• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model pengembangan agribisnis jagung untuk mendukung ketahanan pangan berbasis gugus pulau di Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) Provinsi Maluku

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model pengembangan agribisnis jagung untuk mendukung ketahanan pangan berbasis gugus pulau di Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) Provinsi Maluku"

Copied!
200
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG UNTUK

MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN BERBASIS GUGUS PULAU

DI KABUPATEN MALUKU BARAT DAYA PROVINSI MALUKU

STEPHEN F.W. THENU

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Model Pengembangan Agribisnis Jagung untuk Mendukung Ketahanan Pangan Berbasis Gugus Pulau di Kabupaten Maluku Barat Daya Provinsi Maluku adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

(4)
(5)

RINGKASAN

STEPHEN F.W. THENU. Model Pengembangan Agribisnis Jagung untuk Mendukung Ketahanan Pangan Berbasis Gugus Pulau di Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) Provinsi Maluku. Dibimbing oleh SETIA HADI, HERMANTO SIREGAR dan ENDAH MURNININGTYAS.

Pangan di wilayah gugus pulau memiliki peran sentral terutama pulau-pulau kecil yang secara geografis cenderung terisolir. Adanya permasalahan terkait dengan, rendahnya aksesisbilitas, bersifat subsisten, ketergantungan serta rentannya pulau kecil terhadap perubahan musim dapat menimbulkan masalah yang serius terhadap ketahanan pangan. Karena itu untuk menjamin ketahanan pangan masyarakat, maka usahatani jagung harus dikembangkan secara simultan antar setiap subsistem. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi dan kendala pengembangan agribisnis jagung, menganalisis kelayakan usahatani dan mendesain model pengembangan agribisnis jagung berbasis gugus pulau.

Penelitian dilaksanakan di Gugus Pulau (GP) Terselatan dan Gugus Pulau (GP) Babar Kabupaten MBD. Sumber data meliputi data primer dan sekuder, menggunakan Metode Survei dengan pengambilan sampel bertahap mulai dari pemilihan gugus pulau, kecamatan dan desa secara (purposive sampling), sedangkan pemilihan petani secara (stratified random sampling).

(6)

SUMMARY

STEPHEN F.W. Thenu. Development Model of Corn Agribusiness for Supporting Food Security Basic on Islands Group in Southwest Maluku District (MBD) Maluku Province. Supervised by SETIA HADI, HERMANTO SIREGAR and ENDAH MURNININGTYAS.

Food in the islands group (GP) has a central role, especially in small islands growing niche to be geographically isolated. Any problems associated with the low accessibility, subsistence, dependence and vulnerability of small islands to the changing seasons can cause serious problems for food security. Therefore, to ensure food security of the community, the farming of corn should be developed simultaneously throughouth all subsystems. This study aims to identify potential and constraints of corn agribusiness farm and analyze the feasibility of designing a model of cluster-based agribusiness of corn island..

The research was carried out in GP Babar and GP Terselatan MBD district. Data sources include primary and secondary data. Survey methods were conducted to collect primary data with stages starting from the selection of island groups, sub-district and village by purposive sampling. The selection of farmers was done using the stratified random sampling.

Research results show that there are a number of potential and constraints. Among others potentials include: (1) Corn is a strategic comodoties, (2) total area and production can be increased, (3) Maize is a staple food, (4) Farmers are consistent in producing maize, (5) Institutions are strong farming. Constraints include: (1) Low maize production, (2) Low motivation of farmers, (3) Corn farming is subsistence, (4) Minimally of infrastucture (5) Drought and soil acidity. Results of farm analysis of farming in GP Babar showed that 81 farmers (68%) had a BCR> 1; 23 farmers (19%) with BCR <1 and 16 farmers (13%) BCR = 1. Whereas in the GP Terselatan 97 farmers (81%) had a BCR> 1; 20 farmers (17%) with BCR <1 and 3 farmers (2.5%) with BCR = 1. It shows that 68% - 81% of corn farmings in both GPs are profitable and feasible. The Biplot analysis results

showed that farmers in GP Terselatan had more than enough food than Babar GP had. Babar GP had 27% of farmers with enough food and 73% of farmers lack of sufficient food. 65% of farmers in Terselatan GP had enough food and 35% lack enough food. The Generalized Linear Models analysis showed that the variables that affect food security significantly in GP Babar are: Production, Consumption, Family Member, interaction Production and Procesed Products, interaction Production and Consumption, interaction Consumption and Family Members interaction Production and Family Members; whereas in the GP Terselatan are: interaction Production and Dkisar, interaction Consumption and Dkisar, interaction Production dan Processed Products, interaction Production and Consumption, interaction Consumption and Family Member, interaction Family Members and Production, interaction Corn Price and DKisar, interaction Land and DKisar, Family Members. Traditional institutions such as: Sasi, Masohi, Lutur and food burn is local wisdom that is integrated with the Food Strategy through a combination of food sources varied and multi-cropping (polyculture).

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(8)
(9)

MODEL PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG UNTUK

MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN BERBASIS GUGUS PULAU

DI KABUPATEN MALUKU BARAT DAYA PROVINSI MALUKU

STEPHEN F.W. THENU

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS Dr Ir Ernan Rustiadi, MAgr

(11)

Diketahui oleh Dr Ir Setia Hadi, MS

Ketua

Ir Endah Murniningtyas, MSc PhD Anggota

Prof Dr Ir Hermanto Siregar, MEc Anggota

Dekan Sekolah Pascasarjana Ketua Program Studi

Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Judul Disertasi : Model Pengembangan Agribisnis Jagung untuk Mendukung Ketahanan Pangan Berbasis Gugus Pulau di Kabupaten Maluku Barat Daya Provinsi Maluku

Nama : Stephen F.W. Thenu NIM : H162080011

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala AnugerahNya sehingga penelitian dan penulisan disertasi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam disertasi ini adalah Model Pengembangan Agribisnis Jagung di wilayah Gugus Pulau, dengan judul Model Pengembangan Agribisnis Jagung untuk Mendukung Ketahanan Pangan Berbasis Gugus Pulau di Kabupaten Maluku Barat Daya Provinsi Maluku.

Proses penelitian dan penulisan disertasi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Secara khusus penulis menyampaikan penghargaan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Setia Hadi, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing serta Prof Dr Ir Hermanto Siregar, MEc dan Ir Endah Murniningtyas, MSc, PhD selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan masukan. Kepada Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS dan Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS selaku komisi penguji pada ujian prakualifikasi bulan Juni 2012. Kepada Prof Dr Ir Bambang Juanda, MS dan Dr Ir Ernan Rustiadi MAgr selaku penguji ujian tertutup yang telah memberikan masukan dan saran yang berarti. Kepada Dr Ir Ma’mun Sarma, MS, MEc dan Dr Ir Hermanto, MS selaku penguji ujian terbuka. Kepada Dr Ir Eka Intan Kumala Puteri, MSi selaku perwakilan dari Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah dan Perdesaan, Dr Muhammad Firdaus, SP, MSi selaku Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

Ucapan terima kasih atas dukungan, doa dan kasih sayang dari kedua orang tua (Papa Lus dan Mama Lies) istri (Victory Lay) dan anak-anak (Bezaleel Ehud Gabriel dan Mordekhai Hizkia) kakak (Tua, Novi, Jemy dan Heti) adik (Ola, Iman, Seli, Yapi dan Wilson) serta keponakan (Maes, Wela, Alter, Meike, Benito, Heny Adi, Jelita Jerikho), teman-teman PWD 2008 dan Persatuan Mahasiswa Maluku, khusus bung Edy Jambormias yang sangat membantu dalam analisis data. Jemaat GPIA Sion Bogor dan Keluarga Pdt Andreas T. Keluarga Girsang, Tuhan Yesus memberkati kita semua. Akhir kata, meskipun jauh dari sempurna, tetapi penulis berharap semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang terkait.

