• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG KECACINGAN DAN JENJANG KELAS DENGAN KEJADIAN KECACINGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) PADA SISWA KELAS 4, 5, DAN 6 SD NEGERI 1 PINANG JAYA BANDAR LAMPUNG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG KECACINGAN DAN JENJANG KELAS DENGAN KEJADIAN KECACINGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) PADA SISWA KELAS 4, 5, DAN 6 SD NEGERI 1 PINANG JAYA BANDAR LAMPUNG"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG KECACINGAN DAN JENJANG KELAS DENGAN KEJADIAN KECACINGAN

SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) PADA SISWA KELAS 4, 5, DAN 6 SD NEGERI 1 PINANG JAYA

BANDAR LAMPUNG

(Skripsi)

Oleh

NOLANDA TRIKANTI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

Nolanda Trikanti

ABSTRACT

CORRELATION BETWEEN KNOWLEDGE OF HELMINTHIASIS AND GRADES WITH SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) INFECTION IN GRADE 4, 5, AND 6 OF ELEMENTARY SCHOOL 1 PINANG JAYA

BANDAR LAMPUNG

B y

NOLANDA TRIKANTI

The prevalence of STH infection in the world is still relatively high. In Indonesia, prevalence of STH infection which is around 32.6% in 2006. Knowledge and grades does influence the behavior. Lack of knowledge about self-hygiene, environment, and helminthiasis makes them easier to be infected by STH. Objective of this research was to get correlation between knowledge of helminthiasis and grades with STH infection in grade 4, 5, and 6 Elementary School 1 Pinang Jaya Bandar Lampung.

(3)

Nolanda Trikanti

The research outcome showed that there was correlation between knowledge of

helminthiasis and STH infection, p value = 0.001. There was no correlation between grades and STH infection, p value = 1.000.

(4)

Nolanda Trikanti

ABSTRAK

HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG KECACINGAN DAN JENJANG KELAS DENGAN KEJADIAN KECACINGAN SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) PADA SISWA KELAS 4, 5, DAN 6

SD NEGERI 1 PINANG JAYA BANDAR LAMPUNG

O l e h

NOLANDA TRIKANTI

Kejadian kecacingan STH di dunia masih relatif tinggi. Di Indonesia, prevalensi kecacingan STH sebesar 32,6% pada tahun 2006. Pengetahuan dan jenjang kelas akan mempengaruhi perilaku. Kurangnya pengetahuan tentang pentingnya kebersihan diri, lingkungan, serta infeksi cacing, memudahkan anak tersebut terinfeksi olehSTH. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan tentang kecacingan dan jenjang kelas dengan kejadian kecacingan STH pada siswa kelas 4, 5, dan 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya, Bandar Lampung.

Desain penelitian ini adalah cross-sectional dengan proportional random sampling pada 79 siswa di bulan Oktober 2012. Kejadian kecacingan STH diidentifikasi dari pemeriksaan feses menggunakan metode konsentrasi, yang dikategorikan pada terinfeksi dan tidak terinfeksi. Identifikasi pengetahuan siswa diperoleh dari wawancara menggunakan kuesioner dengan 14 pertanyaan, yang dikategorikan dalam pengetahuan baik dan kurang. Uji statistik menggunakan uji

Chi-Square dengan α < 0,05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan tentang kecacingan dengan kejadian kecacingan STH, nilai p = 0,001. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenjang kelas dengan kejadian kecacingan STH, nilai p = 1,000.

Kata Kunci: Pengetahuan, Jenjang Kelas, Kecacingan Soil Transmitted Helminth

(5)

HUBUNGAN PENGETAHUAN TENTANG KECACINGAN DAN JENJANG KELAS DENGAN KEJADIAN KECACINGAN

SOIL TRANSMITTED HELMINTH (STH) PADA SISWA KELAS 4, 5, DAN 6 SD NEGERI 1 PINANG JAYA

BANDAR LAMPUNG

Oleh

NOLANDA TRIKANTI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(6)

Judul Skripsi : Hubungan Pengetahuan tentang Kecacingan dan Jenjang Kelas dengan Kejadian

Kecacingan Soil Transmitted Helminth (STH) pada Siswa Kelas 4, 5, dan 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya Bandar Lampung

Nama Mahasiswa : Nolanda Trikanti Nomor Pokok Mahasiswa : 0918011067 Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran

MENYETUJUI, 1. Komisi Pembimbing

dr. Betta Kurniawan, M.Kes. dr. TA Larasati, M.Kes. NIP. 19781009205011001 NIP. 197707182005012003

2. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

(7)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : dr. Betta Kurniawan, M.Kes.

Sekretaris : dr. TA Larasati, M.Kes.

Penguji

Bukan Pembimbing : Dra. Endah Setyaningrum, M. Biomed.

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. Sutyarso, M. Biomed. NIP. 195704241987031001

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bengkulu pada tanggal 20 November 1990, putri ketiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak H. Sukarman, M. Kes. dan Ibu Hj. Netty Herawati, M.M.

Jenjang pendidikan penulis diawali dari TK Dharma Wanita Kota Bengkulu, SD Negeri 52 Kota Bengkulu tahun 1997-2003. SMP Negeri 2 Kota Bengkulu pada tahun 2003-2006. SMA Negeri 2 Kota Bengkulu pada tahun 2006-2009.

(9)

Dengan penuh rasa syukur pada Ilahi Robbi,

Kupersembahkan Skripsi ini untuk orang-orang terkasih,

yang selalu kusayangi dan menyayangiku...

Untuk Papa, Mama, kakak-kakakku,

keluarga besarku, serta almamaterku

(10)

SANWACANA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang telah melimpahkan nikmat dan karunia–Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beserta salam semoga senantiasa tercurah kepada suri tauladan dan nabi akhir zaman Rasulullah Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabatnya, dan kita selaku umatnya sampai akhir zaman.

Skripsi berjudul ”Hubungan Pengetahuan tentang Kecacingan dan Jenjang Kelas dengan Kejadian Kecacingan Soil Transmitted Helminth

(STH) pada Siswa Kelas 4, 5, dan 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya Bandar

Lampung” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung.

Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis haturkan kepada semua pihak yang telah berperan, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan, antara lain kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Hi. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung.

