• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) DENGAN RISIKO KEJADIAN ALERGI PADA ANAK SD KELAS 1-4 BERDASARKAN KUESIONER ISAAC DI SD NEGERI 1 KRAWANGSARI KECAMATAN NATAR LAMPUNG SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) DENGAN RISIKO KEJADIAN ALERGI PADA ANAK SD KELAS 1-4 BERDASARKAN KUESIONER ISAAC DI SD NEGERI 1 KRAWANGSARI KECAMATAN NATAR LAMPUNG SELATAN"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

THE RELATIONSHIP BETWEEN SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) INFECTION WITH RISK OF ALLERGY INCIDENCE BASED ON QUESTIONNARE ISAAC IN CHILDREN GRADE 1-4 ELEMENTARY SCHOOL 1 KRAWANGSARI NATAR DISTRICT SOUTH LAMPUNG

By

SHEBA DENISICA

Allergy and worm infection are common problems in elementary children. Both of them have same immune response that increase of IgE. Allergy is more common in urban area, while worm infection is more common in rural area because of difference of enviromental sanitary factor. This study aims to analize the relationship between soil transmitted helminth (STH) infection and risk of allergy incidence in elementary school 1 Krawangsari Natar South Lampung.

This research is cross-sectional study or data collection on October-November 2015. Subject of this research is children grade 1,2,3 and 4 in Elementary school 1 Krawangsari Natar South Lampung. The research subjects were collected stool sample and their parent filled ISAAC questionnaires. Stool samples were examined microscopically with qualitative methods (floatation method) in parasitology laboratory. Data analyzed by univariate and bivariate used chi-square test.

The result of study showed that 50% research subject were infected by STH and 33,3% research subjects have history of allergy. Chi-square test result showed p-value=0,777 (CI=90%, OR=0,2) indicating there is relationship between STH infection and risk of allergy incidence.

(2)

ABSTRAK

HUBUNGAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) DENGAN RISIKO KEJADIAN ALERGI PADA ANAK SD KELAS 1-4

BERDASARKAN KUESIONER ISAAC DI SD NEGERI 1 KRAWANGSARI KECAMATAN NATAR LAMPUNG SELATAN

Oleh

Sheba Denisica

Infeksi cacing dan alergi merupakan penyakit yang paling sering mengenai anak-anak sekolah dasar. Keduanya memiliki respon imun yang sama berupa peningkatan dari IgE. Alergi lebih sering ditemukan pada daerah perkotaan, sedangkan infeksi cacing lebih sering di daerah pedesaan karena faktor sanitasi lingkungan yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan infeksi soil transmitted helminth (STH) dengan risiko kejadian alergi pada anak kelas 1-4 SD Negeri 1 Krawangsari, Natar, Lampung Selatan.

Penelitian dilakukan secara cross sectional study pada bulan Oktober-November 2015. Subjek penelitian berasal dari siswa kelas 1,2,3 dan 4 SD Negeri 1 Krawangsari, Natar, Lampung Selatan yang berjumlah 36 siswa. Subjek penelitian mengumpulkan sampel feses dan orang tua subjek penelitian mengisi kuesioner ISAAC secara terbimbing. Sampel feses diperiksa secara mikroskopik dengan metode kualitatif berupa metode apung di laboratorium parasit. Data dianalisis secara univariat dan bivariat menggunakan uji chi-square.

Hasil penelitian menunjukkan 50% subjek penelitian terinfeksi cacing dan 33,3% subjek penelitian mempunyai riwayat penyakit alergi. Hasil uji Chi-Square menunjukkan nilai p=0,077 (CI=90%, OR=0,2) menandakan terdapat hubungan antara infeksi STH dengan risiko kejadian alergi.

(3)

HUBUNGAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) DENGAN RISIKO KEJADIAN ALERGI PADA ANAK SD KELAS 1-4

BERDASARKAN KUESIONER ISAAC DI SD NEGERI 1 KRAWANGSARI KECAMATAN NATAR LAMPUNG SELATAN

Oleh

Sheba Denisica Nasution

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA KEDOKTERAN

pada

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

HUBUNGAN INFEKSI SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) DENGAN RISIKO KEJADIAN ALERGI PADA ANAK SD KELAS 1-4

BERDASARKAN KUESIONER ISAAC DI SD NEGERI 1 KRAWANGSARI KECAMATAN NATAR LAMPUNG SELATAN

(Skripsi)

Oleh

SHEBA DENISICA NASUTION

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

(5)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 5

1.3.Tujuan Penelitian ... 5

1.4.Manfaat Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminth (STH) ... 8

2.1.1.Ascaris lumbricoides ... 8

2.1.2.Trichuris trichiura ... 13

2.1.3.N.americanus dan A. duodenale ... 16

2.2. Respon imun terhadap infeksi kecacingan ... 20

2.3. Teknik pemeriksaan tinja untuk menegakkan diagnosis kecacingan 22

2.4. Alergi ... 25

(6)

ii

2.6. Kuesioner ISAAC ... 34

2.7. Kondisi sanitasi Lampung Selatan ... 36

2.8. Kerangka teori ... 37

2.9. Kerangka Konsep ... 38

2.10. Hipotesis ... 38

III. METODE PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian ... 39

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 39

3.2.1.Waktu Penelitian ... 39

3.2.2.Tempat Penelitian... 39

3.3. Populasi dan Sampel ... 40

3.3.1.Populasi Penelitian ... 40

3.3.2.Sampel Penelitian ... 40

3.4. Variabel Penelitian ... 41

3.4.1.Variabel Bebas... 41

3.4.2.Variabel Terikat ... 41

3.5. Definisi Operasional ... 42

3.6. Pengumpulan Data ... 43

3.6.1.Jenis Data ... 43

3.6.2.Alat dan Bahan Penelitian ... 43

3.7. Cara Pengambilan Data... 43

3.8. Pengolahan dan Analisis Data ... 44

(7)

iii

3.8.2.Analisis Data ... 45 3.9. Alur Penelitian ... 46 3.10. Etika Penelitian ... 47 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian ... 48 4.2. Pembahasan... 52 V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan ... 63 5.2. Saran ... 63 DAFTAR PUSTAKA

(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Telur A. lumbricoides infertil ... 9

2. Telur A. lumbricoides fertil ... 10

3. Siklus hidup A. lumbricoides ... 11

4. Telur dan Cacing T. trichiura dewasa ... 14

5. Siklus hidup T. trichiura ... 15

6. Siklus hidup hookworm ... 18

7. Respon imun terhadap infeksi cacing ... 21

8. Perbedaan respon Th2 pada anak dengan paparan patogen ... 32

9. Pengaruh helminth terhadap respon imun terhadap alergen ... 33

10. Kerangka Teori ... 37

11. Kerangka Konsep ... 38

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Ethical Clearance 2. Prosedur Penelitian

3. Lembar Penjelasan dan Persetujuan Penelitian 4. Kuesioner

5. Foto Lokasi Penelitian 6. Dokumentasi Penelitian

7. Hasil Pemeriksaan Mikroskopik Feses 8. Tabel Hasil Penelitian

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Interpretasi hasil pemeriksaan ISAAC ... 35

2. Definisi Operasional ... 42

3. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ... 49

4. Distribusi Frekuensi Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin ... 49

5. Hasil Pemeriksaan Telur Cacing STH pada Subjek penelitian ... 50

6. Riwayat Penyakit Alergi pada Subjek penelitian ... 50

7. Jenis Penyakit Alergi pada Subjek Penelitian ... 51

(11)
(12)

Tuntutlah ilmu dan belajarlah (untuk ilmu) ketenangan

dan kehormatan diri dan bersikaplah rendah hati kepada

orang yang mengajar kamu

(Hadist Riwayat Ath-Thabrani)

Atas Ridho Allah SWT ku

persembahkan sebuah

karya kepada Papa,

mama dan kakak.

Terimakasih atas doa dan dukungan yang diberikan selama ini

Terimakasih atas kasih sayang yang diberikan

(13)
(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung pada tanggal 06 Desember 1994, sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari Bapak Eddy P. Nasution, S.E., S.H. dan Ibu Dra. Harlina.

Pendidikan penulis dimulai dari Taman Kanak-kanak (TK) Kartini II Bandar Lampung diselesaikan pada tahun 2000, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 2 Palapa pada tahun 2006, Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMP Negeri 25 Bandar Lampung pada tahun 2009 dan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMA Negeri 16 Bandar Lampung pada tahun 2012. Pada tahun 2012, penulis diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

(15)

SANWACANA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beserta salam semoga senantiasa tercurah kepada suri tauladan dan nabi akhir zaman Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarganya, para sahabatnya.

