• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI CENDAWAN ENTOMOPHTHORALES DALAM MENGENDALIKAN KUTU PUTIH PEPAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POTENSI CENDAWAN ENTOMOPHTHORALES DALAM MENGENDALIKAN KUTU PUTIH PEPAYA"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI CENDAWAN ENTOMOPHTHORALES DALAM

MENGENDALIKAN KUTU PUTIH PEPAYA

Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink

(HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE) DI LAPANGAN

YONA SHYLENA

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

ABSTRAK

YONA SHYLENA. Potensi Cendawan Entomophthorales dalam Mengendalikan Kutu Putih Pepaya Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink (Hemiptera: Pseudococcidae) di Lapangan. Dibimbing oleh RULY ANWAR.

Kutu putih pepaya, P. marginatus Williams & Granara de Willink (Hemiptera: Pseudococcidae) merupakan hama baru yang berasal dari Meksiko. Sejak tahun 2008, hama tersebut menimbulkan kerusakan berat pada pertanaman pepaya di Indonesia. Beberapa kutu putih pepaya di lapangan mengalami perubahan warna menjadi kehitaman. Kutu putih pepaya yang mengalami perubahan warna ini diduga terinfeksi oleh cendawan yang merupakan musuh alami kutu putih pepaya tersebut. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui potensi cendawan Entomophthorales dalam mengendalikan kutu putih pepaya. Penelitian yang dilakukan di Kecamatan Sukaraja dan Rancabungur, Kabupaten Bogor dimulai pada awal Maret hingga akhir Mei 2010 sedangkan identifikasi stadia cendawan dilakukan pada bulan Juni 2010. Lahan pepaya dibagi ke dalam empat plot. Masing-masing plot ditarik garis diagonal untuk ditentukan 20 tanaman sampel secara sistematis sehingga total tanaman sampel adalah 80 tanaman. Pengamatan dilakukan pada tanggal 4 Maret, 18 Maret, 1 April, 29 April, 13 Mei, dan 27 Mei 2010. P. marginatus yang diperoleh dari lapang dikoleksi dalam preparat slide menggunakan larutan lactophenol-cotton blue. Stadia cendawan yang menginfeksi P. marginatus selanjutnya diidentifikasi di laboratorium menggunakan mikroskop cahaya. Cendawan yang diidentifikasi merupakan cendawan dari ordo Entomophthorales. Stadia cendawan yang diidentifikasi adalah hyphal bodies, secondary conidia dan resting spores sedangkan stadia

primary conidia dan saprophytic fungi tidak berhasil diidentifikasi.

Kata Kunci: Paracoccus marginatus, kutu putih pepaya, Cendawan Entomophthorales, hyphal bodies, secondary conidia, resting spores.

(3)

POTENSI CENDAWAN ENTOMOPHTHORALES DALAM

MENGENDALIKAN KUTU PUTIH PEPAYA

Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink

(HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE) DI LAPANGAN

YONA SHYLENA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

Judul Skripsi : Potensi Cendawan Entompohthorales dalam Mengendalikan Kutu Putih Pepaya Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink

(Hemiptera: Pseudococcidae) di Lapangan Nama Mahasiswa : Yona Shylena

NRP : A34062718

Disetujui Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Ruly Anwar, MSi. NIP 19641224 199103 1 003

Diketahui

Plh. Ketua Departemen Proteksi Tanaman

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi. NIP 19650621 198910 2 001

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Agustus 1988 sebagai putri kedua dari tiga bersaudara pasangan H. MB. Siregar, SPd. dan Hj. Dwi Sugiarti, SPd, MPd.

Pada tahun 1994 penulis memulai sekolah di SD Taman Harapan dan lulus pada tahun 2000. Penulis melanjutkan ke pendidikan menengah di SLTP Negeri 19 Bekasi dan lulus pada tahun 2003, kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 4 Bekasi dan lulus tahun 2006. Pada tahun 2006 juga, penulis diterima di IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan tahun 2007 diterima di Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor.

Semasa kuliah penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, diantaranya pada tahun 2007-2008 menjabat sebagai sekretaris umum UKM CENTURY. Tahun 2008-2009 diamanahkan sebagai ketua Departemen Komunikasi dan Informasi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan magang di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan LSM PEKA pada tahun 2008. Penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Hama Penyakit Benih dan Pascapanen pada tahun 2009/2010.

(6)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat kehadirat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Potensi Cendawan Entomophthorales dalam Mengendalikan Kutu Putih Pepaya Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink (Hemiptera: Pseudococcidae) di Lapangan” yang bertujuan memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Ruly Anwar, MSi. yang telah memberikan pengetahuan, pengarahan, dukungan, dan bimbingan sejak awal hingga akhir penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Gede Suastika, MSc. selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan dukungan atas penulisan skripsi ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf pengajar dan laboran Departemen Proteksi Tanaman.

Terima kasih untuk Ibunda Hj. Dwi Sugiarti, SPd, MPd. dan Ayahanda H. MB. Siregar, SPd. tercinta serta kedua saudara yang penulis sayangi, Mbak Widya Ceciliana dan Boy Riyand Sahara. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada rekan-rekan di Laboratorium Patologi Serangga dan teman-teman di Departemen Proteksi Tanaman 43 (Adiyat Yori Rambe, Atrie Yuni Sonia, Meike Isna Rahmawati, Lia Nazirah, Nurul Hidayah, Maria Ulfa, Fitra Murgianto, Sari Nurulita, Kristiana, Nurihidayati, dan M. Eldiary Akbar) serta teman-teman seperjuangan (Asmawati Ahmad, Rio Ardian, Endah Febrianty, Sofyan Zuhri, Bian Apriansyah, Endang Rusparyati, Reza Fathul Millah, Linda Oktaviani, dan Iin Maena) yang telah memberikan persahabatan dan dukungan selama ini.

Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi penulisan yang lebih baik. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan pengetahuan bagi siapa saja yang membacanya.

Bogor, Oktober 2010

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... .viii

DAFTAR GAMBAR ... ix DAFTAR LAMPIRAN ... . x PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1 Tujuan Penelitian ... 2 Manfaat Penelitian ... 2 TINJAUAN PUSTAKA Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink ... 3

Taksonomi ... 3

Morfologi ... 3

Biologi ... 6

Tanaman Inang dan Penyebaran ... 6

Gejala dan Kerusakan ... 7

Cendawan Entomophthorales ... 8

Taksonomi ... 8

Ekologi ... 9

Biologi ... 10

Interaksi Inang ... 13

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 15

Bahan dan Alat ... 15

Metode Penelitian ... 15

Penentuan Petak Tanaman dan Tanaman Sampel ... 15

Pembuatan dan Pengoleksian Preparat P. marginatus ... 15

Identifikasi Stadia Cendawan Entomophthorales ... 16

Populasi dan Luas Serangan P. marginatus ... 17

Tingkat Infeksi Cendawan Entomophthorales. ... 17

(8)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik dan Keadaan Lahan Penelitian ... 18

Lahan Pepaya di Kecamatan Sukaraja ... 18

Lahan Pepaya di Kecamatan Rancabungur ... 18

Keadaan Lingkungan Lahan Penelitian ... 19

Populasi P. marginatus. ... 21

Luas Serangan P. marginatus ... 22

Identifikasi Stadia Cendawan Entomophthorales. ... 23

Tingkat Infeksi Cendawan Entomophthorales ... 25

KESIMPULAN DAN SARAN ... 29

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Populasi P. marginatus di Kecamatan Sukaraja dan Rancabungur

pada enam kali pengamatan tahun 2010 (jumlah/daun) ... 22 2. Luas serangan P. marginatus di Kecamatan Sukaraja dan

Rancabungur pada enam kali pengamatan tahun 2010 (%)... 23 3. Tingkat infeksi Cendawan Entomophthorales di Kecamatan

Sukaraja dan Rancabungur pada enam kali pengamatan tahun

2010 (%) ... 25

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Stadium imago betina P. marginatus ... 4

2. Stadium imago jantan P. marginatus ... 5

3. Gejala dan akibat yang ditimbulkan oleh serangan P. marginatus pada daun dan buah pepaya ... 8

4. Identifikasi stadia cendawan patogen... 10

5. Koleksi preparat P. marginatus menggunakan larutan lactophenol-cotton blue ... 16

6. Pengamatan stadia cendawan Entomophthorales pada preparat P. marginatus dengan menggunakan mikroskop cahaya ... 17

7. Lahan pepaya di (a) Kecamatan Sukaraja dan (b) Kecamatan Rancabungur ... 19

8. Grafik intensitas curah hujan harian rata-rata (mm/hari) di Kecamatan Sukaraja dan Rancabungur ... 21

9. Stadia hyphal bodies ... 24

10. Stadia secondary conidia ... 24

11. Stadia resting spores ... 24

12. Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales terhadap P. marginatus di Kecamatan Sukaraja dan Rancabungur pada enam kali pengamatan tahun 2010 (%) ... 26

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Sidik ragam jumlah Paracoccus marginatus ... 34 2. Sidik ragam luas serangan Paracoccus marginatus ... 34 3. Sidik ragam tingkat infeksi Cendawan Entomophthorales ... 34

   

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kutu putih pepaya, Paracoccus marginatus Williams and Granara de Willink (Hemiptera: Pseudococcidae) pertama kali dilaporkan berasal dari wilayah Neotropik di Belize, Kosta Rika, Guatemala, dan Meksiko (Williams and Granara de Willink 1992). Kutu tersebut masuk ke Kepulauan Karibia pada awal tahun 1990 dan pada tahun 1998 dilaporkan pertama kali masuk ke Amerika Serikat pada tanaman kembang sepatu di Florida (Miller & Miller 2002).

