• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Development and Validation of Method Analysis for Vitamin A Determination in Palm Oil by High Performance Liquid Chromatography

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Development and Validation of Method Analysis for Vitamin A Determination in Palm Oil by High Performance Liquid Chromatography"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN DAN VALIDASI METODE ANALISIS

PENETAPAN KADAR VITAMIN A DALAM MINYAK GORENG

SAWIT SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

SLAMET SUKARNO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir ”Pengembangan dan Validasi Metode Analisis Penetapan Kadar Vitamin A dalam Minyak Goreng Sawit Secara Kromatografi Cair kinerja Tinggi” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini.

Bogor, September 2011

(3)

ABSTRACT

SLAMET SUKARNO. The Development and Validation of Method Analysis for Vitamin A Determination in Palm Oil by High Performance Liquid Chromatography. Under Direction of FERI KUSNANDAR and HANIFAH NURYANI LIOE.

The fortification of vitamin A in cooking palm oil is being mandatorily regulated in 2013. To control the implementation this standard, the laboratory capacity to analyze vitamin A is required. The vitamin A analysis must be valid, selective, rapid, easy and practical. The objective of this study was to validate a modified standardized method of vitamin A analysis by a High Performance Liquid Chromatography (HPLC).

All validation parameters (liniearity, accuracy, precision, selectivity, robustness, LOD, and LOQ) met the requirement. Vitamin A in palm oil matrix could be analyzed by HPLC method by using a mobile phase of acetonitrile:water (80:20) with flux rate of 1,75 mL/min, and ultraviolet detector at 325 nm. This condition used a C-18 column.

(4)

RINGKASAN

SLAMET SUKARNO. Pengembangan dan Validasi Metode Analisis Penetapan Kadar Vitamin A dalam Minyak Goreng Sawit secara Kromatografi Cair kinerja Tinggi. Dibimbing oleh FERI KUSNANDAR dan HANIFAH NURYANI LIOE.

Penyakit akibat kurang vitamin A (KVA) merupakan masalah global yang menimpa sebagian besar penduduk di dunia termasuk juga di Indonesia. KVA disebabkan oleh kurangnya vitamin A di dalam jaringan yang dapat menimbulkan gangguan secara subklinis atau klinis. Salah satu kebijakan pemerintah yang ditempuh untuk menanggulangi masalah KVA adalah fortifikasi vitamin A ke dalam minyak goreng sawit. Tahun 2013 pemerintah akan mengimplementasikan Standar Nasional Indonesia (SNI) wajib minyak goreng sawit yang difortifikasi dengan vitamin A. Menurut Rancangan Standar Nasional Indonesia (RSNI) tentang persyaratan mutu minyak goreng sawit, jumlah vitamin A yang harus ditambahkan ke dalam produk tersebut minimal 45 IU/g. Seiring dengan peraturan dan kondisi diatas maka perlu dilakukan pengawasan atau monitoring terhadap kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit, baik pada tingkat industri, distributor dan konsumen. Untuk itu dibutuhkan suatu metode analisis yang valid, selektif, cepat, mudah dan praktis untuk identifikasi dan penetapan kadar vitamin A, khususnya vitamin A dalam minyak goreng sawit.

Metode analisis vitamin A dalam minyak goreng sawit masih sulit didapat, namun metode analisis vitamin A dalam produk pangan dengan menggunakan peralatan moderen, diantaranya dengan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) sudah banyak yang dikembangkan oleh peneliti terdahulu. Namun kelemahan dari metode yang ada adalah kerumitan dalam penyiapan sampel (saponifikasi, ekstraksi dan pemekatan atau penguapan pelarut organik yang digunakan). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengembangan metode analisis penetapan kadar vitamin A minyak goreng sawit yang mudah dan praktis, namun memberikan hasil yang valid. Metode analisis yang dikembangkan oleh peneliti ini berbasis kromatografi, tanpa proses saponifikasi, tanpa ekstrasi dan tanpa penguapan pelarut organik.

Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan kondisi optimum untuk analisis vitamin A dalam minyak goreng sawit, melakukan validasi metode analisis yang sudah dipilih pada optimasi metode dan melakukan uji coba penetapan kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit yang beredar di pasaran menggunakan metode yang telah dikembangkan.

Teknik penyiapan sampel dilakukan dengan cara melarutkan sampel meng-gunakan campuran n-pentana dan 2-propanol, ditambahkan larutan butil hidroksi toluena sebagai antioksidan dan tetra-n-butil amonium hidroksida untuk melaku-kan reaksi subsitusi retinil palmitat menjadi retinol, yang selanjutnya dianalisis dengan menggunakan kromatografi cair kinerja tinggi.

Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dilakukan dengan menggunakan teknik isokratik menggunakan kolom C18 (Waters Xbridge®, dengan panjang 250

(5)

1,0 mL/menit; metanol dan air (97,5:2,5; 95:5; 90:10; dan 85:15) dengan laju alir 1,5 mL/menit; asetonitril dan metanol (75:25; 50:50; dan 25:75) dengan laju alir 1,0 mL/menit, asetonitril dan air (100:0; 95:5; 90:10; 85:15; 80:20 dan 75:25) dengan laju alir: 1,5 dan 1,75 mL/menit dan detektor yang digunakan detektor ultraviolet dan detektor fluoresens. Kromatogram yang dihasilkan dievaluasi berdasarkan waktu retensi (Rt), resolusi (Rs), jumlah lempeng teoritis (N) dan faktor ikutan (Tf). Hasil pemilihan kondisi optimum yang memberikan skor tertinggi adalah: komposisi fase gerak asetonitril dan air (80:20), laju alir 1,75 mL/menit menggunakan detektor ultraviolet pada panjang gelombang 325 nm.

Metode ini valid yang ditunjukkan dengan kurva kalibrasi dan linieritas pada rentang konsentrasi 0,4443 IU/mL sampai dengan 13,5233 IU/mL dengan koefesien regresi (r) 0,99997 dan standar deviasi relatif regresi linier (Vxo) 2,54

%; presisi dengan 3 tingkat konsentrasi dengan nilai % RSD antara 1,87 sampai 1,97; akurasi dengan 3 tingkat konsentrasi yang memberikan nilai persen pero-lehan kembali antara 96,84 - 102,39 %; selektivitas dan robustness bila diban-dingkan dengan hasil uji presisi yang memberikan nilai yang tidak berbeda bermakna, batas deteksi (LOD) 1,66 IU/g dan batas kuantisasi (LOQ) 5,89 IU/g.

Hasil analisis terhadap 4 merek sampel minyak goreng sawit yang beredar di pasaran menggunakan metode analisis hasil pengembangan diperoleh kadar vitamin A berturut-turut adalah: 16,75; 28,39; 29,07 dan 66,35 IU/g. Matriks sampel yang terkandung dalam berbagai merek minyak goreng sawit yang beredar di pasaran tidak mengganggu dalam analisis penetapan kadar vitamin A.

(6)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

PENGEMBANGAN DAN VALIDASI METODE ANALISIS

PENETAPAN KADAR VITAMIN A DALAM MINYAK GORENG

SAWIT SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

SLAMET SUKARNO

Tugas Akhir

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi Pada Program Studi Teknologi Pangan

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tugas Akhir : Pengembangan dan Validasi Metode Analisis Penetapan Kadar Vitamin A dalam Minyak Goreng Sawit secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Nama Mahasiswa : Slamet Sukarno Nomor Pokok : F252070025

Program Studi : Magister Profesi Teknologi Pangan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ferif Kusnandar, M.Sc Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, MSi (Ketua) (Anggota)

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pasca Sarjana Magister Profesi Teknologi Pangan

Dr. Ir. Lilis Nuraida, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tugas akhir ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada Program Magister Profesional Teknologi Pangan. Tema penelitian ini diangkat dari masalah yang dijumpai oleh peneliti dalam pekerjaan sehari-hari. Tugas akhir ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca, dapat memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan di Indonesia mengenai validasi metode analisis untuk pengujian kimia pangan dan bagi pemerintah dalam rangka pengawasan program fortifikasi vitamin A dalam minyak goreng sawit.

