• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMETAAN POTENSI KONFLIK SOSIAL DI WILAYAH KABUPATEN TANGGAMUS (Kajian Komparatif Potensi Konflik Sosial Pada Wilayah dengan Kategori Rural dan Urban di Kabupaten Tanggamus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMETAAN POTENSI KONFLIK SOSIAL DI WILAYAH KABUPATEN TANGGAMUS (Kajian Komparatif Potensi Konflik Sosial Pada Wilayah dengan Kategori Rural dan Urban di Kabupaten Tanggamus)"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

(Kajian Komparatif Potensi Konflik Sosial Pada Wilayah dengan Kategori Rural dan Urban di Kabupaten Tanggamus)

(Skripsi)

Oleh

MUHAMMAD MIFTAH ASHSIDDIQI

JURUSAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

(Kajian Komparatif Potensi Konflik Sosial Pada Wilayah dengan Kategori Rural dan Urban di Kabupaten Tanggamus)

Oleh

MUHAMMAD MIFTAH ASHSIDDIQI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA SOSIOLOGI

Pada Jurusan Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

(3)

Penulis dilahirkan di Kampung Purworejo Kecamatan Kotagajah, Lampung Tenggah pada tanggal 26 Juli 1990. Anak kedelapan dari delapan bersaudara, buah hati dari pasangan Bapak Marzuki. Bs, A. Ma. Pd (Alm) dan Ibu Hasyimah.

(4)

Penulis dilahirkan di Kampung Purworejo Kecamatan Kotagajah, Lampung Tenggah pada tanggal 26 Juli 1990. Anak kedelapan dari delapan bersaudara, buah hati dari pasangan Bapak Marzuki. Bs, A. Ma. Pd (Alm) dan Ibu Hasyimah.

(5)

Inna Sholaati Wanusuki Wamahyaaya Wamamati Lillahi Robbil Alamin ,

Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Rabb Alam

semesta

"Seseorang yang optimis akan melihat adanya kesempatan dalam setiap malapetaka,

sedangkan orang pesimis melihat malapetaka dalam setiap kesempatan (Nabi Muhammad

SAW)"

Learn from the past, live for the today, and plan for tomorrow

Work hard, Play hard

Janganlah memaksakan diri agar kelihatan lebih dari kenyataan yang sebenarnya

(6)

Dengan mengagungkan nama Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang,

kupersembahkan karya kecilku ini untuk orang-orang yang aku sayangi :

Bapak (Alm) dan Ibu tercinta ;

Marzuki BS, A. Ma. Pd dan Hasyimah yang senantiasa berjuang dan berdo a demi

keberhasilan anak-anaknya.

Kakakku tersayang ;

Dra. Afifatul Munawaroh dan Susilo, SH, M.Mahrus dan Siti Choiriyah, S. Ag, M.Kholil

dan Asih Mulyani, Fatmawati, S.E dan Rosihan, S.T, M.Ali Ridho, S.T dan Nurlailla

Hayati, S.Hi, Hasan Asy ary, S.H, M.H, dan Berty Andriani, S.E, M.M, Fita An nisa dan

Sofyan.

Keponakanku ;

Hani Amalia Susilo, Jihan Salwa Fahira, dan Muhammad Farrel Rajendra. Abdullah Zadit

Taqwa, M.Zidni Nuron A la, dan M.Ahsin Asanakallah, Neva Fatimatuzzahro dan Meisya

Azizah Wulandari. Alya Fadhilla Rofa dan Ghina Aqilla Rofa. Muhammad Rasyid Ridho

dan Syafira Rasya Ridho, Azka Pasha Asy ary, Aulia Adhiyaksa Asy ary, dan Muhammad

Arkhan Asy ary.

Terima kasih atas segala cinta, pengorbanan, kesabaran, motivasi, keikhlasan, dan do a

yang tiada henti diberikan dalam menanti keberhasilanku.

Sahabat karib masa kecil Ahmad Fukuludin Jalil, teman-teman kuliah yang masih

berjuang Panca, Pandu,Tomi, Lanang, Cileng, Kyai, Adri, Ketut, Gerry maupun yang lulus

Sabrina, Muthia, Ratu, Arif, Aziz, Hendro, Aliq, Rezky, Adhanti, Wenny, Monalia, Jani,

dan yang lainnya, sahabat-sahabat KKN terimakasih atas semuah bantuan kalian semasa

kuliah semoga Allah membalas kebaikan kalian dan yang masih berjuang semoga kalian

(7)

Piji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat Ridho-Nya penulis dapat melalui segala hambatan untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemetaan Potensi Konflik Sosial di Wilayah Kabupaten Tanggamus”(Kajian Komparatif Potensi Konflik Sosial Pada Wilayah dengan Kategori Rural dan Urban di Kabupaten Tanggamus), sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Sosiologi Universitas Lampung.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, mengingat keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh penulis, untuk itu penulis dengan senang hati akan menerima saran maupun kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Namun terlepas dari keterbatasan tersebut penulis mengharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Penulis yakin bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa bimbingan, dorongan, nasihat, dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Drs. Hi. Agus Hadiawan, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

2. Bapak Drs. Susetyo, M.Si., Selaku Ketua Jurusan Sosiologi.

(8)

kesabarannya dalam proses penulisan skripsi.

5. Ibu Dewi Ayu Hidayati, S. Sos, M. Si. selaku Pembahas Mahasiswa, yang juga telah banyak memberikan motivasi, petunjuk, pengarahan, serta bimbingan kepada penulis. 6. Ibu Dra. Paraswati Darimilyan selaku Pembimbing Akademik.

7. Seluruh Dosen di Jurusan Sosiologi FISIP Unila. Terimakasih atas semua ilmu yang sudah Bapak dan Ibu Dosen berikan, semoga ilmu yang diberikan selama penulis berkuliah di FISIP Sosiologi bermanfaat di masa depan serta bermanfaat bagi banyak orang.

8. Seluruh Staf Administrasi dan karyawan di FISIP Unila yang telah membantu melayani urusan administrasi perkuliahan dan skripsi.

Bandar Lampung, Desember 2015 Penulis

(9)

Dengan mengagungkan nama Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, kupersembahkan karya kecilku ini untuk orang-orang yang aku sayangi :

1. Bapak (Alm) dan Ibu tercinta ; Marzuki BS, A. Ma. Pd dan Hasyimah yang senantiasa berjuang dan berdo’a demi keberhasilan anak-anaknya. 2. Kakak-Kakaku ; Dra. Afifatul Munawaroh, dan Susilo, SH, Muhammad

Mahrus dan Siti Choiriyah, S. Ag, Muhammad Kholil dan Asih Mulyani, Fatmawati, S.E dan Rosihan, S.T, Muhammad Ali Ridho, S.T dan Ella,

Hasan Asy’ary, S.H, M.H,dan BertyAndriani, S.E, M.M, Fita An’nisa

dan Sofyan, yang senantiasa memberikan semanggat, motivasi, dukungan

dan Do’a.

3. Keponakanku ; Hani Amalia Susilo, Jihan Salwa Fahira, dan Muhammad Farrel Rajendra. Abdullah Zadit Taqwa, Zidni, dan Ahsin, Neva

Fatimatuzzahro dan Meisya Azizah Wulandari. Alya Fadhilla Rofa dan Ghina Aqilla Rofa. Muhammad Rasyid Ridho dan , AzkaPasha Asy’ary, Aulia Adhiyaksa Asy’ary, dan Arkhan yang senantiasa memberikan semanggat, dukungan danDo’a.

(10)

Halaman

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A. Tinjauan tentang Pemetaan Sosial ... 7

B. Tinjauan tentang Konflik Sosial... 8

C. Tinjauan tentang Masyarakat Rural dan Urban... 8

D. Kerangka Pemikiran ... 23

II. METODE PENELITIAN... 24

A. Pendekatan Penelitian ... 24

B. Definisi Konseptual ... 24

C. Definisi Operasional ...25

F. Teknik Pengumpulan Data ... 27

G. Analisis Data ... 28

IV. GAMBARAN UMUM LINGKUP PENELITIAN ... 46

4.1. Aspek Geografi dan Demografi ... 46

4.1.1. Karakteristik Lokasi dan Wilayah ... 46

A. Luas dan Batas Wilayah Administrasi ... 46

B. Letak dan Kondisi Geografis ... 51

4.1.2. Demografi ... 52

(11)