Serangan berat kutu putih pada pepaya terjadi di Guam pada 2002 dan di Republik Palau pada 2003 (Muniappan et al. 2006). Kutu ini merupakan serangga polifag dan menjadi hama pada beberapa komoditas buah-buahan tropis, sayur-sayuran, dan tanaman hias (Miller & Miller 2002). Cakupan inang meliputi

Carica papaya (pepaya), Citrus spp. (jeruk), Persea americana (alpukat),

Solanum melongena (terong), Hibiscus spp. (kembang sepatu), Plumeria spp. (buah plum), dan Acalypha spp. (acalypha) (Miller & Miller 2002).

Di daerah asalnya, P. marginatus tidak menjadi masalah yang serius karena terdapat musuh alami endemik di daerah tersebut (Amarasekare et al. 2008). Di wilayah Asia Tenggara, serangga tersebut diketahui keberadaannya pertama kali pada bulan Mei 2008 di pertanaman pepaya Kebun Raya Bogor oleh tim IPM CRSP (Muniappan et al. 2008). Direktorat Jendral Hortikultura (2008) melaporkan bahwa kutu putih pepaya telah terdeteksi di Kabupaten dan Kota Bogor, Kabupaten Sukabumi, serta di Kota Depok. Pada tahun yang sama, pertanaman pepaya di Kecamatan Sukaraja dan Rancabungur, Kabupaten Bogor terserang P. marginatus yang menyebabkan kehilangan hasil cukup besar (Koran Tempo, 15 Agustus 2008).

Dengan hadirnya kutu putih, permasalahan tanaman pepaya dan komoditas tanaman tropik penting lainnya menjadi lebih kompleks. Indonesia merupakan salah satu produsen pepaya terbesar. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengendalian secara cepat dan tepat terhadap kutu putih pepaya. Pengendalian yang dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan kimia akan membutuhkan biaya yang cukup besar dan sulit untuk diimplementasikan, tidak efektif, serta

(13)

2

berbahaya bagi lingkungan (Sagarra & Peterkin 1999). Oleh karena hal tersebut, dilakukan pengendalian lain yang ramah lingkungan seperti pengendalian secara biologi, yaitu dengan memanfaatkan organisme yang ada di alam sebagai musuh alami kutu putih.

Meskipun demikian, populasi kutu putih pepaya di lapang, terutama di daerah Bogor ditemukan berwarna kehitaman. Dugaan sementara adalah P. marginatus terinfeksioleh cendawan entomopatogen dari ordo Entomophthorales. Sejauh ini belum ada laporan yang menyebutkan bahwa kutu putih pepaya terinfeksi oleh cendawan, baik di daerah asal kutu putih pepaya tersebut maupun di Indonesia. Beberapa penelitian melaporkan bahwa cendawan Entomophthorales mampu mengendalikan populasi serangga hama dan tungau. Junior et al. (1997) melaporkan Neozygites fumosa (Speare) Remaudie`re & Keller (Zygomycetes: Entomophthorales) ditemukan sebagai patogen dari kutu putih singkong,

Phenacoccus herreni Cox & Williams (Hemiptera: Pseudococcidae) di Brazil. Tingkat infeksi cendawan yang ditemukan di daerah Cruz das Almas, Brazil tersebut mencapai 9,3-64,6%. Pada saat itu, stadia cendawan yang berhasil diidentifikasi adalah hyphal bodies. Selain itu, cendawan ini juga ditemukan menginfeksi Planococcus citri yang merupakan hama tanaman jeruk di Florida dan sebagai musuh alami yang efektif bagi Phenacoccus manihoti pada tanaman singkong di Kongo.

Namun demikian, belum ada laporan yang menyebutkan bahwa P.

marginatus terinfeksi oleh cendawan Entomophthorales baik di Indonesia maupun di dunia. Hasil pengamatan Dadang et al. (2008), melaporkan bahwa cendawan tersebut ditemukan menginfeksi kutu putih pepaya.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengetahui perkembangan infeksi cendawan Entomophthorales pada kutu putih pepaya di lapangan.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah tersedianya informasi yang terkait dengan pengendalian kutu putih pepaya di lapangan.

(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Paracoccus marginatus Williams & Granara de Willink

Taksonomi

Kutu putih pepaya, P. marginatus, termasuk ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Insecta, Ordo Hemiptera, Superfamili Coccoidea, dan Famili Pseudococcidae (Miller & Miller 2002). Genus ini terdiri dari 79 spesies yang tersebar di berbagai wilayah, seperti Austro-Oriental, Ethiopian, Madagasian, Neartic, Neotropical, New Zealand, Pasifik, Palaeartic dan Oriental. Dalam genus ini dilaporkan dua spesies yang menjadi hama serius, yakni P. burnerae Brain sebagai hama penting pada tanaman jeruk di Afrika Selatan dan P. marginatus

Williams dan Granara de Willink yang menjadi hama penting pepaya dan tanaman ekonomi penting lainnya di sekitar Karibia dan Florida (Miller & Miller 2002).

Morfologi

Setiap stadium P. marginatus, baik dari jenis kelamin jantan maupun betina memiliki perbedaan dan ciri morfologi yang khas. Individu betina melalui tiga stadia hidup, yaitu telur, nimfa, dan imago. Pada stadium nimfa instar pertama, jenis kelamin serangga ini belum dapat dibedakan. Panjang tubuh stadium nimfa instar pertama rata-rata adalah 0,4 mm dengan kisaran 0,3-0,5 mm dan lebar tubuh rata-rata adalah 0,2 mm dengan kisaran 0,2-0,3 mm (Miller & Miller 2002).

Stadium nimfa instar kedua betina serangga ini memperlihatkan tubuh berwarna kuning dengan panjang tubuh rata-rata sebesar 0,7 mm dengan kisaran 0,5-0,8 mm dan lebar tubuh rata-rata sebesar 0,4 mm dengan kisaran 0,3-0,5 mm. Panjang tubuh stadium nimfa instar ketiga betina rata-rata adalah 1,1 mm dengan kisaran 0,7-1,8 mm dan lebar tubuh rata-rata adalah 0,7 mm dengan kisaran 0,3-1,1 mm (Miller & Miller 2002).

Morfologi stadium imago betina P. marginatus memperlihatkan tubuh berwarna kuning yang ditutupi oleh lilin putih. Lilin putih yang menutupi tubuh imago betina tidak terlalu banyak. Hal ini dilakukan untuk menutupi warna tubuhnya. Panjang tubuh imago betina rata-rata adalah 2,2 mm dengan kisaran 1,5-2,7 mm dan lebar tubuh rata-rata adalah 1,4 mm dengan kisaran 0,9-1,7 mm.

(15)

4  

Tubuh imago betina memiliki rangkaian filamen lilin pendek di sepanjang bagian tepi tubuh. Kantung telur (ovisac) dibentuk di bagian ventral posterior tubuh betina dewasa. Imago betina tidak memiliki sayap, dan bergerak dengan perlahan dalam jarak yang dekat, atau dapat diterbangkan oleh angin (Miller & Miller 2002).

Gambar 1 Stadium imago betina P. marginatus (Miller & Miller 2002)

A. Tungkai depan, B. Oral-rim tubular duct, C. Porus trilokular, D. Porus Translusen, E. Oral-collar tubular duct, F. Tungkai belakang, G. Porus Multilokular, H. Seta cisanal, I. Serari Anal-lobe, J. Seta auxilliary, K. Porus discoidal, L. Seta bagian punggung, M. Seta serari.

Pada stadium nimfa instar kedua jantan biasanya tubuh serangga ini berwarna merah muda dan terkadang kuning, dengan panjang tubuh rata-rata sebesar 0,6 mm pada kisaran 0,5-1,0 mm dan lebar tubuh rata-rata sebesar 0,3 mm pada kisaran 0,2-0,6 mm. Stadium nimfa instar ketiga jantan disebut prapupa, dengan panjang tubuh rata-rata sebesar 0,9 mm pada kisaran 0,8-1,1 mm dan lebar tubuh rata-rata sebesar 0,4 mm pada kisaran 0,3-0,4 mm. Stadium nimfa instar

(16)

5  

keempat jantan disebut pupa, dengan panjang tubuh rata-rata sebesar 1,0 mm pada kisaran 0,9-1,0 mm dan lebar tubuh rata-rata sebesar 0,3 mm pada kisaran 0,3-0,4 mm (Miller & Miller 2002).

Stadium imago jantan P. marginatus memiliki bentuk tubuh oval memanjang dan sepasang sayap, dengan panjang tubuh rata-rata adalah 1,0 mm pada kisaran 0,9-1,1 mm dan lebar pada toraks rata-rata adalah 0,3 mm pada ksisaran 0,2-0,3 mm (Miller & Miller 2002).

Gambar 2 Stadium imago jantan P. marginatus (Miller & Miller 2002)

A.Bagian punggung daerah midcranial, B. Tungkai depan, C. Bagian ventral selubung penial, D. Aedeagus, E. Bagian lateral selubung penial, F. Porus discoidal, G. Porus quin-quelocular, H. Scapus dan pedisel, I. Segmen apical.

Menurut Miller & Miller (2002), terdapat dua karakteristik penting yang membedakan imago betina P. marginatus dengan spesies Paracoccus lainnya yaitu, (1.) terdapat oral-rim tubular duct bagian dorsal yang terbatas pada tepi tubuh, dan (2.) tidak terdapatnya porus tranlusen pada tibia tungkai belakang.

