• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Kelembagaan dan Dampak Penerapan Otonomi Daerah terhadap Kinerja Industri Gula di Kabupaten Pasuruan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Kelembagaan dan Dampak Penerapan Otonomi Daerah terhadap Kinerja Industri Gula di Kabupaten Pasuruan"

Copied!
270
0
0

Teks penuh

(1)

I NDUSTRI GULA DI KABUPATEN PASURUAN

FAHRI YAH

SEKOLAH PASCASARJANA

I NSTI TUT PERTANI AN BOGOR

(2)

I NDUSTRI GULA DI KABUPATEN PASURUAN

FAHRI YAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi I lmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

I NSTI TUT PERTANI AN B OGOR

(3)

©

Hak cipta milik Fahriyah, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul:

KAJI AN KELEMBAGAAN DAN DAMPAK PENERAPAN OTONOMI DAERAH TERHADAP KI NERJA I NDUSTRI GULA DI KABUPATEN PASURUAN

adalah kar ya saya sendiri dengan bimbingan komisi pembimbing, kecuali dengan

jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh

gelar pada program sejenis dari Perguruan Tinggi lain. Semua sumber data dan

informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa

kebenarannya

Bogor, Juli 2006

Fahriyah

(5)

FAHRI YAH. Kajian Kelembagaan dan Dampak Penerapan Otonomi Daerah terhadap Kinerja I ndustri Gula Di Kabupaten Pasuruan (HERMANTO SI REGAR

sebagai Ket uadan RI NA OKTAVI ANI sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Tujuan penelitian ini adalah: (1) menelaah pelaksanaan otonomi daerah menurut UU No 22/ 1999 dan UU No 25/ 1999 di Kabupaten Pasuruan dari sudut pandang kelembagaan, (2 ) mengkaji perubahan hubungan (fungsional dan koordinasi) antar lembaga yang membawahi industri gula, (3) menganalisis struktur perekonomian Kabupaten Pasuruan sebelum penerapan otonomi daerah termasuk peranan industri gula dalam perekonomian daerah, dan (4) menganalisis dampak penerapan otonomi daerah terhadap nilai produksi, nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja pada industri gula di Kabupaten Pasuruan .

Tujuan yang pertama dan kedua ditelaah dengan menggunakan analisis deskriptif dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah otonomi daerah, sedangkan tujuan ketiga dan keempat dianalisis dengan menggunakan Tabel IO Kabupaten Pasuruan. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer GRI MP versi 7.02.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah: (1) secara empiris kebijakan otonomi daerah jika diperbandingkan dengan isi UU No 22/ 1999 dan UU No 25/ 1999 belum sepenuhnya diterapkan secara konsisten, (2) dari sisi penerimaan, Pemda Kabupaten Pasuruan masih mengandalkan sumber eksternal dibandingkan dengan sumber internaln y a, sedangkan dari sisi pengeluaran, proporsi alokasi anggaran untuk pengeluaran pembangunan mengalami peningkatan dari 20.31% menjadi 38.08% , (3) perubahan kelembagaan industri gula di Kabupaten Pasuruan lebih dipengaruhi oleh pemberlakuan I npres No.5/1998, dimana pelaku pengembangan tebu rakyat saat ini dilakukan oleh petani dan PG Kedawung sedangkan Dinas Kehutanan dan Perkebunan hanya berfungsi sebagai fasilitator dan mediator walaupun secara fungsional dinas ini bertanggungjawab atas pelaksanaan program pengembangan tebu rakyat, (4) industri gula di Kabupaten Pasuruan belum dapat digolongkan sebagai sektor yang dominan dalam perekonomian daerah jika dilihat dari kontribusinya terhadap total nilai output domestik, total nilai tambah dan total tenaga kerja , ( 5) analisis keterkaitan dan analisis pengganda (multiplier) menunjukkan bahwa pengembangan industri gula sangat penting bagi kelangsungan dan pertumbuhan perkebunan tebu di Kabupaten Pasuruan, dan (6) dampak otonomi daerah terhadap kinerja industri gula yang diukur dari peningkatan produksi, nilai tambah bruto dan penciptaan kesempatan kerja menunjukkan bahwa kinerja industri gula terbaik akan tercipta jika otonomi daerah (perubahan alokasi APBD) diikuti oleh peningkatan investasi swasta dan ekspor, karena dapat menghasilkan peningkatan output, NTB dan peciptaan lapangan kerja yang relatif besar, yakni 12.45 persen .

(6)

Nama Mahasiswa : Fahriyah

NRP : A545010221

Program Studi : I lmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui,

1 . Komisi Pembimbing

Dr. I r. Hermanto Siregar, MEc. Dr. I r. Rina Oktaviani, MS.

Ket ua Anggota

Mengetahui,

2 . Ketua Program Studi 3 . Dekan Sekolah Pascasarjana I lmu Ekonomi Pertanian

Prof. Dr. I r. Bonar M. Sinaga, MA. Dr. I r. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

(7)

Penulis dilahirkan di Pasuruan Jawa Timur pada tanggal 14 Juni 1978,

dari Ayahanda Muktasim Billah Karimy dan I bunda Sirin. Penulis merupakan putri

pertama dari lima bersaudara.

Setelah menyelesaikan sekolah menengah atas di SMA Negeri Bangil

Pasuruan pada tahun 1996, penulis melanjutkan pendidikan Sarjana di Jurusan

Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya dan lulus

pada tahun 2000. Pada tahun 2001 penulis melanjutkan pendidikan Program

Magister, Sekolah Pascasarjana I nstitut Pertanian Bogor pada Program Studi I lmu

(8)

Puji Syukur yang mendalam penulis panjatkan pada Allah SWT atas

limpahan rahmat dan karunia -Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penulisan tesis dengan judul “Kajian Kelembagaan dan Dampak Penerapan

Otonomi Daerah terhadap Kinerja I ndustri Gula Di Kabupaten Pasuruan” sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi

I lmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana I nstitut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. I r. Hermanto

Siregar, MEc selaku Ketua Komisi Pembimbing dan I bu Dr. I r. Rina Oktaviani, MS

selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan

bimbingan dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih penulis sampaikan juga

kepada Prof. Dr. I r. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Program Studi I lmu

Ekonomi Pertanian dan dosen penguji luar komisi yang telah memberikan banyak

saran untuk perbaikan tesis ini.

Selama penyusunan tesis ini, penulis ban yak memperoleh bantuan dari

Bapak Margo Yuwono dan Ibu Indah , khususnya dalam pengumpulan data dan

penyusunan Tabel I O Kabupaten Pasuruan. Terima kasih tidak terhingga untuk

Bapak Margo Yuwono atas bantuan dan kesediannya meluangkan waktu untuk

mengajarkan kepada penulis tentang analisis input-output. Terima kasih juga

penulis sampaikan kepada Bapak Agus Purwoto dan Bapak Usman Mukarrom.

Terima kasih terbanyak penulis sampaikan kepada abi dan mama atas

doa, motivasi dan dukungan yang tak habis-habisnya. Kesabaran dan pengertian

mereka selam a ini adalah hutang budi yang tidak akan pernah terbayarkan .

(9)

( I zuddin Karimy alm., Usman Karimy, Sa’dullah Karimy, Rohima Karimy, M.

Ridho , Hasan alm., Husin dan Hamidah Karimy) atas segala doa dan

dukungannya, baik moril maupun materiil.

Terakhir, penulis sampaikan terima kasih kepada para sahabat (Dian,

Lusi, Tanti, Basith, Rizal, Didin, Yanuar), teman -teman EPN 2001 (Besse,

Yuliarmi, Erna, Yati, I ndra, Dafina, Joel dkk) dan untuk teman -teman kost putri

H. Subagja (Neni, Nicken, Nisa, Bu Kendah, Yati, Diana dan Rafli, Dini, Niken,

Asri, Mba I ta) atas dukungan, motivasi dan persahabatan kalian. Semoga Allah

SWT memberikan balasan yang lebih baik kepada mereka semua.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan dan

kelemahan, namun penulis berharap tesis ini mampu memberikan manfaat bagi

semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Juli 2006

(10)

i

DAFTAR TABEL... iv

DAFTAR GAMBAR... v ii DAFTAR LAMPI RAN... viii

I . PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 10

1.3. Tujuan Penelitian ... 14

1.4. Kegunaan Penelitian ... 14

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 15

I I . TI NJAUAN PUSTAKA... 17

2.1. Tinjauan Teoritis... 17

2.1.1. Teori Desentralisasi... 17

2.1.2. Teori Kelembagaan dan Kebijakan Desentralisasi... 23

2.1.3. Tab el dan Analisis I nput-Output... 27

2.2. Ketentuan Pokok Penyelenggaraan Pemerintahan Daer ah Menurut UndUndang No. 22 Tahun 1999 dan Und ang-Undang No. 25 Tahun 1999 ... 37

