TESIS
DEWI MAILANY PASARIBU 097103038/IKA
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK - SPESIALIS ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul : Hubungan suku dengan pola hidup sehat dan infeksi soil-transmitted helminth pada anak usia sekolah dasar diMedan Labuhan
Nama Mahasiswa : Dewi Mailany Pasaribu Nomor Induk Mahasiswa : 097103038/IKA
Program Magister : Magister Kedokteran Klinik Konsentrasi : Kesehatan Anak
Menyetujui Komisi Pembimbing
Prof. dr. H. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpAK Ketua
dr. Ayodhia P. Pasaribu, MKed(Ped), SpA, PhD(ClinTropMed) Anggota
Program Magister Kedokteran Klinik Dekan Sekretaris Program Studi,
dr. Murniati Manik, MSc, SpKK, SpGK Prof. dr. Gontar Siregar, SpPD-KGEH NIP. 19530719 198003 2 001 NIP. 19540220 198011 1 001
Tanggal lulus : 13 Oktober 2014
HUBUNGAN SUKU DENGAN POLA HIDUP SEHAT DAN INFEKSI
SOIL-TRANSMITTED HELMINTH PADA ANAK USIA SEKOLAH
DASAR DI MEDAN LABUHAN
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dijadikan acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Oktober 2014
Telah diuji pada
Tanggal: 13 Oktober 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
KETUA : Prof. dr. H. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K) …………. Anggota :
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan kasih karunia dan hikmat-Nya sehingga memberikan kesempatan kepada penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.
Tesis ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir pendidikan magister Kedokteran Klinik Konsentrasi Ilmu Kesehatan Anak di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP H. Adam Malik Medan.
Penulis menyadari penelitian dan penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan sebagaimana yang diharapkan, oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan masukan yang berharga dari semua pihak di masa yang akan datang.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Pembimbing utama Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K) dan dr. Ayodhia Pitaloka Pasaribu, MKed(Ped), PhD(ClinTropMed), SpA yang telah memberikan bimbingan, koreksi, bantuan serta saran-saran yang sangat berharga dan dukungan moril kepada penulis dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini.
Medan dan dr. Hj. Melda Deliana, Sp.A(K) selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Anak FK USU yang telah memberikan bantuan dan dukungan dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini. 3. Prof. dr. H. M. Sjabaroeddin Loebis, SpA(K), dr. Endang H. Ganie,
DTM&H, SpPar(K) dan dr. Tina C. L. Tobing, Sp.A(K), yang telah menguji, memberikan koreksi, saran dan perbaikan pada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
4. Seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan sumbangan pikiran dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini.
5. DR. Ir. Erna Mutiara, M.Kes yang telah membantu dan memberikan sumbangan pikiran dalam analisa data penelitian ini.
6. Seluruh teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK-USU terutama PPDS periode Januari 2010 serta dokter-dokter muda yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu yang telah membantu dalam terlaksananya penelitian serta penulisan tesis ini. Terimakasih buat kebersamaan kita selama ini. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dalam terlaksananya penelitian serta penulisan tesis ini.
saya kepada kedua putri kecil saya, Joanna Lexine Arashel Sianturi dan Precious Serepina Sianturi karena tidak bisa memberikan waktu sepenuhnya sebagai seorang ibu. Kepada orang tua yang sangat saya cintai dan hormati, (alm) E. Pasaribu dan R. Br. Sinaga serta abang dan kakak saya yang selalu mendoakan, memberikan dorongan dan motivasi baik moral maupun materiil. Terima kasih atas doa, pengertian dan dukungan selama penulis menyelesaikan pendidikan ini. Kepada para kerabat dan saudara yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas doanya selama ini. Semoga budi baik yang telah diberikan mendapat imbalan dari Tuhan Yang Maha Esa. Akhirnya penulis mengharapkan semoga penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin.
DAFTAR ISI
Lembaran Persetujuan Pembimbing ii
Lembar Panitia Penguji Tesis iv
Ucapan Terima Kasih v
Daftar Isi viii
Daftar Tabel x
Daftar Gambar xi
Daftar Singkatan xii
Daftar Lambang xiii
Abstrak xiv Abstract xv BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 3
1.3. Hipotesis 3
1.4. Tujuan Penelitian 3
1.5. Manfaat Penelitian 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Soil-transmitted helminthiasis 5
2.1.1. Ascaris lumbricoides 5
2.1.2. Trichuris trichiura 6
2.1.3. Cacing tambang (hookworm) 8 2.2. Faktor risiko infeksi kecacingan 10
2.2.1. Faktor lingkungan
2.2.1.1. Lingkungan sosial-ekonomi 10
2.2.1.2. Pendidikan 11
2.2.1.3. Lingkungan sekitar 11
2.2.1.4. Iklim dan topografi 12
2.2.1.5. Air dan sanitasi 13
2.2.2. Faktor gaya hidup 14
2.2.3. Faktor pejamu 15
2.2.4. Pelayanan kesehatan 16
2.3. Manifestasi Klinis 17
2.4. Diagnosis 17
2.5. Tatalaksana infeksi STH 18
2.6. Pencegahan infeksi STH 18
2.7. Kerangka konsep 19
BAB 3. METODE PENELITIAN
3.1. Desain 20
3.2. Tempat dan Waktu 20
3.3. Populasi dan Sampel 20
3.4. Perkiraan Besar Sampel 21
3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.5.1. Kriteria Inklusi 22
3.5.2. Kriteria Eksklusi 22
3.6. Persetujuan / Informed Consent 22
3.7. Etika Penelitian 22
3.8. Cara Kerja dan alur penelitian
3.8.1. Cara kerja 23
3.8.2. Metode pemeriksaan feses 24
3.8.3. Alur penelitian 25
3.9. Identifikasi Variabel 25
3.10. Definisi Operasional 26
3.11. Rencana Pengolahan dan Analisis Data 28
BAB 4. HASIL 29
BAB 5. PEMBAHASAN 38
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 41
6.2. Saran 41
RINGKASAN 42 SUMMARY 44
DAFTAR PUSTAKA 46
Lampiran 1. Personil Penelitian
2. Biaya Penelitian 3. Jadwal Penelitian
4. Penjelasan dan Persetujuan Kepada Orang Tua 5. Kuisioner Penelitian
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Karakteristik subjek 31
Tabel 4.2. Hubungan suku dengan pola hidup 33 Tabel 4.2. Analisa bivariat hubungan faktor risiko dengan
infeksi STH 34
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Cacing dewasa dan telur Ascaris lumbricoides 5
Gambar 2.2. Daur hidup Ascaris lumbricoides 6
Gambar 2.3. Cacing dewasa dan telur Trichuris trichiura 7
Gambar 2.4. Daur hidup Trichuris trichiura 7
Gambar 2.5. Cacing dewasa dan telur cacing tambang 8
Gambar 2.6. Daur hidup cacing tambang 9
Gambar 4.1. Peta kecamatan di kota Medan 29
Gambar 4.2. Alur penelitian 30
Gambar 4.3. Distribusi infeksi cacing berdasarkan suku 33
DAFTAR SINGKATAN
STH : Soil-transmitted helminth
NTDs : Neglected tropical diseases
BAB : Buang air besar
PHBS : Perilaku hidup bersih dan sehat WHO : World Health Organization
PROPENAS : Program Pembangunan Nasional BB : Berat badan
TB : Tinggi badan
CDC : Centers for Disease Control
DAFTAR LAMBANG
z : Deviat baku normal untuk
z : Deviat baku normal untuk
ABSTRAK
Latar Belakang Infeksi kecacingan merupakan salah satu penyebab rendahnya kualitas sumber daya manusia. Beragam faktor risiko yang berkaitan dengan infeksi kecacingan telah diteliti, namun belum ada studi yang meneliti hubungan antara suku dengan kecacingan pada anak SD di Indonesia.
.
Tujuan Mengetahui hubungan suku dan infeksi STH pada anak usia sekolah dasar di Medan Labuhan.
Metode Studi cross-sectional diikuti oleh 468 anak sekolah dasar berusia 6 sampai 14 tahun di kecamatan Medan Labuhan. Sampel feses anak dikumpulkan dan diperiksa dengan metode Kato-Katz. Data sosial-demografi dan perilaku dikumpulkan dengan kuisioner yang diisi oleh orangtua serta wawancara dan observasi terhadap anak.
Hasil Prevalensi STH pada studi ini sebanyak 36.8% (172/648); askariasis 40.1%, trikuriasis 18.6%, infeksi gabungan askaris dan trikuris 41.3%. Tidak dijumpai hubungan antara suku dengan pola hidup dan infeksi STH. Analisa multivariat dengan regresi logistik menunjukkan bahwa kebiasaan cuci tangan yang tidak benar memiliki risiko paling besar terhadap infeksi STH (OR 24.00), diikuti oleh kebiasaan menggigit kuku, kondisi jamban yang tidak memenuhi syarat, air tidak bersih, serta kondisi kuku yang tidak bersih (OR 6.56, 5.45, 5.01, 2.29).
