ANALISIS EKONOMI PERKEMBANGAN INDUSTRI
TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) INDONESIA
Iwan Hermawan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul:
Analisis Ekonomi Perkembangan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia
merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan bimbingan ketua dan anggota komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Januari 2008
ABSTRAK
IWAN HERMAWAN. Analisis Ekonomi Perkembangan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia (ISANG GONARSYAH sebagai Ketua dan ENDAH MURNININGTYAS sebagai Anggota Komisi Pembimbing).
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mempunyai peran penting di dalam perekonomian Indonesia. Namun dalam lima tahun terakhir, secara nasional pangsa industri ini terhadap GDP mengalami penurunan, sementara persaingan TPT di pasar dunia cenderung semakin ketat. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi posisi dan daya saing ekspor TPT Indonesia di pasar dunia, menganalisis perkembangan industri TPT Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan menganalisis prospek perkembangan industri TPT Indonesia dan pasar TPT dunia. Metode analisis yang digunakan adalah CMS, 2SLS, dan simulasi kebijakan ekonomi dan non ekonomi.
Secara keseluruhan, meskipun laju ekspor TPT Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun, namun posisi daya saing TPT Indonesia di pasar TPT dunia masih di bawah China, India, dan Italia. Di samping itu produksi tekstil dan garmen domestik dipengaruhi oleh harga riil kapas dunia dan upah riil tenaga kerja TPT. Ekspor tekstil Indonesia dipengaruhi oleh produksi tekstil domestik. Sedangkan ekspor garmen Indonesia dipengaruhi oleh rasio harga riil tekstil dunia dengan harga riil garmen domestik tahun sebelumnya. Prospek industri TPT Indonesia sangat tergantung pada ketersediaan bahan baku berupa kapas dan pertumbuhan ekonomi dunia pada umumnya.
Iwan Hermawan
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Penulis dilahirkan di Kepanjen, kabupaten Malang pada tanggal 11 Juni 1978, sebagai anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Kamsuri dan Yuniawati.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt, atas segala rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Dengan judul Analisis Ekonomi Perkembangan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia, penulis berharap tesisi ini dapat memberikan kontribusi dalam upaya pengembangan industri TPT Indonesia.
Penulis juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Isang Gonarsyah sebagai ketua dan Ibu Dr. Ir. Endah Murniningtyas, M.Sc (Direktur Penanggulangan Kemiskinan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) sebagai anggota komisi pembimbing atas segala masukan, bimbingan, dan dukungannya selama penyusunan tesis. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi pada ujian tesis. Kepada Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, M.A yang telah memberikan kontribusi untuk perbaikan tesis ini.
Titik Firawati) atas doa dan dukungannya selama penulis menempuh program S2 di IPB.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangannya, namun demikian penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan industri TPT Indonesia.
Bogor, Januari 2008
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………... iv
DAFTAR GAMBAR ………. vii
DAFTAR LAMPIRAN ………... viii
I. PENDAHULUAN ……… 1
1.1. Latar Belakang ... 1.2. Perumusan Masalah ... 1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 1 5 7 7 II. INDUSTRI TPT GLOBAL DAN INDONESIA ... 9
2.1. Sejarah dan Pengertian Industri TPT...………... 2.2. Industri TPT Indonesia ...………... 2.3. Kebijakan Perdagangan TPT ...……... 9 11 17 2.3.1. Kebijakan Perdagangan TPT Dunia ...…….…….……….. 2.3.2. Kebijakan Perdagangan TPT Domestik ... 17 23 III. TINJAUAN PUSTAKA ... 28
3.1. Tinjuan Penelitian TPT Indonesia ... 3.2. Tinjauan Penelitian TPT Dunia ………... 28 31 IV. KERANGKA ANALISIS ... 34
4.1. Kerangka Teoritis ... 4.1.1. Daya Saing Ekspor ... 4.1.2. Permintaan dan Penawaran ... 4.2. Metode Analisis ... 4.2.1. Constant Market Share Model ... 4.2.2. Model Ekonomi TPT Indonesia ... 34 34 38 50 51 52 4.3. Sumber dan Jenis Data ... 75
V. ANALISIS PERUBAHAN EKSPOR TPT INDONESIA ... 77 5.1. Perubahan Nilai Ekspor TPT Negara Produsen ...
5.1.1. Periode Tahun 1995-2005 ... 77 77
5.1.4. Periode Tahun 2001-2004 ... 5.2. Diskusi dan Implikasi dari Analisis Perubahan Ekspor
TPT Indonesia ... 90
94 VI. ANALISIS EKONOMETRIKA PERKEMBANGAN
INDUSTRI TPT INDONESIA ... 103 6.1. Kinerja Umum Hasil Pendugaan Model
Industri TPT Indonesia ... 6.2. Keragaan Pasar Tekstil Indonesia ... 6.2.1. Produksi Tekstil Domestik ... 6.2.2. Ekspor Tekstil Indonesia ... 6.2.3. Penawaran Tekstil Domestik ... 6.2.4. Harga Tekstil Domestik ... 6.2.5. Permintaan Tekstil Domestik ... 6.2.6. Impor Tekstil Indonesia ... 6.3. Keragaan Pasar Tekstil Dunia ... 6.3.1. Total Ekspor Tekstil Dunia ... 6.3.2. Total Impor Tekstil Dunia ... 6.3.3. Harga Tekstil Dunia ... 6.3.4. Ekspor Tekstil Jerman ... 6.3.5. Ekspor Tekstil Amerika Serikat ... 6.3.6. Ekspor Tekstil China ... 6.3.7. Impor Tekstil Italia ... 6.3.8. Impor Tekstil Amerika Serikat ... 6.3.9. Impor Tekstil China ... 6.4. Keragaan Pasar Garmen Indonesia ... 6.4.1. Produksi Garmen Domestik ... 6.4.2. Ekspor Garmen Indonesia ...
6.4.3. Penawaran Garmen Domestik ... 6.4.4. Harga Garmen Domestik ... 6.4.5. Permintaan Garmen Domestik ... 6.4.6. Impor Garmen Indonesia ... 6.5. Keragaan Pasar Garmen Dunia ...
6.5.1. Total Ekspor Garmen Dunia ... 6.5.2. Total Impor Garmen Dunia ... 6.5.3. Harga Garmen Dunia ... 6.5.4. Ekspor Garmen Jerman ... 6.5.5. Ekspor Garmen China ... 6.5.6. Ekspor Garmen Turki ... 6.5.7. Impor Garmen Jerman ... 6.5.8. Impor Garmen Amerika Serikat ... 6.5.9. Impor Garmen Jepang ... 6.6. Diskusi dan Implikasi dari Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Industri TPT Indonesia ...
134 134 136 137 140 140 140 141 142 144 146 148 149 151 152
VII. HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN
ALTERNATIF KEBIJAKAN ... 156 7.1. Validasi Model Ekonomi Industri TPT Indonesia ... 7.2. Hasil Peramalan Perkembangan Industri TPT Indonesia
Tahun 2007-2010 ... 7.2.1. Penurunan Suku Bunga Riil Bank Sebesar 5 Persen ... 7.2.2. Depresiasi Nilai Tukar Rupiah/USD Sebesar 15 Persen 7.2.3. Kenaikan Harga Riil BBM Sebesar 8.5 Persen ... 7.2.4. Kenaikan Upah Tenaga Kerja Industri Tekstil dan Garmen, Masing-Masing Sebesar 14.5 Persen dan 15 Persen ... 7.2.5. Penurunan Tarif Impor Tekstil dan Garmen Hingga 0 Persen ... 7.2.6. Penurunan Harga Riil Kapas Dunia Sebesar 5 Persen
7.2.8. Kenaikan GDP Riil Amerika Serikat Sebesar 3.1 Persen dan GDP Riil China Sebesar 8.5 Persen ... 7.2.9. Kombinasi Kebijakan Penurunan Suku Bunga Riil Bank
Sebesar 5 Persen Kenaikan Upah Tenaga Kerja Industri Tekstil dan Garmen, Masing-Masing Sebesar 14.5 Persen dan 15 Persen………. 7.2.10. Kombinasi Kebijakan Depresiasi Nilai Tukar Rupiah/USD Sebesar 15 Persen dan Kenaikan Harga Riil BBM Sebesar 8.5 Persen ……… 7.2.11. Kenaikan Harga Riil BBM Sebesar 8.5 Persen dan
Penurunan Harga Riil Kapas Dunia Sebesar 5 Persen 7.2.12. Kombinasi Kebijakan Mendepresiasi Nilai Tukar
Rupiah/USD Sebesar 15 Persen, Menurunkan Harga Riil Kapas Dunia Sebesar 5 Persen, dan Menurunkan Tarif Impor Tekstil dan Garmen hingga Nol Persen ... 7.2.13. Kombinasi Kebijakan Mendepresiasi Nilai Tukar
Rupiah/USD Sebesar 15 Persen, Kenaikan GDP Riil Indonesia Sebesar 8 Persen, Pertumbuhan Populasi Indonesia Sebesar 1.12 Persen, dan Penurunan Tarif Impor Tekstil dan Garmen hingga Nol Persen ... 7.3. Diskusi dan Implikasi dari Simulasi Peramalan Perkembangan Industri TPT Indonesia Tahun 2007-2010 ...
164
165
166
167
168
168
169
VIII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 173 8.1. Simpulan ... 8.2. Implikasi Kebijakan ... 8.3. Penelitian Lanjutan ...
