(Kajian Komparatif Potensi Konflik Sosial Pada Wilayah dengan Kategori Rural dan Urban di Kabupaten Tanggamus)
(Skripsi)
Oleh
MUHAMMAD MIFTAH ASHSIDDIQI
JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
(Kajian Komparatif Potensi Konflik Sosial Pada Wilayah dengan Kategori Rural dan Urban di Kabupaten Tanggamus)
Oleh
MUHAMMAD MIFTAH ASHSIDDIQI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA SOSIOLOGI
Pada Jurusan Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG
Penulis dilahirkan di Kampung Purworejo Kecamatan Kotagajah, Lampung Tenggah pada tanggal 26 Juli 1990. Anak kedelapan dari delapan bersaudara, buah hati dari pasangan Bapak Marzuki. Bs, A. Ma. Pd (Alm) dan Ibu Hasyimah.
Penulis dilahirkan di Kampung Purworejo Kecamatan Kotagajah, Lampung Tenggah pada tanggal 26 Juli 1990. Anak kedelapan dari delapan bersaudara, buah hati dari pasangan Bapak Marzuki. Bs, A. Ma. Pd (Alm) dan Ibu Hasyimah.
Inna Sholaati Wanusuki Wamahyaaya Wamamati Lillahi Robbil Alamin ,
Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Rabb Alam
semesta
"Seseorang yang optimis akan melihat adanya kesempatan dalam setiap malapetaka,
sedangkan orang pesimis melihat malapetaka dalam setiap kesempatan (Nabi Muhammad
SAW)"
Learn from the past, live for the today, and plan for tomorrow
Work hard, Play hard
Janganlah memaksakan diri agar kelihatan lebih dari kenyataan yang sebenarnya
Dengan mengagungkan nama Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang,
kupersembahkan karya kecilku ini untuk orang-orang yang aku sayangi :
Bapak (Alm) dan Ibu tercinta ;
Marzuki BS, A. Ma. Pd dan Hasyimah yang senantiasa berjuang dan berdo a demi
keberhasilan anak-anaknya.
Kakakku tersayang ;
Dra. Afifatul Munawaroh dan Susilo, SH, M.Mahrus dan Siti Choiriyah, S. Ag, M.Kholil
dan Asih Mulyani, Fatmawati, S.E dan Rosihan, S.T, M.Ali Ridho, S.T dan Nurlailla
Hayati, S.Hi, Hasan Asy ary, S.H, M.H, dan Berty Andriani, S.E, M.M, Fita An nisa dan
Sofyan.
Keponakanku ;
Hani Amalia Susilo, Jihan Salwa Fahira, dan Muhammad Farrel Rajendra. Abdullah Zadit
Taqwa, M.Zidni Nuron A la, dan M.Ahsin Asanakallah, Neva Fatimatuzzahro dan Meisya
Azizah Wulandari. Alya Fadhilla Rofa dan Ghina Aqilla Rofa. Muhammad Rasyid Ridho
dan Syafira Rasya Ridho, Azka Pasha Asy ary, Aulia Adhiyaksa Asy ary, dan Muhammad
Arkhan Asy ary.
Terima kasih atas segala cinta, pengorbanan, kesabaran, motivasi, keikhlasan, dan do a
yang tiada henti diberikan dalam menanti keberhasilanku.
Sahabat karib masa kecil Ahmad Fukuludin Jalil, teman-teman kuliah yang masih
berjuang Panca, Pandu,Tomi, Lanang, Cileng, Kyai, Adri, Ketut, Gerry maupun yang lulus
Sabrina, Muthia, Ratu, Arif, Aziz, Hendro, Aliq, Rezky, Adhanti, Wenny, Monalia, Jani,
dan yang lainnya, sahabat-sahabat KKN terimakasih atas semuah bantuan kalian semasa
kuliah semoga Allah membalas kebaikan kalian dan yang masih berjuang semoga kalian
Piji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat Ridho-Nya penulis dapat melalui segala hambatan untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemetaan Potensi Konflik Sosial di Wilayah Kabupaten Tanggamus”(Kajian Komparatif Potensi Konflik Sosial Pada Wilayah dengan Kategori Rural dan Urban di Kabupaten Tanggamus), sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Sosiologi Universitas Lampung.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, mengingat keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh penulis, untuk itu penulis dengan senang hati akan menerima saran maupun kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Namun terlepas dari keterbatasan tersebut penulis mengharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis yakin bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa bimbingan, dorongan, nasihat, dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Drs. Hi. Agus Hadiawan, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.
2. Bapak Drs. Susetyo, M.Si., Selaku Ketua Jurusan Sosiologi.
kesabarannya dalam proses penulisan skripsi.
5. Ibu Dewi Ayu Hidayati, S. Sos, M. Si. selaku Pembahas Mahasiswa, yang juga telah banyak memberikan motivasi, petunjuk, pengarahan, serta bimbingan kepada penulis. 6. Ibu Dra. Paraswati Darimilyan selaku Pembimbing Akademik.
7. Seluruh Dosen di Jurusan Sosiologi FISIP Unila. Terimakasih atas semua ilmu yang sudah Bapak dan Ibu Dosen berikan, semoga ilmu yang diberikan selama penulis berkuliah di FISIP Sosiologi bermanfaat di masa depan serta bermanfaat bagi banyak orang.
8. Seluruh Staf Administrasi dan karyawan di FISIP Unila yang telah membantu melayani urusan administrasi perkuliahan dan skripsi.
Bandar Lampung, Desember 2015 Penulis
Dengan mengagungkan nama Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, kupersembahkan karya kecilku ini untuk orang-orang yang aku sayangi :
1. Bapak (Alm) dan Ibu tercinta ; Marzuki BS, A. Ma. Pd dan Hasyimah yang senantiasa berjuang dan berdo’a demi keberhasilan anak-anaknya. 2. Kakak-Kakaku ; Dra. Afifatul Munawaroh, dan Susilo, SH, Muhammad
Mahrus dan Siti Choiriyah, S. Ag, Muhammad Kholil dan Asih Mulyani, Fatmawati, S.E dan Rosihan, S.T, Muhammad Ali Ridho, S.T dan Ella,
Hasan Asy’ary, S.H, M.H,dan BertyAndriani, S.E, M.M, Fita An’nisa
dan Sofyan, yang senantiasa memberikan semanggat, motivasi, dukungan
dan Do’a.
3. Keponakanku ; Hani Amalia Susilo, Jihan Salwa Fahira, dan Muhammad Farrel Rajendra. Abdullah Zadit Taqwa, Zidni, dan Ahsin, Neva
Fatimatuzzahro dan Meisya Azizah Wulandari. Alya Fadhilla Rofa dan Ghina Aqilla Rofa. Muhammad Rasyid Ridho dan , AzkaPasha Asy’ary, Aulia Adhiyaksa Asy’ary, dan Arkhan yang senantiasa memberikan semanggat, dukungan danDo’a.