2 .3. Tinjauan Studi Terdahulu ... 43

2.3.1. Studi Desentralisasi di I ndonesia... 43

2.3.2. Pengalaman Desen tralisasi di Berbagai Negara ... 45

I I I . KERANGKA PENDEKATAN STUDI DAN HI POTESI S... 55

3 .1. Kerangka Pendekatan Studi ... 55

3.2. Hipotesis ... 61

I V. METODE PENELI TI AN... 64

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 64

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 64

4.3. Metode Analisis ... 65

4.3.1. Analisis Deskriptif ... 65

(11)

ii

5.2. Kondisi Fisik Wilayah ... 77

5.2.1. Ketinggian Tempat ... 77

5.2.2. Kemampuan Tanah ... 79

5.2.3. Kondisi I klim ... 81

5.2.4. Kondisi Hid rologi... 83

5.3. Kondisi Demografi dan Ketenagakerjaan ... 83

5.3.1. Kondisi Demografi... 83

5.3.2. Ketenagakerjaan ... 85

5.4. Kondisi Perekonomian Wilayah ... 86

5.4.1. Pertumbuhan Ekonomi... 88

5.4.2. Struktur Ekonomi ... 89

5.5. Kondisi I ndustr i Gula di Kabupaten Pasuruan... 91

VI . DESKRI PSI KELEMBAGAAN... 97

6.1. Kelembagaan Pemerintahan Daerah ... 97

6.2 . Keuangan Daerah ... 103

6 .2 .1. Pener imaan dan Pengeluaran Daerah ... 103

6.2 .2. Kinerja Keuangan Daerah ... 112

6.3 . Kelembagaan I ndustri Gula... 114

VI I . KONDI SI PEREKONOMI AN KABUPATEN PASURUAN SEBELUM PENERAPAN OTONOMI DAERAH... 119

7.1. Struktur Perekonomian Kabupaten Pasuruan ... 119

7.1.1. Struktur Permintaan dan Penawaran ... 119

7.1.2. Struktur Permintaan Akhir ... 120

7.1.3. Struktur Output Sektoral... 124

7.1.4. Struktur Nilai Tambah Bruto ... 126

7.1.5. Struktur Ekspor-Impor ... 129

7.1.6. Struktur Ketenagakerjaan ... 134

7.2. Peranan I ndustri Gula dalam Perekonomian Daerah ... 142

7.2.1. Keterkaitan I ndustri Gula... 142

7.2.2. Peningkatan Produksi... 147

(12)

iii

VI I I . DAMPAK OTONOMI DAERAH... 172

8.1. Dampak Perubahan APBD Kabupaten Pasuruan... 172

8.2. Dampak Perubahan APBD dan I nvestasi Swasta ... 176

8.3. Dampak Perubahan APBD, I nvestasi Swasta dan Ekspor... 186

8.4. Sintesis Hasil Penelitian ... 189

IX. KESI MPULAN DAN SARAN... 198

9 .1. Kesimpulan ... 198

9 .2. I mplikasi Kebijakan ... 202

9 .3. Saran Untuk Penelitian Lanjutan ... 203

DAFTAR PUSTAKA... 204

(13)

iv

Nomor Halaman

1 . PDRB Kabup aten Pasuruan Atas Dasar Harga Harga Berlaku,

Tahun 2000-2003 ... 5

2 . Distribusi Persentase PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Pasuruan, Tahun 1999-2003 ... 6

3 . Pertumbuhan PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Pasuruan, Tahun 1999-2003... 6

4 . Luas Areal, Produksi dan Jumlah Petani Tanaman Perkebunan Kabupaten Pasuruan, Tahun 2003... 8

5 . Tabel Transaksi I nput-Output Tiga Sektor... 28

6 . Pembagian Fungsi dan Kewenangan Antar Tingkat Pemerintahan Berdasarkan Undang -Undang No. 22 Tahun 1999 ... 40

7 . Rumus Pengganda Output, Pendapatan dan Tenaga Kerja ... 71

8 . Distribusi Luas Wilayah Masing-Masing Kecamat an di Kabupaten Pasuruan ... 78

9 . Luas Daerah Berdasarkan Ketinggian Tempat ... 78

10 . Luas Daerah Berdasarkan Kedalaman Efektif Tanah ... 80

11 . Luas Daerah Berdasarkan Tekstur Tanah ... 80

12 . Luas Daerah Berdasarkan Drainase Tanah ... 80

13 . Luas Daerah Berdasarkan Erosi... 81

14 . Jenis dan Karakteristik Tanah Kabupaten Pasuruan ... 82

15 . Penduduk Kabupaten Pasuruan Usia 10 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut Lapangan Usaha Utama ... 86

16 . Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Pasuruan dan Distribusi Sektoral Tahun 2004 Atas Dasar Harga Konstan 1993 .... 87

17 . Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Pasuruan Tahun 1998-2004 ... 89

18 . Distribusi PDRB Kabupaten Pasuruan Atas Dasar Harga Berlaku, Tahun 1999-2004 ... 90

19 . Luas Areal dan Produksi Perkebunan Tebu Rakyat Kabupat en Pasuruan, Tahun 1993 -2004 ... 92

20 . Luas Areal, Produksi Tebu, Kristal Gula dan Tingkat Rendemen di PG. Kedawung, Tahun Giling 1998/ 1999 -2002/ 2003 ... 93

21 . Nilai Produksi dan Penyerapan Tenaga Kerja I ndustri Gula di Kabupat en Pasuruan, Tahun 1999-2003 ... 94

(14)

v

Pasuruan Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah ... 106 25 . Proporsi Bagi Hasil Beberapa Komponen Penerimaan Pemerintah

Sebelum dan Sesudah Penerapan UU No. 25 Tahun 1999 ... 108 26 . Komposisi Pengeluaran Rutin Daerah Kabupaten Pasuruan

Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah ... 109 27 . Pertu mbuhan Pengeluaran Rutin Daerah Kabupaten Pasuruan

Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah ... 109 28 . Komposisi Pengeluaran Pembangunan Daerah Kabupaten

Pasuruan Sebelu m dan Sesudah Otonomi Daerah ... 110 29 . Pertumbuhan Pengeluaran Pembangunan Daerah Kabupaten

Pasuruan Sebelu m dan Sesudah Otonomi Daerah ... 111 30 . Rasio Penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten Pasuruan

Terhadap Pengeluaran Rutin dan Pengeluaran Total Pada Periode Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah ... 112 31 . Rasio Pengeluaran Pemerintah Daerah Terhadap PDRB di

Kabupaten Pasuruan, Tahun 1998-2003 ... 113 32. Struktur Permintaan dan Penawaran Sektoral di Kab upaten

Pasuruan, Tahun 2000 ... 121 33. Komposisi Permintaan Akhir Kabupaten Pasuruan, Tahun 2000... 123 34. Persentase Nilai Output Domestik Kabupaten Pasuruan, Tahun

2000 (Agregasi 10 Sektor) ... 125 35 . Komposisi Nilai Tambah Bruto Menurut Komponennya, Tahun

2000... 127 36. Persentase Nilai Tambah Bruto Kabupaten Pasuruan, Tahun 2000

(Agregasi 10 Sektor)... 128 37. Persentase Nilai Ekspor, I mpor dan Neraca Perdagangan

Kabupaten Pasuruan, Tahun 2000 (Agregasi 10 Sektor) ... 133 38. Jumlah Tenaga Kerja, Produktivitas dan Nilai Upah Sektoral di

Kabupaten Pasuruan ... 135 39. Persentase Jumlah Tenaga Kerja, Total Upah, rangking

Produktivitas dan Rasio Upah sektoral d i Kabupaten Pasuruan, Tahun 2000... 136 40. Persentase Jumlah Tenaga Kerja Kabupaten Pasuruan, Tahu n

2000 (Agregasi 10 Sektor) ... 137 41. Koefisien Tenaga Kerja Sektoral Kab upaten Pasuruan, Tahun 2000 139 42. Koefisien Tenaga Kerja Kabupaten Pasuruan, Tahun 2000

(15)

v i

Seluruh Sektor Dalam Perekonomian Kabupaten Pasuruan, Tahun 2000... 146 45. Peranan Permintaan Akhir I ndustri Gula Dalam Peningkatan

Produksi Dirinci Menurut Sektor, Tahun 2000 ... 149 46. Peranan Permintaan Akhir I ndustri Gula Dalam Penciptaan Nilai

Tambah Bruto Dirinci Menurut Sektor, Tahun 2000 ... 150 47. Peranan Permintaan Akhir I ndustri Gula Dalam Penciptaan

Kesempat an Kerja Dirinci Menurut Sektor, Tahun 2000... 152 48. Pengganda Output Masing-Masing Sektor Di Kabupaten Pasuruan,

Tahun 2000... 160 49. Pengganda Output Sektor I ndustri Gula Di Kabupaten Pasuruan,

Tahun 2000... 162 50. Pengganda Pendapatan Masing-Masing Sektor Di Kabupaten

Pasuruan, Tahun 2000 ... 164 51. Pengganda Pendapatan Sektor I ndustri Gula Di Kabupaten

Pasuruan, Tahun 2000 ... 166 52. Pengganda Tenaga Kerja Masing -Masing Sektor Di Kabupat en

Pasuruan, Tahun 2000 ... 168 53. Pengganda Tenaga Kerja Sektor I ndustri Gula Di Kabupaten

Pasuruan, Tahun 2000 ... 170 54 . Dampak Perubahan APBD Kabupaten Pasuruan Terhadap Output

Sektoral... 177 55 . Dampak Perubahan APBD Kabupaten Pasuruan Terhadap NTB

Sektoral... 178 56 . Dampak Perubahan APBD Kabupaten Pasuruan Terhadap

Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral ... 179 57 . Dampak Perubahan APBD dan I nvestasi Swasta Terhadap Output

Sektoral... 183 58 . Dampak Perubahan APBD dan I nvestasi Swasta Terhadap NTB

Sektoral... 184 59 . Dampak Perubahan APBD dan I nvestasi Swasta Terhadap

Penyerapan Tenaga Kerja Sektoral... 185 60 . Dampak Perubahan APBD, I nvestasi Swasta dan Ekspor Terhadap

Output Sektoral ... 190 61 . Dampak Perubahan APBD, I nvestasi Swasta dan Ekspor Terhadap

NTB Sekto ral... 191 62 . Dampak Perubahan APBD, I nvestasi Swasta dan Ekspor Terhadap