173 176 177
DAFTAR PUSTAKA ... 178
LAMPIRAN ... 184
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman 1. Negara-Negara Pengekspor TPT di Kawasan ASEAN Tahun
2003 ... 4 2. Kondisi Mesin Industri TPT di Indonesia ... 16 3. Tahap Pengintegrasian Perdagangan TPT ke Dalam Ketentuan
GATT Selama 10 Tahun ... 20 4. Jenis, Sumber Data, dan Metode Analisis yang Digunakan
dalam Penelitian ... 75 5. Dekomposisi CMS Perubahan Nilai Ekspor Negara Produsen
TPT di Pasar USA dan Jerman Tahun 1995-2005 ... 78 6. Pemenuhan Kuota Tahun 2002 ... 81 7. Dekomposisi CMS Perubahan Nilai Ekspor Negara Produsen
TPT di Pasar USA dan Jerman Tahun 1995-1997 ... 83 8. Pangsa Pasar TPT Indonesia, India, China, dan Italia
Berdasarkan Jenis Produk Tahun 1995-2005 ... 85 9. Pangsa Pasar TPT Indonesia Berdasarkan SITC Digit 3 Tahun
1995-1997 ... 85 10. Pangsa Pasar TPT India Berdasarkan SITC Digit 3 Tahun
1995-1997 ... 86 11. Dekomposisi CMS Perubahan Nilai Ekspor Negara Produsen
TPT di Pasar USA dan Jerman Tahun 1998-2000 ……….... 88 12. Dekomposisi CMS Perubahan Nilai Ekspor Negara Produsen
TPT di Pasar USA dan Jerman Tahun 2001-2004 ……….... 91 13. Pangsa Pasar Pra dan Post Safeguard Garmen di Pasar
Amerika Serikat Tahun 2005 ... 96 14. Perkembangan Daya Saing TPT Indonesia Tahun 1995-2005 97 15. Produksi, Ekspor, dan Impor Kapas Tahun 2003/2004 …………. 99 16. Tingkat Tarif pada Tekstil dan Garmen ………....…... 100 17. Upah Tenaga Kerja di Industri TPT Tahun 2002 ... 101 18. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Produksi Tekstil Domestik (PTD) ... 105 19. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Ekspor Tekstil Indonesia (XTI) ... 110 20. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Harga Riil Tekstil Domestik (HTDR) ... 112 21. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Permintaan Tekstil Domestik (DTD) ... 113
Harga Riil Tekstil Dunia (HTWR) ... 119 24. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Ekspor Tekstil Jerman (XTG) ... 121 25. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Ekspor Tekstil Amerika Serikat (XTA) ... 122 26. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Ekspor Tekstil China (XTC) ... 124 27. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Impor Tekstil Italia (MTL) ... 125 28. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Impor Tekstil Amerika Serikat (MTA) ... 126 29. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Impor Tekstil China (MTC) ... 128 30. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Produksi Garmen Domestik (PGD) ... 129 31. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Ekspor Garmen Indonesia (XGI) ... 132 32. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Harga Riil Garmen Domestik (HGDR) ... 134 33. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Permintaan Garmen Domestik (DGD) ... 136 34. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Impor Garmen Indonesia (MGI) ... 138 35. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Harga Riil Garmen Dunia (HGWR) ... 141 36. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Ekspor Garmen Jerman (XGG) ... 142 37. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Ekspor Garmen China (XGC) ... 144 38. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Ekspor Garmen Turki (XGT) ... 146 39. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Impor Garmen Jerman (MGG) ... 148 40. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Impor Garmen Amerika Serikat (MTA) ... 150 41. Hasil Pendugaan Parameter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Impor Garmen Jepang (MGJ) ... 151 42. Hasil Pendugaan Validasi Model Industri TPT Indonesia di
Pasar Domestik dan Dunia ... 157
43. Dampak Alternatif Kebijakan Ekonomi Terhadap Perubahan Nilai Rata-Rata Peubah Endogen Tahun 2007-2010 ... 158 44. Struktur Biaya Industri TPT Indonesia ... 170
Nomor Halaman 1. Perkembangan Ekspor Hasil Industri Non Migas Indonesia
Tahun 1993-2006 ... 1
2. Impor TPT di Pasar Amerika Serikat Tahun 2005 ... 2
3. Impor TPT di Pasar Uni Eropa Tahun 2005 ... 3
4. Global Value Chain Industri TPT ... 10
5. Lokasi Industri TPT di Indonesia ... 15
6. Keterkaitan Antar Blok Dalam Perdagangan TPT di Pasar Indonesia dan Dunia ... 53
7. Diagram Model Ekonomi TPT Indonesia di Pasar Domestik dan Dunia ... ...…... 55
8. Besaran Efek Kompetitif dari Negara Produsen TPT di Pasar USA dan Jerman Tahun 1995-2005 ... 80
9. Besaran Efek Kompetitif dari Negara Produsen TPT di Pasar USA dan Jerman Tahun 1995-1997 ... 86
10. Besaran Efek Kompetitif dari Negara Produsen TPT di Pasar USA dan Jerman Tahun 1998-2000 ... 89
11. Besaran Efek Kompetitif dari Negara Produsen TPT di Pasar USA dan Jerman Tahun 2001-2004 ... 93
12. Impor Kapas Indonesia dan Harga Kapas Dunia Tahun 1981-2006 ... 97
13. Produksi, Konsumsi, Impor, dan Ekspor Kapas Indonesia Tahun 1981-2006 ... 107
14. Jumlah Tenaga Kerja di Industri TPT Indonesia Tahun 2005 ... 130
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman 1. Klasifikasi Industri TPT Menurut Harmonized System ..... 183 2. Klasifikasi Komoditas TPT Berdasarkan Standart International
Trade Classification ... 184 3. Interpretasi Tahapan Dekomposisi Model Constant Market
Share TPT Indonesia ... 185 4. Pohon Industri TPT Indonesia Tahun 2000 ... 186 5. Program dan Hasil Pendugaan Model Ekonomi Perkembangan
Industri TPT Indonesia di Pasar Domestik dan Dunia dengan Menggunakan Metode 2SLS ... 187 6. Program dan Hasil Validasi Model Ekonomi Perkembangan
Industri TPT Indonesia di Pasar Domestik dan Dunia dengan Menggunakan Metode 2SLS ... 202 7. Program dan Hasil Peramalan Model Ekonomi Perkembangan
Industri TPT Indonesia di Pasar Domestik dan Dunia dengan Menggunakan Metode 2SLS ... 209 8. Data Penelitian Model Ekonomi Perkembangan Industri TPT
Indonesia di Pasar Domestik dan Dunia ... 216
1.1. Latar Belakang
Industri TPT merupakan penyumbang terbesar dalam perolehan devisa Indonesia. Pada kurun tahun 1993-2006, industri TPT menyumbangkan 19.59 persen dari perolehan devisa ekspor hasil industri pengolahan. Sedangkan pangsanya terhadap ekspor non migas sebesar 16.66 persen, meskipun 85 persen bahan baku berupa kapas masih diimpor. Industri TPT tetap mampu menghasilkan devisa sebesar 9.52 miliar USD pada tahun 2006, meningkat tajam dari hanya 559 juta USD pada tahun 1985 (Gambar 1).
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006
Tahun
Ju
ta
U
S
D
TPT Kayu Olahan Karet Olahan Alat-Alat Listrik Kertas dan Produk Kertas
Gambar 1. Perkembangan Ekspor Hasil Industri Non Migas Indonesia Tahun 1993-2006
Sumber: Badan Pusat Statistik, 1993-2006.
2
Posisi perdagangan TPT Indonesia di dunia cukup diperhitungkan. Indonesia merupakan salah satu produsen TPT terbesar di dunia. Pada tahun 2000, ekspor TPT Indonesia mencapai rekor sebesar 8.20 miliar USD dengan menduduki peringkat ke 10 di antara negara produsen utama TPT dunia. Tahun 2003, ekspor TPT Indonesia hanya mencapai 7.05 miliar USD, sehingga posisi peringkatnya menurun menjadi ke 17. Namun pada tahun 2004, sektor ini mampu meningkatkan perolehan devisa sebesar 7.60 miliar USD. Secara keseluruhan pangsa ekspor Indonesia sebesar 2.30 persen dari total pasar dunia atau 452.83 milar USD.
Pasar Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang adalah pasar utama tujuan ekspor bagi negara pengekspor TPT. Pada tahun 2005, negara-negara seperti Afrika, Mexico, dan Uni Eropa memiliki nilai ekspor kurang dari 10 miliar USD di pasar Amerika Serikat. Sedangkan pangsa pasar Indonesia di pasar Amerika Serikat sebesar 3.31 persen atau 3.4 miliar USD (Gambar 2).
Gambar 2. Impor TPT di Pasar Amerika Serikat Tahun 2005
27.70 9.60 9.40 8.10 5.80 5.40 3.50 3.40 3.20 3.00
0 5 10. 15. 2 2
P
.00 .00 00 00 0.00 5.00 30.00
China CAFTA a Asia Timur b Mexico Uni Eropa India Kanada Indonesia Pakistan Viet Nam M ili a r U S D ersentase
Keterangan : a : Costa Rica, Republik Dominika, El savador, Guatemala, Honduras, dan Nicaragua.
India, Rumania, Bangladesh, dan negara-negara di Asia Timur memperoleh bagian nilai ekspor untuk pasar Uni Eropa tidak lebih dari 6 miliar USD. Sedangkan Turki yang secara geografis wilayahnya berdekatan dengan Uni Eropa, mampu meningkatkan ekspor TPT-nya hingga 11.5 miliar USD. Sementara itu, ekspor TPT Indonesia di pasar Uni Eropa hanya sebesar 1.7 miliar USD (Gambar 3).