(14)
(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 6

Tujuan Penelitian 9

Kegunaan Penelitian 10

Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian 10

2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep dan Lingkup Sektor Agribisnis 11

Ketahanan Pangan 15

Perekonomian Wilayah 24

Batasan dan Karakteristik Pulau-Pulau Kecil 27

Fungsi Produksi 30

Usahatani 31

Faktor-Faktor Produksi 32

Metode Biplot 34

Model Regresi 36

Jagung di Maluku 37

Tinjauan Penelitian Terdahulu 40

Kebaruan (Novelty) 42

3 KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran 44

Hipotesis Penelitian 47

4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian 48

Penentuan Populasi dan Sampel Lokasi 48

Teknik Pengumpulan Data 48

Model Analisis Data 49

Defenisi Operasional Variabel Penelitian 53

5 DISKRIPSI WILAYAH Gambaran Wilayah Administrasi 54

Kondisi Fisik Wilayah 54

Pemerintahan 59

Karakteristik Sosial 60

Karakteristik Ekonomi 68

Infrastruktur 75

(16)

DAFTAR ISI (Lanjutan)

6 HASIL DAN PEMBAHASAN

Potensi dan Kendala Pengembangan Jagung di MBD 83

Potensi Pengembangan Jagung 83

Kendala Pengembangan Jagung 89

Analisis Biaya Penerimaan dan Pendapatan Usahatani 95

Karakteristik Responden dan Keragaan Usahatani Jagung di Kabupaten MBD 102

Model Pengembangan Agribisnis Jagung di GP Babar dan GP Terselatan Kabupaten Maluku Barat Daya 123

Peran Strategi Pangan dan Kelembagaan Tradisional 133

Implementasi Model Agribisnis Jagung di GP Babar dan GP Terselatan Kabupaten MBD 142

7 KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan 146

Implikasi Kebijakan 147

Penelitian Lanjutan 148

DAFTAR PUSTAKA 149

LAMPIRAN 156

(17)

DAFTAR TABEL

1a Luas Panen Jagung, Produktivitas Lahan, Produksi Jagung, Dirinci per

Kabupaten/Kota di Maluku Tahun 2001 – 2010 3

1b Luas Panen Jagung dirinci per Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Tahun 2010 3

2 Penetapan Komoditas Unggulan Berdasarkan Gugus Pulau di Provinsi Maluku Tahun 2010 4

3 Luas Areal, Luas Panen dan Produksi Jagung Menurut Kecamatan di Kabupaten Maluku Barat Daya 5

4 Harga Produk Jagung Primer dan Intermediate di Pasar Kota Ambon Provinsi Maluku Tahun 2011 6

5 Penetapan Indikator Stabilitas Ketersediaan Pangan di Tingkat Rumah Tangga 21

6 Penetapan Indikator Aksesibilitas/Keterjangkauan Pangan di Tingkat Rumah Tangga 22

7 Penetapan Indikator Kontinyutas Ketersediaan Pangan di Tingkat Rumah Tangga 22

8 Indeks Ketahanan Pangan Rumah Tangga 23

9 Judul dan Hasil Penelitian dari Beberapa Peneliti Terdahulu 40

10 Diskripsi Tujuan, Metode /Alat Analisis, Jenis dan Sumber Data 50

11 Definisi Operasionalisasi Indikator Variabel Penelitian Model Pengembangan Agribisnis Jagung 53

14 Pembagian Wilayah Pengembangan Kabupaten Maluku Barat Daya 57

15 Wilayah Pengembangan Gugus Pulau Babar 58

16 Wilayah Pengembangan Gugus Pulau Lemola 59

17 Wilayah Pengembangan Gugus Pulau Terselatan 59

18 Data Kecamatan, Desa dan Dusun di Kabupaten MBD 60

19 Jumlah Penduduk Kabupaten MBD menurut Jenis Kelamin dan Sex Ratio Tahun 2011 61

20 Jumlah SD, SLTP dan SLTA di Kabupaten. MBD Tahun 2011 62

21 Jumlah dan RasioSarana Pendidikan Sekolah Dasar di Kabupaten MBD Tahun 2011 63

22 Jumlah dan Rasio Sarana Pendidikan SMP di Kabupaten MBD Tahun 2011 63

23 Jumlah, Rasio Sarana Pendidikan SMA di Kabupaten MBD Tahun 2011 64

24 Fasilitas Kesehatan di Kabupaten MBD Tahun 2011 65

25 Tenaga Kesehatan Pada Puskesmas di Kabupaten MBD Tahun 2011 66

26 Banyaknya Pencari Kerja Menurut Tingkat Pendidikan Kabupaten MBD Tahun 2011 67

27 Jumlah Lowongan Pekerjaan Menurut Lapangan Usaha dan Jenis Kelamin di Kabupaten MBD Tahun 2011 68

(18)

DAFTAR TABEL (Lanjutan)

31 Luas Tanam, Luas Panen dan Produksi Tanaman Buah-buahan

di Kabupaten MBD Tahun 2011 70

32 Luas Panen dan Jumlah Produksi Sektor Perkebunan di Kabupaten MBD Tahun 2011 70

33 Produksi Kayu di Kabupaten MBD Tahun 2011 71 34 Populasi Ternak Menurut Jenis di Kabupaten MBD Tahun 2011 71

35 Perkembangan Hasil Penangkapan Ikan dan Nilai Ikan Menurut Kelompok Ikan di Kabupaten MBD Tahun 2011 72

36 Jenis Bahan Tambang di Kabupaten MBD Tahun 2011 73

37 Jumlah Lembaga Keuangan Perbankan dan Non Perbankan di Kabupaten Maluku MBD Tahun 2011 74

38 Kapal Penumpang yang Melayani di Kabupaten MBD 2011 76

39 Jumlah Kendaraan Bermotor di Kabupaten MBD Tahun 2011 76

40 Lokasi dan KeragaanKelistrikan di Kabupaten MBD 78

41 Sarana Pos Telekomunikasi di Kabupaten MBD Tahun 2012 78

42 Jumlah Koperasi di Kabupaten MBD Tahun 2011 80

43 Rating Komoditas Pangan Menurut Kecamatan di Kabupaten MBD Berdasarkan Nilai LQ Luas Areal Panen TanamanPangan 83

44 Luas Areal, Produksi Tanaman Pangan di Kabupaten MBD 2012 84

45 Luas Lahan, Produksi dan Produkstivitas Jagung Tiap Kecamatan di Kabupaten MBD Tahun 2012 85

46 Komoditas Dominan Kecamatan di Kabupaten MBD Tahun 2012 86

47 Jenis Kelembagaan Tradisional di Pedesaan Kabupaten MBD 87

48 Faktor Eksternal dan Internal yang Bepengaruh Terhadap Keberhasilan Petani Jagung di Kabupaten MBD Tahun 2012 90

49 Lahan Usahatani Jagung GP Babar & GP Terselatan Tahun 2012 91

50 Infrastruktur Darat Laut dan Udara di Kabupaten MBD Tahun 2012 93

51 Rata-Rata Biaya Penyusutan Alat Sewa Lahan Usahatani Jagung di GP Babar dan GP Terselatan Tahun 2012 96

52 Rata-Rata Biaya Variabel Usahatani Jagung di GP Babar dan GP Terselatan Tahun 2012 96

53 Rata-rata Biaya Produksi Usahatani Jagung di GP Babar dan GP Terselatan Tahun 2012. 97

54 Rata-Rata Penerimaan Usahatani Jagung di GP Babar dan GP Terselatan Tahun 2012. 99

55 Rata-Rata Pendapatan Usahatani Jagung di GP Babar dan GP Terselatan Tahun 2012. 100

56 Rata-Rata Nilai B/C Rasio Usahatani Jagung di GP Babar dan GP Terselatan Tahun 2012. 101

57 Kelompok Umur Petani di GP Babar dan GP Terselatan Tahun 2012 103

58 Tingkat Pendidikan Petani di GP Babar dan GP Terselatan Tahun 2012 104

59 Jumlah Anggota Keluarga Petani di GP Babar dan GP Terselatan Tahun 2012. 105

(19)

DAFTAR TABEL (Lanjutan)

61 Pengalaman Berusahatani Jagung di GP Babar dan GP Terselatan

Tahun 2012. 107

62 Indikasi Penyerangan OPT pada Tanaman Jagung di GP Babar dan GP Terselatan Kabupaten MBD 114

63 Aktivitas Petani dalam Setahun di GPTerselatan 118

64 Aktivitas Petani dalam Setahun di GP Babar 119

65 Jenis Tanaman Pangan pada Gugus Kepulauan Babar 120

66 Jenis Tanaman Pangan pada Gugus Pulau Terselatan 120

67 Harga Jagung dan Produk Olahan pada Musim Barat dan Timur di Pasar Wonreli dan Pasar Tepa Kabupaten MBD Tahun 2012 122

68 Analisis Keragaman Komponen Utama Biplot Agribisnis Jagung 123

69 Korelasi Parsial Setiap Variabel Terhadap Variabel Kecukupan Panga 127

70 Hasil Estimasi Parameter Persamaan Kecukupan Pangan GP Babar 128

71 Hasil Estimasi Parameter Persamaan Kecukupan Pangan di GP Terselatan 129 72 Kombinasi Konsumsi Pangan di GP Babar dan GP Terselatan Kabupaten MBD 134

(20)

