• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bidang Kajian : Pendidikan Matematika Jenis Artikel : Hasil Kajian PROSES BERPIKIR REFLEKTIF GURU SD DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bidang Kajian : Pendidikan Matematika Jenis Artikel : Hasil Kajian PROSES BERPIKIR REFLEKTIF GURU SD DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Bidang Kajian : Pendidikan Matematika Jenis Artikel : Hasil Kajian

PROSES BERPIKIR REFLEKTIF

GURU SD DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Agustan S.

Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar

e-mail: agus.sahabat@gmail.com

Abstrak

Untuk menciptakan pembelajaran matematika yang efektif diperlukan kemampuan guru untuk berpikir reflektif dalam pembelajarannya sehingga memiliki keterampilan dalam menyelesaikan atau memecahkan masalah yang terkait dengan pembelajaran matematika di kelasnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan suatu penanganan proses pembelajaran matematika yang baik dan bertumpu pada suatu fenomena dimana menerapkan pembelajaran yang mengasah kemampuan berpikir siswa dan merupakan aspek strategis dalam meningkatkan kualitas pembelajaran yang berorientasi pada pencapaian hasil yang standar. Keterampilan yang memungkinkan untuk menangani proses pembelajaran matematika di atas adalah keterampilan berpikir reflektif, karena berpikir reflektif suatu tipe berpikir tingkat tinggi yeng bersifat aktif, berkelanjutan dan teliti terhadap keyakinan yang didasari oleh pengetahuan. Keterampilan berpikir ini dapat berkembang dalam situasi dimana peserta didik digerakkan untuk berpikir terhadap permasalahan atau fenomena yang ada di alam, pembelajaran diberikan mendorong rasa ingin tahu dan memperlihatkan keterkaitan antara materi pembelajaran serta pembelajaran berlangsung dalam komunitas dengan interaksi belajar maupun sosial. Beberapa lembaga pendidikan dan pengembangan profesional guru telah melakukan pembelajaran alternatif untuk meningkatkan keterampilan berpikir reflektif yang bermanfaat bagi mahasiswa calon guru. Manfaat tersebut dapat dirasakan selama menjadi mahasiswa dan setelah mahasiswa menyelesaikan pendidikan di LPTK.

Kata Kunci: Berpikir Reflektif, Pembelajaran Matematika

PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu di bidang sains dan teknologi sangat pesat yang menuntut hadirnya individu-individu yang kreatif, beretos kerja tinggi, profesional dan memiliki kepedulian dan kepekaan terhadap masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat serta memiliki kemampuan dalam mengatasi masalah tersebut. Individu-individu ini hanya dapat terbentuk melalui proses pendidikan, baik pendidikan jalur sekolah maupun jalur luar sekolah.

Salah satu ilmu dasar yang mempunyai peranan penting dalam penguasaan sains dan teknologi adalah metematika yang dapat memberikan penataan nalar dan pembentukan sikap mental (Soedjadi, 2007). Ini berarti bahwa sampai batas tertentu matematika perlu dikuasai oleh segenap warga negara Indonesia. Mengingat pentingnya peranan matematika, sudah selayaknyalah penanganan proses pembelajaran matematika harus dilakukan dengan baik.

Salah satu kemampuan yang diperlukan dalam pembelajaran matematika adalah adalah kemampuan berpikir reflektif. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Odafe (2008) yang menyatakan bahwa kemampuan berpikir reflektif dapat diaplikasikan di kelas pada pembelajaran matematika. Berpikir reflektif menurut Dewey suatu tipe berpikir tingkat tinggi yeng bersifat aktif, berkelanjutan dan teliti terhadap keyakinan yang didasari oleh pengetahuan (Fisher, 2008). Keterampilan berpikir ini dapat berkembang dalam situasi yang mendukung. Lipman (2003) menyatakan situasi yang reflektif adalah peserta didik digerakkan untuk berpikir tentang permasalahan atau fenomena yang ada di alam, pembelajaran diberikan mendorong rasa ingin tahu dan memperlihatkan keterkaitan antara materi pembelajaran serta pembelajaran berlangsung dalam komunitas dengan interaksi belajar maupun sosial.

