• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik dan Keadaan Lahan Penelitian Lahan Pepaya di Kecamatan Sukaraja

Tanaman pepaya yang ditanam di Desa Nagrak, Kecamatan Sukaraja merupakan pepaya varietas Bangkok. Alasan petani memilih varietas Bangkok karena ukurannya besar jika dibandingkan dengan jenis pepaya lainnya, teksturnya keras sehingga tahan pada saat pengangkutan, daging buahnya tebal, dan rasanya manis. Lahan pepaya yang berada pada ketinggian lebih kurang 201 m dpl, memiliki luas 1.800 m2 dengan jarak tanam 270 cm x 170 cm dan jumlah populasi tanaman pepaya sebanyak 300 tanaman.

Pada saat pengamatan, tanaman pepaya sedang memasuki fase pembungaan. Beberapa teknik budidaya yang dilakukan petani pada awal penanaman pepaya adalah memberikan pupuk kandang yang merupakan kotoran kambing dengan dosis 5 kg/tanaman. Pada saat tanaman berusia 7 bulan, yaitu pada saat memasuki fase pembungaan, diberikan pupuk kandang sebanyak 30 kg/tanaman. Selain pupuk kandang, diberikan juga pupuk NPK sebanyak 50 kg/300 tanaman. Pepaya dapat dipanen setelah usia 12 bulan.

Menurut informasi yang diperoleh dari petani pemilik lahan, penyakit yang paling merugikan pada tanaman pepaya di Desa Nagrak adalah penyakit yang disebabkan oleh cendawan yang diduga busuk buah pepaya. Sementara itu, hama yang paling merusak pertanaman pepaya adalah kutu putih pepaya (P. marginatus) dan beberapa daun menjadi keriting yang diduga disebabkan oleh hama Thrips sp. Dalam mengendalikan hama dan penyakit tersebut, pemilik lahan menggunakan beberapa pestisida yang berbahan aktif mankozeb, propineb dan metidation.

Lahan Pepaya di Kecamatan Rancabungur

Tanaman pepaya yang ditanam di Desa Bantarjaya, Kecamatan Rancabungur merupakan pepaya varietas Bangkok. Lahan pepaya berada pada ketinggian lebih kurang 243 m dpl dengan luas 1.600 m2 dan jarak tanam 250 cm x 250 cm serta populasi tanaman pepaya sebanyak 250 tanaman. Sebelum menanam pepaya,

19   

petani pemilik lahan pernah menanam bengkuang. Tanaman pepaya yang ditanam saat ini merupakan tumpangsari dengan tanaman terong.

Bibit pepaya pertama kali diperoleh dengan cara membeli di toko pertanian. Selanjutnya biji-biji yang digunakan sebagai bibit diambil dari buah pepaya yang telah masak dan berasal dari pohon pilihan. Teknik budidaya yang dilakukan pada awal penanaman pepaya adalah memberikan pupuk kandang yaitu kotoran kambing yang dicampur pupuk organik dengan dosis 5 kg/tanaman. Setelah itu, ketika tanaman berusia 15 hari diberikan pupuk organik, TSP, KCl, dan ZA. Pada saat pengamatan, umur pepaya adalah 3 tahun 6 bulan. Dalam satu bulan, pepaya dapat dipanen sebanyak tiga kali. Tanaman pepaya dapat dipanen setelah berumur 9-12 bulan.

Menurut informasi yang diperoleh, penyakit yang paling merugikan pada tanaman pepaya sama seperti yang ditemukan di Desa Nagrak, Kecamatan Sukaraja, yaitu penyakit yang disebabkan oleh cendawan yang diduga busuk buah pepaya. Hama yang paling merusak pertanaman pepaya di Kecamatan Rancabungur juga sama dengan di Kecamatan Sukaraja, yaitu kutu putih pepaya (P. marginatus) dan beberapa daun menjadi keriting yang diduga disebabkan oleh hama Thrips sp.