24.20 11.50
5.90 4.20 3.80 3.50 2.80 2.50 2.30 1.70
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 China
Turki India Rumania Bangladesh Asia Timur (4) a Tunisia roko Pakistan Indonesia
M
ilia
r U
S
D
Persentase
Ma
Gambar 3. Impor TPT di Pasar Uni Eropa Tahun 2005
Keterangan : a : Hong Kong, China, Republik Korea, Macao, dan Taiwan. Sumber : Eurostat, 2005 dalam WTO, 2006.
4
Tabel 1. Negara-Negara Pengekspor TPT di Kawasan ASEAN Tahun 2003
Tujuan Ekspor No. Negara 2000 (Juta Jiwa) Populasi Tahun Nilai Ekspor (Juta USD) Uni Eropa
(Juta USD)
USA (Juta USD)
1. Indonesia 222.3 7 051 1 592 2 047
2. Thailand 62.9 5 538 1 027 1 889
3. Singapura 3.6 2 506 617 943
4. Pilipina 40.5 2 500 298 1 764
5. Malaysia 22 2 178 357 688
Sumber: ASEAN Secretary dalam API, 2005.
Permintaan hasil produksi TPT akan cenderung meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, sehingga potensi pasar TPT domestik cukup besar. Hal ini didasarkan pada tingkat populasi yang mencapai lebih dari 220 juta jiwa dan membaiknya tingkat pendapatan masyarakat. Besarnya pasar TPT Indonesia, yang ditunjukkan oleh oleh tingkat konsumsi serat tekstil Indonesia, dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 1995 dengan jumlah penduduk 198.50 juta jiwa, total konsumsi serat mencapai 1.60 juta ton, dan 831 ribu ton di antaranya merupakan konsumsi lokal, atau setiap penduduk membutuhkan 4.20 kg. Angka tersebut terus naik dan pada tahun 2000 dengan total 211.50 juta jiwa, total konsumsi serat Indonesia sebanyak 2.03 juta ton atau 1 044 ribu ton merupakan konsumsi domestik atau rata-rata per penduduk 4.90 kg. Dalam jangka panjang, tingkat konsumsi serat tekstil Indonesia akan terus meningkat. Menurut perkiraan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), tingkat pertumbuhan konsumsi serat tekstil Indonesia berkisar 3.50 persen per tahun.
mencapai Rp. 4.48 triliun, sehingga total nilai konsumsi kain secara keseluruhan mencapai Rp. 8.50 triliun (Kompas, 2003 dalam Yastuti, 2004).
Selain dari pertumbuhan penduduk dalam negeri, permintaan tekstil dan garmen berpeluang meningkat dengan dibukanya sistem kuota di negara-negara pengimpor. Kesepakatan Putaran Uruguay tanggal 15 April 1994 di Marakesh yang menghasilkan Agreement on Textile and Clothing (ATC) dan menetapkan sistem kuota impor, pada tanggal 1 Januari 2005 telah dicabut untuk disesuaikan dengan ketentuan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT). Perubahan ini akan berdampak positif bagi perkembangan industri TPT dengan perdagangan yang lebih adil dan menandai era baru perdagangan TPT dunia. Sistem kuota TPT yang bersifat diskriminasi dihapuskan dan market share TPT semakin besar yang berarti peluang untuk pengembangan industri TPT Indonesia juga semakin besar.
1.2. Perumusan Masalah
Dalam lima tahun terakhir, perkembangan industri TPT Indonesia menunjukkan kecenderungan yang menurun. Laju pertumbuhan industri TPT Indonesia terhadap PDB turun dari 3.25 persen pada tahun 2001 menjadi 2.98 persen pada tahun 2006. Bahkan pangsa ekspor TPT terhadap total ekspor hasil industri juga menurun sebesar 20.38 persen pada tahun 2001 menjadi 14.64 persen pada tahun 2006.
6
(29.4 persen), juga mengalami penurunan produksi hingga 29.2 persen atau setara dengan 116.9 ton. Penurunan produksi industri TPT juga antara lain terkait dengan kenaikan biaya-biaya produksi (bahan bakar minyak (BBM), tarif daftar listrik, tingkat upah, import duty).
Sementara itu, perubahan perdagangan TPT dunia akan menimbulkan peluang dan sekaligus ancaman bagi industri TPT Indonesia. Peluang yang muncul adalah pangsa pasar negara-negara yang selama ini telindungi oleh sistem kuota akan menjadi terbuka. Sedangkan ancaman yang patut diperhitungkan industri TPT Indonesia adalah kompetisi yang ketat dari negara-negara eksportir TPT di dunia, seperti China, India, Bangladesh, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.
Di samping persaingan terbuka, penghapusan sistem kuota TPT juga mengubah peta pasar. Peritel atau pembeli besar di negara maju meskipun meningkatkan volume pembelian dari tahun ke tahun, tetapi juga mengurangi jumlah pemasoknya demi efisiensi dan risiko waktu pengantaran. Diperkirakan sampai dengan tahun 2010 jumlah pemasok TPT dunia tinggal 25 negara dari 150 negara (Inggi, 2004). Isu-isu non tarrif barrier, seperti transshipment dan
dumping juga ikut mempengaruhi arus penetrasi perdagangan TPT dari negara-negara berkembang ke negara-negara-negara-negara maju. Begitu pula dengan pemberlakuan
safeguard maupun embargo oleh suatu negara dapat mengubah orientasi penetrasi pasar negara tersebut.
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan penelitian secara umum adalah menganalisis perkembangan dan prospek industri TPT Indonesia di pasar dunia. Sedangkan secara khusus, tujuan penelitian ini adalah,
1. Mengidentifikasi posisi dan daya saing ekspor TPT Indonesia di antara negara-negara pesaingnya.
2. Menganalisis perkembangan industri TPT Indonesia dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
3. Menganalisis prospek perkembangan industri TPT Indonesia dan keterkaitannya dengan pasar TPT dunia.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk penyusunan kebijakan-kebijakan dalam mendukung perkembangan industri TPT Indonesia.
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini perkembangan kapas di dalam negeri, sebagai bahan baku utama industri TPT, tidak diperhitungkan di dalam model. Selain itu, struktur biaya yang digunakan dalam model CMS dan model ekonomi adalah biaya di tingkat industri yang terwakili oleh harga, permintaan, dan penawaran terhadap seluruh produk, baik sebagai input produksi maupun sebagai output pada pasar. Output industri tekstil berupa serat, benang dan kain, dianggap homogen dan pada tahap selanjutnya digunakan sebagai input industri garmen.
8
berdasarkan jenis produk. Harga tekstil dan garmen dunia merupakan harga rata-rata dari beberapa negara produsen TPT dunia.
2.1. Sejarah dan Pengertian Industri TPT
Industri tekstil merupakan salah satu industri tertua di dunia. Tekstil tertua ditemukan pertama kali berupa potongan pakaian dari linen di gua orang Mesir pada 5000 sebelum Masehi. Pada awal tahun 1500an sistem pabrik dibangun untuk pertama kalinya, meskipun masih berskala rumah tangga dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Pada abad 18 terjadi revolusi industri di Inggris, dimana mesin pemintalan dan penenunan ditemukan. Tahun 1769 mesin pemintalan Richard Arkwright yang menggunakan gulungan dengan kecepatan yang tidak tetap dipatenkan dan tenaga air telah menggantikan tenaga manual. Pada abad 19 serat buatan telah berkembang (rayon pertama kali diproduksi pada tahun 1910), namun demikian serat alami (wool, kapas, sutera, dan linen) masih digunakan pula secara luas hingga sekarang. Oleh karena harga serat alami lebih mahal, penggunaannya dicampur dalam pembuatan polyester sebagai serat sintetik (Environmental Protection Agency, 1997).
10
Lanka. Pada tahun 1990an supplier baru terus bermunculan di Asia Selatan dan Amerika Latin.
Secara umum industri tekstil dan garmen memiliki karakteristik yang melibatkan beragam tahapan dan keterkaitan antara tahapan tersebut. Oleh sebab itu rantai supply TPT dapat dibagi menjadi lima bagian utama yang terintegrasi, yaitu: (1) jaringan material bahan baku yang meliputi serat alam dan sintetis, (2) jaringan komponen, seperti benang dan kain oleh perusahaan tekstil, (3) jaringan produksi atau perusahaan garmen, (4) jaringan perdagangan, dan (5) jaringan pemasaran di tingkat pedagang eceran atau retail (Gambar 4).
Serat Alam (Kapas, Wool, Sutera)
Serat Sintetis (Minyak, Gas Alam)
Benang (Pemintalan) Petrochemicals Kain (Penenunan, Perajutan, Penyelesaian Akhir)
Perusahaan Garmen USA (Pembuatan Desain, Pemotongan, Penjahitan,
Pemasangan Kancing, Penyetrikaan) Sub Kontraktor dari Dalam Negeri dan Mexico/Karibia
Kontraktor Garmen Asia
Sub Kontraktor dari Dalam Negeri dan Luar Negeri
Perusahaan Pakaian dengan Nama Merk
Tertentu Jasa-Jasa Pembelian Luar negeri Perusahaan Perdagangan Departement Store Specialty Store Rantai Barang-Barang Masal Discount Chains
Off Price, Factory Outlet, Pemesanan via Surat, dan
Lain-Lainnya Serat Sintetik
Jaringan Bahan Baku Jaringan Komponen Jaringan Produksi Jaringan Ekspor Jaringan Pemasaran Industri Tekstil Industri Garmen
Semua Retail Outlet
Retail Outlets
Amerika Utara
Asia
Semua
Retail Outlet
Sektor Hulu Sektor Menengah Sektor Hilir
Gambar 4. Global Value Chain Industri TPT
Sumber: Organization for Economic Co-operation and Develpoment, 2004.