Skripsi dengan judul “Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminth (STH) dengan risiko kejadian alergi pada anak kelas 1-4 SD Negeri 1 Krawangsari, Natar, Lampung

Selatan”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terimakasih kepada:

1. Dr. dr. Muhartono, S.Ked., M.Kes, Sp.PA. selaku dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;

(16)

3. Dra. Endah Setyaningrum, M.Biomed. selaku pembimbing kedua yang telah meluangkan waktu untuk memberikan masukan, nasihat serta saran dalam penyusunan skripsi ini;

4. dr. Hanna Mutiara, M.Kes. selaku dosen penguji utama yang telah memberikan masukan, motivasi bimbingan serta kritik yang membangun dalam proses penyusunan skripsi ini;

5. dr. Betta Kurniawan, M.Kes. selaku penguji tambahan yang sudah memberikan masukan dan saran-saran yang berguna untuk skripsi ini;

6. dr. Susianti, M.Sc. selaku pembimbing akademik yang telah memberikan motivasi dan bimbingan selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;

7. Seluruh dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung yang sudah memberikan ilmu dan keterampilan, motivasi serta nasihat,selama pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;

8. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini;

9. Kedua orang tuaku papa Eddy P. Nasution, S.E., S.H. dan mama Dra. Harlina atas motivasi, kasih sayang, dukungan dan doa yang sudah diberikan;

10.Kakakku Shifra Janeczka Nasution, S.H. yang sudah memberikan motivasi, nasihat dan doa;

(17)

12.Sahabat Fillah Zsa-zsa Febryana, Septina Ashariani, Sartika Safitri, Ria Janita Riduan yang sudah menemani perjuangan dan membuat hari-hari menjadi lebih indah di Fakultas Kedokteran;

13.Sahabat sejak SMA dan SMP Miya Nuraisah, Nina Cynthia, Aldila Putri, Arie Fitri Ana, Kartinia Sari, Syahraini, Resi Bisma Sari, Devi Rahmayani, Maria Christina, Rendi Saputra, Fera Ayu, Andre Fernando serta Muhammad Adnan yang sudah memberikan motivasi dan semangat dalam penyusunan skripsi ini; 14.Kelompok 9 semester 7 (rois, hambali, leo, lutfi, anti, vira, imel, fatia, indik, yesti, siti) yang sudah memberikan motivasi dalam penyusunan skripsi ini dan menemani perjuangan di semester terakhir ini;

15.Teman-teman tim skripsi Harmeida Risa, Aulia Rahma, Sevfianti, Nurul Sahana, Eva Nurlizar, Yudha Prasetyo atas kerja samanya dalam penelitian untuk skripsi ini;

16.Inaz Kemala Dewi yang sudah memberi motivasi dalam belajar dan teman berbagi saat suka dan duka;

17.Warga desa Bratasena Mandiri beserta anggota kelompok KKN yang sudah memberikan pengalaman yang berharga untuk pembelajaran hidup penulis; 18.Kepala Sekolah, guru-guru serta siswa-siswi SD Negeri 1 Krawangsari yang

sudah membantu dalam penelitian ini;

(18)

20.Teman-teman seperjuangan FK UNILA 2012 yang sudah menemani hari-hari di FK UNILA semoga kita menjadi dokter yang bermanfaat serta adik-adik angkatan 2013-2015;

21.Kak Nyimas Farisa, Azzaky, Fathan, Azda, kak Wardina, adik kelompok tutorial 14 semester 1 angkatan 2014 (Lala, Karaeng, Aminah, William, Ahmad, Febe, Ica, Oliv, Karen, Diva), Sutansyah yang sudah memberikan semangat dalam penyusunan skripsi ini serta orang-orang yang sudah memberikan doa dalam diam;

22.Guru-guru SMAN 16 Bandar Lampung atas motivasi dan doa yang telah diberikan untuk menggapai cita-cita.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan, akan tetapi penulis berharap agar skipsi ini dapat memberikan manfaat bagi orang banyak.

Bandar Lampung, 28 Januari 2016 Penulis

(19)
(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Soil transmitted helminth (STH) merupakan cacing usus yang dapat menginfeksi manusia dengan empat spesies utama yaitu Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Trichuris trichiura (cacing cambuk), Ancyslotoma duodenale dan Necator americanus (cacing kait) (Brooker et al., 2006; Suchdev et al., 2014). Infeksi STHmerupakan infeksi yang paling sering di daerah tropis terutama negara berkembang dengan sanitasi yang buruk (Brooker et al., 2006; WHO, 2015a). STH diperkirakan menginfeksi dua miliyar orang di dunia dengan 270 juta diantaranya menyerang anak usia prasekolah dan lebih dari 600 juta kasus menyerang anak usia sekolah (WHO, 2012; WHO, 2015b).

(21)

2

menderita infeksi STH dikarenakan aktivitas anak-anak yang banyak berkontak dengan tanah. Anak-anak sekolah dasar paling sering terpajan penyakit alergi dan infeksi cacing (Andiarsa et al., 2013).

Alergi dan infeksi cacing sama-sama merupakan masalah di negara berkembang. Keduanya dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang kurang baik, polusi dan sanitasi. Prevalensi penyakit alergi semakin meningkat di dunia dan ditemukan lebih tinggi di daerah perkotaan dibanding daerah perdesaan (Joprang dan Supali, 2008). Prevalensi penyakit asma, ekzema dan rinitis alergi di dunia berdasarkan kuesioner ISAAC yaitu 12%, 7,88% dan 12,66% (Pols et al., 2015). Prevalensi penyakit asma berdasarkan gejala klinis di Indonesia adalah 4% dan provinsi Lampung memiliki prevalensi asma terendah di Indonesia (1,6%) (Depkes RI, 2008; Kemenkes RI, 2014). Prevalensi nasional berdasarkan keluhan untuk penyakit dermatitis dan rinitis yaitu 6,8% dan 2,4% (Depkes RI, 2008). Prevalensi rinitis dan dermatitis di Lampung berdasarkan riwayat pernah mengalami yaitu 7,8% dan 40,3%, sedangkan prevalensi penyakit rinitis dan dermatitis di Lampung Selatan 11,5% dan 59,6% (Depkes RI, 2009).

(22)

3

helminth (STH) jarang menyebabkan kematian, namun dapat menyebabkan morbiditas seperti malnutrisi, anemia, kegagalan pertumbuhan dan mental (Menzies et al., 2014; Cabada et al., 2015). Efek STH pada orang dewasa dapat mengurangi produktivitas dan menyebabkan kerugian ekonomi serta meningkatkan risiko anemia defisiensi besi pada wanita yang sedang menyusui (PATH, 2014). Anemia dan defisiensi mikronutrisi seperti vitamin, besi dan folat yang diakibatkan oleh STH sangat berpengaruh terhadap penurunan kapasitas kerja, fungsi kognitif yang buruk dan gangguan kehamilan (Ahmed et al., 2012).

(23)

4

2013). Pada penelitian yang dilakukan HendriWijaya et al. (2014) pada 84 anak usia 7-13 tahun di Sumatera Utara didapatkan hasil bahwa infeksi STH berhubungan dengan peningkatan gejala asma (p=0,0049) dan eksema (p=0,0440), tetapi tidak berhubungan dengan gejala rinitis alergi (p=0,763) (Wijaya et al., 2014).

Kuesioner ISAAC merupakan kuesioner yang akan mendiagnosis secara kasar prevalensi dan faktor risiko dari penyakit alergi pada anak (ISAAC Steering Committe, 2000). Penelitian mengenai hubungan infeksi soil transmitted helminth (STH) dengan risiko kejadian alergi pada anak di Indonesia masih sangat jarang serta banyak kesenjangan. Peneliti berkeinginan untuk melakukan penilitian pada SD Negeri 1 Krawangsari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan dikarenakan lapangan sekolah masih berupa tanah. Selain itu, siswa-siswi SD rata-rata berasal dari keluarga yang kurang mampu dilihat dari lantai rumah yang masih berupa tanah di keraskan dan jamban masih belum memadai. Siswa-siswi SD ini juga ketika bermain di lingkungan rumah dan sekolah tidak menggunakan alas kaki.

(24)

5

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar berlakang tersebut maka peneliti membuat rumusan masalah sebagai berikut:

1. Berapakah besar prevalensi anak kelas 1,2,3 dan 4 yang menderita infeksi soil transmitted helminth (STH) di SD Negeri 1 Krawangsari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan?

2. Berapakah besar prevalensi riwayat penyakit alergi di SD Negeri 1 Krawangsari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan ?