Halaman
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 5
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
A. Tinjauan tentang Pemetaan Sosial ... 7
B. Tinjauan tentang Konflik Sosial... 8
C. Tinjauan tentang Masyarakat Rural dan Urban... 8
D. Kerangka Pemikiran ... 23
II. METODE PENELITIAN... 24
A. Pendekatan Penelitian ... 24
B. Definisi Konseptual ... 24
C. Definisi Operasional ...25
F. Teknik Pengumpulan Data ... 27
G. Analisis Data ... 28
IV. GAMBARAN UMUM LINGKUP PENELITIAN ... 46
4.1. Aspek Geografi dan Demografi ... 46
4.1.1. Karakteristik Lokasi dan Wilayah ... 46
A. Luas dan Batas Wilayah Administrasi ... 46
B. Letak dan Kondisi Geografis ... 51
4.1.2. Demografi ... 52
1. Pertumbuhan PDRB ... 56
2. Laju Inflasi ... 58
3. PDRB Perkapita ... 58
4. Persentase Penduduk Miskin ... 59
4.2.2. Fokus Kesejahteraan Masyarakat ... 60
A. Pendidikan ... 60
1) Angka Melek Huruf ... 60
2) Rata-Rata Lama Sekolah ... 61
3) Angka Partisipasi Kasar ... 61
4) Angka Partisipasi Murni ... 62
5) Angka Pendidikan yang Ditemukan ... 62
B. Kesehatan ... 62
4.2.3. Fokus Sumber Daya Manusia ... 68
A. Ketenagakerjaan ... 68
B. Pembangunan Manusia ... 69
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 71
A. Pemetaan Daerah Rawan Konflik Sosial di Kabupaten Tanggamus ... 71
1. Rangkaian Peristiwa Konflik Sosial di Kabupaten Tanggamus Sepanjang Tahun 2014 ... 71
1.1. Kerawanan dan Potensi Konflik di Kabupaten Tanggamus berdasarkan Data Polres Tanggamus Tahun 2014 ... 72
1.2. Kerawanan dan Potensi Konflik di Kabupaten Tanggamus berdasarkan Data Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kabupaten Tanggamus Tahun 2014 ... 74
1.3. Kerawanan dan Potensi Konflik di Kabupaten Tanggamus berdasarkan Data Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Lampung Tahun 2014 ... 77
B. Pembahasan ... 78
1. Pemetaan Daerah Potensi Konflik pada Wilayah Kategori Rural .... 80
2. Pemetaan Daerah Potensi Konflik pada Wilayah Kategori Urban ... 84
DAFTAR PUSTAKA ... 90
Kategori Rural dan Urban di Kabupaten Tanggamus) M Miftah Ashsiddiqi
Teuku Fahmi
Abstract
This research aims to identify and explain the map of potential social conflict in Tanggamus which refers to the category of rural areas (rural) and urban (urban). In addition, it is expected to get an overview of the current situation regarding the potential for social conflict and their distribution pattern based on urban and rural regions in Tanggamus. the approach used in this research is quantitative with descriptive type. The data used in this study is entirely secondary data. The data used is the data intensity (frequency) that are either still in the form of conflict or potential conflict that has occurred in Tanggamus 2014. The results show that social conflict-prone regions in Tanggamus, when referring to the categorization of rural and urban, there is the intensity frequency a striking difference between the two regions. Seen that for rural areas there are 29 cases, while for urban there were 11 cases. In this case, it can be said, in rural areas tend to have the potential Tanggamus social conflict is higher than for the urban area. Nevertheless, it is not necessarily that of the urban area is not potential social conflict. In looking at the reality, to note also the comparison of rural and urban regions in Tanggamus, where the percentage of rural areas to 85 percent, while the urban area is only 15 percent.
DI WILAYAH KABUPATEN TANGGAMUS
(Kajian Komparatif Potensi Konflik Sosial Pada Wilayah dengan Kategori Rural dan Urban di Kabupaten Tanggamus)
M Miftah Ashsiddiqi ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menjelaskan peta konflik sosial potensial di Tanggamus yang mengacu pada kategori daerah pedesaan (rural) dan perkotaan (urban). Selain itu, diharapkan untuk mendapatkan gambaran dari situasi saat ini mengenai potensi konflik sosial dan pola distribusi mereka berdasarkan daerah perkotaan dan pedesaan di Tanggamus. pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif dengan tipe deskriptif. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sepenuhnya data sekunder. Data yang digunakan adalah intensitas data (frekuensi) yang baik masih dalam bentuk konflik atau potensi konflik yang telah terjadi di Tanggamus 2014. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rawan konflik sosial di daerah Tanggamus, ketika mengacu pada kategorisasi pedesaan dan perkotaan , ada frekuensi intensitas perbedaan yang mencolok antara kedua daerah. Terlihat bahwa untuk daerah pedesaan ada 29 kasus, sedangkan untuk perkotaan ada 11 kasus. Dalam hal ini, dapat dikatakan, di daerah pedesaan cenderung memiliki konflik sosial yang potensial Tanggamus lebih tinggi dari untuk daerah perkotaan. Namun demikian, belum tentu bahwa dari daerah perkotaan tidak konflik sosial yang potensial. Dalam melihat kenyataan, untuk dicatat juga perbandingan daerah pedesaan dan perkotaan di Tanggamus, di mana persentase daerah pedesaan untuk 85 persen, sementara daerah perkotaan hanya 15 persen.
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman 1. Visualisasi Pohon Konflik Interaksi antara
Faktor Struktural, manifest dan dinamis ... ... 19
2. Operasionalisasi Sensitivitas Konflik ... ... 25
3. Kerangka Pemikiran ... ... 40
4. Peta Wilayah Kabupaten Tanggamus ... ... 47
5. Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Tanggamus ... 60
6. Komparasi TPAK dan TPT Antara Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung dan Nasional ... ... 67
7. Peta Daerah Konflik Provinsi Lampung Tahun 2014 ... 77
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini kehidupan Bangsa Indonesia tengah mengalami banyak ancaman
yang serius berkaitan dengan memanasnya konflik-konflik di masyarakat.
Trend konflik ini semakin mengkhawatirkan pasca era reformasi 1998. Pada
media 2012, Kemdagri merilis jumlah konflik sosial pada 2010 sebanyak 93
kasus. Kemudian menurun pada 2011 menjadi 77 kasus. Namun kemudian
meningkat pada 2012 menjadi 89 kasus hingga akhir Agustus (Antaranews,
2012). Bila ditelusuri lebih lanjut, terjadinya konflik sosial dikala itu
cenderung disebabkan oleh lemahnya sharing of understanding and
acceptance (berbagai pemahamaan dan penerimaan) meminjam istilah yang
dikemukakan (Suharto, 2005) di tengah masyarakat yang menyangkut ruang,
kekuasaan, ekonomi, dan kebudayaan.
Staf Ahli Menteri Sosial bidang Kehumasan dan Tatakelola Pemerintah Sapto
Waluyo menyampaikan, “daerah rawan konflik sosial disebabkan kondisi
ekonomi yang tertinggal”. Ada enam daerah diprediksi paling rawan pada
2014 ini. Meliputi Papua, Jawa Barat, Jakarta, Sumatera Utara, Sulawesi
Tengah, dan Jawa Tengah. "Sebagian besar kondisi ekonominya tertinggal
(hubungan) sosial antarkelompok sangat kaku, sehingga mudah meletup
hanya karena masalah kecil," kata Sapto Waluyo. Namun tegasnya, tidak
semua daerah tertinggal itu rawan konflik. Ada enam daerah diprediksi
sebagai wilayah paling rawan konflik sosial pada 2014. "Indikatornya terlihat
sepanjang 2013 daerah tersebut bermunculan aneka konflik," kata Sapto
menambahkan, di bawah ini adalah enam daerah yang diprediksi paling
rawan pada 2014.
Tabel 1. Prediksi Daerah Paling Rawan Konflik, 2014
Nama Daerah Jumlah Konflik Sosial
Papua (24) Peristiwa
Jawa Barat (24) Peristiwa
Jakarta (18) Peristiwa
Sumatera Utara (10) Peristiwa
Sulawesi Tengah (10) Peristiwa
Jawa Tengah (10) Peristiwa
Sumber: diliris oleh Kementrian Sosial dan JPNN (2014).
Prediksi yang diliris Kementrian sosial dan Jawa Pos Nasional Network
(JPNN) menunjukkan bahwa daerah yang paling banyak konflik adalah Papua
dan Jawa Barat. Berkaca dari jumlah terjadinya konflik sosial yang begitu
sering, pada 2014 lalu, Kemensos juga melancarkan program keserasian
sosial di 50 wilayah rawan konflik sosial dan program penguatan kearifan
Bila dilihat dari perspektif multikulturalisme (pandangan seseorang tentang
ragam kehidupan di dunia, menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan,
dan politik), keanekaragaman suku, agama, ras, dan budaya Indonesia
merupakan suatu kekayaan bangsa yang secara langsung maupun tidak
langsung dapat memberikan kontribusi positif bagi upaya menciptakan
kesejahteraan masyarakat. Namun, pada situasi tertentu, kondisi banyaknya
penduduk yang sangat heterogen dapat membawa dampak buruk bagi
kehidupan, jika terdapat kondisi ketimpangan pembangunan, ketidakadilan
serta kesenjangan sosial, ekonomi, kemiskinan dan juga dinamika kehidupan
politik yang tidak terkendali. Kondisi tersebut menempatkan Indonesia
sebagai salah satu negara yang rawan konflik. Adapun konflik yang mungkin
terjadi dapat berupa konflik horizontal maupun vertikal. Konflik horizontal
adalah konflik antara individu maupun kelompok yang biasa terjadi diantara
individu atau kelompok yang memiliki status sosial yang sama, sedangkan
konflik vertikal adalah konflik yang terjadi antara individu atau kelompok
yang memiliki kekuasaan, kewenangan dan status sosial berbeda. Dampak
yang dirasakan masyarakat berkenaan dengan konflik sosia cukup kompleks,
diantaranya: mengakibatkan hilangnya rasa aman, menciptakan rasa takut
masyarakat, kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, korban jiwa dan
trauma psikologis (dendam, kebencian dan perasaan permusuhan), sehingga
menghambat terwujudnya kesejahteraan umum. Kementrian sosial dan Jawa
Pos Nasional Network (JPNN) merilis daerah rawan konflik sosial, berikut
Tabel 2. Daerah Rawan Konflik Sosial di Indonesia, 2014
Sumber: dirilis oleh Kemensos dan JPNN (2014).