Tekstil berasal dari bahasa Latin, yaitu textiles yang berarti menenun atau kain tenun. Tekstil berarti pula: (1) Suatu benda yang dibuat dari benang, kemudian dijadikan kain sebagai bahan pakaian, (2) Suatu benda yang berasal dari serat atau benang yang dianyam (ditenun) atau dirajut, direnda, dilapis, dikempa untuk dijadikan bahan pakaian atau untuk keperluan yang lainnya (Gunadi dalam Djafrie, 2003).
Dengan proses dan petahapan seperti itu, pengklasifikasian TPT dilakukan berdasarkan tujuan penggunaan TPT itu sendiri, sehingga menimbulkan cara pengklasifikasian. Pada saat ini terdapat dua jenis klasifikasi TPT, yaitu klasifikasi berdasarkan proses produk atau industri (Harmonized System) (Lampiran 1) dan berdasarkan jenis komoditas perdagangan (Standart International Trade Classification) (Lampiran 2).
2.2. Industri TPT Indonesia
Pada awal pemerintahan Orde Baru, kegiatan industri TPT terbatas pada penenunan dan pemintalan dalam jumlah yang masih sangat terbatas. Tujuan produksinya masih terkonsentrasi pada pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan produk tekstil yang dihasilkan masih sangat sederhana, karena sebagian besar berbentuk kain. Perkembangan industri TPT ini berkaitan dengan strategi pengembangan industrialisasi nasional yang berorientasi pada substitusi impor, yang distimulasi pula dengan penjatahan kain mori dan benang. Proses pendalaman struktur industri tekstil terjadi pada pertengahan tahun 1970an, saat para pengusaha tekstil terjun dalam pembuatan serat sintetik dan mulai melakukan ekspor.Klasifikasi industri TPT yang digunakan Indonesia, adalah sebagai berikut:
12
merupakan sektor yang sarat dengan teknologi tinggi dengan peralatan yang serba otomatis.
a. Serat alam (nature fiber)
Tanpa memperdebatkan pengaruh iklim dan skala ekonomi dalam mengembangkan industri serat alami kapas, Indonesia belum mampu menghasilkan serat alam kapas sebagai bahan industri TPT yang mampu bersaing dengan negara lain, seperti Australia, China, Pakistan, dan India (di luar Amerika Serikat). Berbeda dengan serat buatan, serat nabati sangat mungkin untuk dikembangkan di Indonesia. Sedangkan serat hewani, kecuali sutera, sulit dikembangkan karena iklim yang tidak mendukung. Serat haramay adalah jenis serat yang berpeluang besar. Masalah degumming (pembersihan getah dari serat), belum adanya
sorting dan grading pada hasil tanaman haramay, membuat industri pemintalan jarang menggunakannya (Istojo, 2002).
b. Serat buatan (man made fiber), contohnya serat sintetik
Indonesia termasuk pemasok terbesar serat polyester dan pemegang kuota untuk serat polyester di Eropa. Selain itu serat selulosa juga berkembang pesat di Indonesia. Bahan jadi serat ini tidak dikembangkan untuk tujuan ekspor karena sifatnya lebih mendekati kapas atau lebih sesuai untuk daerah tropis.
2. Sektor menengah (midstream) terdiri dari industri pemintalan (spinning),
pertenunan (weaving), dan pencelupan atau penyempurnaan
dalam mengikuti fashion trend. Di Indonesia industri pertenunan atau perajutan merupakan industri besar, sedangkan di negara maju justru menjadi industri kecil yang menerima job order dari industri besar. Industri pemintalan Indonesia rata-rata menempati posisi lemah untuk produk benang kapas kasar (Ne 30 ke bawah) dan halus (Ne 60 ke atas). Produk benang kapas ukuran menengah (Ne 30-60) dan serat campuran sangat disegani, sehingga industri pertenunan bersikap selektif dalam pembelian bahan baku. Misalkan untuk pembelian benang kapas kelas tinggi diimpor dari China, untuk kelas menengah dibeli dari dalam negeri dan untuk kelas kasar diimpor dari India dan Pakistan. Dengan cara ini maka diperoleh komposisi bahan setengah jadi dengan harga yang paling rendah.
Indonesia dikenal sebagai negara eksportir kain weaving grey dengan kapasitas produksi yang cukup besar. Dalam peta konsumsi serat dunia, industri weaving mengkonsumsi sekitar 51 persen dari total serat yang dikonsumsi dunia. Industri finishing dan printing merupakan titik terlemah industri TPT Indonesia, baik dalam total kapasitas maupun variasi kapasitas mesin (Istojo, 2002). Finishing yang ada umumnya ditujukan untuk pemutihan (bleaching) secara masal dan hanya untuk produk buatan sendiri, meskipun kemampuan ini seharusnya dapat digunakan untuk menyempurnakan produk pesanan. Proses finishing tidak berkembang karena tingginya royalty dan
licensed fee. Dengan pertimbangan tersebut, maka lebih menguntungkan mengekspor lembaran grey (yang belum diputihkan) dan mengimpor lagi setelah di-printing. Berbeda dengan industri pemintalan, industri finishing dan
printing berkembang lebih lambat karena kurang berkembangnya teknologi yang digunakan.
14
modal kerja yang besar. Industri garmen membutuhkan keputusan yang kompleks dalam memperkirakan input dan outputnya. Adapun yang membuat berbeda dengan industri lainnya adalah industri garmen adalah padat karya, selama ini sistem komputerisasi tidak dapat menggantikan keahlian tenaga kerja. Menjahit adalah contoh utama dimana proses ini tidak dapat diotomatiskan. Diperlukan kekompakan dan kecepatan team, karena fleksibilitas yang tinggi dalam melayani konsumen akhir yang sangat variatif. Segmen pasar dunia saat ini dikuasai oleh negara maju, misalnya Perancis dan Italia untuk tekstil halus, sedangkan untuk tekstil kasar oleh China. Oleh sebab itu Indonesia berusaha untuk memasuki kelas antara keduanya. Tujuan pasar utamanya adalah negara berkembang yang tinggi tingkat perekonomiannya.
Kebutuhan kapas tidak dapat dipenuhi di dalam negeri karena dua faktor, yaitu rendahnya nilai ekonomi tanaman kapas dan iklim yang tidak mendukung pertumbuhan tanaman kapas. Adapun skala usaha yang mendominasi pada industri TPT adalah industri besar (89.71 persen) dengan jumlah tenaga kerja mencapai 100 hingga 13 000 orang, sedangkan yang kedua adalah industri menengah (8.43 persen), dan yang terakhir industri kecil (1.86 persen). Berdasarkan distribusi geografis (Gambar 5), 90 persen industri TPT Indonesia terkonsentrasi di pulau Jawa, khususnya Jawa Barat.
Gambar 5. Lokasi Industri TPT di Indonesia
Sumber: Departemen Perindustrian dalam Bank Indonesia, 2006.
16
Menurut PT. Sucofindo, 57 persen mesin-mesin perusahaan TPT di Indonesia telah berumur 15 tahun, 18 persen di antaranya berumur 10-15 tahun, 18 persen berumur 5-10 tahun, dan 7 persen berumur di bawah 5 tahun (Tabel 2). Terdapat lebih dari 4 100 perusahaan tekstil, sebanyak 774 perusahaan di antaranya membutuhkan pergantian mesin-mesin yang telah usang. Keadaan mesin pada akhirnya akan mempengaruhi kemampuan memproduksi TPT.
Tabel 2. Kondisi Mesin Industri TPT di Indonesia Tahun 2004
No. Sub Sektor Umur (tahun) Jumlah (unit)
< 5 629
< 10 4 490
< 20 4 014
< 30 1 568
1. Pemintalan (Spinning)
30 + 1 587
< 5 1 152
< 10 8 134
< 20 8 437
< 30 3 350
2. Penenunan (Weaving)
30 + 1 267
< 5 827
< 10 3 246
< 20 690
< 30 888
3. Printing, Dying, Finishing
30 + 828
< 5 204 209
< 10 160 320
< 20 31 140
4. Pakaian Jadi(Garment)
< 30 857
Sumber: Sucofindo diolah dalam Indocommercial, 2004.
Sejak enam tahun silam Thailand, Pakistan, Turki, China, dan Korea telah melakukan modernisasi di sektor industri pemintalan dan penenunan. Dibandingkan dengan negara-negara tersebut, produktivitas industri pemintala dan penenunan Indonesia sangat rendah (Asosiasi Pertekstilan Indonesia, 2005). Oleh sebab itu peremajaan dan modernisasi permesinan akan menjadi kunci penting TPT Indonesia dalam persaingan dengan TPT dunia.