Terima kasih yang mendalam penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Feri Kusnandar, MSc. dan Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, MSi. selaku komisi pembimbing yang telah membimbing penulis dengan sabar dalam menyusun tugas akhir ini, mulai dari awal hingga akhir. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MSi. selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan masukan dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Lilis Nuraida, MSc selaku Koordinator Program Studi Magister Profesi Teknologi Pangan yang telah membantu, memberikan dorongan dan kesempatan yang begitu banyak kepada penulis.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh dosen pengajar di Program Studi Teknologi Pangan yang telah mencurahkan pengetahuan kepada penulis selama menjalani kuliah di sekolah pascasarjana Magister Profesi Teknologi Pangan. Tidak lupa terima kasih juga kepada ibu Tika dan ibu Mar yang telah banyak membantu dalam masalah administrasi.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Drs. Siam Subagyo, Apt., MSi selaku Kepala Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana di kampus tercinta, IPB.

Tak lupa kepada Dra. Niza Nemara, Apt., MSi selaku Kepala Bidang Pangan, penulis ucapkan terimaksih yang sebesar-besarnya atas dukungannya selama ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada sejawat di Bidang Pangan Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional terutama kepada ibu Herni, ibu Yuli dan pak Yanto. Terima kasih juga kepada teman-teman yang telah memberikan motivasi kepada penulis. Juga kepada teman-teman MPTP batch 4, terima kasih semua. Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada istri, anak, orang tua dan keluarga tercinta atas dukungan dan doanya.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini belum sempurna, sehingga penulis lain dapat melanjutkan untuk penyempurnaannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2011

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 3 Oktober 1965 sebagai anak kedua dari ayah Musnindar (almarhum) dan Ibu Hartini. Tahun 1985 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Jakarta dan pada tahun yang sama penulis diterima di Jurusan Farmasi Fakultas MIPA Universitas Indonesia Depok dan mendapatkan gelar sarjana Farmasi pada tahun 1991. Penulis melanjutkan ke program profesi apoteker pada perguruan tinggi yang sama dan menamatkannya pada tahun 1993.

Mulai tahun 1993 penulis bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Umum Daerah Sintang Kalimantan Barat sampai dengan tahun 1996. Selanjutnya pada tahun 1996 penulis mutasi kerja ke Balai Pengawas Obat dan Makanan di Pontianak hingga tahun 2003. Sejak tahun 2003 hingga sekarang penulis mutasi kerja ke Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional, Badan POM RI di Jakarta dan ditempatkan pada Laboratorium Pangan. Berbagai pelatihan, seminar dan tugas-tugas kantor tentang laboratorium kimia pangan dan keamanan pangan telah diikuti oleh penulis selama bekerja di Badan POM RI.

(12)

xi

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan ... 3

1.4 Manfaat ... 4

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 4

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Vitamin A ………... 5

2.2 Minyak Goreng Sawit ……... 8

2.3 Fortifikasi Pangan ... 11

2.4 Metode Analisis Penetapan Kadar Vitamin A ... 13

2.5 Instrumentasi KCKT ... 18

2.6 Validasi Metode Analisis ... 22

III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat ... 27

3.2 Alat dan Bahan ... 27

3.3 Metode Penelitian ... 28

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ………... 41

V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ………... 69

5.2 Saran ……... 69

DAFTAR PUSTAKA ………. 71

(13)

xii Halaman Tabel 1 Rumus empiris dan bobot molekul dari vitamin A alkohol (retinol)

dan ester vitamin A (ester retinil) ... 5

Tabel 2 Sifat-sifat kimia fisika retinol dan retinil palmitat ... 6

Tabel 3 Angka kecukupan gizi (AKG) vitamin A ……….. 8

Tabel 4 RSNI 3 Persyaratan mutu minyak goreng sawit ……… 11

Tabel 5 Keberterimaan akurasi berdasarkan persen rekoveri ... 25

Tabel 6 Kondisi parameter KCKT untuk optimasi metode ……… 31

Tabel 7 Penentuan skor untuk penilaian kromatogram ... 32

Tabel 8 Data hasil uji penetapan aktivitas baku vitamin A ... 41 Tabel 9 Data pengamatan kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks

minyak goreng sawit) menggunakan komposisi fase gerak metanol 100 % kecepatan laju alir 1,0 mL/menit, 0,8 mL/menit dan 0,6 mL menit dan detektor UV………

47

Tabel 10 Data pengamatan kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan komposisi fase gerak metanol 100 % kecepatan laju alir 1,0 mL/menit, 0,8 mL/menit dan 0,6 mL/menit dan detektor fluoresens ………...

47

Tabel 11 Data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak methanol:air dengan perbandingan: 85:15; 90:10; 95:5 dan 97,5:2,5 pada kecepatan laju alir 1,5 mL/menit dan detektor UV ……….

47

Tabel 12 Data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak methanol:air dengan perbandingan: 85:15; 90:10; 95:5 dan 97,5:2,5 pada kecepatan laju alir 1,5 mL/menit dan detektor fluoresens ………..

48

Tabel 13 Data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak asetonitril :metanol dengan perbandingan: 75:25; 50:50 dan 25:75 pada kecepatan laju alir 1,0 mL/menit dan detektor UV ………

48

Tabel 14 Data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak asetonitril: metanol dengan perbandingan 75:25; 50:50 dan 25:75 pada kecepatan laju alir 1,0 mL/menit dan detektor fluoresens ………..

49

Tabel 15 Data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak asetonitril dan air dengan perbandingan: 100:0; 95:5; 90:10; 85:15; 80:20 dan 75:25 pada kecepatan laju alir 1,5 mL/menit dan detektor dengan detektor UV ………

49

Tabel 16 Data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak asetonitril dan air dengan perbandingan: 100:0; 95:5; 90:10; 85:15; 80:20 dan 75:25 pada kecepatan laju alir 1,5 mL/menit dan detektor dengan

(14)

xiii dan air dengan perbandingan: 100:0; 95:5; 90:10; 85:15; 80:20 dan 75:25 pada kecepatan laju alir 1,75 mL/menit dan detektor dengan detektor UV ……… Tabel 18 Data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak

goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak asetonitril dan air dengan perbandingan: 100:0; 95:5; 90:10; 85:15; 80:20 dan 75:25 pada kecepatan laju alir 1,75 mL/menit dan detektor dengan detektor fluoresens ……….

51

Tabel 19 Data hasil uji kesesuaian sistem (UKS) baku vitamin A ... 52 Tabel 20 Data uji presisi penetapan kadar vitamin A dalam matriks minyak

goreng sawit ...

57 Tabel 21 Data uji akurasi penetapan kadar vitamin A dalam matriks minyak

goreng sawit ………...

58 Tabel 22 Data uji selektivitas (spesifisitas) vitamin A dalam matriks minyak

goreng sawit ………...

61 Tabel 23 Data hasil uji robustness dengan perubahan penambahan jumlah

pereaksi menjadi: n-pentana 3 mL, larutan antioksidan butil hidroksi toluena 3 mL dan larutan tetra-n-butil amonium hidroksida 10,5 mL ...

62

Tabel 24 Data hasil uji robustness dengan perubahan pengurangan jumlah pereaksi n-pentana 2 mL, larutan antioksi dan butil hidroksi toluena 2 mL dan larutan tetra-n-butil amonium hidroksida 9,5 mL ……….

62

Tabel 25 Data hasil uji robustness dengan perubahan komposisi fase gerak asetonitril:air (81:19) dan kecepatan laju alir 1,74 mL/menit …….…...

63 Tabel 26 Data hasil uji robustness dengan perubahan komposisi fase gerak

asetonitril:air (79:21) dan kecepatan laju alir 1,76 mL/menit ….……...

63 Tabel 27 Data uji robustness vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit

dengan perubahan metode penggunakan kolom C 18 yang mereknya berbeda (kolom merek Shimadzu Shim-pack, Jepang: panjang 250 mm, diameter dalam 1,46 mm dan ukuran partikel 5 µm) ……….

64

Tabel 28 Data hasil analisis penetapan kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit yang beredar di pasaran ………

(15)

xiv Halaman Gambar 1 Struktur molekul vitamin A alkohol (retinol), ester vitamin A (ester

retinil) ……….. 5

Gambar 2 Diagram blok sistem KCKT ... 19 Gambar 3 Reaksi antara vitamin A palmitat dengan tetra-n-butil ammonium

hidroksida ...