(11)

3. dr. Betta Kurniawan, M. Kes., selaku Pembimbing Utama atas semua bantuan, saran, bimbingan, pengarahan, dan waktu dalam penyusunan skripsi ini. 4. dr. TA Larasati, M. Kes., selaku Pembimbing Kedua atas semua bantuan,

saran, bimbingan, pengarahan, dan waktu dalam penyusunan skripsi ini. 5. Dra. Endah Setyaningrum, M. Biomed., selaku pembahas yang telah

memberikan banyak masukan dan nasihat selama penyelesaian skripsi ini. 6. dr. Syazili Mustofa, selaku Pembimbing Akademik, terima kasih atas nasihat,

saran, dan bimbingannya.

7. Bapak dan Ibu Staff Administrasi, Akademik, dan TU FK Unila, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama ini.

8. Pihak SD Negeri 1 Pinang Jaya, Bandar Lampung, terima kasih atas bantuan dan kerjasama dalam pengambilan data penelitian.

9. Papa (H. Sukarman, M. Kes.), Mama (Hj. Netty Herawati, M.M.), kakak-kakakku Aldian Reva Kurniado, S. T. dan Rachmat Muchbianto, M.M., kakak-kakak iparku drg. Rizkha Ramadania dan Peny Apriani, S.E., serta keponakanku Yumnasela Aisyah, yang selalu memberikan kasih sayang, cinta, doa, semangat, motivasi, nasihat, bantuan, serta kehangatan keluarga.

10.Keluarga besar dari kakek (Alm. Oemar Samil) dan datuk (Alm. Salamun) yang selalu memberi semangat, doa, nasihat, serta kehangatan keluarga.

11.Teman sepenelitian, Shinta Trilusiani dan R. A. Siti Marhani, terima kasih untuk semua bantuan, masukan, dan kerjasamanya.

(12)

13.Kakak Ihsanur Ridha, S. Ked., terimakasih atas waktu, kesabaran, motivasi, semangat, doa, dan bantuan yang selalu diberikan.

14.Terima kasih kepada teman-teman yang senantiasa membantu selama penelitian, Wida, Difitasari, Nora, Nurul, Gina, Annida, Raissa, Harli, Nabila, Hilman, Evi, Cici, Intan .P.P, Riska, Fahmi, Widi, Kak Heru.

15.Mas Bayu, Pak Sahrudin, Pak Ma’mun, Pak Pangat, Mbak Romi, Mbak Mega, Mbak Lutfi, Mbak Zeta, terima kasih atas bantuan dan kerja samanya.

16.Teman-teman yang sama-sama berjuang di organisasi, baik di BEM FK UNILA, PMPATD PAKIS Rescue Team, FSI Ibnu Sina, dan ISMKI Wilayah 1 (Sumatera), terima kasih atas keakraban dan kerja sama yang diberikan. 17.Teman-teman Asisten Dosen Anatomi angkatan 2009, M. Rizki D. M,

Muslim, Debora, Ummi, Febrina Dwiyanti, Kharisma, Iqbal Shidiq, terima kasih atas keakraban dan kerja sama yang telah kalian berikan.

18.Teman-teman Kedokteran 2009 (Dorlan), teman seperjuangan selama menuntut ilmu di FK UNILA, terima kasih atas kerja sama dan kebersamaan yang kita lalui. SATU KEDOKTERAN SATU!!!

19.Seluruh Civitas Akademika FK UNILA yang tidak dapat disebutkan satu– persatu.

Akhir kata, Penulis menyadari skripsi ini jauh dari kesempurnaan, tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua. Penulis juga berdoa semoga segala bantuan yang diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Amin.

Bandar Lampung, Januari 2013

(13)

iv

D. Pencegahan dan Pemberantasan STH ... 28

E. Dampak Kecacingan terhadap Anak Usia Sekolah ... 28

(14)

v III. METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian ... 32

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 32

C. Populasi dan Sampel ... 33

D. Variabel Penelitian ... 34

E. Definisi Operasional ... 35

F. Prosedur Penelitian ... 36

G. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 37

H. Pengumpulan Data ... 37

I. Pengolahan dan Analisis Data ... 38

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 40

B. Pembahasan ... 49

V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 61

B. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63

(15)

vi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Taksonomi Soil Transmitted Helminth (STH) ... 14

2. Jumlah Sampel pada tiap Kelas berdasarkan Proporsi ... 34 3. Definisi Operasional... 35

4. Distribusi Frekuensi Pendidikan Terakhir Orang Tua dari Siswa Kelas 4, 5, dan 6 SDN 1 Pinang Jaya Bandar Lampung ... 41

5. Distribusi Frekuensi Pendidikan Terakhir Orang Tua dengan Kejadian Kecacingan STH pada Siswa Kelas 4, 5, dan 6 SDN 1 Pinang Jaya Bandar Lampung ... 42

6. Distribusi Frekuensi Penghasilan Orang Tua dari Siswa Kelas 4, 5, dan 6

SDN 1 Pinang Jaya Bandar Lampung………...42

7. Distribusi Frekuensi Penghasilan Orang Tua dengan Kejadian Kecacingan STH pada Siswa Kelas 4, 5, dan 6 SDN 1 Pinang Jaya Bandar Lampung...43

8. Distribusi Frekuensi Pengetahuan tentang Kecacingan pada Siswa Kelas 4, 5, dan 6 SDN 1 Pinang Jaya Bandar Lampung ... 43

9. Distribusi Frekuensi Pengetahuan tentang Kecacingan setiap Jenjang Kelas pada Siswa Kelas 4, 5, dan 6 SDN 1 Pinang Jaya Bandar Lampung ... 44

10. Distribusi Frekuensi Jenjang Kelas pada Siswa Kelas 4, 5, dan 6 SDN 1

Pinang Jaya Bandar Lampung………...45

(16)

vii

12. Distribusi Frekuensi Kejadian Kecacingan STH setiap Jenjang Kelas pada Siswa Kelas 4, 5, dan 6 SDN 1 Pinang Jaya Bandar Lampung ... 46

13. Identifikasi Cacing pada Kejadian Kecacingan STH Siswa Kelas 4, 5, dan 6 SDN 1 Pinang Jaya Bandar Lampung………...47

14. Tabulasi Silang Pengetahuan tentang Kecacingan dengan Kejadian

Kecacingan STH pada Siswa Kelas 4, 5, dan 6 SDN 1 Pinang Jaya Bandar Lampung ... 47

15. Tabulasi Silang Pengetahuan tentang Kecacingan dengan Kejadian

(17)