(2.58 persen). Komposisi nilai ekspor sub sektor serat yang relatif kecil disebabkan sebagian besar output industri ini digunakan sebagai input industri berikutnya di dalam negeri. Sedangkan garmen merupakan produk yang dapat secara langsung dikonsumsi oleh konsumen akhir dan mempunyai pangsa ekpor yang besar ke negara Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Pada tahun 1950an dan 1960an, industri TPT lebih banyak berstatus Badan Umum Milik Negara (BUMN), karena komitmen intervensi ekonomi di masa pemerintahan Soekarno menjadikan negara lebih banyak terlibat dalam produksi benang dan kain serta pengaturan impor. Akan tetapi pada tahun 2005, industri TPT banyak yang bersatus Pemilik Modal Dalam Negeri (PMDN) yaitu sebesar 54.28 persen, sedangkan perusahaan yang berstatus BUMN sebanyak 31.97 persen. Sisanya adalah perusahaan-perusahaan berstatus Pemilik Modal Asing (PMA). Kebijakan penting yang dikeluarkan pemerintah dan sangat mempengaruhi investasi adalah UU No. 01 tahun 1967 tentang PMA dan UU No. 06 tahun 1968 tentang PMDN. Perkembangan ini menunjukkan bahwa peran perusahaan-perusahaan swasta dalam mengelola dan mengembangkan industri TPT semakin besar dibandingkan peran perusahaan pemerintah.
2.3. Kebijakan Perdagangan TPT
2.3.1. Kebijakan Perdagangan TPT Dunia
Proteksi TPT menjadi sejarah yang panjang di negara Amerika Serikat dan Uni Eropa. Pada tahun 1950an, Jepang, Hong Kong, China, India, dan Pakistan menyetujui secara suka rela untuk membatasi ekspor TPT dari kapas ke pasar Amerika Serikat. Pada tahun 1960an Long Term Agreement (LTA) dalam perdagangan internasional tekstil kapas ditandatangani dengan bantuan GATT. LTA melakukan beberapa negosiasi hingga akhirnya digantikan dengan
18
A. Multi Fiber Arrangement Tahun 1974-1994
Dari tahun 1974 sampai akhir Putaran Uruguay, perdagangan TPT diatur dalam kerangka MFA, yaitu suatu kerangka perjanjian yang bersifat sepihak (bilateral atau unilateral) untuk menetapkan kuota dalam membatasi impor (jumlah) ke negara-negara tertentu yang industri domestiknya sedang menghadapi masalah serius atau gangguan pasar dari impor yang meningkat dengan cepat. Menurut Hady (2004), kuota MFAmemiliki beberapa karakteristik, yaitu pertama kebijakan tersebut berimplikasi diskriminasi pada beberapa negara eksportir dan tidak kepada negara yang lain. Kedua, kuota dinegosiasikan secara bilateral dan tidak berlaku global, antara negara satu dengan negara lain berbeda dalam cakupan produk serta tingkat pembatasannya. Yang ketiga kuota tersebut terlibat secara terbatas dalam ekspor, transferring rent dari negara importir ke negara eksportir. MFA, seperti namanya, adalah mencakup pembatasan perdagangan TPT yang meliputi wool dan serat buatan yang masih mengandung kapas. Pada tahun 1970an, ilmu pengetahuan tentang analisis kebijakan perdagangan kuantitatif tidak berkembang dengan baik, oleh sebab itu penetapan kuota suatu negara menjadi lemah.
B. Agreement on Textiles and Clothing Tahun 1995-2004
Agreement on Textiles and Clothing (ATC) bukan perkembangan dari MFA, namun merupakan sarana transisi ke dalam proses integrasi penuh dan dibangun berdasarkan unsur-unsur kunci sebagai berikut, yaitu
1.
Pemenuhan produk berdasarkan volume perdagangan TPT tahun 1990 dan produk yang diintegrasikan harus mencakup benang, kain, pakaian jadi, dan produk tekstil yang diolah,2.
Suatu program pengintegrasi yang progresif untuk produk tekstil dan pakaian jadi ke dalam aturan GATTtahun 1994,3.
Suatu proses liberalisasi untuk memperbesar kuota yang ada secara progresif melalui peningkatan laju pertumbuhan tahunan pada setiap tahapannya,4.
Terdapat mekanisme safeguard khusus untuk menangani kasus-kasus baru yang berhubungan dengan ancaman serius terhadap produsen domestik sepanjang periode transisi,5.
Menetapkan Badan Pengawas Tekstil (Textile Monitoring Body atau TMB) untuk mengawasi pelaksanaan dari persetujuan dan memastikan bahwa aturan-aturan itu dijalankan sesuai ketentuan dan6.
Ketentuan-ketentuan lain mencakup aturan atas tindakan circumventionterhadap kuota, administrasi, perlakuan pembatasan non MFA, dan komitmen sesuai prosedur dan persetujuan WTO yang berkaitan sektor ini.
20
diharapkan dapat dilaksanakan dalam empat tahapan dan pada akhirnya semua produk dapat terintegrasi di penghujung tahun ke 10. Tahap pertama dimulai tanggal 1 Januari 1995 dengan mengintegrasikan jenis produk tidak kurang dari 16 persen (dari total impor tahun 1990 sebagai tahun dasar) dari semua produk di dalam lampiran tersebut. Pada tahap kedua, dimulai 1 Januari 1998, tidak kurang dari 17 persen atau lebih telah terintegrasi. Tahap ketiga dimulai 1 Januari 2002, tidak kurang dari 18 persen terintegrasi. Akhirnya pada tahap keempat, 1 Januari 2005 semua produk sisanya (49 persen) dari total impor tahun 1990 terintegrasi secara penuh sesuai persetujuan (Tabel 3).
Tabel 3. Tahap Pengintegrasian Perdagangan TPT ke Dalam Ketentuan GATT Selama 10 Tahun
Tahapan
Persentase Produk yang Dikembalikan ke Dalam
Aturan GATT
Persentase Produk Per
Tahun Tahap 1,
1 Januari 1995-31 Desember 1997
16 (minimum, dasar perhitungan impor dari tahun 1994)
6.96
Tahap 2,
1 Januari 1998-31 Desember 2000 17 8.70
Tahap 3,
1 Januari 2001-31 Desember 2004 18 11.05
Tahap 4, 1 Januari 2005
Integrasi penuh ke dalam aturan GATT dan penghapusan final dari kuota yang tersisa serta sekaligus ATC berakhir
49 (maksimum) Tidak ada lagi kuota
Sumber: World Trade Organization, 2004.
kuantitatif berbeda dengan yang ada di dalam MFA. Bagaimanapun pembatasan tersebut tidak dibenarkan dalam ketentuan GATT dan harus disesuaikan dengan aturan GATT atau menghapuskannya dalam jangka waktu sepuluh tahun periode transisi di bawah pengawasan TMB.
Lima puluh lima anggota memilih untuk mempertahankan hak ini dan kebanyakan dari mereka menyajikan daftar produk untuk pengintegrasian. Sembilan anggota tersebut adalah Australia, Brunei Darussalam, Chili, Kuba, Hongkong, Islandia, Macau, Selandia Baru dan Singapura memutuskan untuk tidak mempertahankan hak dalam menggunakan mekanisme safeguard ATC. Mereka dianggap telah terintegrasi 100 persen dari awal.
Aspek kunci ATC terdapat di dalam Artikel 6. Dimana dalam perjanjian tersebut berhubungan dengan mekanisme transitional safeguard khusus guna melindungi anggota dari impor produk yang belum terintegrasi ke dalam GATT dan tidak diatur di bawah kuota serta merusak pasar dalam negeri sepanjang periode transisi. Ketentuan ini didasarkan pada pendekatan two-tiered. Pertama negara pengimpor harus menentukan bahwa total impor suatu produk spesifik telah menyebabkan kerugian serius atau menjadi ancaman nyata terhadap industri domestiknya. Kedua, memutuskan perusahaan-perusahaan yang mengalami kerugian tersebut. Terdapat prosedur dan kriteria spesifik yang diperkenalkan untuk masing-masing langkah, termasuk negara pengimpor harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan negara pengekspor tersebut. Safeguard
22
kurang dari 6 persen. Safeguard khusus telah digunakan 24 kesempatan di tahun 1995 oleh Amerika Serikat, 8 kali pada tahun 1996 (Brazil 7 kali dan USA 1 kali), 2 kali di tahun 1997 oleh Amerika Serikat, dan 10 kali pada tahun 1998 (Columbia 9 kali dan USA 1 kali).
Sedangkan Artikel 5 ATC berisi aturan dan prosedur yang memantau secara ketat dan konsisten mengenai tindakan circumvention kuota, yaitu upaya pengelakan yang dilakukan oleh negara pengimpor terhadap kesepakatan persetujuan, baik melalui transportasi, rerouting, dokumen palsu asal produk, ataupun pemalsuan dokumen pejabat. Hal ini memerlukan konsultasi interalia
dan kerja sama dengan instansi yang terkait, hukum dan prosedur administrasi. Ketika sudah tersedia bukti yang cukup, kesulitan yang ada mungkin berkaitan dengan pengingkaran masuknya barang-barang tersebut.
Kegiatan administrasi, aturan dan prosedur dikonsultasikan dengan maksud untuk mencapai solusi bersama yang dapat diterima (artikel 4). Ketentuan yang berkaitan dengan tekstil dan pakaian jadi dalam Putaran Uruguay memerlukan komitmen semua anggotanya untuk mentaati aturan sehingga dapat dicapai peningkatan akses pasar, memastikan perdagangan yang adil dan menghindari diskriminasi terhadap impor tekstil dan pakaian jadi (Artikel 7). Jika suatu negara pengekspor tidak mentaati kewajibannya, maka Badan Pengawas Perselisihan atau Council for Trade in Goods akan bertindak.