(17)

6  

Imago jantan dapat dibedakan dengan spesies lain dengan melihat adanya seta yang kokoh dan tebal pada antena dan tidak terdapatnya seta yang kokoh pada tungkai. Spesimen kutu putih pepaya akan berubah menjadi berwarna hitam kebiruan saat dilakukan penyimpanan pada alkohol.

Biologi

Kutu putih pepaya memiliki tipe mulut menusuk menghisap dan memasukkan bagian mulut ke dalam jaringan tanaman kemudian menghisap cairan tumbuhan. Kutu putih dapat mengeluarkan embun madu melalui cincin anal, sehingga kutu putih sering berasosiasi dengan organisme lain seperti serangga semut dan cendawan jelaga. Pada permukaan tubuh terdapat lubang ostiol yang dapat mengeluarkan cairan defensif apabila merasa terganggu. Kutu putih sangat aktif pada cuaca hangat dan kering (Walker et al. 2003).

Tanaman Inang dan Penyebaran

Kutu putih pepaya merupakan serangga polifag dan telah tercatat memiliki lebih dari 55 tanaman inang pada lebih dari 25 genus tanaman. Tanaman inang yang penting secara ekonomi antara lain pepaya, kembang sepatu, alpukat, jeruk, kapas, tomat, terung, lada, buncis dan kacang hijau, ubi jalar, mangga, chery, dan delima (Walker et al. 2003). Di Indonesia, kutu putih pepaya ditemukan menyerang 20 jenis tanaman lain selain pada tanaman pepaya (Sartiami et al. 2009)

Kutu putih pepaya dilaporkan berasal dari wilayah Neotropical terutama Meksiko atau wilayah Amerika Tengah (Miller & Miller 2002). Spesimen pertama dikoleksi dari Meksiko pada tahun 1955. Keberadaan hama ini di Meksiko tidak menjadi masalah serius karena telah terdapat musuh alami endemik di wilayah tersebut (Walker et al. 2003).

Sejak tahun 1994, P. marginatus tercatat telah berada di 14 negara Karibia. Pada tahun 1998, kutu putih juga telah ditemukan di Florida, AS, pada tanaman kembang sepatu (Walker et al. 2003). Serangan berat terjadi di Kepulauan Guam di Pasifik pada tahun 2002 (Walker et al. 2003) dan di Republik Palau pada 2003 (Muniappan et al. 2006). Sekitar bulan Mei 2004, kutu putih ini terdapat di

(18)

7  

Kepulauan Hawai, AS pada tanaman pepaya, kamboja, kembang sepatu dan Jarak (Jatropa spp.) (Heu et al. 2007) serta di Tinian, Kepulauan Mariana pada 2005 (Muniappan 2009).

Direktorat Jendral Holtikultura (2008), melaporkan bahwa kutu putih pepaya telah terdeteksi di Kabupaten dan Kota Bogor (Kecamatan Gunung Putri, Sukaraja, Cigombong, Dramaga, Rancabungur, Cijeruk, Ciburui, Cibinong, dan Bojong Gede), Kabupaten Sukabumi (Kecamatan Cicurug dan Cidahu), dan Depok (Kecamatan Beji dan Pancoran Mas) Propinsi Jawa Barat. Selain itu telah ditemukan juga di wilayah DKI Jakarta, yaitu di Jakarta Selatan (Kecamatan Jagakarsa, Cilandak, Pasar Minggu, dan Senayan) dan Propinsi Banten yaitu di Kabupaten Tangerang (Kecamatan Ciputat).

Berdasarkan informasi yang dikumpulkan di lapangan, kutu putih pepaya telah ditemukan sejak musim kemarau 2007. Kutu putih pepaya ini mudah terbawa oleh angin, bibit, manusia, maupun serangga lain dan burung karena memiliki kantung telur yang mudah melekat pada berbagai benda.

Gejala dan Kerusakan

Kutu putih pepaya menghisap cairan tumbuhan dengan memasukkan stilet ke dalam jaringan epidermis daun, buah maupun batang. Pada waktu yang bersamaan kutu putih mengeluarkan racun ke dalam daun, sehingga mengakibatkan klorosis, kerdil, malformasi daun, daun mengerut dan menggulung, daun muda dan buah rontok, banyak menghasilkan embun madu yang dapat berasosiasi dengan cendawan jelaga, hingga kematian tanaman (Walker et al. 2003).

Pada tanaman yang sudah dewasa, gejala yang muncul adalah daun menguning dan akhirnya daun akan gugur. Serangan pada buah yang belum matang menyebabkan bentuk buah yang tidak sempurna. Serangan yang berat dapat menutupi permukaan buah hingga terlihat putih akibat tertutupi koloni kutu putih tersebut (Gambar 3) (Panjota, Follet & Jimenez 2002).

(19)

8  

Gambar 3 Gejala dan akibat yang ditimbulkan oleh serangan P. marginatus pada daun dan buah pepaya.

Cendawan Entomophthorales Taksonomi

Ordo Entomophthorales termasuk ke dalam kelas Zygomycetses yang terdiri atas 5 famili, yaitu Ancylistaceae, Completoriaceae, Entomophthoraceae, Meristacraceae, dan Neozygitaceae. Kelima famili tersebut merupakan patogen serangga, diantaranya adalah Ancylistaceae (Conidiobolus), Entomophthoraceae (12 genus) dan Neozygitaceae (dua genus) (Keller & Petrini 2005). Hanya satu jenis entomopatogenik, Meristacrum milkoi Dudka & Koval yang merupakan patogen larva Tabanidae (Diptera) dan termasuk ke dalam famili Meristacraceae. Spesies dari famili Completoriaceae telah diketahui bersifat parasit obligat intraselular. Akan tetapi, urutan taksonomi dari famili ini belum diketahui secara pasti (Humber 1989).

Pada Januari 2006, sebanyak 223 jenis cendawan Entomophthorales telah berhasil diidentifikasi. Sekitar 195 jenis diantaranya termasuk ke dalam famili Entomophthoraceae, 17 jenis termasuk ke dalam famili Neozygitaceae dan 10 jenis termasuk ke dalam famili Ancylistaceae yang salah satunya adalah genus

(20)

9  

diidentifikasi ke dalam genus. Sedangkan sisanya sekitar 38 jenis telah diketahui hanya dalam stadia restingspore yang merupakan anggota dari genus Tarichium. Genus ini termasuk ke dalam famili Entomophthoraceae, walaupun terdapat jenis cendawan lain yang tergolong ke dalam famili berbeda. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan bahwa akan lebih banyak jenis dari kelompok cendawan penting lain yang akan diidentifikasi selanjutnya (Humber 1989).

Bagian terpenting dari cendawan Entomophthorales adalah kemampuannya dalam menyebabkan epizootics (menginfeksi banyak hewan atau serangga pada suatu daerah dalam waktu bersamaan secara cepat) dan mengurangi populasi serangga pada inang dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu, jenis cendawan ini sangat penting sebagai musuh alami dan efisien dalam mengendalikan serangga yang menyerang tanaman inang. Fakta yang ada menyebutkan bahwa sekitar 70 jenis cendawan telah dilaporkan menjadi musuh alami pada serangga hama dan tungau (Humber 1989).

Serangga yang diinfeksi oleh cendawan Entomophthorales biasanya mati pada tempat yang mendukung, misalnya pada bagian atas tanaman atau dinding tanaman. Serangga yang hidupnya berkelompok seperti kutu daun dan tungau secara normal tinggal di dalam koloni. Apabila cendawan tidak berada dalam fase sporulasi, maka tidak atau hampir tidak ada tanda dari cendawan yang terlihat dan cendawan tidak dengan mudah dikenali sebagai musuh alami (Humber 1989).

Ekologi

Ketertarikan peneliti terhadap cendawan Entomophthorales dalam perannya sebagai musuh alami semakin meningkat seiring dengan kemampuannya dalam mengendalikan hama. Banyak penelitian yang telah dilakukan dengan konservasi pengendalian secara biologi dari kutu daun. Populasi kutu daun dapat dikendalikan oleh musuh alami. Masing-masing musuh alami akan menyerang jenis kutu daun yang spesifik. Setelah itu, cendawan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menginfeksi kembali populasi kutu daun yang lain. Oleh karena itu, dibutuhkan populasi cendawan Entomophthorales dalam jumlah banyak dalam rangka mengendalikan populasi kutu daun yang perkembangannya jauh lebih cepat dibandingkan populasi cendawan. Populasi kutu daun akan

(21)

10  

meledak pada saat musim panas sehingga dapat mengakibatkan kehilangan hasil yang cukup besar (Hani, Boller & Keller 1998).

Biologi

Kutu putih pepaya yang diinfeksi oleh cendawan Entomophthorales dapat diklasifikasi ke dalam satu dari enam kategori stadia menurut Steinkraus, Geden & Rutz (1995): (1) sehat, (2) secondary conidia (konidia sekunder) yang menyerang tungkai, antena, atau tubuh kutu putih pepaya, (3) hyphal bodies

(badan hifa), (4) konidiofor dan primary conidia (konidia primer), (5) resting spores (spora istirahat), dan (6) saprophytic fungi (cendawan saprofit).

Gambar 4 Identifikasi stadia cendawan patogen serangga (Steinkraus et al. 1995) (a)Oliarus dimidiatus dewasa sehat, (b) Cendawan Pandora sp. menginfeksi O. dimidiatus, (c) Primaryconidia, (d) Bitunicate conidia dengan lapisan dinding luar terpisah dan secondary conidia

(tanda panah), (e) Cystidia (tanda panah) dan (f) Hyphal bodies.

