• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN MELALUI ANALISIS DAN PEMETAAN KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STRATEGI PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN MELALUI ANALISIS DAN PEMETAAN KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN MELALUI

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis: (1) tingkat ketahanan pangan rumah tangga, (2) sebaran desa/kelurahan yang tahan pangan dan rentan terhadap kerawanan pangan, (3) faktor penentu utama penyebab kerentanan terhadap kerawanan pangan, dan (4) merumuskan strategi pembangunan ketahanan pangan. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari data BPS, Susenas, Podes, PPLS, BKP Lampung Selatan, BP4K Lampung Selatan dan Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kabupaten Lampung Selatan. Tujuan pertama dianalisis berdasarkan klasifikasi silang dua indikator yaitu kecukupan energi yang dikonsumsi dan besarnya pangsa pengeluaran pangan. Tujuan kedua dan ketiga menggunakan analisis komponen utama (Principal Component Analysis) dan analisis gerombol (Cluster Analysis). Tujuan keempat menggunakan analisis SWOT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat ketahanan pangan rumah tangga di Kabupaten Lampung Selatan pada kurun waktu 2008 sampai dengan 2012 berfluktuasi. Rata-rata rumah tangga tahan pangan 21,03 persen dan cenderung menurun, rumah tangga rentan pangan relatif tetap 35,64 persen, sedangkan rumah tangga kurang pangan 17,85 persen dan rawan pangan 25,48 persen dan menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Berdasarkan pemetaan tingkat ketahanan pangan diperoleh desa/kelurahan yang rentan terhadap kerawanan pangan (prioritas 1, prioritas 2 dan prioritas 3) berjumlah 130 desa/kelurahan atau 51,79 persen yang meliputi 16 kecamatan, sedangkan yang relatif tahan pangan (prioritas 4, prioritas 5 dan prioritas 6) berjumlah 121 desa/kelurahan atau 48,21persen tersebar pada 17 kecamatan. Faktor penentu utama penyebab kerawanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan adalah jumlah toko/warung, jumlah penduduk miskin, akses jalan, sarana kesehatan, jumlah penderita gizi buruk dan sarana pendidikan. Rumusan strategi pembangunan ketahanan pangan terdiri dari aspek ekonomi, aspek sosial budaya, aspek pendidikan dan aspek teknologi.

(2)

STRATEGY OF FOOD SECURITY DEVELOPMENT

THROUGH ANALYSIS AND FOOD SECURITY MAPPING

IN SOUTH LAMPUNG REGENCY

Oleh Hilmiyati

Abstract

The research aims to analyze: (1) the level of household food security, (2) the distribution of villages that food secure and vulnerable to food insecurity, (3) a major determining factor causes of vulnerability to food insecurity, and (4) formulating of food security development strategies. The data used are secondary data obtained from BPS, Susenas, Podes, PPLS, BKP South Lampung, BP4K South Lampung and Economic Section of South Lampung district Secretariat. The first goal was analyzed by cross-classification of two indicators are energy consumed adequacy and the amount of the food expenditure share. The second and third destination using principal component analysis and clusters analysis. The fourth goal using SWOT analysis. The results showed that the level of household food security in South Lampung Regency in the period 2008 to 2012 fluctuated. The average household of food security 21.03 percent, food vulnerable 35.64 percent, less food 17.85 percent and food insecurity 25.48 percent. Based on the mapping of food security level obtained by rural/urban are vulnerable to food insecurity (priority 1, priority 2 and priority 3) amounted to 130 villages or 51.79 percent which covers 16 sub districts, while relatively food security (priority 4, priority 5 and priority 6) amounted to 121 villages or 48,21persen scattered in 17 sub districts. The main determining factors causing food insecurity in South Lampung is the number of shops/food store, poverty, infrastructure (roads access), health facilities, the number of malnourished and educational facilities. Formulation of food security development strategy consists of economic, social and cultural, education and technology aspects.

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

Penulis dilahirkan di Nagari Pandam Gadang Kabupaten Lima Puluh Kota (Sumatera Barat) pada tanggal 23 Oktober 1974, dari pasangan Bapak Abdul Gaffar (Alm) dan Ibu Yan Hasni. Penulis adalah anak ketiga dari empat perempuan bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Inpres 12/79 Pandam Gadang pada tahun 1987. Setelah lulus SD penulis meneruskan pendidikan ke SMP Negeri 2 Suliki Gunung Mas, lulus pada tahun 1990 kemudian melanjutkan ke SMAN 1 Dangung-Dangung dan lulus pada tahun 1993. Pada tahun 1993 tersebut melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumber Daya (EPS) Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian dan lulus pada tahun 1998. Pada tahun 2012 penulis mengikuti pendidikan Pasca Sarjana pada Program Magister Agribisnis Universitas Lampung.

(8)
(9)

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT atas nikmat kesehatan dan semangat, sehingga penulis mampu menyelesaikan kuliah hingga penelitian dengan judul tesis Strategi Pembangunan Ketahanan Pangan melalui Analisis dan Pemetaan Ketahanan Pangan di Kabupaten Lampung Selatan. Tesis merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan pascasarjana (S2) dan memperoleh gelar Magister Sains Program Pascasarjana Magister Agribisnis Universitas Lampung.

Seiring dengan selesainya penelitian ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Hanung Ismono, M.P. dan ibu Dr. Ir. Yaktiworo Indriani, M.Sc. selaku Pembimbing Utama dan Pembimbing Kedua atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, pengetahuan dan meluangkan waktu yang sangat berharga sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

2. Ibu Dr. Ir. Wuryaningsih Dwi Sayekti, M.S. selaku Penguji. Atas masukan, kritik serta saran yang disampaikan, penulis ucapkan terimakasih, karena sangat berguna bagi penyempurnaan tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. Ir. Ibrahim Hasyim, M.S. selaku pengajar dan Ketua Program Pascasarjana Magister Agribisnis Universitas Lampung.

(10)

banyak menginspirasi untuk senantiasa mencintai ilmu, karena “bodoh” adalah pilihan.

6. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada segenap bapak/ibu pengajar Pascasarjana Magister Agribisnis Universitas Lampung Dr. Dwi

Haryono, Dr. M. Irfan Affandi, Dr. FE Prasmatiwi, Dr. Dyah Aring HL, Ir. Adia Nugraha, M.S., Ir. Eka Kasymir, M.Si., Ir. Suriaty Situmorang, M.Si dan Ir. Hurip Santoso, M.S.

7. Mbak Ai dan timnya atas bantuan dan perhatiannya selama penulis mengikuti pendidikan di Universitas Lampung.

8. Bapak Sekretaris Daerah Kabupaten Lampung Selatan sekaligus ketua alumni IPB Provinsi Lampung Ir. Sutono., M.M serta bapak/ibu kepala SKPD lingkup pertanian Kabupaten Lampung Selatan Ir. Elly Malelawati, Ir. Afruddin, Ir. Noviar Akmal, Ir. Irmanto Indrowijoyo, M.Si., Ir. Firman Burhansyah dan Ir. Rini Ariasih, M.M. yang telah memberikan kesempatan dan dukungan bagi penulis untuk menempuh pendidikan Pascasarjana di Universitas Lampung sejak tahun 2012 hingga penyelesaian tesis tahun 2015.

(11)

10. Kedua orangtua yang sangat penulis cintai dan muliakan, Bapak Abdul Gaffar (Alm), Ibu Yan Hasni serta Pangulu Suku Koto Dt. Kayo Drs. Muharni Lainin yang senantiasa memberi semangat agar menjadi manusia yang lebih baik dan berguna bagi agama, keluarga dan masyarakat.

11. Secara khusus untuk suami tercinta sebagai mitra diskusi Jupri, S.Ag., M.Si. dan anak-anak umi tersayang Syadza Khaleela Rahma, Feiza Aaqila Rahma dan Muhammad Faaza Tsuraya atas do’a, kesabaran, pengertian dan

keikhlasannya selama mendampingi penulis bekerja dan menempuh pendidikan. Tesis ini umi persembahkan untuk anak-anak umi, semoga menjadi inspirasi untuk selalu bersemangat menempuh pendidikan hingga kelak bermanfaat bagi agama, masyarakat, nusa dan bangsa.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak yang telah membantu tetapi namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, kiranya Allah SWT memberi balasan yang tak terhingga. Penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari kesempurnaan, meskipun demikian semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pembangunan daerah, khususnya Kabupaten Lampung Selatan

Kalianda, Januari, 2014 Penulis

(12)

