• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Frekuensi Makan Jajan di Luar Rumah dengan Kejadian Gizi Lebih pada Mahasiswi di Surakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Frekuensi Makan Jajan di Luar Rumah dengan Kejadian Gizi Lebih pada Mahasiswi di Surakarta"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

383 HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL

a. Karakteristik Subyek Penelitian

Setelah dilakukan pengambilan data dengan menggunakan wawancara recall konsumsi 24 jam dan lembar kuesioner pada setiap responden sebanyak 55 mahasiswi, hasil analisa univariatnya dapat disajikan dalam bentuk sebagai berikut

Tabel 1 Distribusi Karakteristik Responden Karakteristik

Responden N Min Max Mean SD Umur 55 18 23 19,56 1,18 BB 55 39 79 57,11 10,10 TB 55 146 165 156,42 4, 666 IMT 55 16 31 23,29 3,80

Jumlah

Sumber: Data Primer (2015)

Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa rata-rata responden berumur 19 tahun, rata-rata berat badan 57,11 kg, rata-rata tinggi badan 156,42 cm, dan rata-rata indeks massa tubuhnya 23,29. Rata-rata responden dalam penelitian ini berada pada tahapan remaja akhir, rentang 17 – 21 tahun (WHO, 2005). Adapun dari IMT menunjukkan rata-rata berada pada kategor i overweight untuk penduduk Asia (WHO, 2000). b. Status gizi mahasiswi

Tabel 2 Karakteristik Status Gizi mahasiswi Status Gizi Frekuensi %

Kurus 4 7,3%

Normal 20 36,4%

Over Weight 12 21,8%

Obese 1 15 27,3%

Obese 2 4 7,3%

Jumlah 55 100,0

Sumber: Data Primer (2015)

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa responden dengan Status Gizi lebih yang merupakan gabungan dari overweight, obese 1 dan obese 2 adalah 56,4%. Hal ini menunjukkan bahwa separoh dari responden penelitian ini berada pada status gizi lebih.

c. Frekuensi makan

Tabel 3 Distribusi Frekuensi makan

Frekuensi makan Frekuensi %

1 x sehari 1 1.8%

2 x sehari 26 47.3%

3 x sehari 28 50.9%

Jumlah 55 100,0

Sumber: Data Primer (2015)

Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa proporsi terbesar frekuensi makan responden adalah 3 kali (50,9%)

d. Frekuensi makan di Luar Rumah

Tabel 4 Distribusi Frekuensi makan di luar rumah

Frekuensi makan Frekuensi %

Tidak pernah 1 1.8%

2 – 3 kali per bulan 3 5.5%

Sekali seminggu 7 12.7%

2-3 kali perminggu 14 25.5% Hampir setiap hari 24 43.6%

Setiap hari 6 10.9%

Jumlah 55 100,0%

Sumber: Data Primer (2015)

Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa proporsi terbesar frekuensi makan di luar rumah responden adalah hampir setiap hari (43,6%). Hal ini semakin menguatkan asumsi bahwa makan di luar rumah cenderung menjadi trend masyarakat perkotaan. Makanan jalanan mewakili bagian penting dari konsumsi pangan di perkotaan untuk jutaan konsumen masyarakat menengah ke bawah setiap harinya. Makanan jalanan merupakan cara yang paling murah dan paling mudah untuk mendapatkan makanan di luar rumah (FAO, 2015).

e. Hubungan Frekuensi Kebiasaan Makan Jajan di Luar Rumah dengan Kejadian Gizi Lebih Tabel 5 Hubungan Frekuensi Kebiasaan Makan

Jajan di Luar Rumah dengan Kejadian GiziLebih Frekuen si Makan di Luar Rumah Status Gizi Tot al p v al ue O R (95% C I) Normal atau Kurus Overwei ght atau Obese I/II 2-3 kali per Minggu atau Jarang

15 10 25

60.00

% 40.00% 100%

Hampir atau Setiap Hari

9 21 30 0.025 3,5

30.00

% 70.00% 100% 10.7)

(1.1-Total 43.6024 31 55 % 56.40% 100% Sumber: Data Primer (2015)

(2)

384

proporsi frekuensi makan di luar rumah 2-3 kali per Minggu atau Jarang (40.0%) lebih kecil dar i proporsi frekuensi hampir atau setiap hari (70 %). Dari uji Chi Square diperoleh nilai p value 0,025, yang berarti ada hubungan yang signifikan antara frekuensi kebiasaan makan di luar rumah dengan kejadian gizi lebih. Adapun nilai OR 3,5 berarti peluang untuk makan di luar rumah hampir setiap hari atau setiap hari pada responden kelompok overweight/obese I dan II adalah 3,5 kali dari kelompok responden normal atau kurus.