Kesimpulan Dari studi ini, suku tidak berhubungan dengan pola hidup dan infeksi STH. Kebiasaan cuci tangan yang tidak benar merupakan faktor risiko utama terjadinya infeksi STH. Edukasi dan penyediaan fasilitas cuci tangan yang baik dan benar diharapkan dapat membantu menurunkan transmisi STH.
Abstract
Background Soil-transmitted helminth is one of the cause of poor quality of human resources. Diverse of risk factors refer to helminth infection had been studied, but none of them try to find the association between ethnicity with STH infection among the primary school children in Indonesia..
Objective To evaluate the association of ethnicity and STH infection in primary school aged children in Medan Labuhan
Method A cross-sectional study was carried out among 468 primary school children aged 6 to 14 years old in Medan Labuhan sub district. Single fecal sample was collected and examined using Kato-katz method. Socio-demographic and behavioral risk factor data were collected using questionnaire from parent and children.
Results The prevalence of STH in this study was 36.8% (172/648); 40.1% for ascariasis, 18.6% for trichuriasis, 41.3% for mixed infection. There was no association between ethnicity and lifestyle, also with STH infection. Multivariate analysis using logistic regression showed that improper hand washing was a major risk factor with STH infection (OR 24.00), followed by nails biting behavior, dirty water and latrine and unhygiene nail condition (OR 6.56, 5.45, 5.01 and 2.29, respectively).
Conclusion There is no significant association between ethnicity and STH infection. Improper hand washing behaviour is a major risk factor for STH transmission. Education and providing hand washing facilities can help to reduce the transmission of STH.
ABSTRAK
Latar Belakang Infeksi kecacingan merupakan salah satu penyebab rendahnya kualitas sumber daya manusia. Beragam faktor risiko yang berkaitan dengan infeksi kecacingan telah diteliti, namun belum ada studi yang meneliti hubungan antara suku dengan kecacingan pada anak SD di Indonesia.
.
Tujuan Mengetahui hubungan suku dan infeksi STH pada anak usia sekolah dasar di Medan Labuhan.
Metode Studi cross-sectional diikuti oleh 468 anak sekolah dasar berusia 6 sampai 14 tahun di kecamatan Medan Labuhan. Sampel feses anak dikumpulkan dan diperiksa dengan metode Kato-Katz. Data sosial-demografi dan perilaku dikumpulkan dengan kuisioner yang diisi oleh orangtua serta wawancara dan observasi terhadap anak.
Hasil Prevalensi STH pada studi ini sebanyak 36.8% (172/648); askariasis 40.1%, trikuriasis 18.6%, infeksi gabungan askaris dan trikuris 41.3%. Tidak dijumpai hubungan antara suku dengan pola hidup dan infeksi STH. Analisa multivariat dengan regresi logistik menunjukkan bahwa kebiasaan cuci tangan yang tidak benar memiliki risiko paling besar terhadap infeksi STH (OR 24.00), diikuti oleh kebiasaan menggigit kuku, kondisi jamban yang tidak memenuhi syarat, air tidak bersih, serta kondisi kuku yang tidak bersih (OR 6.56, 5.45, 5.01, 2.29).
Kesimpulan Dari studi ini, suku tidak berhubungan dengan pola hidup dan infeksi STH. Kebiasaan cuci tangan yang tidak benar merupakan faktor risiko utama terjadinya infeksi STH. Edukasi dan penyediaan fasilitas cuci tangan yang baik dan benar diharapkan dapat membantu menurunkan transmisi STH.
Abstract
Background Soil-transmitted helminth is one of the cause of poor quality of human resources. Diverse of risk factors refer to helminth infection had been studied, but none of them try to find the association between ethnicity with STH infection among the primary school children in Indonesia..
Objective To evaluate the association of ethnicity and STH infection in primary school aged children in Medan Labuhan
Method A cross-sectional study was carried out among 468 primary school children aged 6 to 14 years old in Medan Labuhan sub district. Single fecal sample was collected and examined using Kato-katz method. Socio-demographic and behavioral risk factor data were collected using questionnaire from parent and children.
Results The prevalence of STH in this study was 36.8% (172/648); 40.1% for ascariasis, 18.6% for trichuriasis, 41.3% for mixed infection. There was no association between ethnicity and lifestyle, also with STH infection. Multivariate analysis using logistic regression showed that improper hand washing was a major risk factor with STH infection (OR 24.00), followed by nails biting behavior, dirty water and latrine and unhygiene nail condition (OR 6.56, 5.45, 5.01 and 2.29, respectively).
Conclusion There is no significant association between ethnicity and STH infection. Improper hand washing behaviour is a major risk factor for STH transmission. Education and providing hand washing facilities can help to reduce the transmission of STH.
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Soil-transmitted helminths (STH) merupakan kelompok cacing nematoda parasitik yang menginfeksi manusia melalui kontak dengan telur atau larva parasit yang tumbuh subur di tanah yang hangat dan basah di negara tropis dan subtropis.1,2 Saat ini, infeksi STH dikelompokkan kedalam neglected tropical diseases (NTDs) yang sering didapati pada populasi miskin yang tinggal di wilayah pedesaan terpencil, pemukiman kumuh di perkotaan dan daerah konflik.3
Survei yang dilakukan terhadap anak SD pada tahun 2002 di beberapa kabupaten di Indonesia didapati prevalensi kecacingan sebesar 24.1% dengan prevalensi cacing gelang 13.9%, cacing tambang 3.6% dan cacing cambuk 14.5%.4 Pada tahun 2004 di Sumatera Utara, prevalensi infeksi A.lumbricoides 56%, T.trichiura 78.6%, dan cacing tambang 33.8%.5
Infeksi STH umumnya terjadi pada area pedesaan dengan sanitasi dan higienitas yang buruk serta iklim lembab yang ideal untuk infeksi dan transmisi parasit.1,3,7,8 Beberapa studi mendapati bahwa etnis, ras, golongan darah dan pendidikan orangtua juga termasuk kedalam faktor risiko penyebab infeksi STH.9,10
Infeksi STH ini merupakan jenis infeksi cacing yang paling banyak terjadi di dunia, namun hanya sedikit perhatian yang diberikan untuk mengendalikannya. Hal ini diduga akibat dari angka mortalitasnya yang rendah.3 Program jangka pendek pengendalian kecacingan dimulai dengan pengobatan, namun kemoterapi saja tidak cukup efektif untuk mengendalikan infeksi STH pada daerah endemik. Program penanggulangan jangka panjang harus dilaksanakan secara berkesinambungan melalui pemberdayaan masyarakat dan peran swasta sehingga masyarakat mampu dan mandiri dalam melaksanakan penanggulangan penyakit cacingan, yaitu berperilaku hidup bersih dan sehat, meningkatkan kesehatan perorangan dan lingkungan dan dengan demikian diharapkan produktivitas individu akan meningkat.11
macam agama, suku, budaya dan adat istiadat.12 Perbedaan-perbedaan ini khususnya suku dan budaya mungkin dapat membuat perbedaan cara pandang dan gaya hidup terutama dalam hal kesehatan seperti pendidikan kesehatan di keluarga, sanitasi lingkungan dan perilaku kesehatan anggota keluarga.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, kota Medan salah satu kota di Sumatera Utara merupakan kota dengan penduduk yang padat yang terdiri dari berbagai etnis, iklim serta kelembababan yang memudahkan transmisi STH, hendak diketahui hubungan suku dengan pola hidup sehat dan infeksi STH pada anak sekolah dasar di Medan.
1.3 Hipotesis
Ada hubungan antara suku dengan pola hidup sehat dan infeksi STH pada anak usia sekolah dasar di Medan.