42 Gambar 4 Kromatogram A (blanko minyak goreng sawit yang tidak

mengandung vitamin A) dan kromatogram B (baku vitamin A palmitat dalam matriks minyak goreng sawit); yang dianalisis menggunakan KCKT kolom C18 pada kondisi optimum dengan komposisi fase gerak yang terdiri dari campuran asetonitril:air (80:20), laju alir 1,7 mL/menit dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm………...

46

Gambar 5 Kurva kalibrasi baku vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit 53 Gambar 6 Hubungan antara konsentrasi vitamin A dengan faktor respon

detektor ... Gambar 7 Hubungan antara konsentrasi vitamin A terhadap residual …………. 54 Gambar 8 Kromatogram A (campuran senyawa kimia yang sedang dilakukan

uji selektivitasnya: butil hidroksi anisol, butil hidroksi toluena, propil galat, tersier butil hidrokuinon, vitamin D, vitamin E dan beta karoten) dan kromatogram B (baku vitamin A) dalam matriks sampel minyak goreng sawit yang dianalisis menggunakan KCKT kolom C18 pada kondisi optimum dengan komposisi fase gerak yang terdiri dari campuran asetonitril:air (80:20), laju alir 1,75 mL/menit dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………..

59

Gambar 9 Kurva regresi kadar vitamin A terhadap tinggi noise dengan sinyal (S/N) ...

(16)

xv Lampiran 1 Contoh menghitung aktivitas baku vitamin A ... 76 Lampiran 2 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak metanol 100 %, laju alir 1,0 mL/menit (memberikan tekanan 78 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 77 Lampiran 3 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak metanol 100 %, laju alir 1,0 mL/menit (memberikan tekanan 78 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang

gelombang emisi 470 nm ………. 77

Lampiran 4 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak metanol 100 %, laju alir 0,8 mL/menit (memberikan tekanan 64 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 78 Lampiran 5 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak methanol 100 %, laju alir 0,8 mL/menit (memberikan tekanan 64 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang

gelombang emisi 470 nm ………. 78

Lampiran 6 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak methanol 100 %, laju alir 0,6 mL/menit (memberikan tekanan 45 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 79 Lampiran 7 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak metanol 100 %, laju alir 0,6 mL/menit (memberikan tekanan 45 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang

gelombang emisi 470 nm ………. 79

Lampiran 8 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (85:15) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 200 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 80 Lampiran 9 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (85:15) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 200 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang

gelombang emisi 470 nm ………. 80

(17)

xvi fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………. 81 Lampiran 12 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (95:5) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 147 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 82 Lampiran 13 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (95:5) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 147 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang

gelombang emisi 470 nm ………. 82

Lampiran 14 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (97,5:2,5) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 132 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 83 Lampiran 15 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak metanol:air (97,5:2,5) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 132 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang

gelombang emisi 470 nm ………. 83

Lampiran 16 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:metanol (75:25) laju alir 1,0 mL/menit (memberikan tekanan 49 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ……….. 84 Lampiran 17 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:metanol (75:25) laju alir 1,0 mL/menit (memberikan tekanan 49 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang

gelombang emisi 470 nm ………. 84

Lampiran 18 KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:metanol (50:50) laju alir 1,0 mL/menit (memberikan tekanan 54 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 85 Lampiran 19 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:metanol (50:50) laju alir 1,0 mL/menit (memberikan tekanan 54 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang

gelombang emisi 470 nm ………. 85

(18)

xvii fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang

gelombang emisi 470 nm ………. 86

Lampiran 22 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (100:0) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 71 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 87 Lampiran 23 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (100:0) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 71 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang

gelombang emisi 470 nm ………. 87

Lampiran 24 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (95:5) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 75 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 88 Lampiran 25 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (95:5) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 75 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang

gelombang emisi 470 nm ………. 88

Lampiran 26 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (90:10) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 85 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 89 Lampiran 27 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (90:10) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 85 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………... 89 Lampiran 28 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (85:15) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 94 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 90 Lampiran 29 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (85:15) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 94 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang

gelombang emisi 470 nm ………. 90

(19)

xviii fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………... 91 Lampiran 32 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (75:25) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 113 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 92 Lampiran 33 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (75:25) laju alir 1,5 mL/menit (memberikan tekanan 113 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang

gelombang emisi 470 nm ………... 92

Lampiran 34 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril : air (100:0) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 83 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 93 Lampiran 35 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (100:0) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 83 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………... 93 Lampiran 36 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (95:5) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 90 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 94 Lampiran 37 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (95:5) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 90 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………... 94 Lampiran 38 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (90:10) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 100 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 95 Lampiran 39 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (90:10) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 100 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………... 95 Lampiran 40 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng

(20)

xix fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang

gelombang emisi 470 nm ………... 96

Lampiran 42 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (80:20) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 123 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………. 97

Lampiran 43 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air asetonitril:air (80:20) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 123 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ……….. 97

Lampiran 44 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (75:25) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 130 kgf) dengan detektor UV pada panjang gelombang 325 nm ………..………….. 98

Lampiran 45 Kromatogram KCKT vitamin A (dalam matriks minyak goreng sawit) menggunakan fase gerak asetonitril:air (75:25) laju alir 1,75 mL/menit (memberikan tekanan 130 kgf) dengan detektor fluoresens pada panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm ………... 98

Lampiran 46 Data kurva kalibrasi baku vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit ... 99

Lampiran 47 Contoh menghitung faktor respon detektor ……….. 99

Lampiran 48 Data hubungan antara konsentrasi vitamin A dengan faktor respon detektor ………. 100

Lampiran 49 Data hubungan antara konsentrasi vitamin A dengan residual ... 101

Lampiran 50 Contoh menghitung kadar vitamin A dalam sampel (pada uji presi-si) ……….. 102

Lampiran 51 Contoh menghitung RSD Horwitz ………... 103

Lampiran 52 Contoh menghitung akurasi vitamin A ... 104

Lampiran 53 Contoh cara menghitung uji t ………... 105

(21)

1.1 LATAR BELAKANG

Kesehatan masyarakat dunia dewasa ini bukan dihadapkan pada

masalah defisiensi gizi makro, tetapi pada masalah defisiensi gizi mikro.

Masalah defisiensi gizi mikro yang yang utama dihadapi adalah anemia gizi

besi, gangguan akibat kekurangan iodium (GAKI) dan kekurangan vitamin A

(KVA) (Martianto, 2011). Kekurangan zat gizi mikro berpotensi mengganggu

kesehatan masyarakat, sehingga dapat merusak kualitas sumber daya manusia

Indonesia. Subdit Bina Gizi Mikro Direktorat Bina Gizi Masyarakat juga

mengemukakan bahwa masalah kekurangan gizi di kalangan masyarakat

Indonesia terjadi pada setiap siklus kehidupan (World Bank 2006).

Sampai saat ini, penduduk Indonesia, terutama yang berpenghasilan

rendah baik di perkotaan dan pedesaan, masih banyak yang mengalami

masalah kekurangan zat gizi mikro. Data Organisasi Kesehatan Dunia

(WHO) pada 2009 menunjukkan lebih dari sembilan juta anak-anak Indonesia

dan satu juta perempuan menderita kekurangan vitamin A. Tercatat pula 25 -

30 % kematian bayi dan balita di dunia disebabkan oleh kekurangan vitamin

A, sedangkan di Indonesia sekitar 14,6 % anak di atas usia satu tahun

mengalami kekurangan vitamin A. (Krisnamurthi, 2010)

Penyakit akibat kurang vitamin A (KVA) disebabkan oleh kurangnya

vitamin A di dalam jaringan yang dapat menimbulkan gangguan secara

subklinis maupun klinis. Menurut WHO, kurang vitamin A subklinis ditandai

dengan nilai retinol serum 0,35 – 0,70 µmol/L (10 -20 µg/dL), meskipun

pada kadar retinol serum sampai 1,05 µ mol/L masih dijumpai gejala

sub-klinis. Gejala KVA subklinis ditandai dengan gangguan diferensiasi sel dan

gangguan pada sistem imunitas. KVA klinis terjadi bila retinol serum kurang

dari 0,35 µmol/L (kurang dari 10 µg/dL) dengan gejala antara lain buta senja,

gangguan pertumbuhan dan xeroptalmia (Smith, 2000).