Kutu putih pepaya dikatakan sehat apabila tidak ditemukan cendawan yang menginfeksi kutu putih pepaya tersebut. Sementara itu, stadia secondary conidia

(22)

11  

bentuk konidia sekunder merupakan kriteria penting dalam mengidentifikasi cendawan Entomophthorales. Konidia sekunder biasanya dihasilkan dari arah samping konidia primer. Ukurannya tebal, ada yang panjang dan pendek, serta mempunyai bentuk kapiler yang langsing. Genus Neozygites memiliki konidia sekunder yang pada bagian ujungnya membentuk tekukan yang tajam di depan

capilliconidium (Keller & Eilenberg 1993).

Menurut Ben-Ze’ev dan Kenneth (1982), secondary conidia dibagi ke dalam lima tipe. Tipe I, secondary conidia dihasilkan satu per satu kemudian dikeluarkan, biasanya dari perkembangan yang pendek selanjutnya akan muncul di atas konidia primer. Tipe ini dibagi lagi menjadi dua, yaitu Tipe Ia mempunyai bentuk yang hampir sama dengan konidia primer. Tipe ini merupakan tipe normal yang dimiliki oleh hampir semua jenis cendawan Entomophthorales. Sementara itu, Tipe Ib mempunyai bentuk yang berbeda dengan konidia primer. Tipe ini dimiliki oleh Erynia, Furia, Pandora, dan beberapa jenis Entomophaga (Keller & Eilenberg 1993). Secondary conidia pada Tipe II disebut capilliconidia.

Capilliconidia dihasilkan secara satu per satu, berukuran panjang, dan mempunyai tabung kapiler langsing yang muncul pada konidia primer. Capilliconidia

dilepaskan secara pasif. Tipe ini ditemukan pada Zoophthora, Neozygites, Orthomyces, dan Eryniopsis lampyridarum.

Secondary conidia pada Tipe III dikenal dengan nama microconidia.

Microconidia menghasilkan satu dari banyak perkembangan pipa tubular yang muncul dari konidia primer, bentuknya menyerupai konidia primer tetapi lebih kecil. Tipe ini banyak ditemukan pada beberapa jenis Conidiobolus. Tipe IV disebut dengan nama microspores. Tipe ini tidak ditemukan pada jenis cendawan entomopatogen. Tipe terakhir merupakan Tipe V yang dikenal dengan istilah

aquatic secondary conidia, tetra-radiate propagules, tetra-radiate conidia, branched, stellate atau coronate conidia (Descals & Webster 1984). Secondary conidia ini dihasilkan di dalam air atau yang kontak dengan air. Sebagian besar ditemukan pada beberapa jenis Erynia yang berasosiasi dengan air.

Stadia hyphal bodies hampir ditemukan pada semua spesies cendawan Entomophthorales. Stadia ini merupakan fase perkembangan vegetatif. Hyphal bodies berkembang dari protoplas dan merupakan proses awal yang terjadi pada

(23)

12  

inang yang terinfeksi. Dinding sel akan mengekspresikan hyphal bodies ke dalam berbagai bentuk yang spesifik. Bentuk yang spesifik menjadikan hyphal bodies

sebagai suatu ciri penting dalam penggolongan cendawan (Keller 1987).

Stadia konidiofor dan primary conidia (konidia primer) secara aktif dihasilkan pada bagian ujung konidiofor. Primary conidia dihasilkan pada konidiofor tidak bercabang yang mengandung dua atau lebih nukleus, sedangkan yang dihasilkan pada konidiofor bercabang mengandung satu nukleus. Bentuk dan ukuran primary conidia merupakan kriteria penting dalam identifikasi jenis cendawan Entomophthorales. Konidia famili Neozygitaceae tidak mempunyai membran luar. Membran luar famili Neozygitaceae akan membentuk suatu lingkaran (halo) di sekitar konidia (Eilenberg, Bresciani & Latge 1986). Nukleus pada konidia famili Neozygitaceae hanya dapat dihitung ketika jumlahnya sedikit, cara lain adalah penghitungan dilakukan pada konidiofor untuk mengurangi kesalahan (Keller 1987).

Stadia resting spores merupakan struktur dinding berukuran tebal yang berfungsi untuk bertahan hidup pada kondisi yang kurang menguntungkan.

Resting spores dibentuk secara aseksual dari suatu hyphal body (azygospores) atau secara seksual dari konjugasi dua hyphal bodies (zygospores). Kebanyakan bentuk resting spores adalah bola dan hialin, beberapa ada yang dikelilingi oleh

episporium. Stadia resting spores secara spesifik hanya dapat ditemukan pada

Neozygites. Resting spores pada Neozygites berwarna coklat gelap menuju hitam, berbentuk bola atau elips, berstruktur halus, dan mempunyai dua asam nukleat.

Resting spores tidak cepat menyebar (Keller 1987). 

Stadia ini berkecambah dengan menggunakan tabung benih tunggal di mana benih tunggal konidia dibentuk. Pada beberapa jenis cendawan Entomophthorales,

resting spores atau konidia yang dihasilkan sangat tergantung pada stadia serangga inang yang diinfeksi. Jika menginfeksi serangga muda, maka akan menghasilkan konidia primer. Sedangkan apabila menginfeksi serangga yang lebih tua, maka yang dihasilkan adalah resting spores. Konidia dari cendawan Entomophthorales umumnya menyebar secara aktif, berbeda dengan Ascomycetes yang menyebar secara pasif. Apabila sebuah konidia melakukan kontak dengan serangga inang, maka akan terbentuk tabung kecambah (germ tube). Setelah itu,

(24)

13  

cendawan akan melakukan invasi pada hemosol serangga dan terjadilah infeksi (Keller 1987).

Apabila konidia yang dikeluarkan tidak jatuh pada inang yang khas, maka akan terbentuk konidia sekunder. Beberapa spesies akan membentuk

capilliconidia jika konidia primer jatuh pada substrat selain inang yang khas.

Resting spores akan dihasilkan ketika serangga inang mati. Resting spores yang dihasilkan berfungsi agar cendawan tetap bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan, terutama pada suhu yang ekstrim. Stadia terakhir dalam identifikasi cendawan Entomophthorales adalah saprophytic fungi.

Saprophytic fungi akan muncul setelah kutu putih mati atau busuk (Keller 1987).

Interaksi Inang

Interaksi antara cendawan dengan inang adalah karakteristik yang dibutuhkan oleh keduanya untuk meningkatkan potensi reproduktif masing-masing. Inang akan meningkatkan ketahanan ketika cendawan mencoba untuk menginfeksi. Cendawan Entomophthorales sebagai cendawan yang terspesialisasi dengan baik, mempunyai cakupan inang yang cukup luas dan mampu beradaptasi dengan tingkah laku inang. Oleh karena itu, cendawan Entomophthorales mempunyai nilai tinggi dari sisi pengurangan inang serangga secara selektif yang berarti bahwa cendawan ini tidak akan membahayakan organisme bukan sasaran (Humber 1989).

Banyak dari jenis cendawan Entomophthorales yang menghasilkan dua tipe

secondary conidia. Tipe satu biasanya menyerupai konidia primer, sedangkan tipe yang lain sering diadaptasi untuk kondisi lingkungan tertentu. Tipe yang disebut jenis akuatik dari cendawan Entomophthorales akan menghasilkan konidia dengan perkembangan menyebar dan baik untuk menginfeksi inang yang hidup di perairan. Kemudian capilliconidia terbukti berhasil menginfeksi serangga terrestrial. Semenjak cendawan Entomophthorales aktif menghasilkan konidia, maka jumlah konidia yang jatuh ke tanaman semakin banyak. Cendawan Entomophthorales membutuhkan kondisi lembab untuk melakukan sporulasi dan berkecambah. Banyak jenis cendawan ini yang mampu menginfeksi inang pada

(25)

14  

sore hari. Kondisi ini menguntungkan cendawan dengan adanya embun untuk melakukan sporulasi. Beberapa jenis cendawan Entomophthorales pada genus berbeda kemampuannya telah berkembang dengan baik (Humber 1989).

(26)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada pertanaman pepaya yang terletak di di dua tempat berbeda, yaitu Desa Nagrak, Kecamatan Sukaraja dan Desa Bantarjaya, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor. Kecamatan Sukaraja berada pada ketinggian 201 m dpl, sedangkan Kecamatan Rancabungur berada pada ketinggian 243 m dpl. Identifikasi dilakukan di Laboratorium Patologi Serangga Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kegiatan penelitian dilaksanakan mulai Maret 2010 sampai Juni 2010.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah larutan lactophenol-cotton

blue, alkohol 70%, pewarna kuku bening, tisu dan kertas label. Sementara itu, alat

yang digunakan pada penelitian ini adalah pinset, kuas, jarum, pipet tetes, preparat slide beserta kaca penutup, botol serangga, kantung plastik, tali rafia, alat tulis, kamera digital, dan mikroskop cahaya.

Metode Penelitian Penentuan Petak Tanaman dan Tanaman Sampel

Satu lahan tanaman pepaya dibagi ke dalam empat plot. Masing-masing plot ditarik garis diagonal silang untuk kemudian ditentukan secara sistematis sebanyak 20 tanaman sampel, sehingga total tanaman sampel yang diamati adalah 80 tanaman. Tanaman sampel yang telah ditentukan kemudian ditandai dengan tali rafia sehingga pada pengamatan berikutnya tanaman sampel tersebut yang

akan diamati. Pengamatan P. marginatus pada tanaman sampel dilakukan

sebanyak enam kali.