1. Pertumbuhan PDRB ... 56

2. Laju Inflasi ... 58

3. PDRB Perkapita ... 58

4. Persentase Penduduk Miskin ... 59

4.2.2. Fokus Kesejahteraan Masyarakat ... 60

A. Pendidikan ... 60

1) Angka Melek Huruf ... 60

2) Rata-Rata Lama Sekolah ... 61

3) Angka Partisipasi Kasar ... 61

4) Angka Partisipasi Murni ... 62

5) Angka Pendidikan yang Ditemukan ... 62

B. Kesehatan ... 62

4.2.3. Fokus Sumber Daya Manusia ... 68

A. Ketenagakerjaan ... 68

B. Pembangunan Manusia ... 69

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 71

A. Pemetaan Daerah Rawan Konflik Sosial di Kabupaten Tanggamus ... 71

1. Rangkaian Peristiwa Konflik Sosial di Kabupaten Tanggamus Sepanjang Tahun 2014 ... 71

1.1. Kerawanan dan Potensi Konflik di Kabupaten Tanggamus berdasarkan Data Polres Tanggamus Tahun 2014 ... 72

1.2. Kerawanan dan Potensi Konflik di Kabupaten Tanggamus berdasarkan Data Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Tanggamus Tahun 2014 ... 74

1.3. Kerawanan dan Potensi Konflik di Kabupaten Tanggamus berdasarkan Data Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Lampung Tahun 2014 ... 77

B. Pembahasan ... 78

1. Pemetaan Daerah Potensi Konflik pada Wilayah Kategori Rural .... 80

2. Pemetaan Daerah Potensi Konflik pada Wilayah Kategori Urban ... 84

(12)

DAFTAR PUSTAKA ... 90

(13)

Kategori Rural dan Urban di Kabupaten Tanggamus) M Miftah Ashsiddiqi

Teuku Fahmi

Abstract

This research aims to identify and explain the map of potential social conflict in Tanggamus which refers to the category of rural areas (rural) and urban (urban). In addition, it is expected to get an overview of the current situation regarding the potential for social conflict and their distribution pattern based on urban and rural regions in Tanggamus. the approach used in this research is quantitative with descriptive type. The data used in this study is entirely secondary data. The data used is the data intensity (frequency) that are either still in the form of conflict or potential conflict that has occurred in Tanggamus 2014. The results show that social conflict-prone regions in Tanggamus, when referring to the categorization of rural and urban, there is the intensity frequency a striking difference between the two regions. Seen that for rural areas there are 29 cases, while for urban there were 11 cases. In this case, it can be said, in rural areas tend to have the potential Tanggamus social conflict is higher than for the urban area. Nevertheless, it is not necessarily that of the urban area is not potential social conflict. In looking at the reality, to note also the comparison of rural and urban regions in Tanggamus, where the percentage of rural areas to 85 percent, while the urban area is only 15 percent.

(14)

DI WILAYAH KABUPATEN TANGGAMUS

(Kajian Komparatif Potensi Konflik Sosial Pada Wilayah dengan Kategori Rural dan Urban di Kabupaten Tanggamus)

M Miftah Ashsiddiqi ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menjelaskan peta konflik sosial potensial di Tanggamus yang mengacu pada kategori daerah pedesaan (rural) dan perkotaan (urban). Selain itu, diharapkan untuk mendapatkan gambaran dari situasi saat ini mengenai potensi konflik sosial dan pola distribusi mereka berdasarkan daerah perkotaan dan pedesaan di Tanggamus. pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif dengan tipe deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sepenuhnya data sekunder. Data yang digunakan adalah intensitas data (frekuensi) yang baik masih dalam bentuk konflik atau potensi konflik yang telah terjadi di Tanggamus 2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rawan konflik sosial di daerah Tanggamus, ketika mengacu pada kategorisasi pedesaan dan perkotaan , ada frekuensi intensitas perbedaan yang mencolok antara kedua daerah. Terlihat bahwa untuk daerah pedesaan ada 29 kasus, sedangkan untuk perkotaan ada 11 kasus. Dalam hal ini, dapat dikatakan, di daerah pedesaan cenderung memiliki konflik sosial yang potensial Tanggamus lebih tinggi dari untuk daerah perkotaan. Namun demikian, belum tentu bahwa dari daerah perkotaan tidak konflik sosial yang potensial. Dalam melihat kenyataan, untuk dicatat juga perbandingan daerah pedesaan dan perkotaan di Tanggamus, di mana persentase daerah pedesaan untuk 85 persen, sementara daerah perkotaan hanya 15 persen.

(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman 1. Visualisasi Pohon Konflik Interaksi antara

Faktor Struktural, manifest dan dinamis ... ... 19

2. Operasionalisasi Sensitivitas Konflik ... ... 25

3. Kerangka Pemikiran ... ... 40

4. Peta Wilayah Kabupaten Tanggamus ... ... 47

5. Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Tanggamus ... 60

6. Komparasi TPAK dan TPT Antara Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung dan Nasional ... ... 67

7. Peta Daerah Konflik Provinsi Lampung Tahun 2014 ... 77

(16)
(17)
(18)
(19)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini kehidupan Bangsa Indonesia tengah mengalami banyak ancaman

yang serius berkaitan dengan memanasnya konflik-konflik di masyarakat.

Trend konflik ini semakin mengkhawatirkan pasca era reformasi 1998. Pada

media 2012, Kemdagri merilis jumlah konflik sosial pada 2010 sebanyak 93

kasus. Kemudian menurun pada 2011 menjadi 77 kasus. Namun kemudian

meningkat pada 2012 menjadi 89 kasus hingga akhir Agustus (Antaranews,

2012). Bila ditelusuri lebih lanjut, terjadinya konflik sosial dikala itu

cenderung disebabkan oleh lemahnya sharing of understanding and

acceptance (berbagai pemahamaan dan penerimaan) meminjam istilah yang

dikemukakan (Suharto, 2005) di tengah masyarakat yang menyangkut ruang,

kekuasaan, ekonomi, dan kebudayaan.

Staf Ahli Menteri Sosial bidang Kehumasan dan Tatakelola Pemerintah Sapto

Waluyo menyampaikan, “daerah rawan konflik sosial disebabkan kondisi

ekonomi yang tertinggal”. Ada enam daerah diprediksi paling rawan pada

2014 ini. Meliputi Papua, Jawa Barat, Jakarta, Sumatera Utara, Sulawesi

Tengah, dan Jawa Tengah. "Sebagian besar kondisi ekonominya tertinggal

(20)

(hubungan) sosial antarkelompok sangat kaku, sehingga mudah meletup

hanya karena masalah kecil," kata Sapto Waluyo. Namun tegasnya, tidak

semua daerah tertinggal itu rawan konflik. Ada enam daerah diprediksi

sebagai wilayah paling rawan konflik sosial pada 2014. "Indikatornya terlihat

sepanjang 2013 daerah tersebut bermunculan aneka konflik," kata Sapto

menambahkan, di bawah ini adalah enam daerah yang diprediksi paling

rawan pada 2014.

Tabel 1. Prediksi Daerah Paling Rawan Konflik, 2014

Nama Daerah Jumlah Konflik Sosial

Papua (24) Peristiwa

Jawa Barat (24) Peristiwa

Jakarta (18) Peristiwa

Sumatera Utara (10) Peristiwa

Sulawesi Tengah (10) Peristiwa

Jawa Tengah (10) Peristiwa

Sumber: diliris oleh Kementrian Sosial dan JPNN (2014).

Prediksi yang diliris Kementrian sosial dan Jawa Pos Nasional Network

(JPNN) menunjukkan bahwa daerah yang paling banyak konflik adalah Papua

dan Jawa Barat. Berkaca dari jumlah terjadinya konflik sosial yang begitu

sering, pada 2014 lalu, Kemensos juga melancarkan program keserasian

sosial di 50 wilayah rawan konflik sosial dan program penguatan kearifan

(21)

Bila dilihat dari perspektif multikulturalisme (pandangan seseorang tentang

ragam kehidupan di dunia, menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan,

dan politik), keanekaragaman suku, agama, ras, dan budaya Indonesia

merupakan suatu kekayaan bangsa yang secara langsung maupun tidak

langsung dapat memberikan kontribusi positif bagi upaya menciptakan

kesejahteraan masyarakat. Namun, pada situasi tertentu, kondisi banyaknya

penduduk yang sangat heterogen dapat membawa dampak buruk bagi

kehidupan, jika terdapat kondisi ketimpangan pembangunan, ketidakadilan

serta kesenjangan sosial, ekonomi, kemiskinan dan juga dinamika kehidupan

politik yang tidak terkendali. Kondisi tersebut menempatkan Indonesia

sebagai salah satu negara yang rawan konflik. Adapun konflik yang mungkin

terjadi dapat berupa konflik horizontal maupun vertikal. Konflik horizontal

adalah konflik antara individu maupun kelompok yang biasa terjadi diantara

individu atau kelompok yang memiliki status sosial yang sama, sedangkan

konflik vertikal adalah konflik yang terjadi antara individu atau kelompok

yang memiliki kekuasaan, kewenangan dan status sosial berbeda. Dampak

yang dirasakan masyarakat berkenaan dengan konflik sosia cukup kompleks,

diantaranya: mengakibatkan hilangnya rasa aman, menciptakan rasa takut

masyarakat, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, korban jiwa dan

trauma psikologis (dendam, kebencian dan perasaan permusuhan), sehingga

menghambat terwujudnya kesejahteraan umum. Kementrian sosial dan Jawa

Pos Nasional Network (JPNN) merilis daerah rawan konflik sosial, berikut

(22)

Tabel 2. Daerah Rawan Konflik Sosial di Indonesia, 2014

Sumber: dirilis oleh Kemensos dan JPNN (2014).