Program penanggulangan kekurangan vitamin A di Indonesia dilakukan

dengan 3 cara yaitu: diversifikasi konsumsi pangan, suplementasi vitamin A

(22)

untuk menanggulangi masalah kekurangan vitamin A harus tepat untuk

menjawab kebutuhan dan harus menggunakan sistem dan teknologi yang

tersedia. Kombinasi beberapa intervensi mencakup promosi pemberian air

susu ibu (ASI), modifikasi makanan (misalnya meningkatkan ketersediaan

pangan dan meningkatkan konsumsi pangan), fortifikasi pangan dan

suple-mentasi. Fortifikasi vitamin A ke dalam minyak goreng sawit perlu dilakukan

dengan alasan (1) produk pangan di Indonesia sebagian besar menggunakan

minyak goring, (2) untuk mengurangi penyakit akibat KVA, maka perlu

adanya kebijakan yang tepat untuk menanggulangi masalah KVA, (3) salah

satu kebijakan yang ditempuh adalah fortifikasi vitamin A dalam minyak

goring, dan (4) pemerintah akan menetapkan standar yang mewajibkan kepada

seluruh produsen minyak goreng sawit untuk melakukan fortifikasi vitamin A

ke dalam produknya.

Target pencapaian persiapan program fortifikasi minyak goreng sawit

dengan vitamin A adalah sebagai berikut:

1. Tahun 2004-2011 : dilaksanakan studi konsumsi (intake minyak goreng),

stabilitas, efficacy, effectiveness.

2. Tahun 2011-2012 SNI wajib untuk minyak goreng sudah selesai

disiapkan.

3. Tahun 2011-2013 dilaksanakan pilot project di beberapa wilayah

(dimulai di Jawa Timur dan Jawa Barat).

4. Tahun 2011-2012 selesai dilaksanakan capacity building.

5. Tahun 2013 diimplementasikan SNI Wajib minyak goreng yang

difortifikasi.

6. Tahun 2013-2014 dilaksanakan monitoring dan evaluasi dampak

forti-fikasi wajib.

1.2 PERUMUSAN MASALAH

Seiring dengan peraturan dan kondisi di atas, maka perlu dilakukan

pengawasan atau monitoring terhadap pemenuhan kadar vitamin A dalam

minyak goreng sawit, baik pada tingkat industri, distributor dan konsumen.

(23)

dan praktis untuk mengidentifikasi dan menetapkan kadar vitamin A,

khususnya vitamin A dalam minyak goreng sawit. Namun analisis vitamin A

dalam produk pangan sulit dilakukan dengan metode yang tersedia, karena

matriks pangan yang kompleks dan adanya bahan tambahan yang

ditam-bahkan dalam produk pangan.

Di antara metode resmi atau metode standar pengujian vitamin A yang

ada saat menggunakan metode analisis dengan kromatografi cair kinerja

tinggi (KCKT). Kesulitan yang dihadapi dalam penggunaan metode yang ada

tersebut adalah dalam tahap persiapan sampel yang harus melewati tahapan

saponifikasi, ekstraksi dan pemekatan atau penguapan pelarut organik yang

digunakan untuk ekstraksi. Panjangnya proses persiapan tersebut

menyebab-kan hasil diperoleh kurang baik. Oleh karena itu, perlu dikembangmenyebab-kan metode

analisis untuk penetapan kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit dengan

menggunakan KCKT tanpa proses saponifikasi, ekstraksi dan penguapan

pelarut organik.

Suatu metode baru atau metode yang dimodifikasi dapat digunakan bila

telah dilakukan validasi yang kondisinya disesuaikan dengan kondisi

labora-torium dan peralatan yang tersedia, meskipun metode yang akan digunakan

tersebut telah dipublikasikan dalam jurnal, buku teks atau buku resmi

(Indra-yanto, 1994). Validasi metode juga perlu dilakukan bila dilakukan

penyeder-hanaan atau perbaikan metode oleh karena ada perbedaan dan keterbatasan

alat, pereaksi atau kondisi lain yang menyebabkan metode tersebut tidak

dapat diterapkan secara keseluruhan. Apabila dari hasil validasi metode

tersebut sudah memberikan hasil yang baik, maka metode ini dianggap valid,

dapat dipercaya dan dapat digunakan untuk analisis rutin.

1.3 TUJUAN PENELITIAN

1. Melakukan pengembangan metode analisis penetapan kadar vitamin A

dalam minyak goreng sawit menggunakan KCKT menggunakan kolom C

18, yaitu menentukan komposisi fase gerak dan laju alir yang cocok

dalam pemisahan vitamin A dari komponen-komponen yang lain

(24)

detektor fluoresens) pada penetapan kadar vitamin A dalam minyak

goreng sawit.

2. Melakukan validasi metode analisis hasil pengembangan untuk

membuk-tikan bahwa metode yang telah dikembangkan tersebut valid.

3. Melakukan uji coba metode yang telah dikembangkan dan telah

divali-dasi untuk membuktikan bahwa metode tersebut dapat digunakan untuk

penetapan kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit yang beredar di

pasaran tanpa adanya gangguan matriks sampel yang ada di dalam

berbagai merek minyak goreng sawit.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan metode analisis

yang handal (valid, selektif, cepat, mudah dan praktis) untuk analisis

penetapan kadar vitamin A dalam minyak goreng, sehingga dapat dijadikan

kontrol yang lebih baik terhadap industri pangan dalam mensukseskan

fortifikasi vitamin A dalam minyak goreng sawit. Penelitian ini juga

diharapkan dapat menambah pengetahuan baru bagi peneliti dan memberikan

kontribusi bagi dunia pendidikan di Indonesia mengenai validasi metode

analisis pangan.

1.5 RUANG LINGKUP PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian laboratorium yang dilakukan

dengan cara: mencari komposisi fase gerak, laju alir, dan detektor yang

digunakan dalam pemisahan vitamin A dengan komponen-komponen lainnya

menggunakan KCKT, sehingga didapatkan suatu metode untuk penetapan

kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit. Untuk membuktikan

kehan-dalan metode yang didapat, maka dilakukan validasi terhadap metode tersebut

dengan parameter validasi meliputi: linieritas, presisi, akurasi, selektivitas,

robustness, batas deteksi dan batas kuantisasi; dan uji coba metode tersebut

untuk penetapan kadar vitamin A dalam berbagai merek minyak goreng sawit

(25)

2.1 VITAMIN A

Vitamin A merujuk pada semua senyawa isoprenoid dari

produk-produk hewani yang mempunyai aktivitas all trans-retinol ( Rohman dan Ibnu,

2007). Menurut Almatsier (2009), vitamin A merupakan terminologi nama

generik yang menyatakan semua senyawa retinoid dan karotenoid (prekursor/

pro vitamin A) yang mempunyai aktivitas biologis seperti retinol. Bentuk

kimiawi senyawa retinoid berupa retinol (vitamin A bentuk alkohol), retinal

(aldehida), ester retinil dan asam retinoat. Menurut CE (2007) struktur kimia,

rumus empiris dan bobot molekul dari: retinol, retinil asetat, retinil propionat

dan retinil palmitat dapat dilihat pada Gambar 1 dan Tabel 1. Menurut

Eitenmiller dkk, (2008) sifat-sifat kimia-fisika dari retinol dan retinil palmitat

dapat dilihat pada Tabel 2.

CH3

H3C CH3 CH3

O

R

CH3

Gambar 1. Struktur molekul vitamin A alkohol (retinol) dan ester vitamin A (ester retinil)

Tabel 1. Rumus empiris dan bobot molekul dari vitamin A alkohol (retinol) dan ester vitamin A (ester retinil)

(26)

Tabel 2. Sifat-sifat Kimia Fisika Retinol dan Retinil Palmitat

Sifat Kimia Fisika Retinol Retinil Palmitat

Bentuk Kristal kuning Kristal, amorf atau cairan

kental berwarna kuning

Kelarutan Larut dalam: metanol,

etanol, propanol, Sumber: Eitenmiller dkk (2008)

Vitamin A pada umumnya stabil terhadap panas, asam, dan alkali,

namun mempunyai sifat yang mudah teroksidasi oleh udara dan akan rusak

bila dipanaskan pada suhu tinggi bersama udara, sinar, dan lemak yang sudah

tengik (Winarno, 2008). Menurut Favaro dkk, (1991) di dalam Hariyadi

(2011) vitamin A yang difortifikasikan ke dalam minyak goreng stabil selama

6-9 bulan jika disimpan dalam wadah tertutup dan terlindung dari cahaya,

vitamin A relatif stabil setelah proses penggorengan.