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Teori ... 7

2. Kerangka Konsep ... 8

3. Cacing A. lumbricoides betina dan jantan……….. 15

4. Telur A. lumbricoides fertil dan infertil... 16

5. Telur A. lumbricoides infektifdan decorticated ... 16

6. Siklus hidup A. lumbricoides ... 17

7. Cacing T. trichiurabetina dan jantan ……… 20

8. Telur T. trichiura………... 21

9. Siklus hidup T. trichiura……… 22

10. Ancylostoma duodenale dan Necator americanus ……… 24

11. Telur hookworm………... 24

12. Siklus hidup hookworm……….. 26

13. Metode Konsentrasi……… 31

14. Lingkungan SD Negeri 1 Pinang Jaya Bandar lampung……… 79

(18)

ix

16. Siswi SD Negeri 1 Pinang Jaya sedang bermain di tanah……… 79

17. Sampel penelitian……… 79

18. Hasil pemeriksaan mikroskopik telur cacing A. lumbricoides……… 80

19. Hasil pemeriksaan mikroskopik telur cacing A. lumbricoides……… 80

(19)

9

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengetahuan

1. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil pengindraan atau hasil tahu seseorang terhadap objek, melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indra pendengaran dan indra penglihatan (Notoatmodjo, 2010).

2. Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besar dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif, yaitu (Notoatmodjo, 2010) :

a. Tahu (know)

(20)

10

yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasi, menyatakan, dan sebagainya.

b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, dan meramalkan objek yang dipelajari.

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, dan prinsip dalam konteks atau situasi lain. d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dari penggunaan kata-kata kerja yaitu dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, dan mengelompokkan.

e. Sintesis (synthesis)

(21)

11

baru. Dengan kata lain, sintesis itu suatu kemampuan menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria-kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian. Indikator-indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat pengetahuan atau kesadaran terhadap kesehatan, dapat dikelompokkan menjadi (Notoatmodjo, 2010) :

a. Pengetahuan tentang sakit dan penyakit yang meliputi: 1) Penyebab penyakit

2) Gejala atau tanda-tanda penyakit

3) Bagaimana cara pengobatan atau kemana mencari pengobatan 4) Bagaimana cara penularannya

5) Bagaimana cara pencegahannya termasuk imunisasi, dan sebagainya

b. Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat, meliputi:

1) Jenis-jenis makanan yang bergizi

(22)

12

3) Pentingnya olahraga bagi kesehatan

4) Penyakit-penyakit atau bahaya merokok, minum-minuman keras, narkoba, dan sebagainya

5) Pentingnya istirahat cukup, relaksasi, rekreasi, dan sebagainya bagi kesehatan

c. Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan 1) Manfaat air bersih

2) Cara-cara pembuangan limbah yang sehat, termasuk pembuangan kotoran yang sehat dan sampah

3) Manfaat pencahayaan dan penerangan rumah yang sehat

4) Akibat polusi (air, udara, dan tanah) bagi kesehatan, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010).

3. Proses Pengetahuan

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Oleh karena itu, dari pengalaman dan penelitian, ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni ( Notoatmodjo, 2010) :

(23)

13

b. Merasa tertarik (interest) terhadap stimulus atau objek tersebut. Dalam hal ini sikap subjek sudah mulai terbentuk.

c. Menimbang-nimbang (evaluation) terhadap baik atau tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

d. Uji coba (trial), keadaan saat subjek mulai mencoba melakukan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.

e. Adopsi (adoption) dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Roger menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap tersebut. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini, dimana didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran, maka perilaku tersebut tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2010).

B. Jenjang Kelas

(24)

14

mengetahui dan memahami pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat. Pendidikan yang baik akan memperoleh pengetahuan yang baik, dan pengetahuan yang baik akan lebih mudah menentukan sikap yang baik serta mengambil langkah-langkah untuk berbuat sesuatu (Tjokke, 2007).

C. Soil Transmitted Helminth (STH)

Kecacingan STH ialah penyakit yang disebabkan karena masuknya parasit cacing STH ke dalam tubuh manusia. STH merupakan kelompok parasit nematoda yang menyebabkan infeksi pada manusia akibat tertelan telur atau kontak dengan larva yang berkembang pada tanah yang hangat dan basah di negara-negara subtropis dan tropis di berbagai belahan dunia. Berikut ini spesies-spesies STH yang paling sering menyebabkan infeksi kecacingan :

Tabel 1. Taksonomi Soil Transmitted Helminth (STH)

Taksonomi A. lumbricoides T. trichiura Hookworm

Sub kingdom Metazoa Metazoa Metazoa

Phylum Nemathelminthes Nemathelminthes Nemathelminthes

Kelas Nematoda Nematoda Nematoda

Sub kelas Phasmidia Ahasmidia Phasmidia

Ordo Ascaridia Enoplida Rhabtidia

Super famili Ascaridoidea Trichinellidae Rhabtitoidae dan Ancylostomatitidae Famili Ascaridae Trichuridae Ancylostomatitidae

dan Necator

Genus Ascaris Trichuris Ancylostoma dan

Necator Spesies A. lumbricoides T. trichiura A. duodenale dan

N. americanus

(25)

15

1. Ascaris lumbricoides

Askariasis adalah infeksi yang disebabkan oleh A. lumbricoides, yang merupakan nematoda usus terbesar. Angka kejadiannya di dunia lebih banyak dari infeksi cacing lainnya (Satari, 2010).

a. Morfologi

Hospes cacing ini hanyalah manusia. Cacing jantan berukuran 10-30 cm dengan diameter 2-4 mm, memiliki ujung belakang yang melengkung ke depan, dan spikulum. Cacing betina memiliki ukuran besar dan panjang yaitu 22-39 cm yang berdiameter 3-6 mm dengan kulit yang rata dan bergaris halus, berwarna coklat atau merah muda atau pucat, dan ujung bagian depan lebih ramping dibandingkan dengan ujung belakang.

Gambar 3. (a) A. lumbricoides betina (b) A. lumbricoides jantan (Prianto, J., dkk., 2006)

Cacing betina dapat bertelur sekitar 100.000-200.000 butir perhari. A. lumbricoides memiliki 4 macam telur yang dapat dijumpai di feses, yaitu :

1. Telur fertil(telur yang dibuahi), berukuran 60-75 x 40-50 mikron, warna coklat, dan mempunyai 3 lapis dinding yaitu lapisan vitteline lipoidal di bagian dalam, lapisan glikogen yang tebal dan

(26)

16

transparan, serta lapisan albuminoid yang tebal dan kasar di bagian terluar yang berfungsi sebagai "shock breaker".