PEMBAHASAN

Dari uji Chi Square diperoleh nilai p 0,025, sehingga Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti ada hubungan yang signifikan antara frekuensi kebiasaan makan di luar rumah dengan kejadian gizi lebih. Menurut Steyn, Demetre, Johanna (2011) Status sosial ekonomi berkaitan dengan kebiasaan makan di luar rumah karena mempunyai peranan penting dalam konsumsi makanan jajan. Karyawan pekerja memiliki asupan makanan siap saji yang lebih tinggi yang merefleksikan gaya makanan barat. Jarak rumah para karyawan pekerja dan tempat bekerja yang mempunyai jarak tempuh jauh menyebabkan kecenderungan untuk makan di luar rumah dikarenakan mudah di dapat, siap saji, biaya relatif murah untuk bisa memenuhi kebutuhan.

Seorang yang mempunyai kebiasaan makan di luar rumah yang sering, maka semakin meningkat kejadian terjadinya obesitas. Penelitian yang dilakukan oleh Appelhans, dkk (2012) juga diperoleh hasil bahwa pada wanita yang mengalami overweight dan obesitas memiliki hubungan yang erat dengan tingginya asupan energy yang diperoleh dari makan di luar rumah dan makanan siap saji.

Menurut Musaiger (2011) di banyak Negara jumlah makanan yang dijual di luar rumah mengalami peningkatan. Di Syria sebagai contoh diperoleh hasil penelitian 67,4% remaja laki laki usia 13-18 tahun biasa makan di luar rumah sedangkan pada wanita 54,5%. Tidak ada perbedaan yang signifikan diantara yang tinggal di perkotaan (60,1%) dan pedesaan (58,9%). Makanan yang dimakan di luar rumah sebagian besar tinggi kalori, tinggi dalam total kalori, total lemak, lemak jenuh, kolesterol, dan natrium tetapi sedikit calcium dan serat.

dan kalori dan gaya hidup sedentary memainkan peranan penting dalam peningkatan kejadian obesitas. Adanya tren konsumsi makanan siap saji terutama di kalangan anak dan remaja, turut berkontribusi dalam meningkatkan intake energi dan konsekuensinya adalah peningkatan resiko kelebihan berat badan.

Makanan yang dimakan di luar rumah sebagian besar tinggi energi, tinggi dalam total energi, total lemak, lemak jenuh, kolesterol, dan natrium tetapi sedikit calcium dan serat. Peningkatan frekuensi makan di luar rumah seperti di rumah makan kemungkinan dipengaruhi beberapa faktor diantaranya

(1)Banyak wanita yang bekerja sehingga mereka tidak memiliki waktu untuk menyiapkan makan di rumah.

(2)Peningkatan income perkapita

(3)Kurangnya tempat tempat untuk rekreasi menjadikan restoran sebagai alternatif favorit untuk menghabiskan waktu di akhir pecan dan hari libur bersama keluarga.

Hubungan frekuensi kebiasaan makan di luar rumah dengan kejadian gizi Lebih yang signifikan juga didukung hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa semakin tinggi asupan energi yang berlebih ada kecenderungan semakin mendekati status gizi overweight atau obese, dengan hasil uji Chi Square diperoleh nilai p 0,055. Apapun penyebab dasarnya, faktor etiologi primer dari obesitas adalah konsumsi energi yang berlebihan dari energi yang dibutuhkan dalam waktu lama (Hanim, 2004). Menurut Steyn et al.(2011), makanan di luar rumah secara umum sangat terjangkau dan memiliki energi yang tinggi sehingga merupakan pilihan utama bagi masyarakat dengan ekonomi lemah dalam memenuhi kebutuhan makannya.

(3)

385 makanan siap saji secara rutin merupakanfaktor

prediktor untuk terjadinya obesitas (Musaiger, 2011).

SIMPULAN Kesimpulan

Terdapat hubungan antara kebiasaan makan jajan di luar rumah dengan kejadian gizi lebih pada mahasiswi di Surakarta. Semakin sering frekuensi makan di luar rumah maka semakin besar risiko kejadian gizi lebih pada mahasisw i di Surakarta (OR=3.5).

Saran

1. Bagi institusi pendidikan (a) perlu melakukan pemantauan status gizi pada mahasiswinya secara periodik sebagai usaha untuk mengendalikan jumlah mahasiswa yang mengalami gizi lebih. (b) perlu menyediakan kantin yang menjual

makanan maupun minuman yang

memperhatikan keseimbangan gizi dan membatasi penjualan makanan dan minuman yang tidak memiliki nilai gizi.

2. Bagi Mahasiswi diharapkan dapat

melakukan pemantauan status gizi secara mandiri dan dapat mengurangi frekuensi makan di luar rumah, sebagai upaya pengendalian gizi lebih.

C.REFERENSI

Appelhans, B.M. 2012. Delay discounting and intake of readystoseat and awaysfroms home foods in overweight and obese woman, NIH Public Access Author Manuscript Accepted for publication in a peer reviewed journal.

Balitbang Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang Kemenkes RI

Bilaver, L.A. 2009. The Causal Effect of Family Income on Childhood Obesity.Health Economics Workshop May 14. Colorado

Fryar, C.D., Gu, Q., dan Ogden, L.C., 2012, Anthropometric Reference Data for Children and Adults, Vital and Health Statistics, 11, 1-40.