Pembuatan dan Pengoleksian Preparat P. marginatus

Kutu putih pepaya yang diperoleh dari lapangan dimasukkan ke dalam alkohol 70%. Tujuan kutu putih pepaya dimasukkan ke dalam alkohol untuk menghambat pertumbuhan kutu putih itu sendiri dan perkembangan cendawan

(27)

16  

yang menginfeksi kutu putih pepaya. Kutu putih yang dimasukkan ke dalam alkohol kemudian dibawa ke laboratorium untuk pemeriksaan lebih lanjut. Sampel kutu putih dibuat preparat dengan jumlah sepuluh kutu putih per preparat yang ditata secara diagonal dengan ukuran kutu putih yang relatif sama.

Pembuatan preparat kutu putih pepaya dilakukan dengan menggunakan

larutan lactophenol-cotton blue. Setelah kutu putih pepaya ditutup dengan kaca

penutup, tubuh kutu putih pepaya sedikit ditekan untuk mempermudah pengamatan. Preparat kemudian diberi label yang berisi lokasi pengambilan tanaman sampel, tanggal pengambilan sampel, waktu pengamatan (hujan atau kemarau). Jumlah koleksi preparat kutu putih pepaya dari Kecamatan Sukaraja dan Rancabungur adalah 258 preparat dengan waktu pengoleksian preparat pada tanggal 4 Maret, 18 Maret, 1 April, 29 April, 13 Mei, dan 27 Mei 2010.

Gambar 5 Koleksi preparat Paracoccus marginatus menggunakan larutan

lactophenol-cotton blue

Identifikasi Stadia Cendawan Entomophthorales

Preparat kutu putih pepaya diamati di laboratorium dengan menggunakan mikroskop cahaya untuk diidentifikasi stadia cendawan Entomophthorales yang ada pada kutu tersebut. Kutu putih pepaya diklasifikasi ke dalam satu dari enam

kategori menurut Steinkraus et al. (1995), yaitu kutu yang: (1) sehat, (2) terserang

secondary conidia yang menyerang tungkai, antena, atau tubuh kutu putih pepaya,

(3) terserang hyphal bodies, (4) terserang konidiofor dan primary conidia, (5)

(28)

17  

Gambar 6 Pengamatan stadia cendawan Entomophthorales pada preparat

P. marginatus dengan menggunakan mikroskop cahaya

Populasi dan Luas Serangan P. marginatus

Jumlah P. marginatus yang terdapat pada tanaman sampel diamati pada dua

lokasi untuk setiap pengamatan. Luas serangan P. marginatus pada tanaman

pepaya dihitung dengan menggunakan rumus:

Luas Serangan (%) : ∑ tanaman yang terserang x 100%

∑ tanaman sampel

Tingkat Infeksi Cendawan Entomophthorales

Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales pada P. marginatus di lapang

dihitung dengan menggunakan rumus:

Tingkat Infeksi (%) : ∑ kutu putih pepaya terinfeksi x 100% ∑ populasi sampel kutu putih pepaya

Analisis Data

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rancangan acak split plot yang terdiri atas empat plot (blok), dua lokasi (Sukaraja dan Rancabungur), enam

waktu (3 musim hujan dan 3 kemarau), dan tiga respon (populasi P. marginatus,

luas serangan P. marginatus, dan tingkat infeksi Cendawan Entomophthorales).

Data diolah dengan menggunakan Program Statistical Analysis System (SAS)

(29)

18  

Multiple Range Test)pada taraf nyata 5%. Sementara itu, untuk melihat tren atau

(30)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik dan Keadaan Lahan Penelitian Lahan Pepaya di Kecamatan Sukaraja

Tanaman pepaya yang ditanam di Desa Nagrak, Kecamatan Sukaraja merupakan pepaya varietas Bangkok. Alasan petani memilih varietas Bangkok karena ukurannya besar jika dibandingkan dengan jenis pepaya lainnya, teksturnya keras sehingga tahan pada saat pengangkutan, daging buahnya tebal, dan rasanya manis. Lahan pepaya yang berada pada ketinggian lebih kurang 201

m dpl, memiliki luas 1.800 m2 dengan jarak tanam 270 cm x 170 cm dan jumlah

populasi tanaman pepaya sebanyak 300 tanaman.

Pada saat pengamatan, tanaman pepaya sedang memasuki fase pembungaan. Beberapa teknik budidaya yang dilakukan petani pada awal penanaman pepaya adalah memberikan pupuk kandang yang merupakan kotoran kambing dengan dosis 5 kg/tanaman. Pada saat tanaman berusia 7 bulan, yaitu pada saat memasuki fase pembungaan, diberikan pupuk kandang sebanyak 30 kg/tanaman. Selain pupuk kandang, diberikan juga pupuk NPK sebanyak 50 kg/300 tanaman. Pepaya dapat dipanen setelah usia 12 bulan.

Menurut informasi yang diperoleh dari petani pemilik lahan, penyakit yang paling merugikan pada tanaman pepaya di Desa Nagrak adalah penyakit yang disebabkan oleh cendawan yang diduga busuk buah pepaya. Sementara itu, hama

yang paling merusak pertanaman pepaya adalah kutu putih pepaya (P.

marginatus) dan beberapa daun menjadi keriting yang diduga disebabkan oleh

hama Thrips sp. Dalam mengendalikan hama dan penyakit tersebut, pemilik lahan

menggunakan beberapa pestisida yang berbahan aktif mankozeb, propineb dan

metidation.

Lahan Pepaya di Kecamatan Rancabungur

Tanaman pepaya yang ditanam di Desa Bantarjaya, Kecamatan Rancabungur merupakan pepaya varietas Bangkok. Lahan pepaya berada pada ketinggian lebih

kurang 243 m dpl dengan luas 1.600 m2 dan jarak tanam 250 cm x 250 cm serta

(31)

19   

petani pemilik lahan pernah menanam bengkuang. Tanaman pepaya yang ditanam saat ini merupakan tumpangsari dengan tanaman terong.

Bibit pepaya pertama kali diperoleh dengan cara membeli di toko pertanian. Selanjutnya biji-biji yang digunakan sebagai bibit diambil dari buah pepaya yang telah masak dan berasal dari pohon pilihan. Teknik budidaya yang dilakukan pada awal penanaman pepaya adalah memberikan pupuk kandang yaitu kotoran kambing yang dicampur pupuk organik dengan dosis 5 kg/tanaman. Setelah itu, ketika tanaman berusia 15 hari diberikan pupuk organik, TSP, KCl, dan ZA. Pada saat pengamatan, umur pepaya adalah 3 tahun 6 bulan. Dalam satu bulan, pepaya dapat dipanen sebanyak tiga kali. Tanaman pepaya dapat dipanen setelah berumur 9-12 bulan.

Menurut informasi yang diperoleh, penyakit yang paling merugikan pada tanaman pepaya sama seperti yang ditemukan di Desa Nagrak, Kecamatan Sukaraja, yaitu penyakit yang disebabkan oleh cendawan yang diduga busuk buah pepaya. Hama yang paling merusak pertanaman pepaya di Kecamatan Rancabungur juga sama dengan di Kecamatan Sukaraja, yaitu kutu putih pepaya (P. marginatus) dan beberapa daun menjadi keriting yang diduga disebabkan oleh

hama Thrips sp.

   

(a) (b)

Gambar 7 Lahan pepaya di (a) Kecamatan Sukaraja dan (b) Kecamatan Rancabungur

Keadaan Lingkungan Lahan Penelitian

Lahan penelitian yang terletak di Desa Nagrak, Kecamatan Sukaraja terletak pada 06.31' LS dan 106.41" BT. Lahan penelitian berada di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, pada ketinggian sekitar 201 m dpl.

(32)

20   

Sementara itu, lahan penelitian di Desa Bantarjaya terletak pada 06.33' LS dan 106.43" BT yang berada di Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, pada ketinggian sekitar 243 m dpl.

Pada bulan Maret 2010, rata-rata suhu minimum lingkungan adalah 24,8°C dan suhu maksimum adalah 27°C dengan rata-rata kelembaban udara minimum adalah 82% dan maksimum adalah 91%. Pada bulan April 2010, rata-rata suhu minimum adalah 25,5°C sedangkan suhu maksimum adalah 28,1°C dengan rata-rata kelembaban udara minimum adalah 73% dan maksimum adalah 87%. Pada bulan Mei 2010, rata-rata suhu minimum lingkungan adalah 25°C sedangkan suhu maksimum adalah 28°C dengan rata-rata kelembaban udara minimum adalah 76% dan maksimum adalah 97%.

Data dari BMKG Bogor memperlihatkan bahwa intensitas curah hujan harian rata-rata pada bulan Maret 2010 di Kecamatan Sukaraja adalah 26,38 mm/hari, sedangkan di Kecamatan Rancabungur sebesar 19,64 mm/hari. Pada bulan April 2010 yang merupakan masa peralihan dari musim hujan ke musim kemarau mempunyai intensitas curah hujan harian rata-rata sebesar 13,25 mm/hari di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Rancabungur sebesar 18,00 mm/hari. Bulan Mei 2010 seharusnya sudah memasuki musim kemarau. Namun, karena wilayah Bogor tidak ada perbedaan antara musim hujan dan kemarau, jadi tidak terlihat kalau sebenarnya sudah memasuki musim kemarau sehingga terkadang pada bulan ini hujan turun namun dengan intensitas yang tidak terlalu tinggi. Intensitas curah hujan harian rata-rata di Kecamatan Sukaraja adalah 20,33 mm/hari, sedangkan di Kecamatan Rancabungur sebesar 24,00 mm/hari.