Dari tabel di atas dapat kita lihat bahwa hampir setiap daerah di Indonesia
terdapat konflik sosia. Beberapa kajian menunjukkan bahwa konflik akan
selalu diawali dengan adanya potensi yang mengendap kemudian dapat
berkembang memanas menjadi ketegangan emosi dan akhirnya pecah
memuncak menjadi konflik fisik akibat adanya faktor pemicu konflik. Contoh
konkrit masalah konflik di Indonesia yang cukup serius baik yang bersifat
horizontal maupun vertikal antara lain:
1. Konflik yang bernuansa separatisme (gerakan untuk mendapatkan
kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia):
konflik Republik Maluku Selatan (RMS) dan Organisasi Papua Merdeka
2. Konflik yang bernuansa etnis: konflik di Lampung, Kalimantan Tengah,
dan Ambon.
3. Konflik yang bernuansa ideologis: isu faham komunis, Gerakan 30
September Partai Komunis Indonesia (G30S PKI), faham radikal Islamic
State of Iraq and Syria (ISIS).
4. Konflik yang benuansa politis: isu kecurangan Pilkada, isu pemekaran
wilayah di beberapa wilayah yang berakibat penyerangan dan
pengerusakan.
5. Konflik yang bernuansa ekonomi: konflik antar kelompok nelayan di selat
Madura, antar kelompok preman, antar kelompok pengemudi, antar
kelompok pedagang.
6. Konflik bernuansa solidaritas: tawuran antar wilayah, antar pendukung
sepak bola.
7. Konflik isu agama atau aliran kepercayaan: isu berkaitan dengan
Ahmadiyah, isu aliran sesat.
8. Konflik isu kebijakan pemerintah: BBM (Bahan Bakar Minyak), BOS
(Bantuan Oprasional Sekolah), LPG (Liquified Petroleum Gas).
Untuk konteks Provinsi Lampung, pada tiga tahun terakhir, Lampung
merupakan salah satu provinsi yang mendapat perhatian khusus terkait
dengan ekskalasi (pertambahan) dan intensitas konflik sosial yang relatif
cukup tinggi. Realitas/kenyataan menunjukkan bahwa dinamika
kemajemukan masyarakat Lampung banyak diwarnai oleh konflik-konflik
frekuensi dan persentase konflik sosial yang cukup tinggi, dapat di lihat
melalui tabel di bawah ini.
Tabel 3. Jumlah Kejadian Konflik dan kekerasan di Provinsi Lampung selama tahun 2008-2010
Kategori Frekuensi Persentase (%)
Konflik berbasis agama/etnis -
-Konflik politik 6 9,5
Konflik antaraparat Negara -
-Konflik sumber daya alam -
-Konflik sumber daya ekonomi 1 1,6
Tawuran 10 15,9
Penghakiman massa 39 61,9
Pengeroyokan 4 6,3
Lain-lain 3 4,8
Total 63 100
Sumber: Tohari et al., 2011.
Bila berkaca pada kejadian konflik rentang tahun 2008-2010, tidak ada
peristiwa konflik yang berbasis agama/etnis pada rentang waktu tersebut.
Namun demikian, peristiwa tahun 2012 lalu (konflik Balinuraga di Lampung
Selatan), merupakan puncak kejadian konflik antar etnis terbesar di Provinsi
Lampung. Disusul konflik selanjutnya pada tanggal 23 Februari 2014 juga
terjadi bentrok antar dua desa antara Buminabung utara dan Buminabung Ilir,
Lampung Tengah yang dipicu permasalahan sengketa lahan. Puluhan rumah
rusak parah serta dua rumah terbakar,dua unit sepeda motor rusak terbakar
menurut beberapa warga banyak rumah yang di jarah. Rentang waktu tersebut
juga terjadi peristiwa konflik lain pada beberapa wilayah di Provinsi
Mengacu data Sensus BPS (Badan Pusat Statistik) Lampung di tahun 2010,
berdasarkan kriteria etnik/bangsa diperoleh data statistik, di Provinsi
Lampung terdapat mayoritas Etnik Jawa sebanyak 4.113.731 (61,88 %),
Etnik Lampung 792.312 (11,92 %), Etnik Sunda (Banten) 749.566 (11,27 %),
Etnik Palembang Semendo 36.292 (3,55%), dan etnik lainnya seperti
Bengkulu, Batak, Bugis, Minang, Tionghoa, Bali, Madura, dan lain-lain.
Kondisi masyarakat yang begitu beragam dimungkinkan memicu terjadinya
gesekan antar kelompok etnik. Provinsi Lampung merupakan salah satu
daerah dengan berbagai keragaman, baik agama, karakter budaya, identitas
etnik, pola-pola adat, kondisi geografis, rasa, dan ungkapan bahasa, serta
berbagai kategori lainnya.
Kesalahan dalam menyikapi keragaman identitas etnik, budaya, dan agama
dalam kehidupan bermasyarakat tercermin padabeberapa kasus kerusuhan
sosial di Provinsi Lampung. Pada tingkatan kabupaten, Pemerintah
Kabupaten (Pemkab) Tanggamus merumuskan peta kerawanan dan ancaman
sosial yang dapat memicu terjadinya konflik (Lampost, 2014). Hasil evaluasi
(penilaian) dan inventarisasi (pencatatan) diketahui sedikitnya ada 12 indikasi
konflik di Bumi Begawi Jejama, Kabupaten Tanggamus. Beberapa titik
kerawanan yang dapat memicu konflik tersebut diantaranya lokasi kawasan
industri maritim (KIM) di Kecamatan Limau dan Kota Agung Timur terkait
permasalahan petani penggarap lahan Pertamina dan LSM Petani Batubalai
Bersatu (PBB) dengan Pertamina, PT. Rapindo Jagad Raya dan Pemkab
Kecamatan Talang Padang, Syi’ai dan Ikhwanul Muslimin di Kecamatan
Gisting, Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA) di Kecamatan Limau.
Selanjutnya, PT. Tanggamus Indah di Kecamatan Kotaagung Timur, lokasi
pertambangan emas PT. Natarang Mining di Kecamatan Bandar Negeri
Semoung, lokasi pembangkit listrik tenaga panas bumi di Kecamatan
Ulubelu, calon lokasi pembangunan pembangkit listrik tenaga Microhidro di
Kecamatan Semaka, perambahan hutan TNBBS di Kecamatan Semaka dan
Pematangsawa, kawasan hutan lindung dan hutan kemasyarakatan (HKm).
Konflik nelayan obor dan nelayan yang menggunakan jaring curshing di
Kecamatan Kelumbayan, konflik tapal batas Kecamatan Bandar Negeri
Semoung dan Bandar Suoh (Lampung Barat), objek-objek vital di
Tanggamus dan konflik kriminalitas disepanjang jalan lintas barat (Jalinbar)
yang marak pembegalan.
Kasus terakhir adalah kerusuhan di Kecamatan Semaka, Kabupaten
Tanggamus. Sejumlah warga Pekon Way Kerap membakar rumah di Pekon
Sukaraja, Kecamatan Semaka. Pembakaran rumah tersebut sebagai aksi
serangan balasan atas insiden kekerasan yang menimpa seorang pemuda
warga Way Kerap. Pemuda tadi disangka pelaku pencurian sehingga dihajar
warga Sukaraja. Aksi main hakim sendiri yang ternyata salah sasaran
berbuntut pada kekerasan dan keberutalan warga.
Secara khusus, hampir seluruh wilayah di Kabupaten Tanggamus memiliki
potensi konflik yang khas bila mengacu pada kondisi ditiap wilayah. Realitas/
konflik yang cukup mengkhawatirkan bila tidak dilakukan serangkaian upaya
pencegahan konflik.
B. Rumusan Masalah
Melihat situasi kekinian akan potensi konflik sosial yang begitu menonjol,
maka diperlukan upaya pemetaan dan identifikasi wilayah rawan konflik di
Kabupaten Tanggamus. Gambaran mengenai wilayah rural (pedesaan) dan
urban (perkotaan) di Kabupaten Tanggamus memiliki ciri pembeda yang
kontras. Pada aspek ini ditiap wilayah tersebut juga memiliki potensi konflik
sosial yang berbeda pula. Berdasarkan pada realitas (kenyataan) tersebut,
maka pertanyaan penelitian yang akan diajukan ialah “Bagaimana peta
potensi konflik sosial di Kabupaten Tanggamus merujuk pada kategori
wilayahrural(pedesaan) danurban(perkotaan)?”
