râb itu sendiri, melainkan untuk memahami dan memaknai struktur kalimat.

Bahasa Arab sebagai bahasa yang sangat kaya derivasi menuntut guru untuk kreatif dalam memperkenalkan bentuk-bentuk dan perubahan kata berikut implikasi semantiknya. Tentu saja, pengenalan tashrîf itu tidak harus melalui hafalan seperti yang dilakukan di beberapa pesantren, tetapi lebih produktif dan konstruktif jika dilakukan melalui intensifikasi

tadrîbat (latihan-latihan), terutama latihan berpola, terstruktur, dan kontekstual (diletakkan dalam konteksnya yang tepat). Misalnya saja, ketika guru/dosen memperkenalkan bentuk

mashdar yang berwazan mufâ’alah dan fi’âl, maka sebaiknya dikenalkan bentuk kata lain yang familiar dan fungsional dalam kalimat yang tepat, misalnya:

1

.

ي او لا با تجاو رماوأا لاثتماب سف لا ةد اجمب نومئاصلا موقي

و

.تاهبشلا

2.

.ةعيشلا د ع ةتسلا ماسإا ناكرأ نم نكر ها ليبس يف داهجلا

ٍSelain itu, strategi lain yang dapat diaplikasikan adalah mendekatkan siswa atau mahasiswa dengan penggunaan bahasa Arab yang riil lengkap dengan konteksnya, tidak

31Setidaknya ada tujuh fungsi utama bahasa, yaitu: instrumental function,regulatory function,

interactional function, personal function, heuristic function (al-wazhîfah al-iktisyâfiyyah),

imafinative function, dan representational function (al-wazhîfah al-bayâniyyah). Lihat Rusydî Ahmad

Thu‘aimah, Ta’lîm al-Lughah al-‘Arabiyyah lî Ghair al-Nâthiqîna bihâ: Manâhijuhû wa Asâlîbuhû,

(Rabâth: Isisco, 1989), h. 119-120.

(15)

berupa realitas bahasa Arab buatan. Hal ini dimaksudkan agar siswa/mahasiswa langsung dapat memahami penggunaan bahasa Arab itu sebagaimana mestinya dan sekaligus dapat mengetahui konteksnya. Sebagai contoh ketika mengajarkan ungkapan-ungkapan tertentu dalam menulis (insyâ’), guru perlu langsung merujuk kepada apa yang familiar digunakan oleh orang Arab. Dalam hal ini, koran, majalah, dan buku-buku bahasa Arab standar (fushhâ) dapat dijadikan sebagai sumber dan media pembelajaran. Misalnya saja, tenaga pendidik (guru/dosen) membelajarkan informasi (dan istilah) tentang keadaan cuaca, maka gambar berikut dapat langsung menjadi sumber belajar yang kontekstual:

CCTL dalam proses pembelajaran juga menghendaki adanya proses dan produk belajar yang baik dan berguna bagi semua, baik dalam bentuk kompetensi berbahasa Arab aktif maupun karya-karya mulai dari ―kamus mini‖, kumpulan ungkapan, surat-surat dalam bahasa Arab, dan sebagainya. Karena itu, porsi praktik dan latihan dalam proses pembelajaran bahasa Arab harus lebih ditingkatkan. Latihan yang dikembangkan juga sebaiknya variatif dan

mengandung unsur ―games‖ atau al’âb lughawiyyah. Desain latihan, media, dan games ini masih menjadi tantangan dan PR bagi kita semua.

Selain itu, sejak dini tenaga pendidik harus mulai mengasah kepekaannya terhadap masalah-masalah yang dihadapi peserta didik dalam mempelajari bahasa Arab.33 Penentuan masalah sebagai basis proses pembelajaran bahasa Arab, misalnya adanya kesulitan membedakan antara jumlah fi’liyyah dan jumlah ismiyyah yang khabarnya berupa fi’l, perlu mendapat perhatian tersendiri dari tenaga pendidik dalam mengaplikasikan CCTL. Jika tenaga pendidik dapat mengetahui akar masalahnya, misalnya mubtada’ (subyek) yang berupa jamak khabar yang berupa fi’l itu harus jamak, sementara pada jumlah fi’liyyah tidak jamak, maka yang diperlukan adalah tadrîbât penggunaan dua jenis kalimat itu secara bergradasi, sambil memperkenalkan kaedahnya secara sederhana. Yang lebih penting dari itu adalah bagaimana

33Lihat Tammâm Hassân, Maqâlât fi al-Lughah wa al-Adab, Jilid I, (Kairo: ‗Âlam al-Kutub,

(16)

pada akhirnya peserta didik memiliki kompetensi: kapan harus menggunakan jumlah fi’liyyah dan jumlah ismiyyah dalam konteks yang tepat. Karena itu, contoh-contoh yang diberikan dalam memperjelas penggunaan kedua kalimat itu diambilkan langsung dari koran atau majalah berbahasa Arab dari Timur Tengah.