Dari tabel di atas dapat kita lihat bahwa hampir setiap daerah di Indonesia

terdapat konflik sosia. Beberapa kajian menunjukkan bahwa konflik akan

selalu diawali dengan adanya potensi yang mengendap kemudian dapat

berkembang memanas menjadi ketegangan emosi dan akhirnya pecah

memuncak menjadi konflik fisik akibat adanya faktor pemicu konflik. Contoh

konkrit masalah konflik di Indonesia yang cukup serius baik yang bersifat

horizontal maupun vertikal antara lain:

1. Konflik yang bernuansa separatisme (gerakan untuk mendapatkan

kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia):

konflik Republik Maluku Selatan (RMS) dan Organisasi Papua Merdeka

(23)

2. Konflik yang bernuansa etnis: konflik di Lampung, Kalimantan Tengah,

dan Ambon.

3. Konflik yang bernuansa ideologis: isu faham komunis, Gerakan 30

September Partai Komunis Indonesia (G30S PKI), faham radikal Islamic

State of Iraq and Syria (ISIS).

4. Konflik yang benuansa politis: isu kecurangan Pilkada, isu pemekaran

wilayah di beberapa wilayah yang berakibat penyerangan dan

pengerusakan.

5. Konflik yang bernuansa ekonomi: konflik antar kelompok nelayan di selat

Madura, antar kelompok preman, antar kelompok pengemudi, antar

kelompok pedagang.

6. Konflik bernuansa solidaritas: tawuran antar wilayah, antar pendukung

sepak bola.

7. Konflik isu agama atau aliran kepercayaan: isu berkaitan dengan

Ahmadiyah, isu aliran sesat.

8. Konflik isu kebijakan pemerintah: BBM (Bahan Bakar Minyak), BOS

(Bantuan Oprasional Sekolah), LPG (Liquified Petroleum Gas).

Untuk konteks Provinsi Lampung, pada tiga tahun terakhir, Lampung

merupakan salah satu provinsi yang mendapat perhatian khusus terkait

dengan ekskalasi (pertambahan) dan intensitas konflik sosial yang relatif

cukup tinggi. Realitas/kenyataan menunjukkan bahwa dinamika

kemajemukan masyarakat Lampung banyak diwarnai oleh konflik-konflik

(24)

frekuensi dan persentase konflik sosial yang cukup tinggi, dapat di lihat

melalui tabel di bawah ini.

Tabel 3. Jumlah Kejadian Konflik dan kekerasan di Provinsi Lampung selama tahun 2008-2010

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Konflik berbasis agama/etnis -

-Konflik politik 6 9,5

Konflik antaraparat Negara -

-Konflik sumber daya alam -

-Konflik sumber daya ekonomi 1 1,6

Tawuran 10 15,9

Penghakiman massa 39 61,9

Pengeroyokan 4 6,3

Lain-lain 3 4,8

Total 63 100

Sumber: Tohari et al., 2011.

Bila berkaca pada kejadian konflik rentang tahun 2008-2010, tidak ada

peristiwa konflik yang berbasis agama/etnis pada rentang waktu tersebut.

Namun demikian, peristiwa tahun 2012 lalu (konflik Balinuraga di Lampung

Selatan), merupakan puncak kejadian konflik antar etnis terbesar di Provinsi

Lampung. Disusul konflik selanjutnya pada tanggal 23 Februari 2014 juga

terjadi bentrok antar dua desa antara Buminabung utara dan Buminabung Ilir,

Lampung Tengah yang dipicu permasalahan sengketa lahan. Puluhan rumah

rusak parah serta dua rumah terbakar,dua unit sepeda motor rusak terbakar

menurut beberapa warga banyak rumah yang di jarah. Rentang waktu tersebut

juga terjadi peristiwa konflik lain pada beberapa wilayah di Provinsi

(25)

Mengacu data Sensus BPS (Badan Pusat Statistik) Lampung di tahun 2010,

berdasarkan kriteria etnik/bangsa diperoleh data statistik, di Provinsi

Lampung terdapat mayoritas Etnik Jawa sebanyak 4.113.731 (61,88 %),

Etnik Lampung 792.312 (11,92 %), Etnik Sunda (Banten) 749.566 (11,27 %),

Etnik Palembang Semendo 36.292 (3,55%), dan etnik lainnya seperti

Bengkulu, Batak, Bugis, Minang, Tionghoa, Bali, Madura, dan lain-lain.

Kondisi masyarakat yang begitu beragam dimungkinkan memicu terjadinya

gesekan antar kelompok etnik. Provinsi Lampung merupakan salah satu

daerah dengan berbagai keragaman, baik agama, karakter budaya, identitas

etnik, pola-pola adat, kondisi geografis, rasa, dan ungkapan bahasa, serta

berbagai kategori lainnya.

Kesalahan dalam menyikapi keragaman identitas etnik, budaya, dan agama

dalam kehidupan bermasyarakat tercermin padabeberapa kasus kerusuhan

sosial di Provinsi Lampung. Pada tingkatan kabupaten, Pemerintah

Kabupaten (Pemkab) Tanggamus merumuskan peta kerawanan dan ancaman

sosial yang dapat memicu terjadinya konflik (Lampost, 2014). Hasil evaluasi

(penilaian) dan inventarisasi (pencatatan) diketahui sedikitnya ada 12 indikasi

konflik di Bumi Begawi Jejama, Kabupaten Tanggamus. Beberapa titik

kerawanan yang dapat memicu konflik tersebut diantaranya lokasi kawasan

industri maritim (KIM) di Kecamatan Limau dan Kota Agung Timur terkait

permasalahan petani penggarap lahan Pertamina dan LSM Petani Batubalai

Bersatu (PBB) dengan Pertamina, PT. Rapindo Jagad Raya dan Pemkab

(26)

Kecamatan Talang Padang, Syi’ai dan Ikhwanul Muslimin di Kecamatan

Gisting, Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) di Kecamatan Limau.

Selanjutnya, PT. Tanggamus Indah di Kecamatan Kotaagung Timur, lokasi

pertambangan emas PT. Natarang Mining di Kecamatan Bandar Negeri

Semoung, lokasi pembangkit listrik tenaga panas bumi di Kecamatan

Ulubelu, calon lokasi pembangunan pembangkit listrik tenaga Microhidro di

Kecamatan Semaka, perambahan hutan TNBBS di Kecamatan Semaka dan

Pematangsawa, kawasan hutan lindung dan hutan kemasyarakatan (HKm).

Konflik nelayan obor dan nelayan yang menggunakan jaring curshing di

Kecamatan Kelumbayan, konflik tapal batas Kecamatan Bandar Negeri

Semoung dan Bandar Suoh (Lampung Barat), objek-objek vital di

Tanggamus dan konflik kriminalitas disepanjang jalan lintas barat (Jalinbar)

yang marak pembegalan.

Kasus terakhir adalah kerusuhan di Kecamatan Semaka, Kabupaten

Tanggamus. Sejumlah warga Pekon Way Kerap membakar rumah di Pekon

Sukaraja, Kecamatan Semaka. Pembakaran rumah tersebut sebagai aksi

serangan balasan atas insiden kekerasan yang menimpa seorang pemuda

warga Way Kerap. Pemuda tadi disangka pelaku pencurian sehingga dihajar

warga Sukaraja. Aksi main hakim sendiri yang ternyata salah sasaran

berbuntut pada kekerasan dan keberutalan warga.

Secara khusus, hampir seluruh wilayah di Kabupaten Tanggamus memiliki

potensi konflik yang khas bila mengacu pada kondisi ditiap wilayah. Realitas/

(27)

konflik yang cukup mengkhawatirkan bila tidak dilakukan serangkaian upaya

pencegahan konflik.

B. Rumusan Masalah

Melihat situasi kekinian akan potensi konflik sosial yang begitu menonjol,

maka diperlukan upaya pemetaan dan identifikasi wilayah rawan konflik di

Kabupaten Tanggamus. Gambaran mengenai wilayah rural (pedesaan) dan

urban (perkotaan) di Kabupaten Tanggamus memiliki ciri pembeda yang

kontras. Pada aspek ini ditiap wilayah tersebut juga memiliki potensi konflik

sosial yang berbeda pula. Berdasarkan pada realitas (kenyataan) tersebut,

maka pertanyaan penelitian yang akan diajukan ialah “Bagaimana peta

potensi konflik sosial di Kabupaten Tanggamus merujuk pada kategori

wilayahrural(pedesaan) danurban(perkotaan)?”