DAFTAR ISI

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PENELITIAN ... 13

2.1 Tinjauan Pustaka ... 13

2.1.1 Ketahanan Pangan dan Kerawanan Pangan ... 13

2.1.2 Ketersediaan, Akses dan Pemanfaatan Pangan ... 17

2.1.3 Ketahanan Pangan Rumah Tangga ... 20

2.1.4 Pemetaan Ketahanan Pangan ... 23

2.1.5 Perencanaan Strategis ... 25

3.4.1 Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga ... 42

3.4.2 Analisis Pemetaan Ketahanan Pangan ... 44

3.4.3 Strategi Pembangunan Ketahanan Pangan ... 50

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ... 57

4.1 Geografi …………. ... 57

4.2 Penduduk …… ... 58

4.3 Pertanian …………. ... 63

(13)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 68

5.1 Kondisi Ketahanan Pangan di Kabupaten Lampung Selatan …… .. 68

5.1.1 Ketersediaan Pangan ... 68

5.1.2 Akses Pangan ... 75

5.1.3 Pemanfaatan Pangan ... 81

5.2 Pola Konsumsi Rumah Tangga ... 87

5.3 Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga ... 95

5.4 Analisis Pemetaan Ketahanan Pangan ... 97

5.4.1 Analisis Komponen Utama (PCA) ... 98

5.4.2 Analisis Gerombol (CA) ... 100

5.4.3 Menentukan Prioritas ... 102

5.5 Strategi Pembangunan Ketahanan Pangan ... 110

5.5.1 Analisis Faktor Lingkungan Strategis ... 111

5.5.2 Hasil Evaluasi Faktor Lingkungan Strategis ... 122

5.5.3 Alternatif Strategi Pembangunan Ketahanan Pangan ... 128

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 135

6.1 Kesimpulan ... 135

6.2 Saran ... 137

DAFTAR PUSTAKA ... 139

(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Teks Halaman

1. Persentase angka rawan pangan di Indonesia tahun 2008-2011 ... 2

2. Ketersediaan dan konsumsi beras di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2007 – 2012 ... 5

3. Ketersediaan energi, protein dan lemak (NBM) di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2012 ... 6

4. Jumlah penduduk, rumah tangga dan RTS-PM Raskin di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2011 ... 8

5. Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Lampung tahun 2007-2012 . ….. 9

6. Variabel yang digunakan dalam pemetaan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan ... 31

7. Populasi dan sampel penelitian ... 41

8. Pengukuran tingkat ketahanan pangan rumah tangga ... 42

9. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) ... 51

10. Matriks External Factor Evaluation (EFE) ... 53

11. Matriks analisis SWOT (Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats) ... 55

12. Jumlah desa/kelurahan dan penduduk menurut kecamatan di Kabupaten Lampung Selatan, 2012 ... 59

13. Jumlah penduduk, rumah tangga dan rata-rata anggota rumah tangga di Kabupaten Lampung Selatan, 2000-2012 ... 60

14 Penduduk berumur 15 tahun ke atas menurut jenis kegiatan utama di Kabupaten Lampung Selatan, 2010 – 2012 ... 61

15. Penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan usaha dan jenis kelamin di Kabupaten Lampung Selatan, 2012 ... 62

(15)

17. Luas panen dan produksi tanaman pangan di Kabupaten Lampung

Selatan, 2012 ... 63

18. Populasi ternak menurut kecamatan dan jenis ternak di Kabupaten Lampung Selatan (Ekor), 2012 ... 64

19. Produksi ikan dan produk olahan hasil perikanan di Kabupaten Lampung Selatan (Ton), 2012 ... 65

20. Jumlah Gapoktan, Kelompok Tani, Posluhdes dan Lumbung Pangan di Kabupaten Lampung Selatan, 2012 ... 66

21. Produksi serelia dan umbi-umbian (Ton) tahun 2002 – 2011 di Kabupaten Lampung Selatan ... 69

22. Jumlah penduduk dan jumlah warung/ toko di Kabupaten Lampung Selatan 71 23. Persentase penduduk miskin per kecamatan di Kabupaten Lampung Selatan, 2011 ... 77

24. Jumlah sarana kesehatan per kecamatan di Kabupaten Lampung Selatan ... 82

25. Pangsa pengeluaran pangan dan tingkat konsumsi energi dan protein di Kabupaten Lampung Selatan ... 88

26. Persentase jenis komoditi pangan yang dikonsumsi masyarakat perkotaan dan pedesaan di Kabupaten Lampung Selatan ... 91

27. Persentase konsumsi padi-padian di Kabupaten Lampung Selatan ... 92

28. Persentase penduduk defisit energi di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2008, 2011 dan 2012 ... 94

29. Persentase rumah tangga menurut tingkat ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2008, 2011 dan 2012 ... 95

30. Komponen utama (PC), nilai akar ciri dan keragaman ... 99

31. Variabel dominan penyusun komponen utama ... 100

32. Hasil Analisis Gerombol (Cluster Analysis ... 101

33. Variabel dominan yang berpengaruh terhadap kerawanan pangan pada setiap cluster ... 103

34 Jumlah desa pada setiap kecamatan yang masuk ke dalam Prioritas 1 – 6 ... 105

35. Hasil Evaluasi Faktor Internal (IFE) ... 124

36. Hasil Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) ... 126

(16)

38. Cara penghitungan pangsa pengeluaran pangan dan tingkat konsumsi

energi dan protein di Kabupaten Lampung Selatan ... 143

39. Cara penghitungan jenis komoditi pangan yang dikonsumsi masyarakat perkotaan dan pedesaan di Kabupaten Lampung Selatan ... 145

40. Cara penghitungan konsumsi padi-padian di Kabupaten Lampung Selatan ... 146

41. Cara penghitungan jumlah penduduk defisit energi di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2008, 2011 dan 2012 ... 147

42. Cara penghitungan analisis tingkat ketahanan pangan rumah tangga di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2008, 2011 dan 2012 ... 148

43. Data analisi pemetaan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2011 ... 149

44. Data analisis pemetaan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2011yang sudah disamakan persepsinya. ... 154

45. Daftar desa per kecamatan menurut prioritas pembangunan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan ... 168

46. Kuisioner SWOT penilaian rating faktor internal pembangunan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan ... 173

47. Kuisioner SWOT skor dan pembobotan faktor internal strategi pembangunan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung ... 173

48. Kuisioner SWOT penilaian rating faktor eksternal pembangunan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan ... 174

49. Kuisioner SWOT skor dan pembobotan faktor eksternal strategi pembangunan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung ... 174

50. Hasil evaluasi faktor internal analisis SWOT ... 175

51. Hasil evaluasi faktor eksternal analisis SWOT ... 176

52. Rekapitulasi penilaian peringkat EFI dan EFE hasil analisis SWOT ... 177

(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka konsep ketahanan pangan dan gizi ... 3

2. Peta Kerentanan Terhadap Kerawanan Pangan Indonesia 2009 ... 4

3. Grafik jumlah penderita gizi buruk per kecamatan ... 7

4. Ketahanan Pangan dan Gizi ... 15

5. Hubungan trilogi ketahanan pangan yang merupakan komponen ketersediaan, akses dan pemanfatan pangan ... 19

6. Kerangka Penelitian ... 32

7. Grafik luas lahan sawah per kecamatan ... 70

8. Grafik jumlah lumbung pangan per kecamatan ... 73

9. Grafik jumlah RTS-PM Raskin per kecamatan ... 74

10. Grafik persentase penduduk miskin per kecamatan ... 78

11. Grafik persentase rumah tangga tanpa akses listrik per kecamatan ... 80

12. Grafik jumlah penderita gizi buruk per kecamatan ... 84

13. Grafik jumlah kematian balita dan ibu saat melahirkan per kecamatan ... 85

14. Grafik jumlah sarana pendidikan per kecamatan ... 87

15. Grafik perbandingan pangsa pengeluaran pangan masyarakat pedesaan dan perkotaan di Kabupaten Lampung Selatan ... 89

(18)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pangan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia untuk mempertahankan hidup, sehingga usaha pemenuhan kebutuhan pangan merupakan suatu usaha kemanusiaan yang mendasar atau bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang penyelenggaraan-nya dijamin oleh negara. Setiap negara wajib memenuhi kebutuhan pangan

penduduknya termasuk negara Indonesia yang dilaksanakan secara berjenjang, baik oleh pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota.

Komitmen pemerintah Indonesia terhadap penyelenggaraan urusan pangan diatur dalam Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 pengganti Undang-Undang Pangan Nomor 7 Tahun 1996, yang dibangun berlandaskan kedaulatan dan

(19)

dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif secara berkelanjutan.

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya melalui pelaksanaan program dan kegiatan untuk mewujudkan ketahanan pangan, tetapi jumlah penduduk rawan pangan atau rawan konsumsi energi masih relatif tinggi. Penduduk rawan konsumsi pangan (energi) diukur dari Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) yang merupakan

persentase angka kecukupan gizi (%AKG), dimana kurang dari 70% AKG adalah sangat rawan pangan, 70% - 89,9% AKG adalah kerawanan ringan sampai sedang. Pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2011 (Tabel 1), % AKG penduduk Indonesia menunjukkan kecenderungan yang terus memburuk, hal ini terlihat dari peningkatan persentase jumlah penduduk rawan pangan setiap tahunnya. Pada tahun 2011 terdapat 42,08 juta penduduk atau 17,41 persen dari seluruh penduduk di Indonesia yang mengalami kondisi sangat rawan pangan dan apabila dibiarkan terjadi selama dua bulan berturut-turut akan menjadi rawan pangan akut yang menyebabkan kelaparan.