E. Faktor-Faktor Aplikasi CCTL

Keberhasilan atau ketidakberhasilan aplikasi CCTL dalam pembelajaran bahasa Arab ditentukan oleh banyak faktor, baik internal maupun eksternal, linguistik maupun non-linguistik, edukatif maupun non-edukatif. Setidak-tidaknya ada 7 faktor, yaitu:

1. Tenaga pendidik atau guru (filosofi, kompetensi, dan wawasannya di bidang bahasa Arab, profesionalisme, dedikasi, etos kerja, dan etos keilmuannya dalam mengembangkan pembelajaran bahasa Arab). Tenaga pendidik bahasa Arab yang

profesional senantiasa bertanya kepada dirinya sendiri, misalnya: ―Kompetensi bahasa

Arab apa yang harus dicapai oleh peserta didik; materi apa yang relevan dan menarik untuk pencapaian tujuan tersebut; metode dan media apakah yang diasumsikan relevan dan efektif untuk pencapaian tujuan tersebut; dan bagaimana menciptakan kelas

belajar yang kontektual dan menyenangkan?‖

2. Peserta didik atau siswa (minat, motivasi, kesan, dan persepsinya tentang bahasa Arab, keluarga, dan kecerdasannya dalam belajar bahasa Arab). Siapapun peserta didik yang menjadi mitra belajar tenaga pendidik pasti memiliki potensi atau kemampuan (rendah, sedang atau tinggi). Yang terpenting untuk ditumbuhkan adalah minat, rasa butuh, dan semangat untuk mau mempelajari dan memahami bahasa Arab sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.

3. Lembaga pendidikan (visi, misi, orientasi, dan atensinya dalam pemajuan pembelajran bahasa Arab, kurikulum, media, fasilitas, sarana dan prasarana pendukung, dsb.). Lembaga pendidikan (madrasah, sekolah, perguruan tinggi, pesantren, dan sebagainya) memainkan peran penting dalam penciptaan suasana belajar yang kondusif. Idealnya pengelola lembaga pendidikan memiliki komitmen yang kuat untuk memahirkan peserta didiknya dalam berbahasa Arab atau bahasa asing lainnya,

sehingga ―jerih payah‖ tenaga pendidik dalam kelas mendapat dukungan institusional.

(17)

didik. Demikian pula, setiap peserta didik didorong untuk bermitra dengan temannya dalam mempraktikkan bahasa Arab.34

5. Politik (kebijakan, perhatian, dukungan pemerintah terhadap pengembangan bahasa Arab, termasuk juga dukungan negara-negara Timur Tengah). Diakui bahwa dukungan moral, finansial, dan kultural dari negara-negara Timur Tengah terhadap pengembangan pembelajaran bahasa Arab di Indonesia masih sangat minim. Hal ini berbeda dengan negara-negara Barat yang banyak memberi dukungan berbagai macam dalam rangka memahirkan warga bangsa Indonesia untuk berbahasa Inggris misalnya. Kesempatan untuk studi ke Barat seperti ke Amerika Serikat, Kanada, Australia, Inggris sungguh lebih terbuka, dibandingkan misalnya ke Saudi Arabia, Mesir, Syria, dan sebagainya.

6. Linguistik (penelitian bahasa Arab, sistem bahasa Arab, kamus-kamus, buku-buku bahasa Arab, dan sebagainya). Beberapa pusat studi tentang bahasa Arab dan Timur tengah belakangan ini memang sudah mulai didirikan, tetapi dalam banyak hal masih mengalami kesulitan mencari mitra dan founding, terutama dari negara-negara Timur Tengah. Dunia Arab tampaknya lebih senang memberi donasi untuk kepentingan

―pembangunan fisik‖ seperti membangun masjid, pesantren, dan madrasah daripada

pengembangan sumber daya manusia. Karena itu, diperlukan adanya upaya diplomasi akademik dan kultural yang lebih baik lagi di masa depan sehingga perkembangan penelitian bahasa dan sastra Arab di Indonesia lebih bergairah, penerbitan buku-buku (ilmiah maupun pelajaran/daras) semakin semarak, dan sebagainya.