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan peta

potensi konflik sosial di Kabupaten Tanggamus yang merujuk pada kategori

wilayah rural (pedesaan) dan urban (perkotaan). Selain itu, diharapkan

mendapatkan gambaran mengenai situasi terkini mengenai potensi konflik

sosial dan pola persebarannya berdasarkan wilayah rural dan urban di

Kabupaten Tanggamus.

D. Manfaat Hasil Penelitian

Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis

(28)

a. Manfaat Teoritis

Manfaat penelitian ini bila dilihat dari aspek teoritis, diharapkan nantinya

penelitian ini mampu memperkaya literatur atau kajian mengenai pemetaan

potensi konflik sosial. Dilihat dari aspek metodologis (ilmu-ilmu/cara yang

digunakan untuk memperoleh kebenaran), hasil penelitian ini nantinya

diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi proses penelitian

selanjutnya, khususnya untuk lingkup yang lebih spesifik.

b. Manfaat Praktis

Adapun pada aspek praktisnya yakni diharapkan penelitian ini nantinya dapat

memberikan masukan yang berarti bagi para pemangku kepentingan

(stakeholders), baik pihak kepolisian daerah, pemerintah daerah, dan

dinas-dinas terkait di lingkungan Pemkab Tanggamus, dalam menciptakan situasi

(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Pemetaan Sosial

Pemetaan sosial (social mapping) kini lazim digunakan sebagai satu

pendekatan dalam penanganan masalah sosial. Bila ditelusuri secara harfiah,

kata “pemetaan” merujuk pada proses, cara, perbuatan membuat peta,

sedangkan kata “sosial” secara sederhana dimaknai berkenaan dengan

masyarakat. Adapun secara terminologis, (Suharto, 2005) memberikan

penjelasan bahwa pemetaan sosial merupakan proses penggambaran

masyarakat yang sistemik serta melibatkan pengumpulan data dan informasi

mengenai masyakat termasuk di dalamnya profile (riwayat) dan masalah

sosial yang ada pada masyarakat tersebut.

Jauh sebelum itu, Netting, Kettner dan McMurty ditahun 1993 telah

memberikan gambaran ringkas tentang pemetaan sosial. Mereka

mendeksripsikan atau menjelaskan pemetaan sosial sebagai social profiling

atau pembuatan profil suatu masyarakat (Suharto, 2005:82). Salah satu wujud

atau hasil akhir pemetaan sosial lazimnya berupa suatu peta wilayah yang

sudah diformat atau dirancang sesuai dengan fungsionalitasnya mencitrakan

(30)

pada pandangan Netting, Kettner dan McMurty, ada tiga alasan mengapa

diperlukan pendekatan yang sistematik dalam melakukan pemetaan sosial

(Suharto, 2005:82), diantaranya yakni:

1. Pandangan mengenai “manusia dalam lingkungannya” (the person

in-environment). Untuk konteks ini, masyarakat dimaknai sebagai seseorang

yang memiliki sosok tertentu, mencakup beragam masalah yang dihadapi,

hingga menerakan sumber-sumber apa saja yang tersedia untuk

menangani masalah tersebut. Pengembangan masyarakat tidak akan

berjalan baik tanpa pemahaman mengenai pengaruh-pengaruh masyarakat

tersebut.

2. Pengembangan masyarakat memerlukan pemahaman mengenai sejarah

dan perkembangan suatu masyarakat serta analisis mengenai status

masyarakat ini.

3. Masyarakat secara konstan berubah. Individu-individu dan

kelompok-kelompok bergerak ke dalam perubahan kekuasaan, struktur ekonomi,

sumber pendanaan dan peranan penduduk. Pemetaan sosial dapat

membantu dalam memahami dan menginterpretasikan atau menafsirkan

perubahan-perubahan tersebut.

B. Tinjauan tentang Konflik Sosial

1. Pengertian Konflik Sosial

Secara umum, konflik merupakan gejala sosial yang selalu hadir dalam

kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren, artinya konflik akan

(31)

masyarakat merupakan arena konflik atau arena pertentangan dan integrasi

(proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam

kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat

yang memilki keserasian) yang senantiasa berlangsung. Oleh karenanya,

konflik dan integrasi sosial merupakan gejala yang selalu mengisi setiap

kehidupan sosial.

Kata “konflik” lazim dimaknai sebagai perselisihan atau pertentangan.

Namun bila ditelusuri secara etimologis istilah “konflik” berasal dari bahasa

Latin “con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau

tabrakan. Dengan demikian, konflik dalam kehidupan sosial berarti benturan

kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain yang paling tidak melibatkan

dua pihal atau lebih (Setiadi dan Kolip, 2011).

Secara terminologis, (Jones, 2008) menekankan bahwa konflik merupakan

perselisihan antara dua pihak atau lebih yang saling terkait dalam usaha

mereka memperoleh tujuan. Lebih lanjut, (Jones, 2008) juga mengemukakan

bahwa konflik merupakan fenomena sosial yang menyangkut perselisihan

antara pihak. Pihak yang terlibat dalam konflik dapat berupa skala individu,

kelompok, organisasi, negara, atau bangsa. Semakin banyak pihak yang

terlibat konflik, semakin sulit untuk mengelola proses konflik. Hal tersebut

akan berimplikasi (terlibat) untuk dihasilkannya sebuah keputusan atau

penyelesaian yang dapat diterima oleh semua pihak.

Beberapa definisi di atas telah memberikan gambaran bahwa konflik dapat

(32)

(saling berhadapan), atau sebagai hadirnya kepentingan-kepentingan yang

saling tidak selaras. Uraian yang penting dari penggambaran konflik tersebut

yakni didasarkan pada interaksi. Konflik diwujudkan dan dipelihara oleh

perilaku masing-masing pihak yang terlibat dan reaksi di antara mereka.

Pertama, di dalam perilaku konflik masing-masing pihak merasa bahwa

tujuan atau kepentingannya tidak saling berkesesuaian dan sama-sama

menganggap pihak lain sebagai sumber penghambat di dalam mencapai

tujuannya itu. Kata kuncinya adalah“anggapan” yang bersifat subjektif, yang

mengarah pada unsur “merasakan (perceive)”. Tanpa memperhatikan apakah

tujuan-tujuannya itu secara nyata tidak berkesesuaian, jika masing-masing

pihak mempercayai bahwa hubungan di antara mereka dalam mencapai

tujuan masing-masing menjadi tidak sesuai, maka kondisi tersebut sudah

mengarah pada konflik. Jadi, interpretasi (penafsiran) dan kepercayaan

masing-masing pihak memainkan peranan kunci di dalam konflik. Kedua,

interaksi di dalam situasi konflik diwarnai oleh “saling ketergantungan

(interdependence)” di antara masing-masing pihak. Untuk memunculkan

konflik, perilaku salah satu pihak atau kedua belah pihak harus memiliki

konsekuensi terhadap pihak yang lainnya.

2. Akar Penyebab Konflik

Menelaah perihal penyebab terjadinya konflik tidaklah mudah. Namun

demikian, para sosiolog berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu

adanya hubungan sosial, ekonomi, politik yang akarnya adalah perebutan atas

(33)

jumlah ketersediaannya sangat terbatas dengan pembagian tidak merata di

masyarakat (Setiadi dan Kolip, 2011). Ketidakmerataan pembagian aset-aset

sosial di dalam masyarakat tersebut dianggap sebagai bentuk ketimpangan.

Ketimpangan pembagian ini menimbulkan pihak-pihak tertentu berjuang

untuk mendapatkannya atau menambahinya bagi yang perolehan aset

sosialnya relatif sedikit atau kecil. Sementara pihak yang telah mendapatkan

pembagian aset sosial tersebut berusaha untuk mempertahankan dan bisa juga

menambahnya. Pihak yang cenderung mempertahankan atau menambah

disebut sebagai status quo (tetap) dan pihak yang berusaha mendapatkannya

disebut sebagai statusneed(perlu) Berdasarkan gambaran tersebut, penyebab

konflik dapat disederhanakan menjadi dua aspek, yaitu:

1. Kemajemukan horizontal, yang artinya adalah struktur masyarakat yang

majemuk secara kultural, seperti suku bangsam agama, ras, dan majemuk

secara sosial dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi. Kemajemukan

horizontal-kultural menimbukan konflik yang masing-masing unsur

kultural tersebut mempunyai karakteristik sendiri dan masing-masing

penghayat budaya tersebut ingin mempertahankan karakteristik

budayanya tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya seperti ini, jika

belum ada konsensus nilai yang menjadi pegangan bersama, konflik yang

terjadi dapat menimbulkan perang saudara dan gerakan separatisme

(paham atau gerakan untuk memisahkan diri). Jika situasi ini terjadi,

maka masyarakat tersebut akan mengalami disintegrasi (perpecahan).

2. Kemajemukan vertikal, yang artinya struktur masyarakat yang

(34)

kekuasaan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik sosial

karena ada sekelompok kecil masyrakat yang memiliki kekayaan,

pendidikan rendah, dan tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan.