Tabel 1. Persentase angka rawan pangan di Indonesia tahun 2008-2011

Tahun < 70% AKG 70%-89,9% AKG >= 90% AKG

N (x1 juta) % N (x1 juta) % N (x1 juta) %

2008 25,11 11,07 62,38 27,50 139,34 61,43 2009 33,29 14,47 72,72 31,62 123,96 53,90 2010 35,71 15,34 72.44 31,12 124,61 53,53 2011 42,08 17,41 78,48 32,48 121,01 50,10

(20)

Untuk lebih fokus dalam menangani masalah pangan secara menyeluruh dan memprioritaskan penggunaan sumberdaya, maka pemerintah dalam hal ini Dewan Ketahanan Pangan bekerjasama dengan World Food Programme (WFP) menyusun Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia 2009 (A Food Security and Vulnerability Atlas / FSVA of Indonesia 2009). Penyusunan peta tersebut bertujuan menyediakan sarana bagi pemerintah untuk memahami akar permasalahan sebagai dasar penyusunan kebijakan dan strategi pengurangan penduduk rawan pangan. Kerangka konsep ketahanan pangan yang dapat dilihat pada Gambar 1 digunakan untuk menyusun Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia 2009 dengan menggunakan tiga pilar ketahananan pangan yaitu ketersediaan pangan, akses terhadap pangan dan pemanfaatan pangan. Tiga pilar ketahananan pangan tersebut dihubungkan dengan aspek kepemilikan aset rumah tangga, strategi penghidupan dan lingkungan politik, sosial, kelembagaan dan ekonomi.

(21)

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia 2009 pada Gambar 2, dibuat dengan menggunakan gradasi warna merah dan hijau. Gradasi warna merah menunjukkan variasi tingkat kerawanan pangan dan gradasi warna hijau

menggambarkan kondisi yang lebih baik. Warna yang semakin tua menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dalam hal ketahanan dan kerawanan pangan. Berdasarkan peta tersebut, Kabupaten Lampung Selatan termasuk ke dalam kelompok prioritas 5 (gradasi hijau), artinya termasuk kabupaten tahan pangan atau bukan kabupaten prioritas dalam peningkatan ketahanan pangan dan penanganan masalah kerawanan pangan.

Gambar 2. Peta Kerentanan Terhadap Kerawanan Pangan Indonesia 2009 (DKP, 2009)

Kabupaten Lampung Selatan sebagai kabupaten tahan pangan yang digambarkan pada peta tersebut juga didukung ketersediaan pangan yang ditunjukkan oleh

(22)

pangan suatu daerah, karena beras merupakan makanan pokok mayoritas penduduk dan memberikan peran hingga sekitar 45 persen dari total food-intake atau sekitar 80 persen dari sumber karbohidrat utama dalam pola konsumsi masyarakat Indonesia (Arifin, 2012). Selama enam tahun terakhir yaitu dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2012, Kabupaten Lampung Selatan selalu surplus beras. Kondisi tersebut dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini.

Tabel 2. Ketersediaan dan konsumsi beras di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2007 – 2012

Tahun Produksi Benih/pakan/ Keterse -diaan

Sumber : BPS Lampung Selatan (2008-2013) )* Susenas 2007-2012, diolah

(23)

ketersediaan protein adalah sebesar 64,81 gram/kapita/hari atau lebih besar 113,70 persen dari angka yang dianjurkan yakni 57 gram/kapita/hari, sedangkan

ketersediaan lemak sebesar 36,25 gram/kapita/hari (Tabel 3).

Tabel 3. Ketersediaan energi, protein dan lemak (NBM) di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2012

Sumber Pangan Kalori/hari/kap Protein/hari/kap Lemak/hari/kap

Nabati 2.436,00 53,48 31,06

Hewani 96,14 11,33 5,19

Jumlah 2.532,14 64,81 36,25

Sumber : BKP Kabupaten Lampung Selatan (2013)

Kondisi surplus pangan (beras) atau total ketersediaan energi dan protein melebihi Angka Kecukupan Energi dan Protein di tingkat ketersediaan menjadi ironi, karena masih ditemukan kasus balita gizi buruk dan gizi kurang di Kabupaten Lampung Selatan. Status gizi adalah muara akhir dari semua subsistem dalam sistem ketahanan pangan dan merupakan salah satu indikator yang mencerminkan baik buruknya ketahanan pangan. Kelompok masyarakat yang sangat sensitif terhadap masalah ketahanan pangan adalah balita.

(24)

Natar (27 balita), Penengahan (26 balita) dan Ketapang (15 Balita), selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Grafik jumlah penderita gizi buruk per kecamatan (Podes, 2011/ tidak dipublikasikan)

(25)

Tabel 4. Jumlah penduduk, rumah tangga dan RTS-PM Raskin di Kabupaten Lampung Selatan tahun 2011

Kecamatan

Jumlah Penduduk, Rumah Tangga dan RTS-PM Raskin

Sumber : BPS (2013) dan Bagian Perekonomian Setdakab. Lampung Selatan (2013)

(26)

empat belas kabupaten/kota di Provinsi Lampung. Nilai IPM kabupaten/kota yang dipublikasikan BPS Provinsi Lampung dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini.

Tabel 5. Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Lampung tahun 2007 – 2012

Kabupaten/ Kota Indeks Pembangunan Manusia Lampung 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Metro 75,31 75,71 75,98 76,25 76,95 77,30

Bandar Lampung 74,29 74,86 75,35 75,70 76,29 76,83

Pringsewu - - 71,74 71,97 72,37 72,80

Tanggamus 69,62 70,19 70,84 71,31 71,83 72,32 Lampung Tengah 69,40 69,93 70,38 70,74 71,29 71,81 Lampung Timur 69,23 69,68 70,20 70,73 71,26 71,64 Tulang Bawang 68,63 69,14 69,63 70,34 70,96 71,60 Lampung Utara 68,97 69,40 69,85 70,36 70,81 71,28 Lampung Selatan 68,39 68,79 69,51 70,06 70,53 70,95

Pesawaran - 68,73 69,43 69,77 70,30 70,90

Way Kanan 68,46 68,98 69,46 69,92 70,43 70,84 Lampung Barat 67,74 68,21 68,83 69,28 69,72 70,17

Tuba Barat - - 68,53 68,98 69,32 69,82

Mesuji - - 67,06 67,49 67,98 68,30

Sumber : BPS (2013)

1.2. Perumusan masalah

Ketahanan pangan di tingkat Kabupaten Lampung Selatan tidak menjamin

(27)

Pangan dan gizi terkait sangat erat dengan upaya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Ketahanan pangan yang bertujuan untuk perbaikan gizi penduduk, merupakan investasi dalam peningkatan kualitas SDM. Tiga alasan suatu negara perlu melakukan investasi tersebut, yaitu (1) memiliki ‘economic returns’ yang

tinggi; (2) terbukti mendorong pertumbuhan ekonomi; dan (3), membantu

menurunkan tingkat kemiskinan melalui perbaikan produktivitas kerja, pengurangan hari sakit dan pengurangan biaya pengobatan (Bank Dunia dalam Hanani, 2009).

Upaya percepatan peningkatan kualitas SDM melalui peningkatan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan, memerlukan strategi yang menyeluruh melalui analisis ketahanan pangan rumah tangga dan analisis yang memetakan desa-desa yang tahan pangan dan rentan terhadap kerawanan pangan. Hasil analisis dan pemetaan dapat dijadikan sarana bagi Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan dalam hal penentuan sasaran dan memberikan rekomendasi pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan ketahanan pangan sekaligus peningkatan kualitas SDM. Penelitian mengenai Strategi Pembangunan Ketahanan Pangan melalui Analisis dan Pemetaan Ketahanan Pangan di Kabupaten Lampung Selatan mendesak untuk dilakukan.

Berdasarkan pemikiran dan permasalahan yang telah diuraikan, maka dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana tingkat ketahanan pangan rumah tangga di Kabupaten Lampung Selatan ?

(28)

3. Apa faktor penentu utama penyebab kerentanan terhadap kerawanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan?

4. Bagaimana strategi pembangunan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menganalisis tingkat ketahanan pangan rumah tangga di Kabupaten Lampung Selatan.

2. Mengetahui sebaran desa/kelurahan yang tahan pangan dan rentan terhadap kerawanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan.

3. Mengetahui faktor penentu utama penyebab kerentanan terhadap kerawanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan.

4. Merumuskan strategi pembangunan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna dan memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Untuk peneliti, kegiatan penelitian ini merupakan langkah awal dari penerapan

(29)

2. Untuk Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan, hasil penelitian dapat dijadikan informasi dalam merumuskan strategi pembangunan ketahanan pangan di

Kabupaten Lampung Selatan.

(30)

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PENELITIAN

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1 Ketahanan Pangan dan Kerawanan Pangan

Pengertian tentang ketahanan pangan berubah dari waktu ke waktu. Periode 1970an, ketahanan pangan lebih ditekankan pada unsur ketersediaan pangan di tingkat

nasional dan global. Periode tahun 1980an, ketahanan pangan beralih ke akses pangan pada tingkat rumah tangga dan individu. Periode 1990an ketahanan pangan menjadi lebih komplek, yaitu ketersediaan pangan yang cukup pada tingkat harga yang pantas, terjangkau oleh masyarakat miskin serta tidak merusak lingkungan (Saliem dkk., 2001)

(31)

pangan yang cukup, aman, bergizi dan sesuai pilihannya untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif.