(2)

Saat ini berpikir reflektif adalah hal yang sangat menarik untuk dikaji. Hal ini sesuai dengan penelitian Lim (2011) dan Amidu (2012) yang menyatakan bahwa berpikir reflektif telah menjadi isu yang paling menonjol pada berbagai literatur, secara khusus pada pendidikan profesi guru. Berkaitan dengan hal tersebut, maka lembaga pendidikan yang menciptakan tenaga pengajar atau guru harus dapat menciptakan guru yang mampu berpikir reflektif. Hal senada yang dikemukakan oleh Goodell (2000) dan Ville (2010) menyatakan bahwa salah satu tujuan dari lembaga pendidikan dan tenaga kependidikan atau LPTK adalah menciptakan guru yang bertanggung jawab dan mampu berpikir reflektif.

Berpikir reflektif yang dilakukan oleh guru bertujuan untuk mencapai target belajar dan menghasilkan pendekatan pembelajaran baru yang berdampak langsung pada proses belajar. Lebih jauh dijelaskan bahwa proses berpikir reflektif dapat digunakan oleh guru, mahasiswa calon guru dan siswa dalam proses belajar dan pembelajaran termasuk dalam penyelesaian masalah matematika (Gurol, 2011). Oleh karena itu, disarankan bahwa guru perlu terlibat dalam berpikir reflektif dan tidak hanya mempelajari ide-ide baru sehingga dapat meningkatkan mutu keprofesionalannya (Rodgers, 2002).

Seorang guru yang terlibat dalam berpikir reflektif akan kritis terhadap proses penyelesaian masalah yang ia lakukan. Hal ini sesuai dengan pendapat Kember (1999) yang menyatakan bahwa berpikir reflektif melibatkan asumsi yang kritis terhadap konten atau proses penyelesaian masalah. Selain itu, guru yang berpikir reflektif dapat menguasai konsep dengan baik. Dimana pendapat tersebut didukung oleh Barrow yang menyatakan bahwa berpikir reflektif pada pemecahan dan penyelesaian masalah membantu seseorang membentuk konsep dan abstraksi-abstraksi dan mengembangkan konsep baru yang pada akhirnya menghasilkan solusi dari masalah yang diberikan (Song, 2006).

Oleh karena itu guru yang profesional adalah guru yang mampu berpikir reflektif dan menguasai konsep dengan baik sehingga dapat menjelaskan materi dengan baik. Hal senada yang dikemukakan oleh Yeo (2008) dan Thames (2006) bahwa seorang guru tidak bisa diharapkan menjelaskan konsep matematika jika tidak memiliki pemahaman yang lengkap tentang konsep matematika yang diajarkan. Dengan kata lain, penguasaan guru terhadap materi pembelajaran (subject matter) menjadi hal yang sangat penting untuk kesuksesan dalam mengajar.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka baik definisi maupun pentingnya berpikir reflektif, peneliti menyimpulkan bahwa untuk menciptakan pembelajaran matematika yang efektif diperlukan kemampuan guru untuk berpikir reflektif dalam pembelajarannya sehingga memiliki keterampilan dalam menyelesaikan atau memecahkan masalah yang terkait dengan pembelajaran matematika di kelasnya.

Penulis tertarik melakukan kajian terhadap guru SD dengan pertimbangan pada jenjang ini guru dituntut untuk dapat mempersiapkan peserta didik agar mampu mengikuti pendidikan pada jenjang-jenjang yang lebih lanjut. Hal ini sesuai dengan apa yang disebutkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 13 ayat 1 yang berbunyi pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah. Selain itu, latar pendidikan dan mata pelajaran yang mereka ajarkan di kelas tidak hanya fokus pada matematika saja, melainkan juga pada beberapa mata pelajaran.

PEMBAHASAN

(3)

Pembelajaran matematika bagi para siswa merupakan pembentukan pola pikir dalam pemahaman suatu pengertian maupun dalam penalaran suatu hubungan diantara pengertian-pengertian itu. Dalam pembelajaran matematika, para siswa dibiasakan untuk memperoleh pemahaman melalui pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki dan yang tidak dimiliki dari sekumpulan objek (abstraksi). Siswa diberi pengalaman menggunakan matematika sebagai alat untuk memahami atau menyampaikan informasi misalnya melalui persamaan-persamaan, atau tabel-tabel dalam model-model matematika yang merupakan penyederhanaan dari soal-soal cerita atau soal-soal uraian matematika lainnya.