Menurut CE (2007), aktifitas vitamin A dinyatakan dalam Retinol

Ekivalen (R.E.), 1 mg R.E. sebanding dengan aktifitas 1 mg All-trans retinol.

Aktifitas ester retinol lain dihitung secara stoikiometris, sehingga didapat 1

mg R.E. vitamin A sebanding dengan: 1,147 mg all-trans-retinyl acetate,

1,195 mg all-trans-retinyl propionate dan 1,832 mg all-trans palmitate. Unit

Internasional atau International Units (IU) juga digunakan untuk menyatakan

aktifitas vitamin A. 1 IU Vitamin A ekivalen dengan aktivitas 0,300 μg

All-trans retinol. Aktifitas retinol ester lain dihitung secara stoikiometris,

sehingga didapat 1 IU vitamin A sebanding dengan aktifitas: 0,334 μg

all-trans-retinyl acetate, 0,359 μg all-trans-retinyl propionate, dan 0,550 μg

(27)

Aktifitas vitamin A ditentukan dengan tujuan untuk menghitung jumlah

yang dibutuhkan pada pembuatan konsentrat. Menurut BP Commision (2009),

aktivitas vitamin A palmitat ditetapkan dengan cara menimbang 25-100 mg

vitamin A dengan akurasi 0,1 %, dilarutkan dengan menggunakan 5 mL

pentana dan diencerkan dengan 2-propanol hingga diperolah konsentrasi 10 -

15 IU/mL. Pengukuran absorbansi dilakukan pada panjang gelombang yang

menghasilkan serapan maksimum pada 326 nm. Aktivitas vitamin A dihitung

dalam satuan internasional unit (IU) per gram dengan persamaan:

A326 = Absorbansi pada panjang gelombang 326 nm

V = total volume pengenceran untuk mendapatkan kadar 10 – 15 IU/mL

1900 = faktor untuk mengkonversi absorbansi spesifik ester retinol menjadi

IU per gram

m = bobot substansi yang di uji (dalam gram).

Vitamin A merupakan zat gizi yang penting (esensial) bagi manusia,

karena zat gizi ini tidak dapat disintesa oleh tubuh, sehingga harus dipenuhi

dari luar. Vitamin A penting untuk kesehatan mata dan mencegah kebutaan

dan yang lebih penting lagi vitamin A meningkatkan daya tahan tubuh.

Anak-anak yang cukup mendapatkan vitamin A, bila terkena diare, campak atau

penyakit infeksi lainnya maka penyakit-penyakit tersebut tidak mudah

men-jadi parah, sehingga tidak membahayakan jiwa anak. Dengan adanya

bukti-bukti yang menunjukkan peranan vitamin A dalam menurunkan angka

kematian, maka selain untuk mencegah kebutaan, pentingnya vitamin A saat

ini lebih dikaitkan dengan kelangsungan hidup, kesehatan dan pertumbuhan

anak (Depkes, 2009a). Fungsi vitamin A didalam tubuh adalah untuk

diferen-siasi sel penglihatan, spermatogenesis, perkembangan embrio, imunitas,

mempengaruhi indra perasa, pendengaran, nafsu makan, serta pertumbuhan

(Bagriansky dan Ranum, 1998). Fungsi lain dari vitamin A adalah membantu

memelihara penglihatan di dalam gelap dan mencegah rabun senja serta

(28)

perkembangan gigi, sebagai koenzim dalam sintesis glikoprotein, memiliki

fungsi seperti hormon steroid, diperlukan untuk pembentukan tiroksin dan

pencegahan goiter, sintesis protein dan sintesis kortikosteron dari kolesterol,

serta sintesis normal dari glikogen (Berdarnier dkk, 2002).

Angka kecukupan gizi untuk vitamin A biasanya dinyatakan dalam satuan

retinol ekivalen (RE). Satu RE setara dengan 1 mikrogram retinol atau 6

mikrogram beta karoten atau 12 mikrogram beta karoten campuran. Status

vitamin A dikatakan baik jika konsentrasi vitamin A dalam hati sebesar 20

mikrogram/gram. Penggunaan setiap harinya adalah sekitar 0,5% dari

persediaan tersebut. Konsumsi vitamin A yang baik adalah jika setengahnya

bisa disimpan didalam tubuh (Muhilal, Jalal dan Hardiansyah, 1998). Angka

kecukupan gizi vitamin A rata-rata yang dianjurkan perhari dapat dilihat pada

Tabel 3.

Tabel 3. Angka Kecukupan Gizi Vitamin A

Kelompok Usia (tahun) Angka Kecukupan (RE)

Bayi

Sumber: FAO/WHO (2001) dalam Muhilal dan Sulae-man (2004)

2.2 MINYAK GORENG SAWIT

Menurut Badan POM (2006), minyak goreng (frying oil atau frying fat)

adalah: minyak dan lemak yang digunakan untuk menggoreng yang diperoleh

dari proses rafinasi/pemurnian (refining/purifying) minyak nabati dalam

(29)

kadar air tidak lebih dari 0,15 %, kadar asam lemak bebas tidak lebih dari 0,3

%, kadar asam lemak linoleat tidak lebih dari 2 % dan bilangan peroksida

tidak lebih dari 10 mek O2/kg.

Minyak kelapa sawit (Refined Bleached Deodorized Palm Oil/RBDPO)

adalah: minyak yang diperoleh dari hasil proses rafinasi/pemurniaan minyak

kelapa sawit mentah. Karakteristik dasar minyak kelapa sawit meliputi:

bilangan penyabunan 190 mg KOH/g, bilangan iod 50 Wijs hingga 55 Wijs,

titik leleh 33 oC hingga 39 oC dan bilangan peroksida tidak lebih dari 10 mek

O2/kg (Badan POM, 2006).

Minyak olein kelapa sawit (Refined Bleached Deodorized Palm Oilein)

adalah fraksi cair minyak kelapa sawit berwarna kekuningan yang diperoleh

dari hasil proses rafinasi/pemurniaan minyak olein kelapa sawit mentah

(Crude Palm Oil/CPO) atau fraksinasi minyak kelapa sawit yang sudah

dirafi-nasi (RBD palm oil). Karakteristik dasar minyak olein kelapa sawit meliputi

titik leleh/lebur tidak lebih dari 30oC, bilangan iod tidak kurang dari 56 Wijs,

bilangan penyabunan 194 mg KOH/g hingga 202 mg KOH/g dan bilangan

peroksida tidak lebih dari 10 mek O2/kg (Badan POM, 2006).

Minyak stearin kelapa sawit (Refined Bleached Deodorized Palm

Stearin) adalah fraksi padat minyak kelapa sawit yang berwarna kekuningan

yang diperoleh dari hasil proses rafinasi/pemurnian stearin kelapa sawit

mentah (Crude Palm Stearin) atau fraksinasi minyak kelapa sawit yang sudah

dirafinasi (RBD palm oil). Karakteristik dasar minyak olein kelapa sawit

meliputi: titik leleh/lebur tidak kurang dari 44oC dan bilangan iod tidak lebih

dari 48 Wijs (Badan POM, 2006).\

Minyak sawit (palm oil) berbeda dengan minyak inti sawit (palm kernel

oil). Minyak sawit diperoleh dari daging buah kelapa sawit bagian mesokarp,

sedangkan minyak inti sawit diperoleh dari biji buah kelapa sawit. Minyak

kelapa sawit diperoleh melalui proses ekstraksi secara rendering atau

penge-presan dan proses pemurnian yang terdiri atas pengendapan dan pemisahan

gum, netralisasi, pemucatan dan deodorisasi. Secara umum minyak kelapa

(30)

memiliki aroma yang sedap dan stabil atau tahan terhadap ketengikan

(Winarno, 2008).

Melalui proses rafinasi, pemucatan dan penghilangan bau atau disingkat

RBD (Refined, Bleached, Deodorized), minyak kelapa sawit dapat diubah

menjadi produk yang bernilai tinggi. Proses rafinasi dan fraksinasi

menghasilkan minyak yang tidak berwarna, jernih dan bersih dari kotoran

yang dikenal dengan RBD oil. Kehilangan beta karoten yang terkandung

dalam minyak kelapa sawit banyak terjadi selama proses-proses tersebut

berlangsung (Muchtadi, 1996).