C. Textile Monitoring Body
WTO menurut pengelompokan dalam suatu daerah pemilihan yang disetujui juga oleh anggota WTO lainnya.
Dapat terjadi rotasi di dalam daerah pemilihan itu. Karakteristik ini membuat TMB menjadi suatu institusi yang unik di dalam kerangka TMB. Pada bulan Januari 1995, Dewan Umum memutuskan komposisi untuk TMB tahap pertama. Pada bulan Desember 1997, Dewan Umum memutuskan komposisi untuk tahap kedua (tahun 1998-2001) dengan anggota TMB yang ditunjuk oleh anggota WTO berasal dari daerah pemilihan, (1) negara-negara anggota ASEAN, (2) Kanada dan Norwegia, (3) Pakistan dan China (setelah accession), (4) Masyarakat Ekonomi Eropa, (5) Korea dan Hong Kong; China, (6) India dan Mesir/Maroko/ Tunisia, (7) Jepang, Amarika Latin dan negara-negara Karibia, (8)
Amerika Serikat, (9) Turki, Swiss, dan Bulgaria/Chekoslowakia/Hongaria/Polandia/Rumania/Slovakia/Slovenia. Selain itu terdapat dua peninjau tanpa partisipasi dari anggota yang tidak diwakili struktur ini, satu dari Afrika dan satu dari Asia.
TMB memonitor tindakan yang diambil sesuai dengan kerangka persetujuan dan memastikan tetap konsisten serta melaporkan kepada Council
for Trade in Goods untuk meninjau ulang operasi persetujuan sebelum masing-masing tahapan proses pengintegrasian selanjutnya dilaksanakan. TMB juga menangani penyelesaian perselisihan untuk dibawa ke Badan Penyelesaian Perselisihan Reguler WTO.
2.3.2. Kebijakan Perdagangan TPT Indonesia
24
multilateral dalam perdagangan TPT pada dasarnya bertujuan untuk menjamin kelancaran transaksi perdagangan TPT antar negara pesertanya. Hal ini dilakukan melalui penetapan pembatasan perdagangan secara kuantitatif dalam bentuk kuota, agar tidak mengganggu pasar di negara importir. Di dalam pembatasan perdagangan dalam bentuk kuota, pemerintah negara pengekspor bersedia mengatur pembatasan ekspornya atau negara pengimpor melakukan pembatasan impor. Ekspor TPT ke negara tradisional (Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada, Turki, dan Norwegia) mulai dikenakan kuota oleh negara pengimpor sejak sekitar tahun 1980 di bawah kerangka kesepakatan MFA (Indonesian Textile Magazine. 2002a).
mengatur pengalokasian kuota TPT ada pada Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional dan Direktorat Ekspor. Kemudian dengan dikeluarkannya Kepres Republik Indonesia nomor 136 tahun 1999 yang diubah dengan Kepres Republik Indonesia nomor 147 tahun 1999, kewenangan dimaksud menjadi kewenangan Dirjen Perdagangan Luar Negeri atau PLN, Direktorat Ekspor Produksi Industri dan Pertambangan atau EPIP. Berdasarkan kewenangan yang dimiliki instansi-instansi tersebut, maka dalam mengatur pengalokasian kuota TPT diterbitkan Surat Keputusan dari Menteri Perdagangan atau Menteri Perindustrian dan Perdagangan, sesuai masa keberadaannya, yang ditindaklanjuti dengan keputusan tingkat Direktur Jenderal masing-masing.
Pada mulanya peraturan-peraturan yang terbit dalam rangka pengelolaan sistem manajemen kuota adalah Kepmen nomor 53 dan Kepmen 67 tahun 2000 (telah diperbaharui lagi menjadi Kepmen nomor 311/MPP/Kep/10/2001 tentang Ketentuan Kuota Ekspor TPT), dan yang terakhir adalah Kepmen no 374 tahun 1998, dimana seluruh kuota ekspor TPT dialokasikan oleh pejabat tingkat Dirjen dan pengambilalihan hak kuota tersebut (khusus KT) hanya dapat dilakukan oleh Eksportir Terdaftar TPT atau ETTPT melalui Bursa Komoditi Indonesia atau BKI yang dikelola oleh Badan Pengelola Bursa Komoditi atau BAPEBTI di Jakarta Pusat. Sedangkan Kanwil Depperindag daerah tekstil bertugas untuk mencatat dan menyampaikan alokasi kuota ekspor TPT tersebut kepada masing-masing ETTPT maupun melaksanakan pencatatan dan pelaporan setiap mutasi kuota tersebut termasuk realisasi ekspornya.
26
kepada ETTPT yang termasuk Perusahaan Kecil dan Koperasi atau ETTPT-PKK dan pelaksanaan pengambilalihan hak kuota ekspor TPT dilakukan oleh Kanwil Depperindag daerah tekstil, sedangkan untuk ETTPT Perusahaan Menengah Besar atau ETTPT-PMB dilakukan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri. Kuota nasional yang diperoleh dari kesepakatan bilateral dibagikan kepada ETTPT dan pelaksanaan realisasinya dipantau oleh PT. Sucofindo (Persero) yang ditunjuk oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan sebagai pelaksana sistem Monitoring Kuota Tekstil atau MKT.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 558/MPP/Kep/12/1998 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor yang lampirannya telah mengalami beberapa kali perubahan dan yang terakhir dengan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 575/MPP/Kep/VIII/2002, kebijakan ekspor Indonesia dalam pelaksanaannya hampir seluruh barang sudah tidak memiliki pembatasan (barang bebas) kecuali beberapa komoditas yang pengaturannya dapat dibedakan dalam tiga kelompok, yaitu (1) barang yang dilarang ekspor, (2) barang yang diawasi ekspornya, dan (3) barang yang diatur ekspornya. TPT termasuk barang yang diatur ekspornya dengan alasan untuk peningkatan mutu, optimalisasi kuota dan berkaitan dengan perjanjian luar negeri. Ekspor TPT ke negara USA, Kanada, Uni Eropa dan Turki wajib sertai dengan Surat Keterangan Asal atau SKA.
Di samping itu juga untuk meningkatkan, mengembangkan, dan menjamin kepastian berusaha di bidang TPT. Sedangkan di bidang kebijakan impor TPT, Pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Tataniaga Impor Tekstil dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 19/M-DAG/Per/9/2005 tentang Ketentuan Impor TPT. Peraturan ini dilatarbelakangi untuk mempertahankan iklim usaha di bidang TPT agar tetap kondusif di pasar domestik dan dalam rangka untuk mencegah praktek perdagangan tidak adil yang mengakibatkan kerugian terhadap industri dan konsumen TPT. Importasi hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang telah mendapat pengakuan sebagai Impotir Produsen Tekstil (IP Tekstil). Tekstil yang diimpor oleh IP Tekstil hanya dapat dipergunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong untuk proses produksi dari industri yang dimiliki oleh IP Tekstil dan dilarang untuk diperjualbelikan maupun dipindahtangankan.
III. TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Tinjauan Penelitian TPT Indonesia
Penelitian Soeratno (1988), menganalisis keunggulan komparatif suatu produk ekspor, seperti pakaian jadi, bersumber pada banyaknya tenaga kerja dalam negeri dengan upah yang murah, skala produksi yang ekonomis, efisiensi upah, rendahnya harga bahan baku dan penolong, serta berbagai bentuk subsidi yang dilakukan oleh pemerintah. Untuk kasus industri pakaian jadi dijelaskan bahwa meskipun upah tenaga kerja pada kelompok industri pakaian jadi di Indonesia lebih murah daripada upah tenaga kerja pada industri yang sama di luar negeri, namun upah yang murah ini diikuti juga oleh produktivitas tenaga kerja yang rendah. Untuk itu efisiensi upah harus selalu diperbaiki dan ditingkatkan dengan cara meningkatkan produktivitas tenaga kerja Indonesia pada industri pakaian jadi.
Purnamaningrum (1998) menganalisis perkembangan ekspor dan daya saing industri tekstil Indonesia tahun 1986-1997 dengan menggunakan CMS, RCA, dan Indeks Penetrasi Pasar. Temuannya menunjukkan bahwa pada periode tahun 1986-1992 ekspor tekstil dan pakaian jadi Indonesia meningkat bervariasi. Tahun 1993 dan 1994 mengalami penurunan, sedangkan tahun 1995 dan 1996 mengalami peningkatan dengan lambat. Pada tahun 1997 ekspor justru turun kembali. Daya saing produk dengan SITC 651, 655, 657, 658 dan 843 pada tahun 1992-1997 cenderung melemah, kecuali di pasar USA dan Hongkong. Sedangkan daya saing produk SITC 846 memiliki kecenderungan kuat. Peningkatan dan penurunan ekspor tekstil dan pakaian jadi Indonesia di pasar tujuan, terutama pasar non kuota lebih bamyak disebabkan oleh efek daya saing dan efek pertumbuhan dunia. Secara umum industri tekstil Indonesia memiliki keunggulan komparatif. Hal ini didasarkan pada rata-rata nilai RCA lebih dari 1. Disebutkan pula bahwa kemampuan Indonesia untuk menembus pasar tekstil di negara-negara tujuan berkisar 0.01-23 persen. Penetrasi yang cukup tinggi terdapat di pasar Hong Kong dan Singapura (23 persen).