NCTM (National Council of Teachers of Mathematics) (2000) merekomendasikan 4 (empat) prinsip pembelajaran matematika, yaitu:

a.Matematika sebagai pemecahan masalah. b.Matematika sebagai penalaran.

c.Matematika sebagai komunikasi, dan d.Matematika sebagai hubungan

Matematika perlu diberikan kepada siswa untuk membekali mereka dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif serta kemampuan bekerjasama. Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan (Depdiknas, 2006:346) menyebutkan pemberian mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. a) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antara konsep dan mengaplikasi

konsep atau logaritma secara luwes, akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah. b) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam

membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

c) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

d) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk menjelaskan keadaan/masalah.

e) Memiliki sifat menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu: memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam pelajaran matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Jadi dalam kajian ini yang dimaksud dengan pembelajaran matematika merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh guru dan siswa di dalam kelas pada kegiatan pengajaran matematika dengan menggunakan sarana dan fasilitas pendidikan yang ada di sekolah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kurikulum.

Solso (1995) mendefinisikan berpikir sebagai proses menghasilkan representasi mental baru (original) melalui transformasi informasi yang melibatkan interaksi kompleks antara atribut-atribut mental yang mencakup pertimbangan, abstraksi, penalaran dan pemecahan masalah logis. Definisi tersebut memberikan gambaran bahwa berpikir dimulai dengan adanya informasi yang diterima, kemudian informasi tersebut diolah dalam pikiran untuk menciptakan suatu keputusan. Salah satu jenis berpikir yang diungkapkan oleh Soedjadi (2007:21) adalah berpikir reflektif.

Dalam beberapa tahun terakhir berpikir reflektif menjadi istilah yang sangat populer dalam dunia pendidikan. Saat ini berpikir reflektif telah menjadi isu yang paling menonjol pada berbagai literatur, secara khusus pada pendidikan profesi guru (Lim,2011; Amidu, 2012). Karena banyak alasan, para pendidik lebih tertarik mengajarkan keterampilan-keterampilan berpikir dengan berbagai cara daripada mengajarkan informasi dan isi (konten) dari materi.

(4)

Berpikir reflektif adalah pertimbangan yang aktif, terus-menerus, dan teliti mengenai sebuah keyakinan ataupun bentuk pengetahuan yang diterima begitu saja dipandang dari sudut alasan-alasan yang dapat mendukung kebenaran keyakinan tersebut hingga menuju pada suatu kesimpulan yang menjadi kecenderungan akan kebenaran keyakinan tersebut (Fisher, 2008).

Dari definisi di atas dapat dijelaskan bahwa berpikir reflektif adalah proses berpikir yang bersifat aktif terus menerus, gigih dan mempertimbangkan dengan seksama tentang segala sesuatu yang diyakini akan kebenarannya. Sedangkan Diana (2009) menyatakan 3 (tiga) atribut dari definisi berpikir reflektif yaitu: tindakan (1) kualitas pembelajaran, (2) kemampuan untuk melakukan tindakan yang tepat dalam memecahkan masalah, dan (3) kemampuan untuk memodifikasi pemikiran untuk tindakan masa depan.

[image:4.595.87.509.260.520.2]

Dewey menjelaskan terdapat lima aspek yang terkait dengan berpikir reflektif yaitu suggestions, intellectualization, hypotheses, reasoning, andtests of hypotheses by actions. Penjelasan dari kelima aspek tersebut digambarkan pada tabel berikut.