(16)

vii

Nomor Halaman

1 . Kerangka Dasar Pemerintahan Menurut UU No. 22 Tahun 1999 ... 38

2 . Diagram Alur Kerangka Pendekatan Studi... 62

3 . Kedudukan Perangkat Daerah Menurut UU No.5 Tahun 1974 ... 100

(17)

v iii

Nomor Halaman

1 . Klasifikasi Sektor Tabel I-O Kabupaten Pasuruan Tahun 2000 ... 210 2 . Keterangan Sektor... 212 3 . Ket erangan Asal Data yang Digunakan Untuk Analisa Dampak

Otonomi Daerah ... 213 4 . Susunan Organisasi Pemerintah Daerah Kabupaten Pasuruan,

Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah ... 214 5 . Realisasi Penerimaan Daerah Kabupaten Pasuruan Sebelum dan

Sesudah Otonomi Daerah ... 216 6 . Realisasi Pengeluaran Pemerintah Daerah Kabupaten Pasuruan

Sebelum dan Sesudah Otonomi Daerah ... 218 7 . Tabel I nput-Output Kabupaten Pasuruan Tahun 2000 Transaksi

Total Atas Dasar Har ga Produsen, (40x40 Sektor) ... 220 8 . Tabel I nput-Output Kabupaten Pasuruan Tahun 2000 Transaksi

Domestik Atas Dasar Har ga Produsen, (40x40 Sektor)... 229 9 . Permintaan Akhir Kabupaten Pasuruan Tahun 2000 Dirinci Menurut

Komponen dan Sektor ... 238 10. Nilai Output Domestik Sektoral Kabupaten Pasuruan, Tahun 2000 . 240 11. Nilai Tambah Bruto Sektoral Kab upaten Pasuruan, Tahun 2000 ... 241 12. Nilai Ekspor, I mpor dan Neraca Perdagangan Sektoral Kabupaten

Pasuruan, Tahun 2000 ... 242 13. Pengeluaran (Konsumsi) Pemerintah Daerah Kabupaten Pasuruan,

Dirinci Menurut Sektor... 243 14. Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) Pemerintah Daerah

Kabupaten Pasuruan, Dirinci Menurut Sektor ... 244 15. Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) Swasta d i Kabupaten

Pasuruan, Dirinci Menurut Sektor... 245 16. Perbandingan Nilai Ekspor Di Kabupaten Pasuruan Sebelum dan

Sesudah Otonomi Daerah, Dirinci Menurut Sektor ... 246 17. Kontribusi Komponen Permintaan Akhir Terhadap Total Permintaan

(18)

1.1. Latar Belakang

Gerakan reformasi yang menurunkan Pemerintah Orde Baru pada bulan

Mei 1998 telah mendorong timbulnya perubahan aspirasi rakyat untuk menuntut

perbaikan dalam berbagai bidang kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Salah

satu diantara tuntutan perubahan kepada pemerintah pusat adalah desentralisasi

kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Menanggapi tuntutan

tersebut, Pemerintah I ndonesia melakukan pembaharuan atas komitmen

politiknya untuk membentuk pemerintahan yang lebih terdesentralisasi dengan

menyusun dua undang -undang baru, yakni: Undang -Undang No. 22 Tahun 1999

tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua

undang-undang tersebut berfungsi sebagai dasar hukum untuk mendesentralisasikan

kekuatan politik dan ekonomi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

Politik desentralisasi ini kemudian dikenal juga dengan istilah Otonomi Daerah

dan resmi diterapkan pada tanggal 1 Januari 2001 (Suharyo, 2000).

Kedua undang -undang tersebut ditetapkan sebagai tindak lanjut dari

Ketetapan MPR No. XV/ MPR/ 1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah:

Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumberdaya Nasional yang

Berkeadilan serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka

Negara Kesatuan Republik I ndonesia. Undang -Undang No. 22 Tahun 1999

memberikan otonomi penuh pada kabupaten/ kota (Daerah Tingkat I I ) dan

otonomi parsial pada provinsi (Daerah Tingkat I ). Undang-undang ini juga

menetapkan 11 bidang pemerintahan yang menjadi wewenang pemerintah

(19)

kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman

modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Sementara itu,

daerah provinsi mendapat kewenangan untuk melaksanakan pelayanan publik

y ang terbatas dan tugas-tugas yang didelegasikan oleh pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah. Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 menetapkan sistem

p embagian keuangan baru, dimana pemerintah daerah akan mendapat bagian

y ang lebih besar dari pemanfaatan sumberdaya alam. Undang -Undang ini juga

menyatakan bahwa Daerah Otonom mempunyai kewenangan dan tanggung

jawab atas perencanaan, pengaturan, pembiayaan dan pelayanan kepentingan

(jasa) publik berdasarkan prinsip -prinsip keterbukaan, partisipasi masyarakat dan

adanya pertanggungjawaban (akuntabilitas) kepada masyarakat (Suharyo,

2000).

Undang -Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang -Undang No. 25 Tahun

1999 diharapkan membawa perubahan pada penataan kewenangan, sumberdaya

aparatur/ personil, keuangan daerah, manajemen pelayanan publik maupun

sistem kelembagaan daerah. Dalam hal penataan kelembagaan daerah, adanya

Undang -Undang tersebut telah memberikan kebebasan kepada daerah untuk

menyusun dan menata kelembagaannya sesuai dengan karakteristik dan

keanekaragaman budayanya.

Selain perubahan struktur kelembagaan, kebijakan otonomi daerah juga

memberikan kewenangan dalam pengelolaan keuangan daerah. Dengan kata lain

bahwa, konsekuensi atas penyerahan kewenangan dari pusat kepada daerah

akan diikuti dengan penyerahan kewenangan pembiayaan dalam

penyelenggaraan pemerintahan di daerah (desentralisasi fiskal). Menurut I sdijoso

(20)

bagi daerah untuk menggali sumber-sumber penerimaan (baru) sebagai tuntutan

pembiayaan rutin dan pembangunan. Sedangkan dari sisi pengeluaran,

desentralisasi fiskal merupakan kewenangan daerah dalam menentukan alokasi

dan prioritas penggunaan dana bantuan pembangunan dari pusat.

Perubahan -perubahan yang terjadi atas sistem pemerintahan daerah

(kelembagaan maupun pengelolaan keuangan daerah) akibat penerapan kedua

Undang -Undang tersebut akan mempengaruhi kegiatan perekonomian daerah.

baik secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu visi otonomi daerah di

I ndonesia adalah untuk menjamin kelancaran pelaksanaan kebijakan ekonomi

nasional di daerah dan memberikan peluang yang lebih besar kepada pemerintah

daerah untu k mengembangkan kebijakan regional dan lokal sehingga

pendayagunaan potensi ekonomi di masing -masing daerah dapat dioptimalkan

(Rasyid, 2001). Oleh sebab itu, hasil akhir yang sangat diharapkan dari

pelaksanaan otonomi daerah adalah terjadinya pertumbuhan ekonomi nasional

melalui peningkatan kegiatan perekonomian daerah. Penerapan kebijakan

desentralisasi yang tepat dapat mendorong dan mempercepat pembangunan

daerah melalui penciptaan dukungan yang lebih besar pada kegiatan

perdagangan dan investasi (I sdijoso et al., 2001). Menurut Mahi (2000), dengan

adanya otonomi daerah, terjadi perubahan mendasar dalam pembangunan

daerah di I ndonesia. I mplikasi yang paling penting dari kebijakan otonomi daerah

adalah terhadap pertumbuhan ekonomi dan pemerataan antar daer ah.

Salah satu kabupaten di I ndonesia yang menerima otonomi penuh

semenjak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah pada tahun 2001 adalah

kabupaten Pasuruan. Kabupaten ini merupakan bagian dari Provinsi Jawa Timur

(21)

pada jalur segitiga Surabaya-Malang-Bali yang sangat strategis sebagai wilayah

pengembangan investasi Provinsi Jawa Timur untuk menopang pertumbuhan

ekonomi regional (Dinas I nformasi & Komunikasi, 2002). Dari hasil studi KPPOD

(Komisi Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah), daya tarik investasi

kabupaten Pasuruan menurut persepsi pengusaha menduduki peringkat ke-60

dari 134 sampel kabupaten/ kota di I ndonesia. Jika dilihat dari potensi

ekonominya maka Kabupaten Pasuruan merupakan salah satu dari 10

kabupaten/ kota yang memiliki Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tertinggi

di Jawa Timur (BPS, 2001a).

Pada permulaan pelaksanaan dan penerapan undang-undang otonomi

daerah, kinerja perekonomian daerah Kabupaten Pasuruan mengalami

perkembangan yang relatif baik dimana laju pertumbuhan Produk Domestik

Regional Bruto (PDRB) tahun 2001 adalah sebesar 3.74 persen, lebih tinggi bila

dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi tahun 2000 yang mencapai

3.59 persen. Bahkan pada t ahun 2001 tersebut laju pertumbuhan PDRB

Kabupaten Pasuruan melebihi laju pertumbuhan PDB Nasional yang hanya 3.44

persen maupun PDRB Jawa Timur (3.34 persen), sedangkan pendapatan per

kapita yang dicapai pada tahun 200 1 adalah sebesar Rp 2 908 903.26 juta.