3. Apakah terdapat hubungan antara infeksi soil transmitted helminth (STH) dengan risiko kejadian alergi pada anak kelas 1,2,3 dan 4 berdasarkan kuesioner ISAAC di SD Negeri 1 Krawangsari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan ?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan infeksi soil transmitted helminth (STH) dengan risiko kejadian alergi berdasarkan kuesioner ISAAC di SD Negeri 1 Krawangsari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan.

1.3.2. Tujuan Khusus

(25)

6

b.Mengetahui prevalensi riwayat penyakit alergi pada anak kelas 1,2,3 dan 4 berdasarkan kuesioner ISAAC di SD Negeri 1 Krawangsari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan.

c.Mengetahui hubungan infeksi soil transmitted helminth (STH) dengan risiko kejadian alergi pada anak kelas 1,2,3 dan 4 berdasarkan kuesioner ISAAC di SD Negeri 1 Krawangsari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat bagi ilmu pengetahuan

Menambah, memperkaya data penelitian serta pengetahuan di bidang ilmu penyakit infeksi dan parasitologi tentang penyakit yang sering terjadi di daerah tropis dan negara berkembang khususnya penyakit yang disebabkan oleh soil transmitted helminth. Mendapat informasi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan risiko kejadian alergi pada anak yang terinfeksi soil transmitted helminth (STH) sehingga dapat digunakan sebagai data pendahuluan untuk penelitian selanjutnya.

1.4.2. Manfaat bagi peniliti

1. Mendapat pengalaman langsung dalam merencanakan penelitian, melaksanakan penelitian dan menyusun hasil penelitian.

(26)

7

1.4.3. Manfaat bagi masyarakat

(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Soil Transmitted Helminth

Soil transmitted helminth adalah cacing usus yang sebagian siklus hidupnya berada ditanah (Prevatt, 2011). Infeksi soil transmitted helminth (STH) terutama ditemukan pada tempat yang hangat dan kelembaban yang adekuat dan sanitasi yang buruk. Kurangnya hygiene perseorangan dan lingkungan, orang yang berjalan tanpa alas kaki, status imun dan nutrisi yang rendah mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk mendapatkan infeksi dari STH (Alelign et al., 2015). Soil transmitted helminth yang biasa menginfeksi manusia yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura¸ Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (WHO, 2012).

2.1.1. Ascaris lumbricoides (cacing gelang)

(28)

9

dari migrasi larva ke paru-paru atau efek dari cacing dewasa di usus (Longo et al., 2012).

Gambar 1. Telur A. lumbricoides inferrtil (CDC, 2013b)

Askariasis merupakan helminthiasis pada manusia yang paling sering (Patel dan Kazura, 2012). Faktor kunci yang berhubungan dengan prevalensi tinggi dari infeksi yaitu kondisi sosioekonomi yang rendah, pengunaan tanah sebagai fertilizer, sanitasi yang buruk dan geofagia (Patel dan Kazura, 2012; Longo et al., 2012). Askariasis dapat terjadi pada semua umur, namun prevalensi yang lebih tinggi pada anak presekolah dan awal sekolah (umur 5-9 tahun) (Patel dan Kazura, 2012; Ghaffar, 2015). Transmisi yang tersering melalui tangan ke mulut, tetapi bisa juga dari ingesti buah atau sayur yang terkontaminasi (Patel dan Kazura, 2012).

(29)

10

uniseluler (Zeibig, 2013). Cacing A. lumbricoides dewasa jantan berukuran lebih kecil dari cacing betina. Panjang cacing jantan dewasa 15-30 cm dan cacing betina dewasa yaitu 20-35 cm (Supali et al., 2008). Karakteristik cacing jantan dewasa lebih ramping dan memiliki ekor membengkok, sedangkan cacing betina bentuknya yang seperti pensil (Zeibig, 2013).

Gambar 2. Telur A. lumbricoides fertil (ASM Microbe Library, 2014)

(30)

11

lalu mengikuti aliran darah ke paru (Supali et al., 2008; Soedarmo et al., 2012; Shoff dan Shoff, 2015).

Gambar 3. Siklus hidup Ascaris lumbricoides (CDC, 2015)

(31)

12

Gejala klinis penyakit yang disebabkan oleh A. lumbricoides tergantung dari intensitas infeksi dan organ yang terkena (Patel dan Kazura, 2012). Gejala yang biasanya timbul pada penderita dapat disebabkan oleh migrasi larva dan cacing dewasa (Supali et al., 2008; Soedarmo et al., 2012). Pada infeksi ringan, trauma yang terjadi berupa perdarahan (petechial hemorrhage) dan pada infeksi berat kerusakan jaringan paru dapat terjadi. Gangguan yang disebabkan oleh adanya cacing dewasa dalam jumlah banyak di usus berupa distensi abdomen dan kram perut (Bethony et al., 2006; Patel dan Kazura, 2012). Cacing dewasa juga dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan (Bethony et al., 2006). Cacing Ascaris dapat bermigrasi ke duktus biliaris dan pankreatikus menyebabkan kolestitis dan pankreatitis. Cacing yang mati dapat menjadi nidus untuk pembentukan batu (Patel dan Kazura, 2012).

(32)

13

saraf pusat dan reaksi alergi (Albonico et al., 2008). Pencegahan dapat dilakukan dengan fasilitas sanitari untuk defekasi, mencuci tangan dan mencuci bahan makanan yang berasal dari tanah (Ridley, 2012).

2.1.2. Trichuris trichiura ( cacing cambuk)

Trichuris trichiura adalah infeksi cacing yang terbanyak pada manusia setelah infeksi A. Lumbricoides (Soedarmo et. al., 2012). Infeksi dari T. trichiura pada usus besar menyebabkan penyakit trichuriasis (Zeibig, 2013). Cacing ini bersifat kosmopolit terutama ditemukan di daerah panas dan lembab. Pada saat ini infeksi sering dijumpai pada anak usia sekolah (Supali et al., 2008). Umur yang paling rentan untuk mendapat infeksi cacing adalah 5-15 tahun (Kazura dan Dent, 2011).

Telur T. trichiura berbentuk seperti tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub dan berukuran 50-55 µm x 25 µm (Supali et al., 2008; Ridley, 2012). Telur akan dikeluarkan dari hospes bersama tinja dan akan mengalami maturasi kurang lebih 2-6 minggu dan dapat bertahan sampai beberapa bulan. Telur dapat rusak bila terpapar sinar matahari langsung lebih dari 12 jam dan pada temperatur kurang dari 8oC atau >40oC selama satu jam (Supali et al., 2008; Gupta dan Ang, 2015).

(33)

14

tertelan, larva keluar melalui dinding telur, menembus dan berkembang di mukosa usus halus. Setelah menjadi dewasa (±1 minggu), cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon (sekum). Cacing betina di sekum setelah 3 bulan dari infeksi dapat menghasilkan 3000-20000 telur setiap harinya dan akan dikeluarkan bersama tinja (Soedarmo et al., 2012; Gupta dan Ang, 2015).

a) (b)

Gambar 4. (a) Telur Trichuris trichiura (b) Cacing T. Trichiura dewasa jantan dan betina (Bethony et al., 2006)

(34)

15

Gambar 5. Siklus hidup T. Trichiura (CDC, 2013c)

(35)

16

Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dalam feses dan mukosa rektal yang mengalami prolapsus atau menemukan cacing dewasa (Supali et al, 2008; Soedarmo et al., 2012). Mebendazole (100 mg 2x/hari selama 3 hari atau 500 mg dosis tunggal) adalah obat yang aman dan efektif untuk infeksi T. trichiura serta dapat mengurangi telur sebesar 90-99%. Albendazole (400 mg dosis tunggal) merupakan terapi alternatif, akan tetapi pada infeksi berat albedanzole harus diberikan selama tiga hari (Kazura dan Dent, 2011). Pencegahan adalah pilihan terbaik untuk menghindari infeksi cacing ini dengan cara menjaga personal hygiene dan menghindari makanan dan air yang terkontaminasi (Ridley, 2012).

2.1.3. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (cacing kait)

(36)

17

Intensitas infeksi meningkat sampai usia 6-7 tahun dan kemudian menjadi stabil (Soedarmo et al., 2012).

Cacing dewasa hidup dan melekat di rongga mukosa usus halus dengan mulut yang besar (Supali et al., 2008). Cacing jantan berukuran 5-11 mm x 0,3-0,45 mm dan cacing betina 9-13 mm x 0,35-0,6 mm, sedangkan A. duodenale sedikit lebih besar dari N. americanus (Soedarmo et al., 2012). N. americanus mempunyai badan kitin dan A. duodenale terdapat dua pasang gigi. Cacing jantan mempunyai bursa kopulatriks (Supali et al., 2008). Cacing betina N. americanus dapat menghasilkan 9000-10000 butir, sedangkan A. duodenale menghasilkan 25000-30000 butir (Bethony et al., 2006).