Pokok pemikiran terkait paradigma perolehan pangan (food entitlement paradigm), antara lain : (1) indikator akhir ketahanan pangan ialah perolehan pangan yang cukup bagi setiap individu yang diukur pada dimensi agregat terkecil atau dengan kata lain, indikator akhir ketahanan pangan ialah ketahanan pangan individu

(individual foodsecutiry; (2) ketersediaan pangan merupakan syarat keharusan tetapi tidak cukup untuk menjamin perolehan pangan yang cukup bagi setiap individu; dan (3) ketahanan pangan haruslah dipandang sebagai suatu sistem hierarkis: ketahanan pangan nasional, provinsi, kabupaten, lokal, rumah tangga dan individual. Ketahanan pangan nasional merupakan syarat keharusan namun tidak cukup untuk menjamin ketahanan pangan seluruh provinsi, seluruh kabupaten, desa, rumah tangga dan individu di provinsi tersebut. Ketahanan pangan seluruh individu merupakan syarat keharusan dan kecukupan bagi terjaminnya ketahanan pangan suatu negara (Alamgir and Arora, 1991 dalam Simatupang, 2007).

(32)

untuk memenuhi kebutuhan dasar lainnya yang digambarkan oleh ketahanan gizi individu untuk hidup sehat dan aktif.

Gambar 4. Ketahanan pangan dan gizi

(Modifikasi dari Smith, 1995 dalam Escamilla and Correa, 2008)

Ketersediaan pangan yang cukup, perlu diikuti usaha peningkatan akses pangan masyarakat untuk mencapai ketahanan pangan keluarga. Pembangunan ketahanan pangan keluarga harus dilakukan agar tidak terjadi masalah kerawanan pangan yang menjadi pemicu kerawanan sosial, politik dan keamanan.

Kerawanan pangan adalah suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami daerah, masyarakat atau rumah tangga pada waktu tertentu untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat (BKP Kementan

Ketersediaan Pangan Global

Ketahanan Pangan Akses Untuk Hidup Sehat

(33)

RI, 2013). Angka rawan pangan merupakan gambaran situasi tingkat aksesibilitas pangan masyarakat yang dicerminkan dari tingkat kecukupan gizi masyarakat.

Menurut BKP Kementan RI (2013) kerawanan pangan terdiri dari Kerawanan Pangan Kronis dan Kerawanan Pangan Transien. Kerawanan Pangan Kronis adalah ketidakmampuan rumah tangga untuk memenuhi standar minimum kebutuhan pangan anggotanya pada periode yang lama karena keterbatasan kepemilikan lahan, aset produktif dan kekurangan pendapatan. Kerawanan Pangan Transien adalah suatu keadaan rawan pangan yang bersifat mendadak dan sementara, yang

disebabkan oleh perbuatan manusia (penebangan liar yang menyebabkan banjir atau karena konflik sosial), maupun karena alam berupa berbagai musibah yang tidak dapat diduga sebelumnya, seperti bencana alam (gempa bumi, tanah longsor, gunung meletus, banjir bandang, tsunami). Kerawanan Pangan Transien digolongkan ke dalam dua kategori, yaitu Transien Berat apabila dampak bencana berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi lebih dari 30 persen penduduk suatu wilayah dan Transien Ringan apabila dampak bencana berpengaruh terhadap kondisi sosial ekonomi kurang dari 10-30 persen penduduk suatu wilayah.

(34)

kemiskinan dan rendahnya tingkat pengetahuan tentang pangan dan gizi, yang berpengaruh terhadap konsumsi dan kecukupan pangan dan gizi rumah tangga. Faktor-faktor yang mempengaruhi kerawanan pangan antara lain tingkat pendapatan, pendidikan, pemerintahan yang efektif, pengawasan terhadap korupsi serta ada atau tidaknya krisis yang terjadi pada tahun tersebut.

2.1.2 Ketersediaan, Akses dan Pemanfaatan Pangan

Pada World Food Summit 1996, ketahanan pangan didefenisikan sebagai suatu kondisi apabila semua orang secara terus-menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses terhadap pangan yang memadai/cukup, bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup secara aktif dan sehat. Hal tersebut menjelaskan bahwa ketahanan pangan

menyangkut orang banyak dan harus dipenuhi secara berkelanjutan. Ketahanan pangan ditentukan oleh tiga pilar yaitu : (i) ketersediaan pangan; (ii) akses terhadap pangan; dan (iii) pemanfaatan pangan (DKP, 2009).

Ketersediaan pangan adalah tersedianya pangan secara fisik di daerah, yang

ditentukan dari produksi domestik, masuknya pangan melalui mekanisme pasar, stok pangan yang dimiliki pedagang dan pemerintah, serta bantuan pangan baik dari pemerintah maupun swasta. Ketersediaan pangan dapat dihitung pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten atau tingkat masyarakat.

(35)

seluruh individu. Wacana ini disebut sebagai paradigma perolehan pangan (food entitlement paradigm) yang dirumuskan dan dipopulerkan oleh Sen, penerima Hadiah Nobel Ekonomi tahun 2000 (Simatupang, 2007).

Akses pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan maupun kombinasi di antara kelimanya. Ketersediaan pangan pada suatu daerah mungkin mencukupi, tetapi tidak semua rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut (DKP, 2009).

Ketahanan pangan berdasarkan perolehan pangan ditentukan oleh dua determinan kunci, yaitu ketersediaan pangan (food availability) dan akses pangan (food access).

Ketersediaan pangan merupakan syarat keharusan, sedangkan akses pangan merupakan syarat kecukupan ketahanan pangan pada setiap hierarki pengukuran. Ketersediaan pangan secara nasional dan regional melimpah (lebih dari cukup), tetapi jika rumah tangga tidak memperoleh akses terhadap sediaan pangan tersebut, maka rumah tangga tersebut akan menderita kerawanan pangan.

(36)

pemanfaatan bahan pangan (food utilization), sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Hubungan trilogi ketahanan pangan yang merupakan komponen ketersediaan, akses dan pemanfaatan pangan (Simatupang, 2007)

Pemanfaatan pangan merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah tangga dan kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi (konversi zat gizi secara efisien oleh tubuh). Pemanfaatan pangan juga meliputi cara penyimpanan, pengolahan dan penyiapan makanan termasuk penggunaan air dan bahan bakar selama proses pengolahannya serta kondisi higienis, budaya atau kebiasaan pemberian makanan terutama untuk individu yang memerlukan jenis makanan khusus, distribusi makanan dalam rumah tangga sesuai kebutuhan masing-masing individu (pertumbuhan, kehamilan, menyusui dan lain-lain) dan status kesehatan masing-masing anggota rumah tangga (DKP, 2009).

Ketiga elemen menjadi determinan fundamental ketahanan pangan. Ketersediaan pangan mengacu pada ketersediaan bahan pangan secara fisik di lingkungan tempat tinggal penduduk dalam jumlah yang cukup dan yang mungkin dijangkau oleh semua penduduk. Akses pangan mengacu pada kemampuan untuk memperoleh bahan pangan yang telah tersedia tersebut baik melalui media pertukaran (pasar) maupun melalui transfer (institusional). Pemanfaatan pangan mengacu pada proses alokasi dan pengolahan bahan pangan yang telah diperoleh (diakses) sehingga setiap

Ketersediaan

Pangan Akses Pangan

Pemanfaatan

Pangan

Ketahanan

(37)

individu memperoleh asupan pangan yang cukup. Ketiga elemen dasar ini berkaitan secara hierarkis (Simatupang, 2007).

Menurut Awasthi dan Singh (2010), ketahanan pangan adalah integrasi yang rumit dari tiga pilar tersebut yaitu, ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan. Ketersediaan pangan pada dasarnya adalah suatu sistem yang terintegrasi dari produksi dan distribusi, sedangkan akses pangan adalah tentang keterjangkauan, alokasi dan preferensi yang terkait dengan pangan. Pemanfaatan pangan adalah sistem jalinan nilai gizi, nilai sosial dan keamanan pangan. Sistem ketahanan pangan ini kemudian saling terkait dengan kesejahteraan sosial dan subsistem ekologi. Ketersediaan pangan yang berlimpah tidak menjamin ketahanan pangan rumah tangga atau individu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penduduk India dengan jumlah yang signifikan mengalami rawan pangan, meskipun ketersediaan pangannya berlimpah. Untuk menjaga ketahanan pangan nasional, perlu bekerja pada tingkat sub sistem ketahanan pangan secara bersamaan yaitu sub sistem ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan serta dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi, politik, teknologi dan lingkungan. Masyarakat harus memiliki akses fisik dan ekonomi terhadap pangan, di mana aksesibilitas fisik tergantung pada

ketersediaan infrastruktur seperti jalan, pasar dan lain-lain, sedangkan akses ekonomi tergantung pada daya beli.