DAFTAR GAMBAR

1 Peta Gugus Pulau Provinsi Maluku 4

2 Kaitan dalam Sistem Agribisnis 13

3 Fase Pertumbuhan Sektor Agribisnis 14

4 Kerangka Berpikir Ketahanan Pangan 19

5 Kerangka Teoritik Tentang Relasi Antara Pertumbuhan Pengurangan Kemiskinan 26

6 Permasalahan Pertanian di Pulau-Pulau Kecil 29

7 Lingkaran Perangkap Kemiskinan 30

8 Kerangka Berpikir Penelitian 46

9 Peta Rencana Wilayah Pengembangan Gugus Pulau Babar 58

10 Peta Rencana Wilayah Pengembangan Gugus Pulau Lemola 58

11 Peta Rencana Wilayah Pengembangan Gugus Pulau Terselatan 59

12 Hierarki Kelembagaan Tradisional di Desa GP Babar dan GP Terselatan 89

13 Kurva Sebaran Biaya Produksi Usahatani Jagung di GP Babar dan GP Terselatan Kabupaten MBD 98

14 Kurva Sebaran Produksi Usahatani Jagung di GP Babar dan GP Terselatan Kabupaten MBD 98

15 Kurva Sebaran Harga Jagung di GP Babar dan GP Terselatan Kabupaten MBD 99

16 Kurva Sebaran Penerimaan Usahatani Jagung di GP Babar dan GP Terselatan Kabupaten MBD 100

17 Kurva Sebaran Pendapatan Usahatani Jagung di GP Babar dan GP Terselatan Kabupaten MBD 101

18 Kurva Sebaran Nilai BCR Usahatani Jagung di GP Babar dan GP Terselatan Kabupaten MBD 102

19 Kurva Biplot Hubungan Antar Karakter, Kedekatan Antar Objek dan Posisi Relatif Objek Terhadap Karakter 124

20 Model pengembangan Agribisnis Jagung di GP Babar 144

21 Model pengembangan Agribisnis Jagung di GP Terselatan 145

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil Analisis Biplot 156

2 Korelasi Parsial antar Variabel terhadap Kecukupan Pangan 159

3 Hasil Analisis Full Regression Models 164

4 Hasil Analisis Stepwise Regression 169

5 Hasil Analisis Regression dan Analysis Of Maximum Likelihood dengan

(22)
(23)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan manusia yang sangat asasi dan esensial, yang bila tidak dipenuhi akan menyebabkan kelaparan dan bila terus berlanjut akan menyebabkan kematian pada individu, bahkan pada kelompok yang lebih besar, misalnya masyarakat disuatu negara. Oleh karena itu manusia selalu berusaha untuk menghasilkan bahan pangan kebutuhannya tersebut. Usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan pangan dilakukan sepanjang zaman. Pada saat ini masing-masing bangsa di dunia menyadari bahwa pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat di dunia ini merupakan tanggung jawab bersama seluruh bangsa, bukan tanggung jawab dari negara yang mengalami kerawanan pangan.

Pada tahun 2005 lalu, pemerintah Indonesia telah mencanangkan Kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) untuk mendapatkan kembali arti penting pertanian, perikanan, dan kehutanan secara proporsional dan kontekstual. Program RPPK tersebut bertujuan untuk memangkas kemiskinan dan pengangguran, meningkatkan daya saing, dan membangun ketahanan pangan. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

Isu rawan pangan belakangan ini berhubungan dengan perubahan iklim global yang di duga akan berdampak pada kenaikan harga pangan, sebagai akibat ketidakstabilan permintaan dan penawaran pangan dunia. Indonesia sebagai negara agraris, sangat prihatin dengan fenomena ini. Salah satu tindakan pemerintah jangka pendek mengatasi hal ini melalui impor pangan terutama beras, namun demikian kita tidak bisa terus mengimpor, karena akan berdampak pada kelesuan pertanian domestik dan ketergantungan pada pihak luar. Pada hal dampak iklim global ini juga dirasakan diseluruh dunia, bahkan negara-negara pengekspor pangan dunia pun ingin membatasi, bahkan menghentikan ekspor pangan karena kekuatiran akan kesulitan pangan dimasa mendatang.

Meningkatnya populasi penduduk, peningkatan pendapatan perkapita masyarakat, peralihan fungsi lahan, bencana alam, hama dan penyakit, belum optimalnya usaha diversifikasi pangan non beras dan berubahnya pola makanan dari pangan non beras, merupakan faktor yang makin memperbesar tekanan terhadap upaya mencapai swasembada beras, karena ini berarti bahwa semakin banyak beras yang harus disediakan untuk memenuhi permintaannya yang semakin meningkat. Oleh karena itu, upaya deversifikasi sumber pangan merupakan salah satu upaya yang harus terus digalakkan dan diupayakan pelaksanaannya, agar swasembada pangan dapat tercapai. Hal ini berarti bahwa kita harus mendayagunakan sumberdaya pangan nasional yang cukup banyak dan beragam, seperti diantaranya padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar dan sagu untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat kita

(24)

2

digairahkan. Kebijakan pembangunan pertanian harus lebih diarahkan pada sektor-sektor yang memiliki keunggulan komperatif dan kompetitif serta memprioritaskan komoditas unggulan daerah berbasiskan sumberdaya spesifik lokal. Kebijakan pangan pun tidak lagi diarahkan pada satu jenis komoditas pangan saja dan pangan lainnya menjadi pelengkap, akan tetapi semua sumber dan potensi pangan lokal harus dikembangkan. Daerah-daerah yang memiliki spesifikasi pada sumber pangan tertentu harus didorong sehingga memiliki ketahanan pangan lokal. Varietas-varietas unggulan lokal yang merupakan keanekaregaman hayati pangan nasional, harus dipertahankan dan terus dikem-bangkan secara proporsional, guna mencapai kemandirian pangan ditingkat lokal yang akhirnya dapat mengurangi beban ketergantungan pada pangan beras.

Salah satu program pemerintah yang diarahkan untuk memelihara kemampuan swasembada pangan dan memperbaiki keadaan gizi melalui penganekaragaman jenis pangan, baik yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan adalah Program Divesifikasi Pangan melalui Inpres No. 20 tahun 1979. Selanjutnya ditegaskan pula dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP) No. 68 Tahun 2000 tentang ketahanan pangan (RI, 2000). Berkaitan dengan ketahanan pangan, dalam Peraturan Presiden No.7 Tahun 2005 tentang RPJM yang salah satunya bertujuan untuk mewujudkan ketahanan pangan baik pada tingkat rumah tangga, daerah maupun nasional.

Program diversifikasi ini menunjukan usaha yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi tekanan terhadap penyediaan pangan dari beras dan perlu mempertahankan pola pangan yang telah menjadi kebiasaan dalam suatu masyarakat (Saraswati dan Samad, dalam Susanto dan Sirappa, 2005) mengemukakan bahwa program tersebut dikeluarkan dalam mengantisipasi kerawanan pangan dimasa mendatang.

Jagung merupakan salah satu komoditas pertanian tanaman pangan sumber karbohidrat alternatif selain beras, memiliki posisi strategis dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Selain itu, akhir-akhir ini jagung dijadikan sebagai bahan baku utama industri pakan ternak, bahan baku industri makanan dan industri olahan lainnya (Sarasutha, 2002). Namun ditengah meningkanya permintaan jagung, tidak diikuti oleh kebijakan harga dari pemerintah, melainkan dilepaskan pada mekanisme pasar jagung nasional. Tindakan pemerintah ini bukannya tidak beralasan, hal ini didasarkan pada pengalaman kebijakan penetapan harga jagung dari tahun 1977/1978 sampai 1990, ternyata kebijakan harga ini tidak efektif, karena harga yang berlaku ditingkat petani sering berada diatas harga dasar yang ditetapkan pemerintah. Menurut (Thorsten et al. 2007), menyatakan bahwa karena berfluktuasinya harga jagung dan sulit di prediksi sehingga aktivitas perdagangangan jagung menurun. Itulah sebabnya perlu dikembangkan kemampuan memprediksi struktur/pola perubahan harga jagung.

Maluku sebagai Provinsi Kepulauan memiliki cukup banyak potensi sumber pangan lokal yang dapat dikembangkan menjadi sumber kabohidrat bagi masyarakat, salah satunya adalah jagung yang telah menjadi bagian dari budaya pertanian masyarakat kepulauan sejak mereka mendiami pulau-pulau tersebut.

(25)

Undang-3

Undang Nomor 31 Tahun 2008, dengan luas wilayah :72.427 km2. Terdiri dari luas daratan 8.648 km2 (11,94%) dan luas perairan 63.779 km2 (88,06%).

Meskipun bukan daerah penghasil jagung utama di Indonesia, namun sebagian wilayah ini memiliki potensi jagung lokal yang selama ini diusahakan masyarakat. Berikut ini luas panen, produktivitas lahan dan produksi jagug menurut kabupaten/kota di Provinsi Maluku disajikan pada tabel berikut.

Tabel 1a Luas panen jagung, produktivitas lahan, produksi jagung, dirinci per kabupaten/kota di Provinsi Maluku tahun 2001 - 2010.

Kabupaten/

Sumber : Statistik Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Maluku, 2010. (* Angka sementara ) Tabel 1a menunjukkan bahwa ada trend peningkatan luas panen, produktivitas dan produksi jagung di Provinsi Maluku selama 10 tahun terakhir. Kecuali tahun 2009 mengalami penurunan karena kemarau panjang.

Data gambaran luas panen tahun 2010 dirinci berdasarkan kabupaten/kota di Provinsi Maluku seperti terlihat pada tabel berikut ini

Tabel 1b Luas panen jagung dirinci per kabupaten/kota di Provinsi Maluku tahun 2010. Sumber : Statistik Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Maluku, 2010.