Tabel 1 Kriteria Berpikir Reflektif menurut Dewey dalam (Rosen, 1982; Roh, K & Lee, Y, 2010)

Indikator Deskriptor

Suggestions (saran) - Memikirkan kecenderungan solusi yang mungkin dari masalah yang dihadapi

Intellectualization (Intelektualisasi)

- Mencoba untuk menangani dengan menganalisis dan menyelidiki kesulitan dan kebingungan yang dirasakan (pengalaman langsung) terhadap masalah yang dipecahkan,

- Mencoba untuk menemukan dan mengetahui pertanyaan dimana jawaban dari pertanyaan tersebut harus dicari atau ditemukan. Hypotheses

(Penggunaan satu saran)

- Menggunakan saran-saran sebagai ide untuk menghubungkan uraian-uraian hasil analisisnya satu sama lain

- Mengumpulkan berbagai kemungkinan analisis tersebut sebagai hipotesis untuk menginisiasikan dan membimbing pengamatan dan operasi-operasi lain dalam mengumpulkan materi yang faktual. Reasoning (Elaborasi

mental)

- Menimbang ide atau perkiraan (penalaran, pada pemahaman dimana penalaran merupakan bagian dari suatu kegiatan menyimpulkan) untuk menyelesaian masalah yang dihadapi. Tests of hypotheses

(Menguji hipotesis)

- Mencoba mempraktekkan salah satu kemungkinan penyelesaian yang dipandang yang terbaik melalui tindakan atau imaginasi yang jelas.

Berdasarkan beberapa penjelasan tentang definisi berpikir reflektif di atas, maka dalam penelitian ini yang dimaksud dengan berpikir reflektif yaitu aktivitas mental seseorang untuk memberdayakan pengalaman dan pengetahuan lalu yang dimilikinya untuk mengidentifikasi masalah dan memecahkan masalah dalam pembelajaran matematika.

Lee (2005) dalam penelitiannya menjelaskan terdapat empat komponen yang perlu diperhatikan terkait dengan berpikir reflektif yaitu (1) sikap (attitude), (2) proses, (3) konten (isi) dan (4) tingkat kedalaman berpikir reflektif. Berikut ini akan diuraikan dari keempat komponen berpikir reflektif tersebut lebih detail.

(1) Sikap (attitude)

(5)

pembelajaran. Dalam hal ini, siswa mencontoh dari sifat guru untuk membentuk sikap mereka.

Walter Dick (1990) mendefinisikan sikap sebagai berikut:

Attitudes are tendency to make particular choices or decision to act under particular circumstance.

Calchoun & Acocella (1990) dalam Sobur (2011) mendefinisikan sikap sebagai berikut: An attitude is a cluster of ingrained beliefs and feelings about certain object and a predispotition to act toward that object in a certain way.

Berdasarkan beberapa definisi di atas tentang sikap, dalam kajian ini yang dimaksud dengan sikap adalah kecenderungan bertindak, berpikir, berprilaku, berpresepsi, merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi dalam pembelajaran matematika. Sikap bukan merupakan prilaku, tetapi kecenderungan untuk berprilaku dengan cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap bisa berupa orang, benda, tempat, gagasan, situasi atau kelompok. Dengan demikian sikap yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sikap ketika guru SD mengajarkan matematika mulai dari mempersiapkan RPP sampai pada tahap evaluasi yang dilakukan dalam proses pembelajaran matematika.

(2) Proses berpikir reflektif

Dewey (Roh, K & Lee, Y, 2010) mengemukakan bahwa terdapat enam fase dalam berpikir reflektif yaitu:

a) An experience (pengalaman)

b) Spontaneous interpretation of the experience (interpretasi spontanitas terhadap pengalaman).

c) Naming the problem or question that arise out of the experience (menyebutkan masalah atau pertanyaan yang muncul berdasarkan pengalaman)

d) Generating possible explanations for the problem or question posed (membangun atau menyusun penjelasan-penjelasan yang mungkin dari masalah atau pertanyaan-pertanyaan yang diberikan).

e) Ramifying the explanation into full-blown hypotheses (memberikan penjelasan-penjelasan kedalam bentuk hipotesis yang jelas).

f) Experimenting or testing the selected hypotheses (memperaktekankan atau mengetes/menguji hipotesis yang dipilih).