2. Telur decorticated yaitu telur fertil yang telah kehilangan lapisan albuminnya sehingga hanya tertinggal 2 lapisan saja.

3. Telur infertil(telur yang tidak dibuahi), berukuran agak lebih besar daripada yang fertile dan lebih lonjong. Dinding hanya 2 lapis yaitu lapisan tengah (glikogen) dan lapisan terluar (albuminoid) saja yang berwarna coklat dan bentuk permukaannya tak teratur. 4. Telur infektif(telur yang mengandung larva)

Gambar 4: (a) Telur (pembesaran 40 x 10) A. lumbricoides fertil dan (b) infertil (Prianto, J., dkk., 2006)

Gambar 5 : (a) Telur (pembesaran 40 x 10) A. lumbricoides infektif dan (b) decorticated (Prianto, J., dkk., 2006)

b. Siklus Hidup

Siklus hidup cacing ini membutuhkan waktu 4-8 minggu untuk menjadi dewasa. Awalnya, cacing betina bertelur di dalam usus halus manusia kemudian dikeluarkan bersamaa feses waktu buang air besar. Telur yang dikeluarkan merupakan telur yang infertil dan telur fertil. Pada tanah yang lembab, berlumpur, dan teduh memudahkan

b a

(27)

17

pertumbuhan telur fertil menjadi telur infektif, biasanya butuh waktu kurang lebih 18 hari. Jika telur infektif tertelan oleh manusia akan masuk ke lumen usus kemudian di dalam usus telur menetas menjadi larva dan larva akan menembus mukosa usus melalui vena porta menuju hepar, kemudian melalui arteri hepatika masuk ke sirkulasi sistemik. Dari sirkulasi sistemik melalui vena-vena balik menuju jantung kanan yaitu atrium kanan kemudian ke ventrikel kanan dan masuk ke paru-paru melalui arteri pulmonalis lalu masuk ke kapiler. Dikarenakan ukuran larva lebih besar dari kapiler maka terjadi perdarahan di kapiler (lung migration) (Margono, 2008).

Migrasi berlangsung selama 10-15 hari sehingga larva dapat migrasi ke alveolus menuju bronkus, trakea, larink, faring. Di faring, larva menimbulkan rangsangan batuk yang kemudian tertelan masuk ke esofagus lalu menuju ke usus halus dan tumbuh menjadi cacing dewasa.Adapun gambaran siklus hidup cacing ini :

(28)

18

c. Epidemologi

Parasit ini ditemukan kosmopolit (di seluruh dunia) dan lebih sering ditemukan pada anak-anak. Survei yang dilakukan di beberapa tempat di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi Ascaris lumbricoides

masih cukup tinggi, sekitar 60-90% (Supali, 2008).

d. Patofisiologi

Infeksi ringan cacing ini biasanya ditandai dengan sedikit gejala atau tanpa gejala sama sekali. Kelainan patologi yang terjadi disebabkan oleh dua stadium sebagai berikut (Strickland, G.T., 2000) :

1. Kelainan oleh larva, yaitu efek larva yang bermigrasi di paru (manifestasi pernapasan). Gejala yang timbul berupa demam,

dyspneu, batuk, malaise, bahkan pneumonia. Sianosisdan takikardi dapat ditemukan pada tahap akhir infeksi. Semua gejala ini dinamakan Ascaris Pneumonia atau Syndroma Loffler, dengan triasnya :

- demam, batuk, sesak disertai dahak yang berdarah dan kadang-kadang berisi larva dari cacing.

- pada pemeriksaan darah tepi ditemukan eosinophilia.

- larva cacing juga dapat menimbulkan kelainan pada organ-organ lain, tergantung dari lokalisasinya.

(29)

19

zat gizi seperti karbohidrat dan protein. Selain itu, cacing ini dapat memetabolisme vitamin A sehingga menyebabkan defisiensi vitamin A dan anemia ringan (Mahmoud, 2007).

e. Gejala Klinis dan Diagnosis

Gejala kecacingan memang tidak nyata dan sering dikacaukan dengan penyakit lain. Pada permulaan mungkin ada batuk-batuk dan

eosinophilia. Anak yang menderita cacingan biasanya lesu, tidak bergairah, dan konsentrasi belajar menurun. Pada anak-anak yang menderita askariasis, perutnya terlihat buncit dikarenakan jumlah cacing, matanya pucat dan kotor seperti sakit mata, serta batuk pilek. Perut sering sakit, diare, dan nafsu makan berkurang. Oleh karena gejala klinis yang tidak khas, perlu diadakan pemeriksaan tinja untuk membuat diagnosis yang tepat, yaitu dengan menemukan telur cacing di dalam tinja tersebut. Jumlah telur juga dapat digunakan sebagai pedoman untuk menentukan beratnya infeksi. Selain itu, diagnosis juga dapat ditegakkan jika dijumpai cacing dewasa keluar bersama feses, muntah, melalui hidung, ataupun melalui pemeriksaan radiologi dengan kontras barium (Satari, 2010).

f. Pengobatan

(30)

20

2. Trichuris trichiura

Trikuriasis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh T. trichiura

(cacing cambuk) yang hidup di usus besar manusia khususnya caecum. Cacing ini merupakan penyebab infeksi cacing kedua terbanyak pada manusia di daerah tropis (Strickland, G.T. dkk, 2000).

a. Morfologi

T. trichiura hidup di colon ascenden dengan bagian anteriornya masuk ke dalam mukosa usus. Berbentuk seperti cambuk dengan 2/5 bagian

posterior tubuhnya tebal seperti tangkai cambuk dan 3/5 bagian

anterior yang kecil seperti rambut. Cacing jantan panjangnya ± 3-4 cm dengan ujung posterior yang melengkung ke ventral dan mempunyai

spikula dan sheath yang retraktil. Cacing betina lebih panjang daripada jantan, berukuran 3,5-5 cm dengan ujung posterior yang tumpul dan membulat. Baik jantan maupun betina mempunyai esofagus yang ramping, sepanjang ± 3/5 bagian anterior tubuhnya. Bentuk esofagus khas dan disebut dengan type "stichosoma oesophagus" (Prianto, J., dkk., 2006).