Tabel 1b menunjukkan bahwa Kabupaten MBD memiliki luas panen terluas dibanding kabupaten kota lainnya sebesar 5.944 ha (73,4%) dari total luas panen jagung Provinsi Maluku sebesar 8.097 ha. Sedangkan produksi jagung sebesar 12.157 ton/tahun (61,5%) dari total produksi jagung Provinsi Maluku 19.761 ton.

(26)

4

Sumber : BAPEDA Provinsi Maluku

Gambar 1 Peta Gugus Pulau Provinsi Maluku

Selanjutnya Dinas Pertanian Provinsi Maluku menetapkan komoditas unggulan (perkebunan, pangan, hortikultura, peternakan) atas ke 12 gugus pulau diatas. Penetapan komoditas unggulan disajikan sebagai berikut.

Tabel 2 Penetapan komoditas unggulan berdasarkan gugus pulau di Provinsi Maluku tahun 2010

Gugus Pulau (GP) Perkebunan Pangan Hortikultura Peternakan

GP I (Kab. Buru) Kakao, Jambu.

GP III (Seram Utara) Kakao, Kelapa Padi,

Umbi-umbian Sayuran Sapi Potong

GP X (Kep. Tanimbar) Kelapa Kacang Tanah, Padi Gogo,Umbian

GP XII (Kep. Terselatan) Kelapa Jagung, Kc. Tanah Jeruk, Pisang, Bawang Merah

Kerbau, Sapi, Kambing, Domba, Babi, Ayam

Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Maluku, 2010.

(27)

5

aspek-aspek berikut (1) aspek agroklimat sesuai, (2) aspek sosial budaya, jagung merupakan komoditas serealia utama (3) adaptasi masyarakat terhadap komoditas ini baik dari aspek budidaya, panen hingga pasca panen. Selain itu

luas areal, luas panen dan produksi jagung terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Tabel 3 mununjukkan bahwa semua kecamatan di Kabupaten MBD mengusahakan jagung sebagai salah satu sumber pangan masyarakat. Dari 8 kecamatan tersebut, Kecamatan PP Terselatan memiliki luas panen dan produksi tertinggi sebesar 2.800 ha dan produksi 4.200 ton di ikuti oleh Kecamatan Moa Lakor, Leti, Wetar, PP Babar Timur dan PP Babar dengan luas panen dan produksi masing-masing sebesar : (luas panen: 1.102, 1.048, 1.045, 854, 812 ha) dan (produksi : 1.653, 1.572, 1.567, 1.218 1.218 ton). Jagung diusahakan secara kontinyu sepanjang tahun dan dimanfaatkan sebagai pangan pokok di samping sumber pangan lainnya seperti umbi-umbian, sukun, pisang dan padi ladang

Tabel 3 Luas areal, luas panen dan produksi jagung menurut kecamatan di Sumber : BPS Maluku Barat Daya, 2009

Jagung memiliki beberapa keunggulan dibandingkan tanaman pangan lainnya yaitu : secara teknis dapat tumbuh di lingkungan beragam, dari lahan kering, sawah tadah hujan hingga beririgasi. Secara ekonomis, biaya produksi jagung relatif kecil dibandingkan tanaman lainnya, karena tidak selalu memerlukan infrastruktur seperti irigasi yang mahal, umur panen lebih pendek dan pengolahan tanah relatif lebih ringan. Secara ekologis, ramah lingkungan, karena dapat diusahakan secara organik maupun anorganik, hemat air dan unsur hara, sehingga sangat sesuai di usahakan di wilayah kepulauan seperti MBD.

Berdasarkan hasil studi penyusunan komoditas unggulan kecamatan, nilai Location Quotient (LQ) komoditas jagung antara 1.05-1.85, dengan demikian jagung merupakan komoditas strategis dan memiliki keunggulan komparatif di wilayah ini (Bapeda MTB, 2007), (Susanto, 2005).

Jika dibandingkan dengan produksi dan produktivitas jagung nasional Kabupaten MBD tergolong rendah, namun peluang komoditas ini masih cukup besar karena berbagai potensi yang dimiliki diantaranya potensi lahan pengembangan jagung seluas 16.919 ha dan lahan kering seluas 25.245 ha

(28)

6

Ditingkat lokal jagung memiliki nilai jual (harga level provinsi) yang cukup kompetitif. Hal ini dapat ditunjukan dari harga produk jagung primer dan intermediate di pasar utama Kota Ambon dalam 5 tahun terakhir dalam Tabel 4 signifikan. Harga rata-rata masing-masing produk jagung pertahun antara lain ; pipilan 14,5%, beras jagung 13,2% dan tepung jagung 13,4%. Jika di banding-kan dengan harga pangan lainnya (beras), maka harga jagung cukup kompetitif dan prospektif.

Aspek genetik lokal, jagung cukup kaya : ada 7 kultivar jagung lokal spesifik lokasi yang ditemukan di Pulau Kisar antara lain : merah delima tongkol cokelat, merah delima tongkol putih, merah darah, lokal putih, pulut, kuning genjah, dan kuning dalam. Jenis kultivar jagung lainnya masih mungkin terdapat di wilayah lainnya di Maluku. Produktivitas varietas tersebut di tingkat petani berkisar 1,50–2 ton/ha (Alfons et al. 2003). Jika diberi dukungan teknologi, hasil berkisar 3,795,43 ton/ha (Pesireron et al. 2003).

Perumusan Masalah Penelitian

Jagung sebagai pangan utama di wilayah MBD maka komoditas ini sangat dimungkinkan untuk dikembangkan secara intensif di Kabupaten Maluku Barat Daya.

Luas panen, produksi dan produktivitas serta harga jagung yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun, disamping potensi lahan pengembangan jagung serta potensi lahan kering, maka jagung merupakan salah satu sumber pangan alternatif yang harus dikembangkan untuk menunjang sumber pangan lainnya (ketahanan pangan) serta kemandirian pangan berbasis sumberdaya pangan lokal.

Meskipun luas panen dan produksi jagung di Kabupaten MBD setiap tahunnya cenderung meningkat (Tabel 3) namun dalam pengembangannya masih terbilang lambat di banding produksi jagung nasional.

(29)

7

petani tidak terangsang untuk meningkatkan produksi secara penuh, kemasaman tanah, kekeringan, kurang ketersediaan benih unggul, pupuk, obat-obatan, tingginya serangan hapen, terbatasnya tenaga kerja, rendahnya desiminasi teknologi, transportasi biaya tinggi, tidak adanya pasar bagi hasil produksi dan minimnya infrastruktur. Berbagai persoalan diatas menyebabkan laju peningkatan areal tanam jagung berjalan lambat yang pada akhirnya berimbas pada rendahnya produksi dan produktivitas jagung.

Usahatani jagung telah diusahakan masyarakat dan mampu menjadi sumber pangan utama, sejak mereka mendiami wilayah tersebut. Berdasarkan informasi masyarakat, kawasan ini pernah mengalami kesulitan pangan (kelapa-ran) pada periode tahun lima puluhan dan akhir tahun enam puluhan, disebabkan oleh kemarau panjang. Fenomena ini bisa berulang lagi, jika dihubungkan dengan perubahan iklim global, apa lagi kawasan ini secara klimatologi mem-iliki < 3 bulan basah dan > 6 bulan kering hingga 5-6 bulan basah dan 5-6 bulan kering.

Hasil survei lapangan Tim Faperta Unpatti (2007), menyatakan bahwa ka-wasan Maluku Barat Daya dan Maluku Tenggara Barat (MTB) terancam rawan pangan, sehubungan dengan masalah kemarau panjang dan aksesibilitas. (Adam, 2008) menyatakan bahwa 73 % rumah tangga Kawasan MTB, tidak tahan pan-gan. Faktor potensial pemicu rawan pangan di wilayah ini meliputi : kekeringan, serangan organisme pengganggu tanaman (OPT), perubahan pola makan dan tingkat konsumsi, aksesibilitas, kinerja petani (etos kerja), kemiskinan serta gizi dan kesehatan.

Keadaan masyarakat menghadapi faktor-faktor potensial diatas menyebabkan status kondisi pangan masyarakat cenderung tidak tahan pangan, artinya sumber pangan pokok tersedia, tetapi stoknya kurang kontinyu, sehingga jika terjadi kondisi diatas, maka masyarakat langsung merasakan dampak kekurangan pangan. Keadaan ini biasanya terjadi, karena pola stok pangan masyarakat umumnya tersedia untuk satu musim tanam saja, sehingga jika terjadi gagal panen maka tidak cukup stok pangan untuk musim berikutnya. Semestinya stok pangan masyarakat yang aman adalah dua kali stok sebelumnya sehingga bisa mengantisipasi kemungkinan gagal panen karena faktor-faktor diatas.

Meskipun kondisi ketersediaan pangan tidak selalu stabil, namun masyarakat di wilayah kepulauan selalu memiliki strategi pangan, dan ini merupakan salah satu kunci sukses dari sistem ketahanan pangan lokal. Strategi ini, sebagai sebuah kearifan lokal yang dimiliki masyarakat, dan berperan sangat penting dalam pengelolaan usahatani jagung di kawasan ini.

