PEMODELAN SISTEM DALAM RANGKA PEMBENTUKAN
UNIT PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT JENIS SENGON
(
Paraserianthes falcataria
) ( Studi Kasus di Desa Cikalong,
Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat)
RIZKY RAHADIKHA
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
RINGKASAN
RIZKY RAHADIKHA. Pemodelan Sistem Dalam Rangka Pembentukan Unit Pengelolaan Hutan Rakyat Jenis Sengon (Paraserianthes falcataria) (Studi Kasus di Desa Cikalong, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat).
Dibimbing oleh BUDI KUNCAHYO dan EMI KARMINARSIH
Salah satu alternatif pemecahan masalah untuk mengatasi tekanan terhadap sumber daya hutan dan guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan bahan baku kayu adalah dengan pembangunan hutan rakyat. Pola penanaman yang digunakan adalah sistem agroforestry. Pengelolaan hutan rakyat yang ideal memungkinkan pemiliknya menerapkan manajemen yang lebih fleksibel dan efektif dalam pengaturan hasil maupun pengawasannya. Penelitian ini bertujuan mempelajari sistem pengelolaan hutan rakyat, menyusun model unit pengelolaan dan mengidentifikasi kelayakan usaha hutan yang ada di Desa Cikalong.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2010 sampai Januari 2011 di Desa Cikalong, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan dengan sistem wawancara dan observasi lapang
menggunakan teknik purposive sampling terhadap 90 responden yang memiliki
lahan hutan rakyat berdasarkan luasan lahannya. Data yang dicari dalam penelitian ini antara lain, data primer meliputi kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh para petani. Sedangkan data sekunder berasal dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Tasikmalaya. Dalam membangun suatu model diperlukan 5 (lima) tahap yaitu identifikasi isu, tujuan dan batasan, konseptualisasi model, spesifikasi model, evaluasi model dan penggunaan model. Selanjutnya mengidentifikasi kelayakan usaha berdasarkan kriteria nilai NPV (Net
Pressent Value), BCR (Benefit Cost Ratio) dan IRR (Internal Rate of Return).
Sengon (Parasienthes falcataria) menjadi tanaman pokok petani hutan
rakyat di Desa Cikalong. Pengelolaan hutan rakyat meliputi persiapan lahan, penyediaan bibit, penanaman dan pemeliharaan. Dalam pembentukan unit pengelolaan hutan rakyat menggunakan model yang terdiri dari 5 (lima) sub model. Daur yang digunakan dalam model ini adalah 5 tahun. Hasil simulasi model dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 10 orang per Ha dan luasan efektif yang diperoleh sebesar 2.800 Ha. Selanjutnya untuk mengetahui kelayakan usaha hutan rakyat dilakukan perhitungan analisis finansial. Nilai NPV (Net Present
Value) sebesar Rp 53.413.225.211. Nilai BCR (Benefit Cost Ratio) sebesar 1,2.
Nilai IRR (Internal Rate Ratio) sebesar 32,6%.
Kata Kunci: Hutan Rakyat, Kelayakan Usaha, Kegiatan pengelolaan hutan
SUMMARY
RIZKY RAHADIKHA. Modeling System in the Context Establishment of The
Community Forest Management Unit of Sengon (Paraserianthes falcataria)
(Case Studies in the Cikalong Village, Cikalong District, Tasikmalaya Regency,
West Java). Supervison of BUDI KUNCAHYO and EMI KARMINARSIH.
One alternative to solve the pressure against the forest resources and to supply the needs of wood raw material problems is by building the community forest. The planting pattern used is the agroforestry system. The ideal management of community forest allows the owner to implement a more flexible and effective management in regulation and the supervision of the outcome. The objective of the research is to learn the management system of community forest, to develop the model of management units and to identify the feasibility of forest bussiness in Cikalong Village.
The research was conducted in November 2010 to January 2011 in Cikalong Village, sub-district of Cikalong, the regency of Tasikmalaya, West Java. This research was conducted with an interview system and field observations using a purposive sampling technique on 90 respondents who have a forest land based on their land area. There are two kinds of data sought in this study, the primary data consist of community forest management activities done by farmers. The secondary data derived from forestry and plantation office of Tasikmalaya regency. In building a model is required 5 (five) stages: identification of issues, objectives and constraints, model conceptualization, model specification, model evaluation and the use of models. Next, identify the feasibility based on NPV (Net Pressent Value), BCR (Benefit Cost Ratio) and IRR (Internal Rate of Return).
Sengon (Parasienthes falcataria) become the main crop of community
forest farmers in Cikalong Village. Community forest is managed, including land preparations, provision of seeds, planting and maintenance. In the formation of community forest management unit using a model that consists of 5 (five) sub-models. The time spent in this model is five years. The results of the simulation model can provide employment to 10 persons per Ha and obtained effective area of 2.800 Ha. Furthermore, to determine the feasibility of the forest business performed the calculation of financial analysis. NPV (Net Present Value) of Rp 53.413.225.211. BCR (Benefit Cost Ratio) of 1,2. IRR (Internal Rate Ratio) of 32,6%.
PEMODELAN SISTEM DALAM RANGKA PEMBENTUKAN
UNIT PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT JENIS SENGON
(
Paraserianthes falcataria
) ( Studi Kasus di Desa Cikalong,
Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat)
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan
Pada Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
RIZKY RAHADIKHA
E14060751
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Pemodelan
Sistem Dalam Rangka Pembentukan Unit Pengelolaan Hutan Rakyat Jenis
Sengon (Paraserianthes falcataria) (Studi Kasus di Desa Cikalong, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai skripsi pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2011
Judul skripsi : Pemodelan Sistem Dalam Rangka Pembentukan Unit Pengelolaan
Hutan Rakyat Jenis Sengon (Paraserianthes falcataria) (Studi
Kasus di Desa Cikalong, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat).
Nama : Rizky Rahadikha
NRP : E14060751
Menyetujui:
Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,
Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS Ir. Emi Karminarsih, MS NIP. 19610720 198601 1 001 NIP. 19470926 1980003 2 002
Mengetahui:
Ketua Departemen Manajemen Hutan
Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401199403 1 001
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT atas segala rahmatnya skripsi yang berjudul Pemodelan Sistem Dalam Rangka Pembentukan Unit Pengelolaan Hutan Rakyat Jenis Sengon (Paraserianthes falcataria) (Studi Kasus di Desa Cikalong, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat) dapat diselesaikan. Skripsi ini disusun untuk mendapatkan gelar sarjana Kehutanan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari sistem pengelolaan hutan rakyat, menyusun model unit pengelolaan hutan rakyat di Desa Cikalong dan mengindentifikasi kelayakan usaha hutan rakyat yang ada di Desa Cikalong.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna dan banyak kekurangannya, oleh karena itu penulis mengharapkan segala kritik dan saran yang bersifat membangun guna memperbaiki skripsi ini. Mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua.
Bogor, Agustus 2011
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Surabaya pada tanggal 23 April 1988 dari Ayahanda Rudi Pandan Kasturi dan Ibunda Dra. Yeni Sriyani. Penulis merupakan anak pertama dari Empat bersaudara. Pendidikan formal yang ditempuh adalah SDN Citimun II Sumedang pada tahun 1994 – 2000, SLTP Negeri 1 Cimalaka pada tahun 2000 – 2003, SMA Negeri 1 Sumedang pada tahun 2003-2006, dan pada tahun 2006 penulis diterima masuk di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dan diterima di Program Studi Manajemen Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yaitu sebagai ketua Divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) Sylva IPB tahun 2008 – 2009, Staf Divisi Hubungan Luar (HUBLU)
Forest Management Student Club (FMSC) tahun 2008 – 2009, anggota
Mahasiswa Sumedang (WAPEMALA), panitia Temu Manajer Jurusan Manajemen Hutan pada 2008, panitia Forester Cup pada tahun 2009, panitia Seminar Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Lacak Balak tahun 2009.
Penulis pernah melakukan praktek pengenalan Ekosistem hutan (PPEH) jalur Cilacap-Baturaden tahun 2007 – 2008, praktek pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Sukabumi pada tahun 2008 – 2009, dan Praktek Kerja lapang (PKL) di Hutan Tanaman Industri PT. Wirakarya Sakti, Jambi pada tahun 2009 – 2010.
Penulis melakukan penelitian dengan judul Pemodelan Sistem Dalam Rangka Pembentukan Unit Pengelolaan Hutan Rakyat Jenis Sengon
(Paraserianthes falcataria) (Studi Kasus di Desa Cikalong, Kecamatan Cikalong,
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada Allah SWT yang memberikan segala kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pemodelan Sistem Dalam Rangka Pembentukan Unit Pengelolaan Hutan Rakyat Jenis Sengon
(Paraserianthes falcataria) (Studi Kasus di Desa Cikalong, Kecamatan Cikalong,
Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat)” dengan lancar. Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan data primer yang diperoleh penulis dengan cara wawancara dan pengisian kuisioner. Sedangkan data sekunder diperoleh dari data monografi Desa Cikalong, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi. Untuk itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Kedua orang tua tercinta, Papah Rudi Pandan Kasturi, Papah Timbul Khusdjantono, MM., Bunda Dra. Yeni Sriyani, Mamah Endang Sumarni SPd., serta adik-adikku tercinta Anindy Mugia Lestari, Aflah Qastalani Bragas Prana Pamungkas, Sakya, atas dukungan secara moral maupun material serta kasih sayang yang senantiasa tercurah.