1.4 Tujuan Penelitian
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1. Di bidang akademik / ilmiah : Meningkatkan pengetahuan mengenai faktor risiko yang berperan terhadap terjadinya infeksi STH pada anak usia sekolah
1.5.2 Di bidang pelayanan masyarakat: meningkatkan usaha peningkatan kesehatan anak dengan penyuluhan kesehatan mengenai perilaku hidup bersih dan sehat dan usaha perbaikan lingkungan
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Soil Transmitted Helminthiasis
Ada lebih dari 20 jenis cacing usus yang dapat menginfeksi manusia, namun yang tersering penyebarannya di seluruh dunia adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing tambang (Ancylostoma duodenale, Necator americanus) dan cacing cambuk (Trichuris trichiura) dengan pejamu definitif utamanya adalah manusia.1,3
2.1.1. Ascaris lumbricoides
Ascaris lumbricoides disebut juga cacing gelang, termasuk golongan nematoda yang hidup dalam usus halus manusia. Panjang cacing dewasa sekitar 15 sampai 40 sentimeter. Askaris dewasa mulai bertelur dalam 8 sampai 10 minggu dan dapat menghasilkan 200 000 telur per hari.13,14
Gambar 2.1. Cacing dewasa dan telur Ascaris lumbricoides13
usus halus dan migrasi ke paru-paru melalui sirkulasi vena. Parasit ini masuk ke alveoli dan menyebabkan askariasis pulmonar. Larva bermigrasi melalui bronkus dan trakea, lalu tertelan dan kembali ke usus, dan berkembang menjadi cacing dewasa.13,14
Gambar 2.2. Daur hidup Ascaris lumbricoides14
2.1.2 Trichuris trichiura
Gambar 2.3. Cacing dewasa dan telur trichuris trichiura15
Gambar 2.4. Daur hidup Trichuris trichiura17
Cacing dewasa betina akan mulai bertelur dalam 60 sampai 70 hari setelah infeksi. Dalam 1 sampai 3 bulan, cacing betina dewasa mulai menghasilkan 5 000 sampai 20 000 telur per hari.15-17 Telur yang belum menjadi larva akan keluar bersama dengan tinja dan menjadi infektif di tanah dalam 10 sampai 14 hari. Telur yang infekif ini yang selanjutnya menjadi sumber penularan bagi manusia lain.16
2.1.3. Cacing tambang(hookworm)
Ada 2 spesies cacing tambang yang menginfeksi manusia yaitu Necator americanus dan Ancylostoma duodenale. Cacing betina memiliki panjang kurang lebih 1 sentimeter dan panjang cacing jantan kurang lebih 0.8 sentimeter.18
Gambar 2.5. Cacing dewasa dan telur cacing tambang18
Larva meluruh 2 kali dan menjadi larva stadium infektif tingkat tiga dan menginfeksi manusia. Selain transmisi melalui penetrasi ke kulit, infeksi A. duodenale dapat terjadi\ dengan cara tertelannya larva infeksius. Larva yang melakukan penetrasi ke kulit mengalami migrasi ekstraintestinal melalui sirkulasi vena dan paru sebelum akhirnya tertelan.18,19
Gambar 2.6. Daur hidup cacing tambang19
sampai menjadi dewasa yang dapat menghasilkan telur sekitar 5 sampai 9 minggu.5 Cacing A.duodenale dewasa betina menghasilkan 30 000 telur per hari, cacing N.americanus dewasa menghasilkan kurang dari 10 000 telur per hari. Cacing tambang ini merupakan jenis yang paling sulit dieliminasi di daerah yang miskin dan sanitasi buruk.20
2.2. Faktor risiko infeksi kecacingan
Menurut teori H.L. Blum (1981), status kesehatan manusia ditentukan oleh 4 faktor utama yaitu lingkungan, gaya hidup, genetik dan pelayanan kesehatan. Keempat faktor ini saling terkait dalam mempengaruhi status kesehatan perorangan dan derajat kesehatan masyarakat.21
2.2.1. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan merupakan faktor terpenting dalam menentukan status kesehatan manusia.21
2.2.1.1. Lingkungan sosial-ekonomi
pra sejahtera, sejahtera I, sejahtera II, sejahtera III dan keluarga sejahtera III
plus dengan infeksi STH.22 Sebuah studi yang dilakukan pada Orang Asli di Malaysia melaporkan bahwa tidak ada perbedaan antar pendapatan yang rendah dan yang tinggi dengan infeksi STH yang mana kemungkinan hal ini disebabkan karena mayoritas penduduknya lebih suka menggunakan sungai sebagai tempat defekasi.23
2.2.1.2. Pendidikan
Pencegahan terhadap infeksi kecacingan ini membutuhkan pengetahuan dan pemahaman akan cara-cara penularan cacing. Pengetahuan ini bisa didapat melalui pendidikan di sekolah atau penyuluhan kesehatan kepada masyarakat. Peran orangtua sebagai pendidik pertama dalam kehidupan anak dianggap berperan dalam menentukan derajat kesehatan anak. Di kabupaten Karo, hanya pendidikan ayah yang berhubungan secara signifikan dengan prevalensi infeksi STH pada anak sekolah dasar, sementara di Cina pendidikan ibu yang memiliki hubungan dengan infeksi STH pada anak mereka.9,22
2.2.1.3. Lingkungan sekitar
2.2.1.4. Iklim dan topografi
Iklim dan topografi merupakan penentu krusial dalam distribusi infeksi cacing. Kelembaban yang cukup, temperatur yang hangat, ketinggian area, jenis tanah, dan curah hujan esensial bagi perkembangan larva di tanah. Itu sebabnya STH terdistribusi luas di daerah tropis dan sub tropis, seperti Indonesia.6 Daerah dengan curah hujan tinggi mempermudah transmisi ketiga STH.24
Telur askaris berkembang baik di tanah liat yang pekat dan semakin dalam tanahnya, cacing akan semakin dapat bertahan hidup. Di tanah dengan suhu 20° sampai 30°C, telur menjadi matang dan infektif serta
mengandung larva. Telur cacing askaris ini sedikit rentan terhadap cahaya matahari langsung. Telur askaris dan trikuris lebih keras dan lebih tahan terhadap cuaca kering. Sementara telur cacing tambang ditetaskan di tanah dan perkembangannnya baik pada suhu 23° sampai 33° C, kelembaban dan
keteduhan yang cukup, telur menetas dalam waktu 24 sampai 48 jam dan mengeluarkan larva rhabditiform yang selanjutnya menjadi larva filariform. Tanah berpasir cocok untuk perkembangan telur dan larva serta migrasi larva tersebut.19
2.2.1.5. Air dan sanitasi
Penyakit kecacingan umumnya terjadi pada daerah dengan sanitasi yang jelek dan kurang tersedianya air bersih.26 Air sangat penting bagi kehidupan manusia. Sumber air masyarakat dapat berasal dari air sumur, air ledeng, air hujan, dan sungai. Untuk menghindari bahaya kontaminasi kuman, air yang digunakan harus diolah terlebih dahulu. Menurut data Departemen Kesehatan tahun 2011, penggunaan air bersih di desa 71% dan di kota 89%.27
Dalam pembuatan jamban, jarak antara jamban dengan sumber air sekitar 8 sampai 15 meter, tidak berbau, tidak dapat dijangkau serangga dan tikus, tidak mencemari tanah sekitarnya, mudah dibersihkan dan aman digunakan, dilengkapi dinding dan atap pelindung, penerangan dan ventilasi cukup, lantai kedap air dan luas ruangan memadai, tersedia air, sabun dan alat pembersih. Pada daerah yang sering tergenang banjir, lantai jamban dibuat lebih tinggi dari permukaan air yang tertinggi pada waktu banjir.29
pembuangan kotoran/tinja/BAB yang layak mengalami peningkatan dari tahun 2008 sampai 2012, khususnya persentase rumah tangga yang menggunakan tangki septik yaitu 58.75% pada tahun 2008, meningkat menjadi 67.49% pada tahun 2012. Penggunaan sungai dan lainnya sebagai tempat pembuangan kotoran dan tinja mengalami penurunan.29
2.2.2. Faktor gaya hidup
Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) memegang peranan penting dalam transmisi infeksi cacing ini. PHBS adalah upaya untuk memberikan pengalaman belajar atau menciptakan suatu kondisi bagi perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat dengan membuka jalur komunikasi, memberikan informasi dan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku hidup bersih dan sehat.
Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011, di Sumatera Utara, masyarakat yang menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat hanya sekitar 54.30%.27
2.2.3 Faktor pejamu
Penyakit kecacingan dapat menyerang semua golongan umur dan jenis kelamin. Anak berusia 5 sampai 14 tahun paling berisiko terinfeksi askaris dan trikuris dengan intensitas berat namun intensitas serta frekuensinya berkurang seiring bertambahnya usia. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada anak waktu kontak dengan sumber infeksi lebih lama dan daya tahan tubuh anak lebih lemah daripada dewasa.6 Dari penelitian yang dilakukan terhadap anak SD di Tanjung Anom, Deli Serdang pada tahun 1995 didapati prevalensi pada anak perempuan dan laki-laki hampir sama.5 Infeksi cacing tambang ditemukan dengan intensitas tinggi pada masa dewasa.3,19 Pada studi di China didapati intensitas infeksi cacing tambang tinggi pada dewasa berusia diatas 50 tahun kemungkinan disebabkan status kesehatan dan nutrisi pada orangtua yang relatif buruk.31
Ada kecenderungan untuk menilai peran sistem golongan darah ABO dalam menentukan kerentanan dalam infeksi bakteri dan parasit. Orang dengan golongan darah tertentu berhubungan dengan kerentanan terhadap filariasis limfatik, giardiasis, kolera dan malaria. Studi di Equador pada tahun 1993 melaporkan prevalensi askaris dan cacing tambang lebih tinggi pada ras mestizos dan cachilla dibandingkan ras kulit hitam, namun bila dianalisa dengan wilayah tinggal, prevalensi menjadi tidak jauh berbeda.10
Medan adalah kota di Sumatera Utara yang terdiri dari beragam suku yang biasanya bercampur dalam satu wilayah. Perbedaan genetik maupun perbedaan pola hidup terkait kesehatan sangat mungkin membuat perbedaan dalam prevalensi infeksi kecacingan pada anak di kota ini.