2.1.3 Ketahanan Pangan Rumah Tangga

(38)

Penentu ketahanan pangan di tingkat rumah tangga adalah akses (fisik dan ekonomi) terhadap pangan, ketersediaan pangan dan resiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut (Purwantini dkk., 2004). Ilham dan Sinaga (2006), menyatakan bahwa ketahanan pangan individu tidak hanya ditentukan oleh akses fisik dan ekonomi seseorang, tetapi juga oleh akses informasi yang direfleksikan oleh tingkat pendidikan, kesadaran hidup sehat, pengetahuan tentang gizi, pola asuh dalam keluarga dan gaya hidup.

Elemen dan indikator dalam penentuan ketahanan pangan dimulai dari level nasional yang memperkuat ketersediaan pangan (food availability), stabilitas (stability) dan akses untuk pangan (access to food). Faktor-faktor tersebut dapat mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga sehingga dapat memenuhi kebutuhan kalori dan protein yang pada gilirannya akan meningkatkan penyerapan makanan yang terlihat dari kondisi kesehatan masyarakat. Indikator outcome ketahanan pangan yang direkomendasikan FAO mencakup umur harapan hidup, prevalensi anak kurang gizi, gizi buruk dan angka kematian bayi (Nurlatifah, 2011).

Malassis dan Ghersi dalamIrawan (2002) menyatakan bahwa energi dan protein digunakan sebagai indikator status gizi karena penggunaan nilai kalori (energi) dan nilai protein sudah cukup untuk menggambarkan kecukupan pangan rumah tangga karena konsumsi kalori terkait erat dengan kemampuan manusia untuk hidup secara aktif sedangkan konsumsi protein dibutuhkan untuk memulihkan sel-sel tubuh yang rusak. Irawan (2002) menyatakan bahwa derajat ketahanan pangan rumah tangga secara sederhana dapat ditentukan dengan mengevaluasi asupan energi dan protein rumah tangga tersebut.

(39)

antara ketercukupan energi dan pangsa pengeluaran pangan serta mampu dijadikan suatu indikator ketahanan pangan yang lebih baik dibandingkan indikator lain. Jonsson dan Toole dalamMaxwell et al. (2000) mengklasifikasikan ketahanan pangan rumah tangga melalui perpaduan antara kecukupan pangan dengan pangsa pengeluaran. Kedua indikator tersebut dinilai cukup sederhana namun mampu merepresentasikan tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Klasifikasi tersebut menghasilkan empat kategori ketahanan pangan rumah tangga yaitu rumah tangga tahan pangan, rentan pangan, kurang pangan dan rawan pangan.

Hukum Engle menyatakan jika selera tidak berbeda, maka persentase pengeluaran untuk makanan akan menurun dengan meningkatnya pendapatan (Nicholson, 1995;2002) sedangkan Deaton dan Muellbauer (1980) menyatakan bahwa semakin tinggi kesejahteraan masyarakat suatu negara maka pangsa pengeluaran pangan penduduknya semakin kecil, demikian sebaliknya. Daerah dengan pangsa pengeluaran pangan yang masih besar akan selalu dijumpai permasalahan kekurangan pangan sehingga harus memerlukan perhatian yang lebih banyak.

(40)

2.1.4 Pemetaan Ketahanan Pangan

Pengelolaan program ketahanan pangan yang efektif, memerlukan informasi ketahanan pangan yang akurat dan tertata dengan baik untuk dapat melaksanakan intervensi yang terkait dengan ketahanan pangan dan gizi. Salah satu upaya untuk memenuhi ketersediaan informasi mengenai situasi ketahanan pangan, dilaksanakan monitoring situasi ketahanan pangan wilayah melalui penyusunan dan pengembang-an peta situasi ketahpengembang-anpengembang-an ppengembang-angpengembang-an ypengembang-ang dapat memfasilitasi kebutuhpengembang-an informasi lokasi wilayah-wilayah yang memiliki tingkat kerentanan terhadap kerawanan pangan (BKP Kementan RI, 2012). Peta memiliki kekuatan dalam menyampaikan informasi suatu wilayah, baik yang dibuat lembaga resmi seperti pemerintah maupun peta yang dibuat oleh masyarakat melalui pemetaan partisipatif. Peta ketahanan dan kerentanan terhadap kerawanan pangan tergolong peta tematik karena menunjukkan tema tertentu.

Analisis untuk kebutuhan penyusunan peta ketahanan pangan terdiri atas 2 tahap, yaitu tahap pertama Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis/ PCA) dan tahap ke dua Analisis Gerombol (Cluster Analysis/CA). Analisis Komponen Utama merupakan bagian dari analisis multivariat yang tergolong ke dalam kelompok interdependensi (interdependency). Model interdependensi menganalisis komponen utama berbagai tipe/jenis hubungan, tidak terdapat variabel tak bebas atau variabel hasil/ prediktor. Semua variabel dan hubungannya dianggap terjadi secara simultan (Supranto, 2010)

(41)

informasi yang hampir sama besar dengan indikator asal. Variabel baru tidak saling berkorelasi yang diperlukan pada tahap penggerombolan.

Analisis gerombol/CA bertujuan untuk mengelompokkan n objek (desa/kelurahan) ke dalam k kelompok (prioritas) dengan k < n bedasarkan q komponen yang

diperoleh dalam PCA. Unit-unit objek dalam satu kelompok mempunyai sifat-sifat yang lebih mirip dibandingkan dengan unit objek lain yang terdapat dalam

kelompok yang berbeda. Pengelompokan pada umumnya didasarkan pada ukuran jarak sebagai ukuran kemiripan antar unit pengamatan. Cluster yang baik adalah yang mempunyai homogenitas (kesamaan) yang tinggi antar anggota dalam satu cluster dan mempunyai heterogenitas (perbedaan) yang tinggi antar cluster yang satu dengan cluster lainnya (Santoso, 2005).

(42)

2.1.5 Perencanaan Strategis

Strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan perusahaan (organisasi) dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang, program tindak lanjut serta prioritas alokasi sumberdaya. Proses analisis, perumusan dan evaluasi strategi disebut perencanaan strategis. Tujuan utama perencanaan strategis adalah agar organisasi dapat melihat secara objektif kondisi-kondisi internal dan eksternal, sehingga dapat mengantisipasi perubahan lingkungan eksternal (Rangkuti, 2014)

Perencanaan pangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012 dilakukan untuk merancang penyelenggaraan pangan ke arah

kedaulatan pangan, kemandirian pangan dan ketahanan pangan. Perencanaan pangan harus terintegrasi dalam rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan daerah (provinsi dan kabupaten/kota) serta dilaksanakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan melibatkan peran masyarakat.

Penguatan peran dan tanggung jawab pemerintah daerah, dilakukan melalui berbagai program dan kegiatan ketahanan pangan yang komprehensif dan berkesinambungan. Peran pemerintah daerah sangat penting dalam menurunkan proporsi rumah tangga rawan pangan dan prevalensi gizi buruk. Perwujudan ketahanan pangan nasional harus dimulai dengan penguatan ketahanan pangan daerah.

(43)

(weaknesses) dan ancaman (threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan organisasi, sehingga perencana strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis organisasi (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada pada saat ini. Hal ini disebut Analisis Situasi dengan model yang paling popular untuk analisis situasi adalah Analisis SWOT.

2.2. Penelitian Terdahulu

Mun’im (2012) meneliti pengaruh faktor ketersediaan, akses dan penyerapan pangan

terhadap ketahanan pangan di kabupaten surplus pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor ketersediaan pangan tidak memberikan pengaruh yang berarti terhadap ketahanan pangan di kabupaten surplus pangan. Faktor akses serta penyerapan pangan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap ketahanan pangan di kabupaten surplus pangan. Ketersediaan pangan yang berlebih di kabupaten surplus pangan, jika tidak diiringi dengan akses pangan yang memadai dan penyerapan pangan yang maksimal maka ditemukan kasus rawan pangan.

(44)

Menurut Khomsan, 1999 dalam Fathonah dan Prasodjo (2011) semakin tinggi pendidikan ayah dan ibu maka pendapatan rumah tangga juga akan semakin tinggi sehingga mereka memiliki daya beli pangan yang lebih besar. Tingkat pendidikan yang relatif rendah pada rumah tangga rawan pangan terkait erat dengan

kemiskinan. Kondisi kemiskinan tersebut, menyebabkan rumah tangga menghadapi keterbatasan pendapatan, sehingga sulit untuk memenuhi kebutuhan primer

(pangan), akibatnya pendidikan tidak menjadi prioritas.

Rosyadi dan Purnomo (2012) meneliti tingkat ketahanan pangan rumah tangga di desa tertinggal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi (share) pengeluaran rumah tangga di desa tertinggal untuk kebutuhan pangan jauh lebih tinggi dari pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan bahan bukan pangan. Berdasarkan komponen keterjangkauan pangan, masyarakat (rumah tangga) di daerah penelitian, masuk dalam kategori rentan terhadap pangan.

(45)

kebutuhan esensial bagi individu atau rumah tangga untuk dapat hidup sehat atau terhindar dari resiko rawan pangan.