(30)

8

Selain pola tanam, maka ada pula beberapa pola penanganan pangan yang khas antara lain : (a) pola panen ; berlangsung tidak serempak diatara kombinasi setiap tanaman pangan yang ditanam secara tumpang sari dan itawase. Selain itu untuk tanaman pangan tertentu di panen beberapa kali sesuai keperluan, (b) pola penyimpanan ; menggunakan wadah/media (lokar, jerigen, kaleng, drum) penyimpanan yang sederhana namun bisa memperpanjang masa simpan pangan (c) pola pengolahan ; pengolahan bersifat sederhana sesuai dengan kebiasaan masyarakat, sehingga ditemui berbagai jenis produk olahan instan (siap di konsumsi) dan diolah seperlunya, namun dapat memperpanjang masa simpan dan meningkatkan nilai tambah produk, dan (d) pola konsumsi; pola konsumsi masyarakat bervariasi (pola makan campuran).Pola campuran seperti ini adalah suatu tradisi yang sudah terpola dan merupakan bentuk antisipasi terhadap berbagai resiko seperti : musim, daya beli masyarakat dan ketersediaan sumber lauk pelengkap. Berdasarkan pola penanganan pangan tersebutlah, maka masyarakat tetap bertahan dalam kodisi apapun di wilayah kepulauan.

Namun demikian karena kondisi geografi wilayah kepulauan, yang didominasi laut, maka faktor alam (musim gelombang) ikut mempengaruhi ketahanan pangan di wilayah ini. Pada waktu-waktu seperti ini, sumber pangan dari luar wilayah dan aksesibilitas ke wilayah-wilayah ini menjadi terganggu, sehingga semakin memperparah ketahanan pangan masyarakat. Hal seperti ini merupakan siklus alam yang terjadi sepanjang tahun. Di sisi lain daya beli masyarakat rendah, karena pendapatan masyarakat hanya bersumber dari ternak peliharaan (babi, kambing/domba, ayam) dan hasil olahan pohon koli (gula dan sopi) dalam skala kecil, dengan kondisi permintaan pasar lokal yang terbatas. Kondisi seperti ini membuat pandapatan masyarakat tidak menentu, sehingga secara alami ketahanan pangan masyarakat dari sisi daya beli pun sangat rentan stabilitasnya.

Secara teoritis, semakin kecil pendapatan rumah tangga, maka proporsi pengeluaran untuk konsumsi makanan semakin besar bila dibandingkan dengan konsumsi non makanan. Itulah sebabnya peningkatan ketahanan pangan masyarakat, merupakan sebagian dari seluruh upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat khususnya di wilayah Maluku Barat Daya Provinsi Maluku.

Bertolak dari berbagai faktor pemicu diatas dan upaya mengurangi bahkan mencegah kemungkinan kejadian yang lebih buruk lagi, maka di perlukan se-buah konsep pemikiran tentang ketahanan pangan yang komprehensif dan terin-tegrasi. Untuk itu dengan mempertimbangkan jagung sebagai sumber pangan utama di wilayah ini, maka sudah semestinya komoditas ini mendapat perhatian lebih untuk dikembangkan.

(31)

9

Secara faktual praktek agribisnis jagung ini sudah lama ada di MBD, meskipun dalam fungsi sistem agribisnisnya yang belum sepenuhnya terintegrasi. Hal ini nampak pada bentuk pengelolaan, setiap subsistem masih belum memadai karena terkendala dengan faktor-faktor pembatas diatas. Untuk itu perlu perbaikan dan pengembangan sistem agribisnis jagung melalui pembenahan setiap subsistem agar dapat berfungsi secara memadai. Pengembangan yang diharapkan bersifat spesifik lokal serta berbasis pada kearifan lokal masyarakat kepulauan. Artinya bahwa model pengembangannya memanfaatkan setiap potensi dilingkungan petani dan petani bisa beradaptasi sesuai dengan kapasitasnya.

Jika jagung bisa dikembangkan intensif dengan pendekatan sistematik melibatkan berbagai komponen pendukung (teknologi, SDM, kelembagaan, manajemen, sarana-prasarana dan kebijakan Pemerintah) secara efektif dan efisien, maka dipastikan akan mampu meningkatkan produksi dan produktivitas jagung di Maluku. Pengembangan agribisnis ini, disamping untuk meningkatkan produksi dan produktivitas usahatani (supply side), juga meningkatkan nilai tambah (added value) dari komoditas jagung yakni produk primer (sub-sistem usahatani) menjadi produk olahan intermediate dan finishing product (sub-sistem hilir).

Peningkatan nilai tambah produk olahan ini, turut meningkatkan daya saing produk jagung terhadap produk pangan lainnya, sekaligus dapat memacu permintaan terhadap produk jagung (demand side) dari dalam maupun luar wilayah. Disisi lain, disamping sebagai sumber pangan pokok, jagung juga merupakan bahan baku pakan ternak dan bahan baku industri pangan, sehingga peluang pengembangan jagung ini prospektif dan sangat potensial.

Dengan demikian sasaran utama pengembangan sistem agribisnis jagung ini, diharapkan mampu menunjang ketahanan pangan lokal dan selanjutnya berdampak pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani).

Bertolak dari latar belakang dan gambaran permasalahan tentang potensi dan kendala pengembangan jagung di Kabupaten Maluku Barat Daya, maka dapatlah dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Sejauhmana potensi dan kendala pengembangan agribisnis jagung berbasis gugus pulau di Kabupaten Maluku Barat Daya?

2. Apakah usahatani jagung layak untuk dikembangkan di Kabupaten Maluku Barat Daya?

3. Apakah dengan berkembangnya agribisnis jagung akan meningkatkan ketahanan pangan masyarakat di Kabupaten Maluku Barat Daya?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan penelitian maka dirumuskan beberapa tujuan penelitian sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi potensi dan kendala pengembangan agribisnis jagung berbasis gugus pulau di Kabupaten Maluku Barat Daya

2. Menganalisis kelayakan usahatani jagung di Kabupaten Maluku Barat Daya

(32)

10

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini di diharapkan berguna untuk memperkaya khasanah penelitian tentang jagung. Selain itu diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi :

1. Pemerintah Daerah : sebagai masukan dalam rangka pengambilan keputusan dan kebijakan pengembangan jagung sebagai komoditas spesifik lokal mendukung ketahanan pangan di Kabupaten Maluku Barat Daya.

2. Pelaku usaha : baik petani maupun pengusaha/pelaku bisnis jagung, sebagai informasi yang cukup koprehensif tentang jagung dan model pengembangannya, dalam upaya peningkatan usahanya.

3. Peneliti lain : penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi bagi penelitian sejenis sekaligus menjadi dasar penelitian lanjutan dan bahan kajian bagi pengembangan agribisnis jagung di wilayah Kabupaten Maluku Barat Daya.

4. Model agribisnis jagung untuk mendukung ketahanan pangan berbasis gugus pulau di Kabupaten Maluku Barat Daya diharapkan dapat menjadi model rujukan yang dapat diterapkan di wilayah kepulauan lainnya.

Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Lingkup penelitian

Pengembangan agribisnis jagung berbasis gugus pulau pada sentra produksi jagung di Kepulauan Terselatan dan Kepulauan Babar Kabupaten Maluku Barat Daya Provinsi Maluku.

Batasan Penelitian

(33)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Konsep dan Lingkup Sektor Agribisnis

Kondisi perekonomian Indonesai mulai bergeser dari yang semula di dominasi oleh peranan sektor primer khususnya pertanian, kini peranan itu digantikan oleh sektor lain. Disamping itu adanya kemauan politik (political will) pemerintah yang mengarahkan perekonomian nasional berimbang antara sektor pertanian dan sektor industri. Oleh karena itu perkembangan sektor pertanian dan industri menjadi saling mendukung (Soekartawi, 2003).

Dimasa lalu, ketika orientasi pembangunan pertanian terletak pada peningkatan produksi, yang menjadi motor penggerak sektor agribisnis adalah usahatani. Artinya komoditi yang dihasilkan usahatanilah yang menentukan perkembangan agribisnis hulu dan hilir. Hal ini sesuai pada masa lalu, karena target kita masih bertujuan untuk mencapai tingkat produksi semaksimal mungkin. Selain itu konsumen juga belum menuntut pada atribut-atribut yang lebih rinci dan lengkap.

Dewasa ini dan di masa akan datang, orientasi sektor telah berubah kepada orientasi pasar. Dengan adanya perubahan preferensi konsumen yang semakin menuntut atribut produk yang lebih rinci dan lengkap, maka motor penggerak sektor agribisnis, harus berubah dari usahatani kepada usaha pengolahan (agroindustri). Artinya untuk mengembangkan sektor agribisnis yang modern dan berdaya saing, agroindustri menjadi penentu kegiatan pada subsistem usahatani dan selanjutnya akan menentukan subsistem agribisnis hulu.