Struktur ekonomi Kabupaten Pasuruan selama tahun 2000-2003 didukung

oleh tiga sektor utama yaitu sektor industri pengolahan, pertanian dan

perdagangan (Tabel 1). Pada tahun 2003, sektor industri pengolahan memegang

porsi terbesar sebagai penyumbang PDRB kabupaten Pasuruan dengan pangsa

sebesar 33.85 persen, sektor pertanian menduduki peringkat kedua dengan

pangsa sebesar 2 9.98 persen dan pangsa sektor perdagangan adalah sebesar

(22)

Tabel 1. PDRB Kabupaten Pasuruan Atas Dasar Harga Berlaku, Tahun 2000-2003

(Juta Rp)

Sekt or 2 0 0 0 2 0 0 1 2 0 0 2 2 0 0 3

Pertanian 1 105 211.03 1 248 213.67 1 399 243.99 1 498 602.94

Pertambangan dan Penggalian 756.39 887.48 1 145.88 1 131.89

I ndustri Pengolahan 1 172 346.94 1 351 165.84 1 527 053.34 1 691 820.17

Listrik, Gas dan Air Minum 65 176.95 91 381.37 126 600.82 147 878.22

Bangunan 29 586.75 36 051.45 44 080.11 51 838.39

Perdagangan, Hotel dan Restoran 528 819.04 621 054.07 710 342.50 785 416.58

Angkutan dan Komunikasi 105 424.83 128 247.31 156 236.94 171 134.90

Keuangan, Persewaan dan Jasa

Perusahaan 112 602.49 128 870.35 147 970.95 164 113.71

Jasa-Jasa 339 687.12 403 359.06 449 420.60 486 499.17

PDRB 3 4 5 9 6 1 1 .5 5 4 009 230.60 4 562 095.13 4 998 435.97 Sumber: BAPPEDA dan BPS, 2004

Laju pertumbuhan sektoral pada tahun 2003 menunjukkan bahwa sektor

pertanian mengalami pertumbuhan sebesar 2.26 persen dan relatif menurun jika

dibandingkan laju pertumbuhan pada tahun 2002 yang mencapai 2.4 5 persen.

Sektor yang mengalami pertumbuhan tertinggi pada tahun tersebut adalah

sektor bangunan sebesar 8.83 persen. Sementara untuk sektor industri

pengolahan dan sektor perdagangan mengalami peningkatan laju pertumbuhan

bila dibandingkan tahun sebelumnya. Laju pertumbuhan industri pengolahan

meningkat dari 3.46 persen pada tahun 2002 menjadi 4.78 persen pada tahun

2003 sedangkan sektor perdagangan mengalami peningkatan laju pertumbuhan

dari 5.10 persen menjadi 5.16 persen (BAPPEDA dan BPS, 2004).

PDRB Kabupaten Pasuruan dari sektor pertanian lebih banyak dipengaruhi

o leh kinerja sub sektor tanaman pangan karena sub sektor ini memberikan

kontribusi terbesar diantara sub sekto r-sub sektor lain (lebih dari 20 persen)

kemudian diikuti oleh sub sektor peternakan dan perikanan (Tabel 2). Pangsa

sub sektor per kebunan berada pada kisaran 1.38 -1.45 persen setingkat lebih

(23)

kurang dari 0.15 persen. Walaupun pangsanya relatif kecil namun potensi sub

sektor perkebunan dalam memberikan kontribusi bagi perekonomian daerah

relatif besar, hal ini dapat dilihat dari perkembangan laju pertumbuhannya (Tabel

3). Laju pertumbuhan sub sektor perkebunan menunjukkan arah yang cenderung

makin baik setelah pada tahun 1998 dan 1999 mengalami kontraksi akibat

adanya krisis ekonomi maka pada tahun 2000 hingga 2001 mengalami laju

pertumbuhan positif dan lebih tinggi diantara keempat sub sektor lain yakni

sebesar 6.13 dan 7.55 persen. Pada tahun 2002, sub sektor perkebunan

mengalami penurunan laju pertumbuhan namun pada tahun 2003 sub sektor ini

kembali mengalami peningkatan laju pertumbuhan dan menduduki posisi

tertinggi diantara keempat sub sektor lain.

Tabel 2. Distribusi Persentase PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Pasuruan , Tahun 1999 -2003

(% )

Sub Sekt or 1 9 9 9 2 0 0 0 200 1 2 0 0 2 200 3

Tanaman Bahan Makanan 22.13 21.86 20.72 20.38 20.06

Tanaman Perkebunan 1.38 1.41 1.47 1.45 1.45

Peternakan 3.79 3.76 3.87 3.88 3.81

Kehutanan 0.14 0.14 0.10 0.10 0.09

Perikanan 1.74 1.74 1.72 1.69 1.62

Pertanian 2 9 .1 8 28.91 2 7 .8 8 27.50 2 7 .0 4

Sumber: BAPPEDA dan BPS beberapa Tahun (Diolah)

Tabel 3. Pertumbuhan PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Pasuruan , Tahun 1999 -2003

(% )

Sub Sekt or 199 9 2 0 0 0 200 1 2 0 0 2 200 3

Tanaman Bahan Makanan 2.58 2.40 -1.57 2.19 2.36

Tanaman Perkebunan -2.54 6.13 7.55 2.17 4.05

Peternakan -2.94 2.70 6.45 4.10 2.16

Kehutanan 1.70 1.14 -26.23 1.31 -3.23

Perikanan 1.94 3.55 2.42 2.15 -0.13

Pertanian 1 .5 8 2 .6 9 0 .1 8 2 .4 5 2 .2 6

(24)

Dengan laju pertumbuhan yang relatif besar, potensi sub sektor

perkebunan di masa yang akan datang dapat diharapkan menjadi sub sektor

andalan penggerak perekonomian daerah. Peranan penting sub sektor

perkebunan selain sebagai sumber penerimaan daerah yang potensial, sub sektor

perkebunan mempunyai interdependensi yang sangat kuat dengan industri

pengolahan (agroindustri) karena sebagian besar output sub sektor ini digunakan

sebagai bahan baku pada industri pengolahan. I mplikasinya, dinamika

pertumbuhan sub sektor perkebunan sangat dipengaruhi oleh dinamika

pertumbuhan industri pengolahan. Dengan kata lain industri pengolahan

merupakan sektor pendukung sub sektor perkebunan (Saptana dan Sumaryanto,

2002). Semakin baik kinerja sub sektor perkebunan, akan meningkatkan

pengembangan sektor pendukung seperti sarana produksi, transportasi,

pengolahan dan pemasaran (perdagangan) (Said dan Dewi, 2003).

Kabupaten Pasuruan menghasilkan sembilan jenis tanaman perkebunan

y ang dominan diusahakan oleh masyarakat seperti terlihat pada Tabel 4. Dari

total luas areal perkebunan rakyat yang mencapai 31 266.80 ha, 50.3 persennya

merupakan areal perkebunan kapuk randu, 16.5 persen merupakan areal tebu,

13 persen merupakan areal perkebunan kopi, 11 persen merupakan areal

perkebunan kelapa sedangkan tanaman perkebunan yang lain memiliki luas areal

kurang dari 1000 ha. Jika dilihat dari produksi yang dihasilkan, tebu merupakan

komoditi yang menghasilkan produksi tertinggi dengan total produksi sebesar

21 184.76 ton jauh melampaui produksi kopi yang hanya mencapai 909 ton atau

kapuk randu yang memiliki areal terluas hanya mampu berproduksi sebesar

4 242 ton. Sementara itu, jika dilihat dari jumlah petani yang mengusahakan,

(25)

banyak melibatkan petani dengan total petani sebanyak 24 657 kepala keluarga

sedang tanaman kapuk randu han ya diusahakan oleh 20 393 kepala keluarga.

Tanaman perkebunan lain yang melibatkan petani yang relatif besar lainnya

adalah tanaman kelapa dan kopi dengan jumlah petani masing -masing 18 349

dan 9 601 kepala keluarga.

Tabel 4. Luas Areal, Produksi dan Jumlah Petani Tanaman Perkebunan Kabupaten Pasuruan, Tahun 2003

Komodit i Luas Areal ( Ha)

Produksi ( Ton)

Bent uk Produksi

Jumlah Petani ( KK)

Kelapa 3 539 2 400 Setara kopra 18 349

Kopi 4 184 909 Biji ose 9 601

Cengkeh 915 238 Biji kering 1 223

Kapuk Randu 15 702 4 242 Serat bersih 20 393

Jambu Mete 874 247 Biji mentor 4 024

Kenanga 302 534 Bunga segar 468

Tebu 5 169.3 21 184.76 Kristal gula 24 657

Kapas 8.5 1 610 Serat berbiji 127

Kunyit 223 1 173 Rimpang basah 853

Jahe 246 1 435 Rimpang basah 900

Temulawak 64 392 Rimpang basah 321

Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pasuruan dalam BPS, 2004

Produksi perkebunan tebu yang relatif besar di Kabupaten Pasuruan

menempatkan kabupaten ini sebagai salah satu sentra produksi gula di Jawa

Timur. Perkebunan tebu di Kabupaten Pasuruan telah didukung oleh adanya

industri pengolahan tebu yaitu pabrik gula (PG) Kedawung yang merupakan

bagian dari PT Perkebunan Nusantara XI . PG Kedawung m emiliki kapasitas giling

sebesar 2 203 ton/ hari. Pada tahun giling 2001, PG Kedawung mengolah 320

849.30 ton tebu dengan produksi hablurnya sebesar 19 975.20 ton (4.35 ton/ ha)

(P3GI , 2002).

Produksi tanaman tebu yang relatif lebih besar dibanding tanaman

perkebunan lain serta adanya industri pengolahan tebu menunjukkan bahwa

perkebunan tebu di Kabupaten Pasuruan cukup potensial untuk dikembangkan

(26)

dalam kegiatan usahataninya tanaman tebu di Kabupaten ini melibatkan petani

dalam jumlah yang relatif banyak. Peranan penting industri gula dalam suatu

perekonomian daerah adalah karena industri gula ini merupakan industri yang

tergolong dalam klasifikasi padat karya dan menghasilkan nilai tambah yang

cukup besar melalui upah, laba dan sewa lahan (Woerjanto, 2000; Sawit, 1998).

Selain itu gula sendiri merupakan bahan pangan yang penggunaannya bersifat

luas. Hal ini disebabkan karena gula, pada satu sisi merupakan bahan pangan

y ang dapat dikonsumsi langsung juga merupakan bahan baku bagi banyak

industri (input antara). Oleh karena itu, peningkatan produksi industri gula dapat

mendorong peningkatan produksi industri- industri yang menggunakan gula

seb agai bahan bakunya (Simatupang et al., 1998).