Hanim, D. 200k. Cost Effectiveness of Medical Nutrition Therapy = Nutrition Related Diseases Condition and Their Cost = (Case Study : Obesity and this Complication). Program Studi Gizi Masyarakat Sekolah Pasca Sarjana Institute Pertanian Bogor.

Hidayat. A.A.A. 2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Tekhnik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika

Mahan LK and Escott-Stump S., 2008.

Weight management. In: Mahan LK, Escott-Stump S., eds. Krause’s Food & Nutrition Therapy. 12th ed. St. Louis: Saunders Elsevier, 532-562.

Musaiger, A.O. 2011.Overweight and Obesity in Eastern Mediterranean Region: Prevalence and Possible Causes, Hindawi Publishing Corporation Journal of Obesity Volume 2011, article ID k07237, 17 pages

Ogden, C.L and Katherine M.F. 2010.Change in Terminology for Childhood Overweight and Obesity. U.S. Departement of Health and Human Services.Centers for Disease Control and Prevention. National Center For Health Statistic.

Steyn, N.P, Demetre dan Johanne. 2011. Factors which Influence The Consumption of Street Foods and Fast Foods in South Africa-A NationalSurvey, Nutrition Journal, volume 10: 104, Cape Town.

WHO. 2005. Nutrition and Adolescence Issues and Challenges for the Health Sector,

(4)

374

PERBANDINGAN LAMA NALA II DAN BERAT BADAN LAHIR TERHADAP NEJADIAN RUPTUR PERINEUM

Nor Asiyah

Jurusan Kebidanan, STIKES Muhammadiyah Kudus norasiyah@stikesmuhkudus.ac.id

ABSTRACT

Rupture of the perineum is the result of experience faced by the mother who gave birth normally. Mothers with delivery too fast, big babies, infants with mal presentation, the narrow pubic arch, rigid perineum and labor leaders that one can lead to rupture of the perineum. This research aims to compare the old and the second stage of birth weight on the rupture of the perineum in the supine position and push the combination (oblique and semi-sitting). This study was cross-sectional study conducted in population of all mothers who gave birth at the Maternity Hospital (RB) Fatimah and Private Practice Midwife Kasmanita that fulfill the inclusion and exclusion criteria. Number of respondents were 40. The collected data were tested for normality of data and the Mann-Whitney test. The result of the comparison between the stage II with p value = 0.034 or p <0.05 or there is a significant difference. The time of second stage is faster that ruptured perineum. For birth weight or value of p = 0.500 p> 0.05 so there is no relationship between the incidence of rupture with birth weight in push of the supine position and combination. Conclusion: new born birth weight does not directly affect the perineum rupture, while the long time of second stage directly influence the rupture of the perineum in a position to push between supine and combinations.

Keywords: The time of stage II, new baby birth weight, Rupture of the perineum accident. PENDAHULUAN

duptur perineum merupakan akibat yang sering dialami oleh ibu yang melahirkan secara normal pervaginam. Ibu-ibu dengan persalinan yang terlalu cepat, bayi yang besar, bayi dengan mal presentasi, arkus pubis ibu yang sempit, perineum kaku dan pimpinan persalinan yang salah dapat mengakibatkan ruptur perineum. Umumnya ibu akan merasa sangat khawatir apabila terjadi hal itu karena memerlukan tindakan perbaikan luka yang dapat menimbulkan nyeri.1,2

faktor-faktor yang mempengaruhi robekan perineum derajat 3 adalah episiotomi rutin secara mediolateral, posisi mengejan litotomi, persalinan dengan

tindakan vakum ataupun forsep,

pengalaman penolong persalinan, kala II yang berkepanjangan, nullipara, posisi oksipital melintang atau di belakang, usia ibu hamil kurang dari 21 tahun, ukuran berat lahir dan penggunaan oksitosin.3

(5)

375 Posisi telentang adalah posisi dimana

ibu bersalin saat mengejan tubuh bagian depan menghadap keatas. Posisi kombinasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gabungan antara dua posisi yaitu pada saat mengejan ibu menggunakan posisi miring sampai kepala janin mulai membuka vulva kemudian pada saat ekspulsi kepala janin ibu menggunakan posisi semi- duduk.4

Literatur review Cochrane

membandingkan posisi telentang dengan posisi lain pada kala II persalinan. Hasilnya, pada posisi miring dan tegak lama kala II lebih pendek, tindakan episiotomi berkurang, kejadian ruptur perineum derajat dua sedikit, meningkatkan risiko kehilangan darah lebih dari 500 ml, dan mengurangi sakit pada saat mengejan.5

