• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini merupakan percobaan laboratorium yang terdiri dari (3) tiga tahap. Penelitian tahap I merupakan penelitian pemilihan kondisi optimum (komposisi fase gerak, laju alir dan detektor) yang akan digunakan dalam penetapan kadar vitamin A menggunakan KCKT. Parameter yang dievaluasi meliputi: bentuk kromatogram, waktu retensi (Rt), resolusi (Rs), jumlah lempeng teoritis (N) dan tailing faktor (Tf).

Penelitian tahap II merupakan validasi metode analisis penetapan kadar vitamin A menggunakan KCKT. Parameter validasi yang akan dilakukan adalah: kurva baku dan linieritas, presisi, akurasi, selektivitas, robustness, batas deteksi dan batas kuantisasi metode.

Penelitian tahap III merupakan uji coba metode analisis yang telah dikembangkan dan telah divalidasi untuk analisis vitamin A dalam minyak goreng sawit yang beredar di pasaran. Parameter yang diuji adalah penga- matan kromatogram dan penetapan kadar vitamin A.

3.3.1 Penetapan Aktivitas Baku Vitamin A

Aktivitas baku vitamin A ditetapkan sesuai metode Farmakope Inggris (2009), yaitu dengan cara menimbang dengan saksama sejum- lah baku vitamin A palmitat, dilarutkan dengan n-pentana dan diencer- kan dengan 2-propanol hingga konsentrasinya 10 -15 IU/mL. Pengu- kuran absorbansi dilakukan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang maksimum (326 nm), aktivitas baku vitamin A dalam satuan unit internasional (IU) per gram dihitung dengan rumus:

A26 = absorbansi pada panjang gelombang 326 nm

V = total volume pengenceran untuk mendapatkan kadar 10-15 IU/mL

1900 = faktor untuk mengkonversi absorbansi spesifik ester retinol menjadi menjadi IU per gram

3.3.2 Penetapan kondisi optimum KCKT

Larutan baku vitamin A yang akan disuntikkan ke dalam sistem KCKT disiapkan sesuai metode Farmakope Inggris (2009). Metode ini digunakan untuk penetapan kadar vitamin A dalam bentuk baku atau konsentrat vitamin A, sehingga untuk penetapan kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit oleh peneliti dilakukan modifi- asi, yaitu penambahan matriks minyak goreng sawit, perubahan konsentrasi baku yang digunakan dan pada proses penyiapan sampel tanpa pemanasan larutan uji.

Larutan dianalisis menggunakan KCKT dengan berbagai kondisi percobaan seperti pada Tabel 6 dan analisis untuk setiap kondisi percobaan dilakukan masing-masing dengan 3 kali pengu- angan. Kromatogram yang dihasilkan dievaluasi dengan cara mencatat atau menghitung: waktu retensi (Rt), resolusi (Rs), jumlah lempeng teoritis (N) dan faktor ikutan atau tailing faktor (Tf) untuk masing- masing hasil pada berbagai kondisi percobaan. Kondisi percobaan memenuhi kriteria apabila: waktu retensi (Rt) < 15 menit; resolusi (Rs) > 1,5; jumlah lempeng teoritis (N) > 3000 dan faktor ikutan atau tailing faktor (Tf) mendekati 1. Untuk mempermudah dalam mengam- bil keputusan pada pemilihan kondisi optimum, maka setiap parameter kromatogram diberi nilai skor antara 1 - 3. Penentuan nilai skor untuk penilaian kromatogram dapat dilihat pada Tabel 7.

Dari hasil tersebut kemudian ditentukan jumlah skor tertinggi yang merupakan kondisi optimum dan selanjutnya digunakan pada penelitian selanjutnya.

31

2 Kolom C 18; fase gerak metanol; detektor fluoresens panjang

gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm.

Laju alir: 0,6; 0,8 dan 1,0 mL/menit

3 Kolom C 18; fase gerak metanol dan air; laju alir 1,5 mL/menit;

detektor UV 325 nm

Perbanding komposisi fase gerak metanol dan air (97,5:2,5; 95:5; 90:10; dan 85:15)

4 Kolom C 18; fase gerak metanol dan air; laju alir 1,5 mL/menit;

detektor fluoresens panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm.