   

(a) (b)

Gambar 7 Lahan pepaya di (a) Kecamatan Sukaraja dan (b) Kecamatan Rancabungur

Keadaan Lingkungan Lahan Penelitian

Lahan penelitian yang terletak di Desa Nagrak, Kecamatan Sukaraja terletak pada 06.31' LS dan 106.41" BT. Lahan penelitian berada di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, pada ketinggian sekitar 201 m dpl.

20   

Sementara itu, lahan penelitian di Desa Bantarjaya terletak pada 06.33' LS dan 106.43" BT yang berada di Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, pada ketinggian sekitar 243 m dpl.

Pada bulan Maret 2010, rata-rata suhu minimum lingkungan adalah 24,8°C dan suhu maksimum adalah 27°C dengan rata-rata kelembaban udara minimum adalah 82% dan maksimum adalah 91%. Pada bulan April 2010, rata-rata suhu minimum adalah 25,5°C sedangkan suhu maksimum adalah 28,1°C dengan rata-rata kelembaban udara minimum adalah 73% dan maksimum adalah 87%. Pada bulan Mei 2010, rata-rata suhu minimum lingkungan adalah 25°C sedangkan suhu maksimum adalah 28°C dengan rata-rata kelembaban udara minimum adalah 76% dan maksimum adalah 97%.

Data dari BMKG Bogor memperlihatkan bahwa intensitas curah hujan harian rata-rata pada bulan Maret 2010 di Kecamatan Sukaraja adalah 26,38 mm/hari, sedangkan di Kecamatan Rancabungur sebesar 19,64 mm/hari. Pada bulan April 2010 yang merupakan masa peralihan dari musim hujan ke musim kemarau mempunyai intensitas curah hujan harian rata-rata sebesar 13,25 mm/hari di Kecamatan Sukaraja dan di Kecamatan Rancabungur sebesar 18,00 mm/hari. Bulan Mei 2010 seharusnya sudah memasuki musim kemarau. Namun, karena wilayah Bogor tidak ada perbedaan antara musim hujan dan kemarau, jadi tidak terlihat kalau sebenarnya sudah memasuki musim kemarau sehingga terkadang pada bulan ini hujan turun namun dengan intensitas yang tidak terlalu tinggi. Intensitas curah hujan harian rata-rata di Kecamatan Sukaraja adalah 20,33 mm/hari, sedangkan di Kecamatan Rancabungur sebesar 24,00 mm/hari.

21   

Gambar 8 Grafik intensitas curah hujan harian rata-rata (mm/hari) di Kecamatan Sukaraja dan Rancabungur (BMKG Bogor 2010)

Populasi Paracoccus marginatus

Jumlah P. marginatus per daun pepaya berbeda secara nyata antar lokasi dan antar waktu pengamatan (F=94.47, db=30, dan p=<.0001). Jumlah kutu putih pepaya di dua lokasi tersebut tercantum pada Tabel 1. Pada awal pengamatan di Kecamatan Sukaraja, yaitu tanggal 4 Maret 2010 tidak ditemukan P. marginatus pada pertanaman pepaya. Menurut petani pemilik lahan, hujan turun dengan deras satu hari sebelum pengamatan di daerah tersebut. Faktor lain adalah baru dilakukan penyemprotan insektisida terhadap pertanaman pepaya sehingga tidak ditemukan P. marginatus. Kutu putih pepaya di Kecamatan Sukaraja mulai terlihat pada pengamatan kedua yang populasinya kemudian mengalami peningkatan sampai tanggal 29 April 2010. Populasi kutu putih pepaya setelah itu mengalami penurunan hingga akhir pengamatan.

Berbeda dengan Kecamatan Sukaraja, populasi P. marginatus di Kecamatan Rancabungur sejak awal pengamatan sudah ditemukan. Jumlahnya meningkat sampai tanggal 29 April 2010 kemudian mengalami penurunan hingga akhir pengamatan. Pada semua waktu pengamatan baik itu di Kecamatan Sukaraja maupun di Kecamatan Rancabungur, memperlihatkan hasil yang berbeda nyata kecuali pada 1 April 2010. Populasi P. marginatus di Kecamatan Rancabungur secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan di Kecamatan Sukaraja.