2.2.4 Pelayanan kesehatan
Daerah terpencil dengan akses pelayanan kesehatan minim dan sukar dijangkau memperberat keadaan penyakit yang diderita masyarakat. Identifikasi dini terhadap gejala kecacingan seharusnya dapat segera dilakukan dengan adanya sarana kesehatan yang dapat dijangkau. Pencegahan morbiditas kecacingan juga dapat dilakukan dengan pemberian antelmintik regular setiap 6 bulan sekali.6,32
Gejala klinis tergantung intensitas infeksi dan organ yang terlibat. Kebanyakan penderita mengalami intensitas rendah sampai moderat dan tanpa gejala klinis. Gejala klinis yang paling sering muncul adalah penyakit paru-paru dan obstruksi traktus intestinal dan bilier. Anak dengan infeksi berat dapat mengalami muntah, distensi abdomen dan nyeri perut.13 Infeksi cacing tambang dapat menyebabkan kehilangan darah, setiap cacing A. duodenale dewasa menyebabkan kehilangan darah 0.2 mL darah per hari. Infeksi STH menyebabkan anemia defisiensi besi dan malnutrisi yang selanjutnya dapat menjadi retardasi pertumbuhan fisik dan defisit intelektual dan kognitif.18-20 Pada infeksi yang disebabkan trikuris dapat terjadi sindrom disentri kronik sampai prolaps rektal.15-17
2.4. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya telur atau cacing dewasa di tinja.3 Metode yang direkomendasikan WHO ialah pemeriksaan sampel feses dengan teknik hapusan tebal Kato untuk menemukan telur cacing dalam feses. Metode ini cocok dipakai pada area dengan endemisitas tinggi. Dengan metode ini lebih banyak telur cacing dapat diperiksa sebab digunakan lebih banyak tinja. Teknik ini dianjurkan digunakan secara massal karena lebih sederhana dan murah.33-34
Didalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS), program pengendalian kecacingan merupakan salah satu program yang mendapat perhatian nasional dan telah diatur dalam rencana strategis (RENSTRA).11
Strategi untuk mengendalikan infeksi STH adalah dengan mencegah dan mengontrol morbiditas melalui terapi yang diberikan secara periodik pada daerah yang tinggal dalam area endemik. WHO merekomendasikan terapi periodik dengan obat antelmintik kepada setiap orang yang tinggal di daerah endemik, tanpa melalui proses diagnostik sebelumnya. Obat diberikan sekali setahun bila prevalensi infeksi STH dalam komunitas diatas 20 persen, dan diberikan 2 kali setahun bila prevalensi diatas 50 persen.26,32
2.6. Pencegahan infeksi STH
2.7. Kerangka konsep Anak
Lingkungan Gaya hidup Pejamu Sarana kesehatan Sosial ekonomi Pendidikan Lingkunga n sekitar Diet dan nutrisi Perilaku Usia Jenis kelamin Tenaga kesehatan Fasilitas kesehatan Antelminti k reguler
BAB 3. METODOLOGI
3.1. Desain
Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan menggunakan metode cross-sectional untuk menilai hubungan antara suku dengan gaya hidup sehat dan infeksi STH pada anak usia sekolah dasar di kecamatan Medan Labuhan.
3.2 . Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Sekolah Dasar Negeri 065002 dan 065003 di kecamatan Medan Labuhan. Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2014.
3.3. Populasi dan Sampel
Populasi target adalah anak sekolah dasar kelas I sampai kelas VI di Medan. Populasi terjangkau adalah anak sekolah dasar di kecamatan Medan Labuhan di Medan. Sampel pada penelitian ini adalah bagian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang dipilih secara consecutive
3.4. Perkiraan Besar Sampel
Besar sampel minimal dapat dihitung dengan menggunakan rumus uji hipotesis terhadap 2 proporsi:35
n1=n2= (Zα√ 2 PQ + Zβ√ P1Q1 + P2Q2 )2 (P1 - P2)2
P = ½ (P1+P2) n1=n2 = besar sampel masing-masing kelompok
α = kesalahan tipe I = 0.05 tingkat kepercayaan 95%
Zα = nilai baku normal = 1.96 Zβ = nilai baku normal = 0.842
P1 = proporsi anak sekolah dasar dengan infeksi STH = 53%= 0.5325 Q1 = 1 – P1 = 0.47
P2 = proporsi anak di sekolah yang diteliti = 0.38 (clinical judgement) Q2 = 1 – P2 = 0.62
P1-P2 = 0.15
P = ½(P1+P2) = 0.455 Q = 1 – 0.455 = 0.545
3.5. Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.5.1. Kriteria inklusi
1. Anak sekolah dasar usia 6 – 12 tahun
2. Mengembalikan pot yang telah terisi feses anak
3. Mengembalikan kuisioner yang telah diisi lengkap oleh orangtua 4. Anak bersedia diwawancarai
3.5.2. Kriteria eksklusi 1. Anak sedang diare
2. Minum anthelmintik 1 bulan sebelum penelitian
3.6. Persetujuan/Informed Consent
Semua subyek penelitian akan diminta persetujuan dari orang tua setelah dilakukan penjelasan terlebih dahulu mengenai tujuan penelitian dan rencana pengambilan feses serta pengisian kuisioner.
3.7. Etika Penelitian
3.8. Cara Kerja dan Alur Penelitian 3.8.1 Cara kerja
1. Anak kelas I-VI dalam populasi terjangkau diberikan penyuluhan mengenai kecacingan.
2. Setiap anak mendapat sebuah pot feses dan diinstruksikan untuk menampung feses di rumah yang kemudian akan dikumpulkan kepada tim peneliti di sekolah keesokan harinya. Juga diberikan kuisioner yang harus diisi oleh orangtua di rumah. Feses diambil seujung sendok teh, dimasukkan kedalam pot dan diserahkan kepada peneliti keesokan hari. Proses pengambilan feses tidak diamati oleh peneliti.
3. Keesokan harinya, setiap anak yang mengembalikan pot yang berisi feses dan kuisioner yang telah diisi oleh orangtua akan didata namanya, dilakukan wawancara dan pengukuran berat badan serta tinggi badan anak.
3.8.2. Metode pemeriksaan feses
Metode yang dilakukan adalah dengan pemeriksaan feses untuk menentukan seseorang terinfeksi kecacingan atau tidak serta jenis cacing yang menginfeksi adalah dengan metode Kato.36
Bahan yang diperlukan untuk pemeriksaan Kato: 1. Object glass
2. Cellophane strips yang hidrofilik dengan ukuran 22 x 40 mm direndam dalam larutan kato minimal 24 jam sebelum dipakai
3. Larutan kato (50 ml glycerin, 50 ml phenol 6, 0.6 ml larutan
malachite green dalam air 3%)
Prosedur pemeriksaan Kato adalah sebagai berikut: 1. Letakkan 50-60 mg feses diatas object glass
2. Tutup feses di atas object glass dengan kertas cellophane
3. Cellophane ditekan dengan dasar tabung reaksi agar feses merata 4. Biarkan preparat tersebut selama 15 menit dalam suhu kamar (28-32°C)
3.8.3. Alur penelitian
3.9 Identifikasi Variabel
Variabel bebas skala
Jenis kelamin nominal
Umur ordinal
Kelas ordinal
Suku nominal
Pendidikan ayah ordinal
Pendidikan ibu ordinal
Fasilitas jamban nominal
Semua anak dalam populasi terjangkau diberikan penyuluhan singkat mengenai kecacingan
Pembagian pot feses dan kuisioner untuk orangtua
Pot yang terisi feses dan kuisioner yang telah diisi orangtua dikumpulkan
Pengukuran BB, TB, wawancara dan observasi terhadap anak
Fasilitas air bersih nominal
Kebiasaan mencuci tangan nominal
Kebiasaan menggigit kuku nominal
Perawatan kuku nominal
Variabel tergantung skala
Suku nominal
Infeksi STH nominal
3.10 Definisi Operasional
1. Infeksi STH adalah infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah.4
2. Umur dibagi atas 2 kelompok yaitu dibawah 10 tahun dan diatas sama dengan 10 tahun.
3. Kelas dikelompokkan atas 2 kelompok yaitu kelas I-III dan kelas IV-VI 4. Suku dibagi atas 4 kelompok yaitu suku Melayu, suku Batak (Toba, Mandailing, Karo dan Simalungun), Jawa dan suku lainnya. Suku anak ditentukan dari suku ayah (patrilineal).
Berat badan ditimbang dengan timbangan merek Camry buatan Cina dengan skala pengukuran hingga 100 kg dan ketelitian 0.1 kg. Tinggi badan diukur dalam satuan cm menggunakan mikrotois. Saat penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan, anak tidak memakai sepatu.
6. Jenjang pendidikan ayah atau ibu dibagi atas 2 yaitu rendah dan tinggi. Dikatakan rendah bila riwayat pendidikan orangtua dimulai dari tidak sekolah sampai SMP. Dikatakan tinggi bila pendidikan orangtua mulai dari kelas 1 SMA sampai perguruan tinggi.
7. Kondisi jamban dikatakan baik bila menggunakan jamban pribadi, terbuat dari semen/keramik. Kondisi jamban dikatakan tidak baik bila salah satu jawaban ini dijawab oleh responden seperti menggunakan jamban umum, BAB di sungai/tanah atau jamban terbuat dari tanah atau bahan yang lembab.