Sedangkan menurut Lee (2008) terdapat lima fase berpikir reflektif yaitu: a) Problem context (identifikasi masalah)

b) Problem definition (membatasi atau mendefinisikan masalah) c) Seeking possible solution (mencari solusi yang mungkin)

d) Experimentation (memperaktekkan salah satu kemungkinan pemecahan masalah atau solusi yang terbaik dilakukan)

e) Evaluation (mengevaluasi/menguji)

f) Acceptance/rejection (menerima atau menolak)

Sementara itu Rodgers (2002) mengemukakan bahwa terdapat empat fase pada proses berpikir reflektif sebagai berikut:

a) Presence to experience (menghadirkan pengalaman) b) Descripton of experience (mendeskripsikan pengalaman) c) Analysis of experience (menganalisis pengalaman)

d) Intelligent action/experimentation (memperaktekkan salah satu kemungkinan pemecahan masalah yang terbaik).

(6)

Tabel 2 Perbandingan Pengertian Proses Berpikir Reflektif Dewey

(1933) Pengalaman Interpretasispontanitas terhadap pengalaman Menyebutkan masalah berdasarkan pengalaman Menyusun penjelasan yang mungkin dari masalah Memberika n penjelasan dalam bentuk hipotesis Experimentin g or testing the selected hypotheses (Menguji hipotesis yang dipilih) Lee

(2000) Identifikasimasalah Membatasimasalah solusi yangMencari mungkin

Experimentation (Memperaktekkan

)

Menguji

solusi atau menolakMenerima solusi Rodgers (2002) Menghadirkan pengalaman Mendeskripsika n pengalaman Menganalisis

pengalaman Experimentation (Memperaktekkan) Berdasar tabel di atas tampak bahwa ciri pokok dari proses berpikir reflektif terletak pada pemberdayaan pengalaman atau pengetahuan lalu yang dimiliki seseorang yaitu dengan memperaktekkan (experimentation) salah satu kemungkinan pemecahan masalah yang terbaik. Bila pendapat-pendapat di atas dirangkum, maka akan didapat tahap, yaitu mengidentifikasi masalah, membatasi dan merumuskan masalah, mengajukan beberapa kemungkinan alternatif solusi pemecahan masalah, mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah, dan melakukan tes (experimentation) untuk menguji solusi pemecahan masalah serta menggunakannya sebagai bahan pertimbangan membuat kesimpulan dari pemecahan masalah yang terkait dengan pembelajaran matematika.

Dengan demikian dalam penelitian ini proses berpikir reflektif diartikan sebagai langkah-langkah atau tahapan berpikir yang meliputi tahap mengidentifikasi masalah, membatasi dan merumuskan masalah, mengajukan beberapa kemungkinan alternatif solusi pemecahan masalah, mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah, dan melakukan tes (experimentation) untuk menguji solusi pemecahan masalah serta menggunakannya sebagai bahan pertimbangan membuat simpulan.

(3) Konten (isi) dari berpikir reflektif

[image:6.595.54.547.122.268.2]

Konten dari berpikir reflektif pada penelitian ini mengacu pada konten berpikir yang dinilai oleh Lee (2005) dalam penelitiannya tentangUnderstanding and Assessing Preservice Teachers’ Reflective Thinking yaitu konten yang menjadi perhatian utama dari guru terkait dengan ranah praktik dan teknik pembelajaran terutama berkaitan dengan penguasaan dan penerapan tehnik untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu, termasuk deskripsi sederhana terhadap observasi yang dilakukan d a n fokus pada perilaku atau keterampilan-keterampilan yang berkaitan dengan pengalaman masa lalu. Konten berpikir reflektif yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah konten yang terdiri atas tiga ranah yang mengacu pada penelitian Lee (2005). Ketiga ranah tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3 Ranah dalam Berpikir Reflektif

No Ranah Deskripsi

1. Kegiatan Pembelajaran

Penguasaan dan penerapan teknik pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu, termasuk keterampilan-keterampilan yang berkaitan dengan pengalaman masa lalu

2. Keyakinan Kemampuan menguji keyakinan y a n g dapat menuntun pada tindakan-tindakan yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran matematika di kelas.

3. Transformasi Kegiatan Pembelajaran

(7)

kesetaraan dalam pembelajaran.