Bersalin dengan posisi tegak atau berbaring miring lebih banyak keuntungan dibandingkan dengan posisi telentang atau litotomi yaitu meliputi kala dua lebih pendek, laserasi perineum lebih sedikit dan mengurangi nyeri.5 Posisi yang berubah-ubah sesuai keinginan pasien akan menambah kenyamanan dan membantu penurunan bayi. Tidak ada salah satu posisi yang bisa dikatakan sebagai posisi terbaik bagi ibu dan bayi, setiap posisi mempunyai

kelebihan dan kekurangan yang

kemungkinan dapat membantu dalam situasi yang berbeda.6

Hasil studi pendahuluan yang dilakukan terhadap 7 Bidan Praktik Swasta(BPS) di 4 kecamatan didapatkan

hasil lebih banyak bidan yang

menganjurkan pasien dalam posisi telentang saat mengejan yaitu sebanyak 5 bidan (71%) dari pada bidan yang menganjurkan pasien menggunakan posisi kombinasi saat mengejan yaitu sebanyak 2 bidan (29%).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan lama kala II dan berat badan lahir terhadap kejadian ruptur perineum pada posisi mengejan antara

telentang dan kombinasi pada saat mengejan.

METODE

dancangan penelitian ini adalah analitik komparatif dengan pendekatan prospektif, yaitu pengambilan data di mulai pada saat pembukaan serviks lengkap dan pasien mulai dipimpin mengejan sampai tahap pemeriksaan laserasi jalan lahir pada langkah APN. Populasi target dalam penelitian ini adalah semua ibu yang bersalin. Populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah semua ibu yang bersalin dengan posisi telentang di dB Fatimah, dengan alamat Jl. Agil Kusumadiya Gg. Sempalan Jati Kulon 3/3 Kudus, serta ibu yang bersalin yang menggunakan posisi kombinasi miring dan semi-duduk,di BPS Kasmanita dengan alamat Desa Peganjaran 3/2 Kecamatan Bae Kabupaten. Tehnik sampling dengan consecutive sampling yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dengan ukuran sampel 20 per kelompok. Untuk lama kala II terhadap kejadian ruptur perineum, data

yang terkumpul dilakukan uji

mann-Whitney karena jenis penelitiannya

komparatif dua kelompok tidak

berpasangan dengan skala ordinal, sedangkan untuk Berat Badan Lahir terhadap kejadian ruptur perineum, data yang terkumpul dilakukan dengan uji Exac Fisher dikarenakan skalanya kategorik (nominal atau ordinal).7

Hasil

Tabel 4.1 Narakteristik Responden.

Karakteristik Telentang Posisi mengejan Nilai p*) (n=20) Kombinasi (n=20) 1. Paritas

a. 2 b. 3 c. 4

16 4 0

16 2 2

0,26 4

(6)

376

a. ≤ 25 b. 26-30 c. ˃ 30

5 7 8

5 8 7

6

3. diwayat duptur a. dobek b. Utuh

19

1 19 1

1,0

4. Pendidikan Ibu a. SD b. SMP c. SMA d. S1

4 6 9 1

3 7 8 2

0,89 4

5. Pekerjaan Ibu a. IdT

b. Bekerja 12 8 11 9

0,74 9

Hasil penelitian posisi mengejan telentang dan kombinasi dengan lama kala II yang di tunjukkan pada tabel 1 adalah karakteristik subjek pada kedua kelompok tidak menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna karena semua nilai p ˃0,05; berdasarkan homogenitas subjek, maka data dapat diperbandingkan.

1. Analisis Univariat

Analisis yang digunakan untuk menggambarkan tiap variabel yang diteliti dengan menggunakan distribusi frekuensi, adapun variabel yang di teliti adalah lama kala II, berat badan lahir dengan kejadian ruptur pada ibu bersalin dengan posisi mengejan antara telentang dan kombinasi.

a. Lama kala II

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Lama Nala II

Lama

kala II Frekuensi Prosentase (%)

≤ 20

Menit 30 75

˃ 20

Menit 10 25

Total 40 100

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa lama kala II ≤ 20 Menit lebih banyak (75%) dari pada yang lama kala II > 20 Menit (25%)

b. Berat Badan Lahir

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Berat Badan Lahir

Berat Badan

Lahir

Frekuensi Prosentase (%)

< 3 Kg 6 15

≥3 Kg 34 85

Total 40 100

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa berat badan bayi baru lahir yang memiliki berat ≥3 Kg lebih banyak (85 %) dari pada bayi yang memiliki berat badan kurang dari 3 kg (15%).

c. Nejadian Ruptur Perineum

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Nejadian Ruptur Perineum

Nejadian Ruptur Perineum

Frekuensi Prosenta se (%)

Derajat 2 25 62,5

Derajat 1 8 20

Utuh 7 17,5

Total 40 100

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa kejadian ruptur perineum derajat 2 lebih banyak (62,5 %) dari pada yang utuh (17,5%).