7. Budaya (sikap, pola pikir, sistem nilai, perilaku, dan realitas kultural yang mengitari dan mengepung kehidupan kita). Budaya masyarakat kita dewasa ini cenderung kurang mendukung CCTL. Minat baca di kalangan siswa maupun mahasiswa pada

umumnya rendah. Budaya ―santai, senang-senang, main-main‖ lebih dominan

daripada budaya ―disiplin belajar, disiplin waktu, disiplin beribadah, disiplin

berkarya‖, dan seterusnya. Mereka lebih menghendaki ―serba instan‖, tidak mau kerja

keras dan cerdas. Hal ini harus diatasi dengan penerapan disiplin yang tinggi, pemberian rewards and punishments yang mendidik supaya mereka betul-betul mau belajar dan meningkatkan kapasitas intelektual mereka, terutama dalam berbahasa Arab. Budaya ―menonton‖ yang sudah digemari oleh peserta didik dapat dialihkan ke arah ―tontonan‖ yang bernuansa kebahasaaraban, baik diakses dari internet, parabola

atau CD-CD pembelajaran bahasa Arab lainnya.

34 Mengenai model pengembangan lingkungan berbahasa Arab, lihat Muhbib Abdul Wahab, ―Revitalisasi Penciptaan Bi‘ah Lughawiyyah dalam Pengembangan Keterampilan Bahasa Arab‖,

dalam Jurnal Didaktika Islamika, Vol. VI, No. 2, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN jakarta,

(18)

F. Penutup

Pembelajaran bahasa Arab di Indonesia sudah berlangsung lama, seiring dengan masuknya Islam di Indonesia. Akan tetapi, hingga saat ini, dirasakan oleh banyak pihak bahwa pembelajaran bahasa Arab masih memperihatinkan, belum menggembirakan. Buktinya tidak semua siswa/mahasiswa Muslim meminati belajar bahasa Arab. Yang berminat belajar bahasa Arab di PBA FITK, BSA Fakultas Adab dan Humaniora, dan sebagainya masih merasakan atau berkesan bahwa bahasa Arab itu sulit dan tidak menarik. Problem pencitraan ini perlu dicarikan solusinya secara lebih dini.

Salah satu solusi yang ditawarkan adalah aplikasi pendekatan CCTL dalam pembelajaran bahasa Arab. Guru bahasa Arab bukan sekedar mentransfer pengetahuannya tentang bahasa Arab kepada siswa, melainkan harus memiliki visi, misi, dan orientasi yang jelas dalam membelajarkan bahasa Arab. Kontekstualisasi bahan ajar, pendekatan dalam pembelajaran, dan latihan-latihan bahasa Arab mutlak harus dilakukan. Demikian pula, penumbuhan kreativitas dalam pembelajaran dengan memanfaatkan media dan teknologi pendidikan juga sangat dibutuhkan. CCTL menghendaki guru yang mengajar itu memiliki kompetensi dan profesionalitas tinggi, semangat dan etos keilmuan yang dinamis, dan kreativitas dalam mengembangkan kurikulum, bahan ajar, metode, media, dan model evaluasi bahasa Arab yang efektif.

Kata kunci keberhasilan aplikasi CCTL terletak pada tenaga pendidik atau guru yang mampu mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya, sumber belajar, dan sumber-sumber lainnya dalam dinamisasi proses pembelajaran. Kemitraan, kerjasama, dan dukungan semua pihak, tentu, menjadi penentu segalanya, karena bahasa Arab yang diajarkan di lembaga

pendidikan kita itu masih ―asing‖, atau sekurang-kurangnya selalu diposisikan sebagai ―bahasa

asing‖, bukan bahasa kedua atau bahasa pendidikan.

(19)

Daftar Pustaka

'Abd al-Maqshûd, Muhammad Fauzî. 2004. al-Ibdâ' fi al-Tarbiyah al-'Arabiyyah: Mu'awwiqât wa Âliyât al-Muwâjahah, Kairo: Dâr al-Tsaqâfah.

Abdul Wahab, Muhbib. 2005. ―Revitalisasi Penciptaan Bi‘ah Lughawiyyah dalam Pengembangan Keterampilan Bahasa Arab‖, dalam Jurnal Didaktika Islamika,

Vol. VI, No. 2, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN jakarta, Desember 2005.

Ayan, Jordan E. 2003. Bengkel Kreativitas, Terj. dari 10 Ways to Free Your Creative Spirit and Find Your Great Ideas oleh Ibnu Setiawan. Bandung: Kaifa.

Chang, Ernest & Don Simpson. 1997. ―The Circle of Learning: Individual and Group of Process”, dalam Educatioan Policy Analysis, Volume 5 Number 7.

DePotter, Bobbi dan Mike Hernacki. 1999. Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, Terj. Alawiyah Abdurrahman dari

Quantum Learning Unleasing the Genius in You”. Bandung: Kaifa.