(37)

18

2014). Larva akan menembus kulit manusia (bisa juga termakan) dan masuk ke sirkulasi darah melalui pembuluh darah vena sampai ke jantung lalu ke alveoli paru dalam waktu 10 hari. Larva akan bermigrasi ke saluran nafas atas yaitu bronkiolus ke bronkus, trakea dan faring. Larva akan tertelan serta turun ke esofagus dan menjadi dewasa di usus halus (Soedarmo et al., 2012).

Gambar 6. Siklus hidup hookworm (CDC, 2013d)

(38)

19

pneumositis (Supali et al., 2008; Soedarmo et al., 2012). Cacing stadium dewasa dapat menyebabkan gejala tergantung pada spesies serta jumlah cacing, berat ringannya infeksi dan keadaan gizi penderita (Fe dan protein) (Supali et al., 2008; Soedarmo et al., 2012). Pada fase intestinal awal , orang yang terinfeksi akan mengalami nyeri epigastrik, diare inflamasi atau gejala abdominal lainnya diikuti oleh eosinofilia (Longo et al., 2012). Infeksi cacing N. americanus menyebabkan kehilangan darah 0,03-0,05 ml/darah/cacing/hari, sedangkan A. duodenale 0,16-0,34 ml/ darah/ cacing/ hari. Bila penyakit berlangsung kronis akan timbul gejala anemia defisiensi zat besi, kehilangan protein (hipoprotenemia dan anarsaka) (Suriptiastuti, 2006).

(39)

20

2.2. Respon Imun Tubuh terhadap Infeksi cacing

Cacing merupakan parasit multiselular, memiliki masa hidup yang panjang dan tidak bisa ditelan oleh fagosit sehingga respon host terhadap infeksi cacing biasanya lebih kompleks dan kuat (Joprang dan Supali, 2008; Baratawidjaja dan Rengganis, 2014). Reaksi tubuh untuk melawan infeksi helminth ditandai peningkatan IgE, eosinofil jaringan, mastosit dan sel CD4+ yang memproduksi sel Th2 (Sitcharungsi dan Sirivichayakul, 2013). Infeksi cacing akan menstimuli antigen presenting cell (APC) yang akan merangsang Th0 sehingga respons imun berkembang ke arah Th2. Aktivasi dari Th2 menyebabkan peningkatan sitokin seperti interleukin-4 (4 ), IL-5, IL-9, IL-10 dan IL-13 (Joprang dan Supali, 2008; Andiarsa et al., 2012; Baratawidjaja dan Rengganis, 2014; Rusjdi, 2015). IgE diproduksi oleh sel B yang dirangsang oleh IL-4. Sitokin IL-5 merangsang perkembangan, diferensiasi dan aktivasi eosinofil (Joprang dan Supali, 2008; Baratawidjaja dan Rengganis, 2014).

(40)

21

enzim) dapat merusak kutikula dari helminth (Zdravkovi et al., 2013). Infeksi cacing kronis menyebabkan modifikasi dari Th2 yang melibatkan Treg untuk menghasilkan IL-10 dan TGF- yang berperan sebagai anti inflamasi dan menghambat imunitas selular (Joprang dan Supali, 2008; Andiarsa et al., 2013; Rusjdi, 2015). Aktivitas leukotrien yang biasa menginduksi asma dan aktivitas inflamasi lainnya dihambat oleh IL-10 (Andiarsa et al., 2013). Infeksi dari parasit helminth dapat menyebabkan banyak efek pada vaksin, koinfeksi, alergen dan respon autoantigen pada manusia (Mcsorley dan Maizels, 2012).

Gambar 7. Respon Imun Terhadap Infeksi Cacing (Joprang dan Supali, 2008)

2.3. Teknik Pemeriksaan Tinja untuk Menegakkan Diagnosis Kecacingan

(41)

22

dilakukan dengan berbagai cara seperti pemeriksaan secara natif (direct slide), pemeriksaan dengan metode apung, modifikasi merthiolat iodine formaldehyde (MIF), metode selotip (cellotape methode), metode konsentrasi, teknik sediaan tebal (cellophane covered thick smear technic/ teknik kato) dan metode sedimentasi formol ether (ritchie). Pemeriksaan kuantitatif dikenal dengan dua metode yaitu metode stoll dan metode kato katz (Rusmatini 2009).

Pemeriksaan secara natif (direct slide) cocok digunakan untuk infeksi berat tetapi pada infeksi ringan telur-telur cacing sulit ditemukan. Pemeriksaan ini dilakukan mencampurkan feses dengan 1-2 tetes NaCl fisiologis 0,9% atau eosin 2% lalu diperiksa dibawah mikroskop dengan perbesaran 100x (Rusmatini, 2009). Metode ini bila dibandingkan dengan metode lain sangat cepat dipersiapkan dan murah. Namun, metode ini dapat tidak menemukan telur cacing kait bila konsentrasi terlalu sedikit, terlalu banyak debris atau terdapat lemak (Shahid et al., 2012).

(42)

23

suspensi tinja disaring pada beaker lainnya dan dituangkan pada tabung reaksi (10x12 mm). Taruh cover slip pada tiap tabung selama 20 menit, kemudian pindahkan secara cepat pada objek glass dan lihat telur di mikroskop (Ibidapo dan Okwa, 2008). Sensitivitas dan spesifisitas metode apung dengan menggunakan garam jenuh untuk mendeteksi telur cacing sebesar 44,44% dan 97,2%, sedangkan untuk pemeriksaan telur Trichuris trichiura memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar 75% dan 97,4% (Maharani dan Sofiana, 2014).

Modifikasi metode merthiolat iodine formaldehyde (MIF) menyerupai metode sedimentasi. Metode ini digunakan untuk menemukan telur cacing nematoda, trematoda, cestoda dan amoeba di dalam tinja (Rusmatini 2009). Metode selotip (cellotape methode) digunakan untuk identifikasi cacing E. vermicularis. Metode ini menggunakan plester plastik yang bening dan tipis dan dipotong dengan ukuran 2 x 1,5 cm yang ditempelkan pada lubang anus dan ditekan dengan ujung jari. Hasil diplester kemudian ditempelkan ke kaca objek dan dilihat dibawah mikroskop untuk melihat telur cacing (Rusmatini, 2009).

(43)

24

objek kemudian ditutup dengan cover glass dan dilihat dibawah di mikroskop. Pemeriksaan ini dapat dilakukan sampai 2-3 kali (Rusmatini, 2009).

Metode sedimentasi formol ether (ritchie) yaitu metode dengan prinsip gaya sentrifugal dapat memisahkan supernatan dan suspensi sehingga parasit dapat terendapkan (Chairlan dan Lestari, 2011). Metode ini dilakukan dengan cara 1 gram tinja diemulsikan dengan 7 mL 10% formol saline dan diamkan selama 10 menit untuk fiksasi. Kemudian, disaring dengan kawat kasa, hasil filtrasi ditambahkan ke 3 mL eter dan sentrifusi 200 rpm selama 2 menit. Hasil sentrifusi lalu diamkan, buang bagian supernatan dan sedimen diperiksa (Parameshwarappa et al., 2012). Metode sedimentasi kurang efisien dalam mencari macam telur cacing bila dibandingkan dengan metode floatasi (Rusmatini, 2009).

(44)

25

Pemeriksaan kuantitatif terdiri dari metode stoll dan katokatz. Metode stoll menggunakan NaOH 0,1 N sebagai pelarut tinja. Cara ini cocok untuk pemeriksaan infeksi berat dan sedang (Rusmatini, 2009). Pemeriksaan ini kurang baik untuk infeksi ringan (Rusmatini, 2009). Metode katokatz thick smear direkomendasikan oleh WHO karena metode ini simple dan mudah digunakan (Levecke et al., 2011). Metode katokatz sangat sensitif untuk mendeteksi A. lumbricoides (Levecke et al., 2011). Sensitivitas dan spesifisitas metode katokatz untuk A. lumbricoides (96,9%, 96,1%), cacing kait (65,2%,93,8%) dan T. Trichiura (91,4%, 94,4%) (Tarafder et al., 2010). Rentang waktu dari pengambilan sampel sampai pemeriksaan mikroskopik adalah 24 jam-20 hari dengan rata-rata waktu 4 hari (Tarafder et al., 2010). Telur cacing kait akan menghilang jika rentang waktu dari pengambilan sampel dan pemeriksaan terlalu lama (> 30 menit) (Levecke et al., 2011). Telur cacing kait akan sulit dibedakan dengan telur Schistosoma jika feses tidak diperiksa selama 4 jam dari pengambilan sampel.