8. Penggunaan air untuk keperluan rumah tangga dikatakan baik bila air bersumber dari air ledeng, jarak dari sumber air ke jamban lebih dari 5 meter dan memasak air minum terlebih dahulu. Bila salah satu atau lebih jawaban tidak sesuai dengan kriteria diatas, disebutkan tidak baik.
10. Penilaian perawatan kuku dikatakan baik bila dari observasi terlihat kuku pendek dan bersih dan tidak baik bila kuku kotor
3.11. Rencana Analisis dan Pengolahan Data
BAB 4. HASIL PENELITIAN
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
[image:46.595.192.432.307.655.2]Kecamatan Medan Labuhan merupakan kecamatan di kota Medan dengan luas wilayah 40,68 km2 atau sekitar 13.83% dari luas keseluruhan kota Medan, dengan ketinggian 4 meter di atas permukaan laut.37
Secara geografis, kecamatan Medan Labuhan berbatasan langsung dengan: - sebelah utara : kecamatan Medan Belawan
- sebelah selatan : kecamatan Medan Deli - sebelah barat : kecamatan Medan Marelan - sebelah timur : kabupaten Deli Serdang
Kecamatan Medan Labuhan terdiri dari 6 kelurahan yaitu kelurahan Pekan Labuhan, kelurahan Sei Mati, kelurahan Besar, kelurahan Martubung, kelurahan Nelayan Indah dan kelurahan Tangkahan.37
4.2. Hasil Penelitian
[image:48.595.100.511.255.579.2]Penelitian dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri 065002 dan 065003 Kecamatan Medan Labuhan yang terletak 16 km ke arah barat dari pusat kota Medan pada bulan Januari 2014.
Gambar 4.2. Alur penelitian
Setelah dilakukan penyuluhan singkat mengenai kecacingan, seluruh siswa mendapat pot dan kuisioner yang akan diisi oleh orangtua. Dari 643 anak di kedua sekolah, ada 486 anak yang mengembalikan formulir orangtua
Anak yang dibagi kuisioner & pot N=643
486 anak mengembalikan kuisioner dan feses
Eksklusi:
-14 kuisioner tidak lengkap
-4 umur < 6 tahun
468 anak memenuhi kriteria eksklusi dan
Telur cacing positif Telur cacing negatif 296 Wawancara, observasi,pengukuran
Pemeriksaan feses
Nilai faktor risiko:
yang telah diisi dan pot berisi feses. Dari 486 anak, 14 anak diekslusikan karena kuisioner yang diisi orangtua tidak lengkap dan 4 anak berusia dibawah 6 tahun.
Tabel 4.1. Karakteristik subjek
Karakteristik Total (n= 468) Jenis kelamin
Laki-laki,n(%) 213 (45.5) Perempuan,n(%) 255 (54.5)
Usia, mean(SD) 9.30 (1.8)
Suku
Melayu,n(%) 117 (25.0) Batak,n(%) 213 (45.5) Jawa,n(%) 93 (19.9) Suku lainnya,n(%) 45 (9.6)
Status nutrisi
normal, n(%) 267 (57.1)
gizi kurang, n(%) 201 (42.9) Pendidikan ayah
Rendah,n(%) 294 (62.8) Tinggi,n(%) 174 (37.2) Pendidikan ibu
Rendah,n(%) 288 (61.5)
Tinggi,n(%) 180 (38.5)
pendidikan ayah yang rendah lebih banyak dibandingkan yang tinggi, begitu juga dengan pendidikan ibu subjek (62.8 vs 37.2, 61.5 vs 38.5).
[image:50.595.136.504.334.600.2]Infeksi cacing didapati pada 172 anak (36.7%), infeksi terbanyak adalah infeksi gabungan A.lumbricoides dan T.trichuris diikuti dengan infeksi tunggal T. trichiura dan A. lumbricoides (41.3%, 40.1% dan 18.6%). Tidak ada satupun infeksi cacing tambang yang didapati pada pemeriksaan feses subjek.
Gambar 4.3. Distribusi infeksi cacing berdasarkan suku
Gambar 4.3 merupakan gambar distribusi jenis cacing yang didapati pada subjek berdasarkan suku. Prevalensi infeksi cacing paling tinggi pada suku
Suku
Pr
evalen
si
infeksi
Batak, diikuti oleh suku Melayu, Jawa dan suku lainnya (45.5%, 25%, 19.9% dan 9.6%).
Tabel 4.2. Hubungan suku dengan pola hidup
Melayu (n=117) Batak (n=213) Jawa (n=93) Suku lain (n=45) p
Jamban 0.235
Tidak baik,n(%) 53 (45.3) 56 (26.3) 42 (45.2) 18 (40.0)
Baik,n(%) 64 (54.7) 157 (73.7) 51 (54.8) 27 (60.0)
Air bersih 0.088
Tidak baik,n(%) 57 (48.7) 139 (65.3) 62 (66.7) 23 (51.1)
Baik,n(%) 60 (51.3) 74 (34.7) 31 (33.3) 22 (48.9)
Kebiasaan cuci tangan 0.942
Tidak baik,n(%) 59 (50.4) 123 (57.7) 45 (48.4) 23 (51.1)
Baik,n(%) 58 (49.6) 90 (42.3) 48 (51.6) 22 (48.9)
Kebiasaan menggigit kuku 0.845
Ya, n(%) 45 (38.5) 67 (31.5) 29 (31.2) 14 (31.1)
Tidak, n(%) 72 (61.5) 146 (68.5) 64 (68.8) 31 (68.9)
Perawatan kuku 0.385
Buruk,n(%) 43 (36.8) 100 (46.9) 45 (48.4) 23 (51.1)
Baik,n(%) 74 (63.2) 113 (53.1) 48 (51.6) 22 (48.9)
hampir sama pada keempat suku. Dari tabel ini, tidak ada hubungan yang signifikan antara suku dengan pola hidup sehat.
Tabel 4.3. Analisis bivariat hubungan faktor risiko dengan infeksi STH
Karakteristik
Positif Negatif
(n=296) p OR (IK 95%) (n=172)
Jenis kelamin
Laki-laki,n(%) 75 (35.2) 138 (64.8) 0.527 0.88 (0.60-1.29) Perempuan,n(%) 97 (38.0) 158 (62.0)
Usia
< 10 tahun,n(%) 104 (45.4) 125 (54.6) 0.001 2.09 (1.42-3.06) >= 10 tahun,n(%) 68 (28.5) 171 (71.5)
Kelas
1-3,n(%) 95 (44.4) 119 (55.6) 0.002 1.83 (1.25-2.68)
4-6,n(%) 77 (30.3) 177 (69.7)
Suku
Melayu,n(%) 41 (35.0) 76 (65.0) 0.557 1.23 (0.60-2.50) Batak,n(%) 79 (37.1) 134 (62.9) 0.714 1.13 (0.58-2.18) Jawa,n(%) 34 (36.6) 59 (63.4) 0.696 1.15 (0.55-2.40) Suku lain,n(%) 18 (40.0) 27 (60.0)
Pendidikan ayah
Rendah,n(%) 110 (37.4) 184 (62.6) 0.699 1.08 (0.73-1.59) Tinggi,n(%) 62 (35.6) 112 (64.4)
Pendidikan ibu
Rendah,n(%) 110 (38.2) 178 (61.8) 0.413 1.17 (0.79-1.73) Tinggi,n(%) 62 (34.4) 118 (65.6)
Jamban
Tidak baik,n(%) 109 (64.5) 60 (35.5) 0.001 6.80 (4.47-10.35) Baik,n(%) 63 (21.1) 236 (78.9)
Air bersih
Tidak baik, n(%) 145 (51.6) 136 (48.4) 0.001 6.31 (3.94-10.11) Baik,n(%) 27 (14.4) 160 (85.6)
Kebiasaan cuci tangan
Tidak baik,n(%) 160 (64.0) 90 (36.0) 0.001 30.51 (16.14-57.69) Baik,n(%) 12 (5.5) 206 (94.5)
Ya, n(%) 95 (61.3) 60 (38.7) 0.001 4.85 (3.21-7.33) Tidak, n(%) 77 (24.6 236 (75.4)
Perawatan kuku
[image:53.595.113.518.147.224.2]Tidak baik,n(%) 106 (50.2) 105 (49.8) 0.001 2.92 (1.98-4.31) Baik,n(%) 66 25.7) 191 (63.2)
[image:53.595.113.526.487.656.2]Tabel 4.3 menunjukkan analisis bivariat masing-masing faktor risiko dengan infeksi STH pada subjek dengan menggunakan uji Chi-square dan regresi logistik. Hasil data menunjukkan variabel faktor risiko yang bermakna dengan nilai P < 0.05 adalah usia dibawah 10 tahun (OR 2.09), anak dari kelas yang lebih rendah (OR 1.83), jamban tidak memenuhi syarat (OR 6.80), air yang tidak bersih (OR 6.31), kebiasaan cuci tangan yang tidak baik (OR 30.51), kebiasaan menggigit kuku (OR 4.85) dan perawatan kuku yang buruk (OR 2.92).