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan peta
potensi konflik sosial di Kabupaten Tanggamus yang merujuk pada kategori
wilayah rural (pedesaan) dan urban (perkotaan). Selain itu, diharapkan
mendapatkan gambaran mengenai situasi terkini mengenai potensi konflik
sosial dan pola persebarannya berdasarkan wilayah rural dan urban di
Kabupaten Tanggamus.
D. Manfaat Hasil Penelitian
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
a. Manfaat Teoritis
Manfaat penelitian ini bila dilihat dari aspek teoritis, diharapkan nantinya
penelitian ini mampu memperkaya literatur atau kajian mengenai pemetaan
potensi konflik sosial. Dilihat dari aspek metodologis (ilmu-ilmu/cara yang
digunakan untuk memperoleh kebenaran), hasil penelitian ini nantinya
diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi proses penelitian
selanjutnya, khususnya untuk lingkup yang lebih spesifik.
b. Manfaat Praktis
Adapun pada aspek praktisnya yakni diharapkan penelitian ini nantinya dapat
memberikan masukan yang berarti bagi para pemangku kepentingan
(stakeholders), baik pihak kepolisian daerah, pemerintah daerah, dan
dinas-dinas terkait di lingkungan Pemkab Tanggamus, dalam menciptakan situasi
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Pemetaan Sosial
Pemetaan sosial (social mapping) kini lazim digunakan sebagai satu
pendekatan dalam penanganan masalah sosial. Bila ditelusuri secara harfiah,
kata “pemetaan” merujuk pada proses, cara, perbuatan membuat peta,
sedangkan kata “sosial” secara sederhana dimaknai berkenaan dengan
masyarakat. Adapun secara terminologis, (Suharto, 2005) memberikan
penjelasan bahwa pemetaan sosial merupakan proses penggambaran
masyarakat yang sistemik serta melibatkan pengumpulan data dan informasi
mengenai masyakat termasuk di dalamnya profile (riwayat) dan masalah
sosial yang ada pada masyarakat tersebut.
Jauh sebelum itu, Netting, Kettner dan McMurty ditahun 1993 telah
memberikan gambaran ringkas tentang pemetaan sosial. Mereka
mendeksripsikan atau menjelaskan pemetaan sosial sebagai social profiling
atau pembuatan profil suatu masyarakat (Suharto, 2005:82). Salah satu wujud
atau hasil akhir pemetaan sosial lazimnya berupa suatu peta wilayah yang
sudah diformat atau dirancang sesuai dengan fungsionalitasnya mencitrakan
pada pandangan Netting, Kettner dan McMurty, ada tiga alasan mengapa
diperlukan pendekatan yang sistematik dalam melakukan pemetaan sosial
(Suharto, 2005:82), diantaranya yakni:
1. Pandangan mengenai “manusia dalam lingkungannya” (the person
in-environment). Untuk konteks ini, masyarakat dimaknai sebagai seseorang
yang memiliki sosok tertentu, mencakup beragam masalah yang dihadapi,
hingga menerakan sumber-sumber apa saja yang tersedia untuk
menangani masalah tersebut. Pengembangan masyarakat tidak akan
berjalan baik tanpa pemahaman mengenai pengaruh-pengaruh masyarakat
tersebut.
2. Pengembangan masyarakat memerlukan pemahaman mengenai sejarah
dan perkembangan suatu masyarakat serta analisis mengenai status
masyarakat ini.
3. Masyarakat secara konstan berubah. Individu-individu dan
kelompok-kelompok bergerak ke dalam perubahan kekuasaan, struktur ekonomi,
sumber pendanaan dan peranan penduduk. Pemetaan sosial dapat
membantu dalam memahami dan menginterpretasikan atau menafsirkan
perubahan-perubahan tersebut.
B. Tinjauan tentang Konflik Sosial
1. Pengertian Konflik Sosial
Secara umum, konflik merupakan gejala sosial yang selalu hadir dalam
kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren, artinya konflik akan
masyarakat merupakan arena konflik atau arena pertentangan dan integrasi
(proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda dalam
kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan masyarakat
yang memilki keserasian) yang senantiasa berlangsung. Oleh karenanya,
konflik dan integrasi sosial merupakan gejala yang selalu mengisi setiap
kehidupan sosial.
Kata “konflik” lazim dimaknai sebagai perselisihan atau pertentangan.
Namun bila ditelusuri secara etimologis istilah “konflik” berasal dari bahasa
Latin “con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau
tabrakan. Dengan demikian, konflik dalam kehidupan sosial berarti benturan
kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain yang paling tidak melibatkan
dua pihal atau lebih (Setiadi dan Kolip, 2011).
Secara terminologis, (Jones, 2008) menekankan bahwa konflik merupakan
perselisihan antara dua pihak atau lebih yang saling terkait dalam usaha
mereka memperoleh tujuan. Lebih lanjut, (Jones, 2008) juga mengemukakan
bahwa konflik merupakan fenomena sosial yang menyangkut perselisihan
antara pihak. Pihak yang terlibat dalam konflik dapat berupa skala individu,
kelompok, organisasi, negara, atau bangsa. Semakin banyak pihak yang
terlibat konflik, semakin sulit untuk mengelola proses konflik. Hal tersebut
akan berimplikasi (terlibat) untuk dihasilkannya sebuah keputusan atau
penyelesaian yang dapat diterima oleh semua pihak.
Beberapa definisi di atas telah memberikan gambaran bahwa konflik dapat
(saling berhadapan), atau sebagai hadirnya kepentingan-kepentingan yang
saling tidak selaras. Uraian yang penting dari penggambaran konflik tersebut
yakni didasarkan pada interaksi. Konflik diwujudkan dan dipelihara oleh
perilaku masing-masing pihak yang terlibat dan reaksi di antara mereka.
Pertama, di dalam perilaku konflik masing-masing pihak merasa bahwa
tujuan atau kepentingannya tidak saling berkesesuaian dan sama-sama
menganggap pihak lain sebagai sumber penghambat di dalam mencapai
tujuannya itu. Kata kuncinya adalah“anggapan” yang bersifat subjektif, yang
mengarah pada unsur “merasakan (perceive)”. Tanpa memperhatikan apakah
tujuan-tujuannya itu secara nyata tidak berkesesuaian, jika masing-masing
pihak mempercayai bahwa hubungan di antara mereka dalam mencapai
tujuan masing-masing menjadi tidak sesuai, maka kondisi tersebut sudah
mengarah pada konflik. Jadi, interpretasi (penafsiran) dan kepercayaan
masing-masing pihak memainkan peranan kunci di dalam konflik. Kedua,
interaksi di dalam situasi konflik diwarnai oleh “saling ketergantungan
(interdependence)” di antara masing-masing pihak. Untuk memunculkan
konflik, perilaku salah satu pihak atau kedua belah pihak harus memiliki
konsekuensi terhadap pihak yang lainnya.
2. Akar Penyebab Konflik
Menelaah perihal penyebab terjadinya konflik tidaklah mudah. Namun
demikian, para sosiolog berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu
adanya hubungan sosial, ekonomi, politik yang akarnya adalah perebutan atas
jumlah ketersediaannya sangat terbatas dengan pembagian tidak merata di
masyarakat (Setiadi dan Kolip, 2011). Ketidakmerataan pembagian aset-aset
sosial di dalam masyarakat tersebut dianggap sebagai bentuk ketimpangan.
Ketimpangan pembagian ini menimbulkan pihak-pihak tertentu berjuang
untuk mendapatkannya atau menambahinya bagi yang perolehan aset
sosialnya relatif sedikit atau kecil. Sementara pihak yang telah mendapatkan
pembagian aset sosial tersebut berusaha untuk mempertahankan dan bisa juga
menambahnya. Pihak yang cenderung mempertahankan atau menambah
disebut sebagai status quo (tetap) dan pihak yang berusaha mendapatkannya
disebut sebagai statusneed(perlu) Berdasarkan gambaran tersebut, penyebab
konflik dapat disederhanakan menjadi dua aspek, yaitu:
1. Kemajemukan horizontal, yang artinya adalah struktur masyarakat yang
majemuk secara kultural, seperti suku bangsam agama, ras, dan majemuk
secara sosial dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi. Kemajemukan
horizontal-kultural menimbukan konflik yang masing-masing unsur
kultural tersebut mempunyai karakteristik sendiri dan masing-masing
penghayat budaya tersebut ingin mempertahankan karakteristik
budayanya tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya seperti ini, jika
belum ada konsensus nilai yang menjadi pegangan bersama, konflik yang
terjadi dapat menimbulkan perang saudara dan gerakan separatisme
(paham atau gerakan untuk memisahkan diri). Jika situasi ini terjadi,
maka masyarakat tersebut akan mengalami disintegrasi (perpecahan).