Escamilla dan Correa (2008) mengkaji ukuran dan indikator kerawanan pangan. Penelitian ini menjelaskan bahwa terdapat berbagai tingkatan atau hirarki untuk menentukan ketahanan pangan, yaitu global, nasional, rumah tangga dan individu. Terdapat lima metode yang umum digunakan untuk menilai tingkat kerawanan pangan. Metode-metode tersebut antara lain : (1) metode FAO menggunakan indikator Neraca Bahan Makanan (NBM), variasi koefisien asupan energi, single cut-off point untuk mengukur populasi yang beresiko; (2) survai pengeluaran rumah tangga; (3) asupan makanan dengan indikator rekam makanan, FFQ selama 24 jam, tabel komposisi makanan, pengetahuan tentang gizi anjuran, periode waktu

referensi; (4) antropometri (berat, tinggi dan ukuran tubuh lainnya) dan; (5) ukuran fundamental, skala kerawanan pangan berdasarkan pengalaman. Setiap metode mempunyai kelebihan dan kekurangan atau dapat dijadikan pelengkap satu sama lain, tidak ada yang dianggap superior.

Kekurangan gizi merupakan kendala utama bagi pertumbuhan ekonomi, sosial dan perkembangan politik suatu negara. Hasil penelitian yang dilakukan Gallegos (2005), diperoleh indikator baru terkait ketahanan pangan yang merupakan turunan dari status gizi yaitu energy dimension (persentase karbohidrat, protein dan lemak), diversity dimension (keragaman pangan terhadap total pasokan energi dan kontribusi dari kelompok pangan utama) dan sanitary dimension (akses terhadap air bersih dan sanitasi).

(46)

pangan dan gizi, dengan menghubungkan interaksi kompleks dari faktor makro dan faktor mikro. Berdasarkan hasil kajian diketahui bahwa pada tingkat makro, penyebab kerawanan pangan dan kekurangan gizi adalah ketidakstabilan ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi yang lambat, tidak cukup alokasi atau inefisien anggaran untuk mencegah dan mengatasi kekurangan gizi, serta kegagalan institusi internasional dan nasional untuk memberikan perhatian yang lebih besar dalam mewujudkan ketahanan pangan dan gizi. Pada tingkat mikro, status gizi anggota rumah tangga terkait akses ekonomi dan fisik rumah tangga yang mempengaruhi kondisi kesehatan individu seperti kemiskinan, kekurangan gizi dan penyakit.

(47)

2.3. Kerangka Penelitian

Terdapat empat tahapan yang akan akan dilakukan dalam penelitian ini, antara lain : (1) mengukur tingkat ketahanan pangan rumah tangga berdasarkan klasifikasi silang antara ketercukupan energi dan pangsa pengeluaran pangan; (2) menganalisis sebaran desa/kelurahan yang tahan pangan dan rentan terhadap kerawanan pangan pada 251 desa/kelurahan yang terdapat di Kabupaten Lampung Selatan; (3) menentukan faktor penentu utama penyebab terjadinya kerentanan terhadap kerawanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan; dan (4) merumuskan strategi pembangunan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan.

Pengukuran tingkat ketahanan pangan rumah tangga menggunakan klasifikasi silang antara pangsa pengeluaran pangan dan kecukupan konsumsi energi. Data yang digunakan berupa data sekunder yang bersumber dari data KOR dan Modul

Konsumsi Survai Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2008, 2011 dan 2012. Berdasarkan hasil analisis, diketahui persentase rumah tangga yang tergolong rawan pangan, rentan pangan, kurang pangan dan tahan pangan.

(48)

Tabel 6. Variabel yang digunakan dalam Pemetaan Ketahanan Pangan di Kabupaten

% Penduduk hidup dibawah garis kemiskinan

% RT tanpa akses listrik

Jalan utama desa yang dapat dilalui kendaraan roda 4 atau lebih

X5 Jumlah kematian balita dan ibu melahirkan

Penyusunan strategi pembangunan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan menggunakan analisis SWOT. Rumusan strategi ditentukan berdasarkan hasil evaluasi faktor internal dan faktor eksternal dengan memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), tetapi secara bersamaan dapat

(49)

Pemetaan Ketahanan Pangan Pada 251 Desa/ Kelurahan di Kabupaten Lampung Selatan a. Ketersediaan pangan : jumlah penerima Raskin, jumlah warung/toko, luas sawah, jumlah lumbung pangan.

b. Akses pangan: persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, akses penghubung yang memadai, persentase rumah tangga tanpa akses listrik.

c. Pemanfaatan pangan: jumlah sarana/fasilitas kesehatan, jumlah penderita gizi buruk, jumlah kematian balita dan ibu melahirkan, jumlah sarana/fasilitas pendidikan.

Faktor Penentu Rumah Tangga dan Desa/Kelurahan Tahan Pangan dan

Rentan terhadap Kerawanan Pangan

Jumlah desa/kelurahan

- Prioritas 1 (sangat rentan rawan pangan) - Prioritas 2 (rentan rawan pangan)

(50)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Definisi Operasional

Definisi operasional peubah-peubah dan istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Ketersediaan energi tingkat konsumsi adalah jumlah ketersediaan energi tingkat konsumsi seluruh kelompok makanan di Kabupaten Lampung Selatan

2. Neraca Bahan Makanan merupakan tabel yang memberikan gambaran tentang situasi ketersediaan pangan untuk dikonsumsi penduduk Kabupaten Lampung Selatan dalam suatu kurun waktu tertentu.

3. Rumah tangga (RT) adalah seorang atau sekelompok orang di Kabupaten Lampung Selatan yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau bangunan sensus dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Makan dari satu dapur mempunyai makna bahwa mereka mengurus kebutuhan sehari-hari bersama menjadi satu.

4. Ketahanan pangan rumah tangga adalah terpenuhinya kebutuhan pangan bagi seluruh anggota rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, beragam, bergizi dan aman untuk dapat hidup sehat, produktif dan berkelanjutan.

(51)

6. Kecukupan energi adalah tingkat kecukupan energi yang dikonsumsi penduduk sesuai anjuran yang ditetapkan oleh WNPG tahun 2012.

7. Pengeluaran konsumsi rumah tangga sebulan adalah total nilai makanan dan bukan makanan (barang/jasa) yang diperoleh, dipakai atau dibayarkan rumah tangga sebulan untuk konsumsi rumah tangga, tidak termasuk untuk keperluan usaha rumah tangga atau yang diberikan kepada pihak/orang lain. Untuk konsumsi makanan, yang termasuk konsumsi rumah tangga adalah yang benar-benar telah dikonsumsi selama referensi waktu survai (consumption approach), sedangkan untuk konsumsi bukan makanan konsep yang dipakai pada umumnya adalah konsep penyerahan (delivery approach), yaitu dibeli/diperoleh dari pihak lain, asalkan tujuannya untuk kebutuhan rumah tangga. Data ini diperoleh dari data Susenas BPS Pusat.

8. Pendapatan per kapita diproksi dari pengeluaran per kapita di mana total pengeluaran rumah tangga dibagi jumlah anggota rumah tangga dalam ribuan rupiah. Data pendapatan per kapita diperoleh dari data Susenas BPS Pusat. 9. Rumah tangga tahan pangan merupakan rumah tangga di Kabupaten Lampung

Selatan dengan kecukupan energi >80 persen dari standar gizi yang dianjurkan dan pangsa pengeluaran pangan < 60 persen.

10.Rumah tangga rentan pangan merupakan rumah tangga di Kabupaten Lampung Selatan dengan kecukupan energi > 80 persen dari standar gizi yang dianjurkan dan pangsa pengeluaran pangan > 60 persen.

(52)

12.Rumah tangga rawan pangan merupakan rumah tangga dengan kecukupan energi < 80 persen dari standar gizi yang dianjurkan dan pangsa pengeluaran pangan > 60 persen.

13.Penduduk defisit energi adalah penduduk dengan tingkat konsumsi energi per kapita < 70% AKE.

14.Penduduk cukup energi adalah penduduk dengan tingkat konsumsi energi per kapita 70% - 89,99% AKE.

15.Penduduk baik energi adalah penduduk dengan tingkat konsumsi energi per kapita ≥ λ0% AKE.

16.Ketersediaan pangan adalah ketersediaan pangan secara fisik di Kabupaten Lampung Selatan dari segala sumber, baik produksi pangan domestik (netto), perdagangan pangan, cadangan pangan maupun bantuan pangan.

17.Jumlah warung atau toko kelontong (X1) adalah jumlah warung/toko kelontong tempat usaha untuk menjual barang keperluan sehari-hari secara eceran yang terdapat pada setiap desa/kelurahan di Kabupaten Lampung Selatan.

18.Jumlah penerima Raskin (X2) adalah jumlah Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat (RTS-PM) bantuan beras miskin dari pemerintah pada setiap desa/ kelurahan di Kabupaten Lampung Selatan.

19.Lahan Sawah (X3) adalah lahan atau tanah yang digarap dan diairi untuk tempat menanam padi baik sawah tadah hujan maupun sawah irigasi yang terdapat pada setiap desa/kelurahan di Kabupaten Lampung Selatan.

20.Lumbung pangan (X4) adalah tempat penyimpanan cadangan pangan

(53)

21.Akses pangan adalah kemampuan rumah tangga di Kabupaten Lampung Selatan untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, stok, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan.