Polarisasi masyarakat seperti ini merupakan benih subur bagi timbulnya

konflik sosial. Singkat kata, distribusi (pembagian) sumber-sumber nilai

di dalam masyarakat yang pincang akan menjadi penyebab utama

timbulnya konflik.

Lebih lanjut, beberapa pakar lain berpendapat perihal akar penyebab konflik

secara lebih luas. Mereka berpendapat bahwa beberapa hal yang lebih

mempertegas akar dari timbulnya konflik diantaranya:

1. Perbedaan antar-individu; diantaranya perbedaan pendapat, tujuan,

keinginnan, pendirian tentang objek yang dipertentangkan.

2. Benturan antar-kepentingan baik secara ekonomi ataupun politik.

3. Perubahan sosial, yang terjadi secara mendadak biasanya menimbulkan

kerawanan konflik.

4. Perbedaan kebudayaan yang mengakibatkan adanya perasaan in group

(di dalam kelompok) dan out group (di luar kelompok) yang biasanya

diikuti oleh sikap etnosentrisme kelompok, yaitu sikap yang

ditunjukkan kepada kelompok lain bahwa kelompoknya adalah paling

baik, ideal, beradab di antara kelompok lain.

Namun demikian, para pakar tersebut memandang bahwa empat gejala sosial

tersebut di atas bukanlah faktor penyebab utama terjadinya konflik sosial.

Empat faktor tersebut adalah faktor pemicu terjadinya konflik, sedangkan

(35)

dari konflik sosial adalah disfungsi sosial. Disfungsi sosial disini bermakna

nilai dan norma sosial yang ada di dalam struktur sosial masyarakat tidak lagi

ditaati, pranata sosial (sistem tata kelakuan dalam hubungan yang berpusat

kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi berbagai kebutuhan khusus dalam

masyarakat) dan sistem pengendaliannya tidak berjalan sebagaimana

mestinya.

Pandangan lain dikemukakan oleh para penganut teori konflik dimana

penyebab utama konflik ialah adanya perbedaan atau ketimpangan hubungan

dalam masyarakat yang memunculkan diferensiasi (proses) kepentingan.

Menurut Turner ada beberapa faktor yang memicu terjadinya konflik sosial

(Setiadi dan Kolip, 2011:363), diantaranya yakni:

1. Ketidakmerataan distribusi (pembagian) sumber daya yang sangat

terbatas di dalam masyarakat.

2. Ditariknya kembali legitimasi (pengesahan) penguasa politik oleh

masyarakat kelas bawah.

3. Adanya pandangan bahwa konflik merupakan cara mewujudkan

kepentingan.

4. Sedikitnya saluran untuk menampung keluhan-keluhan masyarakat kelas

bawah serta lambatnya mobilitassosial ke atas.

5. Melemahnya kekuasaan negara yang disertai dengan mobilisasi

(perpindahan) masyarakat bawah oleh elite.

6. Kelompok masyarakat kelas bawah menerima ideologi radikal

(36)

3. Tahapan Konflik

Ditinjau dari tahapan, konflik sosial secara sederhana dapat dibagi menjadi

dua, yaitu konfliklatentdanmenifest. Konflik latentsering dimaknai sebagai

konflik terpendam atau konflik potensial. Konflik pada tahap ini masih

berada di bawah permukaan, tetapi gejala-gejala permusuhan sudah tampak.

Sikap dan perilakunya mengekspresikan perasaan-perasaan yang bersifat

kontra produktif, seperti kesal, dengki, benci, tidak puas, tidak setuju, dan

sebagainya. Sedangkan konflik manifest sering disebut dengan konflik

terbuka, yang diekspresikan dalam perilaku nyata dalam bentuk protes,

perlawanan, penyerangan, penentangan, dan sejenisnya. Pada konflik terbuka

ini dilihat dari tindakan yang dilakukan dan akibat yang ditimbulkannya,

secara sederhana dapat dibagi dua, yaitu tanpa kekerasan dan dengan

kekerasan. Konflik tanpa kekerasan termasuk konflik terbuka yang tidak

menimbulkan kerugian dalam bentuk korban jiwa, harta benda, serta

mengganggu keamanan dan merusak tatanan sosial dalam masyarakat.

Sedangkan konflik kekerasan adalah yang menimbulkan kerugian semua itu.

Konflik sosial menurut UURI No.7 Tahun 2012 adalah yang termasuk

kategori konflik kekerasan.

Fisher et al. (2000) menjelaskan tentang tahapan konflik lebih rinci yang

diurutkan menjadi empat tahapan, yaitu:

1. Prakonflik: tahap awal terjadinya konflik, adanya ketidaksesuaian

sasaran di antara pihak-pihak yang berkonflik, misalnya memunculkan

(37)

2. Konfrontasi: konflik semakin terbuka disertai aksi-aksi kekerasan tingkat

rendah, misalnya menyusun kekuatan.

3. Krisis: aksi-aksi kekerasan meningkat menyerupai periode perang, misal

menyandera.

4. Akibat: aksi kekerasan menurun, ditandai oleh adanya negosiasi atau

usaha untuk mengentikan konflik, misal satu pihak mundur akibat

perlawanan yang tidak seimbang, tidak ada negosiasi.

Pascakonflik upaya pihak-pihak berkonflik untuk mengakhiri berbagai aksi

kekerasan. Jika tidak ada upaya penyelesaian dengan baik, maka akan

kembali pada tahap prakonflik. Gambar di bawah ini merupakan visualisasi

“Pohon Konflik “ Interaksi antara Faktor Struktural, manifest dan dinamis.

Gambar 1.Visualisasi “Pohon Konflik “ Interaksi antara Faktor Struktural, manifest dan dinamis.

(38)

Pohon konflik adalah sarana visualisasi, menggambarkan interaksi antara

faktor-faktor struktural, manifest dan dinamis. Akar sebagai pondasi

melambangkan faktor struktural penyebab konflik yang terdiri dari; cultural

discriminationatau diskriminasi (perbedaan) budaya,weak statesatau negara

yang lemah, elite politics atau pemegang kekuasaan politik dan group

histories atau sejarah kelompok masyarakat. Batang merupakan masalah

nyata, yang menghubungkan faktor struktural dengan faktor dinamis terdapat

land alienation (keterasingan lahan), dan refugee camp (tempat pengungsi).

Daun yang bergerak dengan angin tersebut, merupakan faktor dinamis, terdiri

dari; miscommunication atau salah paham, strike atau pemogokan, coups

d’etatatau kudeta (perebutan kekuasaan), religion(agama), fear(rasa takut).

Faktor dinamis meliputi bentuk komunikasi, tingkat eskalasi (kenaikan),

aspek hubungan dan lain-lain. Bekerja dengan faktor dinamis melibatkan

waktu yang singkat; reaksi terhadap intervensi (campur tangan) yang cepat

dan pada waktu yang tak terduga. Contoh: intervensi diplomatik, atau

transformasi (perubahan) multi-konflik berhadapan langsung dengan bentuk

interaksi antara pihak-pihak konflik.

Lebih lanjut, pakar lainnya mengemukakan terdapat lima tahapan konflik

yang dapat disajikan secara berurutan, yaitu: latent conflict, perceived

conflict, felt conflict, manifest conflict, dan conflict aftermath (Husman,

1985).

1. Latet conflict. Menggambarkan suatu situasi di mana di dalamnya

(39)

langka, dorongan untuk mengelolanya sendiri, atau adanya perbedaan

dalam mencapai tujuan.

2. Perceived conflict. Terjadi di mana masing-masing pihak menganggap

adanya kondisi-kondisi konflik, dan di antara mereka juga tidak

memahami posisinya masing-masing secara benar.

3. Felt conflict. Ini menggambarkan suatu tahapan di mana anggota

kelompok yang berkonflik tidak hanya menyadari adanya kondisi

konflik, mereka juga mengalami ketegangan karena konflik itu. Dengan

kata lain, kondisi konflik tersebut telah mempengaruhi mereka.

1. Manifest conflict. Ini terjadi pada tahapan di mana

ketegangan-ketegangan yang sudah terjadi di antara mereka sudah disalurkan

(diungkapkan) melalui agresi secara terbuka atau melalui cara-cara

tersembunyi (covert means).

2. Conflict aftermath. Tahapan ini menunjukkan hasil setelah konflik. Pada

tahapan ini kondisi-kondisi konflik latent dapat menjadi konflik yang

lebih besar apabila tidak ditekan dan diselesaikan.