(4) Kedalaman berpikir reflektif

Lee (2005: 703) menetukankriteria untuk menilai kedalaman berpikir reflektif dalam tiga level sebagai berikut:

a) Level daya ingat (R1) yaitu seseorang mendeskripsikan apa yang telah mereka alami, menafsirkan situasi berdasarkan daya ingat kembali terhadap pengalaman mereka tanpa mencari penjelasan-penjelasan alternatif dan usaha-usaha untuk meniru cara-cara yang telah diamati atau diajarkan.

b) Level rasionalitas (R2) yaitu seseorang mencari hubungan-hubungan antara bagian-bagian dari pengalaman mereka, menafsirkan (menginterpretasikan) situasi dengan rasional, dan menggeneralisasikan pengalaman tersebut sampai pada prinsip terpadu. c) Level reflektifitas (R3) yaitu seseorang melakukan pendekatan terhadap pengalaman

mereka dengan tujuan untuk mengubah atau memperbaiki pengalaman tersebut di masa yang akan datang, menganalisis pengalaman dengan berbagai prespektif dan mampu melihat atau memahami pengaruh dari pengajaran yang guru lakukan terhadap tingkah laku/prestasi/nilai siswa mereka.

Dalam penelitian ini, peneliti menjadikan ketiga level di atas untuk dijadikan sebagai acuan dalam menentukan level berpikir reflektif guru SD dalam pembelajaran matematika. Untuk mengungkap proses berpikir reflektif dalam pembelajaran matematika, diperlukan tugas yang memenuhi kriteria berpikir reflektif yang ditinjau dari empat komponen: 1) sikap, 2) proses, 3) konten dan 4) tingkat kedalaman berpikir reflektif yang terkait dengan pembelajaran matematika.

(1) Sikap dalam berpikir reflektif menggambarkan bagaimana kecenderungan seorang guru bertindak, berprilaku, berpresepsi, merasa dalam menghadapi objek, ide atau situasi-situasi dalam pembelajaran matematika. Sikap bukan merupakan prilaku, tetapi kecenderungan untuk berprilaku dengan cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap bisa berupa orang, benda, tempat, gagasan, situasi atau kelompok. Sikap dalam penelititan ini adalah sikap ketika guru SD mengajarkan matematika mulai dari mempersiapkan RPP sampai pada tahap evaluasi yang dilakukan dalam proses pembelajaran matematika. Untuk melihat sikap guru ketika berpikir reflektif dapat diidentifikasi melalui bagaimana pandangan guru terhadap perubahan situasi pembelajaran matematika tekait dengan adanya perubahan kurikulum, perubahan buku-buku pelajaran matematika, bahan ajar, dan metode-metode pembelajaran. (2) Proses berpikir reflektif menggambarkan bagaimana seorang guru memberdayakan

pengetahuan dan pengalaman lalu yang ia miliki dalam rangka mengidentifikasi masalah dan memecahkan masalah terkait dengan masalah-masalah yang terdapat dalam pembelajaran matematika. Proses berpikir ini melalui tahapan-tahapan berpikir yaitu mengidentifikasi masalah, membatasi dan merumuskan masalah, mengajukan beberapa kemungkinan alternatif solusi pemecahan masalah, mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah, dan melakukan tes (experimentation) untuk menguji solusi pemecahan masalah serta menggunakannya sebagai bahan pertimbangan membuat simpulan.

(8)

merekonstruksi kembali pengalaman dan pengetahuan yang guru miliki dalam rangka menciptakan pembelajaran berkualitas, termasuk kemampuan mengidentifikasi siswa-siswa yang mana kontribusinya pada pembelajaran matematika dipakai dan yang mana diabaikan atau dipakai untuk masa yang akan datang. Selain itu, kemampuan seorang guru untuk mengidentifikasi dan mengetahui kapan saatnya menghentikan sejenak untuk mengklarifikasi pernyataan siswa pada kegiatan pembelajaran (misalnya diskusi kelompok)