Menurut Olson (1990), minyak kelapa sawit yang tidak mengalami

proses penjernihan dan bleaching memiliki warna merah karena banyak

mengandung karoten (α dan β karoten) dalam jumlah yang banyak.

Kandungan karotenoid sebanyak 0,5 mg/mL minyak kelapa sawit. Kebutuhan

vitamin A pada anak usia pra-sekolah dapat dicukupi dari konsumsi 7 mL

minyak kelapa sawit merah per hari. Menurut Martianto, Marliyati dan

Komari (2007), walaupun memiliki kandungan karotenoid yang tinggi,

minyak kelapa sawit merah tidak dapat diterima dalam banyak penggunaan

karena warna merah yang kuat dan rasanya yang sangat khas.

Menurut Kemperin (2010), minyak goreng sawit adalah: bahan pangan

dengan komposisi utama trigliserida berasal dari minyak sawit, dengan atau

tanpa pengubahan kimiawi, termasuk hidrogenasi, pendinginan dan telah

melalui proses pemurnian dengan penambahan vitamin A. Komposisi minyak

goreng sawit terdiri atas bahan baku minyak sawit dan bahan tambahan

pangan (BTP) yang penggunaannya disesuaikan dengan ketentuan yang

berlaku untuk diizinkan penggunaannya pada minyak goreng sawit. Adapun

persyaratan mutu minyak goreng sawit sesuai dengan RSNI 3 Minyak goreng

(31)

Tabel 4 RSNI 3 Persyaratan Mutu Minyak Goreng Sawit

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan

1.1 Bau - Normal

1.2 Rasa - Normal

1.3 Warna (merah/kuning) (Lovibond 5,25 cell)

maks. 5,0/50

2 Kadar air dan bahan menguap % (b/b) maks. 0,1 3 Asam lemak bebas (dihitung

sebagai asam palmitat)

* pengambilan contoh di pabrik ** dalam kemasan kaleng

2.3 FORTIFIKASI PANGAN

Menurut Soekirman (2003), kekurangan zat gizi mikro dapat diatasi

dengan berbagai pendekatan seperti diversifikasi pangan, suplementasi dan

fortifikasi pangan. Fortifikasi adalah penambahan satu atau lebih zat gizi

mikro tertentu ke dalam bahan pangan dengan tujuan utama adalah

mening-katkan mutu gizi makanan. Fortifikasi dapat bersifat sukarela maupun wajib.

Fortifikasi yang dilakukan secara sukarela adalah fortifikasi yang dilakukan

oleh produsen untuk meningkatkan nilai tambah produknya, sedangkan

fortifikasi wajib merupakan fortifikasi yang diharuskan dan terdapat dalam

undang-undang maupun peraturan pemerintah dengan tujuan melindungi

rakyat dari kurang gizi. Target utama dari fortifikasi wajib ini adalah

masyarakat miskin yang umumnya menderita kekurangan gizi mikro seperti

kekurangan yodium, zat besi, dan vitamin A. Bahan pangan yang dapat

dilakukan fortifikasi harus memenuhi beberapa kriteria yaitu:

1. Bahan pangan harus dikonsumsi oleh semua atau sebagian besar populasi

sasaran.

(32)

3. Rasa, penampakan dan bau bahan pangan yang difortifikasi tidak boleh

berubah.

4. Zat yang digunakan untuk fortifikasi harus stabil pada kondisi yang

ekstrim seperti pemasakan, pemrosesan, pengangkutan dan penyimpanan

5. Harga bahan pangan hasil fortifikasi tidak naik secara berarti.

Menurut Soekirman (2003) syarat-syarat bahan pangan yang akan

dilakukan fortifikasi adalah produsen yang memproduksi dan mengolah bahan

pangan tersebut terbatas jumlahnya, tersedianya teknologi fortifikasi untuk

bahan pangan yang dipilih dan bahan pangan tersebut tetap aman untuk

dikonsumsi dan dan tidak membahayakan kesehatan.

Menurut Martianto (2011), minyak goreng merupakan bahan pangan

yang diproduksi secara terpusat dan dikonsumsi secara luas oleh masyarakat,

sehingga dapat dipakai sebagai alternatif bahan pangan untuk difortifikasi.

Fortifikasi vitamin A ke dalam minyak goreng sawit perlu dilakukan dengan

alasan: (1) Produk makanan Indonesia sebagian besar menggunakan minyak

goreng; (2) Untuk mengurangi penyakit akibat KVA, maka perlu adanya

kebijakan yang tepat untuk menanggulangi masalah KVA; (3) Salah satu

kebijakan yang ditempuh adalah fortifikasi vitamin A dalam minyak goreng,

dan (4) Pemerintah akan menetapkan standar yang mewajibkan kepada

seluruh produsen minyak goreng sawit untuk melakukan fortifikasi vitamin A

ke dalam produknya.

Menurut Hariyadi (2011), fortifikasi vitamin A pada minyak goreng

dapat dilakukan dengan alasan: (1) Vitamin A dan pro-vitamin A sangat

mudah larut dalam minyak goreng; (2) Vitamin A umumnya lebih stabil

dalam minyak goreng dari pada dalam bahan pangan lainnya; (3) Minyak

goreng (lipida) membantu proses absorbsi dan pemanfaatan vitamin A; (4)

Minyak goreng digunakan oleh masyarakat luas; (5) Teknologinya tersedia

dan sederhana, dan (6) Biaya fortifikasi terjangkau.

(33)

2.4 METODE ANALISIS PENETAPAN KADAR VITAMIN A

Secara umum pengujian vitamin A dalam bahan pangan terdiri atas 3

tahap yaitu: tahap saponifikasi, tahap ektraksi, tahap pemekatan atau

penguapan pelarut organik dan tahap pengukuran menggunakan instrumen.

Saponifikasi dilakukan dengan menggunakan kalium hidroksida dengan

pelarut campuran etanol dan air, penambahan zat anti oksidan (asam askorbat,

pirogalol, butil hidroksi toluena) dan pemanasan pada suhu 60–80oC

(Eitenmiller, 2008). Tahap ekstraksi dilakukan menggunakan pelarut organik

seperti petroleum eter (Eitenmiller, 2008); eter, campuran etanol dengan tetra

hidrofuran (USP Convention 2008). Selanjutnya dilakukan pemekatan atau

penguapan terhadap pelarut organik yang digunakan, lalu dilarutkan kembali

dengan pelarut lainnya seperti metanol atau etanol dan selanjutnya siap untuk

ditetapkan kadarnya menggunakan instrumen seperti: spektrofotometri atau

kromatografi cair kinerja tinggi. Metode penetapan kadar vitamin A

menggunakan instrumen akan dijelaskan sebagai berikut:

2.4.1 Metode Spektrofotometri

2.4.1.1 Pengukuran secara langsung.

Spektrum absorbsi ultraviolet vitamin A dan vitamin A asetat

mempunyai absorbsi maksimal pada panjang gelombang antara 325

sampai 328 nm dalam berbagai pelarut. Larutan vitamin A dalam

isopropanol absorbansinya diukur pada panjang gelombang maksimal

(λmaks) dan pada dua titik, yaitu satu disebelah kanan λmaks dan satunya

pada sebelah kiri λmaks. Absorbansi pada λmaks dikoreksi terhadap

senyawa pengganggu dengan menggunakan formula koreksi karena

senyawa-senyawa ini akan ikut menyerap pada daerah UV. Beberapa

pengganggu terutama pada minyak ikan adalah vitamin A2, kitol,

anhidro vitamin A dan asam polien. Pada vitamin A sintetik senyawa

pengganggunya adalah senyawa-senyawa antara (Rohman dan

(34)

2.4.1.2 Pengubahan retinol atau akseroftol menjadi anhidroakseroftol

Akseroftol mudah diubah menjadi anhidroakseroftol dengan

bantuan sejumlah kecil asam mineral atau asam organik kuat. Metode

Budowski dan Bondi, akseroftol diubah menjadi anhidroakseroftol

dalam pelarut benzen dengan katalisator asam toluen-p-sulfonat pada

temperatur kamar. Kenaikan absorbansi pada 399 nm merupakan hasil

dehidrasi yang berbanding langsung dengan jumlah akseroftol yang

terkandung. Reaksi ini dapat dihentikan dengan penambahan alkali.