Tabel 4.4. Analisis multivariat faktor risiko dengan infeksi STH
Faktor risiko koefisien P OR (IK95)
Umur 6-9 tahun 0.813 0.131 2.25 (0.78-6.50)
Kelas I-III -0.925 0.097 0.39 (0.13-1.18)
Jamban tidak baik 1.613 0.000 5.01 (2.75-9.14) Air yang tidak bersih 1.696 0.000 5.45 (2.80-10.59) Kebiasaan cuci tangan tidak baik 3.178 0.000 24.00 (11.45-50.33) Kebiasaan menggigit kuku 1.882 0.000 6.56 (3.41-12.61) Perawatan kuku yang buruk 0.832 0.006 2.29 (1.27-4.14)
dengan nilai P < 0.25 untuk dapat mengetahui variabel mana yang paling besar pengaruhnya. Variabel tersebut adalah umur 6-9 tahun, kelas I-III, jamban dan air yang tidak baik, kebiasaan cuci tangan yang tidak baik, kebiasaan menggigit kuku dan perawatan kuku yang buruk. Analisis multivariat dilakukan dengan uji regresi logistik dengan metode Enter.
BAB 5. PEMBAHASAN
Masalah kecacingan merupakan masalah global yang masih menjadi masalah kesehatan utama pada anak-anak usia sekolah di Indonesia. Di Indonesia masalah ini belum dianggap sebagai masalah kesehatan yang serius. Meskipun angka mortalitasnya sangat kecil, dampaknya dapat menjadi sangat berat karena dapat mempengaruhi perkembangan intelegensia dan mental anak.
Epidemi STH dipengaruhi oleh pejamu dan faktor tanah. Lokasi penelitian merupakan daerah pantai laut Belawan. Sebanyak 468 sampel feses anak telah diperiksa dan didapati 172 (36.7%) anak menderita infeksi kecacingan. Hasil ini lebih rendah dibandingkan prevalensi infeksi cacing usus di daerah pantai lainnya yaitu pantai Cermin, Sumatera Utara, Indonesia (53%).25
Pada studi ini dilakukan analisa untuk melihat hubungan suku dengan pola hidup sehat dan tidak ada hubungan yang signifikan suku dengan pola hidup sehat berupa sanitasi lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat.
Pada studi ini, subjek dibagi dalam 2 kelompok umur yaitu dibawah 10 tahun dan diatas atau sama dengan 10 tahun. Prevalensi infeksi STH didapati lebih banyak pada anak yang lebih muda, namun setelah disesuaikan dengan faktor risiko lainnya, tidak dijumpai hubungan yang signifikan usia dengan infeksi STH. Hasil ini sama dengan yang didapati dengan penelitian sebelumnya pada anak usia sekolah dasar di kabupaten Karo.22
Penelitian terhadap adanya peran genetik pada infeksi STH telah dilakukan di Ekuador dan Cina. Penelitian yang dilakukan pada 4 komunitas ras di Ekuador mendapati tidak ada hubungan faktor ras dan golongan darah dengan angka infeksi STH. Penelitian di Cina mendapati bahwa ada hubungan antara suku dan infeksi ketiga jenis STH, bahkan setelah disesuaikan dengan faktor risiko lainnya seperti faktor sosial ekonomi dan lingkungan.9,10 Pada penelitian ini tidak dijumpai hubungan antara suku dengan infeksi STH. Hasil yang berbeda ini bisa terjadi mungkin karena adanya perkawinan antar suku diantara masyarakat. Hasil ini membutuhkan penelitian yang lebih besar lagi dengan jumlah sampel dan kelompok suku yang lebih banyak lagi.
duduk di kelas yang lebih rendah berhubungan dengan infeksi STH, namun setelah digabung dengan faktor risiko lainnya, tidak dijumpai lagi perbedan yang signifikan. Pendidikan ayah maupun ibu juga tidak berhubungan dengan infeksi STH pada penelitian ini. Hasil ini sama dengan penelitian terhadap Orang Asli di Malaysia terhadap ketiga infeksi STH. Pada studi di daerah lainnya didapati hubungan pendidikan ibu dan atau pendidikan ayah dengan infeksi STH.9,23
Lingkungan memegang peranan penting dalam transmisi STH ini. Kondisi jamban dan sarana air bersih berhubungan signifikan dengan infeksi STH. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah perilaku hidup bersih dan sehat pada anak usia sekolah dasar tersebut. Di penelitian ini dinilai perilaku seperti kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan menggigit kuku dan perawatan kuku. Sama seperti faktor lingkungan, faktor ini juga berhubungan signifikan, bahkan kebiasaan mencuci tangan yang tidak baik merupakan faktor risiko terbesar dalam infeksi STH. Hasil yang serupa juga didapati pada penelitian lainnya serta meta analisis yang pernah dilakukan.9,23,25,38
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Sanitasi lingkungan dan perilaku hidup bersih berhubungan signifikan dengan
prevalensi infeksi kecacingan pada anak sekolah dasar. Faktor risiko terbesar infeksi
STH dari studi ini adalah kebiasaan cuci tangan yang baik dan benar.
Dari studi ini didapati bahwa suku tidak berhubungan dengan pola hidup
sehat maupun terjadinya infeksi STH pada anak usia sekolah dasar.
6.2. Saran
Penyediaan fasilitas cuci tangan serta edukasi kesehatan mengenai perilaku hidup
bersih dan sehat penting dilakukan secara berkesinambungan untuk menurunkan
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. Research priorities for helminth infections. Technical report of the TDR disease reference group on helminth infections. Geneva: World Health Organization, 2012.
2. Awasthi S, Bundy DAP, Savioli L. Clinical review: Helminthic infections. BMJ. 2003; 327:431-3
3. Hotez PJ. Helminth infections. Dalam: Krugman’s infectous diseases of children. Edisi ke-11. Mosby, 2004. h.227-36
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2008. 2009
5. Dewayani BS, Situmeang R, Sembiring T, Hamid ED, Pasaribu S, Lubis CP. Albendazole pada soil-transmitted helminthisis. USU 2004.
Diunduh dari: http://library.usu.ac.id/download/fk/anak-chairuddin12.pdf. Diakses Desember 2012
6. Bethony J, Brooker S, Albonico M, Geiger S, dkk. Soil-transmitted helminth infections: ascariasis, trichuriasis, and hookworm. Lancet. 2006:1521-32
7. Wang X, Zhang L, Luo R, Wang G, Chen Y, Medina A, dkk. Soil-transmitted helminth infections and correlated risk factors in preschool and school-aged children in rural southwest China. Plos ONE. 2012; 7(9):1-10 8. Huat LB, Mitra AK, Jamil NIN, Dam PC, Mohammed HJJ, Muda WA.
Prevalence and risk factors of intestinal helminth infection among rural malay children. J Global Inf Dis. 2012; 4:10-4
9. Mofid LS, Bickle Q, Jiang JY, Du Z, Patrick E. Soil-transmitted helminthiasis in rural south-west China: prevalence, intensity and risk factor analysis. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2011; 42(3):513-26
10. Cooper PJ, Guevara A, Guderian RH. Intestinal helminthiases in Ecuador: the relationship between prevalence, genetic and sosioeconomic factors. Revista de Sociedade Brasileira de Medicina Tropical 1993; 26:175-80
11. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 424/Menkes/SK/VI/2008 tentang Pedoman pengendalian cacingan. Jakarta, Indonesia, 2006.
12. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Medan. Kota Medan dalam angka. Badan Pusat Statistik Kota Medan, 2013.
14. Ascaris lumbricoides infections. Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Long SS, McMillan JA, penyunting. Redbook 2003: report of the committe on infectious diseases. Edisi ke-26. American Academy of Pediatrics; 2003. h.206-7
15. Dent AE, Kazura JW. Trichuriasis (Trichuris trichiura). Dalam : Berhman RE, Kleigman RM, Jenson HB, penyunting. Nelsons textbook of pediatrics. Saunders;2007.h.1499-1500
16. Pasaribu S, Lubis CP. Trichuriasis (Infeksi cacing cambuk). Dalam : Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI, penyunting. Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Jakarta;2010.h.376-9
17. Trichuriasis (whipworm infection). Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Long SS, McMillan JA, penyunting. Red book 2003: report of the committee on infectious disease. Edisi 26. American Academy of Pediatrics; 2003. h.638 18. Hotez PJ. Hookworms (Necator americanus and Ancylostoma spp.).
Dalam: Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Elsevier, 2008.h.1496-8 19. Hookworm infections. Dalam: Pickering LK, Baker CJ, Long SS, McMillan
JA, penyunting. Red book 2003: report of the committee on infectious disease. Edisi 26. American Academy of Pediatrics; 2003. h.356
20. Hotez PJ, Bethony J, Bottazzi ME, Brooker S, Buss P. Hookworm: “The great infection of mankind”. PloS Med. 2005; 2(3): 187-91
21. Monaghan S. The determinants of the health of the people. Diunduh dari:
http://www.cardiffhealthalliance.org/attributes/needs_04/7-1_TheDeterminantsOfHealthCommentary.pdf. Diakses Desember 2013 22. Ginting SA, Firmansyah I, Putra DS, Aldy D, Pasaribu SP, Lubis CP.