Pergerakan sektor agribisnis memerlukan kerjasama berbagai pihak terkait, yakni pemerintah, swasta, petani dan perbankan, agar sektor ini mampu memberikan sumbangan terhadap devisa negara. Kebijakan peningkatan investsi harus didukung oleh penciptaan iklim investasi yang kondusif, termasuk juga birokrasi, akses kredit serta peninjauan peraturan perpajakan dan tarif pajak untuk sektor agribisnis (Gumbira dan Febriyanti, 2005).

Struktur ekonomi nasional, regional dan lokal berbasis sektor pertanian primer dengan orientasi produksi dan kegiatan industri berbasis pertanian (agroindustri), diharapkan dapat meningkatkan pendapatan riil petani, nilai tambah dan orientasi pasar. Semuanya dapat dicapai melalui perubahan paradigma pembangunan pertanian melaui pendekatan agribisnis (Saragih, 2001).

(34)

digunakan bagi tanaman dan hewani. (4) Agribisnis estetika dan pariwisata dengan produk utama, keindahan-kenyamanan dan kesegaran seperti hortikultura bunga, hewan kesayangan, ikan hias, pertanaman, wisata agro dan lain-lain. (5) Agibisnis produk lain seperti energi alternatif (ethanol, metana) bahan perekat, bahan cat dan sebagainya.

Konsep agribisnis atau bisnis pertanian pada dasarnya merupakan kegiatan yang sangat luas, mencakup semua kegiatan mulai dari pengadaan dan penyaluran sarana produksi, sampai pada kegiatan tataniaga produk pertanian yang dihasilkan oleh usahatani (Pambudi et al, 1999).

Menurut Arsyad et al dan Limbong, (2003), yang dimaksud dengan agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan usaha yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran yang ada hubungannya dengan pertanian dalam arti luas. Pertanian dalam arti luas yang dimaksud adalah kegiatan usaha yang menunjang kegiatan pertanian dan kegiatan usaha yang ditunjang oleh kegiatan pertanian.

Menurut David dan Goldberg, (1957) secara operasional agribisnis didefinisikan sebagai keseluruhan kegiatan produksi dan distribusi sarana produksi usahatani, kegiatan produksi usahatani (pertanian primer), kegiatan penyimpanan, pengolahan dan distribusi komoditas pertanian dan seluruh produksi-produksi olahan dari komoditas pertanian. Dimana secara spesifik sistem agribisnis terdiri dari 5 subsistem : 1) agribisnis hulu (up-stream agribusiness) berupa ragam kegiatan industri dan perdagangan sarana produksi pertanian, 2) pertanian primer atau disebut subsistem budidaya (on farm agribusiness), (3) agribisnis hilir (down stream agribusiness) atau subsistem pengolahan,

adakalanya disebut dengan “agroindustri,” (4) sistem perdagangan atau tataniaga

hasil dan 5) subsistem jasa pendukung berupa kegiatan penelitian, penyediaan kredit, sistem transportasi, pendidikan dan penyuluhan serta kebijakan makro.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh (Saragih, 2001), bahwa sistem agribisnis pertanian dibagi menjadi 4 sub-sistem, yaitu: 1) sub sistem agribisnis hulu (up stream agribusiness), 2) subsistem agribisnis usahatani (on farm agribusiness), 3) subsistem agribisnis hilir (down stream agribusiness), dan 4) sub sistem jasa penunjang agribisnis (supporting institution).

Subsistem agribisnis hulu adalah seluruh kegiatan ekonomi yang menghasilkan sarana produksi seperti ; a) industri agrokimia (pupuk, pestisida dan lain-lain), b) industri agro-otomotif (mesin dan peralatan), c) industri pembenihan/bibit. Subsistem agribisnis usahatani (pertanian primer), dahulu disebut farming system adalah kegiatan yang menghasilkan komoditas pertanian primer. Subsistem agribisnis hilir yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah komoditas pertanian primer menjadi produk olahan, baik yang berbentuk produk antara (intermediate product) maupun yang membentuk produk akhir (finished product) serta pemasarannya.

Menurut (Soekartawi, 2005), komponen pengolahan hasil pertanian menjadi penting karena beberapa pertimbangan antara lain; dapat meningkatkan nilai tambah, meningkatkan kualitas hasil, meningkatkan penyerapan tenaga kerja, meningkatkan ketrampilan produsen dan meningkatkan pendapatan produsen.

(35)

seperti :lembaga keuangan, infrastuktur penelitian dan pengembangan, pendidikan dan penyuluhan, serta jaringan informasi dan kelembagaan lainnya.

Sumber : Saragih, 2001 dan Davis, 1957

Gambar 2. Kaitan dalam Sistem Agribisnis

Ketiga subsistem internal memiliki peran yang berbeda, namun secara simultan mendukung seluruh sistem agribisnis. On farm agribusiness merupakan sentra pengembangan, karena itu, mesti di dukung oleh down stream agribusiness dan up stream agribusiness. Intinya adalah, susbsistem usahatani akan mengalami perubahan proses secara keseluruhan dari yang sederhana pengelolaannya ke yang lebih maju dan efisien, dan produk akhir usahatani tidak lagi di jual dalam bentuk produk primer, tetapi intermediate atau finishing product. Otomatis terjadi peningkatan nilai tambah dan perluasan segmen pasar produk, dan peningkatan ini terjadi karena subsistem agroindustri (subsistem hilir).

Agroindustri adalah aktivitas mentransformasikan bahan baku hasil pertanian menjadi bahan jadi atau setengah jadi. Disini terlibat kegiatan pengolahan yang merupakan perubahan fisik dan kimia ataupun perubahan bentuk dan komposisi. Suatu aktivitas tergolong sebagai kegiatan agroindustri bila ada indikasi meningkatnya nilai tambah, menghasilkan produk yang dapat dipasarkan dan digunakan atau dimakan, meningkatkan daya simpan dan menambah pendapatan dan keuntungan produsen. Agroindustri biasanya diklasifikasikan atas 4 level transformasi yaitu : (1) transformasi rendah; berupa pembersihan dan grading, (2) tranformasi menengah; melibatkan kegiatan pemotongan, penggilingan, dan pencampuran, (3) transformasi lanjut dengan pasteurisasi, pemasakan, pengalengan, dehidrasi ekstraksi dan lain-lain, (4) transformasi rumit menyangkut chemical alteration dan texturization (Syahyuty, 2006).

Untuk itu subsistem agroindustri perlu pendalaman, artinya untuk mengembangkan sektor agribisnis yang modern dan berdaya saing, agroindustri menjadi penentu kegiatan pada subsistem usahatani dan selanjutnya akan

JASA, POLICY & KELEMBAGAAN PENDUKUNG

Industri dan Jasa

HULU

Up stream agribusiness

sub-system

BUDIDAYA

On farm agribusiness sub-system

HILIR

Down stream agribusiness sub-system

Pertanian Agroindustri :

Agro-processing

Agroniaga : Industri Jasa & Pemasaran

INDUSTRIALISASI PEDESAAN PRODUKSI

PASAR

Keterangan :

(36)

menentukan subsistem agribisnis hulu. Pengembangan agroindustri ke depan perlu diarahkan pada pendalaman struktur agroindustri lebih ke hilir, dengan tujuan menciptakan dan menahan nilai tambah (added value) sebesar mungkin (di daerah/dalam negeri) mendiversifikasi produk yang mengakomodir preferensi konsumen, untuk memanfaatkan segmen-segmen pasar yang berkembang, baik di dalam negeri maupun di pasar internasional.

Dengan pendalaman struktur agroindustri, maka segmen-segmen pasar produk agribisnis yang berkembang dapat direbut. Berkembangnya agroindustri yang demikian akan menarik perkembangan dan pertumbuhan subsektor pertanian primer dan subsektor agribisnis hulu sehingga akan menciptakan kesempatan kerja dan berusaha yang lebih luas di daerah / dalam negeri.

Selanjutnya subsistem eksternal (supporting institution), merupakan penunjang yakni kegiatan yang menyediakan jasa bagi ketiga subsistem agribisnis lainnya, seperti lembaga keuangan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan penyuluhan, serta jaringan informasi dan kelembagaan lainnya.

Menurut Soekartawi, (2002), agribisnis dilihat sebagai suatu sistem yang holistik, suatu proses yang utuh dari proses pertanian di daerah hulu sampai ke hilir, atau proses dari penyediaan input sampai pemasaran. Jadi, kegiatan agribisnis adalah aktivitas yang dilaksanakan secara terpadu mulai dari Pengadaan dan penyaluran sarana produksi dan peralatan pertanian, Usahatani, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian. Suksesnya pelaksanaan sistem agribisnis tidak terlepas dari tersedianya sumber daya alam dan sumber manusia.