Perbanding komposisi fase gerak metanol dan air (97,5:2,5; 95:5; 90:10; dan 85:15)

5 Kolom C 18; fase gerak asetonitril dan metanol; laju alir 1,0

mL/menit; detektor UV 325nm

Perbanding komposisi fase gerak metanol dan air (75:25; 50:50; dan 25:75)

6 Kolom C 18; fase gerak asetonitril dan metanol; laju alir 1,0

mL/menit; detektor fluoresens panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm.

Perbanding komposisi fase gerak metanol dan air (75:25; 50:50; dan 25:75)

7 Kolom C 18; fase gerak asetonitril dan air; laju alir 1,5mL/menit;

detektor UV 325 nm

Perbanding komposisi fase gerak asetonitril dan air (100:0; 95:5; 90:10; 85:15; 80:20 dan 75:25).

8 Kolom C 18; fase gerak asetonitril dan air; laju alir 1,5mL/menit;

detektor fluoresens panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang ge-lombang emisi 470 nm.

Perbanding komposisi fase gerak asetonitril dan air (100:0; 95:5; 90:10; 85:15; 80:20 dan 75:25)

9 Kolom C 18; fase gerak asetonitril dan air; laju alir

1,75mL/menit; detektor UV 325 nm

Perbanding komposisi fase gerak asetonitril dan air (100:0; 95:5; 90:10; 85:15; 80:20 dan 75:25)

10 Kolom C 18; fase gerak asetonitril dan air; laju alir

1,75mL/menit; detektor fluoresens panjang gelombang eksitasi 325 nm dan panjang gelombang emisi 470 nm.

Perbanding komposisi fase gerak asetonitril dan air (100:0; 95:5; 90:10; 85:15; 80:20 dan 75:25)

32

Skor Pengamatan

Rt Rs N Tf

1 ≥ 15 ≤ 1,5 ≥ 3000 dan < 6000 ≤ 0,75 atau ≥ 1,25

2 > 10 dan < 15 > 1,5 dan < 2,5 ≥ 6000 dan < 9000 > 0,75 atau < 1,25

3.3.3 Uji kesesuaian sistem (UKS)

Uji kesesuaian sistem dilakukan sesuai metode Farmakope Indonesia (1995) dengan cara menyuntikkan salah satu larutan baku seri ke dalam sistem KCKT minimal 5 kali pengulangan. Kondisi KCKT sesuai prosedur yang telah dipilih pada uji optimasi, kemudian dihitung % RSD dari waktu retensi dan luas area dari vitamin A. SD dan RSD dihitung dengan menggunakan rumus:

UKS diterima bila memenuhi kriteria apabila % RSD dari waktu retensi dan luas area dari vitamin A kurang atau sama dengan 1.

3.3.4 Pembuatan kurva baku dan uji linieritas

Untuk pembuatan kurva baku dan uji linieritas, sebelumnya dibuat larutan baku seri vitamin A dengan konsentrasi 0,5– 4 IU/mL. Larutan baku dibuat dengan cara menimbang dan memasukkan 2,5 g minyak goreng sawit yang tidak mengandung vitamin A dan 2,5 mL n-pentana ke dalam labu takar berwarna coklat 25 mL lalu dikocok sehingga minyak goreng sawit larut, kemudian ditambahkan baku vitamin A dengan cara memipet 0,5–7,0 mL larutan baku vitamin A 50 IU/mL dan dimasukkan ke dalamnya. Selanjutnya dilakukan perlakuan yang sama seperti pada pembuatan larutan larutan uji pada penetapan kondisi optimum KCKT. Larutan baku seri disuntikan ke dalam sistem KCKT sesuai prosedur yang telah dipilih pada uji optimasi dan masing-masing larutan baku seri disuntikan dengan 3 kali pengulangan, kemudian dibuat kurva antara konsentrasi analit yang berbeda-beda (x) terhadap respon instrumen atau luas area (y) dan dikaji secara visual, apakah linier atau tidak. Selanjutnya ditetapkan kurva linier: y = bx + a, dimana a adalah intersept (perpotongan dengan garis dengan sumbu y) dan b adalah slope (kemiringan garis regresi), kelinieran kurva ditentukan dengan cara menghitung koefesien

diterima apabila nilai r > 0,995 dan Vxo ≤ 5. Untuk menentukan nilai a,

b, r dan Vxo digunakan rumus sebagai berikut:

Selanjutnya dibuat kurva konsentrasi versus faktor respon detektor dan kurva konsentrasi versus residual. Faktor respon detektor dihitung dengan menggunakan rumus:

Residual dihitung menggunakan rumus: Residual = (Y^ - Y)

Y^ = Luas area vitamin A secara teoritis (dari persamaan garis regresi). Y = Luas area vitamin A yang diamati.

Masing-masing kurva tersebut diamati secara visual, jika terjadi penyebaran titik-titik secara random antara konsentrasi vitamin A dengan faktor respon detektor dan konsentrasi vitamin A dengan residual yang mendekati garis tengah menunjukkan linieritas yang baik.

3.4.5 Uji presisi

Untuk pembuatan larutan uji presisi, sebelumnya disiapkan terlebih dahulu sampel minyak goreng sawit yang mengandung vitamin A dengan 3 tingkat konsentrasi yang berbeda yaitu: kadar rendah 22,5 IU/g, kadar menengah 45 IU/g dan kadar tinggi 67,5 IU/g. Masing-masing sampel tersebut ditimbang dengan saksama sejumlah 2,5 gram, dimasukkan ke dalam labu takar berwarna coklat 25 mL, kemudian ditambahkan 2,5 mL n-pentana, lalu dikocok sehingga minyak goreng sawit larut. Selanjutnya dilakukan perlakuan yang sama seperti pada pembuatan larutan larutan uji pada penetapan kondisi optimum KCKT. Uji presisi dilakukan dengan cara menyuntikkan larutan uji ke dalam sistem KCKT menggunakan prosedur yang telah dipilih pada uji optimasi. Masing-masing sampel dengan 3 tingkat konsentrasi yang berbeda dianalisis sebanyak 6 kali pengulangan. Perhitungan kadar sampel dilakukan menggunakan

persamaan kurva kalibrasi dengan menggunakan rumus:

Kemudian kadar dari masing-masing uji presisi dihitung dan ditentukan nilai rata-ratanya, standar deviasi (SD) dan standar deviasi

relatif (RSD). Presisi diterima bila memenuhi kriteria:untuk satu penguji

(repeatabilitas): % RSD sampel ≤ ⅔ x % RSD Horwitz dan untuk intralab

(intra reprodubilitas): % RSD sampel ≤ % RSD Horwitz. RS D Horwitz

dihitung menggunakan rumus:

3.4.6 Uji akurasi

Untuk pembuatan larutan uji akurasi, digunakan sampel minyak goreng sawit yang sama pada uji presisi. Masing-masing sampel minyak goreng tersebut ditimbang dengan saksama sejumlah 1,25 gram, dimasukkan ke dalam labu takar coklat 25 mL, kemudian ditambahkan 2,5 mL n-pentana, lalu dikocok sehingga minyak goreng sawit larut. Untuk akurasi pada tingkat kadar rendah ditambahkan baku vitamin A 50 IU/mL

sebanyak 0,6 mL, untuk tingkat kadar menengah 1,2 mL dan untuk akurasi tingkat kadar tinggi ditambahkan 1,8 mL. Selanjutnya dilakukan perlakuan yang sama seperti pada pembuatan larutan larutan uji pada penetapan kondisi optimum KCKT. Uji akurasi dilakukan dengan cara menyuntikkan larutan uji ke dalam sistem KCKT sesuai prosedur penetapan kadar yang telah ditentukan dari hasil uji optimasi. Masing-masing sampel dengan 3 tingkat konsentrasi yang berbeda dianalisis sebanyak 6 kali pengulangan. Berdasarkan luas area yang didapat, dengan menggunakan kurva kalibrasi baku selanjutnya dihitung jumlah total vitamin A, vitamin A dari sampel dan rekoveri vitamin A. Akurasi metode dinyatakan sebagai % rekoveri yang dihitung dengan menggunakan rumus:

Akurasi diterima bila memenuhi kriteria: rekoveri yang diperoleh pada rentang 80–110 %

3.4.7 Uji selektivitas (spesifisitas)

Larutan untuk uji selektivitas dibuat dengan cara menimbang dengan saksama sejumlah 2,5 gram sampel minyak goreng sawit yang sama pada uji presisi (mengandung vitamin A dengan konsentrasi 45 IU/g), kemudian dimasukkan ke dalam labu takar coklat 25 mL, ditambahkan 2,5 mL n- pentana lalu dikocok sehingga minyak goreng sawit larut, ditambahkan 2,5 mL larutan butil hidroksi toluena 0,25 % dalam 2-propanol, 1 mL campuran larutan butil hidroksi anisol (BHA), butil hidroksi toluena (BHT), propil galat, tersier butil hidrokuinon (TBHQ), vitamin D dan vitamin E masing-masing 1000 ppm serta beta karoten 100 ppm dalam 2- propanol dan 10 mL larutan tetra-n-butil amonium hidroksisida 0,1 M dalam 2-propanol, kemudian larutan diencerkan dengan 2-propanol hingga tanda tera, lalu dikocok hingga homogen. Kemudian larutan disaring menggunakan membran filter 0,2 µ m dan dilakukan sonifikasi selama 10 menit. Uji selektivitas (spesifisitas) dilakukan dengan cara menyuntikkan larutan ke dalam sistem KCKT sesuai prosedur yang telah dipilih pada uji

optimasi. Uji selektivitas (spesifisitas) dilakukan sebanyak 6 kali pengulangan. Perhitungan kadar dilakukan menggunakan kurva kalibrasi, kadar rata-rata dan SD dari masing-masing uji selektivitas (spesifisitas) dihitung. Dengan menggunakan uji t, dibandingkan kadar rata-rata dan SD yang diperoleh dari uji selektivitas (spesifisitas) dengan kadar rata-rata dan SD yang diperoleh dari perhitungan presisi. Selektivitas (spesifisitas) diterima apabila nilai yang diperoleh dari perhitungan uji t seperti di atas memberikan hasil yang tidak berbeda bermakna.

3.4.8 Uji robustness

Larutan untuk uji selektivitas dibuat dengan cara menimbang dengan saksama sejumlah 2,5 gram sampel minyak goreng sawit yang sama pada uji presisi (mengandung vitamin A dengan konsentrasi 45 IU/g). Selanjutnya dilakukan perlakuan yang sama seperti pada pembuatan larutan uji pada presisi. Uji robustness dilakukan dengan cara menyuntikkan larutan uji ke dalam sistem KCKT sesuai prosedur yang telah dipilih pada uji optimasi, namun pada metode tersebut dilakukan sedikit perubahan kecil seperti: perubahan penambahan atau pengurangan jumlah pereaksi yang digunakan, perubahan komposisi fase gerak, perubahan laju alir, dan perubahan merek kolom. Pada penelitian ini, uji dilakukan dengan cara melakukan sedikit perubahan pada:

1. Pengurangan jumlah pereaksi n-pentana 2 mL, larutan antioksidan

butil hidroksi toluena 2 mL dan larutan tetra-n-butil amonium hidroksida 9,5 mL

2. Penambahan jumlah pereaksi n-pentana 3 mL, larutan antioksidan butil

hidroksi toluena 3 mL dan larutan tetra-n-butil amonium hidroksida 10,5 mL

3. Perubahan komposisi fase gerak menjadi asetonitril : air (81:19) dan

laju alir 1,74 mL/menit.

4. Perubahan komposisi fase gerak menjadi asetonitri : air (79:21) dan

5. Perubahan penggunakan merek kolom yang berbeda: kolom C 18

panjang 250 mm, diameter dalam 4,6 mm dan ukuran partikel 5 µm

(Shimadzu Shim-pack, Jepang).