(33)

21   

Gambar 8 Grafik intensitas curah hujan harian rata-rata (mm/hari) di Kecamatan Sukaraja dan Rancabungur (BMKG Bogor 2010)

Populasi Paracoccus marginatus

Jumlah P. marginatus per daun pepaya berbeda secara nyata antar lokasi

dan antar waktu pengamatan (F=94.47, db=30, dan p=<.0001). Jumlah kutu putih pepaya di dua lokasi tersebut tercantum pada Tabel 1. Pada awal pengamatan di

Kecamatan Sukaraja, yaitu tanggal 4 Maret 2010 tidak ditemukan P. marginatus

pada pertanaman pepaya. Menurut petani pemilik lahan, hujan turun dengan deras satu hari sebelum pengamatan di daerah tersebut. Faktor lain adalah baru dilakukan penyemprotan insektisida terhadap pertanaman pepaya sehingga tidak

ditemukan P. marginatus. Kutu putih pepaya di Kecamatan Sukaraja mulai

terlihat pada pengamatan kedua yang populasinya kemudian mengalami peningkatan sampai tanggal 29 April 2010. Populasi kutu putih pepaya setelah itu mengalami penurunan hingga akhir pengamatan.

Berbeda dengan Kecamatan Sukaraja, populasi P. marginatus di Kecamatan

Rancabungur sejak awal pengamatan sudah ditemukan. Jumlahnya meningkat sampai tanggal 29 April 2010 kemudian mengalami penurunan hingga akhir pengamatan. Pada semua waktu pengamatan baik itu di Kecamatan Sukaraja maupun di Kecamatan Rancabungur, memperlihatkan hasil yang berbeda nyata

kecuali pada 1 April 2010. Populasi P. marginatus di Kecamatan Rancabungur

secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan di Kecamatan Sukaraja.

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00

MARET APRIL MEI

C u ra h h u ja n ha ria n ra ta -r a ta (mm/har i) Waktu pengamatan Sukaraja Rancabungur

(34)

22   

Tabel 1 Populasi P. marginatus di Kecamatan Sukaraja dan Rancabungur pada

enam kali pengamatan tahun 2010 (jumlah/daun)

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata α=5%

Faktor yang menyebabakan terjadinya perbedaan jumlah P. marginatus di

kedua lokasi adalah kondisi lingkungan dan teknik budidaya yang dilakukan oleh masing-masing petani pemilik lahan berbeda. Pada pertanaman pepaya di Kecamatan Sukaraja, petani pemilik lahan melakukan penyemprotan insektisida terhadap hama pepaya dengan frekuensi satu minggu sekali. Selain itu juga dilakukan pembersihan gulma setiap minggu, serta jarak tanam tidak terlalu dekat dan beraturan. Berbeda dengan Kecamatan Sukaraja, kondisi lingkungan pertanaman pepaya di Kecamatan Rancabungur sangat tidak terawat. Petani pemilik lahan tidak pernah melakukan pengendalian dengan insektisida. Tanaman pepaya yang terserang hama kutu putih dibiarkan begitu saja. Petani juga jarang membersihkan gulma dan tanaman pepaya tumbuh secara tidak teratur dalam satu bedengan.

Luas Serangan Paracoccus marginatus

Luas serangan P. marginatus di Kecamatan Sukaraja berbeda nyata dengan

luas serangan di Kecamatan Rancabungur selama enam kali pengamatan (F=50.32, db=30, dan P=<.0001). Luas serangan kutu putih pepaya di dua lokasi tersebut tercantum pada Tabel 2. Pada awal pengamatan di Kecamatan Sukaraja,

yaitu tanggal 4 Maret 2010 tidak ditemukan P. marginatus pada pertanaman

pepaya sehingga luas serangannya nol. Luas serangan P. marginatus di

Kecamatan Sukaraja mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya

populasi P. marginatus sampai tanggal 29 April 2010. Luas serangan kutu putih

pepaya setelah itu mengalami penurunan hingga akhir pengamatan.

Lokasi Waktu

4 Maret 18 Maret 1 April 29 April 13 Mei 27 Mei

Sukaraja 0.00±0.00a 25.00±5.77b 42.50±5.00c 62.50±5.00d 45.00±5.77c 37.50±9.57c

(35)

23   

Tabel 2 Luas serangan P. marginatus di Kecamatan Sukaraja dan Rancabungur

pada enam kali pengamatan tahun 2010 (%)

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata α=5%

Luas serangan P. marginatus di Kecamatan Rancabungur sejak awal

pengamatan sudah memperlihatkan hasil yang berbeda nyata dengan pengamatan awal di Kecamatan Sukaraja. Luas serangan mengalami peningkatan sampai tanggal 29 April 2010 kemudian mengalami penurunan hingga akhir pengamatan. Pada semua waktu pengamatan baik itu di Kecamatan Sukaraja maupun di Kecamatan Rancabungur, memperlihatkan hasil yang berbeda nyata kecuali pada

1 April 2010. Luas serangan P. marginatus di Kecamatan Rancabungur secara

nyata lebih tinggi dibandingkan dengan di Kecamatan Sukaraja.

Identifikasi Stadia Cendawan Entomophthorales

Jumlah koleksi preparat P. marginatus yang diperoleh dari Kecamatan

Sukaraja adalah 85 preparat, sedangkan yang diperoleh dari Kecamatan Rancabungur adalah 173 preparat sehingga total preparat yang telah dikumpulkan

adalah 258 preparat. Cendawan Entomophthorales menginfeksi berbagai stadia P.

marginatus.

Selama pengamatan di Kecamatan Sukaraja ditemukan stadia hyphal bodies

dan resting spores. Cendawan Entomophthorales yang menempel pada tubuh P. marginatus akan membentuk tabung kecambah yang dapat menembus dinding

tubuh P. marginatus. Cendawan tersebut kemudian berkembang membentuk

hyphal bodies. Hyphal bodies yang diamati berbentuk bola atau bulat berukuran

kecil dan jumlahnya banyak. Menurut Feng et al. (1992), masing-masing genus

cendawan Entomophthorales mempunyai bentuk hyphal bodies yang spesifik dan

berbeda satu dengan yang lain. Cendawan genus Neozygites mempunyai bentuk

bulat atau bola. Bentuk hyphal bodies merupakan ciri penting dalam

penggolongan cendawan Entomophthorales.

Lokasi Waktu

4 Maret 18 Maret 1 April 29 April 13 Mei 27 Mei

Sukaraja 0.00±0.00a 8.31±1.71b 14.10±1.60cd 20.85±1.55e 14.38±2.29cd 12.47±2.95c

(36)

24   

Sementara itu pada kondisi yang ekstrem atau ketiadaan inang, hyphal

bodies akan membentuk resting spores. Resting spores yang berhasil diamati

berbentuk elips dan berwarna coklat gelap. Menurut Keller (1997), stadia resting

spores secara spesifik hanya dapat ditemukan pada genus Neozygites. Resting spores berwarna coklat gelap menuju hitam, berbentuk bola atau elips, berstruktur

halus, dan mempunyai dua asam nukleat.

Stadia cendawan Entomophthorales yang berhasil diamati di Kecamatan

Rancabungur adalah secondary conidia dan hyphal bodies. Secondary conidia

merupakan stadia yang pertama kali menyerang P. marginatus dengan cara

menempel pada tungkai, antena, atau tubuh P. marginatus. Secondary conidia

yang diamati mempunyai bentuk menyerupai elips, namun pada bagian ujung

terdapat tempat dimana primary conidia dihasilkan.

Secondary conidia tersebut termasuk ke dalam Tipe II yang dikenal dengan

istilah capilliconidia. Secondary conidia dihasilkan satu per satu, berbentuk

menyerupai elips, dan pada bagian ujung terdapat pipa kapiler tempat

dihasilkannya primary conidia. Tipe ini ditemukan pada Zoophthora, Neozygites,

Orthomyces, dan Eryniopsis lampyridarum.

         

Gambar 9 Stadia hyphal bodies Gambar 10 Stadia secondary conidia       

 

(37)

25   

Tingkat Infeksi Cendawan Entomophthorales

Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales di Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Rancabungur selama enam kali pengamatan memperlihatkan hasil yang berbeda nyata (F=18.61, db=30, dan P=<.0001). Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales di dua lokasi tersebut tercantum pada Tabel 3.

Tabel 3 Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales di Kecamatan Sukaraja dan Rancabungur pada enam kali pengamatan tahun 2010 (%)

Lokasi Waktu

4 Maret 18 Maret 1 April 29 April 13 Mei 27 Mei

Sukaraja 0.00±0.00a 3.75±4.79ab 0.63±1.25a 42.26±5.55d 26.63±17.33c 15.83±5.00bc

Rancabungur 15.00±8.16bc 6.75±3.50ab 0.50±1.00a 11.28±13.97ab 48.13±7.38d 65.94±11.92e Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata α=5%

Pengamatan pada tanggal 29 April 2010 memperlihatkan hasil yang berbeda nyata dibandingkan dengan pengamatan lain di Kecamatan Sukaraja. Sementara itu, pengamatan tanggal 13 Mei dan 27 Mei 2010 juga memperlihatkan hasil yang berbeda nyata dibandingkan dengan pengamatan lain di Kecamatan Rancabungur. Pada semua pengamatan memperlihatkan hasil yang berbeda nyata di kedua lokasi, kecuali pada tanggal 18 Maret dan 1 April 2010. Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales di Kecamatan Rancabungur lebih lambat dibandingkan Kecamatan Sukaraja. Akan tetapi, tingkat infeksi cendawan Entomophthorales tertinggi ditemukan pada akhir pengamatan di Kecamatan Rancabungur, yaitu sebesar 65,94%.

Faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat infeksi diduga

karena populasi P. marginatus lebih banyak di Kecamatan Rancabungur

dibandingkan dengan di Kecamatan Sukaraja serta kondisi lingkungan pertanaman pepaya di Kecamatan Rancabangur sangat mendukung pertumbuhan

dan perkembangan, baik P. marginatus maupun cendawan Entomophthorales.  

Berdasarkan grafik yang diperoleh (Gambar 4), tingkat infeksi tertinggi terjadi pada pengamatan tanggal 27 Mei 2010, yaitu 65,94% di Kecamatan Rancabungur. Sementara itu, tingkat infeksi terendah terjadi pada pengamatan tanggal 1 April 2010, yaitu 0,59% di Kecamatan Sukaraja. Stadia yang paling

banyak ditemukan pada saat pengamatan adalah hyphal bodies. Hal ini dapat

(38)

  p m t m G l m b y P m pengamatan menginfeksi tanggal 29 menginfeksi Gambar 12 Analis lebih (x dan menyebar n berkorelasi, Pada p yang diguna H0: Po H1: Po Persamaan marginatus 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 SR 4 Mare Persent a se sampel P. mar g inatus (% ) tanggal 13 i satu P. mar April 201 i satu P. mar Tingkat infe di Kecamat tahun 2010 sis regresi m n y). Terdap normal, (b) dan (d). Tid pengamatan akan adalah: opulasi P. m opulasi P. m regresi yan = 4,48 + 0, 4 et MaretRB 4 SR 1Mar saprophy hyphal bo Mei 2010, rginatus atau 10, ditemuk rginatus atau eksi cendaw an Sukaraja (%) mengkaji hu pat empat as ). Ragam s dak terdapat m n luas serang arginatus tid arginatus be g diperoleh ,278 Popula 18 et RB 18 Maret AprSR ytic fungi odies ditemukan u sebesar 0, kan stadia u sebesar 0.1 an Entomop dan Rancab ubungan seb umsi analisi sisaan hom multikolinea gan versus dak berpeng erpengaruh n h di Kecam asi P. margi R 1

ril AprilRB 1 SR Apr

Waktu penga resting spor secondary c stadia restin 56% di Kec secondary 18% di Keca phthorales ter bungur pada bab akibat a is regresi, d mogen, (c). aritas. populasi P. garuh nyata t nyata terhad atan Sukara natus denga 29 ril RB 29 April SR Me amatan res p conidia s ng spores y amatan Suk conidia ya amatan Ranc rhadap P. m enam kali pe antar dua pe diantaranya: Antar am marginatus terhadap luas ap luas seran aja: Luas se an nilai P=0 13 ei RB 13 Mei SR M primary conidi sehat 26 yang hanya araja. Pada ang hanya cabungur. arginatus engamatan eubah atau (a). Sisaan atan tidak s hipotesis s serangan. ngan. erangan P. 0,000 maka 27 Mei RB 27 Mei ia

(39)

27   

tolak H0 sehingga dapat disimpulkan bahwa populasi P. marginatus berpengaruh

nyata terhadap luas serangan P. marginatus di lapangan pada taraf 5%. Nilai

R-Sq=94,3% yang artinya sebesar 94,3% dari total keragaman luas serangan P.

marginatus dapat dijelaskan oleh populasi P. marginatus, sisanya 5,7% dijelaskan

oleh faktor lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Sementara itu, persamaan

regresi yang diperoleh di Kecamatan Rancabungur: Luas serangan P. marginatus

= 0,001 + 0,330 Populasi P. marginatus dengan nilai P=0,000 maka tolak H0

sehingga dapat disimpulkan bahwa populasi P. marginatus berpengaruh nyata

terhadap luas serangan P. marginatus di lapangan pada taraf 5%. Nilai

R-Sq=99,6% yang artinya sebesar 99,6% dari total keragaman luas serangan P.

marginatus dapat dijelaskan oleh populasi P. marginatus, sisanya 0,4% dijelaskan

oleh faktor lain yang tidak dimasukkan ke dalam model.

Pada pengamatan tingkat infeksi cendawan versus populasi P. marginatus

hipotesis yang digunakan adalah:

H0: Populasi P. marginatus tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat

infeksi cendawan.

H1: Populasi P. marginatus berpengaruh nyata terhadap tingkat infeksi

cendawan.

Persamaan regresi yang diperoleh di Kecamatan Sukaraja: Tingkat infeksi

cendawan = 11,9 + 0,176 Populasi P. marginatus dengan nilai P = 0,249 maka

terima H0 sehingga dapat disimpulkan bahwa populasi P. marginatus tidak

berpengaruh nyata terhadap tingkat infeksi cendawan di lapangan pada taraf 5%. Nilai R-Sq=6% yang artinya sebesar 6% dari total keragaman tingkat infeksi

cendawan dapat dijelaskan oleh populasi P. marginatus, sisanya 94% dijelaskan

oleh faktor lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Sementara itu, persamaan regresi yang diperoleh di Kecamatan Rancabungur: Tingkat infeksi cendawan =

-5,00 + 0,560 Populasi P. marginatus dengan nilai P = 0,000 maka tolak H0

sehingga dapat disimpulkan bahwa populasi P. marginatus berpengaruh nyata

terhadap tingkat infeksi cendawan di lapangan pada taraf 5%. Nilai R-Sq=43,7% yang artinya sebesar 43,7% dari total keragaman tingkat infeksi cendawan dapat

dijelaskan oleh populasi P. marginatus, sisanya 56,3% dijelaskan oleh faktor lain

(40)

28   

luas serangan berbanding lurus dengan populasi P. marginatus di lapangan.

Sementara itu, tingkat infeksi cendawan berbanding lurus dengan populasi P.

marginatus di Kecamatan Rancabungur.

Pengendalian hayati adalah kegiatan musuh alami yang menyebabkan rata-rata populasi organisme sasaran lebih rendah daripada kalau pengendalian itu tidak ada. Pengendalian hayati dapat terjadi secara alamiah dan terapan (dilakukan oleh manusia). Ada tiga jenis musuh alami hama, yaitu (a). Predator adalah hewan yang memangsa hewan atau binatang lain yang selama hidupnya memerlukan banyak mangsa, (b). Parasitoid adalah serangga yang memarasit serangga lain dalam kelas yang sama dan menyebabkan serangga inang yang diparasit akan mengalami kematian, dan (c). Patogen adalah mikroorganisme (cendawan, bakteri, nematoda dan protozoa) serta virus yang menyebabkan serangga inang menjadi sakit. Terdapat empat teknik pengendalian hayati, yaitu (a). Konservasi adalah memanfaatkan musuh alami yang sudah ada dengan upaya pelestarian, (b). Inokulasi adalah teknik pengendalian hayati dengan cara melepaskan musuh alami (augmentasi) dalam jumlah sedikit dengan harapan musuh alami tersebut dapat berkembang biak dengan sendirinya, (c). Inundasi adalah teknik pengendalian hayati dengan cara melepaskan musuh alami dalam jumlah banyak, dengan harapan musuh alami tersebut dapat segera menekan populasi hama, dan (d). Memanipulasi dan memodifikasi lingkungan, dengan cara ini diharapkan ada peningkatan populasi musuh alami.

Teknik pengendalian hayati cendawan Entomophthorales yang berada di Kecamatan Sukaraja dan Rancabungur termasuk ke dalam konservasi. Salah satu cara yang dilakukan untuk melestarikan dan memperbanyak cendawan ini adalah dengan memelihara serangga inang (kutu putih pepaya) yang sudah mati karena terinfeksi cendawan namun belum bersporulasi. Serangga ini kemudian dikoleksi dan disimpan di ruangan yang memiliki kadar air rendah, tujuannya supaya serangga tidak bersporulasi sehingga di dalam tubuh serangga dipenuhi dengan konidia. Selanjutnya serangga dilepas di lahan yang akan dikendalikan populasi hamanya. Konidia yang terdapat di dalam tubuh serangga tersebut akan keluar kemudian jatuh atau menempel pada bagian tubuh hama di lahan baru yang akan dikendalikan populasinya.

(41)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Jumlah kutu putih pepaya mengalami peningkatan dari awal pengamatan, yaitu tanggal 4 Maret 2010 hingga tanggal 29 April 2010 kemudian mengalami penurunan hingga akhir pengamatan di kedua tempat. Luas serangan kutu putih pepaya berbanding lurus dengan jumlah kutu putih pepaya di lapangan. Kutu putih pepaya yang diduga terinfeksi Cendawan Entomophthorales akan mengalami perubahan warna menjadi kehitaman. Stadia cendawan yang berhasil diamati adalah hyphal bodies, secondary conidia dan resting spores. Ciri-ciri stadia cendawan tersebut mendekati genus Neozygites. Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales di Kecamatan Rancabungur lebih lambat dibandingkan dengan di Kecamatan Sukaraja, namun persentase infeksi cendawan paling tinggi ditemukan pada akhir pengamatan di Kecamatan Rancabungur. Analisis regresi memperlihatkan bahwa luas serangan berbanding lurus dengan populasi P. marginatus di lapangan. Sementara itu, tingkat infeksi cendawan berbanding lurus dengan populasi P. marginatus di Kecamatan Rancabungur.

Saran

Penelitian stadia cendawan Entomophthorales yang menginfeksi P.

marginatus akan lebih baik jika dilakukan pada tempat yang memiliki perbedaan letak geografis dan kondisi klimatologi, sehingga stadia cendawan yang ditemukan lebih beragam. Selain itu, perlu dilakukan identifikasi cendawan Entomophthorales sampai tingkat spesies. 