2. Dr. Ir. Budi Kuncahyo, MS., sebagai dosen pembimbing pertama dan Ir. Emi Karminarsih, MS., Sebagai dosen pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga skripsi dapat selesai dengan baik.
3. Dr. Ir. Arum Sekar Wulandari, MS., sebagai dosen penguji dan Dr. Ir. Teddy Rusolono, MS., sebagai dosen ketua sidang.
4. Dr. Ir. M. Buce Shaleh, MS., selaku dosen pembimbing akademik. Priyanto MSi., selaku moderator seminar dan seluruh dosen staf Departemen Manajemen Hutan yang telah membantu proses akademik penulis.
5. Bang Lutfy Abbullah, MSi dan Mas Desi Suyamto yang telah banyak membantu penulis dalam pembelajaran software Stella dan pengolahan data sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.
6. Bapak Shodik beserta keluarga yang telah memberikan tempat tinggal kepada
7. Instansi-instansi (Badan Pusat Statistik Tasikmalaya, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tasikmalaya, Kantor Kecamatan Cikalong, Kantor Desa Cikalong) atas informasi yang diberikan.
8. Ahmad Jamhari Rahmawan S. Hut., Nur Trianna Aprilia S.Hut., May
Chaesarani S.Hut., Woro sulistiawati S.Hut., Yayat Sarif Hidayattullah S.Hut., Limas Agung SP., Esty Kusuma Rahmasari S.Hut., Edi Abdullah S.Hut., Riva Nurul Fath S.TP, atas semangat dan koreksi draft skripsi untuk perbaikan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
9. Lisa Mariance Marbun, Nurindah Ristiana, Ratih Solichia Maharani, Dhea
Fauzia Lestari, Arnaldo Hendrix, Aninditha Julian, Yudistira Aprianto, Dyah Ayu fitriasari, Debi Ghinayanti, Nissa Resdiani, Dian, Iyis, Kristanto, Candra, Cindra, Subhan, Adnan, atas persahabatan yang terjalin selama ini.
10. Teman-teman Manajemen Hutan 43 Terimakasih atas kebersamaannya
selama hampir empat tahun di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
11. Seluruh pihak terkait yang baik secara langsung atau tidak langsung telah membantu penelitian dan pengerjaan skripsi ini hingga selesai.
2.3 Karakteristik Jenis Sengon (Paraserianthes falcataria) ... 6
2.4 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat ... 8
3.4 Metode Pengambilan Contoh ... 16
3.5 Metode Pengolahan Data ... 16
3.7 Kerangka Penelitian ... 20
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kabupaten Tasikmalaya ... 22
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik Responden ... 26
5.2 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat ... 29
5.3 Model Pengelolaan Hutan Rakyat Dengan Pendekatan Sistem ... 32
5.4 Analisis Finansial Usaha Hutan Rakyat ... 45
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 48
6.2 Saran ... 48
DAFTAR TABEL
No. Halaman 1. Distribusi responden menurut kelas luas kepemilikan
lahan hutan rakyat masing-masing dusun di Desa Cikalong ... 26
2. Distribusi responden menurut mata pencaharian pada masing-masing dusun di Desa Cikalong ... 27
3. Distribusi responden menurut usia pada masing-masing dusun di Desa Cikalong ... 28
4. Distribusi responden menurut tingkat pendidikan pada masing-masing dusun di Desa Cikalong ... 28
5. Skenario daur dan harga tanaman sengon ... 44
6. Skenario perubahan suku bunga ... 45
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Hutan rakyat Desa Cikalong ... 29
2. Hubungan antar sub model ... 36
3. Konseptualisasi model ... 37
4. Sub model dinamika tegakan ... 38
5. Sub model tenaga kerja ... 38
6. Sub model industri usaha kayu hutan rakyat ... 39
7. Sub model pengaturan hasil ... 40
8. Sub model kelayakan usaha ... 40
9. Evaluasi model ... 41
10.Analisis sensitivitas model ... 42
11. Skenario daur dan harga ... 43
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Peta kawasan Kabupaten Tasikmalaya ... 52
2. Identitas responden ... 53
3. Model equations...56
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutan adalah sumber daya alam yang mempunyai peranan sangat penting
dalam kehidupan, karena hutan dapat memberikan berbagai manfaat berupa
barang dan jasa lingkungan yang begitu besar. Pemanfaatan dan pengelolaan
hutan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa
mengabaikan aspek kelestariannya. Kelestarian sumberdaya hutan yang dimaksud
adalah penyediaan hasil hutan (hasil kayu dan hasil bukan kayu) yang teratur dan
berkelanjutan yang dimanfaatkan sesuai kapasitas sumberdaya hutan tersebut.
Salah satu alternatif yang dapat ditawarkan untuk pengelolaan hutan secara
lestari adalah pembangunan hutan rakyat, yakni dengan menanam pohon yang
mempunyai nilai komersial di lahan kering maupun lahan kritis milik penduduk.
Manfaat hutan rakyat bagi masyarakat sendiri dirasakan dari segi ekonomi,
ekologi dan segi sosial.
Hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang
dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat juga disebut hutan
milik. Hutan rakyat di Indonesia mempunyai potensi besar, baik dari segi populasi
pohon maupun jumlah rumah tangga yang mengusahakannya, yang ternyata
mampu menyediakan bahan baku industri kehutanan. Hutan rakyat di Jawa pada
umumnya hanya sedikit yang memenuhi luasan sesuai dengan definisi hutan,
dimana minimal luasannya harus 0,25 Ha. Hal tersebut disebabkan karena
rata-rata kepemilikan lahan di Pulau Jawa masih sempit. Keadaan ini mendorong
pemilik lahan untuk memanfaatkan seoptimal mungkin pengelolaan lahan mereka
dengan cara memanfaatkan lahan mereka dengan membudidayakan tanaman yang
bernilai tinggi dan cepat menghasilkan.
Potensi hutan rakyat di Indonesia berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS
2004) mencapai 39.564.003 m3 dengan luas 1.560.229 Ha. Jumlah pohon yang ada
mencapai 226.080.019 pohon, dengan jumlah pohon siap tebang sebanyak
78.485.993 pohon. Perkembangan hutan rakyat yang berada di Propinsi Jawa
Perkebunan tahun 2009 mempunyai luas 44.318,54 Ha. Jenis kayu sengon
(Paraserianthes falcataria) menjadi jenis kayu yang paling banyak ditanam oleh
petani hutan rakyat. Jumlah pohon yang ada mencapai 14.989.508 batang, dan
pohon siap tebang sebanyak 314.245,240 batang. Hal tersebut dikarenakan daur
pendek pada tanaman sengon dapat mengatur perputaran dana pengolahan hutan
secara cepat dan pengelolaan hutan rakyat dengan menggunakan sistem
agroforestry.
Pembangunan hutan rakyat dapat berupa kayu rakyat yang saat ini telah
berkembang menjadi suatu komoditas yang mempunyai nilai ekonomis yang
cukup baik dan dirasakan oleh masyarakat bahwa usaha ini dapat memberikan
tambahan pendapatan. Namun demikian kayu sebagai hasil hutan rakyat masih
menempati posisi kurang penting sebagai pendapatan rumah tangga petani. Hal ini
ditunjukan oleh sedikitnya jumlah pohon yang dimiliki serta penentuan daur yang
tidak menentu. Karenanya sampai saat ini pohon-pohon yang dimiliki oleh petani
hutan rakyat tidak diposisikan menjadi salah satu sumber pendapatan andalan.
Oleh karena itu perlu adanya informasi, baik masalah teknis maupun prospek nilai
ekonomisnya.
Pengelolaan hutan rakyat yang ideal memungkinkan pemiliknya
menerapkan manajemen yang lebih fleksibel dan efektif dalam pengaturan hasil
maupun pengawasannya. Namun pada umumnya kebiasaan petani hutan rakyat
tidak menerapkan pengelolaan yang baik, maka pendapatan petani dari
pohon-pohon yang dimilikinya hanya merupakan bagian kecil dari total pendapatan
rumah tangga per tahun.
1.2 Perumusan Masalah
Hutan rakyat mempunyai peran yang positif baik secara ekonomi maupun
ekologi. Secara ekonomi hutan rakyat dapat meningkatkan pendapatan pemilik
hutan rakyat, penyediaan lapangan pekerjaan, dan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, sedangkan dari aspek ekologi, hutan rakyat dapat
mengendalikan erosi dan limpasan permukaan, memperbaiki kesuburan tanah dan
Pengelolaan hutan rakyat masih tergantung pada keputusan pemiliknya
dalam menentukan jenis pohon dan waktu penebangannya (daur kebutuhan)
dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat. Permasalahan pokok yang menjadi
fokus penelitian ini adalah bagaimana pemilik hutan rakyat dapat memilih
skenario pengelolaan hutan yang terbaik, melalui permodelan simulasi yang dapat
memprediksi tingkat pendapatan petani hutan rakyat pada berbagai luas unit
pengelolaan yang tersedia dan layak untuk diusahakan.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mempelajari sistem pengelolaan hutan rakyat di Desa Cikalong.
2. Menyusun model unit pengelolaan hutan rakyat di Desa Cikalong.
3. Mengidentifikasi kelayakan usaha hutan rakyat yang ada di Desa Cikalong.
1.4 Manfaat Penelitian
Kegunaan atau manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Dari sisi akademik, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan
yang berguna untuk memperbaiki sistem pengelolaan hutan rakyat di Desa
Cikalong.
2. Kegiatan dan hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
pihak-pihak yang terkait baik pemerintah daerah, pemerintah pusat atau bahkan
pemilik modal dalam meningkatkan produktivitas hutan rakyat tersebut
melalui terobosan-terobosan baru yang dilakukan.
3. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat
khususnya petani hutan rakyat mengenai skenario pengelolaan yang dapat
memberikan keuntungan terbaik secara finansial sehingga dapat dijadikan
pertimbangan dalam membangun lahannya ke arah pengembangan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Hutan Rakyat
Hutan rakyat menurut pengertian perundang-undangan No. 41 Tahun 1999
adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini
diberikan untuk membedakan dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas
tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Dalam pengertian ini,
tanah negara mencakup tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat berdasarkan
ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan adat atau aturan-aturan masyarakat lokal.
Karakteristik pengelolaan hutan rakyat adalah bersifat individual, oleh
keluarga, tidak memiliki manajemen formal dan dipandang sebagai tabungan bagi
keluarga pemilik hutan rakyat. Karakteristik seperti itu dalam perkembangannya
ke depan kurang memiliki daya saing tinggi, tidak memiliki posisi tawar yang
tinggi dengan pedagang dan industri, dan sinkronisasi konservasi serta kelestarian
hutannya tidak dapat dijamin (Awang 2005).
Balai Informasi Pertanian (1982), menggolongkan hutan rakyat berdasarkan
jenis tanaman dan pola penanamannya ke dalam bentuk-bentuk hutan rakyat
murni, hutan rakyat campuran, dan hutan rakyat dengan sistem tumpang sari.
1. Hutan rakyat murni adalah hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman
pokok yang ditanam dan diusahakan secara homogen dan monokultur.
2. Hutan rakyat campuran adalah hutan rakyat yang terdiri dari berbagai jenis
pohon-pohonan yang ditanam secara campuran.
3. Hutan rakyat dengan sistem tumpangsari merupakan hutan rakyat yang
mempunyai bentuk usaha kombinasi kehutanan dengan usaha tani lainnya,
seperti perkebunan, pertanian, peternakan dan lain-lain secara terpadu pada
satu lokasi.
Hutan rakyat merupakan hutan yang dimilki oleh rakyat dengan luas
minimal 0,25 Ha dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan jenis tanaman
lainnya lebih dari 50% atau pada tanaman tahun pertama dengan tanaman
sebanyak minimal 500 tanaman per-hektar. Usaha hutan rakyat dapat
kawasan hutan yang memenuhi persyaratan untuk kegiatan hutan rakyat, yang
bertujuan untuk rehabilitasi lahan, juga untuk menghasilkan kayu rakyat
(Kementrian Kehutanan 2007).
2.2 Agroforestry
Menurut Nair dalam Hairiah et al. (2003) agroforestry adalah sistem penggunaan terpadu, yang memiliki aspek sosial ekologi, dilaksanakan melalui
pengkombinasian pepohonan dengan tanaman pertanian atau ternak (hewan), baik
secara bersama-sama atau bergilir, sehingga dari satu unit lahan tercapai total
nabati atau hewani yang optimal dalam arti berkesinambungan.
Menurut Andayani (2005) agroforestry dapat diartikan juga sebagai sebuah bentuk nama kolektif (collective name) dari sistem nilai masyarakat berkaitan dengan model-model penggunaan lahan lestari. Oleh karena itu,
agroforestry dalam bentuk implementasinya dapat berbentuk sebagai berikut:
1. Agrisivikultur yaitu sistem agroforestry yang mengkombinasikan komponen
kehutanan dengan komponen pertanian. Dalam sistem ini ditanam pohon
serbaguna atau pohon dalam rangka fungsi lindung pada lahan-lahan
pertanian.
2. Sylvopastural, yaitu sistem pengelolaan hutan dimana hutan dikelola untuk
menghasilkan kayu dan juga memelihara ternak.
3. Agrosylvo-pastoral, yaitu sistem dimana lahan dikelola untuk memproduksi
hasil pertanian dan hasil kehutanan secara bersamaan dan sekaligus
memelihara hewan ternak.
4. Multipurpose forest tree production system, yaitu sistem dimana berbagai
jenis kayu ditanam dan dikelola, tidak saja untuk menghasilkan kayu tetapi
juga daun-daunan dan buah-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan
makanan manusia maupun dijadikan makanan ternak.
Wiersum (1987) dalam Departemen Kehutanan (1989) mengatakan, kebun
campuran adalah bagian dari agroforestry yang banyak diusahakan oleh masyarakat untuk meningkatkan pendapatan. Bentuk-bentuk kebun campuran
dapat berbeda tergantung pada kondisi biofisik, lokasi, budaya, politik, psikologi,
memenuhi sampai setengah dari kebutuhan dasar keluarga terutama pada masa
kekeringan atau kekurangan. Sebagai contoh 25,5% dari rata-rata pendapatan
keluarga di Jawa Barat adalah berasal dari kebun campuran.
2.3 Karakteristik Jenis Sengon (Paraserienthes falcataria) 2.3.1 Keterangan Botani
Nama latin sengon adalah Paraserianthes falcataria (L) Nielsen. Para petani di Propinsi Jawa Barat telah sejak lama mengembangkan tanaman sengon. Di
daerah priangan tanaman ini dikenal dengan nama jeungjing, jengjeng, albasia dan
sengon. Sedangkan di daerah Jawa Tengah dikenal dengan nama mbesiah, sengon
laut. Untuk daerah di luar pulau Jawa sengon dikenal dengan nama rawe,
selawoku merah, seka, sika. Di Irian Jaya sengon dikenal dengan nama bae, bai
wahongon (Atmosuseno 1998). Klasifikasi morfologi sengon Paraserianthes
falcataria (L) Nielsen) ialah:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae
Sub Famili : Mimosoidae
Genus : Paraserianthes
Spesies : Paraserianthes falcataria (L) Nielsen
Perbungaan tanaman sengon tersusun dalam bentuk malai. Ukuran bunga
sekitar 0,5-1 cm, berwarna putih kekuningan dan sedikit berbulu. Setiap kuntum
bunga mekar berisi bunga jantan dan bunga betina. Adapun penyerbukannya
dibantu oleh angin dan serangga (Purnadjaja et al. 1998).
Daun sengon merupakan susunan daun majemuk ganda, berwarna hijau dan
mudah rontok. Pada masa pertumbuhan tajuk sengon akan membentuk strata
vertikal yang bertambah tinggi sesuai dengan pertambahan umur pohon, tetapi
saat pertumbuhan sudah maksimal tajuk pohon sengon akan melebar dan memiliki
6-12 cm. Setiap polong buah berisi 15-30 biji. Biji tersebut biasanya terlepas dari
polongnya yang terbuka bila masak. Bentuk bijinya mirip perisai kecil, dan jika
sudah tua maka biji tersebut berwarna cokelat kehitaman, agak keras dan berlilin
(Purnadjaja et al. 1998).
Sengon merupakan jenis kayu ringan yang termasuk dalam kelas awet IV-V
dan kelas kuat IV-V. Kayu sengon digunakan sebagai bahan bangunan perumahan
terutama di pedesaan, peti, papan partikel, papan serat, papan wol semen, pulp dan
kertas (Mandang dan Pandit 1997).
2.3.2 Habitat
Pohon jenis sengon memiliki sebaran alami di daerah tropis di antaranya
adalah Maluku, Papua Nugini, Kepulauan Solomon dan Bismark. Merupakan
spesies pionir, terutama terdapat di hutan hujan dataran rendah sekunder atau
hutan pegunungan rendah. Jenis tanaman ini tumbuh baik di dataran rendah
sampai ketinggian 1.600 mdpl, akan tetapi ketinggian optimal pada umumnya
adalah 0-800 mdpl. Dapat beradaptasi dengan iklim monsoon dan lembab dengan
curah hujan 2000-2700 mm/th dengan bulan kering sampai 4 bulan. Suhu optimal
pertumbuhan 22 – 29oC serta intensitas cahaya tinggi (intoleran). Mampu tumbuh
8 mm/tahun dalam tahun pertama penanaman (Hidayat 2007).
Tanpa pemeliharaan yang intensif sengon dapat tumbuh dengan subur,
tinggi, melebar dan rindang. Sengon banyak digunakan pada tanaman pola
polikultur atau sebagai tegakan dalam tanaman industri, tanaman rempah dan
tumpang sari palawija (Dephut 1990).
2.3.3 Hama dan Penyakit
Hama boktor (Xystrocera festiva) seringkali menyerang pohon. Gejalanya adalah kulit pohon pecah-pecah, lalu mengeluarkan cairan berwarna coklat sampai
kehitam-hitaman, bahkan keluar serbuk kayu bekas gerekan. Pengendaliannya
dapat dilakukan dengan model “pantek”. Caranya adalah dengan menggunakan
kapuk dan memasukkannya ke dalam insektisida, lalu disumbatkan pada pintu
lubang tersebut, maka hama boktor akan mati. Atau dengan cara menebang pohon
lalu dimusnahkan agar hama boktor tidak menjalar ke pohon lain (Santoso 1992).
Tanaman sengon kadang-kadang diserang penyakit akar merah yang
adalah layu, lalu rontok, dan akhirnya mati. Penyakit ini terutama menyerang akar
sengon. Jika kulit akar dikupas, akan tampak benang-benang merah yang
menempel pada kayu akar. Teknis pengendaliannya dapat dilakukan dengan
menebang dan membuang pohon yang terserang, membuat selokan isolasi
sedalam 1-1.5 m mengelilingi pohon, atau menyemprotkan fungisida (Santoso
1992).
2.4 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat
Pengelolaan hutan rakyat merupakan upaya menyeluruh dari
kegiatan-kegiatan perencanaan, pembinaan, pengembangaan dan penilaian serta
pengawasan pelaksanaan kegiatan produksi, pengelolaan hasil dan pemasaran
secara berkesinambungan. Menurut Lembaga Penelitian IPB (1990) ada tiga sub
sistem yang saling terkait dalam kegiatan pengelolaan hutan rakyat, yaitu sub
sistem produksi, sub sistem pengelolaan hasil dan sub sistem pemasaran hasilnya.
Secara rinci setiap sub sistem dapat di uraikan sebagai berikut:
1. Sub sistem produksi adalah tercapainya keseimbangan produksi dalam jumlah
jenis dan kualitas tertentu serta tercapainya kelestarian usaha dari para
pemilik lahan hutan rakyat.
2. Sub sistem pengelolaan hasil adalah proses sampai menghasilkan bentuk,
produk akhir yang dijual oleh para petani.
3. Sub sistem pemasaran hasil adalah tercapainya tingkat penjualan yang
optimal, dimana semua produk terjual di pasaran.
Hardjanto (2000) mengemukakan ciri-ciri pengusahaan hutan rakyat
sebagai berikut:
1. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak dan industri dimana
petani masih memiliki posisi tawar yang rendah.
2. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran yang
diusahakan dengan cara-cara sederhana.
3. Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan
Djajapertjunda (2003) menyatakan bahwa dalam pengelolaan hutan rakyat
terdapat beberapa ciri-ciri aspek teknis yang sama seperti teknis hutan yang lain,
berikut aspek-aspek teknis yang harus diperhatikan :
1. Pemilihan lokasi
Lokasi yang dipilih untuk ditanami kayu milik rakyat sebaiknya dipilih di
kawasan-kawasan yang tidak dapat dijadikan lahan pertanian secara permanen.
Apabila di lahan tersebut sudah ada tanaman-tanaman yang berupa tanaman kayu
atau buah-buahan, maka tanaman kayu dapat dilaksanakan sebagai tanaman
sisipan di antara tanaman lain yang sudah ada, sehingga seluruh kebun akan lebih
produktif. Cara seperti ini sudah dipraktekkan oleh masyarakat petani.
2. Persiapan lahan
Tanah-tanah yang akan ditanami tanaman kayu pada umumnya berupa tanah
yang sudah berupa kebun yang mungkin sudah ada tanaman lainya dan relatif
tidak mengandung tumbuhan liar. Karena itu untuk menanam kayu tidak perlu
dibersihkan secara keseluruhan. Untuk setiap bibit yang akan ditanam cukup
disediakan lubang tanam yang berukuran kurang lebih 30 cm x 30 cm dengan
kedalaman 30 cm yang sekelilingnya dibersihkan dan garis tengahnya kurang
lebih sekitar 100 cm (sistem cemplongan). Apabila tanaman kayu akan ditanam
bersama-sama dengan tanaman palawija, dengan sendirinya persiapan lahan
dilaksanakan sesuai dengan kebutuhannya.
3. Pemilihan jenis kayu
Jenis kayu yang dipilih sebaiknya jenis kayu yang lazim ditanam, di Pulau
Jawa misalnya; kayu sengon, kayu afrika, mindi, dan lain-lain yang merupakan
jenis kayu yang sudah dikenal dan sudah mempunyai pasaran yang teratur, baik
sebagai bahan untuk kayu konstruksi maupun sebagai bahan baku industri.
4. Pengadaan bibit
Pengadaan bibit dapat dilaksanakan secara vegetatif dengan bibit yang
berasal dari batang atau cabang atau pengadaan bibit secara generatif. Untuk
pengadaan bibit secara vegetatif dapat dilakukan dengan cara stek atau cangkokan
pada tanaman yang muda, sedangkan persiapan bibit secara generatif yang berasal
biji di lapangan atau dibuat dalam persemaian, tergantung sifat dan jenis kayu
yang bersangkutan.
5. Cara menanam
Dalam menanam bibit, pertama perlu ditetapkan jarak tanam yang tepat
sesuai dengan rencananya. Perlu diperhatikan apakah tanaman kayu akan ditanam
secara murni atau sebagai tanaman yang dicampur dengan tanaman lain. Apabila
pohon akan ditanam bersama-sama dengan tanaman lain, maka kiranya perlu
diperhatikan agar jarak tanam diatur agar tidak saling mengganggu. Apabila
tanaman kayu akan ditanam murni, maka perlu diperhatikan apakah akan dimulai
dengan tanaman yang rapat, misalnya; 3 m x 2 m. Hal ini akan tergantung dari
kondisi lahan dan tujuan penanaman. Apabila akan dilaksanakan tumpang sari
dengan jenis tanaman lain, mungkin dapat dipilih jarak tanam 4 m x 5 m, sehingga
per Ha akan di dapat 500 pohon, sedang di antara dua larikan pohon masih dapat
ditanam palawija atau tanaman lainya.
6. Cara memelihara tanaman
Pada dasarnya tanaman kayu yang masih muda harus dijaga dari gulma dan
semak serta alang-alang yang berlebihan. Karena itu untuk mengurangi biaya
pemeliharaan, sebaiknya di antara larikan ditanami dengan palawija yang tidak
mengganggu, seperti kacang tanah, jagung, kacang kedelai, kacang wijen, dan
lain-lain. Pemeliharaan yang berupa penjarangan dan pembuangan gulma akan
sangat membantu pertumbuhan kayunya.
7. Penebangan
Penebangan pohon tergantung dari beberapa faktor, yaitu: tujuan
penanaman, kondisi alami dari tanaman, kondisi pasar dan cara menebang.
Berdasarkan cara penebangan dengan orientasi pasar, maka penebangan sebaiknya
dilaksanakan dengan tebang pilih. Perlu diperhatikan bahwa setiap penebangan
harus ditanam kembali secepatnya. Apabila penebangan berupa pemeliharaan
yaitu bersifat penjarangan, maka harus selalu diperhatikan bahwa kayu yang
ditebang sudah harus mencapai suatu ukuran yang sudah dapat dimanfaatkan,
sehingga kayu yang dihasilkannya selalu akan dapat dipasarkan, mungkin hanya
8. Penanaman kembali
Di bekas pohon yang ditebang harus ditanami kembali sehingga jumlah
tanaman akan selalu tetap. Karena itu setiap akan melakukan penebangan petani
penanam kayu hendaknya sudah menyiapkan diri dengan bibit yang akan ditanam
sebagai pengganti pohon yang akan ditebang.
2.5 Peranan Hutan Rakyat
Menurut Departemen Kehutanan Republik Indonesia (2003) hutan rakyat
memberikan keuntungan bagi pemilik hutan rakyat atau masyarakat antara lain :
1. Mendapatkan manfaat ekonomi, meningkatkan pendapatan masyarakat
2. Mendapatkan manfaat sosial, membuka lapangan pekerjaan
3. Mendapatkan manfaat ekologi, mencegah terjadinya bencana banjir, erosi dan
mengatur tata air
4. Estetika, keindahan alam
5. Sumber, merupakan sumber daya alam untuk ilmu pengetahuan, antara lain
Ilmu Biologi, Ilmu lingkungan dan lain-lain.
Menurut Lembaga Penelitian IPB (1990), hutan rakyat merupakan sumber kayu
dan hasil hutan lainnya, termasuk fungsinya sebagai pelindung tanah dari bahaya
erosi. Selanjutnya dikatakan bahwa hutan rakyat mempunyai peran penting bagi
masyarakat terutama dalam hal, meningkatkan pendapatan masyarakat,
menyediakan kayu bangunan maupun bahan baku industri, membantu
mempercepat usaha rehabilitasi lahan kritis, dan meningkatkan produksi
buah-buahan, dan pakan ternak. Semakin berkembangnya hutan rakyat, disamping akan
menjaga tanah-tanah kritis dari ancaman erosi juga akan meningkatkan
perkembangan ekonomi suatu daerah.
Hutan rakyat akan memperluas kesempatan kerja bagi penduduk yang
bertempat tinggal di dalam dan sekitar hutan. Pembangunan hutan rakyat tersebut
akan melibatkan seluruh penduduk di sekitarnya, sehingga akan memperoleh
2.6 Pendapatan Rumah Tangga
Pendapatan rumah tangga adalah kumpulan dari pendapatan
anggota-anggota rumah tangga dari masing-masing kegiatannya. Pendapatan merupakan
selisih antara penerimaan dari penjualan, konsumsi keluarga akan komoditi yang
dihasilkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan komoditi tersebut.
Pendapatan rumah tangga menurut sumbernya dibagi menjadi dua golongan, yaitu
pendapatan kehutanan, adalah pendapatan yang berasal dari kegiatan di hutan, dan
pendapatan non-kehutanan, yaitu pendapatan yang berasal dari luar kehutanan.
(Kartasubrata 1986).
Pendapatan kotor usaha tani adalah nilai produk total usaha tani dalam
jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual. Sedangkan
pengeluaran usaha tani adalah nilai semua masukan yang dikeluarkan dalam
produksi, tetapi tidak termasuk tenaga kerja keluarga petani (Soekartawi et al. 1986).
2.7 Pendekatan Sistem
Sistem adalah kumpulan yang terorganisasi dari komponen-komponen fisik
yang saling berhubungan yang dicirikan oleh suatu batasan dan kesatuan
fungsional (Grant et al. 1997). Secara sederhana gambaran sebuah sistem adalah terdiri dari masukan (input), pengolahan (process), dan luaran (output).
Analisis sistem adalah aplikasi yang bersifat paling langsung dari metode
ilmiah untuk suatu masalah yang mencakup sistem yang kompleks. Analisis
sistem merupakan kesatuan dari teori-teori dan teknik untuk mempelajari,
menggambarkan dan membuat skenario-skenario tentang sesuatu yang kompleks
yang besarnya dicirikan dengan penggunaan prosedur-prosedur matematis dan
statistik tingkat tinggi serta penggunaan komputer.
Lebih lanjut analisis sistem merupakan pendekatan filosofis sekaligus
kumpulan teknik termasuk simulasi. Analisis sistem menekankan pendekatan
sudut pandang menyeluruh pada pemecahan masalah dan penggunaan model
matematis untuk mengidentifikasi dan mensimulasikan karakter-karakter dalam
Simulasi merupakan proses penggunaan suatu model yang merupakan
abstraksi dari keadaan yang sebenarnya dengan tujuan menggambarkan atau
menirukan tahap demi tahap perilaku sistem yang diamati. Model simulasi
dibentuk oleh serangkaian fungsi aritmetik dan operasi logika yang secara
simulasi menampilkan struktur (state) dan perilaku (change of state) dari suatu sistem (Grant et al. 1997).
2.8 Analisis Finansial
Salah satu alat yang dapat memperkirakan kelayakan suatu proyek adalah
analisis finansial. Analisis finansial dilakukan untuk kepentingan individu atau
lembaga yang menanamkan modalnya dalam sebuah proyek misalnya petani,
wiraswastawan atau perusahaan. Nilai yang digunakan di dalam analisis finansial
(misalnya harga barang dan upah) adalah nilai yang berlaku di pasar yaitu market
price (Pramudya dan Dewi 1992). Tujuan analisis adalah membantu pengambilan
keputusan dalam menentukan pemilihan investasi pada suatu proyek yang tepat
dari berbagai alternatif yang dilaksanakan.
2.9.1 Kriteria Investasi
Menurut Pramudya dan Dewi (1992), untuk menilai kelayakan suatu proyek
atau membuat peringkat beberapa proyek yang harus dipilih dapat digunakan
beberapa kriteria investasi yaitu:
1. Net Present Value (NPV)
2. Gross Benefit Cost Ratio (Net B/C Ratio)
3. Internal Rate of Return (IRR).
Kriteria tersebut dapat digunakan masing-masing tersendiri secara terpisah,
atau digunakan bersamaan tergantung pada masalah dan tujuan yang diinginkan,
tetapi penggunaan ketiga kriteria akan lebih melengkapi informasi yang diperoleh
mengenai proyek.
1. Net Present Value (NPV)
NPV merupakan perbedaan antara nilai manfaat dan biaya dalam bentuk
nilai sekarang (present value). Apabila NPV bernilai positif, dapat diartikan juga sebagai besarnya keuntungan yang diperoleh dari proyek. Sebaliknya apabila
dapat membantu pengambilan keputusan yang diambil perusahaan dengan
kemungkinan kriteria sebagai berikut:
a. Jika NPV > 0, maka proyek layak untuk dilaksanakan.
b. Jika NPV < 0, maka proyek sebaiknya dihentikan atau ditinjau
ulang pelaksanaanya.
c. Jika NPV = 0, maka proyek akan mendapat modalnya kembali
setelah diperhitungkan discount rate yang berlaku.
2. Gross Benefit Cost Ratio (Net B/C Ratio)
B/C ratio adalah perbandingan antara manfaat dan biaya. Nilai gross B/C
ratio dihitung dari perbandingan manfaat dibagi biaya pada keseluruhan tahun
pelaksanaan proyek. Kemungkinan kriteria hasil perhitungan gross B/C ratio adalah :
a. Jika gross B/C ratio > 1, maka proyek layak untuk diteruskan. b. Jika gross B/C ratio < 1, maka proyek sebaiknya dihentikan atau
ditinjau ulang pelaksanaannya.
c. Jika gross B/C ratio = 1, maka proyek dalam keadaan break even
point atau impas.
3. Internal Rate of Return (IRR)
IRR merupakan tingkat pengembalian modal yang digunakan dalam suatu
proyek. Nilai IRR dinyatakan dalam persen per tahun. Suatu proyek yang layak
dilakukan akan mempunyai nilai IRR yang lebih besar dari nilai discount rate. Dari perhitungan IRR dapat diambil keputusan sebagai berikut:
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Cikalong, Kecamatan Cikalong,
Kabupaten Tasikmalaya, selama 3 bulan dimulai pada bulan November 2010
sampai dengan bulan Januari 2011.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner
(Lampiran 4) untuk mengumpulkan data sekunder maupun primer, kamera untuk
dokumentasi dan obyek guna kelengkapan penyusunan laporan, alat tulis,
kalkulator, perangkat keras (Hardware) berupa komputer, serta perangkat lunak
(Software) berupa program-program komputer dalam mengolah data seperti Stella
9.0.2, Vensim, Microsoft Office Word 2007 dan Microsoft Office Excel 2007.
3.3 Metode Pengambilan Data
Terdapat dua macam data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, yaitu data
primer yang diperoleh langsung di lapangan dan data sekunder/data penunjang
yang diperoleh dari studi literatur.
3.3.1 Data Pimer
Data primer didapatkan melalui pengamatan secara langsung, pengisian
kuesioner, dan wawancara terhadap responden petani hutan rakyat yang terdiri
dari:
1. Data tentang karakteristik rumah tangga responden, meliputi: nama, umur,
jenis kelamin, jumlah anggota keluarga, pendidikan dan sumber mata
pencaharian.
2. Data pengelolaan hutan rakyat, meliputi: luas kepemilikan lahan, status
kepemilikan lahan, dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan
tanaman hutan rakyat, seperti pengadaan bibit, persiapan lahan, penanaman,
3.3.2 Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang didapatkan atau tersedia di tingkat Desa,
Kecamatan maupun instansi-instansi seperti Dinas Kehutanan dan Perkebunan,
Badan Pusat Statistik (BPS). Data sekunder meliputi keadaan lingkungan baik
fisik, sosial ekonomi di masyarakat. Adapun jenis data yang dikumpulkan di
antaranya:
1. Keadaan umum lokasi penelitian, meliputi: letak administrasi, luas wilayah,
keadaan fisik lingkungan, jenis tanah, curah hujan, luas hutan rakyat, luas
penggunaan lahan dan topografi lahan.
2. Keadaan umum penduduk, meliputi: pendidikan, lapangan pekerjaan, jumlah
penduduk dan tingkat kesejahteraan penduduk.
3.4 Metode Pengambilan Contoh
Penentuan responden dalam penelitian ini dilakukan dengan cara purposive
sampling terhadap responden yang memiliki hutan rakyat sebanyak 10
orang/dusun. Hal ini dikarenakan data mengenai hutan rakyat, seperti kepemilikan
hutan rakyat, luas kepemilikan hutan rakyat, dan data-data lainnya sukar untuk
didapatkan. Pemilihan responden dilakukan dengan menanyakan kepemilikan
hutan rakyat yang memenuhi syarat-syarat suatu lahan sesuai dengan luas
kepemilikannya di suatu desa.
Responden dikelompokkan berdasarkan kelas luas kepemilikan hutan rakyat. Adapun pembagian kelas luas adalah sebagai berikut:
1. Kelas I = kepemilikan lahan < 0.25 ha
2. Kelas II = kepemilikan lahan 0.25 – 0.5 ha
3. Kelas III = kepemilikan lahan 0.5 - 1 ha
4. Kelas IV = kepemilikan lahan > 1 ha
3.5 Metode Pengolahan Data
3.5.1 Pemodelan
Menurut Purnomo (2005) permodelan dilakukan dengan tahapan sebagai
3.5.1.1 Identifikasi isu, Tujuan, dan Batasan
Identifikasi isu ini dilakukan untuk mengetahui dimana sebenarnya
permodelan perlu dilakukan. Selanjutnya ditentukan tujuan permodelan tersebut,
kemudian batasan disusun, dapat berupa batas daerah atau ruang, waktu dan
batasan isu yang telah diidentifikasi sesuai tujuan permodelan.
3.5.1.2 Konseptualisasi Model
Tujuan konseptualisasi model adalah untuk mendapatkan gambaran secara
menyeluruh terhadap model yang akan dibuat. Konseptualisasi model dilakukan
dengan mengidentifikasikan semua komponen yang terlibat ke dalam permodelan
dan mengelompokkannya ke dalam beberapa bagian. Langkah-langkah untuk
memenuhi tujuan tersebut adalah:
a. Kategorisasi komponen dalam sistem.
b. Pengidentifikasian hubungan antar komponen.
c. Menyatakan komponen dari hubungannya dalam model yang lazim.
d. Menggambarkan pola yang diharapkan dari perilaku model, serta menentukan
pola perilaku model sesuai dengan pengetahuan dan teori.
3.5.1.3 Spesifikasi Model
Pada tahap spesifikasi model, dilakukan perumusan makna sebenarnya dari
setiap relasi yang ada dari model konseptual. Tujuan tahap ini adalah membangun
model kuantitatif dari model. Spesifikasi model terdiri dari tahapan-tahapan
sebagai berikut:
a. Memilih struktur kuantitatif umum dari model.
b. Memilih unit waktu dasardari simulasi.
c. Mengidentifikasi bentuk fungsional dari persamaan model.
d. Menduga parameter dari persamaan model.
e. Memasukan persamaan ke dalam program simulasi.
f. Menjalankan simulasi dasar.
g. Menampilkan persamaan model.
3.5.1.4 Evaluasi Model
Evaluasi model dilakukan dengan mengamati kelogisan model dan
yang dibangun dalam hal kegunaan relatifnya untuk memenuhi tujuan-tujuan
tertentu. Tahapan evaluasi model adalah sebagai berikut:
a. Mengevaluasi kewajaran dan kelogisan model.
b. Mengevaluasi hubungan perilaku model dengan pola yang diharapkan.
c. Membandingkan model dengan sistem nyata.
Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat kewajaran perilaku model jika
dilakukan perubahan salah satu parameter dalam model yang telah dibuat.
3.5.1.5 Penggunaan Model
Tujuan penggunaan model adalah untuk mencapai tujuan yang
diidentifikasikan di awal pembangunan model tersebut. Model yang dibangun
dapat bermanfaat untuk meningkatkan pembelajaran, sehingga dapat merumuskan
skenario ke depan atau alternatif kebijakan yang lebih baik. Model juga dapat
dipakai untuk menguji sebuah hipotesis atau dipakai untuk mengevaluasi ragam
skenario atau kebijakan dan pengembangan perencanaan dan agenda bersama
antar pihak dalam kasus permodelan partisipatif.
3.5.2 Analisis Kelayakan Usaha
Untuk mengetahui kelayakan pengelolaan hutan rakyat, maka dilakukan
analisis finansial dengan beberapa asumsi-asumsi sebagai dasar dalam
perhitungan. Asumsi - asumsi yang dilakukan di lapangan adalah sebagai berikut:
1. Suku bunga yang berlaku adalah 10% berdasarkan suku bunga Bank Rakyat
Indonesia.
2. Umur kelayakan usaha dihitung berdasarkan pada siklus tebang untuk
tanaman sengon di lahan hutan rakyat.
3. Pendapatan mulai dihitung sejak lahan diolah dan dimanfaatkan.
4. Semua harga output-input yang digunakan dalam analisis yaitu berdasarkan
harga yang berlaku pada saat penelitian berlangsung dengan asumsi harga
Kriteria yang digunakan analisis finansial adalah sebgai berikut:
1. Net Present Value (NPV)
Rumus yang digunakan dalam perhitungan NPV adalah:
NPV = t
a. NPV>0 ; maka proyek menguntungkan dan dapat atau layak dilaksanakan.
b. NPV=0 ; maka proyek tidak untung dan tidak juga rugi, jadi tergantung
pada penilaian subyektif pengambilan keputusan.
c. NPV<0 ; maka proyek ini merugikan karena keuntungan lebih kecil dari
biaya, jadi lebih baik tidak dilaksanakan.
2. Benefit Cost Ratio (BCR)
Benefit Cost Ratio merupakan suatu cara evaluasi proyek dengan
membandingkan nilai sekarang seluruh hasil dengan nilai sekarang seluruh biaya
proyek. BCR diperoleh dengan membagi jumlah pendapatan terdiskonto dengan
jumlah hasil diskonto biaya. Apakah usaha tersebut sudah layak dilaksanakan atau
tidak, maka kita perlu menghitung nilai BCR. Kriteria usaha tersebut haruslah
lebih besar dari 1.
Keterangan : Bt = penerimaan (benefit) pada tahun ke-t Ct = biaya (cost) pada tahun ke-t
t = umur proyek (tahun)
i = discount rate yang berlaku (%) BCR > 1 ; maka proyek layak atau menguntungkan
3. Internal Rate of Return (IRR)
Internal Rate of Return yaitu tingkat suku bunga yang membuat proyek
akan mengembalikan semua investasi selama umur proyek. Jika dinilai Internal
Rate of Return lebih kecil dari discount rate maka NPV<0, artinya sebaiknya
proyek itu tidak dilaksanakan.
Inti analisis finansial adalah membandingkan antara pendapatan dengan
pengeluaran, dimana suatu kegiatan atau usaha adalah feasible apabila pendapatan lebih besar dari pengeluaran.
Keterangan : i1 = discount rate yang menghasilkan NPV positif i2 = discount rate yang menghasilkan NPV negative NPV1 = NPV yang bernilai positif
NPV2 = NPV yang bernilai negative
IRR ≥ discount rate yang berlaku; maka kegiatan investasi layak dijalankan IRR < discount rate yang berlaku; maka kegiatan investasi tidak layak dijalankan.
3.6 Kerangka Penelitian
Pengelolaan hutan adalah kegiatan yang secara keseluruhan bertujuan
mengarahkan atau memelihara ekosistem hutan sehingga sistem tersebut
memungkinkan pemenuhan kebutuhan hidup manusia akan produk hasil hutan
maupun jasa, secara berkelanjutan dan lestari dalam jangka yang panjang. Dalam
penelitian ini dilakukan pengelolaan unit hutan rakyat dengan tanaman pokok
sengon (Paraserianthes falcataria). Metode pengaturan hasil diperoleh dari luas total areal hutan rakyat pada masing-masing tahun tanam, yang akan menentukan
besarnya penanaman dan penebangan yang efektif sesuai daur, sehingga
didapatkan pembentukan unit pengelolaan hutan rakyat yang lestari dan
berkelanjutan. Semakin besar gangguan, menyebabkan semakin berkurangnya
jumlah pohon yang tersedia. Setelah itu, akan dibuat kombinasi pola dan skenario
1. Skenario 1, yaitu pengelolaan hutan rakyat untuk memperoleh besarnya
pendapatan efektif yang diperoleh jika daur dan harga diubah untuk tanaman
sengon. Daur diubah menjadi 4 tahun, 5 tahun, dan 8 tahun. Sedangkan harga
sengon diubah menjadi Rp 70.000 per pohon, Rp 100.000 per pohon, dan Rp
160.000 per pohon.
2. Skenario 2, yaitu pengelolaan hutan rakyat terhadap perubahan tingkat suku
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Kondisi Umum Kabupaten Tasikmalaya
4.1.1 Letak dan Luas
Kabupaten Tasikmalaya secara geografis terletak antara 7o02’ dan 7o50’
Lintang Selatan serta 108o25’ dan 109o43’ Bujur Timur. Kabupaten Tasikmalaya
merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang berbatasan secara
langsung dengan:
1. Sebelah utara : Kabupaten Ciamis dan Kota Tasikmalaya.
2. Sebelah timur : Kabupaten Ciamis.
3. Sebelah Selatan : Samudra Indonesia.
4. Sebelah Barat : Kabupaten Garut.
Luas wilayah Kabupaten Tasikmalaya adalah 271.252 Ha. Tanah sawah
seluas 49.057 Ha, hutan rakyat 37.971 Ha, hutan negara seluas 31.272 Ha,
perkebunan Negara/swasta seluas 84.47 Ha dan lain-lain seluas 67.62 Ha. Peta
kawasan Kabupaten Tasikmalaya terdapat pada Lampiran 1.
4.1.2 Jenis Tanah dan Ketinggian Tempat
Jenis tanah yang ada di Kabupaten Tasikmalaya dapat diklasifikasikan
menjadi 3 jenis tanah yaitu, tanah Litosol, tanah Regosol dan tanah Latosol. Ketiga jenis tanah tersebut tersebar di seluruh Kecamatan yang ada di Kabupaten
Tasikmalaya. Di bagian utara, sebaran terdiri dari jenis tanah latosol. Sementara
itu, kedalaman efektif tanah (solum) wilayah bagian barat dan timur berada pada kisaran 30-60 cm, sedangkan di bagian utara, tengah, dan selatan berada pada
kisaran 60-90 cm . Sedangkan untuk aspek topografi, Kabupaten Tasikmalaya
dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. Daerah dengan ketinggian 0-500 m dpl : 33,33% dari seluruh areal.
2. Daerah dengan ketinggian 500-1000 m dpl : 50,00% dari seluruh areal.
4.1.3 Iklim dan Curah Hujan
Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson Kabupaten Tasikmalaya termasuk kedalam tipe iklim C. Dengan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan
Januari sampai dengan April dan curah hujan terendah antara bulan September
sampai dengan Oktober. Perbandingan bulan basah dan kering mencapai 98%
bulan basah. Suhu udara rata-rata 25oC – 28o C pada siang hari, turun menjadi 22o
C pada malam hari. Berdasarkan data curah hujan distribusi curah hujan rata-rata
per bulan adalah 292.80 mm/bln sedangkan untuk data curah hujan per tahun
adalah 3.513 mm/th (BPS Tasikmalaya 2010).
4.2 Keadaan Umum Kecamatan Cikalong dan Desa Contoh
4.2.1 Letak dan Luas
Kecamatan Cikalong merupakan satu dari 39 kecamatan di Kabupaten
Tasikmalaya. Secara geografis Kecamatan Cikalong terletak antara 5o 06’ 30’’ LS
– 5o 50’ 30’’ LS dan 107o 00’ 00’’ BT – 107o 107’ 00’’ BT dengan luas wilayah
13.696,45 Ha. Kecamatan Cikalong dibatasi oleh beberapa wilayah yaitu di
sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Cikatomas, di sebelah timur
berbatasan dengan Kabupaten Ciamis, di sebelah barat berbatasan dengan
Kecamatan Karangnunggal dan di sebelah selatan berbatasan dengan Samudera
Indonesia.
Adapun lokasi yang dijadikan tempat penelitian adalah Desa Cikalong yang
merupakan salah satu desa dari 13 desa yang ada di Kecamatan Cikalong,
Kabupaten Tasikmalaya. Desa Cikalong merupakan desa paling ujung selatan dari
wilayah Kabupaten Tasikmalaya, terletak 10 m dari pusat Kecamatan Cikalong
dan 80 km dari pusat Kota Tasikmalaya. Desa Cikalong terbagi dalam sembilan
dusun yaitu Dusun Cilutung, Dusun Desakolot, Dusun Cikalong, Dusun Borosole,
Dusun Sindanghurip, Dusun Pangapekan, Dusun Cikaret, Dusun Cisodong, dan
Dusun Cipondoh. Secara administratif Desa Cikalong berbatasan langsung
dengan:
1. Sebelah utara : Desa Tonjongsari
2. Sebelah timur : Desa Cikancra
3. Sebelah selatan : Desa Mandalajaya
Wilayah Desa Cikalong seluas 1.372 Ha, dengan komposisi pola
penggunaan lahan terdiri atas luas tanah bukan pertanian seluas 30 Ha, sawah
seluas 195 Ha dan luas tanah bukan sawah 1.148 Ha.
4.2.2 Keadaan Tanah dan Topografi
Desa Cikalong memiliki jenis tanah Litosol dengan tingkat kesuburan sedang. Tipe iklim Desa Cikalong menurut klasifikasi tipe iklim Oldemann,
termasuk dalam tipe iklim C2 yaitu terdapat 6 bulan basah berturut-turut dan 3
bulan kering berturut-turut, dengan curah hujan 2.194 mm/th. Suhu berkisar antara
22-27oC dengan kadar kelembaban sebesar 80%. Berdasarkan bentuk
topografinya, Desa Cikalong memiliki topografi bergelombang dan berbukit-bukit
dengan ketinggian 15 mdpl. Berdasarkan pengelolaan Daerah Aliran Sungai
(DAS), Desa Cikalong termasuk dalam wilayah pengelolaan DAS Ciwulan (BPS
Tasikmalaya 2010).
4.2.3 Kondisi Hutan Rakyat
Kondisi hutan rakyat yang terdapat di Desa Cikalong memiliki sebaran
umur yang beragam. Salah satu tanaman pokok yang sering ditanam oleh petani
adalah Sengon (P falcataria (L) Nielsen). Adapun jenis lain yang ditanam oleh petani di Desa Cikalong adalah jenis Jati (Tectona grandis) dan Mahoni
(Swietenia macrophyla), namun untuk jenis Jati dan Mahoni hanya sebagai
tanaman pengisi saja dan terbatas jumlahnya. Pola yang digunakan oleh petani
dalam menanam pohon sengon adalah dengan menggunakan pola agroforestry.
Perkembangan hutan rakyat khususnya jenis tanaman sengon (P falcataria (L) Nielsen) di Desa Cikalong dimulai dari adanya info dagang dari pengepul/bandar
kayu kepada masyarakat. Sejak saat itu masyarakat banyak yang menanam
tanaman sengon. Pemasaran kayu sengon meliputi 3 wilayah yaitu Kabupaten
Tasikmalaya, Kabupaten Ciamis, dan Kabupaten Garut. Pemasaran kayu sengon
dilakukan melalui tengkulak dan industri penggergajian (Sawmill).
4.2.4 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
4.2.4.1 Jumlah penduduk
Berdasarkan data kependudukan Desa Cikalong tahun 2010, jumlah
dan 3.822 orang wanita dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 2.296 orang.
Jumlah penduduk menurut usia kelompok tenaga kerja produktif (usia 18-56
tahun) yang berjumlah 1.300 orang.
4.2.4.2Tingkat pendidikan
Pada umumnya tingkat pendidikan di Desa Cikalong masih tergolong
rendah, hal ini dapat dilihat bahwa sebagian besar penduduknya hanya sampai
tamatan Sekolah Dasar (SD) saja, sebagian kecil pendidikan SLTP, SLTA dan
akademik atau Perguruan Tinggi (PT). Sedangkan jumlah penduduk menurut usia
kelompok pendidikan terbagi menjadi empat, yaitu kelompok usia 4-6 tahun
berjumlah 713 orang, kelompok usia 7-12 tahun berjumlah 715 orang, kelompok
usia 13-15 tahun berjumlah 482 orang, dan kelompok usia 19 tahun keatas
berjumlah 3.425 orang.
4.2.4.3Mata Pencaharian penduduk
Mata pencaharian masyarakat Desa Cikalong umumnya adalah bertani
sebanyak 501 jiwa. Masyarakat lainnya mengandalkan mata pencahariannya
sebagai pedagang, buruh, industri, sopir, PNS dan sebagainya. Ketersediaan lahan
bagi masyarakat sangatlah penting untuk memperoleh pendapatan, karena untuk
bekerja di luar sektor ini mereka terbentur dengan banyaknya kendala, terutama
rendahnya tingkat pendidikan dan modal usaha.
4.2.4.4 Sarana dan prasarana
Sarana dan prasarana yang ada di Desa Cikalong antara lain:
1. Sarana Pendidikan : 2 buah madrasah ibtidaiyah, 1 buah madrasah
tsanawiyah, 1 buah madrasyah aliyah, 1 buah TK, 4
buah Sekolah Dasar (SD), 1 buah pondok pesantren
dan 2 buah perpustakaan.
2. Sarana Ibadah : 18 buah masjid, 12 serta buah langgar, dan 4 buah
mushola.
3. Sarana Kesehatan : 9 buah posyandu, 1 buah puskemas, 2 buah toko
obat, 6 orang dukun bayi, 1 orang dokter, 4 orang
bidan dan 2 orang paramedis.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Karakteristik Responden
5.1.1 Identitas Responden
Karakteristik responden hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap 90
orang responden di Desa Cikalong meliputi luas kepemilikan lahan hutan rakyat,
mata pencaharian, pendidikan dan tingkat umur. Distribusi responden berdasarkan
luas kepemilikan lahan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Distribusi responden menurut kelas luas kepemilikan lahan hutan rakyat masing-masing dusun di Desa Cikalong
Kelas Lahan Hutan Rakyat (Ha)
Sumber : Diolah dari data primer (2010)
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa luas kepemilikan lahan hutan
rakyat milik responden di Desa Cikalong relatif sempit. Sebesar 46,67 %
responden memiliki lahan kurang dari 0.25 Ha, lahan antara 0.25 – 0.5 Ha sebesar
40 %, lahan 0.5 – 1 Ha sebesar 8.89 % dan lahan lebih dari 1 Ha sebesar 4,44 %
Ha.
Responden berusaha memanfaatkan lahan yang ada dengan berbagai macam
tanaman yang dapat memberikan hasil yang cepat dan mudah untuk dijual.
Meskipun ditanami dengan berbagai macam tanaman, masyarakat menjadikan
tanaman sengon sebagai tanaman pokok di lahan yang mereka miliki. Sistem
pengelolaan hutan rakyat yang digunakan oleh petani adalah dengan
Tabel 2 Distribusi responden menurut mata pencaharian pada masing-masing dusun di Desa Cikalong
Mata Pencaharian (Orang)
No Dusun Petani Pedagang PNS Buruh tani Peternak Jasa
1 Cilutung 2 3 5 0 0 0
2 Desakolot 8 1 0 1 0 0
3 Cikalong 8 2 0 0 0 0
4 Borosole 2 2 1 2 3 0
5 Sindanghurip 7 1 0 1 0 1
6 Pangapekan 8 1 0 1 0 0
7 Cikaret 5 4 1 0 0 0
8 Cisodong 8 2 0 0 0 0
9 Cipondoh 8 1 0 1 0 0
Total (orang) 56 17 7 6 3 1
Total (%) 62,22 18,89 7,78 6,67 3,33 1,11 Sumber : Diolah dari data primer (2010)
Berdasarkan Tabel 2 mata pencaharian responden yang bekerja sebagai
petani sebesar 62,22 %, yang bekerja sebagai pedagang/wiraswasta sebesar 18,89
%, yang bekerja sebagai PNS hanya sebesar 7,78 % dan sisanya bekerja sebagai
buruh tani, peternak, serta jasa. Hal ini menandakan bahwa rata-rata penduduk
menggantungkan hidupnya sebagai petani, sehingga lahan hutan rakyat masih
sangat penting bagi responden di Desa Cikalong. Dengan menggunakan sistem
pengelolaan agroforestry pada lahan hutan rakyat, menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan produktivitas lahan dan memperoleh pendapatan dari hasil
panen secara berurutan dan berkesinambungan sepanjang tahun dari jenis-jenis
tanaman yang diusahakan. Untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari hasil
dari kegiatan agroforestry sangat membantu bagi responden yang mata pencahariaan utamanya sebagai petani, karena hasil dari kegiatan agroforestry dapat diambil sewaktu-waktu sesuai kebutuhan dan tidak menunggu dalam waktu
Tabel 3 Distribusi responden menurut usia pada masing-masing dusun di Desa Sumber : Diolah dari data primer (2010)
Berdasarkan Tabel 3 menunjukan persentase terbesar responden berada
pada umur 41-50 tahun yaitu sebesar 36,67 %. Hal ini disebabkan pada rentang
umur 41-50 tahun responden rata-rata telah berkeluarga, dengan bekerja sebagai
petani pada lahan hutan rakyat dapat membantu mencukupi kebutuhan keluarga.
Umur responden yang paling muda adalah 31 tahun, dan yang paling tua berumur
82 tahun.
Tabel 4 Distribusi responden menurut tingkat pendidikan pada masing-masing dusun di Desa Cikalong
Tingkat Pendidikan (orang)
No Dusun SD SLTP SLTA Perguruan Tinggi
Sumber : Diolah dari data primer (2010)
Berdasarkan Tabel 4 mengenai persentase tingkat pendidikan responden di
Desa Cikalong, umumnya berpendidikan SD sebesar 74,44 %. Hal ini
Desa Cikalong, sehingga menyulitkan responden dalam mengelola, memperoleh
dan menyerap informasi untuk pengelolaan hutan rakyat serta mencari pekerjaan.
Oleh karena itu, dibutuhkan penyuluhan untuk membantu petani dalam mengelola
hutan rakyat. Identitas responden petani hutan rakyat terdapat pada Lampiran 2.
5.2 Sistem Pengelolaan Hutan Rakyat
Sistem pengelolaan hutan rakyat di Desa Cikalong tidak dikelola secara
monokultur melainkan ditanam bersama-sama dengan jenis tanaman lainya.
Petani hutan rakyat di Desa Cikalong menggunakan sistem agroforestry yang merupakan campuran antara tanaman pokok dengan tanaman lainnya, seperti:
tanaman perkebunan, semusim, buah-buahan, dan pertanian. Kepemilikan lahan di
desa ini relatif sempit, sehingga petani memanfaatkan areal yang sempit tersebut
untuk ditanami berbagai jenis tanaman. Selain itu, mayoritas pemilik areal hutan
rakyat di Desa Cikalong bekerja sebagai petani.
Tanaman kehutanan yang menjadi tanaman pokok petani hutan rakyat di
Desa Cikalong adalah jenis sengon (Paraserianthes falcataria). Pemilihan jenis tanaman sengon pada umumnya didasari oleh 3 hal, yaitu cepat menghasilkan
kayunya dibanding dengan jenis kayu lain, memperoleh bibit mudah melalui
penjual keliling dan penjualan kayunya mudah. Selain jenis sengon terdapat juga
tanaman jati dan mahoni sebagai tanaman kehutanan lainnya. Sedangkan tanaman
perkebunan dan tanaman semusim petani menanam sawo dan kelapa (tanaman
perkebunan), dan jenis pisang, singkong, talas (tanaman semusim). Tanaman
semusim dan perkebunan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
dan dijual untuk menambah pendapatan petani.
Kegiatan pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh petani di Desa
Cikalong meliputi persiapan lahan, pengadaan bibit, penanaman dan
pemeliharaan, sedangkan kegiatan pemanenan dilakukan oleh pihak pembeli
(Tengkulak). Berikut uraian kegiatan-kegiatan tersebut:
1. Pengadaan bibit
Bibit sengon diperoleh petani hutan rakyat di Desa Cikalong yaitu dengan
cara membeli langsung kepada penjual/pedagang keliling di sekitar Desa
Cikalong. Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan petani mengenai
pembibitan dan dibutuhkan tempat yang khusus untuk persemaian. Bibit tersebut
dibeli oleh petani dengan harga Rp 1.000/bibit untuk tinggi antara 30-50 cm.
Dengan cara membeli langsung berupa bibit, petani beranggapan lebih murah dan
praktis.
2. Persiapan lahan
Kegiatan persiapan lahan dilakukan kurang lebih 2 minggu sampai 1 bulan
sebelum kegiatan penanaman tergantung pada luas lahan dan jumlah pekerja
(HOK). Pemilik hutan rakyat di Desa Cikalong dalam melakukan kegiatan
persiapan lahan selain memanggil buruh tani, pemiliknya juga secara langsung
melakukan kegiatan persiapan lahan, karena pekerjaan utama mereka umumnya
adalah petani. Kegiatan persiapan lahan yang dilakukan yaitu membersihkan
lahan dari semak belukar, alang-alang atau tumbuhan penggangu lainnya dengan
menggunakan cangkul, sabit dan lain-lain. Setelah lahan dibersihkan, dilanjutkan
mengolah tanah dengan tujuan agar tanah tersebut gembur dengan cara dicangkul,
setelah itu dipasang ajir pada jarak tanam yang berbeda-beda. Untuk jarak tanam
yang sering digunakan petani hutan rakyat di Desa Cikalong, yaitu menggunakan
jarak tanam 3 m x 2 m. Setelah pemasangan ajir selesai dikerjakan, maka langkah
selanjutnya adalah pembuatan lubang tanam dengan kedalaman tanah kira-kira
ukuran panjang 30 cm, lebar 30 cm dan kedalaman kurang lebih 30 cm. Untuk
pembuatan jarak tanam tidak seluruh petani melakukannya, karena petani
menginginkan penanaman jumlah pohon yang banyak dan mengabaikan jarak