(31)

21

Telur berukuran 30–54 x 23 mikron dengan bentuk lonjong seperti tong (barrel shape) dengan dua mucoid plug pada kedua ujung yang berwarna transparan atau berbentuk seperti tempayan. Cacing betina diperkirakan dapat menghasilkan telur sekitar 3.000-5.000 butir/hari. Telur yang dibuahi dikeluarkan bersama tinja dan menjadi matang dalam waktu 3–6 minggu di dalam tanah. Telur matang berisi larva, merupakan bentuk infektif (Prianto, J., dkk., 2006).

Gambar 8. Telur (pembesaran 40 x 10) T. trichiura (Prianto, J., dkk., 2006)

b. Siklus Hidup

Cacing dewasa masuk ke mukosa caecum dan colon proximal manusia dan dapat hidup di saluran pencernaan selama bertahun-tahun. Telur yang tidak berembrio keluar bersama feses manusia. Tanah yang teduh dan lembab merupakan kondisi yang paling sesuai untuk pertumbuhan telur. Pertumbuhan menjadi telur infektif membutuhkan waktu 15- 30 hari. Manusia akan terinfeksi apabila tanpa sengaja menelan telur yang infektif dan masuk ke dalam usus halus. Setelah itu dinding telur akan pecah dan larvanya keluar melalui kripta usus halus menuju ke

caecum. Larva akan tumbuh menjadi cacing dewasa dan tinggal di

(32)

22

Gambar 9 : Siklus hidup T. trichiura (Anonim, 2009)

c. Epidemiologi

Telur dapat tumbuh di tanah liat, lembab, teduh, dengan suhu optimum 30ᵒC. Di beberapa daerah pedesaan, frekuensinya berkisar antara 30- 90 % (Margono, 2008).

d. Patofisiologi

Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing ini tersebar di seluruh

(33)

23

e. Gejala Klinis dan Diagnosa

Gejala yang muncul dapat berupa diare, anemia, penurunan berat badan, nyeri perut, nausea, vomiting, eosinophilia, tenesmus, rectal prolapse, dan pertumbuhan lambat (Soedarmo, 2010). Diagnosis dapat ditegakkan dengan menemukan telur di dalam tinja (Margono, 2008).

f. Pengobatan

Pada infeksi cacing cambuk biasanya sulit untuk membrantas seluruh cacing pada penderita. Adapun obat-obat yang bisa digunakan yaitu thiabendazole, pyrantel pamoate, mebendazole, albendazole, levamizol, dll (Warren dkk, 2003).

3. Hookworm (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale)

Cacing ini merupakan penyebab infeksi kronis yang paling sering pada manusia. N. americanus adalah hookworm yang paling banyak dijumpai di berbagai belahan dunia, sedangkan A. duodenale penyebarannya secara geografis sangat terbatas (Strickland, G.T. dkk, 2000).

a. Morfologi

(34)

24

cavity (rongga mulut) mempunyai 2 pasang “cutting plates” yaitu sepasang di ventral dan sepasang di dorsal. Dalam keadaan istirahat

tubuhnya menyerupai huruf “S”. N. americanus jantan mempunyai

panjang 7-9 mm dan diameter 0,3 mm sedang cacing betinanya mempunyai panjang 9-11 mm dan diameter 0.4 mm. Pada buccal cavity (rongga mulut) mempunyai 2 pasang gigi di anterior dan di posterior. Dalam keadaan istirahat tubuhnya menyerupai huruf “C” (Prianto, J., dkk., 2006).

Gambar 10. (a) Ancylostoma duodenale (b) Necator americanus (pembesaran 20 x 10) (Prianto, J., dkk., 2006)

Adapun morfologi telur hookworm :

- Bentuknya oval/lonjong, ukuran 40 x 65 mikron, tak berwarna - Dindingnya tipis transparan

- Pada waktu keluar bersama feses biasanya masih berupa unsegment ovum atau berisi 2-8 blastomere yang akan berkembang lebih lanjut. (Prianto, J., dkk., 2006).

Gambar 11. Telur hookworm (pembesaran 40 x 10) yang sulit dibedakan antara telur N. americanus dan A. duodenale (Prianto, J., dkk., 2006)

a b

(35)

25

b. Siklus Hidup

Telur tidak infektif biasanya keluar bersama feses dan berisi

blastomer. Pada tanah yang teduh, gembur, berpasir, dan hangat memudahkan pertumbuhan telur, biasanya telur menetas dalam 1-2 hari dalam bentuk larva rhabditiform. Setelah kurang lebih 5-10 hari, menjadi larva filariform yang merupakan bentuk infektif. Bila selama periode infektif terjadi kontak dengan kulit manusia, maka larva

(36)

26

Gambar 12 : Siklus hidup hookworm (Anonim, 2009)

c. Epidemiologi

Ankilostomiasis di Indonesia sering ditemukan pada penduduk yang tinggal di perkebunan/pertambangan. Kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk adalah penyebab utama dalam penyebaran penyakit ini. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larvamemiliki suhu optimum 32ºC-38ºC (Margono, 2008).

d. Patofisiologi

Infeksi ringan cacing ini ditandai dengan sedikit gejala atau tanpa gejala sama sekali. Pada infeksi yang berat, kelainan patologi yang terjadi disebabkan oleh tiga fase sebagai berikut (Warren, dkk, 2003): 1. Fase cutaneus, yaitu cutaneus larva migrans, berupa efek larva yang

(37)

27

2. Fase pulmonary, berupa efek yang disebabkan oleh migrasi larva dari pembuluh darah kapiler ke alveolus. Larva ini menyebabkan batuk kering dan asma yang disertai dengan wheezing serta demam. 3. Fase intestinal, berupa efek yang disebabkan oleh perlekatan cacing dewasa pada mukosa usus halus dan pengisapan darah. Cacing ini dapat mengiritasi usus halus menyebabkan mual, muntah, nyeri perut, diare, dan feses yang berdarah serta berlendir. Anemia defisiensi besi dijumpai pada infeksi cacing tambang kronis akibat kehilangan darah. Jumlah darah yang hilang per hari per satu ekor cacing adalah 0,03 ml pada infeksi N. americanus dan 0,15 ml pada infeksi A. duodenale. Pada anak, infeksi cacing ini dapat menganggu pertumbuhan fisik dan mental.

e. Gejala Klinik dan Diagnosis

Gejala klinik akibat infeksi hookworm antara lain pneumonia, batuk terus-menerus, dyspneu, dan hemoptysis. Pada infeksi cacing dewasa di pencernaan dapat menyebabkan anorexia, demam, diare, berat badan turun, dan anemia hipokrom mikrositer. Di samping itu, terdapat eosinofilia (Satari, 2010). Diagnosa dapat ditegakkan dengan ditemukannya telur/cacing dewasa pada feses (Margono, 2008).

f. Pengobatan

Pengobatan penderita yang terinfeksi cacing tambang dapat dilakukan : 1. Terapi spesifik, yaitu memberantas cacing penyebabnya dengan

(38)

28

2. Supportive

Pada penderita dengan keadaan gizi yang jelek juga perlu ditambah obat-obatan untuk memulihkan keadaan umumnya seperti preparat Fe, diet yang baik, dan vitamin (Warren, dkk, 2003).