2. Kemajemukan vertikal, yang artinya struktur masyarakat yang
kekuasaan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik sosial
karena ada sekelompok kecil masyrakat yang memiliki kekayaan,
pendidikan rendah, dan tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan.
Polarisasi masyarakat seperti ini merupakan benih subur bagi timbulnya
konflik sosial. Singkat kata, distribusi (pembagian) sumber-sumber nilai
di dalam masyarakat yang pincang akan menjadi penyebab utama
timbulnya konflik.
Lebih lanjut, beberapa pakar lain berpendapat perihal akar penyebab konflik
secara lebih luas. Mereka berpendapat bahwa beberapa hal yang lebih
mempertegas akar dari timbulnya konflik diantaranya:
1. Perbedaan antar-individu; diantaranya perbedaan pendapat, tujuan,
keinginnan, pendirian tentang objek yang dipertentangkan.
2. Benturan antar-kepentingan baik secara ekonomi ataupun politik.
3. Perubahan sosial, yang terjadi secara mendadak biasanya menimbulkan
kerawanan konflik.
4. Perbedaan kebudayaan yang mengakibatkan adanya perasaan in group
(di dalam kelompok) dan out group (di luar kelompok) yang biasanya
diikuti oleh sikap etnosentrisme kelompok, yaitu sikap yang
ditunjukkan kepada kelompok lain bahwa kelompoknya adalah paling
baik, ideal, beradab di antara kelompok lain.
Namun demikian, para pakar tersebut memandang bahwa empat gejala sosial
tersebut di atas bukanlah faktor penyebab utama terjadinya konflik sosial.
Empat faktor tersebut adalah faktor pemicu terjadinya konflik, sedangkan
dari konflik sosial adalah disfungsi sosial. Disfungsi sosial disini bermakna
nilai dan norma sosial yang ada di dalam struktur sosial masyarakat tidak lagi
ditaati, pranata sosial (sistem tata kelakuan dalam hubungan yang berpusat
kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi berbagai kebutuhan khusus dalam
masyarakat) dan sistem pengendaliannya tidak berjalan sebagaimana
mestinya.
Pandangan lain dikemukakan oleh para penganut teori konflik dimana
penyebab utama konflik ialah adanya perbedaan atau ketimpangan hubungan
dalam masyarakat yang memunculkan diferensiasi (proses) kepentingan.
Menurut Turner ada beberapa faktor yang memicu terjadinya konflik sosial
(Setiadi dan Kolip, 2011:363), diantaranya yakni:
1. Ketidakmerataan distribusi (pembagian) sumber daya yang sangat
terbatas di dalam masyarakat.
2. Ditariknya kembali legitimasi (pengesahan) penguasa politik oleh
masyarakat kelas bawah.
3. Adanya pandangan bahwa konflik merupakan cara mewujudkan
kepentingan.
4. Sedikitnya saluran untuk menampung keluhan-keluhan masyarakat kelas
bawah serta lambatnya mobilitassosial ke atas.
5. Melemahnya kekuasaan negara yang disertai dengan mobilisasi
(perpindahan) masyarakat bawah oleh elite.
6. Kelompok masyarakat kelas bawah menerima ideologi radikal
3. Tahapan Konflik
Ditinjau dari tahapan, konflik sosial secara sederhana dapat dibagi menjadi
dua, yaitu konfliklatentdanmenifest. Konflik latentsering dimaknai sebagai
konflik terpendam atau konflik potensial. Konflik pada tahap ini masih
berada di bawah permukaan, tetapi gejala-gejala permusuhan sudah tampak.
Sikap dan perilakunya mengekspresikan perasaan-perasaan yang bersifat
kontra produktif, seperti kesal, dengki, benci, tidak puas, tidak setuju, dan
sebagainya. Sedangkan konflik manifest sering disebut dengan konflik
terbuka, yang diekspresikan dalam perilaku nyata dalam bentuk protes,
perlawanan, penyerangan, penentangan, dan sejenisnya. Pada konflik terbuka
ini dilihat dari tindakan yang dilakukan dan akibat yang ditimbulkannya,
secara sederhana dapat dibagi dua, yaitu tanpa kekerasan dan dengan
kekerasan. Konflik tanpa kekerasan termasuk konflik terbuka yang tidak
menimbulkan kerugian dalam bentuk korban jiwa, harta benda, serta
mengganggu keamanan dan merusak tatanan sosial dalam masyarakat.
Sedangkan konflik kekerasan adalah yang menimbulkan kerugian semua itu.
Konflik sosial menurut UURI No.7 Tahun 2012 adalah yang termasuk
kategori konflik kekerasan.
Fisher et al. (2000) menjelaskan tentang tahapan konflik lebih rinci yang
diurutkan menjadi empat tahapan, yaitu:
1. Prakonflik: tahap awal terjadinya konflik, adanya ketidaksesuaian
sasaran di antara pihak-pihak yang berkonflik, misalnya memunculkan
2. Konfrontasi: konflik semakin terbuka disertai aksi-aksi kekerasan tingkat
rendah, misalnya menyusun kekuatan.
3. Krisis: aksi-aksi kekerasan meningkat menyerupai periode perang, misal
menyandera.
4. Akibat: aksi kekerasan menurun, ditandai oleh adanya negosiasi atau
usaha untuk mengentikan konflik, misal satu pihak mundur akibat
perlawanan yang tidak seimbang, tidak ada negosiasi.
Pascakonflik upaya pihak-pihak berkonflik untuk mengakhiri berbagai aksi
kekerasan. Jika tidak ada upaya penyelesaian dengan baik, maka akan
kembali pada tahap prakonflik. Gambar di bawah ini merupakan visualisasi
“Pohon Konflik “ Interaksi antara Faktor Struktural, manifest dan dinamis.
Gambar 1.Visualisasi “Pohon Konflik “ Interaksi antara Faktor Struktural, manifest dan dinamis.
Pohon konflik adalah sarana visualisasi, menggambarkan interaksi antara
faktor-faktor struktural, manifest dan dinamis. Akar sebagai pondasi
melambangkan faktor struktural penyebab konflik yang terdiri dari; cultural
discriminationatau diskriminasi (perbedaan) budaya,weak statesatau negara
yang lemah, elite politics atau pemegang kekuasaan politik dan group
histories atau sejarah kelompok masyarakat. Batang merupakan masalah
nyata, yang menghubungkan faktor struktural dengan faktor dinamis terdapat
land alienation (keterasingan lahan), dan refugee camp (tempat pengungsi).
Daun yang bergerak dengan angin tersebut, merupakan faktor dinamis, terdiri
dari; miscommunication atau salah paham, strike atau pemogokan, coups
d’etatatau kudeta (perebutan kekuasaan), religion(agama), fear(rasa takut).
Faktor dinamis meliputi bentuk komunikasi, tingkat eskalasi (kenaikan),
aspek hubungan dan lain-lain. Bekerja dengan faktor dinamis melibatkan
waktu yang singkat; reaksi terhadap intervensi (campur tangan) yang cepat
dan pada waktu yang tak terduga. Contoh: intervensi diplomatik, atau
transformasi (perubahan) multi-konflik berhadapan langsung dengan bentuk
interaksi antara pihak-pihak konflik.
Lebih lanjut, pakar lainnya mengemukakan terdapat lima tahapan konflik
yang dapat disajikan secara berurutan, yaitu: latent conflict, perceived
conflict, felt conflict, manifest conflict, dan conflict aftermath (Husman,
1985).
1. Latet conflict. Menggambarkan suatu situasi di mana di dalamnya
langka, dorongan untuk mengelolanya sendiri, atau adanya perbedaan
dalam mencapai tujuan.
2. Perceived conflict. Terjadi di mana masing-masing pihak menganggap
adanya kondisi-kondisi konflik, dan di antara mereka juga tidak
memahami posisinya masing-masing secara benar.
3. Felt conflict. Ini menggambarkan suatu tahapan di mana anggota
kelompok yang berkonflik tidak hanya menyadari adanya kondisi
konflik, mereka juga mengalami ketegangan karena konflik itu. Dengan
kata lain, kondisi konflik tersebut telah mempengaruhi mereka.
1. Manifest conflict. Ini terjadi pada tahapan di mana
ketegangan-ketegangan yang sudah terjadi di antara mereka sudah disalurkan
(diungkapkan) melalui agresi secara terbuka atau melalui cara-cara
tersembunyi (covert means).
2. Conflict aftermath. Tahapan ini menunjukkan hasil setelah konflik. Pada
tahapan ini kondisi-kondisi konflik latent dapat menjadi konflik yang
lebih besar apabila tidak ditekan dan diselesaikan.