Seiring dengan diberlakukannya otonomi daerah, dimana pemerintah

daerah mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri,

menuntut adanya kemandirian daerah dalam merencanakan, membiayai maupun

melaksanakan pembangunan sesuai dengan potensi masing-masing. Jika

kebijakan otonomi daerah yang mendukung peran serta masyarakat

dilaksanakan dengan baik, maka akan meningkatkan efisiensi dan efektifitas

penyelenggaraan pemerintah daerah yang pada gilirannya akan mendorong

adanya ekspansi dalam perekonomian. Melalui pelaksanaan otonomi daerah,

potensi kabupaten Pasuruan dalam menghasilkan produk gula seharusnya dapat

dikembangkan menjadi sektor unggulan yang dapat menopang kegiatan

perekonomian daerah. Peran pemerintah daerah sebag ai fasilitator dan regulator

dalam perekonomian diharapkan mampu meningkatkan kinerja industri gula di

(27)

Kajian atas pelaksanaan otonomi daerah telah banyak dilakukan akan

tetapi masih bersifat parsial. Penelitian ini dilakukan untuk melihat bagaimana

pelaksanaan otonomi daerah serta menganalisis dampak penerapan otonomi

daerah tersebut terhadap kinerja industri gula di kabupaten Pasuruan. Kajian ini

mempertimbangkan aspek kelembagaan dan aspek ekonomi secara bersamaan.

Melalui penelitian ini diharapkan dapat diketahui apakah aspek kelembagaan

y ang berkaitan dengan Undang-Undang Otonomi Daerah telah dilaksanakan

sesuai dengan ketentuan dan apakah penerapan otonomi daerah benar-benar

telah menciptakan ekspansi dalam perekonomian melalui perbaikan kinerja

sektoral khususnya industri gula.

1.2. Perumusan Masalah

Berkaitan dengan penerapan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan

Undang -Undang No. 25 Tahun 1999, maka sejak saat itu tiap -tiap pemerintah

daerah termasuk Kabupaten Pasuruan memiliki kewenangan yang makin besar

dalam mengurus pemerintahannya sendiri termasuk dalam mengembangkan

perekenomian daerah sesuai dengan potensi sumberdaya alam dan sumberdaya

manusia yang dimiliki. Undang -Undang otonomi daerah tersebut merupakan

strategi baru dalam manajemen pemerintahan dan keuangan daerah.

Semakin meningkatnya kewenangan pemerintah daerah, maka

selayaknya harus didukung oleh adanya perubahan atas sistem kelembagaan

pemerintah daerah. Sistem kelembagaan di bawah pemerintahan sentralistis

y ang selama ini dijalankan sudah tidak sesuai lagi dengan tatanan pemerintahan

daerah yang baru. Pemerintah daerah perlu melakukan penataan kembali atas

organisasi perangkat daerah termasuk didalamnya pembagian tugas dan fungsi

(28)

tiap-tiap daerah memiliki potensi yang berbeda-beda sehingga tujuan masing-masing

pembangunan daerah pun berbeda maka struktur dan perilaku kelembagaan

tiap -tiap pemerintah daerah mem iliki karakteristik yang berlainan. Penataan

kelembagaan yang baru harus ditujukan untuk efisiensi dan efektifitas

pemerintah daerah.

Dari kajian yang dilakukan oleh tim SMERU di beberapa daerah

menunjukkan bahwa setelah dua tahun pelaksanaan desentralisasi (otonomi)

telah menimbulkan berbagai masalah dalam penataan kelembagaan pemerintah

daerah. Struktur organisasi pemerintah di daerah cenderung dibuat besar untuk

menampung pegawai dalam jumlah yang lebih banyak. Penyusunan organisasi

y ang tidak didasarkan untuk melaksanakan tugas dan fungsi tertentu akhirnya

menciptakan “pengangguran terselubung”. Selain masalah struktur dan

penyusunan organisasi, hubungan antara berbagai tingkat pemerintahan menjadi

tidak jelas, khususnya antara provinsi dan kabupaten/ ko ta. Salah satu penyebab

timbulnya kondisi ini adalah pada pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 22 Tahun

1999 menyatakan bahwa setiap daerah otonomi (provinsi, kabupaten/ kota)

berdiri sendiri dan tidak berhubungan satu sama lain. Dilain pihak rumusan

kewenang an masing-masing tingkat pemerintahan yang tidak jelas menyebabkan

tidak adanya koordinasi dalam pembuatan rencana pengembangan daerah dan

peraturan daerah serta menyebabkan terjadinya kesulitan dalam melaksanakan

tugas-tugas dekonsentrasi karena provinsi tidak memiliki instansi pelaksana di

kabupaten/ kota (Toyamah et al., 2002).

Selanjutnya perubahan kewenangan yang disertai dengan tanggung

jawab dalam hal pembiayaan dan pengelolaan keuangan daerah menyebabkan

(29)

anggaran pemerintah atau yang disebut juga dengan kebijakan fiskal,

pemerintah dapat mempengaruhi jalannya perekonomian yaitu dengan

mempengaruhi tingkat pendapatan regional, tingkat kesempatan kerja, tingkat

investasi dan distribusi pendapatan.

Hasil studi yang dilaksanakan oleh I sdijoso et al. (2001) maupun tim

SMERU (Toyamah et al., 2002) menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan

otonomi daerah (desentralisasi fiskal) ternyata tidak mampu menciptakan

ekspansi dalam perekono mian daerah. Hal ini disebabkan karena adanya respon

y ang berlebihan dari aparat pemerintahan di daerah dalam meningkatkan PAD

(Pendapatan Asli Daerah) yaitu melalui peningkatan berbagai macam jenis pajak

dan pungutan, sementara upaya mengefektifkan alokas i pengeluaran anggaran

daerah masih relatif belum terpikirkan. Kondisi ini justru menyebabkan terjadinya

kontraksi dalam perekonomian.

Sementara itu, industri gula merupakan salah satu industri yang paling

banyak memperoleh campur tangan pemerintah (the most regulated

commodity), mulai dari kegiatan produksi tebu hingga distribusinya ke

pabrik-pabrik gula serta distribusi gula ke konsumen maupun industri-industri yang

menggunakan gula sebagai bahan baku (Churmen, 2000; Sudana, 2000).

Peraturan yang dibuat untuk mendukung industri gula, ditetapkan mulai dari

y ang berbentuk Undang -Undang hingga SK Bupati, artinya hampir seluruh

jenjang pemerintahan ikut serta dalam pengaturan industri gula.

Terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Pasuruan,

maka pengelolaan industri gula kini merupakan kewenangan pemerintah daerah

setempat, walaupun tetap mengacu pada kebijakan pergulaan nasional. Aspek

(30)

mempengaruhi tiap-tiap simpul dalam sistem agroindustri gula mulai dari alokasi

sumberdaya lahan dan air, usahatani dan distribusi tebu hingga pada

peningkatan investasi dalam industri gula.

Sejalan dengan meningkatnya kemandirian Pemerintah Daerah dalam

p engelolaan keuangan maka peran Pemerintah Kabupaten Pasuruan terhadap

peningkatan kinerja sektor-sektor unggulan daerah akan semakin luas. Sebagai

salah satu komoditi unggulan Kabupaten Pasuruan, perkebunan tebu dan industri

gula seharusnya memperoleh dampak positif dari meningkatnya kewenangan

pengelolaan anggaran daerah tersebut. Anggaran daerah sebagai salah satu

instrumen pemerintah daerah Kabupaten Pasuruan dalam mempengaruhi kinerja

industri gula dapat dialokasikan secara langsung pada industri gula, misalnya

pemberian subsidi bagi petani tebu . Secara tidak langsung dapat dilakukan

melalui alokasi anggaran bagi perbaikan infrastruktur industri gula. Jika kebijakan

alokasi anggaran daerah digunakan sebaik-baiknya untuk mendukung kegiatan

industri gula maka perbaikan kinerja industri pergulaan akan tercapai.

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini

dapat dirumuskan sebagai berikut:

1 . Bagaimanakah pelaksanaan penerapan otonomi daerah menurut

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang-Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 di

Kabupaten Pasuruan, jika dilihat dari sudut pandang kelembagaan?

2 . Bagaimanakah perubahan hubungan (fungsional dan koordinasi) antar

lembaga/ organisasi yang “membawahi” industri gula setelah penerapan

(31)

3 . Bagaimanakah kondisi perekonomian Kabupaten Pasuruan sebelum

penerapan otonomi daerah termasuk posisi dan peranan industri gula

dalam perekonomian Kabupaten Pasuruan?

4 . Bagaimanakah dampak penerapan otonomi daerah terhadap kinerja industri

gula di Kabupaten Pasuruan?

1 .3 . Tujuan Penelitian

1 . Menelaah pelaksanaan penerapan otonomi daerah menurut

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang-Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 di

Kabupaten Pasuruan dari sudut pandang kelembagaan.

2 . Mengkaji perubahan hubungan (fungsional dan koordinasi) antar

lembaga/ organisasi yang “membawahi” industri gula setelah penerapan

kedua undang -undang tersebut.

3 . Menganalisis kondisi perekonomian Kabupaten Pasuruan sebelum

penerapan otonomi daerah termasuk posisi dan peranan industri gula

dalam perekonomian Kabupat en Pasuruan.

4 . Menganalisis dampak penerapan otonomi daerah terhadap nilai produksi,

nilai tambah dan penciptaan kesempatan kerja pada industri gula di

Kabupaten Pasuruan.

1.4. Kegunaan Penelitian

1 . Sebagai bahan evaluasi atas dampak penerapan otonomi daerah menurut

Undang -Undang No. 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun

1999 di Kabupaten Pasuruan terhadap kinerja industri gula.