Pengukuran absorbansi pada 358 nm, 377 nm dan 399 nm dalam

benzen merupakan cara yang baik untuk mengetahui kemurnian

akseroftol yakni dengan melihat bahwa A399 nm/A377 nm sebesar 0,868

dan A358 nm/A377 nm sebesar 0,692 (Rohman dan Sumantri, 2007).

2.4.1.3 Metode Maleat anhidrat untuk isomer vitamin A

Maleat anhidrat bereaksi dengan all-trans dan 9-cis isomer

vitamin A menghasilkan senyawa yang tidak memberikan warna biru

ketika diuji dengan menggunakan antimon (III) klorida. Potensi

kehilangan terhadap all-trans dan 9-cis isomer dapat terjadi, sehingga

perlu dilakukan dua kali pengukuran nilai antimon (III) klorida,

pertama untuk isomer campuran dan setelah penghilangan kedua

isomer tersebut. Dari perbedaan nilai pengukuran ini, maka komposisi

isomer dalam campuran dan potensi biologisnya dapat ditentukan.

2.4.1.4 Penentuan secara simultan retinol (vitamin A1) dan

dehidro-retinol (vitamin A2)

Prinsip dari metode ini adalah perbedaan panjang gelombang

maksimum dan nilai ekstinsi dari masing-masing vitamin A1 dan A2.

Vitamin A1 mempunyai panjang gelombang maksimum pada 326 nm

sedangkan vitamin A2 mempunyai panjang gelombang maksimum

(35)

2.4.2 Metode kolorimetri

2.4.2.1 Metode Carr-Price

Metode Carr-Pierce mencakup perlakuan vitamin A dengan

antimon (III) klorida; warna biru yang timbul memberikan serapan

maksimum pada panjang gelombang 620 nm dan mematuhi hukum

Lambert-Beer. Antimon (III) klorida yang digunakan sebagai reagen

penghasil warna bersifat korosif, dan membutuhkan penanganan secara

khusus dan kadang-kadang menyebabkan kerusakan terhadap peralatan

spektrofotometer. Dilihat dari formasi antimon (III) klorida, zat ini

sulit untuk untuk dibersihkan dari kuvet dan juga peralatan preparasi.

Warna biru yang timbul sangat tidak stabil dan pengukuran absorbansi

harus dilakukan antara 5-10 detik dari penambahan reagen (Rohman

dan Sumantri, 2007).

2.4.2.2 Pengukuran secara spektrofotometri dengan menggunakan

Asam trifluoro asetat

Asam trifluoro asetat bereaksi dengan vitamin A dan turunannya

sehingga mengasilkan warna biru yang memberikan serapan

maksi-mum pada panjang gelombang 616 nm. Reaksi warna yang terjadi

mematuhi hukum Lambert-Beer pada kisaran konsentrasi vitamin A

sebesar 10-6 dan 10-5 M (Libman, 1966).

2.4.2.3Pengukuran secara spektrofotometri dengan menggunakan

gliserol diklorohidrin aktif

Gliserol diklorohidrin aktif bereaksi dengan vitamin A dalam

kloroform untuk menghasilkan warna ungu yang stabil dan

mem-punyai serapan maksimum pada panjang gelombang 555 nm. Reaksi

warna yang terjadi mematuhi hukum Lambert-Beer pada kisaran yang

lebar. Intensitas warna yang timbul 1/3 jika dibandingkan dengan

intensitas warna biru dari metode Carr-Pierce yang menggunakan

antimon (III) klorida. Reaksi bergantung pada suhu pengujian dan

disarankan pembuatan kurva kalibrasi dan analisis sampel dilakukan

(36)

2.4.2.4Pengukuran dengan menggunakan Asam fosfotungstat

Vitamin A dalam kloroform bereaksi dengan asam fosfotungstat

dalam etil asetat dengan adanya asetat anhidrat maka menghasilkan

warna biru dan memberikan serapan maksimum pada panjang

gelom-bang 620 nm. Reaksinya mematuhi hukum Lambert-Beer. Pada

pema-nasan dengan suhu 50°C menggunakan penangas air, warna biru yang

ada akan berubah menjadi biru keunguan, ungu, dan akhirnya menjadi

merah dan mempunyai serapan maksimum pada 530 nm. Warna merah

yang timbul juga mematuhi hukum Lambert-Beer dan cocok untuk

pengujian vitamin A, akan tetapi metode ini kurang sensitif untuk

bahan dengan kadar vitamin A rendah (Libman, 1966).

2.4.2.5Pengukuran secara kolorimetri dengan aluminium klorida

Metode ini mencakup reaksi larutan jenuh aluminium klorida

dalam kloroform anhidrat dengan vitamin A. Warna yang timbul

mempunyai serapan maksimum pada panjang gelombang 618 nm dan

mematuhi hukum Lambert-Beer (Libman, 1966).

2.4.2.6Pengukuran menggunakan asam fosfomolibdat

Metode ini melibatkan reaksi vitamin A dengan asam

fosfo-molibdat; warna biru yang timbul memberikan serapan maksimum

pada panjang gelombang 700 serta mematuhi hukum Lambert-Beer

(Libman, 1966).

2.4.3 Metode Spektrofluorometri

Berdasarkan sifat vitamin A yang dapat memberikan flourosensi,

maka vitamin A dalam bahan pangan yang telah diekstrasi dapat

diu-kur menggunakan spektrofluorometer pada panjang gelombang

eksi-tasi 330 nm dan emisi 480 nm. Pengukuran dengan metode

spektro-fluorometri lebih spesifik dibandingkan cara spektrofotometri, karena

banyak senyawa yang memberikan serapan pada daerah UV, namun

tidak memberikan sifat flourosensi (Angustin dkk 1985).

(37)

2.4.4 Metode Kromatografi

2.4.4.1Pengukuran dengan kromatografi lapis tipis

Vitamin A dapat dipisahkan dengan komponen lainnya secara

kromatografi lapis tipis menggunakan fase diam silika gel F254 dan fase

gerak campuran siklo heksana dan eter dengan perbandingan 4:1, noda

yang telah terpisah dideteksi menggunakan asam fosfomolibdat dan

bercak biru hijau yang terjadi menunjukkan adanya vitamin A.

Perkiraan harga Rf vitamin A dalam bentuk alkohol, asetat dan

palmitat berturut-turut adalah 0,1; 0,45 dan 0,7 (Depkes 1995). Untuk mendeteksi noda vitamin A dapat juga digunakan larutan antimon (III)

klorida yang akan memberikan warna biru (Depkes 1979) atau

menggunakan UV pada pada panjang gelombang 254 nm (CE 2007).

Sebagai fase gerak selain menggunakan campuran siklo heksana dan

eter, juga dapat digunakan campuran siklo heksana dan etil asetat

dengan perbandingan 9:1 (Libman 1966).

2.4.4.2 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Vitamin A dapat ditetapkan kadarnya menggunakan KCKT

menggunakan kolom fase normal atau kolom fase terbalik. Dengan

menggunakan kolom fase normal, vitamin A ditetapkan kadarnya

menggunakan fase diam kolom silika, fase gerak n-heksana dan

dideteksi menggunakan UV 325-nm (USP Convention 2008). Sebagai

fase gerak dapat juga digunakan campuran heptana dan diisopropil

eter, 95:5; heksana dan dietil eter 98:2; 1-5 % 2-propanol dalam

heptana; heksana dan metil etil keton, 90:10 (Nollet 2000). Dengan

kolom fase terbalk, vitamin A ditetapkan kadarnya menggunakan fase

diam kolom C18, fase gerak campuran metanol dan air dengan

perbandingan 860:140 dan dideteksi menggunakan UV 328-nm atau

313-nm (AOAC International, 2005). Sebagai fase gerak dapat juga

digunakan campuran asetonitril dengan air 90:10 (Eitenmiller, 2008);

campuran asetonitril dengan air, 90:10 atau campuran metanol dengan

(38)

proses saponifikasi, ekstraksi, pemekatan dan melarutkan kembali

menggunakan pelarut yang sesuai.

2.5 INTRUMENTASI KCKT

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi atau KCKT atau biasa juga disebut

dengan HPLC (High Performance Liquid Chromatography) merupakan teknik

pemisahan yang diterima secara luas untuk analisis dan pemurnian senyawa

tertentu dalam suatu sampel. Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan

senyawa organik, anorganik, maupun senyawa biologis. KCKT merupakan

metode yang tidak destruktif dan dapat digunakan baik untuk analisis

kuali-tatif maupun kuantikuali-tatif (Rohman 2007).