2. Analisis bivariabel

(7)

377 antara telentang dan kombinasi pada ibu

bersalin sebagai berikut:

1) Perbandingan lama kala II dan Berat

Badan Lahir terhadap kejadian ruptur perineum

Tabel 4.5 Perbandingan lama kala II dan Berat Badan Lahir terhadap kejadian ruptur perineum

Faktor yang mempengar uhi

Kejadian duptur

Nilai

uji Nilai p

duptu r (n=33)

Utuh (n=7) 1. Lama

kala II (nmt) a. Mean SD) b. Median c. dentang

14,91 (7,92) 15 3-40

27,71 (14,83)

31 10-45

Z m-w = 2,129

0,034

2. Berat Badan Lahir (kg) a. ˂ 3

b. ≥ 3 28 5 1 6

0,500 *)

*): Exac Fisher

Berdasarkan uji Mann -Whitney

didapatkan nilai p value 0,034 atau p < 0,05 sehingga sangat bermakna antara lama kala II dengan kejadian ruptur perineum. Sedangkan untuk Berat Badan Lahir dengan uji exac Fisher menunjukkan tidak ada hubungannya dengan kejadian ruptur perineum.

2) Perbandingan Berat Badan Lahir

dengan posisi Mengejan

Tabel 4.6 Perbandingan Berat Badan Lahir dengan posisi Mengejan

BBL

(Kg) Posisi Mengejan Hitung*) T Nilai p Telentang

(n=20) Kombinasi (n=20)

˂ 3 1 5

≥ 3 19 15

Mean

(SD) 3,4 (0,33) 3,165(0,27) 2,486 0,017 dentang 2,6-4,0 2,75-3,7

Ket *) : Uji t data independen

Berdasarkan tabel diatas pada posisi telentang Berat Badan Lahir Bayi lebih tinggi.

3) Norelasi antara Lama Nala II dengan

Berat Badan Lahir (BBL) Bayi.

Korelasi antara lama kala II dengan Berat Badan Lahir bayi pada posisi mengejan antara telentang dan kombinasi pada ibu bersalin dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4. 7 Norelasi antara Lama Nala II

dengan Berat Badan Lahir (BBL) Bayi.

Posisi mengejan Korelasi antara lama kala II dengan BBL

rs Nilai p

Telentang (n= 20) 0,117 0,623

Kombinasi (n= 20) 0,247 0,293

Gabungan 0,334 0,035

Ket: rs (Koefisien korelasi rank Spearman)

Dari tabel di atas terdapat korelasi positip antara berat badan lahir dengan lama kala II untuk data gabungan semakin lama kala II maka semakin tinggi berat badan lahir bayi dengan r = 0,334; p= 0,035. Sedangkan jika dirinci berdasarkan posisi mengejan ada korelasi positip tetapi tidak bermakna dengan r = 0,117; p= 0,623 untuk posisi mengejan telentang, dan r = 0,247; p = 0,293 untuk posisi mengejan kombinasi.

PEMBAHASAN

(8)

378

semakin sering his yang muncul maka keinginan ibu untuk mengejan juga akan sering terjadi sehingga kala II akan semakin cepat selesai. Passages (Jalan lahir), jalan lahir terdiri dari jalan lahir lunak dan keras. Jalan lahir lunak dimulai dari rahim, serviks, vagina dan introitus vagina. Jalan lahir keras di mulai dari PAP (Pintu Atas Panggul), PTP (Pintu Tengah Panggul) dan PBP (Pintu Bawah Panggul). Jika antara kedua jalan lahir lunak dan keras tidak terdapat kelainan, maka lama kala II akan berjalan lancar tanpa adanya penyulit yang berarti. Passenger (Janin), Jika ukuran kepala dan bahu janin sesuai dengan ukuran panggul ibu atau lebih kecil maka lama kala II juga semakin pendek.

Posisi mengejan juga berpengaruh terhadap lamanya kala II. Menurut hasil penelitian sebelumnya di dapatkan nilai rerata (mean), simpangan baku (SD) dan median pada posisi telentang lebih tinggi daripada posisi mengejan kombinasi, dengan rentang waktu terpendek 3 menit dan terlama 40 menit untuk posisi telentang. Sedangkan untuk waktu yang lebih dari 60 menit tidak ada pada kedua posisi tersebut. Berdasarkan uji Mann - Whitney pada perbandingan lama kala II pada posisi mengejan antara telentang dan kombinasi dengan uji 1 pihak didapatkan nilai p = 0, 036 (p ˂ 0,05) yang bermakna.7

berat badan bayi baru lahir yang memiliki berat ≥ 3 lebih banyak (85 %) dari pada bayi yang memiliki berat badan kurang dari 3 kg (15%). Dengan semakin membaiknya perekonomian Indonesia maka berdampak pada meningkatnya pendapatan perkapita masyarakat, hal ini juga berpengaruh terhadap status gizi ibu hamil sehingga bayi-bayi yang di lahirkan lebih banyak yang memiliki berat badan lahir normal daripada yang kurang dari 2500 gr. Sesuai dengan hasil diskesdes tahun 2013 bahwa bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari normal sebanyak 10,2 % jika di