Association between sosioeconomic status and prevalence of intestinal worm infection in primary school children. Pediatr Indones. 2004; 44(5-6):106-10
23. Nasr NA, Al-Mekhlafi HM, Ahmed A, Roslan MA, Bulgiba A. Towards an effective control programme of soil-transmitted helminth infections among Orang Asli in rural Malaysia. Parasites & Vectors. 2013; 6:1-12
24. Hotez PJ, de Silva N, Brooker S, Bethony J. Soil transmitted helminth infections: the nature, causes and burden of the condition. Working paper No. 3, Disease control priorities project. Bethesda, Maryland: Fogarty International Center, National Institutes of Health, March 2003.
26. WHO:Soil-transmitted helminthiases. Eliminating soil-transmitted helminthiasis as a public health problem in children. Progress report 2001-2010 and strategic plan 2011-2020. WHO, Geneva, World Health Organization 2012
27. Profil data kesehatan Indonesia tahun 2011. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2012
28. Pusat promosi kesehatan. Departemen kesehatan Republik Indonesia,
2009 diunduh dari
www.perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream//123456789/1444/2/BK20 09-A.pdf pada tanggal 28 Maret 2014
29. Profil kesehatan Propinsi Sumatera Utara 2012. Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, 2013
30. Sofiana L, Sumarni S, Ipa M. Fingernail biting increase the risk of soil transmitted helminth (STH) infection in elementary school children. Health Sci Indones. 2011;2:81-6
31. Bethony J, Chen J, Lin S, Xiao S, Zhan B, Li S, dkk. Emerging patterns of hookworm infection: influence of aging on the intensity of Necator infection in Hainan province, People’s Republic of China. CID. 2002; 35:1336-44 32. Action against worms. Issue 8. 2007. Diunduh dari :
http://www.who.int/wormcontrol/newsletter/PPC8_eng.pdf
33. Knopp S, Mgeni AF, Khamis S, Steinmann P, Stothard JR, Rollison D, Marti H, Utzinger J. Diagnosis of soil-transmitted helminths in the era of preventive chemotherapy: effect of multiple stool sampling and use of different diagnostic techniques. PloS Neglected Tropical Diseases. 2008;2:e331
34. Montresor A, Crompton DWT, Hall A, Bundy DAP, Savioli L. Dalam: Guidelines for the evaluation of soil-transmitted helminthiasis and schistosomiasis at community level. Geneva: WHO; 1998. h.3 – 49.
35. Madiyono B, Moeslichan S, Sastroasmoro S, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan besar sampel. Dalam: Sastroasmoro S, Ismael S, penyunting. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi ke-4. Jakarta: Sagung Seto; 2011. h.348-81
36. Shore L, Garcia LS. Diagnostic parasit clinical laboratory manual Mosby company. St.Louis, 1983;2:26-31
37. Statistik daerah kecamatan Medan Labuhan 2013. Badan Pusat Statistik kota Medan
RINGKASAN
Infeksi kecacingan merupakan masalah global di seluruh dunia. Prevalensinya terutama di negara berkembang relatif masih tinggi, juga di Indonesia. Infeksi ini terbanyak mengenai anak-anak usia sekolah dasar. Angka kematian akibat kecacingan kecil, mungkin hal ini yang menyebabkan masyarakat dan pemerintah kurang menaruh perhatian terhadap penyakit ini. Infeksi STH menyebabkan fungsi kognitif dan kualitas hidup penderitanya menurun. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui gejala dan faktor risiko infeksi kecacingan sehingga dapat dilakukan tindakan yang komprehensif untuk mencegah dan mengobati infeksi cacing tersebut.
Faktor risiko infeksi STH telah banyak diteliti di seluruh dunia. Variabel yang selama ini diketahui merupakan faktor risiko adalah pengetahuan mengenai kesehatan, sanitasi lingkungan yang tidak memadai, perilaku hidup yang tidak bersih dan sehat. Beberapa faktor risiko lainnya yang juga pernah diteliti adalah pendidikan, pendapatan orangtua, ras, golongan darah serta suku.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada perbedaan pola hidup sehat pada berbagai suku dan apakah suku merupakan faktor risiko infeksi STH pada anak.
telah dilakukan analisa data dengan uji Chi-square, uji alternatif Chi-square Kolmogorov-Smirnov dan uji regresi logistik.
Dari studi ini, didapati bahwa suku tidak berhubungan dengan pola hidup sehat maupun infeksi STH. Faktor risiko infeksi STH dari studi ini adalah sanitasi yang buruk diantaranya kondisi jamban dan air bersih serta higiene individu yang tidak baik seperti kebiasaan mencuci tangan, kebiasaan menggigit kuku dan perawatan kuku.
SUMMARY
Soil-transmitted helminth (STH) infection is a global problem throughout the world. Its prevalence, particularly in developing country such as Indonesia, is still high. This infection predominantly affects primary school-aged children. STH infection described as a main cause of morbidity in school-aged children in the developing world, having negative impacts on children’s physical and cognitive development. The mortality rate is small, this might be the cause government and society put less concern to this disease. It is important to know the risk factors of STH infection in order we could do comprehensive actions to prevent this kind of infection.
Risk factors of this infection had been studied in all over the world. Well known risk factors associated with STH infection are lack of health knowledge, inadequate environment sanitation and unhygiene life style. Several risk factors also had been studied such as education, parental income, race, blood group and ethnic.
The aim of this study was to evaluate the difference of healthy life style in various ethnics and whether ethnic was a risk factor of STH infection in children.
As result from this study is ethnicity was not associated with STH infection. Poor sanitation and individual hygiene was the risk factors of STH infection.
In summary, ethnicity was not associated with STH infection in this study. Biggest risk factor is hand washing behaviour. Further larger scale study is needed to evaluate association of ethnicty with STH infections to assess the role of genetics in this disease.
LAMPIRAN
1. Personil Penelitian 1. Ketua Penelitian
Nama : dr. Dewi Mailany Pasaribu
Jabatan : Peserta PPDS Ilmu Kesehatan Anak FK-USU/RSHAM
2. Anggota Penelitian
1. Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpAK
2. dr. Ayodhia Pitaloka Pasaribu, MKed(Ped), SpA, PhD(ClinTropMed) 3. dr. Inke Nadia Diniyanti Lubis, MKed(Ped), SpA
4. dr. Hendri Wijaya, Mked(Ped), SpA 5. dr. Syarifah Mahlisa
2. Biaya Penelitian
3. Jadwal Penelitian
WAKTU
KEGIATAN
Desember 2013
Januari 2014
Februari 2014
Maret 2014
Persiapan
Pelaksanaan
Penyusunan laporan Pengiriman Laporan
FORMULIR ORANGTUA
KUISIONER PENELITIAN
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KECACINGAN
PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI MEDAN TAHUN 2014
Terima kasih atas kesediaan Bapak/Ibu meluangkan waktu untuk mengisi formulir ini. Perlu Bapak/Ibu ketahui bahwa formulir ini diisi berdasarkan kenyataan yang sebenar-benarnya, dan semua jawaban adalah benar. Dengan demikian, diharapkan dapat memberikan masukan untuk perbaikan kesehatan lingkungan Bapak/Ibu beserta anak-anak.
I. DATA PRIBADI ANAK
Nama anak :...……… Jenis Kelamin : LK / PR
Suku :
Tanggal lahir :
Alamat : ………...
II. DATA ORANGTUA
Isilah dengan tanda [ X ] jawaban yang sesuai dengan anda. Contoh:
Tingkat pendidikan orangtua : ayah ibu
( ) ( ) Tidak sekolah ( ) ( X ) Sekolah dasar
( X ) ( ) SLTP ( ) ( ) SLTA
( ) ( ) Perguruan tinggi Kami harapkan kesediaan Bapak/Ibu untuk mengisi pertanyaan dibawah ini sesuai dengan keadaan sebenar-benarnya. Terima kasih.
1. Tingkat pendidikan orangtua : ayah ibu
( ) ( ) Tidak sekolah ( ) ( ) Sekolah dasar
( ) ( ) SLTP ( ) ( ) SLTA
( ) nelayan ( ) buruh pabrik ( ) wiraswasta ( ) pegawai negeri ( ) lain-lain, sebutkan...