D. Pencegahan dan Pemberantasan Soil Transmitted Helminth (STH)

Pencegahan kecacingan STH ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu : 1. Memutuskan daur hidup cacing dengan cara :

a. Memperbaiki cara dan sarana pembuangan tinja b. Menjaga kebersihan serta cukup air bersih

c. Mencegah kontaminasi tangan dan juga makanan dari tanah d. Mencuci sayur-sayuran dan buah-buahan dengan baik e. Menghindari pemakaian tinja manusia sebagai pupuk f. Memakai alas kaki

g. Memberi pengobatan masal dengan obat antihelmintik yang efektif, terutama kepada golongan berisiko tinggi

2. Penyuluhan kepada masyarakat tentang sanitasi lingkungan yang baik dan cara menghindari infeksi cacing (Supali, 2008).

E. Dampak Kecacingan terhadap Anak Usia Sekolah

(39)

29

kalori dan protein serta kehilangan darah. Cacingan dapat menghambat perkembangan fisik, kecerdasan, produktifitas kerja, serta dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga mudah terkena penyakit lainnya (Hidayat, 2002). Infeksi cacingan jarang menyebabkan kematian langsung, namun sangat mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Infeksi cacing gelang yang berat akan menyebabkan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan anak. Pada infeksi ringan, akan menyebabkan gangguan penyerapan nutrien lebih kurang 3% dari kalori yang dicerna, pada infeksi berat 25% dari kalori yang dicerna tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh (Hidayat, 2002).

Pada trikuriasis berat sering dijumpai diare darah, turunnya berat badan, dan anemia. Diare pada umumnya berat dengan hemoglobin 30% di bawah normal. Anemia berat ini dapat terjadi karena T. trichiura mampu menghisap darah sekitar 0,005 ml perhari/cacing (Margono, 2008).

Infeksi hookworm umumnya berlangsung secara menahun dan sudah dikenal sebagai cacing penghisap darah. Apabila terjadi infeksi berat, maka penderita akan kehilangan darah secara perlahan dan dapat menyebabkan anemia berat (Margono, 2008).

(40)

30

F. Metode Pemeriksaan Telur Cacing

1. Pemeriksaan Kualitatif

a. Pemeriksaan secara natif (direct slide)

Metode ini digunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk infeksi berat, tetapi sulit menemukan telur cacing pada infeksi ringan. b. Pemeriksaan dengan metode apung (flotation methode)

Metode ini digunakan untuk pemeriksaan feses yang mengandung sedikit telur.

c. Modifikasi metode merthiolat iodine formaldehyde (mif) d. Metode selotip (cellotape methode)

Metode ini digunakan untuk identifikasi cacing E. vermikularis. e. Metode konsentrasi

Dengan adanya gaya sentrifugal, dapat memisahkan antara suspensi dan supernatannya sehingga telur cacing dapat diendapkan. Metode ini praktis dan sederhana untuk pemeriksaan telur pada tinja dengan cara sebagai berikut :

1) Sekitar 1 gram tinja dimasukkan ke dalam tabung reaksi, beri akuadest, aduk sampai homogen, kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifus dan disentrifus dengan kecepatan 3000 rpm selama 1 menit.

2) Larutan dibuang, sedimennya diambil dengan pipet pasteur, diletakkan di atas kaca objek kemudian ditutup dengan cover glass

(41)

31

Gambar 13. Metode Konsentrasi (Nugraha, 2008)

f. Teknik sediaan tebal (teknik kato)

Teknik ini menggunakan lebih banyak tinja sehingga banyak telur cacing yang dapat diperiksa dan dianjurkan untuk pemeriksaan massal karena lebih sederhana dan murah.

g. Metode sedimentasi formol ether (ritchie)

Metode ini cocok untuk pemeriksaan tinja yang telah diambil beberapa hari yang lalu, misalnya kiriman dari daerah yang jauh.

2. Pemeriksaan Kuantitatif a. Metode stoll

Metode ini sangat baik digunakan untuk infeksi berat dan sedang. b. Modifikasi stoll menurut nazir

c. Metode kato katz

(42)

32

III.METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional yaitu observasi atau pengukuran variabel penelitian dilakukan pada satu waktu saja untuk mengetahui hubungan pengetahuan tentang kecacingan dan jenjang kelas dengan kejadian kecacingan Soil Transmitted Helminth (STH) pada siswa kelas 4, 5, dan 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya Bandar Lampung. Data sampel merupakan data primer yang diperoleh dari wawancara langsung menggunakan kuesioner pada siswa-siswi yang terpilih dari SD yang sudah ditentukan, serta pemeriksaan tinja (feses) dilakukan dengan metode konsentrasi.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

(43)

33

C. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah siswa dan siswi kelas 4, 5, dan 6 yang bersekolah di SD Negeri 1 Pinang Jaya Bandar Lampung sebanyak 99 orang.

Sampel yang dibutuhkan ditentukan menurut persamaan Taro Yamane yaitu: N

n =

1 + N (d)2 Keterangan: N = Besar populasi n = Besar sampel

d = Nilai presisi atau tingkat kepercayaan/ketepatan yang diinginkan

Jadi jumlah sampel yang dibutuhkan adalah: 99

n =

1 + 99 (0,05)2 99 =

1,2475

= 79,35 pembulatan 79

Jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 79 orang

(44)

34

berkomunikasi dengan efektif sehingga proses wawancara dapat berlangsung dengan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat Behrman, dkk (2000) yang menyatakan bahwa saat siswa berada di kelas 4, perkembangan kognitif dan linguistik siswa berada pada tahap yang lebih baik dibandingkan saat 3 tahun pertama sekolah. Selanjutnya, dicari sampel berstrata menggunakan rumus: ni = (Ni : N).n.