30
menjadi lebih kompetitif. Besarnya variabel tarif dalam fungsi permintaan dan penawaran mempunyai pengaruh yang positif terhadap kuantitas yang ditawarkan dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang, variabel tarif mempunyai pengaruh yang negatif terhadap kuantitas yang ditawarkan. Disepakatinya persetujuan GATT untuk menurunkan tarif sebesar 30 persen akan mampu mendorong perdagangan dunia menjadi lebih kompetitif. Apabila Indonesia menurunkan rata-rata tarif sebesar 30 persen, maka kuantitas ekspor tekstil akan meningkat sebesar 5.4 persen dan rata-rata harga tekstil domestik sebesar Rp. 23 643.6 per kg. Selanjutnya, variabel tingkat upah dalam jangka pendek mempunyai tingkat elastisitas 4.5, artinya pemberian upah sebesar 1 persen akan mengurangi kuantitas yang ditawarkan sebesar 4.5 persen. Perubahan teknologi, yang ditunjukkan oleh variabel trend, mendorong produksi tekstil menjadi lebih efisien yang ditunjukkan oleh elastisitas perubahan teknologi sebesar 0.014. Artinya apabila terjadi perubahan teknologi sebesar 100 persen, maka akan menambah kuantitas tekstil yang ditawarkan sebesar 1.4 persen (ceteris paribus).
Penelitian dengan menggunakan metode pendugaan Ordinary Least
Squares (OLS) dilakukan oleh Wintala (1999). Kesimpulan yang diperoleh adalah ekspor tekstil Indonesia ke Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang pada tahun 1978-1997 menunjukkan trend yang positif dan signifikan secara statistik. Devaluasi Rupiah, kenaikan cadangan devisa, peningkatan jumlah penduduk, dan indeks harga sandang cenderung menaikkan volume ekspor tekstil Indonesia.
Istojo (2002) melakukan penelitian dengan menganalisis struktur industri TPT Indonesia dengan adanya terhadap WTO pada tahun 2005. Adapun metode yang digunakan adalah deskripsi karakteristik industri, five forces model,
ketergantungan industri TPT menunjukkan tingkat yang tinggi terhadap pemasok dan pembeli serta adanya persaingan yang ketat antar perusahaan dalam industri TPT Indonesia. Pemberlakuan WTO tahun 2005 disimpulkan (1) akan menambah persaingan dan perebutan pasar di dalam dan luar negeri, (2) akan merubah struktur industri TPT menjadi mass customization yang cenderung pada
non price factor dan secara penuh didukung oleh prinsip quick response dan just in time stock, (3) perusahaan-perusahaan dalam industri TPT harus dapat melakukan banyak inovasi manufacture, agar diferensiasi produk meningkat, dan (4) perubahan tataniaga industri TPT dapat menghapus segmen yang selama ini sangat kuat di pasar, yaitu produk dengan harga murah.
Agustineu (2004) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi ouput industri tekstil di Jawa Barat dengan menggunakan model Cobb Douglas tahun 1980-2001. Ternyata faktor produksi modal, bahan baku, dan bahan bakar memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan output industri tekstil di Jawa Barat. Faktor tenaga kerja memberikan pengaruh yang berkebalikan dengan faktor-faktor yang pertama disebutkan. Industri tekstil di Jawa Barat berada pada kondisi increasing return to scale. Nilai tambah bruto perusahaan tekstil di Jawa Barat tahun 1980-2001 terus meningkat, kecuali tahun 2001. Tingkat efisiensi produksi industri tekstil di Jawa Barat paling tinggi pada tahun 2000.
3.2. Tinjauan Penelitian TPT Dunia
Mlachila dan Yongzheng (2004) menggunakan General Trade Analysis
32
dengan daya saing setelah sistem kuota berakhir, karena infrastruktur yang lemah dan berbagai iklim makro yang tidak mendukung. Hasil simulasi menunjukkan bahwa ekspor Bangladesh akan menurun setelah penghapusan kuota dan hal ini berpengaruh terhadap balance of payment.
Sama halnya yang dilakukan oleh WTO (2004), dengan menggunakan
General Trade Analysis Project berusaha menjelaskan kondisi industri TPT global setelah berakhirnya Agreement on Textiles and Clothing(ATC). China dan India merupakan negara-negara yang akan mendominasi pasar TPT Uni Eropa, Amerika Serikat dan Kanada setelah sistem kuota berakhir. Bahkan China diprediksikan akan mengambil pangsa pasar TPT dunia hingga 50 persen. Selain itu, spesialisasi vertikal dalam supply chain TPT adalah sangat penting dan bagi negara-negara yang mempunyai kedekatan secara geografis akan banyak diuntungkan dengan perjanjian bilateral dan tarif yang lebih rendah. Temuan penting bagi TPT Indonesia adalah: (1) di pasar Uni Eropa, setelah kuota berakhir pangsa pasar garmen Indonesia akan meningkat dari 4 persen menjadi 5 persen, sedangkan pangsa pasar tekstil Indonesia akan tetap pada tingkat 3 persen, (2) di pasar Amerika Serikat, pangsa pasar tekstil Indonesia akan stagnan pada 3 persen, penurunan akan terjadi untuk komoditas garmen, yaitu dari 4 persen menjadi 2 persen.
IV. KERANGKA ANALISIS
4.1. Kerangka Teoritis
4.1.1. Daya Saing Ekspor
Untuk mengidentifikasi daya saing negara-negara pengekspor tekstil dan
garmen berdasarkan perubahan ekspornya, dalam penelitian ini digunakan
model Constant Market Share (CMS). Model CMS dianggap lebih sesuai
dibanding dengan Revealed Comparative Advantage (RCA) dan Domestic
Resource Cost (DRC), karena dapat mendekomposisi perubahan ekspor menjadi
beberapa komponen. Menurut Djaja (1992), suatu studi yang komprehensif
tentang keragaan ekspor mungkin akan sangat kompleks, sehingga memerlukan
penjelasan ketersediaan faktor produksi, teknologi, struktur pasar, pola
permintaan, kebijakan pemerintah, konsumen dan kompetitor. Walalupun
demikian, keragaan ekspor dapat dianalisis dengan menggunakan model CMS.
CMS adalah suatu metode untuk mengetahui kinerja ekspor suatu negara
terhadap persaingan. Model ini menunjukkan apakah suatu negara berhasil
mempertahankan pangsa pasarnya dari para pesaingnya. Asumsi dasar yang
dipakai dalam analisis CMS adalah bahwa pangsa pasar pada pasar dunia tidak
berubah antar waktu. Ekspor suatu negara dapat meningkat lebih cepat atau
lebih lambat dibandingkan dengan rata-rata ekspor dunia disebabkan oleh empat
alasan, yaitu:
1. Efek komposisi komoditas. Ekspor terkonsentrasi pada komoditas-komoditas
yang permintaannya relatif elastis atau inelastis terhadap pendapatan.
2. Efek distribusi pasar. Ekspor terarah ke pasar-pasar yang berkembang lebih
pesat atau lambat dibandingkan rata-rata dunia.
3. Efek daya saing. Ekspor lebih atau kurang dapat bersaing dengan
tinggi atau rendah atau karena undervaluation atau overvaluation mata uang
domestik.
4. Efek pertumbuhan ekspor dunia. Pertumbuhan ekspor suatu komoditas dari
suatu negara dapat terjadi karena peningkatan permintaan dunia. Efek ini
dapat menjelaskan sejauh mana pengaruh peningkatan permintaan dunia
terhadap pertumbuhan komoditas tertentu dari suatu negara.
CMS akan menjelaskan perubahan ekspor suatu negara dari sisi
permintaan dan penawaran. Efek pertumbuhan ekspor dunia, efek komposisi
komoditas dan efek distribusi pasar merupakan efek-efek dari sisi permintaan.
Sedangkan efek daya saing merupakan efek yang menjelaskan dari sisi
permintaan dan penawaran. Efek daya saing dapat bersumber dari daya saing
yang dipengaruhi oleh harga dan non harga, seperti kualitas, pelayanan dan
peningkatan pasar. Pada analisis CMS ini, efek daya saing diperhatikan terutama
dari segi harga.
Berdasarkan notasi yang digunakan oleh Leamer dan Stern (1970),
permintaan ekspor suatu komoditas pada pasar tertentu dari dua negara
eksportir digambarkan dalam hubungan sebagai berikut:
(
p p)
, fq
q1 2 = 1 2 dan
f
′
(.)
<
0
... (4.1)Notasi pi dan qi adalah harga dan kuantitas ekspor dari komoditas
tersebut dari negara eksportir ke i, dimana i = 1 dan 2 serta f’(.) < 0 yang berarti
rasio harga mempunyai hubungan negatif dengan rasio kuantitas. Persamaan
4.1 dikalikan dengan (p1/p2), maka akan didapat:
(
1 2)
2 1 2 2 1
1q p q p p f p p
p = ... (4.2)
Sementara itu, pangsa pasar ekspor negara 1 adalah sebagai berikut:
(
) (
)
11 1 2 2 2
2 1 1 1
1
q
p
q
p
q
1
p
q
p
q
p
+
=
+
− ... (4.3)36
(
)
{
[
(
)
]
}
(
1 21 1 2 1 2 1 2 2 1 1 1
1
q
p
q
p
q
1
p
p
f
p
p
g
p
p
p
+
=
+
− −=
)
... (4.4)Hal ini berarti pangsa pasar negara 1 adalah konstan, kecuali ada variasi
dalam p1/p2. Persamaan 4.4 memperlihatkan validasi bentuk CMS dan
konjungtural perbedaan antara pertumbuhan ekspor yang ditunjukkan dengan
pangsa pasar konstan dari pertumbuhan ekspor aktual dalam bentuk perubahan
harga.