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00

MARET APRIL MEI

C u ra h h u ja n ha ria n ra ta -r a ta (mm/har i) Waktu pengamatan Sukaraja Rancabungur

22   

Tabel 1 Populasi P. marginatus di Kecamatan Sukaraja dan Rancabungur pada enam kali pengamatan tahun 2010 (jumlah/daun)

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata α=5%

Faktor yang menyebabakan terjadinya perbedaan jumlah P. marginatus di kedua lokasi adalah kondisi lingkungan dan teknik budidaya yang dilakukan oleh masing-masing petani pemilik lahan berbeda. Pada pertanaman pepaya di Kecamatan Sukaraja, petani pemilik lahan melakukan penyemprotan insektisida terhadap hama pepaya dengan frekuensi satu minggu sekali. Selain itu juga dilakukan pembersihan gulma setiap minggu, serta jarak tanam tidak terlalu dekat dan beraturan. Berbeda dengan Kecamatan Sukaraja, kondisi lingkungan pertanaman pepaya di Kecamatan Rancabungur sangat tidak terawat. Petani pemilik lahan tidak pernah melakukan pengendalian dengan insektisida. Tanaman pepaya yang terserang hama kutu putih dibiarkan begitu saja. Petani juga jarang membersihkan gulma dan tanaman pepaya tumbuh secara tidak teratur dalam satu bedengan.

Luas Serangan Paracoccus marginatus

Luas serangan P. marginatus di Kecamatan Sukaraja berbeda nyata dengan luas serangan di Kecamatan Rancabungur selama enam kali pengamatan (F=50.32, db=30, dan P=<.0001). Luas serangan kutu putih pepaya di dua lokasi tersebut tercantum pada Tabel 2. Pada awal pengamatan di Kecamatan Sukaraja, yaitu tanggal 4 Maret 2010 tidak ditemukan P. marginatus pada pertanaman pepaya sehingga luas serangannya nol. Luas serangan P. marginatus di Kecamatan Sukaraja mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya populasi P. marginatus sampai tanggal 29 April 2010. Luas serangan kutu putih pepaya setelah itu mengalami penurunan hingga akhir pengamatan.

Lokasi Waktu 4 Maret 18 Maret 1 April 29 April 13 Mei 27 Mei Sukaraja 0.00±0.00a 25.00±5.77b 42.50±5.00c 62.50±5.00d 45.00±5.77c 37.50±9.57c Rancabungur 40.00±0.00c 42.50±5.00c 45.00±5.77c 137.50±5.00g 87.50±5.00e 80.00±0.00f

23   

Tabel 2 Luas serangan P. marginatus di Kecamatan Sukaraja dan Rancabungur pada enam kali pengamatan tahun 2010 (%)

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata α=5%

Luas serangan P. marginatus di Kecamatan Rancabungur sejak awal pengamatan sudah memperlihatkan hasil yang berbeda nyata dengan pengamatan awal di Kecamatan Sukaraja. Luas serangan mengalami peningkatan sampai tanggal 29 April 2010 kemudian mengalami penurunan hingga akhir pengamatan. Pada semua waktu pengamatan baik itu di Kecamatan Sukaraja maupun di Kecamatan Rancabungur, memperlihatkan hasil yang berbeda nyata kecuali pada 1 April 2010. Luas serangan P. marginatus di Kecamatan Rancabungur secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan di Kecamatan Sukaraja.

Identifikasi Stadia Cendawan Entomophthorales

Jumlah koleksi preparat P. marginatus yang diperoleh dari Kecamatan Sukaraja adalah 85 preparat, sedangkan yang diperoleh dari Kecamatan Rancabungur adalah 173 preparat sehingga total preparat yang telah dikumpulkan adalah 258 preparat. Cendawan Entomophthorales menginfeksi berbagai stadia P. marginatus.