Peneliti lain mencoba menggambarkan lebih lanjut lima tahapan konflik
secara berurutan, yaitu: latent conflict, initiation, balancing of power,
balance of power, dan disruption. Latent conflict, terjadi di mana
masing-masing pihak saling menjaga perbedaan disposisi atau sikap yang membawa
potensi konflik. Perbedaan nilai-nilai, tujuan, pandangan adalah hadir dan
sebagai dasar perilaku mendatang. Inisiation (inisiasi) terjadi ketika terdapat
“pemicu” konflik. Pada situasi ini perbedaan-perbedaan potensial menjadi
di mana masing-masing pihak saling menilai kapabilitas pihak lain dan
berkehendak untuk menggunakan kekuatan, ancaman, dan sebagainya, dan
mereka secara nyata mengkonfrontasikan isu ketika mereka sampai pada
penyelesaian. Balance of power (keseimbangan kekuasaan) terjadi ketika
masing-masing pihak sampai pada suatu pemahaman konsekuensi (pendirian)
dari resolusi (sesuatu yang hendak dicapai) dan belajar untuk menyesuaikan
diri dengan hasil yang dicapai. Disruption (gangguan) terjadi ketika
masing-masing pihak menyadari bahwa keadaan seperti itu dapat memunculkan
konflik potensial dan pada akhirnya terjadi konfrontasi (permusuhan).
Kondisi ini mengalami siklus menjadi inisiation sampai akhirnya konflik
tersebut terselesaikan.
4. Penyelesaian dan Penanganan Pasca Konflik
John Galtung melihat konflik dari sisi subyektif dan obyektif yang dapat
dikelola melalui ketiga strategi yang saling berhubungan, yaitu
peace-keeping, peace making, dan peace building (Ryan, 1990). Pada dasarnya
gagasan Galtung yang berhubungan dengan konflik ada tiga yaitu perbedaan
antara kekerasan langsung (pembunuhan), kekerasan struktural (kemiskinan
dan mati kelaparan), dan kekerasan budaya (apapun yang membutakan atau
yang membenarkan kekerasan). Kekerasan langsung dapat diselesaikan
dengan perubahan perilaku politik, kekerasan struktural dengan
memindahkan kontradiksi (pertentangan) struktural dan ketidakadilan, dan
kekerasan budaya dengan mengubah sikap.
Sedangkan pada pengelolaan konflik, para pakar mengajukan beberapa
masalah (problem solving), menarik diri (withdrawing), dan diam (inaction).
Hal ini juga dapat dilakukan dengan melalui intervensi (campur tangan)
pihak ketiga. Pendapat lain menyatakan bahwa pihak ketiga tersebut bisa
menyangkut fungsi, perilaku, struktur dan sumbangan yang diberikan.
Model penyelesaian konflik yang paling banyak dilakukan dimasyarakat
adalah berbentuk intervensi pihak ketiga. Pihak ketiga yang dimaksud
tersebut menyangkut fungsi, perilaku, struktur dan sumbangan yang
diberikan. Bercovitch mengajukan model kombinasi antara sumber konflik,
intensitas konflik dan keterlibatan pihak luar dalam menanganan konflik.
Terlibat atau tidaknya pihak luar dalam proses konflik ini diklasifikasikan
sebagai bentuk endogenous (variabel yang mempunyai anak panah menuju
kearah variabel tersebut) dan exogenous (semua variabel yang tidak ada
penyebab-penyebab eskplisitnya atau dalam diagram tidak ada anak panah
yang menuju kearahnya). Keduanya merupakan penyelesaian konflik baik
pada tingkat konflik terpendam maupun terbuka, dengan menggunakan
cara-cara tersendiri sesuai dengan jenis keterlibatan dan intensitasnya. Di bawah
ini merupakan kerangka acuan resolusi konflik sosial.
Tabel 2.1 Kerangka Acuan Resolusi Konflik
Masalah Dituju Strategi
Penyelesaian
Kelompok Sasaran
Perilaku Kekerasan Peace-keeping (aktivitas militer)
Armed groups
(‘warriors’)
(kelompok
Kepentingan dirasa
Di dalam kondisinya yang berkelanjutan itu ada tiga mekanisme pengelolaan
konflik, yaitu model kultural, tradisional dan rasional. Semakin terbuka
wujud konflik maka semakin mengarah pada model pengelolaan rasional.
Pengelolaan konflik model kultural dilakukan untuk mencegah munculnya
konflik terpendam agar tidak muncul ke permukaan. Mekanisme (cara kerja)
pengelolaan konflik model tradisional agar tidak berkelanjutan, dilakukan
dengan melalui kelembagaan lokal (atau lembaga adat) setempat.
Mekanismenya dilakukan dalam bentuk upacara, mendamaikan pihak-pihak
yang berkonflik, musyawarah kekeluargaan atau melalui pengadilan adat
setempat. Kelemahan utama model ini adalah cenderung tidak dapat
mengakomodasikan (memenuhi kebutuhan) masalah yang timbul sebagai
akses dari kehidupan moderen yang majemuk, dan secara resmi tidak
mempunyai kekuatan hukum atau dianggap bertentangan dengan hukum
resmi. Pada model rasional, penyelesaian konflik yang dilakukan oleh negara
melalui jalur lembaga peradilan atau lewat jalur lain yang memiliki kekuatan
hukum tetap. Selain itu, negara yang mempunyai kekuatan memaksa yang
kemungkinan menggunakan model ini, yaitu atas kesadaran rakyat sendiri
yang berkonflik atau atas keputusan pemerintah setempat.
Pendekatan sensitif konflik melibatkan pemahaman yang baik dari interaksi
dua arah antara kegiatan dan konteks serta bertindak untuk meminimalkan
dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif dari intervensi (campur
tangan) konflik, dalam memberikan prioritas organisasi. Ada tiga komponen
utama sensitivitas konflik:
1. Konflik, untuk memastikan pemahaman yang baik tentang konteks
konflik;
2. Analisis interaksi potensial antara program dan konflik;
3. Aksi untuk memaksimalkan dampak positif dan meminimalkan dampak
negatif terhadap konflik.
Pendekatan tersebut dirangkum dalam gambar di bawah ini.
Gambar 2. Operasionalisasi Sensitivitas Konflik
Konflik Sensitivitas Konsorsium bertujuan untuk memahami apa artinya
"sensitivitas konflik" dalam hal sistem organisasi serta desain, implementasi
(pelaksanaan), monitoring (pengawasan) dan evaluasi (penilaian) intervensi
tertentu. Konsorsium terdiri dari beragam lembaga dan bertujuan untuk
berbagi temuannya dalam hal kemanusiaan, sektor pembangunan perdamaian
dan pembangunan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan
menerapkan pendekatan sensitif konflik.
Pengelolaan hubungan antar kelompok berarti menangani sebab-sebab
terjadinya konflik dan berusaha membangun hubungan yang bisa bertahan
lama di antara beberapa pihak-pihak yang berkonflik (Fisher, dkk, 2001).
Pengelolaan ini penting dilakukan terutama apabila telah terjadi konflik
terbuka, dan disini diperlukan upaya perdamaian. Meningkatkan kedamaian
melalui pengelolaan konflik merupakan suatu proses penyesuaian
multidimensional, karena dimensi konflik tersebut bersifat cair. Artinya,
konflik secara inheren bersifat dinamis dan oleh karena itu penyelesaiannya
harus terlibat dengan pergeseran berbagai faktor yang kompleks tersebut.
Memang diakui, bahwa peningkatan kualitas hubungan antar kelompok pada
titik tertentu bisa terjadi peleburan identitas kelompok, dan pada sisi lain
menjaga keberagaman eksistensi kelompok dipandang sebagai bagian dari
kehidupan bermasyarakat yang hakiki, harus dipelihara keberadaanya dan
diperkuat secara berkelanjutan. Pada sisi lain, dengan memelihara dan
memperkuat identitas kelompok masing-masing pada titik tertentu dapat
Upaya menyelesaikan konflik antar kelompok banyak yang dilakukan dengan
menggunakan mekanisme (cara kerja) tradisional. Memperhatikan
pentingnya faktor sosio-kultural, proses penyelesaian konflik dengan bantuan
pihak ketiga dilakukan dengan menggunakan cara mediasi. Mekanisme
penyelesaian secara tradisional cukup beragam karena lebih bersifat
kasuistik. Cara ini termasuk dalam pendekatan Alternatif Penyelesaian
Sengketa (Alternative Dispute Resolution) yang lazim disingkat dengan
ADR. Pentingnya pendekatan ini karena, pertama, sebagai mekanisme
penyelesaian yang lebih mudah menyesuaikan diri dan responsif (cepat
menanggapi) bagi kebutuhan masing-masing pihak berkonflik. Kedua,
memperhatikan partisipasi aktif para anggota kelompok yang berkonflik.
Ketiga, memperluas akses yang setara untuk mencapai hasil penyelesaian
konflik yang berkeadilan. Keempat,dilihat dari beberapa kasus menunjukkan
bahwa pendekatan tradisional ini bersifat kasuistik dengan menghasilkan
beberapa alternatif penyelesaian yang tidak sama. Artinya, setiap konflik
secara spesifik memiliki ciri-ciri tersendiri dan ketika tidak sesuai
menggunakan alternatif penyelesaian yang satu, maka terbuka kemungkinan
digunakan alternatif penyelesaian lain yang sesuai, sehingga para pihak dapat
memilih mekanisme penyelesaian yang terbaik.
Penyelesaian konflik antar kelompok melalui cara mediasi, di dalamnya tidak
mengabaikan proses negosiasi. Pada prinsipnya cara mediasi adalah negosiasi
yang melibatkan pihak ketiga sebagai penegah (mediator). Tanpa negosiasi
maka tidak akan ada mediasi, karena mediasi merupakan perluasan dari
Di dalam mediasi yang berperan aktif adalah mediator, yang bersifat netral
dan tidak memihak (imparsial) serta dapat menolong masing-masing pihak
berkonflik untuk melakukan tawar-menawar secara seimbang, dalam forum
musyawarah (perundingan) untuk mencapai suatu kesepakatan damai.
Jadi, peran mediator adalah terbatas memberikan bantuan substantif dan
prosedural kepada pihak-pihak berkonflik untuk menyelesaikan masalahnya.
Kelemahannya adalah mediator terbatas hanya memberi saran, tidak memiliki
kewenangan untuk memutus atau menerapkan suatu kesepakatan
penyelesaian damai. Pihak-pihak berkonfliklah yang sebenarnya mempunyai
otoritas dalam membuat keputusan berdasarkan consensus (kesepakataan)
bersama.
Proses perundingan melalui mediasi dikatakan ideal manakala memenuhi tiga
kepuasan, yaitu : kepuasan substantif, prosedural dan psikologis. Kepuasan
substantif berhubungan dengan kepuasan khusus dari para pihak yang
berkonflik. Misalnya, terwujudnya penggantin kerugian ataupun karena
jalannya perundingan dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif tepat dan
singkat. Kepuasan prosedural terjadi apabila para pihak mendapatkan
kesempatan yang sama dalam menyampaikan gagasannya selama
berlangsungnya perundingan atau karena adanya kesepakatan yang
diwujudkan ke dalam perjanjian tertulis untuk dilaksanakan. Sedangkan
kepuasan psikologis menyangkut tingkat emosi para pihak berkonflik yang
terkendali, saling menghargai, penuh keterbukaan serta dilakukan dengan
Mediasi mempunyai kelebihan bila dibandingkan dengan jalur pengadilan.
Kurangnya kepercayaan atas kemandirian lembaga peradilan dan kendala
administratif yang melingkupinya, membuatnya sebagai pilihan terakhir.
Mediasi perasaan persamaan kedudukan dan upaya penentuan hasil akhir
yang dicapai menurut kesepakatan bersama tanpa tekanan atau paksaan.
Solusi yang dihasilkan mengarah kepada win-win solution. Sumarjono,
Ismail, & Isharyanto (2008) mengungkapkan upaya untuk mencapai win-win
solutionitu ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya:
1. Proses pendekatan obyektif terhadap sumber sengketa lebih dapat
diterima dan memberikan hasil yang saling menguntungkan, jika
menitikberatkan pada kepentingan sumber konflik, bukan pada posisi
para pihak.
2. Kemampuan yang seimbang dalam negosiasi atau musyawarah.
Perbedaan kemampuan tawar-menawar akan menyebabkan adanya
penekanan oleh pihak satu terhadap pihak yang lainnya.
Ada berbagai keuntungan lain menggunakan mediasi. Beberapa diantaranya
adalah :
1. Ada dua azas penting.Pertama, menghindari menang “kalah” (win-lose),
melainkan “sama-sama menang” (win-win solution). Ini tidak saja dalam
arti ekonomi atau keuangan, melainkan juga kemenangan moril, reputasi
(nama baik dan kepercayaan). Kedua, putusan tidak mengutamakan
pertimbangan dan alasan hukum, melainkan atas dasar kesejajaran
2. Mempersingkat waktu penyelesaian dari pada melalui pengadilan.
Lamanya waktu penyelesaian dalam berperkara selain menyebabkan
beban ekonomi keuangan dan beban psikologis yang mempengaruhi
berbagai sikap dan kegiatan pihak yang berperkara.
3. Berperkara menimbulkan efek sosial yaitu putusnya persaudaraan atau
hubungan sosial. Ini dapat meluas sampai kepada hubungan kekerabatan.
Hal ini dapat terjadi karena suatu perkara bukan saja menjadi kepentingan
dan “harga diri” yang dapat merambat pada kerabat. Suatu perkara bukan
hanya melukai pihak-pihak melainkan juga kerabat. Mediasi dapat
menghindarkan semua itu, dan hubungan yang retak dapat direkatkan
kembali;
4. Sangat sesuai dengan dasar pergaulan sosial masyarakat Indonesia yang
mengutamakan dasar kekerabatan, paguyuban, kekeluargaan dan
gotong-royong. Dasar-dasar tersebut telah membentuk tingkah laku toleransi,
mudah memaafkan, dan mengedepankan sikap mendahulukan
kepentingan bersama. Merupakan instrumen yang baik menyelesaikan
sengketa untuk menjaga dasar-dasar kekerabatan, paguyuban atau
kekeluargaan;
5. Merupakan gejala global. Menyadari peliknya berperkara, maka mediasi
sebagai alternatif cara penyelesaian sengketa telah berkembang secara
global. Baik sebagai keluarga bangsa-bangsa maupun sebagai bagian dari
tata cara hubungan hukum secara internasional, merupakan cara yang
6. Dari sudut penyelenggaraan peradilan ada beberapa keuntungan mediasi.
Pertama, makin banyak sengketa diselesaikan, mengurangi jumlah
perkara yang masuk ke pengadilan. Kedua, pada tingkat kepercayaan
sosial yang rendah terhadap hakim, mediasi merupakan salah satu alat
penangkal, karena penyelesaiannya ditentukan oleh pihak-pihak. Ketiga,
secara bertahap berperkara di pengadilan dapat lebih diarahkan pada
persoalan-persoalan hukum (bukan nilai perkara) yang kompleks dan
mendasar yang akan mempengaruhi perkembangan hukum.
Meskipun demikian, mediasi yang berpangkal pada cooperative paradigm
(paradigma koperatif) atau kepentigan masyarakat dan kepentingan negara
juga mengandung kelemahan. Pertama, kemungkinan terjadinya kolusi
(perbuatan tidank jujur) di antara salah satu pihak yang bersengketa karena
sifat mediasi yang voluntary (sukarela) dan bukannya mandatory (perintah).
Kedua,terhadap kesepakatan yang dicapai mungkin tidak dapat dilaksanakan
sebab tidak adanya kekuatan. Ketiga, kesepakatan mediasi bisa
disalahgunakan.
Upaya mediasi memang lebih dekat dengan ruang kehidupan masyarakat
tradisional dan didukung nilai-nilai budaya setampat. Hanya saja,
penyelesaian sengketa melalui musyawarah lebih ditekankan untuk menjaga
keharmonisan kehidupan kelompok dan kadang-kadang dapat mengabaikan
kepentingan pihak-pihak yang bersengketa. Pada kasus tertentu, mediasi
5. Konflik Sosial dan Masyarakat Multikultural
Sebagaimana dikemukakan dalam paparan pada subbab sebelumnya, konflik
sering diasumsikan sebagai bentuk keadaan yang negatif seperti, perselisihan,
disintegrasi (perpecahan) penyimpangan, destruktif (merusak), dan
sebagainya. Pada aspek ini konflik sering pula identik dengan kekerasan atau
peperangan yang berdarah-darah. Pernyataan tersebut mendapat respon
skeptis (ragu-ragu) seperti yang diungkapkan (Suharto, 2005), “padahal
konflik merupakan keniscayaan dalam masyarakat sejalan dengan proses
pemenuhan kebutuhan komunitas dan perubahan sosial”(Suharto, 2005: 222)
juga menambahkan bahwa konflik selalu terjadi dalam setiap komunitas
karena perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan keterbatasan sumber daya
senantiasa dijumpai dalam masyarakat, terlebih dalam masyarakat
multikultural yaitu masyarakat yang terdiri dari banyak kebudayaan.