2 . Sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan strategi untuk

memaksimalkan penerapan otonomi daerah menurut Undang -Undang No.

(32)

akibat- akibat negatif dari penerapan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999

dan Undang -Undang No. 25 Tahun 1999.

3 . Sebagai bahan informasi dan rujukan untuk penelitian terkait lebih lanjut.

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

I ndustri gula dalam penelitian ini meliputi usahatani tebu dan Pabrik Gula.

Lembaga dalam penelitian ini adalah instansi pemerintahan (dinas kehutanan dan

perkebunan), PG Kedawung, APTR dan kelompok tani. Kajian terhadap

kelembagaan meliputi aspek organisasi (institusi) dan aspek regulasi. Analisis

terhadap kelembagaan bersifat deskriptif sedangkan analisis dampak

menggunakan analisis keseimbangan umum menggunakan tabel I-O. Analisis

dampak dengan menggunakan tabel I-O dapat juga digunakan untuk melihat

kinerja makro ekonomi regional, namun pada penelitian ini difokuskan untuk

melihat kinerja industri gula di Kabupaten Pasuruan. Pada analisis ini, adanya

otonomi daerah ditunjukkan oleh perubahan alokasi dan peningkatan dana APBD

y ang diterima oleh Kabupaten Pasuruan sebagai akibat langsung adanya otonomi

daerah serta perubahan tingkat investasi dan ekspor yang merupakan akibat

tidak langsung dari adanya otonomi daerah. Kinerja industri gula yang dimaksud

dalam penelit ian ini diukur dari nilai produksi, nilai tambah bruto dan

penyerapan tenaga kerja oleh sektor industri gula.

Penggunaan analisis input-output memiliki beberapa keterbatasan yang

sulit dihindarkan baik yang bersifat teknis maupun asumsi yang mendasari

analisis ini. Keterbatasan tersebut antara lain:

1 . Analisis input-output didasarkan pada asumsi dasar Leontief, yakni

koefisien input antara dianggap konstan selama periode analisis. Koefisien

(33)

produksi. Asumsi ini seringkali tidak sesuai dengan kenyataan karena

kemungkinan substitusi selalu ada, apalagi dalam jangka panjang. Asumsi

ini juga menunjukkan bahwa teknologi produksi bersifat konstan.

2 . Analisis input-output tidak mengenal mekanisme penyesuaian harga.

Perubahan harga input diasumsikan akan selalu sebanding dengan

perubahan harga output.

3 . Analisis input-output mengasumsikan bahwa sektor-sektor produksi

diturunkan dari permintaan (demand-driven) atau dengan kata lain

perekonomian dibangun dari sudut permintaan. Dalam suatu perekonomian

diasumsikan memiliki ekses kapasitas produksi sehingga peningkatan

permintaan selalu dapat dipenuhi dengan peningkatan output tanpa ada

peningkatan harga. Jika terjadi peningkatan permintaan akhir secara

otomatis akan menggerakkan seluruh sektor perekonomian melalui proses

pengganda ekonomi (multiplier) .

4 . Pada penelitian ini, dampak otonomi daerah melalui p erubahan APBD

dicerminkan hanya dari sisi pengeluaran , hal ini dikarenakan sisi

penerimaan APBD tidak dinyatakan secara eksplisit dalam tabel I -O standar.

Sisi ini akan terlihat secara jelas bila kuadran I I I tabel I-O dirinci lebih jauh.

Namun karena keterbatasan data, perincian kuadran I I I tidak dapat

dilakukan.

5 . Kolom 305 (ekspor) pada Tabel I-O Kabupaten Pasuruan Tahun 2000

menunjukkan aliran barang dan jasa yang terjadi antara penduduk

Kabupaten Pasuruan dengan bukan penduduk Kabupaten Pasuruan.

Keterbatasan data menyebabkan kolom ekspor disusun tanpa membedakan

(34)

I I . TI NJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teoritis

2.1.1. Teori Desentralisasi

Desentralisasi merupakan bagian penting dari proses demokratisasi suatu

negara. Desentralisasi dianggap sebagai suatu cara untuk mendorong penguasa

(pemerintah) agar lebih dekat dengan masyarakatnya (Dethier, 2000). Selama

dua dekade terakhir konsep tentang desentralisasi pemerintahan menjadi topik

y ang menarik diperbincangkan di seluruh dunia. Menurut Burki et al. (1999),

Peterson (1997) serta Bird et al. (1995), pelaksanaan desentralisasi di setiap

negara mempunyai tujuan yang sama meskipun motivasi dan alasan setiap

negara berbeda-beda. Di Eropa Tengah dan Timur desentralisasi dimotivasi oleh

kegagalan perekonomian yang terpusat (command economy) sehingga terjadi

reformasi menuju ekonomi pasar. Di Amerika Latin, alasan desentralisasi adalah

karena adanya tekanan dari masyarakat untuk melaksanakan demokrasi.

Desentralisasi di negara-negara Afrika disebabkan oleh adanya reaksi terhadap

tekanan etnis dan regional untuk ikut melaksanakan pengawasan dan

berpartisipasi dalam proses politik. Sedangkan di Asia, munculnya desentralisasi

didorong oleh adanya keinginan untuk meningkatkan pelayanan terhadap

penduduk yang banyak dan tersebar serta dalam rangka mengurangi kontrol

pusat.

Desentralisasi muncul ke permukaan sebagai paradigma baru

pembangunan pada dekade 1970-an. Tumbuhnya perhatian terhadap

desentralisasi adalah sebagai akibat dari kegagalan perencanaan pemerintahan

(35)

dengan fokus growth with equity. Pada saat itulah argumen -argumen

desentralisasi dibangun oleh para pelopornya terutama untuk negara-negara

dunia ketiga (Kuncoro,1995).

I stilah desentralisasi menunjuk kepada proses penyerahan kekuasaan

(power), baik politik, administratif maupun fiskal kepada unit -unit pemerintah

sub -national (Burki et al., 1999). Desentralisasi memiliki bentuk dan dimensi

y ang beragam, dimana masing-masing bentuk mempunyai karakteristik, implikasi

kebijakan dan prasyarat kesuksesan yang berbeda-beda pula (Rondinelli et al.,

1999).

Menurut Litvack et al. (1998) dan Rondinelli et al. (1999), desentralisasi

dapat dibedakan kedalam tiga bentuk utama, yaitu:

1 . Desentralisasi politik (political decentralization), yang berarti memberikan

kepada masyarakat setempat dan wakil-wakil mereka, kekuasaan yang

lebih besar di dalam setiap pengambilan keputusan (decision making) yang

mencakup kekuasaan dalam penetapan stan dar dan kerangka hukum (legal

framework)

2 . Desentralisasi administratif (administrative decentralization), yang berarti

adanya kewenangan (authority), tanggung jawab (responsibility) dan

sumberdaya keuangan diantara berbagai tingkat pemerintahan, dimana

adanya kapasitas dan kekuatan institusional yang lebih sesuai pada

berbagai tingkat pemerintahan dianggap sebagai suatu prakondisi bagi

keefektifan pelaksanaan desentralisasi tersebut

3 . Desentralisasi fiskal (fiscal decentralization) yang berhubungan dengan

(36)

terhadap transfer dan pembuatan berbagai keputusan yang menyangkut

pengeluaran rutin maupun pengeluaran investasi.

Kompleksitas proses desentralisasi digambarkan oleh Parker (1995),

sebagai t he souffle theory of decentralization, artinya bahwa instrumen

-instrumen desentralisasi harus bekerja secara simultan. Desentralisasi politik

(devolusi), desentralisasi administrasi (dekonsentrasi) dan fiskal tidak dapat

dilaksanakan secara sendiri-sendiri meskipun setiap komponen desentralisasi

menimbulkan implikasi yang berbeda-beda. Upaya-upaya pengembangan

demokrasi (democracy deepening) melalui desentralisasi politik dan penyerahan

urusan (devolusi) yang lebih besar kepada pemerintah daerah tidak dapat

b erjalan tanpa dibarengi dengan desentralisasi fiskal (finance follow function).

Tujuan dari berbagai bentuk desentralisasi adalah: (1) mengurangi

kesibukan pemerintah pusat dan dengan demikian membebaskan pemerintah

dari halhal yang kecil dan sulit serta keterlibatan yang tidak perlu pada masalah

-masalah lokal dan memfasilitasi koordinasi dan tindakan -tindakan yang cepat di

tingkat lokal, (2) memperkuat persatuan nasional, (3) mendorong pemerataan

secara geografis, (4) meningkatkan kapasitas masyarakat untuk menjamin

responsibilitas dan akuntanbilitas, (5) meningkatkan dan memperbaiki pelayanan

j asa (delivery of services) kepada masyarakat dan mendorong investasi serta

inovasi; (6) membuat rencana pembangunan yang lebih responsif terhadap

kondisi setempat (local condition), (7) meningkatkan mobilisasi sumberdaya lokal

untuk pembangunan wilayah setempat, (8) memfasilitasi perlindungan terhadap

hak-hak rakyat, baik hak -hak demokrasi maupun hak-hak manusia yang lainnya,

(9) mendorong pembangunan yang lebih merata, dan (10) meningkatkan

(37)

pelaksanaan rencana dan koordinasi diantara berbagai badan yang terlibat dalam

perencanaan pada tingkat lokal (Maro, 1990; Oyugi, 2000).

Beber apa kondisi penting yang diperlukan untuk mendukung keberhasilan

desentralisasi menurut Rondinelli et al. (1999) adalah:

1 . Kerangka desentralisasi harus berhubungan dengan marjin, keuangan

lokal dan penguasaan fiskal untuk memberikan pelayan an

pertanggungjawaban dari fungsi pemerintah lokal.