2.4. Alergi

(45)

26

Dermatitis atopik adalah penyakit inflamasi dari kulit bersifat kronik, berulang, pruritik dan mengenai 10% anak dan berhubungan dengan peningkatan serum Ig E (Yeung, 2011; Thomsen, 2014). Penyakit ini jarang timbul pada anak usia kurang dari 2 bulan , tetapi 60% timbul sebelum usia 1 tahun dan 85% timbul sebelum usia 5 tahun. Dermatitis atopik lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan rasio 3:2 (Williams, 2006). Interaksi antara genetik, lingkungan dan faktor imunologi berperan terhadap patogenesis dermatitis atopik. Dermatitis atopik (DA) cenderung diturunkan dan lebih dari seperempat anak dari seorang ibu penderita atopi akan mengalami DA pada masa kehidupan tiga bulan pertama (Sularsito dan Djuanda, 2013). Kromosom yang berpengaruh adalah kromosom 5q31-33 yang mengandung kumpulan famili gen sitokin seperti 3, 4, 5, IL-13 dan GM-CSF yang diekspresikan oleh sel Th2. Ekspresi gen IL-4 memainkan peranan penting dalam ekspresi DA (Yeung, 2011; Sularsito dan Djuanda, 2013).

(46)

27

Sularsito dan Djuanda, 2013; Schwartz, 2015). Hygiene hypotesis juga berperan dalam pembentukan dermatitis atopik. Hubungan yang berkebalikan didapatkan diantara infeksi helminth dan dermatitis atopik (Schwartz, 2015).

Lesi dermatitis atopik pada anak (usia 2 sampai 10 tahun) lebih kering, tidak begitu eksudatif, lebih banyak papul, likenifikasi dan sedikit skuama. Letak kelainan kulit dilipat siku, lipat lutut, pergelangan tangan bagian fleksor, kelopak mata, leher dan jarang dimuka. Rasa gatal menyebabkan penderita sering menggaruk dan dapat terjadi erosi, likenifikasi dan infeksi sekunder. Penderita sensitif terhadap wol, bulu kucing, ayam, anjing dan burung (Sularsito dan Djuanda, 2013).

(47)

28

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitasi dan diikuti tahap provokasi atau reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari dua fase yaitu reaksi alergi fase cepat (kontak alergen-1 jam setelah kontak) dan reaksi alergi fase lambat yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam (Irawati et al., 2012). Jembatan molekul IgE dan alergen pada permukaan sel mast menginisiasi respon awal yang ditandai dengan degranulasi sel mast dan pelepasan mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin E2 dan leukotrien sistenil. Tempat inflamasi di mukosa nasal yaitu kelenjar mukus, saraf, pembuluh darah dan sinus venosus (Milgrom dan Leung, 2011). Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga meningkatkan sekresi (hipersekresi) dari kelenjar mukosa dan sel goblet sehingga terjadi rinore (Irawati et al., 2012). Reaksi alergi fase lambat diikuti oleh infiltrasi cytokine-secreting dari sel T dan eosinofil dengan sekresi eosinofil-derived-mediator protein dasar utama, eosinofil, protein kationik dan leukotrien yang menyebabkan kerusakan epitel (Milgrom dan Leung, 2011).

(48)

29

virus (Mullin et al., 2007; Levin dan Weinberg, 2011; Papadopoulos et al., 2012). Inflamasi, penyempitan dan hiperresponsif jalan nafas merupakan hasil dari interaksi sel inflamasi (sel mast, eosinofil, makrofag, limfosit, makrofag, sel dendritik) dan sel struktural (sel epitel dan sel otot polos) yang memproduksi sitokin, kemokin, leukotrin sistenil (Papadopoulos et al., 2012). Inflamasi jalan nafas menyebabkan bronkospasme rekuren atau persisten dan menyebabkan gejala mengi, susah nafas, dada sesak dan batuk yang biasanya pada malam hari atau pada pagi hari (Sharma, 2014).

(49)

30

tiga tahun dan 4) severe intermitten wheezing yaitu episode wheezing akut infrekuen dengan morbiditas yang minimal dan karakterisitik atopi (Bacharier et al., 2008).

Cara penegakkan diagnosis asma yaitu dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis tanyakan episode rekuren dari batuk, wheeze, susah bernafas, sesak nafas, pemicu seperti stimulus yang berbeda seperti iritan (dingin dan rokok), alergen (hewan, polen), infeksi respirasi, latihan, batuk setelah menangis dan tertawa yang biasanya timbul pada malam hari dan pagi hari. Tanyakan juga tentang frekuensi, keparahan, riwayat atopi, riwayat asma dalam keluarga, kelelahan, absensi sekolah dan pengurangan intensitas serta frekuensi aktivitas fisik (Bacharier et al., 2008; Papadopoulos et al., 2012). Pemeriksaan fisik yaitu berupa aukultasi dada dan melihat tanda dari penyakit atopi lainnya seperti rinitis dan eksema (Papadopoulos et al., 2012). Pemeriksaan lainnya yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan fungsi paru seperti spirometri yang merupakan pemeriksaan baku emas untuk penyakit asma. Diagnosis asma juga dapat didukung dengan melihat respon dari pemberian bronkodilator inhalasi berupa perbaikan dari nilai FEV1 minimal 12%, 200 mL atau 10% dari

prediksi (Papadopoulos et al., 2012; Nataprawira, 2013).

2.5. Hubungan Infeksi Soil Transmitted Helminth dengan Alergi

(50)

31

2008). Hal ini dapat dihubungkan dengan hygiene hypotesis yaitu kurangnya paparan tubuh terhadap agen infeksi termasuk infeksi parasit akan menyebabkan sistem imun tidak berkembang secara sempurna pada polarisasi Th1 dan terjadi peningkatan polarisasi Th2 yang menyebabkan peningkatan prevalensi alergi. Polarisasi Th2 pada infeksi cacing usus sama dengan polarisasi Th2 pada penyakit alergi (Sitcharungsi dan Sirivichayakul, 2013; Rusjdi, 2015).

Infeksi cacing dapat memberikan efek proteksi terhadap alergi dengan beberapa mekanisme seperti saturasi sel mast, penghambatan oleh IgG4 dan modifikasi Th2 (Rusjdi, 2015). Pada mekanisme saturasi sel mast atau IgE blocking hypothesis yaitu ketika terdapat infeksi helminth maka terjadi peningkatan IgE poliklonal yang tidak spesifik dan menempel pada reseptor Fcϵ sel mast. Penempelan IgE poliklonal menyebabkan penghambatan

penempelan IgE spesifik dari alergen pada sel mast, degranulasi histamin dan reaksi immediate hypersensitivity (Yazdanbakhsh et al., 2002; Rusjdi, 2015).

(51)

32

kronis terjadi hiporesponsif sel T yang menyebabkan induksi antigen presenting cell (APC) untuk mengaktivasi sel Treg yang akan menghasilkan sitokin anti inflamasi yaitu IL-10 dan TGF- . Sitokin anti inflamasi ini dapat menghambat inflamasi alergi dan imunitas seluler. Tingginya kadar IL-10 akan meredam proses inflamasi jaringan dan kontraksi otot polos yang berakibat penghambatan reaksi hipersensitivitas pada saluran nafas (Yazdanbakhsh et al, 2002; Joprang dan Supali, 2008; Rusjdi, 2015).

Gambar 8. Perbedaan respon Th2 pada anak dengan paparan patogen rendah dan tinggi (Yazdanbakhsh et al., 2002; Rusjdi, 2015)

(52)

33

yang berperan dalam penekanan inflamasi alergi akibat alergen parasit atau non parasit. Infeksi cacing berat akan lebih memberikan efek proteksi terhadap alergi dibandingkan infeksi cacing ringan terutama pada infeksi helminth jaringan (Cooper, 2009; Smits et al., 2010; Rusjdi, 2015). Infeksi berat akan menginduksi supresi imun, sedangkan infeksi ringan akan menyebabkan penyakit alergi (Smits et al., 2010). Genetik dari masing-masing individu juga sangat berperan misalnya individu yang secara genetik rentan terhadap penyakit atopik akan cenderung membentuk respon alergi terhadap alergen.