(42)

DAFTAR PUSTAKA

Ben-Ze’ev IS, Kenneth RG. 1982. Features-criteria of taxonomic value in the Entomophthorales: A revision of the Batkoan classification. Mycotaxon 14: 393-455.

Dadang, Sartiami D, Anwar R, Harahap IS. 2008. Kajian teknis permasalahan hama baru Paracoccus marginatus (Hemiptera: Pseudococcidae) pada tanaman pepaya di Jawa Barat [laporan akhir kegiatan]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Delalibera I, Sosa Gomes DR, de Moraes GJ, de Alencar JA, Araujo WF. 1992. Infection of Mononychellus tanajoa (Acari: Tetranychidae) by the fungus

Neozygites sp. (Zygomycetes: Entomophthorales) in Northeastern Brazil.

Fla Entomol 75: 145-147.

Descals E, Webster J. 1984. Branched aquatic conidia in Erynia and

Entomophthora sensu lato. Transactions British Mycological Society 83: 669-682.

[Dirjen Holtikultura] Direktorat Jendral Holtikultura. 2008. Waspada serangan kutu putih pada tanaman pepaya. Direktorat Jendral Hortikultura.

http://www.holtikultura.deptan.go.id [6 Jun 2010].

Eilenberg J, Bresciani J, Latge JP. 1986. Ultrastructural studies of primary spore formation and discharge in the genus Entomophthora. Journal Invertebrate Pathology 48: 318-324.

Hayek AE, Webb RE. 1999. Inoculative augmentation of the fungal entomopathogen Entomophaga maimaiga as a homeowner tactic to control gypsy moth (Lepidoptera: Lymantriidae). Biological Control 14: 11-18. Hani FJ, Boller EF, Keller S. 1998. Natural regulation at the farm level. In:

Pickett CH, Bugg RL, (eds.) Enhancing Biological Control. Berkeley: University of California Press. hlm 161-210.

Heu RA, Fukada MT, Conant P. 2007. Papaya mealybug, Paracoccus marginatus

Williams and Granara de Willink (Hemiptera: Pseudococcidae). State of Hawaii Department of Agriculture, Honolulu, HI.

Humber RA. 1989. Synopsis of a revised classification for the Entomophthorales (Zygomycotina). Mycotaxon 34: 441-460.

Keller S. 1987. Observations on the overwintering of Entomophthora planchoniana. Journalof Invertebrate Pathology 50: 333-335.

(43)

31  

Keller S. 1991. Arthropod-pathogenic Entomophthorales of Switzerland in

Erynia, Erynopsis, Neozygites, Zoophthora, and Tarichium. Sydowia 43: 39-122.

Keller S, Eilenberg J. 1993. Two new species of Entomophthoraceae (Zygomycetes: Entomophthorales) linking the genera Entomophaga and

Eryniopsis. Sydowia 45: 264-274.

Keller S, Petrini O. 2005. Keys to the identification of the arthropod-pathogenic genera of the families Entomophthoraceae and Neozygitaceae (Zygomycetes), with description of three new subfamilies and a new genus.

Sydowia 57: 23-53.

Le Ru¨ B, Iziquel Y. 1989. Nouvelles donne´es sur le de´roulement de la mycose a` Neozygites fumosa sur la cochenille du manioc Phenacoccus manihoti. Entomophaga 35: 173-183.

Miller DR, Miller GL. 2002. Redescription of Paracoccus marginatus Williams and Granara de Willink (Hemiptera: Coccidae: Pseudococcidae) Including Descriptions of the Immature Stage and Adult Male. Proc. Entomol. Soc.

Wash. 104:1-23.

Muniappan R. 2009. Papaya Mealybug, a New Invander in Asia. IAPPS Newsletter No.1 International Association for The Plan Protection Sciences.

http://www.plantprotection.org/news/news.jan.2009.htm. [2 Mei 2010].

Muniapan R, Meyerdirk DE, Sengebau FM, Berringer DD, Reddy GVP. 2006. Classical biological control of Paracoccus marginatus (Hemiptera: Pseudococcidae) in the Republic of Palau. Fla. Entomol. 89: 212-217. Panjota A, Follet PA, Jimenez AV. 2002. Pest of papaya. Di dalam: Pena JE,

Sharp JL, Wysoki M, editor. Tropical Fruit Pest and Pollinator: Biology, Economic Importance, Natural Enemies, and Control. Trowbrige,UK: Cromwell Press.

Peller JK, Eilenberg J, Hajek AE, Steinkraus DS. 2001. Biology, ecology and pest management potential of entomophthorales. Di dalam: Butt TM, C Jackson CW, Magan N, editor. Fungi as Biocontrol Agents: Progress, Problems and Potential. Wallingford: CABI Publishing. hlm 71-153.

Sagarra LA, Peterkin DD. 1999. Invasion of the Caribbean by the hibiscus mealybug, Maconellicoccus hirsutus Green (Homoptera: Pseudoccidae).

Phytoprotection 80: 103-113.

Sartiami D, Dadang, Anwar R, Harahap IS. 2009. Persebaran hama baru

Paracoccus marginatus di Propinsi Jawa Barat. ProsidingSeminar Nasional Perlindungan Tanaman; Bogor, 5-6 Agustus 2009.

(44)

32  

Speare AT. 1922. Natural control of the citrus mealybug in Florida. U.S. Dept. Agric. Bull. 1117: 1-9.

Steinkraus DC, Geden JG, Rutz DA. 1995. Prevalence of Entomophthora muscae

(Cohn) Fresenius (Zygomycetes: Entomophthoraceae) in house flies (Diptera: Muscidae) on diary farms in New York and induction of epizootics. Biological Control 3: 93-100.

Walker A, Hoy M, Meyerdirk D, 2003. Papaya mealybug (Paracoccus marginatus Williams and Granara de Willink (Insecta: Hemiptera: Pseudococcidae)). Featured creatures. Entomology and Nematology Department, Florida Cooperative Extension Service, Institut of Food and Agricultural Sciences, University of Florida, Grainesville, FL.

Williams DJ, Granara de Willink MC. 1992 Mealybugs of Central and South America. Wallingford, Oxon, United Kingdom: CAB International.

(45)
(46)

34

Lampiran 1 Sidik ragam jumlah Paracoccus marginatus

Sumber db JK KT F Nilai P l 1 16133.33 16133.33 1235.74 <.0001 Galat (l) 6 558.33 93.06 w 5 31675.00 6335.00 485.23 <.0001 w*l 5 6166.67 1233.33 94.47 <.0001 Galat (w) 30 391.67 13.06 Total 47 54925.00

Lampiran 2 Sidik ragam luas serangan Paracoccus marginatus

Sumber db JK KT F Nilai P l 1 1981.86 1981.86 1111.49 <.0001 Galat (l) 6 125.41 20.90 w 5 2815.29 563.06 315.78 <.0001 w*l 5 448.63 89.73 50.32 <.0001 Galat (w) 30 53.50 1.78 Total 47 5424.68

Lampiran 3 Sidik ragam tingkat infeksi Cendawan Entomophthorales

Sumber db JK KT F Nilai P l 1 1140.54 1140.54 14.76 0.0006 Galat (l) 6 237.45 39.57 w 5 12280.72 2456.14 31.78 <.0001 w*l 5 7192.92 1438.58 18.61 <.0001 Galat (w) 30 2318.56 77.29 Total 47 23170.18

Gambar

Gambar 1   Stadium imago betina P. marginatus (Miller &amp; Miller 2002)
Gambar 2   Stadium imago jantan P. marginatus (Miller &amp; Miller 2002)
Gambar 3  Gejala dan akibat yang ditimbulkan oleh serangan P. marginatus                     pada daun dan buah pepaya
Gambar 4  Identifikasi stadia cendawan patogen serangga (Steinkraus et al. 1995)  (a) Oliarus dimidiatus dewasa sehat, (b) Cendawan Pandora sp
+7

Referensi

Dokumen terkait

Variable LEARNABILITY berjumlah 64 orang atau 61% yang memilih sangat setuju, 22 orang atau 28% yang memilih setuju, dan 9 orang atau 11% yang memilih cukup

Prinsip kerja dari relai tersebut ialah mendeteksi adanya arus lebih yang melebihi nilai setting yang telah ditentukan, baik yang disebabkan oleh adanya gangguan

Adapun judul dari proposal ini adalah “   Aplikasi Pupuk SP-36 dan Kotoran Ayam Terhadap Ketersediaan dan Serapan Fosfor serta Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea mays L.) Pada

Menurut Houglum (2005), prinsip rehabilitasi harus memperhatikan prinsip- prinsip dasar sebagai berikut: 1) menghindari memperburuk keadaan, 2) waktu, 3) kepatuhan, 4)

dimaksudkan agar kaum perempuan yang terjerumus ke dalam tindakan tersebut tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi. Salah satu program pemberdayaan perempuan yang

Yang berada di lingkaran I sampai dengan V adalah kerjasama yang sudah dirintis dan program sudah tersusun, sedang yang berada diluar lingkaran I – V, tapi berada dalam lingkaran

Oman Sukmana, M.Si selaku Kepala Jurusan Program Studi Kesejahteraan sosial sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah memberikan arahan, dukungan serta motivasinya

yang terjadi akibat gesekan antara drillstring dan formasi. Sumur X-01 merupakan sumur vertikal pada lapangan X yang akan dilakukan pemboran horizontal re-entries dengan membuat