Keterangan:

ni = Jumlah sampel menurut stratum Ni = Jumlah populasi menurut stratum N = Total populasi

n = Total sampel

Tabel2 . Jumlah Sampel pada tiap Kelas berdasarkan Proporsi

D. Variabel Penelitian

Variabel penelitian pada penelitian ini adalah:

1. Variabel terikat

Kejadian kecacingan Soil Transmitted Helminth (STH) No. Kelas Jumlah Siswa Jumlah Sampel

1 4 34 : 99 x 79 27

2 5 31 : 99 x 79 25

3 6 34 : 99 x 79 27

(45)

35 yang operasional sehingga tidak ada makna ganda dari istilah yang digunakan dalam penelitian (Sastroasmoro, 2011). Definisi operasional dari masing-masing variabel yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

Tabel 3. Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala

1. Kejadian kecacingan STH

(46)

36

F. Prosedur Penelitian

Pada penelitian, diperlukan alur penelitian yang sistematis agar mempermudah pelaksanaan penelitian. Adapun alur/prosedur dari penelitian ini :

Mengisi kuesioner dengan melakukan wawancara terhadap responden dan memberikan botol tempat sampel tinja

Mengambil sampel tinja

Melakukan persiapan pemeriksaan tinja dengan metode konsentrasi

Mengaduk sampel tinja menggunakan aplikator/lidi supaya homogen

Mengambil tinja kurang lebih 1 gram lalu memasukkan tinja ke dalam tabung

centrifuge

Menambahkan aquades, lalu mengaduk sampai homogen. Apabila didapatkan kotoran dari sisa makanan yang mengapung di permukaan larutan, hendaknya

diambil dan dibuang

Melakukan centrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama kurang lebih 1 menit

Setelah centrifuge berakhir, mengambil tabung reaksi, membuang larutannya, dan mengambil supernatan/sedimennya

(47)

37

Mencatat hasil

Mengolah data

G. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Sampel yang diambil memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut :

1. Siswa dan siswi kelas 4, 5, dan 6 yang bersekolah di SD Negeri 1 Pinang Jaya Bandar Lampung

2. Sampel bersedia menjadi subjek penelitian dan mengikuti semua proses penelitian

Adapun kriteria eksklusi dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Siswa-siswi yang tidak pernah mendengar tentang penyakit cacingan 2. Siswa-siswi yang tidak bisa berbicara (tuna wicara)

3. Siswa-siswi yang mengundurkan diri dari penelitian.

4. Siswa-siswi yang belum pernah mendapatkan pengobatan cacingan dalam 3 bulan terakhir

H. Pengumpulan Data

(48)

38

I. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dari proses pengumpulan, akan diolah menggunakan program SPSS 17.0. for windows. Proses pengolahan data terdiri dari beberapa langkah, yaitu :

a. Editing, untuk melakukan pengecekan kuesioner mengenai data yang diharapkan lengkap, jelas, relevan, dan konsisten.

b. Coding, untuk mengkonversikan atau menerjemahkan data yang dikumpulkan selama penelitian ke dalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis.

c. Data entry, memasukan data ke dalam komputer.

d. Verifikasi, melakukan pemeriksaan secara visual terhadap data yang telah dimasukkan ke komputer.

Analisis data yang digunakan berupa analisis data univariat dan analisis data bivariat. Analisis data univariat adalah variabel-variabel yang ada dianalisis untuk memberikan gambaran pengetahuan, jenjang kelas, dan kejadian kecacingan Soil Transmitted Helminth (STH) pada siswa kelas 4, 5, dan 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya Bandar Lampung.

(49)

39

dan 6 SD Negeri 1 Pinang Jaya Bandar Lampung. Untuk mengetahui hubungan antara dua variabel tersebut dilakukan uji statistik yaitu uji Chi-Square :

∑ (f0– fh)2 χ 2

= fh

Keterangan: χ 2

= Chi-Square

f0 = Frekuensi hasil observasi dari sampel penelitian

fh = Frekuensi yang diharapkan pada populasi penelitian dengan α = 0,05

Syarat yang harus dipenuhi untuk uji Chi-Square yaitu : 1. Tidak ada sel yang nilai observed nya nol.

2. Sel yang mempunyai nilai expected kurang dari 5, maksimal 20% dari jumlah sel.

(50)

63

DAFTAR PUSTAKA

Alimul, H. 2007. Riset dan Teknik Penulisan Ilmiah. Salemba Medika, Jakarta.

Anonim. 2009. Dalam <http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Ascariasis.htm>. Diakses tanggal 23 September 2012.

Anonim. 2009. Dalam <http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Hookworm.htm>. Diakses tanggal 23 September 2012.

Anonim. 2009. Dalam <http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Trichuriasis.htm>. Diakses tanggal 23 September 2012.

Apriyerti. 2011. Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku terhadap Penyakit Kecacingan pada Siswa Kelas V di Sekolah Dasar Negeri 02 Gandul Kota Depok pada Desember 2010. (Skripsi). FK UPN Veteran, Jakarta.

Behrman, Kliegman, dan Arvin. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol 1. EGC, Jakarta. Hal 70-71.

Dahlan, S. 2010. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Edisi 3. Salemba Medika , Jakarta.

_________ 2011. Statistik Untuk Kedokteran dan Kesehatan Edisi Lima. Salemba Medika, Jakarta. Hal 2-19.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2004. Pedoman Umum Program Nasional Pemberantasan Cacingan di Era Desentralisasi. Depkes RI, Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Profil Kesehatan Indonesia.

(51)

64

De Silva. 1996. Sosioeconomic and Behavioral Factor Affecting the Prevalence of Geohelminths in Preschool Children. Southeast Asian J Trop Med Public Health; 27: 36-42.

Disnakertrans Lampung. 2012. SK Gubernur. No : G/66/III.05/HK/2012. Dalam <http://www.disnakertrans.go.id>. Diakses tanggal 10 November 2012. Djarismawati. 2007. Prevalensi Cacing Usus Pada Murid Sekolah Dasar Wajib

Belajar Pelayanan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan Daerah Kumuh Di Wilayah DKI Jakarta. Jurnal Ekologi Kesehatan Vol. 7 No. 2 Agustus 2007.