2 . Masyarakat daerah harus mendapat informasi tentang biaya pelayanan

dan opsi pemberian pelayanan serta sumber dananya sehingga

kebijaksanaan tersebut lebih bermakna.

3 . Masyarakat membutuhkan mekanisme untuk mengekspresikan keinginan

terutama penyaluran inisiatif melalui para politisi.

4 . Adanya sistem yang akuntabel (accountable) berdasarkan informasi yang

transparan sehingga masyarakat dapat memonitor kinerja pemerintah

daerah.

5 . I nstrumen desentralisasi seperti kerangka institusi yang legal, struktur

pertanggungjawaban pelayanan dan sistem fiskal antar pemerintah harus

didesain untuk mendukung pengambilan keputusan.

Keberhasilan desentralisasi memerlukan dukungan partisipasi daerah, di sisi lain

proses desentralisasi itu sendiri dapat mendorong kesempatan untuk

berpartisipasi dengan alternatif kekuatan dan sumberdaya yang lebih dekat

dengan masyarakat, lebih dikenal dan lebih mudah untuk mempengaruhi

pemerintah (Miyasto, 2000). Sedangkan menurut Bird et al. (1995), hal

(38)

implementasi yang tepat yang mengarah kepada perbaikan penyediaan jasa

publik.

Menurut Ebel dan Yilmaz (2001), strategi desentralisasi dibuat untuk

menciptakan transparansi, akuntabilitas dan efisiensi. Oleh karena itu komponen

terpenting dari strategi desentralisasi adalah dengan mendesain suatu kerangka

hukum dan peraturan yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi tiap tingkat

pemerintahan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Konstitusi

tersebut harus berisi prinsip -prinsip umum bagaimana desentralisasi harus

dijalankan, termasuk didalamnya hak dan kewajiban bagi semua tingkat

pemerintahan, penjelasan dan peranan kelembagaan -kelembagaan ku nci pada

tingkat lokal maupun pusat dan dasar-dasar peraturan yang mengatur

pembentukan maupun perubahan pada kelembagaan tersebut.

Tanggung jawab terhadap keuangan juga merupakan komponen utama

desentralisasi. Pemerintah daerah dapat menyelenggarakan fungsi-fungsi

desentralisasi secara efektif jika mempunyai penerimaan keuangan yang cukup,

baik yang berasal dari sumber lokal maupun transfer pemerintah pusat

sebagaimana kekuasaan untuk membuat keputusan pengeluaran (Rondinelli et

al. , 1999). Desentralisasi fiskal dapat mendorong pertumbuhan melalui efisiensi

alokasi sumberdaya pada tingkat daerah. Menurut Lin dan Liu (2000), jika

investasi infrastruktur atau alokasi sumberdaya lebih efisien pada sektor-sektor

y ang berproduktivitas tinggi dibanding dengan sektor-sektor yang

berproduktivitas rendah, maka penerapan desentralisasi dapat mempengaruhi

tingkat pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Stiglitz (1999) juga menyatakan

(39)

d esentralisasi, dimana keputusan tentang produksi dan konsumsi diserahkan

kepada masyarakat sebagai pelaku ekonomi.

Desentralisasi fiskal sebagai kerangka hubungan keuangan antara pusat

dan daerah harus memliki persyaratan sebagai berikut: (1) sistem fiskal harus

memberikan distribusi kekuasaan di antara berbagai tingkat pemerintahan

mengenai pemungutan dan pengeluaran sumberdaya pemerintahan (public

resource). Walaupun banyaknya kewenangan yang diberikan antar jenjang

pemerintahan tidak bisa disamaratakan, namun sistem keuangan seharusnya

menjamin bahwa penyerahan kewenangan (devolution of discretion) atas

sumberdaya keuangan harus konsisten dengan pelimpahan tanggung jawab.

(2) sistem tersebut harus menyajikan suatu bagian yang memadai dari

sumberdaya-sumberdaya masyarakat secara keseluruhan bagi fungsi-fungsi

pemerintahan, dalam hal ini pelayanan rutin dan pembangunan yang

diselenggarakan oleh pemerintah regional. (3) sistem tersebut seharusnya

mampu mendistribusikan pengeluaran pemerintah secara merata d i

daerah-daerah. (4) pajak dan retribusi yang dikenakan oleh pemerintah daerah harus

sejalan dengan distribusi beban pengeluaran pemerintah terhadap seluruh

masyarakat (Davey, 1988).

Menurut Ebel (1997), desentralisasi fiskal terkait dengan beberapa hal

sebagai berikut: (1) pemisahan antara tugas dan tanggung jawab antar

pemerintahan, (2) transfer pembiayaan dari pemerintah pusat ke pemerintah

daerah, (3) penguatan sistem penerimaan dan sistem pelayanan publik

pemerintah daerah, (4) privatisasi perusahaan milik negara, dan (5) penyediaan

jaring pengaman (safety net). Davey (1988), membedakan sumber-sumber

(40)

pemerintah pusat sebagai transfer, yang dapat berupa bantuan pusat (grants)

dengan berbagai jenisnya, bagi hasil pajak (tax sharing), pinjaman dan

penyertaan modal berupa investasi pemerintah pusat pada suatu pemerintah

daerah. Selain dalam bentuk transfer, pemerintah daerah dapat memperoleh

pendapatan melalui pajak daerah, retribusi, pinjaman dan laba badan usaha.

2.1.2. Teori Kelembagaan dan Kebijakan Desentralisasi

Pada dasarnya kelembagaan mempunyai dua pengertian yaitu:

kelembagaan sebagai suatu aturan main (rule of the game) dalam interaksi

personal dan kelembagaan sebagai suat u organisasi yang memiliki hierarkhi

(Williamson, 1985; Hayami dan Kikuchi, 1987 dan Bardan, 1989). Kelembagaan

sebagai aturan main diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal maupun

informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dan

lingkungannya yang menyangkut hak -hak dan perlindungan hak-hak serta

tanggung jawabnya. Kelembagaan sebagai suatu organisasi menurut Winardi

(1989), dapat dinyatakan sebagai sebuah kumpulan orang-orang yang dengan

sadar berusaha untuk memberikan su mbangsih mereka ke arah pencapaian

suatu tujuan umum. Kelembagaan sebagai organisasi biasanya menunjuk pada

lembaga-lembaga formal seperti departemen dalam pemerintahan, koperasi,

bank dan sebagainya.

Menurut Shaffer dan Schmid dalam Pakpahan (1989) dan Hardjolukito et

al. (1990), suatu kelembagaan (institution) baik sebagai suatu aturan main

maupun sebagai suatu organisasi, dicirikan oleh adanya tiga komponen utama,

(41)

1 . Batas kewenangan (jurisdictional boundary)

Batas kewenangan merupakan batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas

yang dimiliki oleh seseorang atau pihak tertentu terhadap sumberdaya,

faktor produksi, barang dan jasa. Dalam suatu organisasi, batas

kewenangan menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam oganisasi

tersebut.

2 . Hak kepemilikan (property right)

Konsep property right selalu mengandung makna sosial yang berimplikasi

ekonomi. Konsep Property right atau hak kepemilikan muncul dari konsep

hak (right) dan kewajiban (obligation) dari semua masyarakat peserta yang

diat ur oleh suatu peraturan yang menjadi pegangan, adat dan tradisi, atau

konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat. Oleh

karena itu tidak ada seorangpun yang dapat mengatakan hak milik atau

hak penguasaan apabila tidak ada pengesahan dari masyarakat sekitarnya.

Pengertian di atas mengandung dua implikasi yakni, hak seseorang adalah

kewajiban orang lain dan hak yang tercermin oleh kepemilikan (ownership)

adalah sumber kekuasaan untuk memperoleh sumberdaya.

3 . Aturan representasi (rule of representation)

Aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi dalam

proses pengambilan keputusan. Keputusan apa yang diambil dan apa

akibatnya terhadap performance akan ditentukan oleh kaidah representasi

yang digunakan dalam proses pengambilan keputu san. Dalam proses ini

bentuk partisipasi ditentukan oleh keputusan kebijaksanaan organisasi

dalam membagi beban dan manfaat terhadap anggota dalam organisasi

(42)

Pembangunan kelembagaan merupakan suatu proses untuk memperbaiki

kemampuan suatu lembaga (institution) dalam menggunakan sumberdaya yang

tersedia, berupa manusia (human) maupun dana (financial) secara efektif.

Keefektifan suatu lembaga tergantung pada lokasi, aktivitas dan teknologi yang

digunakan oleh suatu lembaga. Konsep ‘keefektifan’ (effectiveness) diartikan

sebagai kemampuan suatu lembaga dalam mendefinisikan seperangkat standart

dan menyesuaikannya dengan tujuan operasionalnya (I srael, 1987).

Penerapan kebijakan desentralisasi di I ndonesia melalui Undang-Undang

No. 22 Tahun 1999 dan Undang -Undang No. 25 Tahun 1999 mengharuskan

pemerintah daerah untuk mengambil alih sebagian besar tanggung jawab dari

fungsi-fungsi pemerintah pusat, sementara kewenangan pemerintah pusat hanya

dibatasi pada kewenangan yang berskala nasional. Pemberian kewenangan baru

ini memerlukan kerangka hukum dan peraturan -peraturan pelaksana yang jelas

mengenai siapa mengerjakan apa. Selama fungsi- fungsi tersebut tidak dapat

dinyatakan secara jelas maka akan terjadi berbagai interpretasi diantara

pemerintah daerah. Oleh sebab itu, hal pertama yang perlu dilakukan oleh

pemerintah pusat adalah dengan membuat suatu kebijakan yang lebih jelas

mengenai pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah

daerah (propinsi dan kabupaten/ kota) (Fane, 2003; Damuri dan Amri, 2003).

Dalam teori organisasi, pengaturan dan pembagian kewenangan disebut dengan

batas kew enangan (jurisdictional boundary).

Keberhasilan dalam memperoleh manfaat dari suatu kebijakan

desentralisasi membutuhkan prasyarat-prasyarat tertentu, yaitu: kapasitas

administratif yang baik dan pejabat -pejabat daerah yang responsif dan

(43)

1994 dalam Bird dan Vaillancourt, 2000). Penyerahan tanggung jawab atas tugas

dan fungsi yang baru dari pemerintah pusat perlu disertai dengan adanya

kapasitas yang memadai dari kelembagaan termasuk pejabat-pejabat pemerintah

daerah sebagai penerima. Pada sistem pemerintahan yang terdesentralisasi

seluruh tanggung jawab termasuk fungsi-fungsi yang meliputi manajemen

kepegawaian, pemrosesan data, kontrak dan berbagai pelayanan yang lain telah

dialihkan kepada pegawai-pegawai di daerah. Menurut Alm et al. (2001),

meningkatnya berbagai tugas pemerintah daerah tersebut menimbulkan

kekhawatiran akan kemampuan pegawai-pegawai daerah pada tahap

pelaksanaannya, karena selama ini mereka tidak terbiasa menjalankan

tugas-tugas tersebut. Oleh sebab itu, Damuri dan Amri (2003) menyatakan perlu

menetapkan pedoman umum dari pemerintah pusat mengenai Standar

Pelayanan Minimum (SPM) sehingga tidak menimbulkan perbedaan pemahaman

dalam melaksanakan fungsi- fungsi yang berada dalam kewenangannya.

Kebijakan desentralisasi sebagai salah satu ciri pemerintahan yang

demokratis selalu terkait dengan adanya pemberdayaan masyarakat untuk ikut

berpartisipasi dalam mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang

mempunyai efek besar terhadap kualitas hidup (Dethier, 2000; Ebel dan Yilmaz,

2001). Pada sistem yang terdesentralisasi dimana pengambilan keputusan

ditentukan oleh partisipasi warga, pemerintah terpilih mempunyai kekuasaan

untuk melaksanakan agenda yang diamanatkan oleh pemilihnya. Ciri khusus

adanya sistem desentralisasi fiskal adalah adanya dewan perwakilan daerah,

anggaran yang disetujui daerah, kekuasaan melakukan pinjaman dan kapasitas

pemerintah daerah untuk menarik pajak (Bahl, 1999 dalam Ebel dan Yilmaz,

(44)

dimana saat ini kepala daerah langsung bertanggung jawab kepada dewan

perwakilan daerah. Melalui dewan perwakilan inilah aspirasi masyarakat dapat

tersampaikan, oleh sebab itu pertanggungjawaban pemerintah daerah dapat

diperbaiki melalui perbaikan proses pemilihan karena pemilih mempunyai

kekuatan untuk menentukan komposisi dewan perwakilan dan pejabat daerah

(Alm et al. , 2001).

2.1.3. Tabel dan Analisis I nput Output

1. Tabel I nput-Output

Tabel I nput-Output (Tabel I-O) adalah tabel transaksi yang

menggambarkan hubungan supply dan demand antara berbagai sektor dalam

suatu wilayah perekonomian. Menurut BPS (2000b), t abel I-O pada dasarnya

merupakan suatu sistem pencatatan ganda (double entry system) dari neraca

transaksi yang terjadi antar produsen dalam suatu perekonomian. Tabel ekonomi

tersebut memperlihatkan cara transaksi jual beli yang dilakukan diberbagai

sektor ekonomi.

Tabel I-O sebagai suatu sistem penyajian data dikembangkan pertama

kali oleh Profesor Wassily Leontief pada akhir dekade 1930-an. Leontief (1985)

mengemukakan bahwa analisis input-output merupakan suatu metode yang

secara sistematis mengukur hubungan timbal balik antar sektor dalam sistem

ekonomi yang kompleks. Analisis Leontief didasarkan pada keseimbangan

hubungan antar sektor di dalam suatu wilayah, sehingga metode ini dapat

dianggap sebagai suatu kemajuan penting di dalam pengembangan teori

keseimbangan umum.

Konsep dasar dari model I -O Leontief adalah: (1) struktur perekonomian

(45)

transaksi jual beli, (2) output suatu sektor dijual kepada sektor lainnya untuk

memenuhi permintaan akhir rumah tangga, pemerintah, pembentukan modal

dan ekspor, (3) input suatu sektor dibeli dari sektor-sektor lainnya, rumah tangga

dalam bentuk jasa dan tenaga kerja, pemerintah dalam bentuk pajak tidak

langsung, penyusutan, surplus usaha dan impor, (4) hubungan input-output

bersifat linier, (5) dalam suatu kurun waktu analisa (biasanya satu tahun), total

input sama dengan total output, dan (6) suatu sektor terdiri dari satu atau

beberapa perusahaan. Tabel transaksi I nput-Output sederhana untuk tiga sektor

[image:45.612.133.506.318.468.2]

dapat digambarkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Tabel Transaksi I nput-Output Tiga Sektor

Alokasi Out put Permintaan Antara Penyediaan

Susunan I nput Sekt or Produksi

Permintaan

Akhir I m por Jumlah Out put

Sektor 1 X11 X12 X13 F1 M1 X1

Sektor 2 X21 X22 X23 F2 M2 X2

I nput Antara

Sektor 3 X31 X32 X33 F3 M3 X3

I nput Primer V1 V2 V3

Jumlah I nput X1 X2 X3

Sumber: BPS, 2000b

Tabel transaksi tersebut menggambarkan arus komoditi barang dan jasa

y ang dinyatakan dalam nilai uang diantara sektor-sektor dalam satuan waktu dan

sistem ekonomi tertentu. I sian angka sepanjang baris memperlihatkan komposisi

penyediaan dan permintaan pada suatu sektor. Penyediaan dapat berasal dari

output domestik (Xi) dan impor untuk produk sejenis (Mi). Sedangkan

permintaannya terdiri dari permintaan antara (Xij) dan permintaan akhir (Fi).

I sian sepanjang kolom menunjukkan susunan input yang digunakan dalam

proses produksi oleh suatu sektor. I nput tersebut terdiri dari input antara (Xij)

(46)

Dari Tabel 5 tersebut dapat dilihat bahwa sektor 1, jumlah penyediaannya

adalah sebesar X1+ M1 dan dialokasikan untuk memenuhi permintaan antara oleh

sektor 1, 2 dan 3 sebesar X11, X12 dan X13, sedangkan sisanya digunakan untuk

memenuhi permintaan akhir sebesar F1. Alokasi output secara keseluruhan

dapat dirumuskan ke dalam bentuk persamaan aljabar sebagai berikut:

X11 + X12 + X13 + F1 = X1 + M1

X21 + X22 + X23 + F2 = X2 + M2

X31 + X22 + X33 + F3 = X3 + M3

Persamaan tersebut dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan umum:

i i i n 1 i

ij

F

X

M

X

+

=

+

=

... (1)

dimana:

Xij = Besarnya output sektor i yang digunakan sebagai input sektor j

Fi = Permintaan akhir sektor i

Xi = Jumlah output (domestik) sektor i

Mi = Besarnya impor sektor i

Sesuai cara-cara di atas, persamaan aljabar secara kolom dapat dirumuskan

sebagai berikut: j j n 1 j

ij

V

X

X

+

=

=

... (2)

dimana:

Vj = I nput primer sektor j

Pada dasarnya tabel I-O dibagi menjadi empat bagian yaitu kuadran I

(kuadran antara), kuadran I I (kuadran permintaan akhir), kuadran I I I (kuadran

input primer), dan kuadran I V (kuadran input primer permintaan akhir). Menurut

Sembiring (1995), pembagian tabel I-O kedalam empat kuadran tersebut sangat

penting untuk memahami ketergantungan ekonomi dan gambaran holistik

(47)

1. Kuadran Antara

Kuadran antara (intermediate quadrant) disebut juga dengan kuadran

inter industri, kuadran ini menunjukkan arus barang dan jasa yang dihasilkan dan

digunakan oleh sektor-sektor dalam perekonomian. Analisis keterkaitan antar

sektor atau ketergantungan ekonomi bertitik tolak dari kuadran ini. Dari kuadran

ini dapat disusun matriks koefisien input yang merupakan dasar analisis

keterkaitan (lingkages), yaitu perbandingan antara penggunaan input antara dan

nilai output dari sektor yang bersangkutan. Keterkaitan in penting untuk melihat

perubahan output suatu sektor terhadap pendapatan, ketenagakerjaan dan

output sektor-sektor lainnya.

2. Kuadran Permintaan Akhir

Kuadran permintaan akhir (final demand quadrant) menunjukkan

penjualan barang dan jasa yang diproduksi oleh sektor-sektor perekonomian

untuk memenuhi permintaan akhir. Permintaan akhir ini terdiri atas pengeluaran

konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, pembentukan modal tetap bruto,

perubah an stok serta ekspor barang dan jasa. Secara umum komponen

permintaan akhir merupakan komponen perhitung

Gambar

Tabel Input-Output Kabupaten Pasuruan Tahun 2000 Transaksi
Tabel 1. PDRB Kabupaten Pasuruan Atas Dasar Harga Berlaku, Tahun 2000-2003
Tabel 3. Pertumbuhan PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Pasuruan, Tahun 1999-2003
Tabel 4. Luas Areal, Produksi dan Jumlah Petani Tanaman Perkebunan Kabupaten Pasuruan, Tahun 2003
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kebijakan penyusunan anggaran berbasis kinerja (X1) secara signifikan tidak berpengaruh terhadap akuntabilitas

Berdasarkan hasil analisis secara parsial dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh signifikan antara variabel kebijakan penyusunan anggaran berbasis kinerja