Konsep agribisnis ini berimplikasi pada cara membangun sistem agribisnis. Transformasi perekonomian berbasis keunggulan komperatif menjadi perekonomian berbasis keunggulan kompetitif agribisnis, melalui pengembangan keempat subsektor tersebut. Keunggulan kompetitif agribisnis tidak akan mampu dicapai bila hanya satu subsektor saja yang berkembang sementara subsektor lainnya tidak berkembang. Ibarat sebuah konvoi, laju pertumbuhan ditentukan oleh elemen yang lajunya paling lambat. Demikianlah pembangunan sektor agribisnis, tingkat perkembangannya secara keseluruhan ditentukan oleh subsektor agribisnis yang paling terbelakang. karena itu perkembangan subsektor agribisnis haruslah berjalan secara simultan dan harmoni.

Jalur industrialisasi agribisnis

Dilihat dari struktur produk akhir dan faktor pendorong pertumbuhan agribisnis, industrialisasi agribisnis dapat dibagi atas tiga fase pertumbuhan Advantage competetive (AC) : fase utama yaitu : fase awal (AC-11), fase antara (AC-12, AC-21, AC-22) dan fase mutakhir yaitu (AC-32).

AC-12 AC-22 AC-32

AC-11 AC-21 AC-31

Sumber : Pambudi et al. 1999

Gambar 3. Fase Pertumbuhan Sektor Agribisnis

Factor driven Investmentdriven Innovation driven

Natural resources based

Capital intensive based

Knowledge intensive based

Skilled labour

(37)

Pada fase awal pertumbuhan sektor agribisnis terutama didorong oleh kelimpahan faktor-faktor produksi tenaga kerja kurang terdidik (unskilled labour) dan sumberdaya alam (natural resources) sehingga produk akhir yang dihasilkan masih didominasi produk primer. Fase ini disebut juga fase pembangunan sektor agribisnis yang mengandalkan keunggulan koparatif, dimana subsektor on-farm agribisnis menjadi penggerak utama dari agribisnis secara keseluruhan.

Perkembangan selanjutnya, adalah fase antara yang dapat dibedakan atas 3 orde yakni orde pembangunan agribisnis yang berbasis pada, natural resources dan skilled labour (AC-12), pembangunan agribisnis yang berbasis pada capital intensive dan unskilled labour (AC-21), dan atau pembangunan agribisnis yang berbasis pada capital intensive dan skilled labour (AC-22). Pada fase antara ini, subsektor agribisnis hilir menjadi penggerak utama dari sektor agribisnis secara keseluruhan. Sehingga produk-produk yang dihasilkan sebagian besar sudah dalam bentuk olahan.

Fase mutakhir dari pembangunan sektor agribisnis adalah pertumbuhan sektor agribisnis yang didorong oleh inovasi atau berbasis pada ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledge) dan skilled labour (AC-32). Bila pada fase sebelumnya peranan subsektor agribisnis hulu khususnya pembibitan belum terlalu besar, pada fase mutakhir ini peranan subsektor agribisnis hulu menjadi penggerak utama sektor agribisnis secara keseluruhan. Kemampuan bioteknologi khususnya pada industri pembibitan menjadi alat utama sektor agribisnis untuk memenuhi dan mengembangkan pasar.

Ketahanan Pangan

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah yang diperuntukkan sebagai bahan makanan atau minuman bagi konsumsi manusia; termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan dan atau pembuatan makanan atau minuman. Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana dituangkan dalam Universal Declaration of Human Right tahun 1948 dan Undang-Undang RI nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan. Hak untuk memperoleh pangan adalah sama seperti HAM lainnya. Dalam hal ini, pemerintah berkewajiban untuk menciptakan iklim yang kondusif sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhan pangan dan mampu menjangkau pangan secara cukup. Pemenuhan kebutuhan pangan baik dari segi jumlah, mutu, gizi dan keamanannya berkaitan erat dengan kualitas sumberdaya manusia. Jika kebutuhan pangan tidak terpenuhi dalam memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan maka masyarakat diperhadapkan dengan masalah rawan pangan. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan (Berg, 1986 dalam Tambunan, 2010), bahwa kualitas eksistensi manusia adalah ukuran sesungguhnya bagi pembangunan, dan diantara faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan manusia, kecukupan gizi merupakan penentu utama.

(38)

menggantungkan kebutuhan pangan pada perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak dalam sektor produksi pangan. Secara teoritis pengadaan pangan dapat dipenuhi dari produksi domestik dan impor atau kombinasi keduanya. Bila kita mengandalkan impor bahan pangan dari pasar internasional, disamping akan menguras devisa yang sangat besar, juga mengandung resiko yang sangat besar. Karena itu pertanian domestik mesti mampu memenuhinya. Menurut (Walter et al, 2005) menyatakan bahwa pengembangan sektor pertanian sangat dibutuhkan untuk memelihara pertumbuhan dan ketersediaan pangan sekaligus mencegah kelaparan. Selanjutnya (Soetrisno, 2002) menyatakan bahwa ketergantungan pangan pada dunia luar menimbulkan berbagai masalah bagi petani dan masyarakat di negara-negara berkembang.

Pengalaman sejarah pembangunan Indonesia menunjukan bahwa masalah ketahanan pangan (food security) sangat erat kaitannya dengan stabilitas ekonomi (khususnya inflasi), biaya produksi ekonomi agregat (biaya hidup) dan stabilitas sosial politik nasional. Oleh karena itu ketahanan pangan menjadi syarat mutlak bagi penyelenggaraan pembangunan nasional. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

Menurut Saragih (2001), persoalan ketahanan pangan menyangkut aspek-aspek berikut. Pertama, penyediaan jumlah bahan pangan yang cukup untuk memenuhi permintaan pangan yang meningkat baik karena pertambahan penduduk, perubahan komposisi penduduk maupun akibat peningkatan pendapatan penduduk. Kedua, pemenuhan tuntutan kualitas dan keanekaan bahan pangan untuk mengantasipasi perubahan preferensi konsumen yang semakin peduli pada masalah kesehatan dan kebugaran. Ketiga, masalah pendistribusian bahan-bahan pangan pada ruang (penduduk yang tersebar pada sekitar 10.000 pulau) dan waktu (harus tersedia setiap hari sepanjang tahun). Keempat, keterjangkuan pangan (food accessibility) yakni ketersediaan bahan pangan (jumlah, kualitas, ruang dan waktu) harus dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat. Sehingga masalahnya adalah bagaimana cara mencapai ketahanan pangan yang demikian ?

PERAGI (1998), menyatakan bahwa ketahanan pangan dapat diartikan sebagai suatu kondisi ketersediaan pangan yang cukup bagi semua orang pada setiap saat dan setiap individu mempunyai akses untuk memperolehnya, baik secara fisik maupun ekonomi. Ketahanan pangan dapat juga diartikan sebagai suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman merata dan terjangkau. Salah satu aspek perwujudan ketahanan pangan adalah penyedian pangan yang cukup melalui produksi bahan pangan yang swasembada.

Hal yang sama, lebih dipertegas melalui World Food Summit (1996, 2002) menyatakan : food security, at the individual, household, national, regional and global level (is achieved) when all people at all times, have physical and economic access to sufficient, safe and nutritious food to meet their dietary needs and food preferences for an active and healthy life.

(39)

tangga. Menurut (Working Law 1943 dalam Syahyuti, 2006), pangsa pengeluaran pangan terbalik dengan pengeluaran rumah tangga. Jadi ketahanan pangan memiliki hubungan yang negatif dengan pangsa pengeluaran rumah tangga untuk pangan. Jika pangsanya besar maka ketahanan pangannya rendah.

Listyaningsih, dalam Adam, (2008), melaporkan bahwa dalam beberapa penelitian diantaranya yang telah dilakukan (Saliem, 2002 dan Aswartini, 2004), menunjukkan bahwa ketahanan pangan ditingkat wilayah tidak menjamin ketahanan pangan ditingkat rumah tangga dan individu, karena dalam wilayah yang tahan pangan masih dijumpai rumah tangga yang tidak tahan pangan.

Siregar (2008), menyatakan bahwa ketahanan nasional bergantung pada ketahanan ekonomi, dan diantara pilar-pilar ketahanan ekonomi, yaitu ketahanan pangan, ketahanan energi, ketahanan finansial, dan ketahanan secara fisik. Diantara keempat ketahanan, panganlah yang paling penting, sebab pangan bukan sekedar kebutuhan pokok namun merupakan hak asasi. Ketahanan pangan sedikitnya memiliki tiga pilar, yaitu ketersediaan pangan, akses pangan, serta stabilisasi dan distribusi pangan. Ketiga pilar ini sama pentingnya. Namun mengingat potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dimiliki Indonesia, tampaknya penguatan ketahanan pangan melalui penguatan pilar ketersediaan, utamanya dengan cara peningkatan produksi, merupakan langkah yang paling tepat.

Syahyuti (2006), ketahanan pangan adalah tersedianya pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup, terdistribusi dengan harga terjangkau, serta aman di konsumsi. Jadi kuncinya adalah : ketersediaan, keterjangkauan, dan stabilitas pengadaannya. Ketersediaan berkaitan dengan aspek produksi dan suplai, keterjangkauan merupakan aspek akses baik secara ekonomi maupun keamanan, sedangkan stabilitas merupakan aspek distribusi.

DEPTAN (2002) dalam Syahyuti (2006), ketahanan pangan dapat dicapai melalui agribisnis. Komponen sistem ketahanan pangan, yaitu ketersediaan, distribusi, dan konsumsi; tidak lain adalah kegiatan usaha berbasis agribisnis. Berdasarkan hal tersebut, maka peningkatan dan pemantapan ketahanan pangan dilaksanakan dengan pendekatan sistem agribisnis, yang merupakan rangkaian terintegrasi antara subsistem hulu, usahatani, hilir, dan subsistem jasa.

Menurut Pribadi (2005), cakupan ketahanan pangan adalah : (1) ketersediaan pangan yang mencakup produksi, cadangan dan pemasukan, (2) distribusi atau aksesibilitas mencakup fisik (mudah dijangkau) dan ekonomi (terjangkau daya beli), serta (3) konsumsi mencakup mutu dan keamanan serta kecukupan gizi individu. Selanjutnya (FAO, 1996), menyatakan bahwa terdapat empat elemen untuk mencapai ketahanan pangan yaitu (1) tersedianya pangan yang cukup yang sebagian besar berasal dari produksi sendiri, (2) stabilitas ketersediaan pangan sepanjang tahun tanpa pengaruh musim, (3) akses/keterjangkauan terhadap pangan yang dipengaruhi oleh akses fisik dan ekonomi terhadap pangan, dan (4) konsumsi pangan serta keamanan pangan. Indikator-Indikator Kerawanan Pangan

(40)

pangan sering bersifat spesifik lokasi, dengan kata lain walaupun masalahnya mirip terjadi di lokasi yang berbeda, tetapi faktor penyebabnya bisa saja berlainan.

Ada empat dimensi kelompok indikator yang dipakai dalam menentukan daerah rawan pangan antara lain: ketersediaan pangan, kualitas dan keanekaragaman pangan, stabilitas dan pendistribusian pangan, serta akses terhadap pangan (Saragih, 2001). Namun setiap daerah perlu mengetahui indikator apa yang sangat penting sesuai kondisi setempat (spesifik lokasi) yang menyebabkan terjadinya rawan pangan.

Permasalahan umum penyebab kerawanan pangan di suatu wilayah seperti di tingkat kabupaten meliputi masalah kesehatan, masalah ketersediaan pangan, masalah kemiskinan, dan masalah sarana. Indikator kerawanan pangan lainnya yang bersifat temporer seperti persentase daerah berhutan, gagal panen, serta penyimpangan curah hujan atau kekeringan.

Masalah kesehatan terkait dengan angka harapan hidup yang masih rendah, masih banyaknya berat badan balita dibawah standar, dan angka kematian bayi yang masih tinggi. Masalah ketersediaan pangan terkait dengan jumlah penduduk yang lebih besar dibandingkan kemampuan produksi pangan pokok seperti beras, jagung, ubi kayu, ubi jalar, sagu, dan lainnya. Masalah kemiskinan terkait dengan masih banyaknya penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan.

Krisnamurthi (2003), menyatakan bahwa kelaparan dan kekurangan pangan merupakan bentuk terburuk dari kemiskinan yang dihadapi rakyat, dimana kelaparan sendiri merupakan proses sebab akibat dari kemiskinan.

Kerangka Berpikir Ketahanan Pangan

Ketahanan pangan memiliki struktur berpikir strategis secara nasional, daerah, komunitas, rumah tangga dan pribadi. Di level nasional, daerah dan komunitas, mencakup aspek-aspek : sosial-ekonomi, politik, masyarakat, kelembagaan dan budaya serta ekonomi pangan. Berbagai unsur yang terkait didalamnya diantaranya, trend demografi hingga perilaku budaya dan jender. Aspek ekonomi pangan sendiri menyangkut ketersediaan pangan, kestabilan ketersediaan serta akses terhadap pangan. Level rumah tangga menyangkut kesejahteraan rumah tangga, aset dan kegiatan, akses rumah tangga terhadap pangan, pola pengasuhan anak serta kesehatan dan sanitasi. Pada level perorangan menyangkut konsumsi pangan, pemanfaatan oleh tubuh dan status gizi (Syah, 2011).

Mengacu kepada pengalaman masa lalu tentang konsep dan aplikasi ketahanan pangan yang diimplemantasikan salah satunya melalui program nasional divesifikasi pangan. Program ini menjadi tidak efektif karena implementasi diversifikasi pangan lebih ditujukan pada komoditas tertentu dan mengabaikan realitas keanekaraman pangan nasional. Kondisi ini berimplikasi kepada biasnya pemahaman tentang ketahanan pangan.

(41)

Sumber : Syah, 2011

Gambar 4. Kerangka Berpikir Ketahanan Kangan

Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Perdesaan : Konsep dan Ukuran Berdasarkan definisi ketahanan pangan dari FAO, (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi dari FAO, ada 4 komponen (indikator) yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yaitu:

1. Kecukupan ketersediaan pangan;

2. Stabilitas ketersediaan pangan tanpa fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun.

3. Aksesibilitas/keterjangkauan terhadap pangan serta 4. Kualitas/keamanan pangan

Keempat komponen tersebut akan digunakan untuk mengukur ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dalam studi ini. Keempat indikator ini merupakan indikator utama untuk mendapatkan indeks ketahanan pangan. Ukuran ketahanan pangan di tingkat rumah tangga dihitung bertahap dengan cara menggabungkan keempat komponen indikator ketahanan pangan tersebut, untuk mendapatkan satu indeks ketahanan pangan.

(42)

Kecukupan Ketersediaan Pangan

Ketersediaan pangan dalam rumah tangga yang dipakai dalam pengukuran mengacu pada pangan yang cukup dan tersedia dalam jumlah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Penentuan jangka waktu ketersediaan makanan pokok di perdesaan (seperti daerah penelitian) biasanya dilihat dengan mempertimbangkan jarak antara musim tanam dengan musim tanam berikutnya (Suharjo et al, 1985). Perbedaan jenis makanan pokok yang dikomsumsi antara dua daerah membawa implikasi pada penggunaan ukuran yang berbeda, seperti cotoh berikut ini.

(a) Di daerah dimana penduduknya mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok (seperti Provinsi Lampung) digunakan cutting point 240 hari sebagai batas untuk menentukan apakah suatu rumah tangga memiliki persediaan makanan pokok cukup/tidak cukup. Penetapan cutting point ini didasarkan pada panen padi yang dapat dilakukan selama 3 kali dalam 2 tahun. Pada musim kemarau, dengan asumsi ada pengairan, penduduk dapat musim tanam gadu, yang berarti dapat panen 2 kali dalam setahun. Tahun berikutnya, berarti musim tanam rendeng, dimana penduduk hanya panen 1 kali setahun karena pergantian giliran pengairan. Dengan demikian berselang satu tahun penduduk dapat panen padi 2 kali setahun sehingga rata-rata dalam 2 tahun penduduk panen padi sebanyak 3 kali.

(b) Di daerah dengan jenis makanan pokok jagung (seperti Provinsi Nusa Tenggara Timur) digunakan batas waktu selama 365 hari sebagai ukuran untuk menentukan apakan rumah tangga mempunyai ketersediaan pangan cukup/tidak cukup. Ini didasarkan pada masa panen jagung di daerah penelitian yang hanya dapat dipanen satu kali dalam setahun.

Disadari bahwa ukuran ketersediaan pangan yang mengacu pada jarak waktu antara satu musim panen dengan musim panen berikutnya hanya berlaku pada rumah tangga dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian pokok. Dengan kata lain, ukuran ketersediaan makanan pokok tersebut memiliki kelemahan jika diterapkan pada rumah tangga yang memiliki sumber penghasilan dari sektor non-pertanian.

Dengan demikian kondisi ketersediaan pangan dapat diukur sebagai berikut: Untuk Provinsi Lampung, sebagai contoh, dengan beras sebagai makanan pokok:

 Jika persediaan pangan rumah tangga >/= 240 hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga cukup

 Jika persediaan pangan rumah tangga antara 1-239 hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga kurang cukup

 Jika rumah tangga tidak punya persediaan pangan, berarti pesediaan pangan rumah tangga tidak cukup.

Untuk Provinsi NTT, sebagai contoh, dengan jagung sebagai makanan pokok:  Jika persediaan pangan rumah tangga >/= 365 hari, berarti pesediaan

pangan rumah tangga cukup

 Jika persediaan pangan rumah tangga antara 1-364 hari, berarti pesediaan pangan rumah tangga kurang cukup

Gambar

Gambar 2. Kaitan dalam Sistem Agribisnis
Gambar 4. Kerangka Berpikir Ketahanan Kangan
Gambar  6 Permasalahan Pertanian di Pulau-Pulau Kecil
Gambar 7 Lingkaran Perangkap Kemiskinan
+7

Referensi

Dokumen terkait