(4) Tingkat kedalaman berpikir reflektif adalah kriteria untuk mendeskripsikan proses berpikir reflektif seorang guru dalam memecahkan masalah yang terkait dengan masalah-masalah dalam pembelajaran matematika. Tingkatan yang digunakan untuk menilai kedalaman berpikir reflektif dalam tiga level yaitu: (1) level daya ingat, (2) level rasionalitas dan (3) level reflektifitas. Adapun penjelasan secara rinci mengenai ketiga level tersebut yang dielaborasi lebih lanjut masing-masing dalam bentuk indikator-indikator. Indikator komponen tingkat kedalaman tiap level tersebut adalah sebagai berikut:

1. Level daya ingat (R1) yaitu:

a. Mendeskripsikan apa yang telah dialami,

b. Menafsirkan situasi berdasarkan daya ingat kembali terhadap pengalaman 2. Level rasionalitas (R2)

a. Mencari hubungan-hubungan antara bagian-bagian dari pengalaman, b. Menafsirkan (menginterpretasikan) situasi dengan rasional,

c. Menggeneralisasikan pengalaman tersebut sampai pada prinsip terpadu. 3. Level reflektifitas (R3)

a. Melakukan pendekatan terhadap pengalaman mereka dengan tujuan untuk mengubah atau memperbaiki pengalaman tersebut di masa yang akan datang, b. Menganalisis pengalaman dengan berbagai prespektif dan

c. Mampu melihat atau memahami pengaruh dari pengajaran yang guru lakukan terhadap baik tingkah laku, prestasi maupun nilai dari siswa mereka.

SIMPULAN

Untuk mendorong berpikir reflektif dalam pembelajaran matematika tentunya dibutuhkan suatu situasi tugas yang menggunakan konsep masalah. Ketika seseorang menghadapi tugas tersebut dan segera mengenal tindakan atau cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, maka tugas itu merupakan tugas rutin. Jika tidak, maka tugas tersebut merupakan masalah baginya. Berpikir reflektif juga melibatkan proses menganalisis, membandingkan, mensintesis, mengklarifikasi, dan memilih apa yang seseorang lakukan. Lebih jauh dijelaskan bahwa proses pemikiran reflektif dapat digunakan oleh guru dan siswa dalam proses belajar dan pembelajaran termasuk dalam penyelesaian masalah dalam pembelajaran matematika. Seorang guru yang terlibat dalam berpikir reflektif akan kritis terhadap proses penyelesaian masalah yang ia lakukan termasuk masalah yang terkait dengan pembelajaran mereka di kelas. Selain itu, guru yang berpikir reflektif dapat menguasai konsep dengan baik. Berpikir reflektif pada pemecahan dan penyelesaian masalah membantu seseorang membentuk konsep dan abstraksi-abstraksi dan mengembangkan konsep baru yang pada akhirnya dapat menghasilkan solusi dari masalah yang diberikan.

SARAN

(9)

ingin tahu, objektif, jujur, teliti, cermat, tekun, hati-hati, bertanggung jawab, terbuka, kritis, kreatif, inovatif dan peduli lingkungan), melakukan percobaan dan berdiskusi, menganalisis, menyajikan data dan grafik. Hal tersebut menegaskan bahwa keterampilan berpikir reflektif merupakan kompetensi masa depan yang dapat menjawab tantangan globalisasi dan mampu beradaptasi dengan perubahan dan merespon tuntutan abad ke-21

DAFTAR PUSTAKA

Amidu, A.R. 2012.Exploring Real Estate Students’ learning approaches reflective thinking and academic performance. 48th ASC Anuual International Conference Proceedings. The Associated of Construction. UK.

Depdiknas 2006.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.

Dewey J. 1998.How We Think: A Restatement of The Relation of Reflective Thinking to The Educative Process. Boston: Houghton-Mifflin

Diana, L. 2009. Assesing Secondary Students’ Reflective Thinking in Project Work. Journal of Singapura Examination and Assessment Board. Singapore.

Dick, Walter & Carey, Lou. 1990.The Systematic Design of Instruction. 3rd Edition. Amerika : HarperCollinsPublishers

Djamarah, S. B. 1994. Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru. Surabaya: Usaha Nasional. Fisher, A. 2008. Critical Thinking: An Introduction. Jakarta : Erlangga.

Goodell, J. 2000.Learning to Teach Mathematics for Understanding: The Role of Reflection. Journal of Mathematics Teacher Education and Development. Vol.2, (48-60).