Pengembangan lebih lanjut permintaan ekspor suatu pasar dari model
CMS dilakukan oleh Chen dan Duan (1999), dengan menganggap rasio harga
komoditas ekspor antar negara adalah konstan dalam periode tertentu, sehingga
pangsa pasar bagi suatu negara adalah berikut ini:
( )
c
C
f
Q
q
S
ij=
ij ij=
ij ,f'
ij( )
c
C
> 0 ... (4.5)dimana,
ij
S
= Pangsa pasar ekspor komoditas i dari negara yang diamati ke kawasan tertentu (j).ij
q
= Ekspor komoditas i dari negara yang diamati ke kawasan tertentu (j).ij
Q
= Ekspor komoditas i dari dunia ke kawasan tertentu (j).Selanjutnya pertumbuhan ekspor antar periode adalah 0 untuk tahun dasar dan 1
untuk tahun terminal, maka persamaan 4.5 dapat ditulis menjadi:
⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ + ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ + ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛
=
∑∑
∑∑
∑∑
ni m j ij ij n i m j 0 ij ij n i ij m j 0
ijΔQ ΔS Q ΔS ΔQ
S
Δq ... (4.6)
(1) (2) (3)
dimana,
Secara umum model CMS tersebut diadopsi dari penelitian Chen dan
Duan (1999), dan selanjutnya persamaan 4.6 dapat didekomposisi lebih lanjut ke
dalam komponen sebagai berikut:
(
) (
j)
0 j ij 0 ij j 0 i ij 0 ij 0 Δ Q S j ΔQ S j i ΔQ S i ΔQ S j i ΔQ S
Δq= +
∑
∑
−∑
+∑
∑
−∑
(1a) (1b) (1c)
(
) (
)
[
j]
0 j ij 0 ij 0 i 0
iΔQ S ΔQ i jS ΔQ jS ΔQ
S
i
∑
∑
∑
∑
− − ++
(1d)
(
) (
)
0ij ij 0 1 0 0 ij ij 0 Q ΔS j i 1 Q Q ΔSQ Q ΔS j i
ΔSQ +
∑
∑
− + −∑
∑
+
(2a) (2b) (3a)
(
)
[
0]
ij ij 0
1 ij
ijΔS Q Q 1 i jΔSQ ΔS
j
i
∑
∑
∑
∑
− − ……..…..……... (4.7)(3b)
dimana,
(1a) efek pertumbuhan. (1b) efek distribusi pasar. (1c) efek komposisi komoditas. (1d) efek interaksi struktural. (2a) efek kopetitif umum. (2b) efek kompetitif spesifik. (3a) efek ordo kedua murni, dan (3b) efek struktural residual dinamis.
CMS yang mempunyai periode tahunan dianggap terlalu singkat untuk
digunakan dalam menganalisis perubahan kekuatan bersaing. Selain itu dalam
menginterpretasikan komponen residual sebagai indikator daya saing suatu
negara di pasar internasional juga mempunyai keterbatasan. Richardson (1971)
menyatakan bahwa kesimpulan tentang peningkatan daya saing suatu negara
karena efek positif kompetitif yang diturunkan dari pangsa nilai ekspor akan
konsisten jika terjadi peningkatan maupun penurunan harga relatif. Namun
38
sebagai penyebab turunnya pangsa volume ekspor. Jika pangsa pasar diukur
dengan nilai ekspor dan harga ekspor negara yang bersangkutan meningkat
relatif terhadap harga dunia, maka efek kompetitif yang negatif menunjukkan
kegagalan dalam mempertahankan pangsa kuantitas.
4.1.2. Permintaan dan Penawaran
Peranan ekspor migas terhadap penerimaan ekspor Indonesia
menunjukkan penurunan yang cukup berarti. Oleh sebab itu keadaan ini
mendorong dikembangkannya komoditas ekspor lain yang potensial sebagai
andalan ekspor. Komoditas ekspor non migas yang memberikan kontribusi
terbesar selama kurun waktu lebih dari 20 tahun terakhir adalah TPT.
Peningkatan ini tidak terlepas dari adanya kebijakan pemerintah pada awal
pengembangan industri ini. Namun demikian, kenyataanya untuk
mempertahankan dan meningkatkan produksi dan ekspor TPT Indonesia secara
berkesinambungan tidak mudah, karena usaha-usaha tersebut sedang dan akan
dihadapkan pada berbagai permasalahan yang bersumber dari pasar dalam
negeri dan juga pasar luar negeri. Oleh sebab itu, untuk mendukung upaya
pengembangan industri TPT Indonesia dalam rangka berkontribusi terhadap
pembangunan ekonomi, maka diperlukan analisis yang lebih mendalam
mengenai perilaku pasar TPT domestik dan luar negeri.
A. Ekspor dan Impor TPT Dunia
Pada prinsinya setiap negara di dunia saling tergantung satu dengan
lainnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang beraneka ragam. Tidak
semua kebutuhan masyarakat dapat dipenuhi oleh negara tersebut, karena
adanya keterbatasan sumberdaya manusia, sumberdaya alam, serta keahlian
atau teknologi. Oleh sebab itu perdagangan menjadi jalan keluar untuk
Beberapa faktor lain yang mendorong timbulnya perdagangan
internasional antar negara bersumber dari keinginan memperluas pemasaran
komoditas yang diproduksi oleh suatu negara, memperbesar perolehan devisa
bagi kegiatan pembangunan, adanya perbedaan penawaran dan permintaan
antar negara serta akibat perbedaan biaya relatif dalam menghasilkan komoditas
tertentu (Gonarsyah, 1987).
Secara teoritis, keseimbangan ekonomi nasional suatu negara dapat
dirumuskan sebagai suatu keseimbangan antara jumlah barang atau jasa yang
ditawarkan (supply) dengan jumlah barang atau jasa yang diminta (demand).
Dalam hal ini total supply terdiri dari supply dalam negeri (produksi dalam negeri)
ditambah dengan supply luar negeri (impor). Total demand terdiri dari konsumsi
dalam negeri ditambah dengan konsumsi luar negeri. Penawaran ekspor atau
excess supply Indonesia terjadi apabila jumlah total supply lebih besar daripada
total demand. Sedangkan permintaan impor atau excess demand Indonesia
terjadi apabila jumlah total demand lebih besar daripada total supply. Oleh sebab
itu, keseimbangan ekonomi nasional suatu negara sangat dipengaruhi oleh
ekonomi internasional, baik melalui impor maupun ekspor (Hady, 2004).
Misalkan ada perdagangan antara Indonesia dan negara lain di dunia,
maka asumsi yang dipergunakan adalah struktur pasar TPT berbentuk pasar
persaingan sempurna dan tanpa memperhatikan ukuran negara yang terlibat
dalam perdagangan. Namun demikian pada kenyataannya, Indonesia adalah
termasuk negara kecil yang terbuka (small open economy). Kategori negara kecil
atau besar didasarkan pada perilaku ekonominya, dimana Indonesia tidak dapat
mempengaruhi harga dunia atau peubah harga dunia sebagai variabel
eksogenus (Krantz, 2006).
Negara eksportir besar akan menghadapi slope negatif excess demand
40
menghadapi slope excess demand yang mendatar. Artinya perubahan ekspor
dari negara kecil tidak akan merubah harga dunia. Negara impotir besar akan
menghadapi excess supply negara lain dari negara sisa dunia, dimana negara
impotir ini dapat mempengaruhi harga dunia. Negara impotir kecil menghadapi
excess supply yang mendatar dan tidak mampu mempengaruhi harga dunia
(Houck, 1986). Oleh sebab itu asumsi yang digunakan adalah negara kecil
berperilaku sebagai price taker, baik di pasar input maupun pasar output. Selain
itu biaya transportasi adalah nol serta tidak ada hambatan perdagangan.
Berkaitan dengan perdagangan TPT, peran Indonesia dan termasuk
negara-negara Asia terhadap negara-negara sisa dunia menjadi penting, karena migrasi
produksi TPT era 1990-an hingga sekarang telah bergeser ke kawasan Asia. Di
dalam perdagangan TPT, sub sektor tekstil Indonesia cenderung berperan
sebagai importir, sedangkan sub sektor garmen Indonesia cenderung berperilaku
sebagai eksportir.
Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa penawaran ekspor
komoditas selain dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
penawaran dan permintaan pasar dalam negeri, juga dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang muncul dari pasar luar negeri atau pasar internasional. Secara
matematis konsep excess supply dapat ditulis sebagai berikut:
QXt = QSt - QDt ... (4.8)
dimana,
QXt : Penawaran ekspor suatu komoditas di negara pengekspor
pada tahun ke t (unit).
QSt : Jumlah penawaran suatu komoditas di negara pengekspor
pada tahun ke t (unit).
QDt : Jumlah permintaan suatu komoditas di negara pengekspor
Dalam pengertian yang lebih luas, penawaran domestik TPT bersumber
dari produksi (QPt), kelebihan stok tahun lalu (QStt-1) dan impor (QMt), sehingga
persamaan matematis penawaran domestik TPT adalah sebagai berikut:
QSt = QPt + QStt-1 + QMt ... (4.9)
Di sisi lain penawaran TPT dipengaruhi oleh keadaan pasar, dimana
struktur pasar komoditas TPT ini umumnya merupakan pasar persaingan
sempurna, karena banyaknya jumlah perusahaan-perusahaan yang berada
dalam industri ini. Selain itu skala usahanya lebih banyak berskala usah