Kromatografi adalah suatu prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu

proses migrasi difrensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase atau

lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah

tertentu dan di dalam zat tersebut menunjukkan perbedaan morbilitas

disebab-kan adanya perbedaan dalam adsorbsi, partisi, kelarutan, tedisebab-kanan uap, ukuran

molekul atau kerapatan muatan ion (Depkes 2009b)

Instrumentasi KCKT pada dasarnya terdiri atas komponen pokok yaitu

wadah fase gerak, sistem penghantaran fase gerak, alat untuk memasukkan

sampel kolom, detektor, wadah penampung buangan fase gerak, tabung

peng-hubung dan suatu komputer atau integrator atau perekam (Johnson, 1991).

Diagram blok untuk sistem kromatografi cair kinerja tinggi ditunjukkan pada

(39)

Gambar 2. Diagram Blok Sistem KCKT

2.5.1 Wadah Fase Gerak pada KCKT

Wadah fase gerak harus bersih dan lembam (inert). Wadah ini

biasanya dapat menampung fase gerak antara 1 sampai 2 liter pelarut.

Fase gerak sebelum digunakan harus dilakukan degassing (penghilang

gas) yang ada pada fase gerak, sebab adanya gas akan berkumpul

dengan komponen lain terutama di pompa dan detektor sehingga akan

mengacaukan analisis.

2.5.2 Fase Gerak Pada KCKT

Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut

yang dapat bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya

elusi dan resolusi. Daya elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas

keseluruhan pelarut, polaritas fase diam dan sifat

(40)

gerak), kemampuan elusi meningkat dengan meningkatnya polaritas

pelarut. Sementara untuk fase terbalik (fase diam kurang polar

dari-pada fase gerak), kemampuan elusi menurun dengan meningkatnya

polaritas pelarut.

Fase gerak yang paling sering digunakan untuk pemisahan

dengan fase terbalik adalah campuran larutan buffer dengan metanol

atau campuran air dengan asetonitril. Untuk pemisahan dengan fase

normal, fase gerak yang paling sering digunakan adalah campuran

pelarut-pelarut hidrokarbon dengan pelarut yang terklorisasi atau

menggunakan pelarut-pelarut jenis alkohol.

2.5.3 Pompa pada KCKT

Pompa yang digunakan untuk KCKT adalah pompa yang

mempunyai syarat sebagaimana syarat wadah pelarut yakni pompa

harus inert terhadap fase gerak. Pompa yang digunakan sebaiknya

mampu memberikan tekanan sampai 5000 psi dan mampu mengalirkan

fase gerak dengan kecepatan alir 1-3 mL/menit. Untuk tujuan

prepa-ratif, pompa yang digunakan harus mampu mengalirkan fase gerak

dengan kecepatan 20 mL/menit.

Tujuan penggunaan pompa atau sistem penghantaran fase gerak

adalah untuk menjamin proses penghantaran fase gerak berlangsung

secara tepat, reproduksibel, konstan dan bebas dari gangguan.

2.5.4 Injektor/Penyuntikan Sampel Pada KCKT

Sampel-sampel cair dan larutan disuntikkan secara langsung ke

dalam fase gerak yang mengalir di bawah tekanan menuju kolom

menggunakan alat penyuntik yang terbuat dari tembaga tahan karat dan

katup teflon yang dilengkapi dengan keluk sampel (sampel loop)

internal atau eksternal.

Pada saat pengisian sampel digelontor melewati keluk sampel

dan kelebihannya dikeluarkan ke pembuang. Pada saat penyuntikan,

(41)

mengge lontor sampel ke kolom. Presisi penyuntikan dengan keluk

sampel ini dapat mencapai nilai RSD 0,1%.

2.5.5 Kolom Pada KCKT

Kolom KCKT pada umumnya terbuat dari pipa baja tahan karat.

Panjang kolom antara 10-30 cm dengan diameter dalam 4,5-5,0 mm.

Kolom diisi dengan yang sesuai untuk pemisahan sampel tertentu.

Kolom untuk pemisahan analitik umumnya mempunyai diameter

dalam 2-4 mm. Kolom dapat dipanaskan sampai 60oC agar dihasilkan

pemisahan yang lebih efisien. Jika tidak dinyatakan lain, kolom

dipertahankan pada suhu kamar.

Fase diam pada KCKT berupa silika yang dimodifikasi secara

kimiawi, silika yang tidak dimodifikasi, atau polimer-polimer stiren

dan divinil benzene. Permukaan silika adalah polar dan sedikit asam

karena adanya residu gugus silanol (Si-OH), Oktadesil silan (ODS atau

C18) merupakan fase diam yang paling banyak digunakan karena

mampu memisahkan senyawa-senyawa dengan kepolaran yang rendah,

sedang, maupun tinggi. Fase diam eksklusi dan penukar ion dapat

menggunakan silika atau polimer.

2.5.6 Detektor KCKT

Detektor pada KCKT ada 2 yaitu (1) Detektor universal (yang

mampu mendeteksi zat secara umum, tidak bersifat spesifik dan tidak

bersifat selektif) seperti detektor indeks bias dan detektor spektrometri

massa, dan (2) Detektor yang spesifik yang hanya akan mendeteksi

analit secara spesifik dan selektif, seperti detector UV-VIS, detektor

fluoresensi dan elektro kimia.

2.5.7 Komputer, Integrator atau Rekorder.

Alat pengumpul data seperti komputer, integrator atau rekorder,

dihubungkan dengan detektor. Alat ini akan mengukur sinyal

elektro-nik yang dihasilkan oleh detektor lalu memplotkannya sebagai suatu

(42)

2.6 VALIDASI METODE ANALISIS

Suatu metode analisis terdiri atas serangkaian langkah yang harus

diikuti untuk tujuan analisis kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan

teknik tertentu. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam melakukan

pemilihan metode analisis adalah: tujuan analisis, biaya yang dibutuhkan,

serta waktu yang diperlukan; level analit yang diharapkan dan batas deteksi

yang diperlukan; macam sampel yang akan dianalisis serta pra-perlakuan

sampel yang dibutuhkan; jumlah sampel yang dianalisis; ketepatan dan

ketelitian yang diinginkan untuk analisis kuantitatif; ketersediaan bahan

rujukan, senyawa baku, bahan-bahan kimia, dan pelarut yang dibutuhkan;

peralatan yang tersedia; kemungkinan adanya gangguan pada saat deteksi

atau pada saat pengukuran sampel. Menurut Rohman dan Ibnu (2007),

kriteria yang harus dipenuhi suatu metode analisis yang baik adalah:

1. Peka (sensitive) artinya metode harus dapat digunakan untuk

mene-tapkan kadar senyawa dalam konsentrasi yang kecil.

2. Selektif, artinya untuk penetapan kadar senyawa tertentu, metode

tersebut tidak banyak terpengaruh oleh adanya senyawa lain.

3. Tepat (precise) artinya metode tersebut menghasilkan suatu hasil

analisis yang sama atau hampir sama dalam satu seri pengukuran

(penetapan).

4. Teliti (accurate) artinya metode dapat menghasilkan nilai rata-rata

(mean) yang sangat dekat dengan nilai sebenarnya (true value).

5. Kasar (rugged) artinya ada perubahan komposisi pelarut atau variasi

lingkungan tidak menyebabkan perubahan hasil analisis.

6. Praktis artinya metode tersebut mudah dikerjakan serta tidak banyak

memerlukan waktu dan biaya.

Pengembangan metode analisis biasanya didasarkan pada metode yang

sudah ada menggunakan instrumen yang sama atau hampir sama.

Pengem-bangan metode analisis biasanya membutuhkan syarat-syarat metode

tertentu dan memutuskan jenis alat yang akan digunakan. Pada tahap

Gambar

Tabel 2. Sifat-sifat Kimia Fisika Retinol dan Retinil Palmitat
Tabel 4 RSNI 3 Persyaratan Mutu Minyak Goreng Sawit
Gambar 2. Diagram Blok Sistem KCKT
Tabel 6. Kondisi parameter  KCKT untuk optimasi metode
+7

Referensi

Dokumen terkait