Selama pengamatan di Kecamatan Sukaraja ditemukan stadia hyphal bodies dan resting spores. Cendawan Entomophthorales yang menempel pada tubuh P. marginatus akan membentuk tabung kecambah yang dapat menembus dinding tubuh P. marginatus. Cendawan tersebut kemudian berkembang membentuk hyphal bodies. Hyphal bodies yang diamati berbentuk bola atau bulat berukuran kecil dan jumlahnya banyak. Menurut Feng et al. (1992), masing-masing genus cendawan Entomophthorales mempunyai bentuk hyphal bodies yang spesifik dan berbeda satu dengan yang lain. Cendawan genus Neozygites mempunyai bentuk bulat atau bola. Bentuk hyphal bodies merupakan ciri penting dalam penggolongan cendawan Entomophthorales.

Lokasi Waktu 4 Maret 18 Maret 1 April 29 April 13 Mei 27 Mei Sukaraja 0.00±0.00a 8.31±1.71b 14.10±1.60cd 20.85±1.55e 14.38±2.29cd 12.47±2.95c Rancabungur 14.48±0.77cd 15.42±2.34cd 16.37±2.93d 40.30±3.53g 31.70±2.87f 28.96±1.55f

24   

Sementara itu pada kondisi yang ekstrem atau ketiadaan inang, hyphal bodies akan membentuk resting spores. Resting spores yang berhasil diamati berbentuk elips dan berwarna coklat gelap. Menurut Keller (1997), stadia resting spores secara spesifik hanya dapat ditemukan pada genus Neozygites. Resting spores berwarna coklat gelap menuju hitam, berbentuk bola atau elips, berstruktur halus, dan mempunyai dua asam nukleat.

Stadia cendawan Entomophthorales yang berhasil diamati di Kecamatan Rancabungur adalah secondary conidia dan hyphal bodies. Secondary conidia merupakan stadia yang pertama kali menyerang P. marginatus dengan cara menempel pada tungkai, antena, atau tubuh P. marginatus. Secondary conidia yang diamati mempunyai bentuk menyerupai elips, namun pada bagian ujung terdapat tempat dimana primary conidia dihasilkan.

Secondary conidia tersebut termasuk ke dalam Tipe II yang dikenal dengan istilah capilliconidia. Secondary conidia dihasilkan satu per satu, berbentuk menyerupai elips, dan pada bagian ujung terdapat pipa kapiler tempat dihasilkannya primary conidia. Tipe ini ditemukan pada Zoophthora, Neozygites, Orthomyces, dan Eryniopsis lampyridarum.

         

Gambar 9 Stadia hyphal bodies Gambar 10 Stadia secondary conidia       

 

25   

Tingkat Infeksi Cendawan Entomophthorales

Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales di Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Rancabungur selama enam kali pengamatan memperlihatkan hasil yang berbeda nyata (F=18.61, db=30, dan P=<.0001). Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales di dua lokasi tersebut tercantum pada Tabel 3.

Tabel 3 Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales di Kecamatan Sukaraja dan Rancabungur pada enam kali pengamatan tahun 2010 (%)

Lokasi Waktu 4 Maret 18 Maret 1 April 29 April 13 Mei 27 Mei Sukaraja 0.00±0.00a 3.75±4.79ab 0.63±1.25a 42.26±5.55d 26.63±17.33c 15.83±5.00bc Rancabungur 15.00±8.16bc 6.75±3.50ab 0.50±1.00a 11.28±13.97ab 48.13±7.38d 65.94±11.92e Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata α=5%

Pengamatan pada tanggal 29 April 2010 memperlihatkan hasil yang berbeda nyata dibandingkan dengan pengamatan lain di Kecamatan Sukaraja. Sementara itu, pengamatan tanggal 13 Mei dan 27 Mei 2010 juga memperlihatkan hasil yang berbeda nyata dibandingkan dengan pengamatan lain di Kecamatan Rancabungur. Pada semua pengamatan memperlihatkan hasil yang berbeda nyata di kedua lokasi, kecuali pada tanggal 18 Maret dan 1 April 2010. Tingkat infeksi cendawan Entomophthorales di Kecamatan Rancabungur lebih lambat dibandingkan Kecamatan Sukaraja. Akan tetapi, tingkat infeksi cendawan Entomophthorales tertinggi ditemukan pada akhir pengamatan di Kecamatan Rancabungur, yaitu sebesar 65,94%.

Faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan tingkat infeksi diduga karena populasi P. marginatus lebih banyak di Kecamatan Rancabungur dibandingkan dengan di Kecamatan Sukaraja serta kondisi lingkungan pertanaman pepaya di Kecamatan Rancabangur sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan, baik P. marginatus maupun cendawan Entomophthorales.  

Berdasarkan grafik yang diperoleh (Gambar 4), tingkat infeksi tertinggi terjadi pada pengamatan tanggal 27 Mei 2010, yaitu 65,94% di Kecamatan Rancabungur. Sementara itu, tingkat infeksi terendah terjadi pada pengamatan tanggal 1 April 2010, yaitu 0,59% di Kecamatan Sukaraja. Stadia yang paling banyak ditemukan pada saat pengamatan adalah hyphal bodies. Hal ini dapat dilihat pada pengamatan tanggal 27 Mei 2010 di Kecamatan Rancabungur. Pada

  p m t m G l m b y P m pengamatan menginfeksi tanggal 29 menginfeksi Gambar 12 Analis lebih (x dan menyebar n berkorelasi, Pada p yang diguna H0: Po H1: Po Persamaan marginatus 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 SR 4 Mare Persent a se sampel P. mar g inatus (% ) tanggal 13 i satu P. mar April 201 i satu P. mar Tingkat infe di Kecamat tahun 2010 sis regresi m n y). Terdap normal, (b) dan (d). Tid pengamatan akan adalah: opulasi P. m opulasi P. m regresi yan = 4,48 + 0, 4 et MaretRB 4 SR 1Mar saprophy hyphal bo Mei 2010, rginatus atau 10, ditemuk rginatus atau eksi cendaw an Sukaraja (%) mengkaji hu pat empat as ). Ragam s dak terdapat m n luas serang arginatus tid arginatus be g diperoleh ,278 Popula 18 et RB 18 Maret AprSR ytic fungi odies ditemukan u sebesar 0, kan stadia u sebesar 0.1 an Entomop dan Rancab ubungan seb umsi analisi sisaan hom multikolinea gan versus dak berpeng erpengaruh n h di Kecam asi P. margi R 1

ril AprilRB 1 SR Apr

Waktu penga resting spor secondary c stadia restin 56% di Kec secondary 18% di Keca phthorales ter bungur pada bab akibat a is regresi, d mogen, (c). aritas. populasi P. garuh nyata t nyata terhad atan Sukara natus denga 29 ril RB 29 April SR Me amatan res p conidia s ng spores y amatan Suk conidia ya amatan Ranc rhadap P. m enam kali pe antar dua pe diantaranya: Antar am marginatus terhadap luas ap luas seran aja: Luas se an nilai P=0 13 ei RB 13 Mei SR M primary conidi sehat 26 yang hanya araja. Pada ang hanya cabungur. arginatus engamatan eubah atau (a). Sisaan atan tidak s hipotesis s serangan. ngan. erangan P. 0,000 maka 27 Mei RB 27 Mei ia

27   

tolak H0 sehingga dapat disimpulkan bahwa populasi P. marginatus berpengaruh nyata terhadap luas serangan P. marginatus di lapangan pada taraf 5%. Nilai R-Sq=94,3% yang artinya sebesar 94,3% dari total keragaman luas serangan P. marginatus dapat dijelaskan oleh populasi P. marginatus, sisanya 5,7% dijelaskan oleh faktor lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Sementara itu, persamaan regresi yang diperoleh di Kecamatan Rancabungur: Luas serangan P. marginatus = 0,001 + 0,330 Populasi P. marginatus dengan nilai P=0,000 maka tolak H0 sehingga dapat disimpulkan bahwa populasi P. marginatus berpengaruh nyata terhadap luas serangan P. marginatus di lapangan pada taraf 5%. Nilai R-Sq=99,6% yang artinya sebesar 99,6% dari total keragaman luas serangan P. marginatus dapat dijelaskan oleh populasi P. marginatus, sisanya 0,4% dijelaskan oleh faktor lain yang tidak dimasukkan ke dalam model.