Pakar lainnya juga menegaskan bahwa konflik berfungsi sebagai penyatuan
masyarakat dan sebagai sumber perubahan. Selain itu, konflik juga berfungsi
menghilangkan unsur-unsur pegganggu dalam hubungan. Dalam hal ini,
konflik berfungsi sebagai penyelesaian ketegangan antara unsur-unsur yang
bertentangan mempunyai kedudukan penstabil dan menjadi komponan
pemersatu hubungan.
Pembahasan pada beberapa konsepsi di atas, memberikan gambaran bahwa
potensi konflik akan selalu ada di tengah masyarakat, tidak hanya pada
komunitas yang multikultur. Dalam hal ini diperlukan upaya untuk mengenali
potensi konflik yang ada di tengah masyarakat tersebut. Konsepsi yang lazim
deteksi dini. Deteksi dini konflik merujuk pada penemuan dan pengenalan
gejala dan sumber-sumber yang dianggap berpotensi memunculkan
perbedaan pemahaman yang dapat berakibat munculnya konflik atau
kemungkinan munculnya konflik lanjutan (Rudito & Famiola, 2008). Dalam
pendeteksian dini, sangat diperlukan pengetahuan tentang hubungan sosial
antar-kelompok atau golongan sosial yang terjadi. Didalamnya terkandung
juga pengetahuan tentang anggapan dan prasangka yang ada dalam satu
kelompok atau golongan sosial terhadap kelompok atau golongan lainnya.
C. Tinjauan tentang MasyarakatRuraldanUrban
Pengertian masyarakat dari beberapa ahli sosiologi dunia yaitu, Menurut Selo
Sumardjan masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan
menghasilkan kebudayaan. Menurut Karl Marx masyarakat adalah suatu
struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan
akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara
ekonomi. Menurut Emile Durkheim masyarakat merupakan suatu kenyataan
objektif pribadi-pribadi yang merupakan anggotanya. Menurut Paul B.
Horton & C. Hunt masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relatif
mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal di suatu
wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian
besar kegiatan di dalam kelompok/kumpulan manusia tersebut. Maka dapat
disimpulkan bahwa masyarakat adalah sekelompok orang yang membentuk
interaksi adalah antara individu-individu yang berada dalam kelompok
tersebut. Maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah sekelompok
orang yang membentuk sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka),
dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berada
dalam kelompok tersebut.
Desa adalah bentuk pemerintahan terkecil yang ada di negeri ini. Luas
wilayah desa biasanya tidak terlalu luas dan dihuni oleh sejumlah keluarga.
Mayoritas penduduknya bekerja di bidang agraris dan tingkat pendidikannya
cenderung rendah. Karena jumlah penduduknya tidak begitu banyak, maka
biasanya hubungan kekerabatan antarmasyarakatnya terjalin kuat. Para
masyarakatnya juga masih percaya dan memegang teguh adat dan tradisi
yang ditinggalkan para leluhur mereka. Menurut UU No. 5 Tahun 1979 desa
adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai
kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat dan hukum
yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat
dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagian besar warga masyarakat pedesaan memiliki mata pencaharian
sebagai petani. Pekerjaan-pekerjaan yang di luar pertanian merupakan
pekerjaan sambilan yang biasa mengisi waktu luang. Masyarakat pedesaan di
Indonesia bersifat homogen (sejenis), seperti dalam hal mata pencaharian,
agama, adat istiadat, dan sebagainya. Selain itu, kehidupan masyarakat
pedesaan di Indonesia identik dengan dengan istilah gotong-royong yang
Kerja bakti itu ada dua macam, yaitu kerja sama untuk pekerjaan-pekerjaan
yang timbul dari inisiatif warga masyarakat itu sendiri, dan kerja sama untuk
pekerjaan-pekerjaan yang timbulnya tidak dari inisiatif warga itu sendiri.
Secara umum kota adalah tempat bermukimnya warga kota, tempat bekerja,
tempat kegiatan dalam bidang ekonomi, pemerintah dan lain-lain. Dengan
kata lain, Kota adalah suatu ciptaan peradaban budaya umat manusia. Kota
sebagai hasil dari peradaban yang lahir dari pedesaan, tetapi kota berbeda
dengan pedesaan, karena masyarakat kota merupakan suatu kelompok
teritorial di mana penduduknya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan hidup
sepenuhnya, dan juga merupakan suatu kelompok terorganisasi yang tinggal
secara kompak di wilayah tertentu dan memiliki derajat interkomuniti yang
tinggi.
Dilihat dari kenyataan yang tampak pada saat ini dalam sudut pandang
geografi, kota merupakan suatu daerah yang memiliki wilayah batas
administrasi dan bentang lahan luas, penduduk relatif banyak, adanya
heterogenitas penduduk, sektor agraris sedikit atau bahkan tidak ada, dan
adanya suatu sistem pemerintahan.
Secara sosiologis penekanannya pada pola hubungan serta kesatuan
masyarakat industri, bisnis, dan wirausaha lainnya dalam struktur yang lebih
kompleks. Sedangkan secara fisik, kota dinampakkan dengan adanya
gedung-gedung yang menjulang tinggi, hiruk pikuknya kendaraan, pabrik,
kemacetan, kesibukan warga masyarakatnya, persaingan yang tinggi,
kehidupannya cendrung heterogen, individual, persaingan yang tinggi yang
sering kali menimbulkan pertentangan atau konflik. Munculnya sebuah
asumsi yang menyatakan bahwa masyarakat kota itu pintar, tidak mudah
tertipu, cekatan dalam berpikir, dan bertindak, dan mudah menerima
perubahan, itu tidak selamanya benar, karena secara implisit dibalik semua
itu masih ada masyarakatnya yang hidup di bawah standar kehidupan sosial.
Karakteristik masyarakat desa pada umumnya kehidupannya tergantung pada
alam, ini disebabkan oleh lokasi geografis pedesaan dan anggotanya
saling mengenal, sifat gotong royong erat, penduduknya sedikit perbeda
an penghayatan dalam kehidupan religi lebih kuat. Karakteristik masyarakat
perkotaan yaiitu hubungan suasana yang saling memepengaruhi, keprcayaan
yang kuat akan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sebagai sarana
masyarakatnya untuk meningkatkan kesejahteraan dalam kehidupan,
masyarakatnya tergolong ke dalam macam-macam profesi yang dapat
dipelajari dan ditingkatkan dalam lembaga pendidikan, keterampilan dan
kejuruan Tingkat pendidikan formal pada umumnya tinggi dan merata,
hukum yang berlaku adalah hukum tertulis yang sangat kompleks.
Menurut Max Weber mengenai “kota”, para ahli kemasyarakatan telah
menekankan perbedaan-perbedaan antara masyarakat kota dan desa
(Weber,1977). Pandangan yang berlaku dahulu bahwa kota adalah
“modernt”, bahwa wilayah perkotaan merupakan pusat-pusat perubahan
sosial, sedangkan masyarakat selalu terbelakang dan “tradisional”, tidak lagi
tradisional atau modernt tidak harus sejalan berbarengan dengan wilayah
pedesaan atau perkotaan. Sebuah kota merupakan suatu system kapitalis
dunia, sedangkan wilayah pedesaan tetap terikat pada ekonomi subsistem
prakapitalis, tetap diragukan. (Hans-Dieter Evers, 1979). Perbedaan
masyarakat pedesaan (rural) da masyarakat perkotaan (urban) yaitu:
1. Lingkungan Umum dan Orientasi Terhadap Alam, Masyarakat perdesaan
berhubungan kuat dengan alam, karena lokasi geografisnya di daerah
desa. Penduduk yang tinggal di desa akan banyak ditentukan oleh
kepercayaan dan hukum alam. Berbeda dengan penduduk yang tinggal di
kota yang kehidupannya “bebas” dari realitas alam.
2. Pekerjaan atau Mata Pencaharian, Pada umumnya mata pencaharian di
dearah perdesaan adalah bertani tapi tak sedikit juga yang bermata
pencaharian berdagang, sebab beberapa daerah pertanian tidak lepas dari
kegiatan usaha.
3. Ukuran Komunitas, Komunitas perdesaan biasanya lebih kecil dari
komunitas perkotaan.
4. Kepadatan Penduduk, Penduduk desa kepadatannya lebih rendah bila
dibandingkan dengan kepadatan penduduk kota, kepadatan penduduk
suatu komunitas kenaikannya berhubungan dengan klasifikasi dari kota
itu sendiri.
5. Homogenitas dan Heterogenitas, Homogenitas atau persamaan ciri-ciri
sosial dan psikologis, bahasa, kepercayaan, adat-istiadat, dan perilaku
nampak pada masyarakat perdesaan bila dibandingkan dengan