22.Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan (X5) adalah data PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial) 2011 di bawah koordinasi TNP2K (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan) dengan menggunakan data SP (Sensus Penduduk) 2010 yang merupakan program pendataan 40 % rumah tangga golongan menengah ke bawah (secara nasional) yang terdapat di Kabupaten Lampung Selatan dan diambil 10 % terendah (desil 1) yang

digunakan sebagai indikator pemetaan ketahanan pangan kabupaten.

23.Persentase rumah tangga tanpa akses listrik (X6) adalah persentase rumah tangga di Kabupaten Lampung Selatan yang tidak memiliki akses terhadap listrik dari PLN dan/atau non PLN, misalnya generator.

24.Akses Penghubung yang memadai (X7) adalah jalan utama desa/kelurahan di Kabupaten Lampung Selatan yang dapat dilalui kendaraan bermotor roda 4 atau lebih:

- Sepanjang tahun

- Sepanjang tahun kecuali saat tertentu (ketika turun hujan, longsor, pasang, dll)

- Sepanjang tahun kecuali sepanjang musim hujan

- Tidak dapat dilalui kendaraan bermotor roda 4 atau lebih sepanjang tahun 25.Pemanfaatan pangan adalah kemampuan individu untuk menyerap zat gizi atau

pemanfaatan makanan secara efisien oleh tubuh.

(54)

sakit, rumah bersalin, poliklinik/balai pengobatan, puskesmas, puskesmas pembantu, tempat praktek dokter, tempat praktek bidan, Poskesdes (Pos Kesehatan Desa), Polindes (Pondok Bersalin Desa), Posyandu, apotek. 27.Penderita gizi buruk (X9) adalah keadaan kurang gizi tingkat berat pada bayi

dan balita di Kabupaten Lampung Selatan dengan tanda-tanda berat dan tinggi badan sangat kurang dan tidak sesuai umur, harus dinyatakan oleh tenaga medis. 28.Jumlah kematian balita dan ibu melahirkan (X10) adalah jumlah kematian warga di Kabupaten Lampung Selatan selama setahun terakhir, balita (usia dibawah 5 tahun) dan ibu pada masa kehamilan, persalinan atau nifas (40 hari) setelah persalinan.

29.Jumlah sarana pendidikan (X11) adalah jumlah lembaga pendidikan yang terdapat pada setiap desa/kelurahan di Kabupaten Lampung Selatan baik negeri maupun swasta antara lain TK/sederajat, SD/sederajat, SMP/sederajat,

SMU/sederajat, SMK/sederajat, Akademi/PT, SLB, Ponpes, MD, Seminari/sejenis.

30.Peta ketahanan pangan adalah gambaran konsep ketahanan pangan pada tingkat desa/kelurahan di Kabupaten Lampung Selatan berdasarkan tiga dimensi

ketahanan pangan (ketersediaan, akses dan pemanfaatan pangan) yang

mengambarkan daerah rentan rawan pangan (gradasi warna merah) dan daerah tahan pangan (gradasi warna hijau).

31.SWOT adalah suatu metode analisis perencanaan strategis yang didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang

(55)

32.Kekuatan yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan adalah potensi sumberdaya alam dan kewenangan pemerintah daerah yang dapat digunakan secara efektif untuk mewujudkan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan.

33.Kelemahan Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan adalah kualitas aparatur pemerintah, peran kelembagaan pemerintah, infrastruktur dan rendahnya penggunaan teknologi yang dapat menghambat perwujudan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan.

34.Peluang Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan adalah situasi yang mendukung dan menguntungkan dalam mewujudkan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan antara lain letak geografis yang strategis, peran kelembagaan masyarakat dan kebijakan/perhatian dari pemerintah pusat. 35.Ancaman bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan adalah situasi

yang tidak mendukung (hambatan, kendala atau berbagai unsur eksternal lainnya) yang potensial merusak strategi peningkatan ketahanan pangan di Kabupaten Lampung Selatan seperti tingkat kemiskinan, gizi buruk, perubahan iklim, ketidakseimbangan pertumbuhan permintaan terhadap kapasitas produksi pangan dan alih fungsi lahan.

3.2. Jenis dan Sumber Data

(56)

Data lainnya diperoleh dari Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan, antara lain dari Badan Ketahanan Pangan (BKP) Lampung Selatan, Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Lampung Selatan dan Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kabupaten Lampung Selatan.

Susenas merupakan survai yang dirancang untuk mengumpulkan data sosial kependudukan yang relatif sangat luas. Data yang dikumpulkan antara lain

menyangkut bidang-bidang pendidikan, kesehatan/gizi, perumahan, sosial ekonomi lainnya, kegiatan sosial budaya, konsumsi/pengeluaran dan pendapatan rumah tangga, perjalanan dan pendapat masyarakat mengenai kesejahteraan rumah tangganya. Data tentang pengeluaran konsumsi makanan mencakup total

pengeluaran konsumsi selama seminggu terakhir baik yang berasal dari pembelian (tunai/bon) dan juga yang berasal dari produksi sendiri, pemberian dan sebagainya. Rumah tangga yang mengkonsumsi makanan dari hasil tanaman di pekarangan rumahnya atau yang dikenal dengan subsistem agriculture telah tercakup disini.

Pendataan Potesi Desa (Podes) yang dilaksanakan oleh BPS memuat ketersediaan informasi sampai wilayah terkecil yang lengkap, akurat dan terkini untuk membuat formulasi kebijakan pembangunan yang tepat. Informasi yang disediakan dari data Podes dapat digunakan untuk memantau dan mengevaluasi kegiatan pembangunan di tingkat desa.

Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) dilakukan untuk menentukan persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan di Kabupaten Lampung Selatan yang dilaksanakan di bawah koordinasi Tim Nasional Percepatan

(57)

rumah tangga golongan menengah ke bawah dan diambil 10 % terendah (desil 1) berdasarkan data Sensus Penduduk 2010 (BKP, 2012).

Data lumbung pangan baik yang dibangun pemerintah maupun yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat diperoleh dari BKP Kabupaten Lampung Selatan. Data luas sawah pada setiap desa atau kelurahan baik yang dialiri irigasi teknis maupun tadah hujan diperoleh dari BP4K berdasarkan data Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP3K) setiap kecamatan. Data Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat (RTS-PM) bantuan beras bersubsidi (beras miskin) dari pemerintah diperoleh dari Bagian Perekonomian Sekretariat Daerah Kabupaten Lampung Selatan.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian

(58)

Tabel 7. Populasi dan sampel penelitian

Tujuan

Penelitian Unit Analisis Tahun

Jumlah Sampel/

Teknik analisis data merupakan cara menganalisis data penelitian, termasuk alat-alat statistik yang relevan untuk digunakan dalam penelitian. Jenis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif bertujuan untuk mempermudah penafsiran dan penjelasan dengan menganalisis tabel, grafik atau diagram. Analisis kualitatif ini digunakan sebagai pendukung untuk menambah dan mempertajam analisis yang dilakukan, membantu memahami masalah-masalah yang diteliti serta memberikan gambaran umum tentang suatu fenomena yang terjadi.

(59)

berdasarkan klasifikasi silang dua indikator yaitu kecukupan energi yang dikonsumsi dengan besarnya pangsa pengeluaran makanan. Analisis pemetaan ketahanan pangan menggunakan analisis komponen utama (Principal Component Analysis), analisis gerombol (Cluster Analysis). Penentuan strategi pembangunan ketahanan pangan menggunakan analisis SWOT.

3.4.1 Analisis Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Para ahli mendefinisikan ketahanan pangan rumah tangga dengan menggunakan berbagai macam indikator. Pada penelitian ini, ketahanan pangan rumah tangga diidentifikasi menggunakan dua indikator yaitu kecukupan energi yang dikonsumsi dan besarnya pangsa pengeluaran pangan berdasarkan klasifikasi silang yang digunakan Jonsson dan Toole dalamMaxwell et al. (2000). Pengukuran tingkat ketahanan pangan rumah tangga berdasarkan kecukupan energi dan pangsa pengeluaran pangan dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini.

Tabel 8. Pengukuran tingkat ketahanan pangan rumah tangga

Kecukupan energi Pangsa Pengeluaran Pangan Rendah < 60% Tinggi ≥ 60%

Cukup > 80%

Kurang ≤ 80%

Tahan Pangan (kategori 0) Kurang Pangan (kategori 2)

Rentan Pangan (kategori 1) Rawan Pangan (kategori 3)

(60)

Pangsa pengeluaran pangan penduduk diperoleh dengan menggunakan data di tingkat rumah tangga kemudian dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga. Perhitungan pangsa pengeluaran pangan pada berbagai kondisi, yaitu agregat, desa-kota dan berbagai kelompok pendapatan penduduk menggunakan formula berikut: PFt = PP t x 100 persen

TPt dimana:

PF = Pangsa pengeluaran pangan ( persen)

PPt = Pengeluaran untuk belanja pangan (Rp/bulan) TPt = Total pengeluaran (Rp/bulan)

Kecukupan energi dihitung berdasarkan konsumsi energi per unit ekivalen dewasa, dengan perhitungan konsumsi sebagai berikut :

KE = KErt/JUED dimana :

KE = Konsumsi energi per equivalen orang dewasa KErt = Konsumsi energi riil rumah tangga

JUED = Jumlah Unit Equivalen orang dewasa

(satu unit equivalen orang dewasa adalah equivalen dengan seorang pria yang berusia 20 - 45 tahun, dengan berat badan sekitar 62 kg dengan aktivitas sedang)

(61)

kapita perhari dengan proporsi anjuran protein hewani 25%. AKE dan AKP pada tingkat ketersediaan adalah 2400 kkal dan 63 g per kapita per hari.