Hendratno, S, Subagio, H. W., Satoto. 1998. Pencemaran Telur Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura di Halaman Sekolah Dasar Kabupaten Karang Anyar Jawa Tengah. Jurnal Media Medika Indonesia, 33: 15-8.

Hidayat, T. 2002. Higiene Perseorangan dan Intensitas Penyakit Kecacingan dengan Status Gizi pada Anak Sekolah Dasar di Kota Mataram. (Tesis). Kesehatan Lingkungan. Program Pasca Sarjana UGM, Jogjakarta.

Irianto. 2009. Konsep Dasar Ilmu Helminthologi. Kencana, Jakarta.

Jalaluddin. 2009. Pengaruh Sanitasi Lingkungan, Personal Higiene, dan Karakteristik Anak terhadap Infeksi Kecacingan pada Murid Sekolah Dasar di Kecamatan Blang Mangat Kota Lhokseumawe. (Tesis). Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Sekolah Pascasarjana USU, Medan.

Mahar, M. T. 2008. Hubungan antara Pengetahuan dengan Kejadian Kecacingan Soil Transmitted Helminth (STH) pada Pekerja Genteng di Desa Kedawung Kabupaten Kebumen Jawa Tengah. (Karya Tulis Ilmiah). FK UNDIP, Semarang.

Mahmoud, AAF. 2007. Diseases due to Helminths. Dalam : Mandell, Douglas, Bennetts, penyunting: Principles and Practice of Infections Diseases. New York: A Harcourt Health Science Company.

(52)

65

Margono, S. 2008. Nematoda Usus Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi Keempat. FKUI, Jakarta. Hal. 6-20.

Nita, L. G. 2009. Hubungan Pengetahuan tentang Cacingan dengan Perilaku Pencegahan Cacingan pada Siswa Kelas IV dan V Sekolah Dasar Negeri di Krukutut Kecamatan Limo Depok. (Skripsi). Program Sarjana Fakultas Keperawatan UPN Veteran, Jakarta.

Nokes, C dan Bundi. 1994. Moderate to Heavy Infections of Trichiura Affect Cognitive Function in Jamaica School Children, Parasitologi.

Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta _____________ 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta. Hal 27-32

______________2010. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Rineka Cipta, Jakarta. Hal 50-60.

Nugraha, B. 2008. Buku Penuntun Praktikum Mikrobiologi dan Parasitologi. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mitra Kencana, Tasikmalaya. Hal 20.

Nurdiana, H. 2005. Pengaruh Tingkat Pengetahuan Pengasuh dari Anak Usia 1-12 Tahun yang Kecacingan terhadap Polusi Tanah di Sekitar Rumah oleh Soil Transmitted Helminths. Saintika Medika, Jurnal Ilmu Kesehatan dan Kedokteran Keluarga, FK UMM, Malang.

Onggowaluyo, Samidjo, dan Ismid. 1998. Parasitologi Medik (Helmintologi) Pendekatan Aspek Identifikasi, Diagnostik dan Klinik. EGC, Jakarta.

Poespoprodjo, JR. 2000. Infestasi Cacing dan Prestasi Belajar Anak SD di Kecamatan Ampana Kota Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. (Tesis). Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UGM, Jogjakarta.

Prianto, J, Tjahaya, dan Darwanto. 2006. Atlas Parasitologi Kedokteran. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

(53)

66

Ridha, I. 2011. Hubungan Aspek Lingkungan dengan Kejadian Kecacingan Soil Transmitted Helminth (STH) di SD Negeri 2 Kampung Baru Bandar Lampung. (Skripsi). FK Universitas Lampung, Bandar Lampung. Hal 39.

Sastroasmoro, S. 2010. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi 3.

Sagung Seto, Jakarta.

Satari, H. I. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi Kedua. IDAI, Jakarta. Hal 370-384.

Strickland, G. T. 2000. Hunter’s tropical medicine and emerging infections

disease. WB Saunders, Philadelphia.

Supali, T. 2008. Epidemiologi Soil Transmitted Helminths Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Edisi Keempat. FKUI, Jakarta. Hal 21-24.

Tierney, L. M., S. J. McPhee, M. A. Papadakis. 2002. Current Medical Diagnosis and Treatment. Mc Graw Hill Company, New York.

Tjokke, A. Latief. 2007. Masalah Sanitasi Lingkungan Keluarga Kecacingan dan Anemia pada Murid-Murid Sekolah Dasar di Kabupaten Sidrap. FKM UNHAS, Ujung Pandang. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia, Tahun XXV, Nomor 10, 2007.

Warren KS, Bundy DAP, dan Anderson RM. 2003. Helminth infection. Dalam: Jamison DT, Mosley WH, Measham AR, penyunting: Disease control priorities in developing countries. New York: Oxford University Press for World Bank, h. 131-141.

World Health Organization. 2011. Intestinal Worms, Soil Transmitted Helminths.

Gambar

Gambar
Tabel 1. Taksonomi Soil Transmitted Helminth (STH)
Gambar 3. (a) A. lumbricoides betina (b) A. lumbricoides jantan  (Prianto, J., dkk., 2006)
Gambar 4: (a) Telur (pembesaran 40 x 10) A. lumbricoides fertil  dan (b) infertil (Prianto, J., dkk., 2006)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menggunakan desain penelitian observasional analitik dengan pendekatan metode cross sectional yaitu peneliti mempelajari hubungan antara variabel bebas (faktor

Metode : Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat observasional analitik, dengan menggunakan cross sectional di wilayah kerja puskesmas pucangsawit surakarta Hasil :

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan menggunakan desain cross sectional , yaitu dengan cara pengumpulan data sekaligus pada suatu waktu

Penelitian ini bersifat survey dengan pendekatan cross sectional yaitu desain penelitian dengan pengukuran variabel yang dilakukan satu waktu saja untuk mengetahui

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian Observasional Analitik dengan pendekatan cross – sectional Study yaitu untuk

Desain penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan pendekatan Cross Sectional yaitu peneliti mempelajari hubungan antara variabel bebas dengan

Penelitian ini menggunakan metode Observasional Analitik dengan pendekatan desain penelitian Cross Sectional study yaitu merupakan suatu penelitian yang digunakan untuk

Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang bersifat analitik dengan pendekatan cross sectional (studi potong lintang) di mana data akan dikumpulkan