Gurol. A. 2011.Determining The Reflective Thinking Skills Of Pre-Service Teachers In Learning And Teaching Process. Energy Education Science and Technology Part B: Social and Educational Studies 2011 Volume (issue) 3(3): 387-402.

Kember, D. 1999.Determining the Level of Reflective thinking from Students’ Written Journals Using a Coding Scheme Based on the Work of Mezirow. International Journal of Lifelong Education, Vol.18, No.1 (18-30).

Lee. H. 2005.Understanding and Assessing Preservice Teachers’ Reflective Thinking. Teaching and Teacher Education. USA. 21 (699–715)

Lee, I. 2008.Fostering Preservice Reflection trough Respon Journals. Journal of Teacher Education Quarterly. Hongkong, China.

Lipman, M. 2003. Thinking in Education. Cambridge: Cambridge University Press.

Lim, L.Y. 2011.A Comparison of Students’ Reflective Thinking Across Different Years in A Problem-Based Learning Environment. Instructional Science. Vol. 39. (171-188). NCTM. 2000.Principle and Standards for School Mathematics.Reston: The National Council

of Teacher Mathematics, Inc.

Odafe, V. J. 2008.Teaching and Learning Mathematics: Student Reflective Adds a New Dimension. Bowling Green State University, Huron, USA.

Rodgers, C. 2002.Defining Reflection: Another Look At John Dewey And Reflective Thinking. Teachers College Record Volume 104, Number 4, pp. 842–866. Columbia University 0161-4681.

Roh K., & Lee, Y. 2010.Promoting Students’ Reflective Thinking of Multiple Quantifications via the Mayan Activity. Educational Studies in Mathematics.

Rosen, J. G. 1984.Problem-Solving and Reflective Thinking: John Dewey, Linda Flower, Rhicard Young. Journal of Teaching Writing. 69-78.

Soedjadi, R. 2000.Kiat-kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Soedjadi R. 2007.Masalah Kontekstual Sebagai Batu Sendi Matematika Sekolah. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika sekolah (PSMS) Unesa.

(10)

Song, H. D., 2006.Pattern of Instructional-design Factors Prompoting Reflective Thinking in Middle-School and College Level Problem-Based Learning Environments. Journal of Instructional Science. Vol.34: 63-87

Thames, M. H. 2006.Using Math to Teach Math:Mathematicians and Educators Investigate the Mathematics Needed for Teaching. Mathematical Science Research Institute Barkeley, CA.

Ville, P. A. 2010.Mentoring Reflective Thinking Practice In Pre-service Teachers: A Reconstructions Through The Voices of Australian Science Teachers. Journal of College Teaching and Learning. Vol. 7, No.9. Australia.

Gambar

Tabel 1 Kriteria Berpikir Reflektif menurut Dewey
Tabel 3 Ranah dalam Berpikir Reflektif

Referensi

Dokumen terkait

aspek merancang program bimbingan dan konseling, menguasai kerangka teoritik dan praksis bimbingan dan konseling, menguasai konsep dan praksis asesmen untuk memahami

S caffolding merupakan ide penting dari Vygotsky, dimana pemberian bantuan oleh guru kepada siswa pada proses pembelajaran di saat yang tepat dan menghentikan bantuan

Ketika pembuat kebijakan yang lain masih ragu atas keputusan Zhou, mereka (pihak Cina) menyadari akan peran IMF terkait krisis global yang membantu negara-negara yang bangkrut pada

Merancang pengujian substantive transaksi penjualan dapat dilakukan ketika kondisi penjualan yang dicatat benar-benar terjadi, penjualan yang dicatat

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada

Provisi yang dapat diakui sebagai Tier 2 sesuai dengan eksposur berdasarkan. pendekatan IRB (sebelum dikenakan cap )

Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah rumah sakit yang mengandung fosfat tinggi yang melebihi baku mutu yang akan menyebabkan masalah lingkungan hidup sehingga

Selain data yang diperoleh dari Dinas Pekerjaan Umum, penulis juga mewawancarai Satpol PP. 87 Sebagai penegak hukum terhadap pelanggaran Perda Kota Salatiga. Dijelaskan