Djamarah, Saeful Bahri dan Aswan Zain. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Gagne, Robert M. 1989. Condition of Learning. New York: Holt Rinehart and Winson.

Goleman, Daniel. 2005. The Creative Spirit: Nyalakan Jiwa Kreatifmu di Sekolah, Tempat Kerja, dan Komunitas, Terj. dari The Creative Spirit oleh Yuliani Liputo, Bandung: MLC.

Halih, Ahmad Zakî. 1988. ‘Ilm al-Nafs al-Tarbawî. Kairo: Maktabah Nahdhah al-Mishriyyah.

Harefa, Andreas. Pembelajaran di Era Serba Otonomi. Jakarta: Harian Kompas. Cet. I. Hassân, Tammâm. 1984. Tamhîd fî Iktisâb Lughah Arabiyyah lî Ghair

al-Nâthiqîna Bihâ,Mekkah: Jâmi‘ah Umm al-Qura.

Hassân, Tammâm. 2006. Maqâlât fi al-Lughah wa al-Adab,Jilid I. Kairo: ‗Âlam al -Kutub.

Johnson, Elaine B. 2002. Contextual Teaching and Learning: What It is and Why It’s

Here to Stay. Thousand Oaks: Corwin Press, Inc.

Lie, Anita. 2002. Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Grasindo.

Ma‘rûf, Nâyif Mahmûd. 1998. Khashâ’ish al-‘Arabiyyah wa Tharâ’iq Tadrîsihâ,

Beirut: Dâr al-Nafâ‘is.

Nurhadi. 2002. Pendekatan Kontekstual, Malang: Universitas Negeri Malang, 2002. Puskur Balitbang Depdiknas. 2002. Ringkasan Kegiatan Belajar Mengajar. Jakarta: Balitbang

Depdiknas.

Rose, Colin dan Malcolm J. Nicholl. 2002. Accelerated Learning for The 21st Century, (Cara Belajar Cepat Abad XXI), Terjemahan Dedy Ahimsa. Bandung: Nuansa, Cet. II.

Shaleh, Abdul Rahman. 2005. Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa, Jakarta: Rajawali Pers, 2005.

Silberman, M. 1996. Active Learning: 101 Strategies to Teach Any Subjects. Massachusetts: A Simon & Schuster Company.

Surya, Mohammad. 2002. "Tantangan Pembelajaran di Era Millineum", dalam Jurnal Didaktika Islamika, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta, No. 9, Oktober 2002.

(20)

Thu‘aimah, Rusydî Ahmad. 1989. Ta’lîm al-Lughah al-‘Arabiyyah lî Ghair al-Nâthiqîna bihâ: Manâhijuhû wa Asâlibuhû, Rabâth: Isisco.

Al-‗Ushailî, ‗Abd al-‗Azîz ibn Ibrâhîm. 1999. Nazhariyyât Lughawiyyah wa

al-Nafsiyyah wa Ta’lîm al-Lughah al-‘Arabiyyah. Riyâdh: Maktabah al-Malik Fahd al-Wathaniyyah.

Zaini, Hisyam, dkk. 2002. Strategi Pembelajaran Aktif di Perguruan Tinggi,

Referensi

Dokumen terkait

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data jam kerja pemboran jalur kawat, jam kerja pemboran lubang baji, jam kerja penggergajian, efisiensi perobohan, waktu edar alat,

Setelah Pengamatan: Tanggapan Penilai terhadap dokumen dan/atau keterangan guru. Tindak lanjut

Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan jumlah barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu daerah atau Negara dalam periode tertentu, kenaikan produksi ini bisa

Untuk membuka ( decrypt ) data tersebut digunakan juga sebuah kunci yang dapat sama dengan kunci untuk mengenkripsi (untuk kasus private key.. cryptography ) atau dengan kunci

Untuk meraih gelar sarjana S1, Dianing menulis skripsi dengan judul Gaya Hidup Posmodern Tokoh- Tokoh Dalam Novel Mata Matahari Karya Ana Maryam Sebuah Tinjauan

atau muatan listrik yang terjadi di antara kutub positif dan kutub negatif sumber listrik “, misalnya : Accumulator atau AKI. “ Arus listrik adalah besarnya muatan listrik

This chapter and Chapter 5 describe the process involved in this fi rst box under the headings ‘The customer and market audit’ and ‘The product audit’, both being integral to

Pra survey pendahuluan yang peneliti lakukan di SMA Negeri 2 Kupang diperoleh data bahwa pernah ada pendidikan tentang kesehatan reproduksi,tetapi masih terjadi perilaku yang