Masing-masing perubahan kondisi pada uji robutsness dilakukan sebanyak 6 kali pengulangan. Perhitungan kadar dilakukan menggunakan kurva kalibrasi, kadar rata-rata dan SD dari masing-masing uji dihitung. Dengan menggunakan uji t, dibandingkan kadar rata-rata dan SD yang diperoleh dari uji robustness dengan kadar rata-rata dan SD yang diperoleh dari perhitungan presisi. Uji robustness diterima apabila nilai yang diperoleh dari perhitungan uji t seperti di atas memberikan hasil yang tidak berbeda bermakna.

3.4.9 Uji batas deteksi dan batas kuantisasi

Untuk pembuatan larutan untuk penentuan uji batas deteksi dan batas kuantisasi, sebelumnya disiapkan terlebih dahulu sampel minyak goreng sawit yang mengandung vitamin A dengan 7 tingkat konsentrasi yang berbeda yaitu: kadar 0,5 IU/g, 0,625 IU/g, 1 IU/g, 1,25 IU/g, 2,5 IU/g, 5 IU/g dan 10 IU/g. Penyiapan larutan uji dilakukan dengan cara dilakukan perlakuan yang sama seperti pada pembuatan larutan uji pada presisi. Uji penentuan batas deteksi (LOD) dan batas kuantisasi (LOQ) dilakukan dengan cara menyuntikkan larutan uji ke dalam sistem KCKT sesuai prosedur yang telah dipilih pada uji optimasi. Kromatogram yang diperoleh dianalisis dengan membuat data kadar spike yang berbeda-beda (X), tinggi noise (N), tinggi sinyal atau puncak (S) dan perbandingkan sinyal dengan noise (S/N). Kemudian dibuat kurva hubungan antara konsentrasi spike (X) terhadap respon S/N (Y) dan dibuat persamaan garis regresi kurva linier: y = bx + a. Berdasarkan kurva linier tersebut, kemudian dihitung nilai LOD dan LOQ dengan menggunakan rumus: LOD = harga nilai X pada S/N = 3, sedangkan nilai LOQ = harga nilai X pada S/N = 10

3.4.10 Penetapan kadar vitamin A pada minyak goreng sawit yang beredar di pasaran

Untuk penetapan kadar vitamin A pada minyak goreng sawit yang beredar di pasaran, sebelumnya dilakukan pembelian sampel beberapa merek minyak goreng sawit yang pada labelnya mengklaim akan kandungan vitamin A. Penyiapan larutan uji dilakukan dengan cara dilakukan perlakuan yang sama seperti pada pembuatan larutan uji pada presisi. Masing-masing sampel dilakukan pengulangan pengujian minimal 2 kali. Masing-masing larutan uji tersebut kemudian disuntikkan ke dalam sistem KCKT sesuai prosedur yang telah dipilih pada uji optimasi. Kromatogram yang dihasilkan diamati dan perhitungan kadar vitamin A dilakukan menggunakan kurva kalibrasi.

Pada penelitian ini telah dilakukan pengembangan dan validasi metode analisis untuk penetapan kadar vitamin A dalam minyak goreng sawit secara KCKT menggunakan kolom C 18 dengan alasan karena kolom ini sudah umum digunakan dan sudah dimiliki oleh sebagian besar laboratorium pangan. Komposisi fase gerak yang digunakan terdiri dari pelarut organik dan air, tanpa penambahan larutan buffer dan pasangan ion, sehingga setelah penggunan selesai, alat KCKT dapat segera dimatikan tanpa pencucian kolom terlebih dahulu menggunakan air. Penelitian hasil pengembangan, validasi dan uji coba metode analisis yang telah dilakukan oleh peneliti sebagai berikut:

4.1 Penetapan aktivitas baku vitamin A

Sebelum penelitian ini dimulai, perlu dilakukan penetapan aktivitas baku vitamin A menggunakan spektrofotometer UV-Vis yang sudah dikalibrasi. Penetapan ini perlu dilakukan karena sifat dari vitamin A yang mudah rusak oleh pengaruh udara dan cahaya. Bila tidak dilakukan penetapan aktivitas baku vitamin A, maka kadar baku vitamin A tidak sesuai dengan kadar yang sebenarnya dan akibatnya hasil pengujian tidak akurat. Data uji penetapan aktivitas baku vitamin A dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Data hasil uji penetapan aktivitas baku vitamin A