Peneliti lain mencoba menggambarkan lebih lanjut lima tahapan konflik

secara berurutan, yaitu: latent conflict, initiation, balancing of power,

balance of power, dan disruption. Latent conflict, terjadi di mana

masing-masing pihak saling menjaga perbedaan disposisi atau sikap yang membawa

potensi konflik. Perbedaan nilai-nilai, tujuan, pandangan adalah hadir dan

sebagai dasar perilaku mendatang. Inisiation (inisiasi) terjadi ketika terdapat

“pemicu” konflik. Pada situasi ini perbedaan-perbedaan potensial menjadi

(40)

di mana masing-masing pihak saling menilai kapabilitas pihak lain dan

berkehendak untuk menggunakan kekuatan, ancaman, dan sebagainya, dan

mereka secara nyata mengkonfrontasikan isu ketika mereka sampai pada

penyelesaian. Balance of power (keseimbangan kekuasaan) terjadi ketika

masing-masing pihak sampai pada suatu pemahaman konsekuensi (pendirian)

dari resolusi (sesuatu yang hendak dicapai) dan belajar untuk menyesuaikan

diri dengan hasil yang dicapai. Disruption (gangguan) terjadi ketika

masing-masing pihak menyadari bahwa keadaan seperti itu dapat memunculkan

konflik potensial dan pada akhirnya terjadi konfrontasi (permusuhan).

Kondisi ini mengalami siklus menjadi inisiation sampai akhirnya konflik

tersebut terselesaikan.

4. Penyelesaian dan Penanganan Pasca Konflik

John Galtung melihat konflik dari sisi subyektif dan obyektif yang dapat

dikelola melalui ketiga strategi yang saling berhubungan, yaitu

peace-keeping, peace making, dan peace building (Ryan, 1990). Pada dasarnya

gagasan Galtung yang berhubungan dengan konflik ada tiga yaitu perbedaan

antara kekerasan langsung (pembunuhan), kekerasan struktural (kemiskinan

dan mati kelaparan), dan kekerasan budaya (apapun yang membutakan atau

yang membenarkan kekerasan). Kekerasan langsung dapat diselesaikan

dengan perubahan perilaku politik, kekerasan struktural dengan

memindahkan kontradiksi (pertentangan) struktural dan ketidakadilan, dan

kekerasan budaya dengan mengubah sikap.

Sedangkan pada pengelolaan konflik, para pakar mengajukan beberapa

(41)

masalah (problem solving), menarik diri (withdrawing), dan diam (inaction).

Hal ini juga dapat dilakukan dengan melalui intervensi (campur tangan)

pihak ketiga. Pendapat lain menyatakan bahwa pihak ketiga tersebut bisa

menyangkut fungsi, perilaku, struktur dan sumbangan yang diberikan.

Model penyelesaian konflik yang paling banyak dilakukan dimasyarakat

adalah berbentuk intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang dimaksud

tersebut menyangkut fungsi, perilaku, struktur dan sumbangan yang

diberikan. Bercovitch mengajukan model kombinasi antara sumber konflik,

intensitas konflik dan keterlibatan pihak luar dalam menanganan konflik.

Terlibat atau tidaknya pihak luar dalam proses konflik ini diklasifikasikan

sebagai bentuk endogenous (variabel yang mempunyai anak panah menuju

kearah variabel tersebut) dan exogenous (semua variabel yang tidak ada

penyebab-penyebab eskplisitnya atau dalam diagram tidak ada anak panah

yang menuju kearahnya). Keduanya merupakan penyelesaian konflik baik

pada tingkat konflik terpendam maupun terbuka, dengan menggunakan

cara-cara tersendiri sesuai dengan jenis keterlibatan dan intensitasnya. Di bawah

ini merupakan kerangka acuan resolusi konflik sosial.

Tabel 2.1 Kerangka Acuan Resolusi Konflik

Masalah Dituju Strategi

Penyelesaian

Kelompok Sasaran

Perilaku Kekerasan Peace-keeping (aktivitas militer)

Armed groups

(‘warriors’)

(kelompok

(42)

Kepentingan dirasa

Di dalam kondisinya yang berkelanjutan itu ada tiga mekanisme pengelolaan

konflik, yaitu model kultural, tradisional dan rasional. Semakin terbuka

wujud konflik maka semakin mengarah pada model pengelolaan rasional.

Pengelolaan konflik model kultural dilakukan untuk mencegah munculnya

konflik terpendam agar tidak muncul ke permukaan. Mekanisme (cara kerja)

pengelolaan konflik model tradisional agar tidak berkelanjutan, dilakukan

dengan melalui kelembagaan lokal (atau lembaga adat) setempat.

Mekanismenya dilakukan dalam bentuk upacara, mendamaikan pihak-pihak

yang berkonflik, musyawarah kekeluargaan atau melalui pengadilan adat

setempat. Kelemahan utama model ini adalah cenderung tidak dapat

mengakomodasikan (memenuhi kebutuhan) masalah yang timbul sebagai

akses dari kehidupan moderen yang majemuk, dan secara resmi tidak

mempunyai kekuatan hukum atau dianggap bertentangan dengan hukum

resmi. Pada model rasional, penyelesaian konflik yang dilakukan oleh negara

melalui jalur lembaga peradilan atau lewat jalur lain yang memiliki kekuatan

hukum tetap. Selain itu, negara yang mempunyai kekuatan memaksa yang

(43)

kemungkinan menggunakan model ini, yaitu atas kesadaran rakyat sendiri

yang berkonflik atau atas keputusan pemerintah setempat.

Pendekatan sensitif konflik melibatkan pemahaman yang baik dari interaksi

dua arah antara kegiatan dan konteks serta bertindak untuk meminimalkan

dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif dari intervensi (campur

tangan) konflik, dalam memberikan prioritas organisasi. Ada tiga komponen

utama sensitivitas konflik:

1. Konflik, untuk memastikan pemahaman yang baik tentang konteks

konflik;

2. Analisis interaksi potensial antara program dan konflik;

3. Aksi untuk memaksimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak

negatif terhadap konflik.

Pendekatan tersebut dirangkum dalam gambar di bawah ini.

Gambar 2. Operasionalisasi Sensitivitas Konflik

(44)

Konflik Sensitivitas Konsorsium bertujuan untuk memahami apa artinya

"sensitivitas konflik" dalam hal sistem organisasi serta desain, implementasi

(pelaksanaan), monitoring (pengawasan) dan evaluasi (penilaian) intervensi

tertentu. Konsorsium terdiri dari beragam lembaga dan bertujuan untuk

berbagi temuannya dalam hal kemanusiaan, sektor pembangunan perdamaian

dan pembangunan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan

menerapkan pendekatan sensitif konflik.

Pengelolaan hubungan antar kelompok berarti menangani sebab-sebab

terjadinya konflik dan berusaha membangun hubungan yang bisa bertahan

lama di antara beberapa pihak-pihak yang berkonflik (Fisher, dkk, 2001).

Pengelolaan ini penting dilakukan terutama apabila telah terjadi konflik

terbuka, dan disini diperlukan upaya perdamaian. Meningkatkan kedamaian

melalui pengelolaan konflik merupakan suatu proses penyesuaian

multidimensional, karena dimensi konflik tersebut bersifat cair. Artinya,

konflik secara inheren bersifat dinamis dan oleh karena itu penyelesaiannya

harus terlibat dengan pergeseran berbagai faktor yang kompleks tersebut.

Memang diakui, bahwa peningkatan kualitas hubungan antar kelompok pada

titik tertentu bisa terjadi peleburan identitas kelompok, dan pada sisi lain

menjaga keberagaman eksistensi kelompok dipandang sebagai bagian dari

kehidupan bermasyarakat yang hakiki, harus dipelihara keberadaanya dan

diperkuat secara berkelanjutan. Pada sisi lain, dengan memelihara dan

memperkuat identitas kelompok masing-masing pada titik tertentu dapat

(45)

Upaya menyelesaikan konflik antar kelompok banyak yang dilakukan dengan

menggunakan mekanisme (cara kerja) tradisional. Memperhatikan

pentingnya faktor sosio-kultural, proses penyelesaian konflik dengan bantuan

pihak ketiga dilakukan dengan menggunakan cara mediasi. Mekanisme

penyelesaian secara tradisional cukup beragam karena lebih bersifat

kasuistik. Cara ini termasuk dalam pendekatan Alternatif Penyelesaian

Sengketa (Alternative Dispute Resolution) yang lazim disingkat dengan

ADR. Pentingnya pendekatan ini karena, pertama, sebagai mekanisme

penyelesaian yang lebih mudah menyesuaikan diri dan responsif (cepat

menanggapi) bagi kebutuhan masing-masing pihak berkonflik. Kedua,

memperhatikan partisipasi aktif para anggota kelompok yang berkonflik.

Ketiga, memperluas akses yang setara untuk mencapai hasil penyelesaian

konflik yang berkeadilan. Keempat,dilihat dari beberapa kasus menunjukkan

bahwa pendekatan tradisional ini bersifat kasuistik dengan menghasilkan

beberapa alternatif penyelesaian yang tidak sama. Artinya, setiap konflik

secara spesifik memiliki ciri-ciri tersendiri dan ketika tidak sesuai

menggunakan alternatif penyelesaian yang satu, maka terbuka kemungkinan

digunakan alternatif penyelesaian lain yang sesuai, sehingga para pihak dapat

memilih mekanisme penyelesaian yang terbaik.