Pada pengamatan tingkat infeksi cendawan versus populasi P. marginatus hipotesis yang digunakan adalah:

H0: Populasi P. marginatus tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat infeksi cendawan.

H1: Populasi P. marginatus berpengaruh nyata terhadap tingkat infeksi cendawan.

Persamaan regresi yang diperoleh di Kecamatan Sukaraja: Tingkat infeksi cendawan = 11,9 + 0,176 Populasi P. marginatus dengan nilai P = 0,249 maka terima H0 sehingga dapat disimpulkan bahwa populasi P. marginatus tidak berpengaruh nyata terhadap tingkat infeksi cendawan di lapangan pada taraf 5%. Nilai R-Sq=6% yang artinya sebesar 6% dari total keragaman tingkat infeksi cendawan dapat dijelaskan oleh populasi P. marginatus, sisanya 94% dijelaskan oleh faktor lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Sementara itu, persamaan regresi yang diperoleh di Kecamatan Rancabungur: Tingkat infeksi cendawan = -5,00 + 0,560 Populasi P. marginatus dengan nilai P = 0,000 maka tolak H0 sehingga dapat disimpulkan bahwa populasi P. marginatus berpengaruh nyata terhadap tingkat infeksi cendawan di lapangan pada taraf 5%. Nilai R-Sq=43,7% yang artinya sebesar 43,7% dari total keragaman tingkat infeksi cendawan dapat dijelaskan oleh populasi P. marginatus, sisanya 56,3% dijelaskan oleh faktor lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Analisis regresi memperlihatkan bahwa

28   

luas serangan berbanding lurus dengan populasi P. marginatus di lapangan. Sementara itu, tingkat infeksi cendawan berbanding lurus dengan populasi P. marginatus di Kecamatan Rancabungur.

Pengendalian hayati adalah kegiatan musuh alami yang menyebabkan rata-rata populasi organisme sasaran lebih rendah daripada kalau pengendalian itu tidak ada. Pengendalian hayati dapat terjadi secara alamiah dan terapan (dilakukan oleh manusia). Ada tiga jenis musuh alami hama, yaitu (a). Predator adalah hewan yang memangsa hewan atau binatang lain yang selama hidupnya memerlukan banyak mangsa, (b). Parasitoid adalah serangga yang memarasit serangga lain dalam kelas yang sama dan menyebabkan serangga inang yang diparasit akan mengalami kematian, dan (c). Patogen adalah mikroorganisme (cendawan, bakteri, nematoda dan protozoa) serta virus yang menyebabkan serangga inang menjadi sakit. Terdapat empat teknik pengendalian hayati, yaitu (a). Konservasi adalah memanfaatkan musuh alami yang sudah ada dengan upaya pelestarian, (b). Inokulasi adalah teknik pengendalian hayati dengan cara melepaskan musuh alami (augmentasi) dalam jumlah sedikit dengan harapan musuh alami tersebut dapat berkembang biak dengan sendirinya, (c). Inundasi adalah teknik pengendalian hayati dengan cara melepaskan musuh alami dalam jumlah banyak, dengan harapan musuh alami tersebut dapat segera menekan populasi hama, dan (d). Memanipulasi dan memodifikasi lingkungan, dengan cara ini diharapkan ada peningkatan populasi musuh alami.

Teknik pengendalian hayati cendawan Entomophthorales yang berada di Kecamatan Sukaraja dan Rancabungur termasuk ke dalam konservasi. Salah satu cara yang dilakukan untuk melestarikan dan memperbanyak cendawan ini adalah dengan memelihara serangga inang (kutu putih pepaya) yang sudah mati karena terinfeksi cendawan namun belum bersporulasi. Serangga ini kemudian dikoleksi dan disimpan di ruangan yang memiliki kadar air rendah, tujuannya supaya serangga tidak bersporulasi sehingga di dalam tubuh serangga dipenuhi dengan konidia. Selanjutnya serangga dilepas di lahan yang akan dikendalikan populasi hamanya. Konidia yang terdapat di dalam tubuh serangga tersebut akan keluar kemudian jatuh atau menempel pada bagian tubuh hama di lahan baru yang akan dikendalikan populasinya.

Dokumen terkait