Gambar 9. Pengaruh helminth pada respon imun terhadap alergen (Fallon dan Mangan, 2007)

(53)

34

tiap spesies. Telur dari A. lumbricoides akan meningkatkan prevalensi asma, T.trichiura tidak memberikan efek terhadap asma dan telur dari cacing kait menurunkan prevalensi asma. Inflamasi langsung pada saluran nafas yang disebabkan oleh migrasi larva dan respon Th2 inflamatory pada saluran nafas menyebabkan peningkatan prevalensi asma akibat askariasis (Cooper, 2009).

2.6. Kuesioner ISAAC

(54)

35

Tabel 1. Interpretasi hasil pemeriksaan ISAAC

Pertanyaan Kuesioner Interpretasi

Pernah mengalami gejala berbangkis-bangkis (bersin), ingusan atau hidung mampet meskipun tidak sedang flu

Pernah mengalami rinitis alergi

Pernah mengalami gejala berbangkis-bangkis (bersin), ingusan atau hidung mampet meskipun tidak sedang flu dalam berbunyi ngik dalam 12 bulan terakhir

Sedang mengalami Asma

Pernah mengalami kemerahan yang gatal di kulit hilang timbul dalam jangka waktu 6 bulan

Pernah mengalami eksim

Pernah mengalami kemerahan yang gatal di kulit hilang timbul dalam jangka waktu 6 bulan 12 bulan terakhir

Sedang mengalami eksim

Sumber : ( Phathammavong et al., 2008; Kholid, 2013)

(55)

36

kurang sensitif (35,2%) dan lebih spesifik (93,3%) dibanding dengan gold standard, tetapi sangat berguna untuk penelitian epidemiologi (Gorozave-Car et al., 2013).

2.7. Kondisi Sanitasi Kabupaten Lampung Selatan

(56)

37

2.8. Kerangka Teori

Berdasarkan tinjauan pustaka maka dapat digambarkan kerangka teori sebagai berikut:

Keterangan:

: Menghambat

(57)

38

2.9. Kerangka Konsep

Berdasarkan teori peneliti ingin menganalisis hubungan antara variabel bebas (Infeksi soil transmitted helminth) dengan variabel terikat (risiko kejadian alergi pada anak) yang digambarkan sebagai kerangka konsep pada gambar 11.

Variabel bebas Variabel Antara Variabel Terikat

Gambar 11. Kerangka Konsep Penelitian

2.10. Hipotesis

Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Terdapat hubungan antara infeksi soil transmitted helminth (STH) dengan risiko kejadian alergi pada anak kelas 1-4 di SD Negeri 1 Krawangsari Natar, Lampung Selatan.

 Waktu dan lama infeksi STH

 Genetik

 Jenis Cacing

 Intensitas Infeksi STH Infeksi soil

transmitted helminth (STH)

(58)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional, yaitu dengan cara pengumpulan data sekaligus pada suatu waktu dengan tujuan untuk mencari hubungan antara variabel bebas (infeksi soil transmitted helminth (STH) terhadap variabel terikat (risiko kejadian alergi pada anak).

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

3.2.1.Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober- November 2015.

3.2.2. Tempat Penelitian

(59)

40

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1. Populasi Penelitian

Populasi target penelitian adalah siswa kelas 1 sampai 4. Populasi terjangkau adalah siswa SD Negeri 1 Krawangsari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan kelas 1-4.

3.3.2. Sampel Penelitian

Sampel menurut Notoadmojo (2010) adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini siswa-siswi SD Negeri 1 Krawangsari kelas 1-4, Kecamatan Natar, Lampung Selatan yang memenuhi kriteria inklusi. Untuk mendapatkan jumlah sampel minimal maka digunakan rumus sampel seperti di bawah ini:

�= ��

Zα= 1,64 untuk penyimpangan 0,1 p=Proporsi dalam populasi0,6

(60)

41

Berdasarkan rumus tersebut dan kemungkinan drop out sampel yang akan diteliti adalah sebanyak 34 subjek penelitian. Teknik sampling dalam penelitian ini adalah total sampling dikarenakan jumlah populasi hanya 56 subjek penelitian, sedangkan subjek penelitian harus berada dalam kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut:

a. Kriteria inklusi:

 Siswa dan orang tua yang bersedia mengikuti penelitian ditandai

dengan penandatanganan form inform consent oleh orang tua b. Kriteria eksklusi:

 Data tidak lengkap (tidak mengembalikan pot tinja atau tidak

mengumpulkan kuesioner)

 Siswa serta orang tua yang mengundurkan diri ketika penelitian.

3.4. Variabel Penelitian

3.4.1. Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah infeksi soil transmitted helminth (STH) pada anak kelas 1-4 di SD Negeri 1 Krawangsari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan.

3.4.2. Variabel terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah risiko kejadian alergi pada anak kelas 1-4 berdasarkan kuesioner ISAAC di SD Negeri 1 Krawangsari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan.

(61)

42

3.5. Definisi Operasional

Tabel 2 Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala

(62)

43

3.6. Pengumpulan Data

3.6.1. Jenis Data

Pengambilan data berupa data primer berupa wawancara langsung dan tidak langsung pada orang tua responden dan mengambil sampel tinja responden di SD Negeri 1 Krawangsari, Kecamatan Natar, Lampung Selatan.

3.6.2. Alat dan bahan penelitian

Alat dan bahan penelitan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, lembar identitas dan data responden, kuesioner ISAAC, pot tinja, mikroskop, formalin 10%, cover glass, tabung reaksi, tabung, pengaduk, larutan natrium klorida jenuh.

3.7. Cara Pengambilan Data

Pengambilan data berupa identitas responden, wawancara langsung dengan kuesioner ISAAC dan sampel tinja. Adapun proses pengambilan data meliputi:

a. Permohonan izin mengambil data responden kepada komisi etik Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

b. Permohonan izin mengambil data responden kepada kepala sekolah SD Negeri 1 Krawangsari, Natar, Lampung Selatan

(63)

44

d. Penjelasan mengenai maksud dan tujuan penelitian kepada orang tua siswa

e. Informed Consent dan Pengisian form Informed Consent oleh orang tua siswa

f. Pengisian kuesioner secara terbimbing oleh orang tua siswa dengan menggunakan kuesioner ISAAC bahasa indonesia yang digunakan untuk mengidentifikasi alergi pada anak

g. Membagikan pot untuk sampel tinja dan penginstruksian untuk mengambil tinja untuk tidak terkontaminasi air dan urin, menyimpan pada tempat yang sejuk dan mencatat waktu pengambilan tinja (Andiarsa et al., 2013)

h. Pengambilan tinja dan sampel tinja diberi formalin 10%

i. Membuat larutan NaCl jenuh dan memeriksa sampel tinja di mikroskop dengan metode apung di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

j. Menganalisis data yang telah diperoleh

k. Melakukan uji statistik terhadap variabel yang diteliti dengan menggunakan perangkat lunak komputer

l. Membaca dan menginterprestasikan hasil uji statistik.

3.8 Pengolahan dan Analisis Data

3.8.1. Pengolahan Data

(64)

45

lunak komputer. Proses pengolahan data menggunakan program komputer ini terdiri dari beberapa langkah :

a. Coding, untuk mengkonversikan (menerjemahkan) data yang dikumpulkan selama penelitian ke dalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis.

b. Data entry, memasukkan data dalam ke dalam komputer.

c. Verifikasi, melakukan pemeriksaan secara visual terhadap data yang telah dimasukkan ke komputer.

d. Output komputer, hasil analisis yang telah dilakukan komputer kemudian dicetak.

3.8.2. Analisis Data

Analisis statistika untuk mengolah data yang diperoleh akan menggunakan program software statistik pada komputer dimana akan dilakukan dua macam analisa data, yaitu analisa univariat dan analisa bivariat.

1. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan distribusi frekuensi setiap variabel penelitian. Variabel yang dianalisis yaitu infeksi soil transmitted helminth sebagai variabel bebas dan risiko kejadian alergi sebagai variabel terikat.

2. Analisis Data Bivariat

(65)

46

penelitian ini adalah uji Chi Square (χ2) untuk menjelaskan hubungan antara infeksi soil transmitted helminth dengan risiko kejadian alergi pada anak. Perhitungan oods ratio (OR) digunakan untuk mengetahui besar risiko dan dihitung dengan menggunakan tabel 2X2.