bandingkan dengan tahun 2010 yang mencapai 11,1%. 8

. Kejadian ruptur perineum derajat 2

lebih banyak (62,5 %) dari pada yang utuh (17,5%). Ibu dengan persalinan yang terlalu cepat, bayi yang besar, bayi dengan mal presentasi, arkus pubis ibu yang sempit, perineum kaku dan pimpinan persalinan yang salah dapat mengakibatkan ruptur perineum. Umumnya ibu akan merasa sangat khawatir apabila terjadi hal itu karena memerlukan tindakan perbaikan luka yang dapat menimbulkan nyeri.1,2 Hasil penelitian Angelos dkk. Menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi robekan perineum derajat 3 adalah episiotomi rutin secara mediolateral, posisi mengejan litotomi, persalinan dengan

tindakan vakum ataupun forsep,

pengalaman penolong persalinan, kala II yang berkepanjangan, nullipara, posisi oksipital melintang atau di belakang, usia ibu hamil kurang dari 21 tahun, ukuran berat lahir dan penggunaan oksitosin.3

Perbandingan lama kala II dan Berat Badan Lahir terhadap kejadian ruptur perineum

Berdasarkan uji Mann -Whitney

terdapat perbedaan yang bermakna pada lama kala II antara yang mengalami kejadian ruptur perineum dan yang tidak mengalami kejadian ruptur perineum. Pada kejadian ruptur, lama kala II lebih cepat bila

dibandingkan dengan yang tidak

mengalami ruptur. Dan dari tabel di atas tidak ada hubungan antara kejadian ruptur perineum dengan berat badan lahir bayi.

Salah satu faktor yang

menyebabkan terjadinya ruptur perineum adalah kepala janin yang melewati dasar panggul terlalu cepat atau terlalu lambat dan/atau ditambah dengan tindakan yang

tidak perlu seperti kromellas

(9)

379 dalam waktu yang cepat, sehingga tidak

terjadi adaptasi regang yang cukup tinggi pada perineum terhadap kepala janin yang mengakibatkan perineum mudah ruptur atau justru sebaliknya yaitu kepala janin terlalu lama tertahan dengan kuat di jalan lahir maka akan menyebabkan melemahnya otot-otot dan fasia dasar panggul sehingga mudah terjadinya ruptur.

Berat badan lahir tidak

mempengaruhi ruptur perineum pada penelitian ini di karenakan posisi mengejan yang dipakai saat persalinan. Karena di penelitian yang lain yang tidak menjelaskan tentang posisi mengejan menyatakan bahwa diantara faktor yang menyebabkan ruptur perineum salah satunya adalah ukuran berat badan lahir bayi seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Angelos dkk.

Terdapat korelasi positip antara berat badan lahir dengan lama kala II untuk data gabungan semakin lama kala II maka semakin tinggi berat badan lahir bayi dengan r = 0,334; p= 0,035. Sedangkan jika dirinci berdasarkan posisi mengejan ada korelasi positip tetapi tidak bermakna dengan r = 0,117; p= 0,623 untuk posisi mengejan telentang, dan r = 0,247; p = 0,293 untuk posisi mengejan kombinasi.

Berat badan lahir yang kecil akan mengakibatkan lama kala II lebih pendek daripada yang berat badan lahirnya lebih besar, sedangkan untuk posisi mengejan hubungannya positif tetapi tidak bermakna untuk yang telentang.

Pada posisi mengejan kombinasi berat badan lahir ˂ 3 kg lebih banyak sehingga kala II nya lebih cepat yang berakibat kejadian ruptur pada perineum ibu bersalin lebih tinggi. Kemampuan penolong persalinan juga dapat mempengaruhi ruptur perineum, pimpinan mengejan yang tepat, ketrampilan melindungi perineum dan keputusan yang tepat waktu akan mengurangi kejadian ruptur perineum.

Nesimpulan:

Berat badan Lahir bayi tidak berpengaruh terhadap kejadian ruptur pada posisi mengejan antara telentang dan kombinasi, tetapi berat badan lahir yang kecil maka kala II nya semakin cepat, dan kala II yang terlalu cepat akan menyebabkan ruptur perineum.

DAFTAR PUSTANA

dustam, M. Sinopsis Obstetri. 1998. EGC. Jakarta

FK. Unpad. Obsteri fisiologi. 1983.

Eleman. Bandung

Angelos Daniilidis, Vasilis Markis,

Menelaos Tzafetas, Panagiotis

Loufopoulos, Panagiotis Hatzis, Nikolaos Vrachnis, Konstantinos Dinas. 2012. Third degree perineal lacerations—How, why and when? A review analysis. Open Journal of Obstetri dan Ginekologi, 2012, 2, 304-310

www. Kamus Bahasa Indonesia.org

Gupta JK, Nikodem VC. Women’s position

during second stage of labour. Cochrane Data base Syst Rev. 2004;(1):CD002006

Joyce T. DiFranco, dN, BSN, LCCE, FACCE, Amy M. domano, MSN, CNM, and duth Keen, MPH, LCCE,

FACCE. Care Practice #5:

Spontaneous Pushing in Upright or Gravity-Neutral Positions. J Perinat Educ. 2007 Summer; 16(3): 35–38. Diakses 13-03-2012 [diunduh 13

Maret 2012] tersedia dari:

www.ncbi.nlm.nih.gov

(10)

380

Bandung: Universitas padjadjaran;

(11)

381 HUBUNGAN FRENUENSI MANAN JAJAN DI LUAR RUMAH DENGAN

NEJADIAN GIZI LEBIH PADA MAHASISWI DI SURANARTA

Anis Prabowo1), Weni Hastuti2)

1Prodi D III Keperawatan, STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta

email: anisprabo@gmail.com

2Prodi D III Keperawatan, STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta

email: wenihastuti@yahoo.co.id

Abstract

Background: Global estimation of WHO more than 1.4 billion people aged 20 years or more are overweight. The occurrence of obesity in students is often associated with changes in lifestyle and diet. This is in line with the times that students are more likely with the street food outside the home. The purpose of this study was to analyze the relationship between the frequency of eating outside the home with the incidence of overnutrition in female students in Surakarta. Methods: The study was using observational analytic with cross sectional design. Population were all STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta students. Sampling using consecutive sampling technique was obtained by 55 students. Nutritional status data was obtained by measuring BMI, eating habits was measured by recal 24 hours, and the student socioeconomic status data using questionnaires. Data were analyzed by bivariate using Chi Square test with a confidence level of 95% (α = 5%). Results: The frequency of eating outside the home had a significant correlation with the incidence of overnutrition in female students (p = 0.025) and had a value of Od = 3.5. Conclusion: The more often the frequency of eating outside the home, the greater the risk of incidence of overnutrition in female students in Surakarta.

Keywords: Eating outside the home, Over nutrition.

PENDAHULUAN

Obesitas seringkali didefinisikan sebaga i suatu kondisi abnormal atau berlebihan dari akumulasi lemak di dalam jaringan adipose, yang selanjutnya dapat mempengaruhi kesehatan. Sementara istilah kelebihan berat badan (Overweight) digunakan ketika berat badan melebihi dari standar untuk tinggi badan (Mahan dan Stump, 2008). Istilah obesitas lebih tepat dipakai untuk mengungkapkan suatu kondisi yang serius, yang sangat mendesak, dan membutuhkan tindakan pengobatan yang segera, dibanding penggunaan istilah overweight (Odgen dan Flegal, 2010).

Prevalensi obesitas meningkat secara signifikan dalam beberapa dekade terakhir dan dianggap oleh banyak orang sebagai masalah kesehatan masyarakat yang utama (Bilaver, 2009).Menurut WHO (2013) obesitas telah menjadi masalah dunia.Kegemukan dan obesitas merupakan risiko terkemuka kelima untuk penyebab kematian global.Setidaknya 2,8 juta orang dewasa meninggal setiap tahun sebagai akibat dari kelebihan berat badan dan obesitas. Beberapa estimasi global WHO dari tahun 2008

diantaranya lebih dari 1,4 miliar orang dewasa, usia 20 tahun atau lebih mengalami kelebihan berat badan. Dari jumlah penduduk yang mengalami kelebihan berat badan tersebut, lebih dari 200 juta laki laki dan 300 juta wanita mengalami obesitas.Secara keseluruhan, lebih dari 10% dari populasi orang dewasa di dunia mengalami obesitas.Dahulu obesitas dianggap sebagai permasalahan di negara negara dengan pendapatan tinggi, sekarang sudah meningkat di negara negara berpenghasilan menengah maupun rendah, khususnya di daerah perkotaan.Menurut laporan NCHS (National Center for Health Statistic) selama kurun waktu 2009-2010 terjadi peningkatan angka obesitas pada usia remaja 12-19 tahun, yaitu pada tahun 1976-1980 sebesar 5% dan menjadi 18,4% pada tahun 2009-2010 (Fryar, 2012).

(12)

382

menengah ke atas. Wanita obesitas secara signifikan lebih tinggi daripada laki-laki, dengan pengecualian di negara-negara berpenghasilan tinggi.Di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah, obesitas di kalangan perempuan adalah sekitar dua kali lipat dari kalangan pria (WHO, 2013). Di Afrika, Mediterania Timur dan Asia Tenggara, perempuan memiliki kira-kira dua kali lipat prevalensi obesitas. Secara umum kelebihan berat badan mempunyai prevalens i yang lebih besar daripada obesitas diantara usia remaja laki-laki atau perempuan. Di negara negara seperti Bahrain, Mesir, Tunisia, Quwait, dan Qatar prevalensi kelebihan berat badan lebih tinggi di kalangan perempuan daripada laki-laki, demikian pula obesitas. Di negara lain seperti Libanon dan Uni Emirat Arab prevalens i obesitas dan kelebihan berat badan lebih besar pada laki-laki daripada perempuan (Musaiger, 2011).

Menurut data dISKESDAS (2013) prevalensi berat badan lebih pada usia 18 tahun ke atas sebesar 13,5% dan obesitas sebesar 15,4%. Berdasarkan jenis kelamin prevalens i obesitas peduduk perempuan usia di atas 18 tahun 32,9% naik 18,1% dari tahun 2007 (13,9%) dan 17,5 % dari tahun 2010 (15,5%). Pada laki-laki, prevalensi obesitas di atas usia 18 tahun 2013 sebanyak 19,7% lebih tinggi dari pada tahun 2007 (13,9%) dan tahun 2010 (7,8%). Studi pendahuluan di STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta pada tahun 2014, menunjukkan 20,8% mahasiswa mengalami obesitas dan kelebihan berat badan.

Terjadinya obesitas pada mahasiswa sering dihubungkan dengan perubahan gaya hidup dan pola makan. Hal ini seiring dengan perkembangan zaman yang menuntun mahasiswa lebih cenderung senang dengan makanan jajanan di luar rumah.Makanan jajanan dalam porsi besar sangat mudah dijumpai di restoran, tempat makan cepat saji, bioskop, mal, supermarket, maupun kantin kampus. Makanan jajanan yang dibeli di luar rumah cenderung mempunyai kandungan yang lebih tinggi dalam energi total, lemak total, kolesterol, lemak jenuh, dan sodium, tetapi memiliki kandungan kalcium dan serat yang rendah. Secara keseluruhan di dunia jumlah makanan yang dapat diperoleh di luar rumah terus mengalami peningkatan baik berupa kemasan makanan siap saji maupun yang ada di restoran (Musaiger, 2011).

dipengaruhi oleh kebiasaan makan di luar rumah juga dipengaruhi oleh faktor lain yaitu genetika dan faktor sedentary life style. Berdasarkan data dISKESDAS (2013) menunjukkan bahwa pada kelompok umur 15-19 tahun terdapat 68,6 % dengan aktivitas sedentary 3 – 6 jam. Hal ini menunjukkan aktivitas sedentary pada remaja masih cukup tinggi. demaja wanita menunjukkan aktivitas sedentary 3-6 jam sebesar 66,9 %. Wanita remaja di pendidikan tinggi menunjukkan aktivitas sedentary 3-6 jam sebesar 65,1 %.

Mahasiswa STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta berasal dari wilayah Solo dan sekitarnya. Dari wawancara awal pada 10 mahasiswi STIKES PKU Muhammadiyah Surakarta yang mengalami kelebihan berat badan dan obesitas, ada 9 mahasiswi yang menjawab memiliki kebiasaan makan jajanan di luar rumah dan hanya ada 1 yang tidak. Dari 9 mahasiswi yang memiliki kebiasaan makan jajanan di luar rumah tersebut, ada 6 orang yang menjawab mengkonsumsi makanan jajanan melalui penjual makanan keliling, dan 3 orang makan di warung makan Jawa.

Berdasarkan penelusuran hasil penelitian terdahulu dan studi pendahuluan yang telah dilakukan maka penelitian ini dilakukan untuk menganalisis hubungan frekuensi makan di luar rumah dan jumlah uang jajan dengan kejadian gizi lebih pada mahasiswi di Surakarta.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan desain cross sectional. Desain cross sectional merupakan rancangan penelitian yang pengukurannya atau pengamatannya dilakukan secara simultan pada satu saat (Hidayat, 2007). Metode observasional analitik ini digunakan untuk menggambarkan hubungan antara kebiasaan makan jajanan di luar rumah dengan status gizi lebih pada mahasiswi.

Gambar

Tabel 5 Hubungan Frekuensi Kebiasaan Makan
Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Berat Badan Lahir
Tabel 4.5 Perbandingan lama kala II dan Berat Badan Lahir terhadap kejadian ruptur perineum

Referensi

Dokumen terkait

appear in the students ' dictation papers mostl y consist. of meaning

Dari 8 kota IHK, inflasi year-on-year tertinggi terjadi di Kota Surabaya sebesar 3,16 persen, diikuti Kota Malang sebesar 2,93 persen, Kabupaten Sumenep sebesar 2,50 persen,

PT Sandhy Putra Makmur saat ini merupakan perusahaan Jasa Pengelolaan Gedung yang terkemuka di Indonesia, dengan berbekal Visi Perusahaan: Menjadi pemimpin pasar di

Atom-atom bersuhu tinggi yang baru keluar dari zona radiatif akan bergerak dengan lambat mencapai lapisan terluar zona konvektif yang lebih dingin menyebabakan

Kedua , orang tua di Desa Morella Kabupaten Maluku Tengah memandang bahwa pendidikan Islam dalam rumah tangga sangat penting bagi anak, namun pengetahuan tentang

Berdasarkan dalam hal ini pengasuh dapat memberikan sanksi kepada santri yang mengulangi perilaku bully yang dilakukannya kepada santri lain, sehingga pengasuh

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan berdasarkan data atau fakta yang sahih atau valid, benar dan dapat dipercaya tentang Hubungan Antara

Judul yang penulis ajukan adalah pengaruh struktur kepemilikan terhadap profitabilitas pada perusahaan non keuangan yang terdaftar di bursa efek Indonesia.. Dalam penyusunan