Data yang digunakan untuk menganalisis pangsa pengeluaran pangan serta

kecukupan energi dan protein di Kabupaten Lampung Selatan bersumber dari data KOR (informasi umum) dan Modul (informasi khusus) Survai Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2008, 2011 dan 2012 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik. Jumlah rumah tangga sampel Susenas pada tahun 2008 adalah 32.351 rumah tangga, pada tahun 2011 turun menjadi 28.384 rumah tangga dan pada tahun 2012 meningkat kembali menjadi 29.698 rumah tangga. Alat analisis yang

digunakan untuk menentukan tingkat ketahanan pangan rumah tangga berdasarkan klasifikasi silang kecukupan kalori yang dikonsumsi dengan besarnya pangsa pengeluaran makanan adalah software SPSS.

3.4.2 Analisis Pemetaan Ketahanan Pangan

(62)

tinggal penduduk dalam jumlah yang cukup dan yang mungkin dijangkau oleh semua penduduk. Akses pangan mengacu pada kemampuan untuk memperoleh bahan pangan yang telah tersedia tersebut baik melalui media pertukaran (pasar) maupun melalui transfer (institusional). Pemanfaatan pangan mengacu pada proses alokasi dan pengolahan bahan pangan yang telah diperoleh (diakses) sehingga setiap individu memperoleh asupan pangan yang cukup.

Penggunaan banyak variabel (indikator) di atas, memerlukan teknik penggerombol-an, di mana desa-desa dalam satu gerombol memiliki karakteristik yang sama dibandingkan dengan desa-desa yang berada dalam gerombol lain. Ilmu statistik untuk kebutuhan analisis tersebut terdiri atas dua tahap yaitu Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis/PCA) dan Analisis Gerombol (Cluster Analysis) dengan menggunakan software minitab.

Analisis Komponen Utama/PCA adalah teknik yang digunakan untuk menyederha-nakan suatu data, dengan cara mentransformasi linier sehingga terbentuk sistem koordinat baru dengan varians maksimum. PCA dapat digunakan untuk mereduksi dimensi suatu data tanpa mengurangi karakteristik data tersebut secara signifikan atau mengekstrak satu set p variabel berkurang menjadi satu set m komponen atau faktor yang masih dapat menerangkan hampir semua keragaman (variance) informasi dalam p variabel atau mengurangi satu set p variabel menjadi satu set m

yang masih dapat menerangkan informasi yang dimiliki oleh variabel asalnya (Wuensch, 2005).

(63)

koordinat baru yang diperoleh dari rotasi sistem semula dengan X1, X2,….,Xp sebagai sumbu koordinat. Sumbu baru tersebut merupakan arah dengan variabilitas maksimum dan memberikan kovariansi yang lebih sederhana. PCA terkonsentrasi pada penjelasan struktur variansi dan kovariansi melalui suatu kombinasi linear variabel-variabel asal, dengan tujuan utama melakukan reduksi data dan membuat interpretasi. Analisis komponen utama lebih baik digunakan jika variabel-variabel asal saling berkorelasi.

Tujuan dari PCA adalah : (1) mereduksi data, khususnya peubah; dan (2) interpretasi, jika peubah asal yang diamati dinotasikan sebagai vektor X’ = (X1, X2....Xp) yang mengikuti sebaran peubah ganda tertentu dengan vektor nilai tengah

dan matriks ragam peragam dan matriks korelasi R, maka komponen utama ke j

atau (Yj) yang terbentuk merupakan kombinasi linear dari p peubah asal yang dinyatakan dalam bentuk persamaan:

Yj = a1jX1 + a2jX2 + ... + apjXp = aj X

Dimana ajadalah vektor ciri yang berpadanan dengan akar ciri ( j).

(64)

antara peubah asal dengan komponen utama. Jika yang digunakan adalah matriks korelasi,maka korelasi antara peubah Xi dengan komponen utama j,

Yj adalah : rij = ai

j

j adalah akar ciri pada komponen utama ke j dan ai adalah vaktor ciri ke i. Jika

yang digunakan matriks ragam peragam Ʃ, maka korelasinya adalah :

rij = ai

j var (xi)

Variabel (Xi) adalah ragam pada peubah asal Xi.

Sebelum melakukan proses analisis, dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui semua data telah terisi. Tahap selanjutnya, menyamakan persepsi indikator. Indikator yang disamakan persepsinya adalah indikator warung/toko kelontong, lahan pertanian sawah, lumbung pangan, sarana kesehatan dan sarana pendidikan. Kelima indikator ini memiliki perbedaan persepsi dengan enam indikator lainnya. Persepsi yang dipilih adalah semakin tinggi angka atau persentase suatu indikator, semakin buruk situasi ketahanan pangan masyarakat. Persepsi disamakan dengan cara menghitung rata-rata suatu indikator, kemudian dikurangi dengan data riilnya.

Tahap selanjutnya adalah melakukan standarisasi data indikator pemetaan ketahanan pangan menggunakan software minitab. Standarisasi bertujuan agar data setiap indikator bebas dari satuan yang berbeda-beda dan siap untuk dianalisis

menggunakan PCA. Berdasarkan hasil analisis PCA, dapat dikelompokan peubah-peubah penting untuk menduga fenomena, memahami stuktur dan melihat

(65)

Tahap kedua yaitu analisis gerombol/ cluster analysis/CA. CA termasuk pada

interdependence techniques. Tujuan utama analisis gerombol adalah mengelompok-kan obyek-obyek berdasarmengelompok-kan kesamaan karakteristik di antara obyek. Obyek-obyek tersebut diklasifikasikan dalam satu atau lebih gerombol (cluster) sehingga obyek-obyek yang berada dalam satu cluster mempunyai kemiripan satu dengan yang lain. Cluster yang baik adalah yang mempunyai homogenitas (kesamaan) yang tinggi antar anggota dalam satu cluster dan mempunyai heterogenitas (perbedaan) yang tinggi antar cluster yang satu dengan cluster lainnya

Penentuan jumlah cluster menggunakan metode Non hierarchical Method (K-Means Cluster), yaitu menentukan terlebih dahulu jumlah cluster yang diinginkan. Proses

clustering menggunakan Ward’s method, yaitujarak antar cluster ditentukan

berdasarkan jarak antar dua centroid cluster-cluster. Centroid adalah rata-rata jarak yang ada pada sebuah cluster yang didapat dengan melakukan rata-rata pada semua anggota suatu cluster. Setiap terjadi cluster baru, segera terjadi penghitungan ulang sampai terbentuk cluster yang tetap.

Pada analisis gerombol, diasumsikan bahwa sampel yang diambil benar-benar bisa mewakili populasi dan tidak ada multikolinieritas (kemungkinan adanya korelasi antar obyek) dan jika ada multikolinieritas besarnya di bawah 0,5. Data dalam analisis gerombol sangat bervariasi dalam satuan. Perbedaan satuan yang mencolok dapat menyebabkan bias dalam analisis, oleh karena itu data asli harus

ditransformasi (standarisasi) sebelum dianalisis ke dalam bentuk z score.

Gambar

Gambar                                                                                                         Halaman
Tabel 1. Persentase angka rawan pangan di Indonesia tahun 2008-2011
Gambar 1. Kerangka konsep ketahanan pangan dan gizi (DKP, 2009)
Gambar 2. Peta Kerentanan Terhadap Kerawanan Pangan Indonesia 2009 (DKP, 2009)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Indikator yang digunakan untuk mengetahui kondisi ketahanan pangan adalah dengan mengetahui rasio konsumsi normatif terhadap ketersediaan, jumlah penduduk hidup dibawah

Untuk mewujudkan ketahanan pangan suatu wilayah diperlukan kebijakan pemerintah yang lebih berpihak kepada petani. Pencapaian tersebut dapat terlaksana bila didukung juga

Sebanyak 136 program pada renstra yang telah ditetapkan dinilai mendukung pemba- ngunan ketahanan pangan, meskipun renstra dinas yang secara langsung berkaitan dengan

Penelitian ini mengikuti pedoman dari A Food Security and Vulnerability Atlasof Indonesia tahun2009, untuk mengukur ketahanan pangan, yang dalam hal ini digunakan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pangan menyatakan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan,

• Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,

Selanjutnya secara lebih mendalam, pemetaan ketahanan dan kerentanan pangan Kabupaten Sukabumi akan diproyeksikan berdasarkan Peta Food Security and Vulnerability Atlas

Hasil peneli- tian dari metode TOPSIS berupa data perangkingan alternatif dimensi ketahanan pangan pada keca- matan dan peta Web GIS sesuai dengan beberapa variabel yaitu prasarana