Penyelesaian konflik antar kelompok melalui cara mediasi, di dalamnya tidak

mengabaikan proses negosiasi. Pada prinsipnya cara mediasi adalah negosiasi

yang melibatkan pihak ketiga sebagai penegah (mediator). Tanpa negosiasi

maka tidak akan ada mediasi, karena mediasi merupakan perluasan dari

(46)

Di dalam mediasi yang berperan aktif adalah mediator, yang bersifat netral

dan tidak memihak (imparsial) serta dapat menolong masing-masing pihak

berkonflik untuk melakukan tawar-menawar secara seimbang, dalam forum

musyawarah (perundingan) untuk mencapai suatu kesepakatan damai.

Jadi, peran mediator adalah terbatas memberikan bantuan substantif dan

prosedural kepada pihak-pihak berkonflik untuk menyelesaikan masalahnya.

Kelemahannya adalah mediator terbatas hanya memberi saran, tidak memiliki

kewenangan untuk memutus atau menerapkan suatu kesepakatan

penyelesaian damai. Pihak-pihak berkonfliklah yang sebenarnya mempunyai

otoritas dalam membuat keputusan berdasarkan consensus (kesepakataan)

bersama.

Proses perundingan melalui mediasi dikatakan ideal manakala memenuhi tiga

kepuasan, yaitu : kepuasan substantif, prosedural dan psikologis. Kepuasan

substantif berhubungan dengan kepuasan khusus dari para pihak yang

berkonflik. Misalnya, terwujudnya penggantin kerugian ataupun karena

jalannya perundingan dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif tepat dan

singkat. Kepuasan prosedural terjadi apabila para pihak mendapatkan

kesempatan yang sama dalam menyampaikan gagasannya selama

berlangsungnya perundingan atau karena adanya kesepakatan yang

diwujudkan ke dalam perjanjian tertulis untuk dilaksanakan. Sedangkan

kepuasan psikologis menyangkut tingkat emosi para pihak berkonflik yang

terkendali, saling menghargai, penuh keterbukaan serta dilakukan dengan

(47)

Mediasi mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan jalur pengadilan.

Kurangnya kepercayaan atas kemandirian lembaga peradilan dan kendala

administratif yang melingkupinya, membuatnya sebagai pilihan terakhir.

Mediasi perasaan persamaan kedudukan dan upaya penentuan hasil akhir

yang dicapai menurut kesepakatan bersama tanpa tekanan atau paksaan.

Solusi yang dihasilkan mengarah kepada win-win solution. Sumarjono,

Ismail, & Isharyanto (2008) mengungkapkan upaya untuk mencapai win-win

solutionitu ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya:

1. Proses pendekatan obyektif terhadap sumber sengketa lebih dapat

diterima dan memberikan hasil yang saling menguntungkan, jika

menitikberatkan pada kepentingan sumber konflik, bukan pada posisi

para pihak.

2. Kemampuan yang seimbang dalam negosiasi atau musyawarah.

Perbedaan kemampuan tawar-menawar akan menyebabkan adanya

penekanan oleh pihak satu terhadap pihak yang lainnya.

Ada berbagai keuntungan lain menggunakan mediasi. Beberapa diantaranya

adalah :

1. Ada dua azas penting.Pertama, menghindari menang “kalah” (win-lose),

melainkan “sama-sama menang” (win-win solution). Ini tidak saja dalam

arti ekonomi atau keuangan, melainkan juga kemenangan moril, reputasi

(nama baik dan kepercayaan). Kedua, putusan tidak mengutamakan

pertimbangan dan alasan hukum, melainkan atas dasar kesejajaran

(48)

2. Mempersingkat waktu penyelesaian dari pada melalui pengadilan.

Lamanya waktu penyelesaian dalam berperkara selain menyebabkan

beban ekonomi keuangan dan beban psikologis yang mempengaruhi

berbagai sikap dan kegiatan pihak yang berperkara.

3. Berperkara menimbulkan efek sosial yaitu putusnya persaudaraan atau

hubungan sosial. Ini dapat meluas sampai kepada hubungan kekerabatan.

Hal ini dapat terjadi karena suatu perkara bukan saja menjadi kepentingan

dan “harga diri” yang dapat merambat pada kerabat. Suatu perkara bukan

hanya melukai pihak-pihak melainkan juga kerabat. Mediasi dapat

menghindarkan semua itu, dan hubungan yang retak dapat direkatkan

kembali;

4. Sangat sesuai dengan dasar pergaulan sosial masyarakat Indonesia yang

mengutamakan dasar kekerabatan, paguyuban, kekeluargaan dan

gotong-royong. Dasar-dasar tersebut telah membentuk tingkah laku toleransi,

mudah memaafkan, dan mengedepankan sikap mendahulukan

kepentingan bersama. Merupakan instrumen yang baik menyelesaikan

sengketa untuk menjaga dasar-dasar kekerabatan, paguyuban atau

kekeluargaan;

5. Merupakan gejala global. Menyadari peliknya berperkara, maka mediasi

sebagai alternatif cara penyelesaian sengketa telah berkembang secara

global. Baik sebagai keluarga bangsa-bangsa maupun sebagai bagian dari

tata cara hubungan hukum secara internasional, merupakan cara yang

(49)

6. Dari sudut penyelenggaraan peradilan ada beberapa keuntungan mediasi.

Pertama, makin banyak sengketa diselesaikan, mengurangi jumlah

perkara yang masuk ke pengadilan. Kedua, pada tingkat kepercayaan

sosial yang rendah terhadap hakim, mediasi merupakan salah satu alat

penangkal, karena penyelesaiannya ditentukan oleh pihak-pihak. Ketiga,

secara bertahap berperkara di pengadilan dapat lebih diarahkan pada

persoalan-persoalan hukum (bukan nilai perkara) yang kompleks dan

mendasar yang akan mempengaruhi perkembangan hukum.

Meskipun demikian, mediasi yang berpangkal pada cooperative paradigm

(paradigma koperatif) atau kepentigan masyarakat dan kepentingan negara

juga mengandung kelemahan. Pertama, kemungkinan terjadinya kolusi

(perbuatan tidank jujur) di antara salah satu pihak yang bersengketa karena

sifat mediasi yang voluntary (sukarela) dan bukannya mandatory (perintah).

Kedua,terhadap kesepakatan yang dicapai mungkin tidak dapat dilaksanakan

sebab tidak adanya kekuatan. Ketiga, kesepakatan mediasi bisa

disalahgunakan.

Upaya mediasi memang lebih dekat dengan ruang kehidupan masyarakat

tradisional dan didukung nilai-nilai budaya setampat. Hanya saja,

penyelesaian sengketa melalui musyawarah lebih ditekankan untuk menjaga

keharmonisan kehidupan kelompok dan kadang-kadang dapat mengabaikan

kepentingan pihak-pihak yang bersengketa. Pada kasus tertentu, mediasi

(50)

5. Konflik Sosial dan Masyarakat Multikultural

Sebagaimana dikemukakan dalam paparan pada subbab sebelumnya, konflik

sering diasumsikan sebagai bentuk keadaan yang negatif seperti, perselisihan,

disintegrasi (perpecahan) penyimpangan, destruktif (merusak), dan

sebagainya. Pada aspek ini konflik sering pula identik dengan kekerasan atau

peperangan yang berdarah-darah. Pernyataan tersebut mendapat respon

skeptis (ragu-ragu) seperti yang diungkapkan (Suharto, 2005), “padahal

konflik merupakan keniscayaan dalam masyarakat sejalan dengan proses

pemenuhan kebutuhan komunitas dan perubahan sosial”(Suharto, 2005: 222)

juga menambahkan bahwa konflik selalu terjadi dalam setiap komunitas

karena perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan keterbatasan sumber daya

senantiasa dijumpai dalam masyarakat, terlebih dalam masyarakat

multikultural yaitu masyarakat yang terdiri dari banyak kebudayaan.

Pakar lainnya juga menegaskan bahwa konflik berfungsi sebagai penyatuan

masyarakat dan sebagai sumber perubahan. Selain itu, konflik juga berfungsi

menghilangkan unsur-unsur pegganggu dalam hubungan. Dalam hal ini,

konflik berfungsi sebagai penyelesaian ketegangan antara unsur-unsur yang

bertentangan mempunyai kedudukan penstabil dan menjadi komponan

pemersatu hubungan.

Pembahasan pada beberapa konsepsi di atas, memberikan gambaran bahwa

potensi konflik akan selalu ada di tengah masyarakat, tidak hanya pada

komunitas yang multikultur. Dalam hal ini diperlukan upaya untuk mengenali

potensi konflik yang ada di tengah masyarakat tersebut. Konsepsi yang lazim

(51)

deteksi dini. Deteksi dini konflik merujuk pada penemuan dan pengenalan

gejala dan sumber-sumber yang dianggap berpotensi memunculkan

perbedaan pemahaman yang dapat berakibat munculnya konflik atau

kemungkinan munculnya konflik lanjutan (Rudito & Famiola, 2008). Dalam

pendeteksian dini, sangat diperlukan pengetahuan tentang hubungan sosial

antar-kelompok atau golongan sosial yang terjadi. Didalamnya terkandung

juga pengetahuan tentang anggapan dan prasangka yang ada dalam satu

kelompok atau golongan sosial terhadap kelompok atau golongan lainnya.