II. ANAMNESE
1. Terbuat dari apakah bahan lantai rumah Bapak/Ibu? A. Semen yang telah diplester/ubin/keramik
B. Tanah atau bahan yang lembab
2. Fasilitas buang air besar : A. Jamban umum B. Sungai C. Jamban sendiri
D. Lainnya: ...
3. Apakah bapak/ibu memiliki jamban sendiri dirumah? A. Ya
B. Tidak
4. Dari bahan apakah jamban bapak/ibu terbuat? A. Keramik
B. Tanah C. Semen
D. Lainnya:...
5. Apakah tersedia air yang cukup di WC? A. Ya
B. Tidak
6. Darimanakah sumber air yang digunakan sehari-hari untuk mandi, mencuci dan minum?
E. Lainnya...
7. Jarak dari jamban ke sumber air yang digunakan: A. Kurang dari 5 meter
B. 5 sampai 10 meter C. Lebih dari 10 meter
D. Lainnya...
8. Apakah air untuk minum dimasak terlebih dahulu? A. Ya
B. Tidak
9. Apakah saudara sering memperhatikan jari-jari dan kuku anak-anak saudara? A. Ya, setiap hari
B. Selalu
C. Kadang-kadang D. Tidak pernah
10. Apabila terlihat kuku anak anda panjang dan kotor, apa tindakan saudara? A. Memotong kuku anak anda dan membersihkannya
B. Menyuruh anak memotong dan membersihkannya C. Menegur dan memarahi
FORMULIR MURID
KUISIONER PENELITIAN
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KECACINGAN PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI MEDAN
TAHUN 2014 I. Data Umum Responden
1. Nama : 2. Jenis Kelamin : 3. Umur : 4. Alamat : 5. Kelas :
6. Sekolah :
7. BB/TB :
8. Status gizi : normal/gizi kurang
Lingkari jawaban di bawah ini II. Data Khusus
1. Apakah adik mempunyai jamban (WC) di rumah? a. Ya
b. Tidak
2. Dimana adik biasa buang air besar (BAB)? a. Jamban di rumah
b. Jamban umum c. Di tanah d. Di sungai e. Dimana saja
f. Lainnya :...
III. Data Personal Hygiene
1. Apakah adik mencuci tangan sebelum makan? a. Ya
b. Tidak
Bila Ya, teruskan dengan pertanyaan no. 2
2. Dengan apakah adik mencuci tangan sewaktu mau makan?
a. Air dan sabun
b. Air saja
3. Apakah adik mencuci tangan setelah buang air besar (berak)?
b. Tidak
54 Bila Ya, teruskan dengan pertanyaan no. 4
4. Dengan apakah adik mencuci tangan setelah buang air besar berak)?
a. Air dan sabun
b. Air saja
5. Apakah setelah bermain dengan tanah adik mencuci tangan? a. Ya
b. Tidak
Bila Ya, teruskan dengan pertanyaan no. 6
6. Dengan apakah adik mencuci tangan setelah bermain dengan tanah? a. Air dan sabun
b. Air saja
b. Kebiasaan menggigit kuku
7. Apakah adik sering menggigit kuku?
a. Ya b. Tidak
c. Kebersihan kuku
8. Apakah seminggu sekali adik memotong kuku?
a. Ya b. Tidak
9. Lihat keadaan kuku anak (observasi)
a. Pendek bersih
b. Pendek kotor, panjang kotor
Lembar Penjelasan Kepada Orang Tua Calon Subjek Penelitian
Bapak/Ibu Yth,
Saat ini, saya, dr. Dewi Mailany Pasaribu, dari Departemen Ilm Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan, sedang melakukan penelitian yang berjudul: “PREVALENSI DAN FAKTOR RISIKO INFEKSI KECACINGAN PADA
ANAK USIA SEKOLAH DASAR DI KOTA MEDAN”
yang menyangkut masalah infeksi kecacingan pada anak. Dari penelitian-penelitian sebelumnya, diketahui bahwa infeksi kecacingan mempunyai pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan maupun perkembangan anak. Infeksi kecacingan tidak saja meningkatkan angka kesakitan, tetapi juga menyebabkan malnutrisi dan mengganggu kemampuan belajar pada anak.
Angka kejadian infeksi kecacingan di daerah tropis dan subtropis sangat tinggi. Kejadian di Sumatera Utara mencapai 50%. Infeksi kecacingan merupakan infeksi berbasis lingkungan. Penularannya dipermudah dengan keadaan lingkungan yang tidak bersih dan tidak sehat. Kebiasaan hidup sehari-hari juga dapat menjadi faktor yang mempermudah penularan cacing. Oleh sebab itu, selain pemberian obat cacing, perlu dilakukan perubahan dalam kebersihan pribadi maupun lingkungan.
Adapun tujuan penelitian ini adalah mengetahui prevalensi dan faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap infeksi kecacingan pada anak.
Manfaat dari penelitian adalah menjadi masukan untuk pihak-pihak terkait seperti pihak dinas kesehatan, keluarga dan sekolah untuk mengusahakan perbaikan terhadap faktor-faktor tersebut.
Adapun mengenai biaya penelitian akan ditanggung oleh saya pribadi sebagai peneliti. Segala data hasil yang kami peroleh akan kami rahasiakan.
Bapak/Ibu Yth. Anak dari bapak/ibu akan dijadikan sukarelawan dalam penelitian ini. Untuk lebih jelasnya, anak dari bapak/ibu akan menjalani prosedur penelitian sebagai berikut :
1. Pada hari 1, anak bapak/ibu akan mendapat penyuluhan singkat mengenai infeksi kecacingan dan akan diberikan pot kosong untuk diisi dengan kotoran anak dan kuisioner yang akan diisi orangtua di rumah. Kotoran yang dimasukkan sekitar seperempat sendok teh, yang diambil pada saat pagi hari.
2. Pada hari 2, pot yang telah terisi kotoran anak dan formulir yang telah diisi orangtua dibawa oleh anak ke sekolah dan akan kami kumpulkan.
3. Anak yang mengembalikan pot dan kuisioner orangtua akan diukur berat badan dan tinggi badan dan kami akan melakukan wawancara terhadap anak
Pada lazimnya, penelitian ini tidak akan menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi anak bapak/ibu sekalian. Namun, bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan selama penelitian berlangsung, yang disebabkan oleh perlakuan yang dilakukan pada penelitian ini, bapak/ibu dapat menghubungi:
dr. Dewi Mailany Pasaribu (HP. 0852 6132 8892) untuk mendapat pertolongan.
Kerjasama bapak/ibu sangat diharapkan dalam penelitian ini. Bila masih ada hal-hal yang belum jelas menyangkut penelitian ini, setiap saat dapat ditanyakan kepada kami.
Setelah memahami berbagai hal yang menyangkut penelitian ini, diharapkan bapak/ibu bersedia mengisi lembar persetujuan turut serta terhadap anak bapak/ibu dalam penelitian yang telah disiapkan.
Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP)
INFORMED CONSENT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : ... Umur ... tahun L / P
Alamat : ...
dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya telah memberikan
PERSETUJUAN
untuk dilakukan wawancara dan pemeriksaan kecacingan terhadap anak saya :
Nama : ... Umur ... tahun
Alamat Rumah : ...
Alamat Sekolah : ...
yang tujuan, sifat, dan perlunya wawancara tersebut di atas, serta risiko yang dapat
ditimbulkannya telah cukup dijelaskan oleh dokter dan telah saya mengerti sepenuhnya.
Demikian pernyataan persetujuan ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan.
Medan , Januari 2014
Yang membuat pernyataan persetujuan
Tanda tangan orangtua/wali
(Nama orangtua)
RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap : Dewi Mailany Pasaribu Tempat dan tanggal lahir : Medan, 13 Mei 1981
Alamat : Komp. Stella Residence Blok H No. 12B Jln. Stella raya, Tanjung sari, Medan
Suami : Doan Wilfrid Sianturi, STP
PENDIDIKAN
Sekolah dasar : SD St Petrus Medan, tamat tahun 1993 Sekolah Menengah Pertama : SMP Budi Murni I Medan, tamat tahun
1996
Sekolah Menengah Umum : SMA Negeri 3 Medan, tamat tahun 1999 Dokter Umum : Fakultas Kedokteran USU Medan, tamat
tahun 2005
PEKERJAAN
‐ Dokter PTT di Puskesmas Kecamatan Hiliduho, Kabupaten Nias, 2005 – 2008
‐ Dokter di Yayasan IBU, Kabupaten Nias, 2008-2010
‐ Dokter PNS di RSUD Gunungsitoli, Kabupaten Nias, 2010-sekarang
PERTEMUAN ILMIAH/PELATIHAN
2. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IV Ikatan Dokter Anak Indonesia cabang Sumatera Utara, tahun 2010, sebagai peserta
3. Kongres Nasional IV Badan Koordinasi Gast roenterologi Anak Indonesia (BKGAI) di Medan, tahun 2010, sebagai peserta
4. Workshop Evidence Based Medicine Ikatan Dokter Anak Indonesia cabang Sumatera Utara, tahun 2012, sebagai peserta
5. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan V Ikatan Dokter Anak Indonesia cabang Sumatera Utara, tahun 2012, sebagai peserta
6. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan VI Ikatan Dokter Anak Indonesia cabang Sumatera Utara, tahun 2013, sebagai peserta
7. Kongres Nasional Ilmu Kesehatan Anak XVI di Palembang, tahun 2014, sebagai peserta
PENELITIAN
Hubungan suku dengan pola hidup sehat dan infeksi soil-transmitted helminth pada anak usia sekolah dasar diMedan Labuhan
ORGANISASI
1. 2005 – sekarang : anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI)