ABSTRAK
ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi Putusan PN Nomor : 195/PID.B/2012/PN.GS)
Oleh
Aisha Andiarina Pusparita Habsari Rizal
Kekerasan dalam Rumah Tangga sesuai dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Hakim dalam mempertimbangkan vonis hukuman melihat beberapa faktor yang ada dalam masyarakat. Berdasarkan latar belakang tersebut yang menjadi pokok permasalahan adalah bagaimanakah pertimbangan hakim dalam menjatuhkan vonis pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (studi putusan nomor : 195/PID.B/2012/PN.GS) dan bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (studi putusan nomor : 195/PID.B/2012/PN.GS).
Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder yang bersumber dari penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan. Data kemudian diolah dengan cara seleksi data, klasifikasi, dan penyusunan data. Kemudian data disusun secara sistematis dan dianalisis secara kualitatif.
yang berhubungan dengan kasus. Putusan hakim mempunyai posisi yang sentral karena putusan tersebut mempunyai konsekuensi yang luas, baik bagi pelaku maupun masyarakat.
Saran dalam penelitian ini adalah diharapkan agar hukuman yang diberikan kepada pelaku tepat dan dapat mencapai keadilan dan diharapkan dapat mengurangi kejahatan yang ada. Hakim dalam memutus suatu perkara harus senantiasa mempertimbangkan segala unsur yang ada. Putusan harus dibuat secara adil baik bagi pelaku maupun korban, agar tidak ada kontroversi yang terjadi dalam masyarakat. Menurut penulis, hakim harus mempertimbangkan sanksi berupa tindakan dibandingkan sanksi pidana karena sanksi pidana dapat merusak keutuhan rumah tangga mengingat terdakwa dan korban setelah adanya putusan ini berdamai. Pemberian putusan terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga harus mempertimbangkan masa depan kehidupan keluarga dari terdakwa.
ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi Putusan Nomor : 195/PID.B/2012/PN.GS)
Oleh
Aisha Andiarina Pusparita Habsari Rizal
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi Putusan Nomor : 195/PID.B/2012/PN.GS)
(Skripsi)
Oleh
Aisha Andiarina Pusparita Habsari Rizal
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR ISI
Halaman I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ... 1
B. Pemasalahan dan Ruang Lingkup ... 8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 9
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10
E. Sistematika Penulisan ... 15
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Pertimbangan Hakim ... 17
B. Pertanggungjawaban Pidana ……….25
C. Tinjauan Umum Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga ………...32
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 42
B. Sumber dan Jenis Data ... 43
C. Penentuan Narasumber ... 45
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 45
E. Analisis Data ... 47
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Narasumber ... 48
D. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Kekerasan Dalam
Rumah Tangga ... 60
V. PENUTUP
A. Kesimpulan ... 65 B. Saran ... 67 DAFTAR PUSATAKA
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang
No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga,
memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.1 Menurut Kalyana Mitra, aktifis perempuan dan anak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah perubahan fisik , lingkungan dan kata-kata yang terjadi ditempat dimana seseorang seharusnya bisa merasa aman yaitu rumah.2
Komisi Nasional Anti kekerasan terhadap Perempuan menjelaskan, hingga saat ini
Indonesia belum mempunyai statistika nasional untuk tindak pidana KDRT.
Pencatatan kasus KDRT dapat ditelusuri dari sejumlah institusi yang layanannya
terkait sebagaimana diatur dalam UU Penghapusan KDRT dan Peraturan
1
Redaksi Sinar Grafika. UU RI No. 23 TH 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sinar Grafika. Jakarta. 2005.
2
Pemerintah No 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan
Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau disebut Komnas Perempuan, mencatat bahwa selalu terjadi peningkatan terhadap kasus KDRT, dapat dilihat pada tabel berikut3 :
Tahun Kasus Presentasi
2001 3.164 43%
2002 5.163 61%
2003 7.787 66%
2004 14.020 56%
2005 20.391 69%
Latar belakang terjadinya KDRT ini akibat pengaruh sosial budaya dalam
masyarakat yang menempatkan perempuan dan anak berada dalam kondisi yang
marginal, dan ketidak berdayaan. Hal ini menyebabkan mereka rentan terhadap
hal tersebut termasuk kekerasan. Kekerasan Dalam Rumah Tangga meliputi
berbagai bentuk secara fisik, ekonomi, psikis, termasuk perkosaan, pemukulan
terhadap istri dan penyiksaan anak-anak.
Perkembangan dewasa ini menunjukkan bahwa tindak kekerasan fisik, psikis,
seksual dan penelantaran dalam rumah tangga pada kenyataannya sering terjadi
sehingga dibutuhkan perangkat hukum yang memadai untuk menghapus
3
kekerasan dalam rumah tangga. Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
ini bertujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga,
melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan
dalam rumah tangga dan memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan
sejahtera.
Pada tanggal 22 September 2004, Pemerintah Indonesia telah mengesahkan
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
Undang-Undang ini disahkannya untuk memberikan perlindungan secara
menyeluruh, meliputi jaminan perlindungan hukum dan pemulihan korban.
Khusus untuk pemulihan korban, pada Pasal 43 UU PKDRT disebutkan tentang
kewajiban pemerintah untuk membuat Peraturan Pemerintah yang mengatur
tentang pelayanan bagi pemulihan korban, maka kemudian pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 04 tahun 2006 tentang
Penyelenggaraan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.
Berikut adalah tentang kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga4 :
1. Kekerasan Fisik Berat, berupa penganiayaan berat seperti menendang,
memukul menyundut, melakukan percobaan pembunuhan atau pembunuhan
dan semua perbuatan lain yang dapat mengakibatkan :
a. Cedera berat
b. Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari
c. Pingsan
4
d. Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati
e. Kehilangan salah satu panca indera
f. Mendapat cacat
g. Menderita lumpuh
h. Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih
i. Gugur atau matinya kandungan seseorang perempuan
j. Kematian korban.
2. Kekerasan fisik ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong, dan
perbuatan lainnya yang mengakibatkan :
a. Cedera ringan
b. Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat
c. Melakukan reptisi kekerasan fisik ringan dapat dimasukkan kedalam jenis kekerasan berat.
Salah satu contoh kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah yang terjadi
pada Tanggal 8 September 2012 hakim telah memutuskan, menjatuhkan pidana
terhadap terdakwa tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yaitu penjara
selama 7 bulan dan terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp 2.000,- (dua
ribu rupiah). Terdakwa Bayu Samudra melakukan tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga pada hari Selasa tanggal 1 Mei 2012 pukul 13.30 di warung BU
GENDUT di Lampung Tengah. Bayu Samudra meludahi istrinya Wilisa Indriani,
lalu menjambak rambut dan meninju hidung istrinya sebanyak 2 kali. Akibatnya
hidung istri dari pelaku tersebut mengeluarkan darah. Akibat lain yang
Hakim dalam memutus suatu perkara mempunyai kewenangan penuh dalam
menjatuhkan sanksi pidana kepada terdakwa. Keputusan yang diambil oleh hakim
disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan dan untuk mencapai keadilan
yang seadil-adilnya. Putusan Hakim berdasarkan putusan yuridis maupun hati
nurani dari hakim itu sendiri. Banyak masyarakat awam yang bingung dengan
putusan yang diberikan oleh hakim tersebut.
Dalam hal ini, perkara pidana no : 195/PID.B/2012/PN.GS., hakim menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Bayu Samudra Bin Kusnaedi dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan dan dikurangkan dengan masa tahanan yang telah dijalankan dan membayar biaya perkara sebesar Rp 2.000,- (dua ribu rupiah).
Tindakan ini sesuai dengan Pasal 44 Ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Hal ini didakwakan dalam
dakwaan PRIMAIR.
Hukuman yang dijatuhkan kepada Terdakwa relatif ringan jika dibandingkan
dengan UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga. Pidana maksimal yang tercantum dalam UU No 23 Tahun 2004 adalah 5
tahun, sedangkan pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa hanya 7 bulan dan
dikurangi dengan hukuman yang telah dijalani selama masa penyidikan.
Putusan hakim memang tetap dituntut oleh masyarakat untuk berlaku adil, namun
sebagai manusia juga hakim dalam putusannya tidaklah mungkin memuaskan
semua pihak, tetapi walaupun begitu hakim tetap diharapkan menghasilkan
putusan yang seadil-adilnya sesuai fakta-fakta hukum di dalam persidangan yang
didasari pada aturan dasar hukum yang jelas (azas legalitas) dan disertai dengan
hati nurani hakim.
Bahkan hakim juga disebut sebagai wakil Tuhan di dunia dalam arti harus
tercermin dalam putusan perkara yang sedang ditanganinya, maka sebagai seorang
hakim tidak perlu ragu, melainkan tetap tegak dalam garis kebenaran dan tidak
berpihak (imparsial), namun putusan hakim juga paling tidak dapat dilaksanakan
oleh pencari keadilan atau tidak hanya sekedar putusan yang tidak bisa
dilaksanakan.
Putusan hakim adalah merupakan hasil (output) dari kewenangan mengadili setiap
perkara yang ditangani dan didasari pada Surat Dakwaan dan fakta-fakta yang
terungkap dipersidangan dan dihubungkan dengan penerapan dasar hukum yang
jelas, termasuk didalamnya berat ringannya penerapan pidana penjara (pidana
perampasan kemerdekaan), hal ini sesuai azas hukum pidana yaitu azas legalitas
yang diatur pada pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu Hukum Pidana harus bersumber
pada Undang-Undang artinya pemidanaan haruslah berdasarkan Undang-Undang.
Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
Berdasarkan hasil uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti dan menulis
dalam bentuk skripi dengan judul “Analisis Putusan Hakim Dalam Tindak
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (studi putusan PN nomor : 195/PID.B/2012/PN.GS)?
b. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam menjatuhkan vonis pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (studi putusan PN nomor : 195/PID.B/2012/PN.GS)?
2. Ruang Lingkup
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian :
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga pada Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor : 195/PID.B/2012/PN.GS.
b. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (studi putusan PN nomor : 195/PID.B/2012/PN.GS).
2. Kegunaan Penelitian :
Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan bermanfaat dalam pengembangan ilmu hukum pidana khususnya dalam penanganan kasus kekerasan dalam rumah tangga.
b. Kegunaan Praktis
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi landasan, acuan, dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan.5
Sebagai dasar untuk membahas permasalahan pertama dalam skripsi ini, digunakan teori penjatuhan putusan hakim. Suatu perkara tindak pidana yang telah masuk ke Pengadilan akan diputus oleh hakim. Dalam memutus putusan, ada beberapa teori yang digunakan oleh hakim tersebut. Menurut Mackenzie, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:6
1. Teori Keseimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan disini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara.
2. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi
Pejatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan, hakim akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana atau dalam perkara perdata, hakim akan melihat keadaan pihak yang berperkara,
5
Abdulkadir Muhammad. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandar Lampung. 2004. Hal 73. 6
yaitu penggugat dan tergugat, dalam perkara perdata, pihak terdakwa atau Penuntut Umum dalam perkara pidana. Penjatuhan putusan, hakim mempergunakan pendekatan seni, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi daripada pengetahuan dari hakim.
3. Teori Pendekatan Keilmuwan
Titik tolak dari ilmu ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim.
4. Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari.
5. Teori Ratio Decindendi
6. Teori Kebijaksanaan
Aspek teori ini menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut bertanggung jawab untuk membimbing, membina, mendidik dan melindungi anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bangsanya.
Dalam memutus suatu perkara pidana, seorang hakim harus memutus dengan seadil-adilnya dan harus sesuai dengan aturan yang berlaku. Menurut Van Apeldoorn, hakim haruslah:7
1. Menyesuaikan undang-undang dengan faktor-faktor konkrit, kejadian-kejadian konkrit dalam masyarakat
2. Menambah Undang-Undang apabila perlu.
Suatu perbuatan dapat dikatakan tindak pidana apabila telah memenuhi unsur-unsur menurut undang-undang. Menurut Pasal 1 Ayat (1) KUHP, “suatu perbuatan tidak boleh dihukum, melainkan atas kekuatan aturan hukuman dalam undang-undang yang diadakan lebih dahulu daripada perbuatan itu”.
Untuk menjawab permasalahan kedua dalam penulisan skripsi ini, berkaitan dengan teori pertanggungjawaban pidana sebagaimana dikatakan bahwa orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut dengan pidana, apabila ia mempunyai kesalahan. Seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan, dilihat dari segi masyarakat
7
menunjukkan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan oleh orang tersebut8.
Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), artinya seseorang yang melakukan kesalahan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya didepan hukum9. Pertanggungjawaban pidana ini menuntut adanya kemampuan bertanggung jawab pelaku. Kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan normal dan kematangan psikis seseorang yang membawa tiga macam kemampuan yaitu untuk memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri, menyadari bahwa perbuatan itu tidak dibenarkan atau dilarang masyarakat, dan menentukan kemampuan atau kecakapan terhadap perbuatan tersebut.
Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan seseorang dapat tidaknya ia dipidana harus memenuhi rumusan sebagai berikut10 :
1. Adanya perbuatan yang disengaja 2. Pelaku harus mampu bertanggung jawab
3. Bahwa pelaku insaf atas perbuatan yang dilakukan 4. Tidak ada alasan pemaaf
8
Chairul Huda. “Dari ‘Tindak Pidana Tanpa Kesalahan’ menuju kepada ‘Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’; Tinjauan Krisis Terhadap Teori Pemisahan
Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Pranada Media. Jakarta. 2006. Hal 74. 9
Barda Nawawi Arif. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. 2003. Hal 35
10
2. Konseptual
Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau akan diteliti.11
Definisi yang berkaitan dengan judul penulisan ini dapat diartikan sebagai berikut, diantaranya adalah :
a. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.12
b. Dasar Pertimbangan Hakim adalah bukti formil serta suatu keyakinan hakim yang menjadi dasar dalam pengambilan sebuah keputusan pengadilan.13
c. Putusan Pidana adalah perwujudan pidana dalam bentuk konkrit.14
d. Pelaku adalah orang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan pelaku utama dalam perubahan situasi tertentu.15 Pelaku dapat diartikan mereka yang melakukan dan yang turut serta melakukan perbuatan.16
e. Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
11
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. 1986. Hal 132. 12
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1997. Hal 50
13Masruchin Ruba’i. Mengenal Pidana dan Pemidanaan di Indonesia. IKIP Malang. Malang. 1994. Hal 63
14
Ibid. Hal 64 15
Lamintang, P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1996. Hal 594.
16
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
f. Pertanggungjawaban pidana adalah kemampuan bertanggung jawab seseorang
terhadap kesalahan seseorang telah melakukan atau tidak melakukan
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan tidak dibenarkan
oleh masyarakat17.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan memuat uraian keseluruhan yang akan disajikan dengan tujuan mempermudah pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan.
Sistematikanya sebagai berikut :
I. PENDAHULUAN
Merupakan bab yang menguraikan latar belakang, masalah dan ruang lingkup tujuan dan kegunaan, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Merupakan bab pengantar yang menguraikan tentang pengertian-pengertian umum dari pokok bahasan yang memuat tinjauan mengenai dasar pertimbangan hakim, tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, sanksi pidana dalam kekerasan dalam rumah tangga dan teori pemidanaan dalam kekerasan dalam rumah tangga.
17
III. METODE PENELITIAN
Merupakan bab yang membahas tentang metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini yang meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data yang di dapat.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Merupakan penjelasan dan pembahasan yang mengemukakan hasil penelitian mengenai beberapa penerapan hukum terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, faktor-faktor yang mempengaruhi seorang hakim dalam memutus perkara kekerasan dalam rumah tangga, serta bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan salam rumah tangga putusan PN Nomor : 195/PID.B/2012/PN.GS tentang kekerasan dalam rumah tangga.
V. PENUTUP
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Dasar Pertimbangan Hakim
Putusan hakim merupakan puncak klimaks dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh seorang hakim. Hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut :1
1. Keputusan mengenai peristiwanya, apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya.
2. Keputusan mengenai hukumnya, apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana.
3. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana.
Peraturan perundang-undangan Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 8 Ayat (1) menyebutkan : “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan dan menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.
1
Pasal 1 butir 11 KUHAP menyebutkan bahwa, putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dimuka sidang yang terbuka untuk umum.2 Syarat sah nya suatu putusan hakim mencakup dua hal yaitu memuat hal-hal yang diwajibkan dan diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum. Hal itu harus dipenuhi oleh hakim dalam setiap proses pengambilan keputusan. Putusan pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat 1 KUHAP yang menentukan “jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Seorang hakim haruslah independen, tidak memihak kepada siapapun juga, dalam persidangan semuanya diperlakukan sama.
UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tugas Hakim untuk mengadili perkara berdimensi menegakkan keadilan dan menegakkan hukum. Hakim dalam melaksanakan tugasnya harus bebas dan tidak boleh terpengaruh atau memihak kepada siapapun. Jaminan kebebasan ini juga diatur dalam berbagai peraturan, yaitu dalam Pasal 24 UUD Negara RI Tahun 1945, yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
2
Teori dasar pertimbangan hakim, yaitu putusan hakim yang baik, dan sempurna hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan 4 kriteria dasar pertanyaan (the four way test) berupa3 :
1. Benarkah putusanku ini?
2. Jujurkah aku dalam mengambil keputusan? 3. Adilkah bagi pihak-pihak putusan?
4. Bermanfaatkah putusanku ini?
Pedoman pemberian pidana (strafftoemeting-leidraad) akan memudahkan hakim dalam menetapkan pemidanaannya, setelah terbukti bahwa tertuduh telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Dalam daftar tersebut dimuat hal-hal bersifat subjektif yang menyangkut hal-hal yang diluar pembuat. Dengan memperhatikan butir-butir tersebut diharapkan penjatuhan pidana lebih proporsional dan lebih dipahami mengapa pidananya seperti yang dijatuhkan itu.4
Kebebasan hakim menjatuhkan putusan dalam proses peradilan pidana terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU Nomor 48 tahun 2009 tentang Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan :
Ayat (1) : Dalam menjatuhkan tugas dan fungsinya, hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.
Ayat (2) : Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UUD Kesatuan RI Tahun 1945.
3
Lilik Mulyadi. Kekuasaan Kehakiman. Bina Ilmu. Surabaya. 2007. Hal 136 4
Isi pasal tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 5 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 tentang Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan : “Hakim
dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Segala keputusan pengadilan selain harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk menggali, kaedah hukum yang hidup dan berkembang didalam masyarakat. Putusan pengadilan merupakan tanggung jawab hakim dalam melaksanakan tugasnya, untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya dimana pertanggungjawaban tersebut tidak hanya dijatuhkan kepada hukum, dirinya sendiri ataupun masyarakat luas, tetapi yang lebih penting lagi itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Proses atau tahapan penjatuhan putusan oleh hakim, dalam perkara pidana, menurut Moeljatno, dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu 5
1. Tahap Menganalisis Perbuatan Pidana
Pada saat hakim menganalisis, apakah terdakwa melakukan perbuatan pidana atau tidak, yang dipandang primer adalah segi masyarakat, yaitu perbuatan tersebut sebagai dalam rumusan suatu aturan pidana.
5
2. Tahap Menganalisis Tanggungjawab Pidana
Jika seorang terdakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan pidana melanggar suatu pasal tertentu, hakim menganalisis apakah terdakwa dapat dinyatakan bertanggung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukannya.
3. Tahap Penentuan Pemidanaan
Hakim akan menjatuhkan pidana bila unsur-unsur telah terpenuhi dengan melihat pasal Undang-Undang yang dilanggar oleh Pelaku. Dengan dijatuhkannya pidana, Pelaku sudah jelas sebagai Terdakwa.
Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, Hakim dalam menjatuhkan putusan dalam persidangan dapat melihat alat bukti yang sah, yaitu :
1. Surat 2. Petunjuk
3. Keterangan terdakwa 4. Keterangan Saksi 5. Keterangan Ahli
Putusan hakim juga berpedoman pada 3 (tiga) hal6 yaitu : 1. Unsur Yuridis, yang merupakan unsur pertama dan utama, 2. Unsur Filosofis, berintikan kebenaran dan keadilan,
3. Unsur Sosiologis, yaitu mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.
6
Hakim dalam menjatuhkan putusan mempertimbangkan hal-hal berikut :
a. Faktor Yuridis, yaitu Undang-Undang dan Teori-teori yang berkaitan dengan kasus atau perkara.
b. Faktor Non Yuridis, yaitu melihat dari lingkungan dan berdasarkan hati nurani dari hakim itu sendiri.
Hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman yang lebih rendah dari batas minimal dan juga hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman yang lebih tinggi dari batas maksimal hukuman yang telah ditentukan Undang-Undang.7 Dalam memutus putusan, ada beberapa teori yang digunakan oleh hakim tersebut. Menurut Mackenzie, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:8
1. Teori Keseimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan disini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara.
2. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi
Pejatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan, hakim akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukuman yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana atau dalam perkara perdata, hakim akan melihat keadaan pihak yang berperkara, yaitu penggugat dan tergugat, dalam perkara perdata, pihak terdakwa atau
7
Ibid. Diakses Pada 12 Juli 2013. Pukul 20.00 8
Penuntut Umum dalam perkara pidana. Penjatuhan putusan, hakim mempergunakan pendekatan seni, lebih ditentukan oleh instink atau intuisi daripada pengetahuan dari hakim.
3. Teori Pendekatan Keilmuwan
Titik tolak dari ilmu ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim.
4. Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari.
5. Teori Ratio Decindendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.
6. Teori Kebijaksanaan
melindungi terdakwa, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat dan bangsanya.
Dalam memutus suatu perkara pidana, seorang hakim harus memutus dengan seadil-adilnya dan harus sesuai dengan aturan yang berlaku. Menurut Van Apeldoorn, hakim haruslah:9
1. Menyesuaikan undang-undang dengan faktor-faktor konkrit, kejadian-kejadian konkrit dalam masyarakat
2. Menambah Undang-Undang apabila perlu.
Kebebasan hakim mutlak dibutuhkan terutama untuk menjamin keobjektifan hakim dalam mengambil keputusan. Menurut Soedarto, hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut :
1. Keputusan mengenai peristiwanya, yaitu apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya,
2. Keputusan mengenai hukumnya, yaitu apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana,
3. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa dapat dipidana.
Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, dimana dalam perkara pidana hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif (negative wetterlijke), yang pada prinsipnya menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah
9
terbukti, disamping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik.
B. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana adalah kemampuan bertanggung jawab seseorang
terhadap kesalahan seseorang telah melakukan atau tidak melakukan
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan tidak dibenarkan oleh
masyarakat10. Unsur-unsur yang mengakibatkan dipidananya seorang terdakwa
adalah mampu bertanggung jawab, dan syarat seorang terdakwa mampu
bertanggung jawab adalah faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal yaitu
dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan
yang tidak diperbolehkan. Faktor kehendak yaitu menyesuaikan tingkah lakunya
dengan keinsyafan atas mana diperbolehkan dan yang tidak11.
Pertanggungjawaban pidana berdasarkan hukum pidana negara-negara yang menganut “common law system”, pada prinsipnya tidak memliki perbedaan yang fundamental dengan “civil law system”. Hukum pidana Inggris mensyaratkan bahwa “pada prinsipnya setiap orang yang melakukan kejahatan dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, kecuali ada sebab-sebab yang meniadakan penghapusan pertanggungjawaban yang bersangkutan (exemptions from liability)”12.
10
Tri Andrisman. Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Lampung. Bandar Lampung. 2006. Hal 103
11
Roeslan Saleh. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Askara Baru. Jakarta. 1999. Hal 84
12
Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan pidana atau tindak pidana13. Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak14.
Bentuk-bentuk kesalahan dalam ajaran hukum pidana adalah sebagai berikut : a. Kesengajaan (dolus)
KUHP tidak memberikan definisi tentang arti kesengajan. Menurut Andi Hamzah15, sebagai kebiasaan dalam mencari arti sesuatu istilah hukum orang menengok ke penafsiran otentik atau penafsiran pada waktu UU yang bersangkutan disusun, dalam hal ini (Memory van Toelichting). Dengan sendirinya memorie penjelasan MvT Belanda tahun 1886 yang juga mempunyai arti bagi KUHP Indonesia, karena yang tersebut terakhir bersumber pada yang tersebut pertama. Menurut penjelasan tersebut, “sengaja”
(opzet) berarti ‘de (bewuste) richting van den wil op een bepaald misdriff (kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu). Menurut penjelasan tersebut “sengaja” sama dengan willens en watens
(dikehendaki dan diketahui).
13
Roeslan Saleh. Pikiran-Pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. 1983. Hal 75
14
http://saifudiendjsh.blogspot.com/2009/08/pertanggungjawaban-pidana.html. diakses pada tanggal 12 November 2013. Pukul 20.08
15
b. Kelalaian (culpa)
Selain sikap batin yang berupa kesengajaan ada pula sikap batin yang berupa kelalaian (culpa). Seperti halnya kesengajaan, KUHP juga tidak mendefinisikan secara pasti tentang pengertian kelalaian. Jadi dapat dikatakan kelalaian timnul karena seseorang itu alfa, sembrono, teledor, berbuat kurang hati-hati atau kurang menduga16. Memorie penjelasan (Memorie van Toelicting) mengatakan, bahwa kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan. Bagaimanapun culpa itu dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja. Oleh karena itu Hazewinkel-Suringa mengatakan bahwa delik culpa itu merupakan delik semu (quasidelicht) sehingga diadakan pengurangan pidana. Bahwa culpa itu terletak antara sengaja dan kebetulan dikenal pula di negara-negara Anglo-saxon yang disebut per infortuninum the killing occurated accidently. Dalam memory Jawaban pemerintah (MvA) mengatakan bahwa siapa yang melakukan kejahatan dengan sengaja berarti mempergunakan salah kemampuannya sedangkan siapa karena salahnya (culpa) melakukan kejahatan berarti tidak mempergunakan kemampuannya yang ia harus mempergunakan17.
Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana tidak bisa dilepaskan dari tindak pidana. Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan untuk dipidana, apabila telah melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum
16
Soedarto. 1986. Hukum Dan Hukum Pidana. Cet 4 alumni. Andung. Hal 123
17
pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.
Pertanggungjawaban termasuk unsur kesalahan (schuld) karena untuk dapat dipidana perlu adanya kesalahan, hal tersebut sesuai dengan asas dalam hukum pidana yaitu tidak dapat dipidana jika tidak ada kesalahan, sedangkan kesalahan bukanlah sudut pengertian normatif. Perbuatan pidana yaitu kelakuan dan akibat, yang lazim disebut dengan actus reus, sedangkan unsur pertanggungjawaban pidana adalah bentuk-bentuk kesalahan yang terdiri dari kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) serta tidak adanya alasan pemaaf18
Tidaklah ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidak bersifat melawan hukum, maka lebih lanjut dapat pula dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka terdakwa haruslah19 :
1. Melakukan perbuatan pidana 2. Mampu bertanggung jawab
3. Dengan kesengajaan atau kealpaan 4. Tidak adanya alasan pemaaf
18
Moeljatno. Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana. Bina Aksara. Jakarta. 1983. Hal 189
19
Seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab apabila memenuhi 3 (tiga) syarat20, yaitu :
1. Dapat menginsyafi makna dari perbuatannya
2. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat
3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendak dalam melakukan perbuatan
Suatu perbuatan dikatakan telah melanggar hukum, dan dapat dikenakan sanksi pidana maka harus dipenuhi dua unsur yakni adanya unsur perbuatan pidana (actus reus) dan keadaan sifat batin pembuat (mens rea). Kesalahan (schuld) merupakan unsur pembuat delik, jadi termasuk unsur pertanggungjawaban pidana yang mana terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Dalam hal kesalahan tidak terbukti, berarti bahwa perbuatan pidana (actus reus) sebenarnya telah terbukti, karena tidak mungkin hakim akan membuktikan adanya kesalahan jika ia telah mengetahui lebih dahulu bahwa perbuatan pidana tidak ada atau tidak terbukti diwujudkan oleh terdakwa21.
Teori pertanggungjawaban pidana sebagaimana dikatakan bahwa orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut dengan pidana, apabila ia mempunyai kesalahan. Seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan, dilihat dari segi masyarakat
20
Roeslan Saleh. Ibid. Hal 80 21
menunjukkan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan oleh orang tersebut22.
Dipidananya seseorang tidak cukup jika seseorang telah memenuhi unsur tindak pidana saja. Meskipun telah melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana dan bersifat melawan hukum (formil, materiil), serta tidak ada alasan pembenar, hal tersebut belum memenuhi syarat bahwa orang yang melakukan tindak pidana harus mempunyai kesalahan23.
Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), artinya seseorang yang melakukan kesalahan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya didepan hukum24. Pertanggungjawaban pidana ini menuntut adanya kemampuan bertanggung jawab pelaku. Kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan normal dan kematangan psikis seseorang yang membawa tiga macam kemampuan yaitu untuk memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri, menyadari bahwa perbuatan itu tidak dibenarkan atau dilarang masyarakat, dan menentukan kemampuan atau kecakapan terhadap perbuatan tersebut.
Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan seseorang dapat tidaknya ia dipidana harus memenuhi rumusan sebagai berikut25 :
1. Adanya perbuatan yang disengaja 2. Pelaku harus mampu bertanggung jawab
22
Chairul Huda. “Dari ‘Tindak Pidana Tanpa Kesalahan’ menuju kepada ‘Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’; Tinjauan Krisis Terhadap Teori Pemisahan
Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Pranada Media. Jakarta. 2006. Hal 74. 23
Chairul Huda. Ibid. Hal 75 24
Barda Nawawi Arif. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. 2003. Hal 35
25
3. Bahwa pelaku insaf atas perbuatan yang dilakukan 4. Tidak ada alasan pemaaf
Unsur-unsur pidana sebagai dasar pertanggungjawaban merupakan kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungan dengan kelakuannya yang dapat dipidana dan berdasarkan kejiwaannya pelaku dapat dicela karena kelakuannya. Dengan kata lain, hanya dengan perbuatan yang dilarang tersebut dapat dipertanggungjawabkan si Pelaku, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat 1 KUHP yaitu: “Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”.
C. Tinjauan Umum Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga26. Kekerasan dalam rumah tangga secara keseluruhan diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga bukan hanya urusan rumah tangga atau urusan domestik saja namun hal ini diatur oleh suatu Undang-Undang karena pada dasarnya keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga. Ketika terjadi hal-hal yang tidak diinginan dalam rumah tangga, misalnya terjadi kekerasan maka perlu ada yang melindungi korban atau mencegahnya dan menindak pelakunya. Karena itu negara harus ikut campur dalam masalah ini, karena negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga adalah pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Adapun batasan dari kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri didalam keluarga adalah jika perlakuan salah yang dilakukan oleh suami atau tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami telah diluar batas norma atau nilai yang telah ditentukan atau yang berlaku didalam keluarga yang sesungguhnya. Dengan
26
demikian, kekerasan dapat diartikan sebagai pengguna kekerasan fisik untuk melukai manusia atau untuk menghilangkan nyawa orang lain.
Kekerasaan dalam rumah tangga sering terjadi karena adanya suatu anggapan bahwa kekerasan tersebut merupakan cara suami mendidik istri. Kemudian ada juga anggapan bahwa istri adalah milik suami sehingga suami dapat memperlakukan istri dengan sekehendak hati. Dengan anggapan demikian sikap suami terhadap istri cenderung menjadikan istri sebagai objek bukan sebagai subjek atau individu yang mempunyai hak asasi yang patut di hormati.
Dalam pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan :
1. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam tata cara pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
2. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. 3. Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.
Menurut Pasal 2 UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga disebutkan : a. Lingkup rumah tangga meliputi :
1) Suami, istri, anak
2) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang yang di maksud pada huruf a karna hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap pada rumah tangga
b. Orang yang bekerja di pandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, menurut Pasal 5 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, meliputi :
a. Kekerasan fisik maksudnya perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat,
b. Kekerasan Psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya atau penderitaan psikis berat pada seseorang,
c. Kekerasan Seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga, termasuk untuk tujuan komersial,
d. Penelantaran Rumah Tangga, meliputi :
1. Setiap orang yang tidak memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada keluarga
Tujuan dari penghapusan kekerasan dalam rumah tangga,27 yaitu : 1. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
2. melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga 3. menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
4. memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera
Ditunjuknya KUHAP sebagai hukum acara dalam pemeriksaan perkara KDRT, maka proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang Pengadilan sama dengan pemeriksaan perkara tindak pidana pada umumnya. Perlindungan bagi korban KDRT bisa berbentuk28 :
1. Perindungan Sementara 2. Perintah Perlindungan
Dalam proses pembuktian benar atau tidaknya pelaku (Terdakwa) melakukan tindak pidana KDRT, UU PKDRT dalam Pasal 55 memberikan pegangan bahwa “sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja
sudah cukup untuk membuktikan bahwa Terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya”. Dalam penjelasan pasalnya dinyatakan bahwa “alat bukti yang sah lainnya dalam kekerasan seksual yang dilakukan
selain dari suami istri adalah pengakuan Terdakwa”.29 Alat bukti yang sah lainnya adalah :
a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli;
27
Pasal 4 UU no 23 tahun 2004 28
Guse Prayudi. Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Merkid Press. Yogyakarta. 2011. Hal 114
29
c. Surat; d. Petunjuk;
e. Keterangan Terdakwa.
Dalam Pasal 10 UU PKDRT diatur mengenai hak-hak korban yakni mendapatkan30 :
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; e. Pelayanan bimbingan rohani.
Selain itu, dalam Pasal 39 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga juga disebutkan bahwa korban juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan korban dari :
a. Tenaga Kesehatan b. Pekerja Sosial
c. Relawan Pendamping dan/ atau Pembimbing Rohani.
30
Ada beberapa teori yang digunakan sebagai tujuan pemidanaan31, yaitu :
a. Teori Inkapasitasi
Teori Inkapasitasi menerangkan bahwa demi kebaikan bagi mereka yang mematuhi hukum maka terpidana yang melanggar norma sosial harus dicegah perbuatan melawan hukumnya di masa mendatang. Bila seorang terpidana, dianggap tidak akan mampu menyakiti orang-orang diluar penjara, akan dibuat kehilangan kapasitasnya (untuk menyakiti orang diluar penjara). Masyarakat akan terselamatkan dari kejahatan yang mungkin akan dilakukan bila narapidana masih bebas berkeliaran.
b. Teori Pemberian Efek Jera (Deterrence)
Pencegahan merupakan tujuan pemidanaan yang paling simpel dan sederhana dalam upaya mengurangi adanya kejahatan. Penyebabnya ialah orang secara sadar akan berhati-hati untuk tidak melakukan pidana karena menyadari sanksi yang diakibatkan olehnya.
c. Teori Retribusi
Pemberian hukuman yang setimpal (retribution) dapat menjadi tujuan (pengesahan positif) bagi hukuman dan dapat pula menjadi pembatasan atas pemberian denda yang dijatuhkan untuk memperoleh tujuan lain. Teori tujuan ini memandang retribution sebagai tujuan penjatuhan pidana yang utama (primary goal) dan bahkan mewah (exclusive goal) para terdakwa dihukum karena memang mereka layak dihukum, namun beban penderitaan dalam
31
penjatuhan pidana itu tidak boleh lebih atau kurang dari apa yang sepatutnya mereka terima.
Berikut merupakan sanksi pidana dalam UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga :
Pasal 44
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah).
kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Pasal 45
(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).
Pasal 46
Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 47
(dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 48
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurangkurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 49
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang :
a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
Pasal 50
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa :
a. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Penelitian hukum normatif-empiris adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif (kodifikasi, undang-undang, atau kontrak) secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Implementasi secara in action tersebut merupakan fakta empiris dan berguna untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan oleh negara atau pihak-pihak dalam kontrak. Implementasi secara in action diharapkan akan berlangsung sempurna apabila rumusan ketentuan hukum normatifnya jelas dan tegas serta lengkap.1
Pendekatan yuridis normatif (Library Research) adalah pendekatan masalah yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan penulisan penelitian ini.2 Sedangkan pendekatan yuridis empiris (Field Research) adalah pendekatan masalah yang diadakan langsung dilapangan, yaitu melihat fakta-fakta yang ada dalam praktik dan mengenai dasar pertimbangan hakim dalam tindak pidana KDRT.
1
Abdulkadir Muhammad. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandar Lampung. 2004. Hal 134 2
Pendekatan yuridis normatif dimaksudkan untuk mempelajari kaedah hukum dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, teori-teori dan konsep-konsep yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataan baik berupa penilaian, perilaku, pendapat, sikap yang berkaitan dengan penegakan hukum dasar pertimbangan hakim terhadap pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Gunung Sugih Nomor 195/PID.B/2012/PN.GS Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam mencegah atau mengurangi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan UU nomor 23 TAHUN 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
B.Sumber dan Jenis Data
Sumber dan jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Data Primer
2. Data Sekunder
Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan sekunder diperoleh dengan mempelajari dan mengkaji literatur-literatur, dan periundang-undangan. Data sekunder dalam penelitian ini, terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki.
(1) UU Nomor 1 Tahun 1946 Jo. UU Nomor 73 Tahun 1958 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
(2) UU Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
(3) UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(4) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(5) Deklarasi CEDAW (Convention to Eliminate All Forms of Discrimination Against Women)
(6) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
b. Bahan Hukum Sekunder
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penulisan skripsi ini berasal dari berbagai sumber yaitu buku literatur, karya ilmiah para sarjana, teori/pendapat para ahli, surat kabar, dan bersumber dari internet.
C. Penentuan Narasumber
Narasumber adalah orang yang menjadi sumber informasi (informan).3 Informan dalam penelitian skripsi ini adalah :
1. Hakim Pengadilan Negeri Gunung Sugih : 2 orang 2. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum UNILA : 2 orang Jumlah : 4 orang
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara :
a. Studi Kepustakaan
Studi Kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, mengutip, merangkum bahan-bahan literatur, perundang-undangan yang ada relevansinya dengan pembahasan dalam skripsi ini.
3
b. Studi Lapangan
Studi lapangan dilakukan dengan cara mengadakan wawancara (interview) kepada responden penelitian secara langsung dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan dan menggunakan pedoman secara tertulis untuk mendapatkan keterangan atau jawaban yang bebas sehingga data yang diperoleh sesuai dengan yang diharapkan.
2. Metode Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah analisis data yang telah diperoleh sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
a. Editing data, pemeriksaan data yang telah diperoleh kembali sehingga didapatkan data yang relevan bagi penelitian ini.
b. Klasifikasi data, pengelompokan data menurut kerangka yang telah ditetapkan sesuai dengan jenis dan hubungannya dengan masalah penelitian dalam rangka memperoleh data yang benar-benar akurat untuk dianalisis lebih lanjut.
E. Analisis Data
Data yang telah diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif yaitu dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data dan menguraikan yang dihasilkan dari penelitian dilapangan kedalam bentuk penjelasan dengan cara sistematis sehingga memiliki arti dan dapat ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan berdasarkan penelitian. Dari analisis tersebut dapat disimpulkan dengan cara induktif yaitu cara berfikir dalam menguraikan data yang diperoleh dengan menempatkan hasil-hasil analisis secara khusus, kemudian ditarik kesimpulan secara umum.4
Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode induktif, yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan pada fakta-fakta yang bersifat umum, kemudian dapat ditarik kesimpulan yang sifatnya khusus.
4
V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis menyimpulkan bahwa :
1. Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dalam putusan nomor : 195/Pid.B/2012/PN.GS dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya dikarenakan terdapat unsur kesalahan dan memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan. Pelaku dinyatakan orang yang cakap hukum dan mampu untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang dilakukan. Perempuan sebagai korban dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga ini merupakan
orang yang seharusnya disayangi dan dilindungi sebagai keluarga oleh
terdakwa. Hukuman pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan dalam putusan nomor : 195/Pid.B/2012/PN.GS dipandang sudah dapat menimbulan efek jera baik kepada terdakwa maupun masyarakat luas. Terdakwa pun dilihat mampu
2. Dasar pertimbangan hakim dalam putusan nomor : 195/Pid.B/2012/PN.GS, Dalam menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa, dasar yang digunakan sebagai pertimbangan oleh hakim adalah pertimbangan yuridis dan menggunakan pertimbangan non yuridis. Faktor yuridis merupakan pernyataan yang didasarkan pada ketentuan Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan faktor non yuridis yaitu dari segi terdakwa. Hakim dalam memutus perkara harus mempunyai alasan yang cukup kuat dengan berdasarkan pada UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang sesuai dengan perkara diatas dan melihat apakah putusan tersebut seimbang untuk kepentingan istri dan anak dari terdakwa. Istri dan anak seharusnya adalah orang-orang yang senantiasa dilindungi dan disayangi keberadaanya.
Dengan adanya tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan
oleh terdakwa sebagai suami akan memberikan efek tidak harmonisnya
hubungan keluarga, dan dengan adanya proses peradilan yang dialami
terdakwa sangat tidak mungkin suasana keluarga tersebut kembali normal
B. Saran
1. Diharapkan hukuman yang diberikan terhadap terdakwa tepat agar dapat mengurangi kejahatan yang ada, dapat menimbulkan efek jera bagi terdakwa serta sesuai dengan nilai keadilan pada pelaku, korban, masyarakat maupun negara.
2. Hakim dalam memutus suatu perkara harus mempertimbangkan faktor yuridis dan faktor non yuridis dari suatu perkara, melihat dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum, fakta dalam persidangan, keterangan saksi, keterangan terdakwa dan melihat alat bukti dalam perkara tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
Abidin, Andi Zainal. 1987. Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama. Alumni. Bandung.
Arif, Barda Nawawi. 2003. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.
Andrisman, Tri. 2006. Asas-Asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Lampung. Bandar Lampung. Atmasasmita, Romli. 2009. Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer. Fikahati
Aneska. Jakarta.
E. Utrecht dan Moch Saleh Djindang. 1983. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Sinar Harapan. Jakarta.
Huda, Chairul. 2006. “Dari ‘Tindak Pidana Tanpa Kesalahan’ menuju kepada ‘Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan’; Tinjauan Krisis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Pranada Media. Jakarta.
Kalyana, Mitra. 1999. Menghadapi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Komunikasi dan Informasi Perempuan. Jakarta Pusat.
Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Martha, Aroma Elmina. 2013. Proses Pembentukan Hukum Kekerasan Terhadap Perempuan di Indonesia dan Malaysia. Aswaja Pressindo. Yogyakarta. Moeljatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.
Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandar Lampung. Mulyadi, Lilik. 2007. Kekuasaan Kehakiman. Bina Ilmu. Surabaya.
Prayudi, Guse. 2011. Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Merkid Press. Yogyakarta.
Redaksi Sinar Grafika. 2005. UU RI No. 23 TH 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Sinar Grafika. Jakarta.
Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum. Sinar Grafika. Jakarta.
RM, Suharto. 1996. Hukum Pidana Materiil : Unsur-Unsur Objektif Sebagai Dasar Dakwaan. Sinar Grafika. Jakarta.
Saleh, Roeslan. 1999. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Askara Baru. Jakarta.
---. 1983. Pikiran-Pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Saleh, Roeslan. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana. Aksara Baru. Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni. Bandung.
Wikanji, Ardo dan Tim Saujana Media. 2012. Kamus Bahasa Indonesia. Pustaka Widyatama. Yogyakarta.
B. Perundang-undangan
Deklarasi CEDAW (Convention to Eliminate All Forms of Discrimination Against Women)
UU Nomor 1 Tahun 1946 Jo. UU Nomor 73 Tahun 1958 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
UU Nomor 8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
C. Sumber Lain
http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/534/jbptunikompp-gdl-arirochman-26694-8-unikom_a-v.pdf. Diakses pada 12 Juli 2013. Pukul 19:47
http://ikeherdiana-fpsi.web.unair.ac.id/artikel_detail-49848Psikologi%20
Perempuan-Gambaran%20 Kasus%20Kekerasan%20Dalam%20 Rumah%20Tangga%20di%20Indonesia.html. Diakses tanggal 13 September 2013. Pukul 21:32.
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Kekerasan_dalam_rumah_tangga. Diakses tanggal 13 September 2013. Pukul 21:35.