C. Tinjauan tentang MasyarakatRuraldanUrban

Pengertian masyarakat dari beberapa ahli sosiologi dunia yaitu, Menurut Selo

Sumardjan masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan

menghasilkan kebudayaan. Menurut Karl Marx masyarakat adalah suatu

struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan

akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara

ekonomi. Menurut Emile Durkheim masyarakat merupakan suatu kenyataan

objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya. Menurut Paul B.

Horton & C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif

mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu

wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian

besar kegiatan di dalam kelompok/kumpulan manusia tersebut. Maka dapat

disimpulkan bahwa masyarakat adalah sekelompok orang yang membentuk

(52)

interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok

tersebut. Maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah sekelompok

orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka),

dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada

dalam kelompok tersebut.

Desa adalah bentuk pemerintahan terkecil yang ada di negeri ini. Luas

wilayah desa biasanya tidak terlalu luas dan dihuni oleh sejumlah keluarga.

Mayoritas penduduknya bekerja di bidang agraris dan tingkat pendidikannya

cenderung rendah. Karena jumlah penduduknya tidak begitu banyak, maka

biasanya hubungan kekerabatan antarmasyarakatnya terjalin kuat. Para

masyarakatnya juga masih percaya dan memegang teguh adat dan tradisi

yang ditinggalkan para leluhur mereka. Menurut UU No. 5 Tahun 1979 desa

adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai

kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat dan hukum

yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat

dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagian besar warga masyarakat pedesaan memiliki mata pencaharian

sebagai petani. Pekerjaan-pekerjaan yang di luar pertanian merupakan

pekerjaan sambilan yang biasa mengisi waktu luang. Masyarakat pedesaan di

Indonesia bersifat homogen (sejenis), seperti dalam hal mata pencaharian,

agama, adat istiadat, dan sebagainya. Selain itu, kehidupan masyarakat

pedesaan di Indonesia identik dengan dengan istilah gotong-royong yang

(53)

Kerja bakti itu ada dua macam, yaitu kerja sama untuk pekerjaan-pekerjaan

yang timbul dari inisiatif warga masyarakat itu sendiri, dan kerja sama untuk

pekerjaan-pekerjaan yang timbulnya tidak dari inisiatif warga itu sendiri.

Secara umum kota adalah tempat bermukimnya warga kota, tempat bekerja,

tempat kegiatan dalam bidang ekonomi, pemerintah dan lain-lain. Dengan

kata lain, Kota adalah suatu ciptaan peradaban budaya umat manusia. Kota

sebagai hasil dari peradaban yang lahir dari pedesaan, tetapi kota berbeda

dengan pedesaan, karena masyarakat kota merupakan suatu kelompok

teritorial di mana penduduknya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan hidup

sepenuhnya, dan juga merupakan suatu kelompok terorganisasi yang tinggal

secara kompak di wilayah tertentu dan memiliki derajat interkomuniti yang

tinggi.

Dilihat dari kenyataan yang tampak pada saat ini dalam sudut pandang

geografi, kota merupakan suatu daerah yang memiliki wilayah batas

administrasi dan bentang lahan luas, penduduk relatif banyak, adanya

heterogenitas penduduk, sektor agraris sedikit atau bahkan tidak ada, dan

adanya suatu sistem pemerintahan.

Secara sosiologis penekanannya pada pola hubungan serta kesatuan

masyarakat industri, bisnis, dan wirausaha lainnya dalam struktur yang lebih

kompleks. Sedangkan secara fisik, kota dinampakkan dengan adanya

gedung-gedung yang menjulang tinggi, hiruk pikuknya kendaraan, pabrik,

kemacetan, kesibukan warga masyarakatnya, persaingan yang tinggi,

(54)

kehidupannya cendrung heterogen, individual, persaingan yang tinggi yang

sering kali menimbulkan pertentangan atau konflik. Munculnya sebuah

asumsi yang menyatakan bahwa masyarakat kota itu pintar, tidak mudah

tertipu, cekatan dalam berpikir, dan bertindak, dan mudah menerima

perubahan, itu tidak selamanya benar, karena secara implisit dibalik semua

itu masih ada masyarakatnya yang hidup di bawah standar kehidupan sosial.

Karakteristik masyarakat desa pada umumnya kehidupannya tergantung pada

alam, ini disebabkan oleh lokasi geografis pedesaan dan anggotanya

saling mengenal, sifat gotong royong erat, penduduknya sedikit perbeda

an penghayatan dalam kehidupan religi lebih kuat. Karakteristik masyarakat

perkotaan yaiitu hubungan suasana yang saling memepengaruhi, keprcayaan

yang kuat akan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai sarana

masyarakatnya untuk meningkatkan kesejahteraan dalam kehidupan,

masyarakatnya tergolong ke dalam macam-macam profesi yang dapat

dipelajari dan ditingkatkan dalam lembaga pendidikan, keterampilan dan

kejuruan Tingkat pendidikan formal pada umumnya tinggi dan merata,

hukum yang berlaku adalah hukum tertulis yang sangat kompleks.

Menurut Max Weber mengenai “kota”, para ahli kemasyarakatan telah

menekankan perbedaan-perbedaan antara masyarakat kota dan desa

(Weber,1977). Pandangan yang berlaku dahulu bahwa kota adalah

“modernt”, bahwa wilayah perkotaan merupakan pusat-pusat perubahan

sosial, sedangkan masyarakat selalu terbelakang dan “tradisional”, tidak lagi

(55)

tradisional atau modernt tidak harus sejalan berbarengan dengan wilayah

pedesaan atau perkotaan. Sebuah kota merupakan suatu system kapitalis

dunia, sedangkan wilayah pedesaan tetap terikat pada ekonomi subsistem

prakapitalis, tetap diragukan. (Hans-Dieter Evers, 1979). Perbedaan

masyarakat pedesaan (rural) da masyarakat perkotaan (urban) yaitu:

1. Lingkungan Umum dan Orientasi Terhadap Alam, Masyarakat perdesaan

berhubungan kuat dengan alam, karena lokasi geografisnya di daerah

desa. Penduduk yang tinggal di desa akan banyak ditentukan oleh

kepercayaan dan hukum alam. Berbeda dengan penduduk yang tinggal di

kota yang kehidupannya “bebas” dari realitas alam.

2. Pekerjaan atau Mata Pencaharian, Pada umumnya mata pencaharian di

dearah perdesaan adalah bertani tapi tak sedikit juga yang bermata

pencaharian berdagang, sebab beberapa daerah pertanian tidak lepas dari

kegiatan usaha.

3. Ukuran Komunitas, Komunitas perdesaan biasanya lebih kecil dari

komunitas perkotaan.

4. Kepadatan Penduduk, Penduduk desa kepadatannya lebih rendah bila

dibandingkan dengan kepadatan penduduk kota, kepadatan penduduk

suatu komunitas kenaikannya berhubungan dengan klasifikasi dari kota

itu sendiri.

5. Homogenitas dan Heterogenitas, Homogenitas atau persamaan ciri-ciri

sosial dan psikologis, bahasa, kepercayaan, adat-istiadat, dan perilaku

nampak pada masyarakat perdesaan bila dibandingkan dengan

Gambar

Tabel 1. Prediksi Daerah Paling Rawan Konflik, 2014
Tabel 2.  Daerah Rawan Konflik Sosial di Indonesia, 2014
Tabel 3. Jumlah Kejadian Konflik dan kekerasan di Provinsi Lampungselama tahun 2008-2010
Gambar 1. Visualisasi “Pohon Konflik “ Interaksi antara
+7

Referensi

Dokumen terkait

Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat Rahmat dan Ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Akhir ini yang berjudul

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan ridho-Nya jualah sehingga penulis dapat menyelesaikan penyususnan skripsi yang

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat kehadirat- Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Potensi Cendawan Entomophthorales dalam

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan Ridho-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

Puji syukur kepada Yesus Kristus Allah yang baik karena berkat dan kuasanya penulis dapat menyelesaikan tesis bidang Magister Ekonomi Pembangunan yang berjudul “Analisis

Segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat, petunjuk, dan Ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul “DAMPAK

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat dan ridho-NYA penyusun dapat menyelesaikan laporan PENELITIAN ini yang berjudul

Merujuk data di tahun 2014, potensi konflik sosial di Kabupaten Tanggamus mengindikasikan pada perebutan sumberdaya dan situasi sosial keamanan ditengah masyarakat