3.9. Alur Penelitian

Adapun alur penelitian dari penilitian ini adalah sebagai berikut:

Gambar 13. Alur Penelitian

Survei Pendahuluan dan Pembuatan Proposal

Seminar Proposal

Pengajuan ethical clearance

Permohonan izin untuk mengambil data subjek penelitian

Mengisi kuesioner dengan wawancara pada orang tua responden dan memberikan pot tempat tinja

Mengambil sampel tinja dan melakukan pemeriksaan tinja dengan menggunakan metode apung/ floatation

Menentukan sampel sesuai dengan kriteria inklusi

Pengolahan data

Analisis data

(66)

47

3.10. Etika Penelitian

(67)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari penelitian ini:

1. Prevalensi Infeksi Soil Transmitted Helminth (STH) pada anak kelas 1-4 SD Negeri 1 Krawangsari, Natar, Lampung Selatan sebesar 50%.

2. Prevalensi riwayat penyakit alergi berdasarkan kuesioner ISAAC pada anak kelas 1-4 SD Negeri 1 Krawangsari, Natar, Lampung Selatan sebesar 33,3%.

3. Terdapat hubungan antara infeksi STH dengan risiko kejadian alergi pada anak SD kelas 1-4 di SD Negeri 1 Krawangsari, Natar, Lampung Selatan (p=0,077).

5.2. Saran

Adapun dari kesimpulan di atas maka saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini yaitu:

(68)

64

dan sebaiknya disertai pemeriksaan alergi yang lebih sensitif dan spesifik untuk menunjang kuesioner.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar bagi pemerintah untuk pengendalian infeksi kecacingan pada anak sekolah.

3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar bagi pihak sekolah untuk mengadakan promosi kesehatan untuk mencegah infeksi kecacingan dan bahaya kecacingan.

(69)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed A, Al-Mekhlafi HM, Al-adhroey AH, Ithoi I, Abdulsalam AM, Surin J. 2012. The nutritional impacts of soil-transmitted helminths infections among Orang Asli schoolchildren in rural Malaysia. Parasite Vector. 5(119):1–9.

Albonico M, Allen H, Chitsulo L, Engels D, Gabrielli AF, Savioli L. 2008. Controlling Soil-Transmitted Helminthiasis in Pre-School- Age Children through Preventive Chemotherapy. PLoS Neg Trop Dis. 2(3):1–11.

Alelign T, Degarege A. dan Erko B. 2015. Soil-Transmitted Helminth Infections and Associated Risk Factors among Schoolchildren in Durbete Town , Northwestern Ethiopia. J Parasitol Res. 2015:1–6.

Amarasekera M, Gunawardena NK, de Silva NR, Douglass JA, O’Hehir RE, Weerasinghe A. 2012 Impact of helminth infection on childhood allergic diseases in an area in transition from high to low infection burden. Asia Pac Allergy. 2(2):122-128.

Andiarsa D, Meliyanie G dan Hidayat S. 2013. Alergi dan infeksi cacing pada anak Sekolah Dasar Negeri Kampung Baru Kecamatan Kusan Hilir Kabupaten Tanah Bumbu dengan status sosial ekonomi yang berbeda. Jurnal Buski:4(3):115– 120.

Andiarsa D. 2015. Atopic disorders in school children in Indonesia: A study on characteristics and Helminth infections. Int J Med Health Sci. 4(2):202–205. ASM Microbe Library, 2014. Ascaris lumbricoides Development.Tersedia dari:

http://www.microbelibrary.org/library/disease/3674-ascaris-lumbricoides-development [Diakses 10 Juli 2015].

Bacharier LB, Boner A, Carlsen KH, Eigenmann PA, Frischer T, Gotz M et al. 2008. Diagnosis and treatment of asthma in childhood: a PRACTALL consensus report. Allergy. 63(1):5–34. Hlm. 383-387

(70)

Bethony J, Brooker S, Marco A, Geiger SM, Loukas A, Dierment D et al. 2006. Soil-transmitted helminth infections : ascariasis , trichuriasis , and hookworm. Lancet. 367:1521–32.

Bratawidjaja KG dan Rengganis I. 2009. Imunologi dasar Edisi Ke-1. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Brooker S, Clements ACA dan Bundy DAP. 2006. Global epidemiology, ecology and control of soil-transmitted helminth infections. Adv Parasitol. 62(05):221– 261.

Cabada MM, Goodrich RM, Graham B, Villanueva-meyer PG, Deichsel EL, Lopez M et al. 2015. Prevalence of intestinal helminths , anemia , and malnutrition in Paucartambo , Peru. Rev Panam Salud Publica. 37(2):69–75. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2013a. Parasites - Soil-transmitted Helminths (STHs).Tersedia dari: http://www.cdc.gov/parasites/sth/ [Diakses 09 Juli 2015]

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2013b. Ascariasis (Ascaris lumbricoides). Tersedia dari: http://www.cdc.gov/dpdx/ascariasis/gallery.html [Diakses 10 Juli 2015].

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2013c. Parasites - Trichuriasis (also known as Whipworm Infection). Tersedia dari: http://www.cdc.gov/parasites/whipworm/ [Diakses 10 Juli 2015].

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2013d. Parasites - Hookworm. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/parasites/hookworm/ [Diakses 10 Juli 2015].

Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2015. Parasites - Ascariasis. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/parasites/ascariasis.html [Diakses 09 Juli 2015] Cooper PJ, Chico ME, Rodrigues LC,Ordonez M, Strachan D, Griffin GE. 2003. Reduced risk of atopi among school-age children infected with geohelminth parasites in a rural area of the tropics. J Allergy Clin Immunol.111(5):995–1000. Cooper PJ. 2009. Interactions between helminth parasites and allergy Helminth parasites. Curr Opin Allergy Clin Immunol. 9(1):29–37.

Davey G, Venn A, Belete Y, Berhane, Britton J. 2005. Wheeze, allergic, sensitazion and geohelminth infection in Butajira, Ethiopia. Clin Exp Allergy.35(3):301–307.

(71)

Departemen Kesehatan (Depkes) RI. 2009. Riset Kesehatan Dasar ( Riskesdas ) Provinsi Lampung Tahun 2007.Lampung: Badan Litbang Kesehatan:74-75. Direktorat Jenderal PP&PL Kemenkes RI. 2013. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2012. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia: 112-113.

Ellwood P, Asher MI, Beasley R, Clayton TO, Stewart AW dan ISAAC Steering Committe. 2005. The International Study of Asthma And Allergies in Childhood: Phase Three rationale and methode. Int J Tuberc Lung Dis. 9(1):10-16.

Fallon PG dan Mangan NE. 2007. Suppression of TH2-type allergic reactions by helminth infection. Nat rev Immunol. 7(3):220–230.

Faridan K, Marlinae L dan Audhah NAL. 2013. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian kecacingan pada siswa Sekolah Dasar Negeri Cempaka 1 Kota Banjarbaru. Jurnal Buski. 4(3):121–127.

Ghaffar A. 2015. Parasitology chapter four nematodes (round worms). University of south carolina school of medicine. Tersedia dari: http://www.microbiologybook.org/parasitology/nematodes.html [Diakses 10 Juli 2015].

Gorozave-Car K, Barazza-Villarreal A, Escamillia-nunez C, Hernandez-Cadena, Sanin-Aguirre LH, Cortez-lugo M et al. 2013. Validation of the ISAAC Standardized Questionnare Used by Schoolchildren from Mexicali, Baja California, Mexico. Epidemiol Res Int. 2013:1–6.

Gupta S dan Ang J. 2015. Whipworm. Medscape. Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com/article/1000631-overview#a4 [Diakses 18 Agustus 2015].

Haburchak D dan Dhawan V. 2014. Hookworm Disease. Medscape. Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com/article/218805-overview#a2 [Diakses 18 Agustus 2015].

Hotez PJ. 2011. Hookworm (Necator americanus and Ancylostma spp.). Dalam: RM. Kliegman et al., penyunting. Nelson Textbook of pediatrics Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders. Hlm. 1218–1219.

Ibidapo CA dan Okwa O. 2008. The prevalence and intensity of soil transmitted helminths in a rural community, Lagos suburb, South West Nigeria. Int J Agric Biol. 10(1):89–92.

(72)

ISAAC. 2013. Aims of ISAAC. International Study of Asthma and Allergies in Childhood. Tersedia dari: http://isaac.auckland.ac.nz/story/background/aims.php. [Diakses 11 Juli 2015].

ISAAC Steering Committee. 1993. International Study of Asthma and allergies in Childhood Manual Second Edition. Auckland: ISAAC. Hlm 1-36

ISAAC Sterring Committee. 2000. Phase Three Manual International Study of Asthma and Allergies of Childhood:15-37.

Joprang FS. dan Supali T. 2008. Peran Cacing Usus dalam Menekan Atopi. Majalah Kedokteran FK UKI. XXVI(1):17–23.