No. Bobot Baku (g) Faktor Absorban Kadar Baku Pengenceran Vit. A (IU/g)

1 0,0733 10.000 0,6557 1.699.632 2 0,0699 10.000 0,6240 1.696.137 3 0,0720 10.000 0,6330 1.670.417 Rata-rata (IU/g) 1.688.729 SD (IU/g) 15954,51 RSD (%) 0,94

Data yang dipereleh menunjukan kadar baku vitamin A adalah 1688729 IU/g dengan RSD 0,94 %. Dari data diperoleh dapat disimpulkan bahwa baku vitamin A tersebut dapat digunakan untuk penelitian tahap selanjutnya.

4.2 Pemilihan kondisi analisis optimum

Sebelum disuntikkan ke dalam sistem KCKT, larutan baku dan larutan sampel disiapkan dengan cara menimbang, lalu melarutkannya menggunakan n- pentana dan 2-propanol, ditambahkan larutan butil hidroksi toluena dan tetra-n- butil ammonium hidroksida. Adapunun maksud dari penambahan perekaksi- pereaksi tersebut adalah sebagai berikut: penambahan pereaksi n-pentana untuk membantu kelarutan minyak goreng sawit dalam pelarut 2-propanol. Minyak goreng sawit merupakan senyawa yang sangat non polar, sedangkan 2-propanol bersifat semi polar. Agar minyak goreng sawit mudah bercampur dengan 2- propanol, maka minyak goreng sawit tersebut dilarutkan terlebih dahulu dengan pelarut lain (n-pentana) yang lebih mudah bercampur dengan minyak goreng sawit, lalu diencerkan dengan 2-propanol. Pereaksi butil hidroksi toluena berfungsi untuk mencegah oksidasi vitamin A. Oksidasi terjadi akibat pengaruh udara dan cahaya, yang akan membentuk yang selanjutnya radikal bebas tersebut dapat mengoksidasi vitamin A. Butil hidroksi toluena akan beraksi dengan radikal bebas tersebut, sehingga mencegah terjadinya reaksi oksidasi vitamin A. Pereaksi tetra-n-butil ammonium hidroksida berfungsi untuk mengubah vitamin A palmitat atau retinil palmitat menjadi retinol. Tanpa adanya reaksi tersebut, retinil palmitat sangat sulit untuk dianalisis dengan KCKT karena sifat dari retinil palmitat yang sangat non polar, sehingga terjadi inter aksi yang kuat dengan fase diam dan akibatnya retinil palmitat tidak dapat dielusi oleh fase gerak yang digunakan. Reaksi yang terjadi antara vitamin A palmitat dengan tetra-n-butil ammonium hidroksida dapat dilihat pada Gambar 3.

+

Retinil palmitat Tetra-n-butil ammonium

hidroksida

Retinol

Gambar 3. Reaksi antara retinil palmitat dengan tetra-n-butil ammonium hidroksida menghasilkan retinol.

Untuk mendapatkan kondisi analisis optimum vitamin A dalam minyak goreng sawit, beberapa parameter kondisi KCKT perlu dioptimasi antara lain: komposisi fase gerak, laju alir fase gerak dan detektor yang digunakan. Komposisi fase gerak dan laju alir yang optimum memberikan jumlah lempeng teoritis (N) yang besar, resolusi (Rs) yang lebih besar dari 1,5, faktor ikutan (Tf) yang mendekati satu, serta waktu retensi yang relatif singkat, sedangkan optimasi detektor yang digunakan untuk menentukan spesifisitas dan selektivitas yang tinggi dalam analisis tanpa adanya gangguan dari matriks sampel. Dalam penelitian ini digunakan kolom C18 yang bersifat non polar, sehingga sistem kromotagrafi ini merupakan sistem kromatografi fase balik. Daya elusi dalam sistem kromatografi ini berbanding terbalik dengan polaritas fase gerak. Semakin kecil polaritas fase gerak, maka daya elusinya semakin besar. Fase gerak yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari fase gerak berupa pelarut murni (asetonitril atau metanol) dan campuran pelarut organik (asetonitril atau metanol) dengan air. Dalam hal ini, air merupakan senyawa yang paling polar bila dibandingkan dengan asetonitril dan metanol. Apabila jumlah air dalam komposisi fase gerak tersebut ditambah, maka daya elusinya semakin rendah dan akibatnya waktu retensi analit semakin besar. Namun dengan berkurangnya daya elusi dapat memperbaiki bentuk kromatogram tersebut (resolusi, jumlah lempeng teoritis ataupun tailing faktor) hingga diperoleh kondisi yang optimum.