Kaliappan SP, George S, Francis MR, Kattula D, Sarkar R, Minz S et al. 2013. Prevalence and clustering of soil-transmitted helminth infections in a tribal area in southern India. Trop Med Int Health. 18(12):1452–1462.

Kazura JW dan Dent AE. 2011. Trichuriasis (Trichuris trichiura). Dalam: RM. Kliegman et al., penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics Edisi Ke-19. United States Of America: Elsevier Ltd. Hlm. 1221–1222.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). 2011. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:2269/Menkes/Per/XI/2011: Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). 2014. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Kholid Y. 2013. Prevalensi dan Faktor Resiko Kejadian Rinitis Alergi Pada Usia 13-14 Tahun di Ciputat Timur dengan Menggunakan Kuesioner International Study of Asthma and Allergy in Childhood (ISAAC) Tahun 2013 [Skripsi]. Jakarta:Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Leung DYM. 2011. Allergy and the Immunologic Basis of Atopic Disease. Dalam: RM. Kliegman et al., penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics Edisi Ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders. hlm. 742–745.

Levecke B, Behnke JM, Ajjampur SSR, Albonico M, Ame SM, Charlier J et al. 2011. A Comparison of the Sensitivity and Fecal Egg Counts of the McMaster Egg Counting and Kato-Katz Thick Smear Methods for Soil-Transmitted Helminths. PLoS Neg Trop Dis. 5(6).

(73)

Li F, Zhou Y, Li S, Jiang F, Jin X, Yan C et al. 2011. Prevalence and risk factors of childhood allergic diseases in eight metropolitan cities in China : A multicenter study. BMC Public Health. 11(1):437.

Liu AH, Spahn JD. dan Leung DYM. 2011. Childhood Asthma. Dalam: M. Kliegman et al., penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics Edisi Ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders. hlm. 760–770.

Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. 2012. Chapter 217. Intestinal Nematode Infection. Dalam Harrison’s Principles of Internal Medicine 18th edition.New York: McGraw Hill

Maharani AP dan Sofiana L. 2014. Validitas metode apung pemeriksaan kecacingan pada anak sekolah dasar. Medika Respati. 9(4):1–9.

Mcsorley HJ dan Maizels RM. 2012. Helminth Infections and Host Immune Regulation. Clin Microbiol Rev. 25(4):585–608.

Menzies SK, Rodriguez A, Chico M, Sandoval C, Broncano N, Guadalupe I et al. 2014. Risk Factors for Soil-Transmitted Helminth Infections during the First 3 Years of Life in the Tropics; Findings from a Birth Cohort. PLoS Neg Trop Dis. 8(2).

Milgrom H dan Leung DYM. 2011. Allergic Rhinitis. Dalam: RM. Kliegman et al., penyunting Nelson Textbook of Pediatrics Edisi Ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders. hlm. 759–760.

Mullin R, Cook M, Douglass J, Mallon D, Smith MJ, Wong M. 2007. The economic impact of allergic disease in Australia: not to be sneezed at, Australia. Australasian Society of Clinical Immunology and Allergy (ASCIA).

Nataprawira HMD. 2013. Diagnosis Asma Pada Anak. Dalam: N. N. Rahajoe, B. Supriyatno dan D. B. Setyanto, eds. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.114–115.

Nency YM. 2005. Prevalensi dan Faktor Risiko Alergi Pada Anak Usia 6-7 Tahun di Semarang [tesis]. Semarang: Universitas Diponegoro.

Papadopoulos NG, Arakawa H, Carlsen KH, Custovic, Gern J, Lemanske R et al. 2012. International consensus on (ICON) pediatric asthma. Allergy: Allergy. 67(8):976–997.

(74)

Paramita OD, Harsoyo N dan Setiawan H. 2013. Hubungan Asma, Rinitis Alergik, Dermatitis Atopik dengan IgE Spesifik Anak Usia 6-7 Tahun. Sari Pediatri. 14(6):391–397.

Patel SS dan Kazura JW. 2012. Ascariasis (Ascaris lumbricoides). Dalam: RM. Kliegman et al., penyunting. Nelson Textbook of pediatrics Edisi Ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders. hlm. 1155–1159.

PATH. 2010. New diagnostic tests for soil-transmitted helminthiasis, Seattle, USA:1-2.

Pemerintah daerah (Pemda) Kabupaten Lampung Selatan. 2012. Buku Putih Sanitasi Program Percepatan Pembangunan Kabupaten Lampung Selatan. Lampung Selatan: Tim Penyusun Pokja Sanitasi Kabupaten Lampung Selatan. Pemda Kabupaten Lampung Selatan.

Phathammavong O, Ali M, Phengsavanh A, Xaysomphou D, Odajima H, Nishmia S et al. 2008. Prevalence and potential risk factors of rhinitis and atopic eczema among schoolchildren in Vientiane capital, Lao PDR: ISAAC questionnaire. BioSci Trends. 2(5):193–199.

Pols DHJ, Wartna JB, Van Alphen EI, Moed H, Bindels PJE, Rasenberg N. 2015.

Interrelationships between Atopic Disorders in Children : A Meta-Analysis Based

on ISAAC Questionnaires. PLoS ONE. 10(7):1–15.

Prevatt N. 2011. Soil Transmitted Helminths. Atic Newsletter. 18(1): 1–3.

Reiss D, Harrison LM, Bungiro R dan Capello M. 2007. Short report: An agar plate method for culturing hookworm larvae: Analysis of growth kinetics and infectivity compared with standard coproculture techniques. Am J Trop Med Hyg. 77(6):1087–1090.

Requena-Méndez A, Chiodini P, Bisoffi Z, Buonfrate D, Gotuzzo E, Munoz J. 2013. The Laboratory Diagnosis and Follow Up of Strongyloidiasis: A Systematic Review. PLoS Neg Trop Dis. 7(1):1–10.

Ridley JW. 2012. Intestinal Nematode. Dalam: Parasitology for medical and clinical laboratory professionals. New York: Delmar Cengage Learning. hlm. 139–150.

Rusjdi SR. 2015. Tinjauan Pustaka Infeksi Cacing dan Alergi. JKA. 4(1):322– 325.

(75)

Sanchez-Lerma B, Morales-chirivella FJ, Peñuelas I, Guerra CB, Lugo FM, Aguinaga-Ontoso I et al. 2009. High Prevalence of Asthma and Allergic Diseases in Children Aged 6 and 7 Years From the Canary Islands : The International Study of Asthma and Allergies in Childhood. J Investig Allergol Clin Immunol.19(5):383–390

Schwartz RAMMP. 2015. Pediatric Dermatitis Atopic. Medscape. Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com/article/911574-overview#showall. [Diakses 12 Juli 2015].

Shahid SB, Chowdhury A, Shamsuzzaman SM dan Mamun KZ. 2012. Identification of Hookworm Species in Stool By Harada Mori Culture. Bangladesh J Med Microbiol. 4(2):3–4.

Sharma GD. 2014. Pediatric Asthma. Medscape. Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com/article/1000997-overview#showall. [Diakses 10 Juli 2015].

Shoff W dan Shoff C. 2015. Pediatric Ascariasis. Medscape. Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com/article/996482-overview#a4 [Diakses 18 Agustus 2015].

Sitcharungsi R dan Sirivichayakul C. 2013. Allergic diseases and helminth infections. Pathog Glob Health. 107(3):110–115.

Smits HH, Everts B, Hartgers FC dan Yazdanbakhsh M. 2010. Chronic helminth infections protect against allergic diseases by active regulatory processes. Curr Allergy Asthma Rep. 10(1):3–12.

Soedarmo SSP, Garna, Hadinegoro SRS, Satari HI. 2012. Penyakit Infeksi Parasit. Dalam: Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis edisi kedua. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI. Hlm. 370–384.

Suchdev PS, Davis SM, Bartoces SM, Ruth LJ, Worrel CM, Kanyi H et al. 2014. Soil-Transmitted Helminth Infection and Nutritional Status Among Urban Slum Children in Kenya. J Trop Med. 90(2):299–305.

Sularsito SA dan Djuanda S. 2013. Dermatitis. Dalam: APD. dr. Djuanda, M. dr. Hamzah, dan SPD. dr Aisah, penyunting. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm. 136–147.

Supali T, Margono SS dan Abidin SAN. 2008. Nematoda Usus. Dalam: I. Sutanto et al., penyunting. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hlm. 6–24.

Gambar

Gambar
Tabel                                                                                                            Halaman
Gambar 1. Telur A. lumbricoides inferrtil (CDC, 2013b)
Gambar 2. Telur A. lumbricoides fertil (ASM Microbe Library, 2014)
+7

Referensi

Dokumen terkait