Pada pencarian kondisi analisis optimum, laju alir juga divariasikan mulai dari 0,6 mL/menit sampai dengan 1,75 mL/menit. Laju alir berbanding lurus dengan waktu retensi. Pada optimasi laju alir dipilih yang mempunyai waktu terpendek tetapi tidak mengabaikan kapasitasnya. Waktu retensi dikendalikan oleh koefesien distribusi (k), jika harga k besar maka komponen dalam fase diam lebih besar dari pada dalam fase gerak, sehingga komponen akan tinggal lebih lama dalam fase diam. Kecepatan migrasi ditentukan oleh jumlah komponen yang terdapat dalam fase gerak, karena komponen hanya bergerak dibawa oleh fase gerak, sedangkan laju alir mempengaruhi migrasi suatu komponen. Untuk fase gerak yang viskositasnya besar akan menyebabkan peningkatan tekanan pada kolam, sehingga bila menggunakan fase gerak dengan menggunakan pelarut yang mempunyai viskositas yang besar, maka laju alirnya tidak boleh besar. Dalam hal

ini, asetonitril merupakan pelarut yang mempunyai viskositas paling kecil bila dibandingkan denga air dan metanol. Dalam hal ini, bila komposisi fase gerak terdiri dari asetonitril dengan jumlah yang besar maka dalam analisis bila menggunakan laju alir yang besar tekanan kolom tetap rendah.

Pada pencarian kondisi analisis optimum, detektor yang digunakan juga divariasikan. Detektor yang digunakan pada penelitian ini adalah detektor ultraviolet dan detektor fluoresens. Detektor ultraviolet digunakan untuk mendeteksi komponen zat yang dapat menyerap cahaya di daerah ultraviolet (190 – 400 nm). Keuntungan dari detektor ini adalah pemilihan panjang gelombang yang luas dan sensitivitas terhadap alat yang baik. Detektor fluoresens digunakan untuk mendeteksi komponen zat yang dapat menyerap cahaya dan kemudian memancarkan cahaya pada panjang gelombang yang lebih tinggi. Dibandingkan dengan detektor ultra violet, detektor flouresen lebih peka dan lebih selektif, karena hanya komponen zat yang berfluoresensi saja yang dapat dideteksi. Vitamin A dapat dideteksi baik dengan menggunakan detektor ultraviolet maupun menggunakan detektor fluoresens.

Pada penelitian ini digunakan kolom C 18 (Waters Xbridge, dengan panjang 250 mm, diameter 4,6 mm ukuran partikel 5,0 µ m). Pemilihan kondisi optimum dilakukan dengan memvariasikn komposisi fase gerak, laju alir dan detektor yang digunakan (detektor ultraviolet dan fluoresens). Data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan komposisi fase gerak metanol dengan detektor UV dapat dilihat pada Tabel 9, sedangkan data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak metanol dengan detektor fluoresens dapat dilihat pada Tabel 10. Data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak metanol dan air dengan detektor UV dapat dilihat pada Tabel 11, sedangkan data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak metanol dan air dengan detektor fluoresens dapat dilihat pada Tabel 12. Data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak asetonitril dan metanol dengan detektor UV dapat dilihat pada Tabel 13,

sedangkan data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi komposisi fase gerak asetonitril dan metanol dengan detektor fluoresens dapat dilihat pada Tabel 14. Data pengamatan kromatogram vitamin A dalam matriks minyak goreng sawit menggunakan variasi

Dokumen terkait