ASPEK HUKUM PERJANJIAN PEMBORONGAN PEMELIHARAAN
TANAMAN KELAPA SAWIT ANTARA HUTAGODANG ESTATE DENGAN
PT SARI SAWIT KENCANA LABUHANBATU
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
MUHAMMAD FAISAL DALIMUNTHE 110200522
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ASPEK HUKUM PERJANJIAN PEMBORONGAN PEMELIHARAAN TANAMAN KELAPA SAWIT ANTARA HUTAGODANG ESTATE DENGAN
PT SARI SAWIT KENCANA LABUHANBATU
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
MUHAMMAD FAISAL DALIMUNTHE NIM: 110200522
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA DAGANG Disetujui Oleh :
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
Dr. H. Hasim Purba,S.H.,M.Hum
NIP : 1966033185081001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Sinta Uli,S.H.,M.Hum Rabiatul
Syahriah,S.H.,M.Hum
NIP: 195506261986012001 NIP : 195902051986012001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAK
Muhammad Faisal Dalimunthe*
Sinta Uli,S.H,M.Hum**
Rabiatul Syahriah,S.H,M.Hum***
Pelaksanaan perjanjian adalah perbuatan memenuhi kewajiban dan memperoleh hak yang telah disepakati oleh pihak-pihak sehingga tercapai tujuan antara para pihak yang mana para pihak melaksanakan perjanjian dengan sempurna dan itikad baik sesuai dengan persetujuan yang telah dicapai. Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana proses terjadinya perjanjian pemborongan pemeliharaan tanaman kelapa sawit antara hutagodang estate dengan PT sari sawit kencana, bagaimana pelaksanaan perjanjian pemborongan pemeliharaan kelapa sawit, bagaimanakah berakhirnya perjanjian pemborongan pemeliharaan tanaman kelapa sawit antara hutagodang estate dengan PT sari sawi kencana.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah yuridis normatif dan yuridis empiris yang bersifat deskriptif yang dilakukan melalui penelusuran data-data yang di kumpulkan oleh bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Proses terjadinya perjanjian pemborongan antara Hutagodang Estate dengan PT. Sari Sawit Kencana LabuhanBatu melakukan pelelangan yang menggunakan pelelangan terbatas. Pelelangan terbatas diikuti oleh sekurang-kurangnya 5 (lima) rekanan yang tertentu dalam daftar rekanan. Pelelangan terbatas tersebut dilakukan sekurang-kurangnya selama 7 (tujuh) hari kerja dalam pengumuman yang akan dilakukan di papan pengumuman resmi. Pelaksanaan perjanjian pemborongan pemeliharaan kelapa sawit dilakukan pada saat Tanaman Belum Menghasilkan yang merupakan tanaman kelapa sawit yang berumur lebih dari enam bulan sampai umur tiga tahun dan dilakukan juga pada saat Tanaman Menghasilkan dimana tanaman kelapa sawit berusia pada umur sekitar empat tahun yang masa buahnya dijaga agar tanaman memiliki masa menghasilkan yang lama. Berakhirnya suatu perjanjian pemborongan terjadi apabila pekerjaan antara para pihak telah diserah terimakan dan telah dituangkan dalam berita acara serah terima pekerjaan, perjanjian pemborongan juga dapat berakhir apabila adanya pembatalan perjanjian pemborongan serta adanya kematian pemborong serta kepailitan
Kata Kunci : Perjanjian , Pemborongan , Pemeliharaan Tanaman Kelapa Sawit
* Mahasiswi Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb,
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, kesabaran dan ketabahan sehingga skripsi ini dapat selesai dikerjakan.
Dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil judul “Aspek hukum perjanjian pemborongan pemeliharaan tanaman kelapa sawit antara Hutagodang Estate dengan PT. Sari Sawit Kencana LabuhanBatu”. Perjanjian pemborongan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu si pemborong mengikatkan diri untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain. Adapun maksud dan tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi kewajiban dan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum dalam Ilmu Hukum Departemen Hukum Keperdataan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya dan penghargaan setinggi-tingginya atas bantuan, bimbingan, nasehat, kritik, serta saran sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik, kepada :
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan,S.H., M.H., DFM selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
6. Ibu Rabiatul Syahriah, SH. M.Hum selaku Dosen Pembimbing II dan selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan, yang telah banyak memberikan sumbangan baik bimbingan, waktu, kesabaran, keterangan, dan nasehat sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisannya.
7. Ibu Sinta Uli, SH. M.Hum selaku Dosen Pembimbing I, yang membimbing dan mendukung penulis dalam masa penulisan sampai penyelesaian skripsi ini.
8. Bapak dan Ibu Fakultas Hukum Universitas Hukum Sumatera Utara yang telah mendidik, mengasuh, dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
9. Orang tua saya Papa Alm H. Ir. Yusuf Dalimunthe, Mama Hj Emma Yuliana
Pane, Kakak dan Abang beserta keluarga besar, yang telah memberikan banyak bantuan, doa, kasih sayang, dorongan serta semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.
10.Sahabat terkasih saya Mutiara Rizki,S.H yang tiada henti selalu mendampingi dalam suka maupun duka dan selalu memberikan motivasi dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.
11.Seluruh rekan dan sahabat Grup F 2011, yang telah banyak membantu
memberikan doa, saran, semangat, serta waktu dan tenaganya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
12.Seluruh rekan Xtrim Indonesia Labuhanbatu yang telah menyemangati hingga selesainya skripsi ini.
13.Seluruh pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu persatu penulis ucapkan banyak terima kasih.
Akhirnya, penulis menyadari penulisan skripsi yang sederhana ini terdapat banyak kekurangan dan tidak sempurna. Dengan segala kerendahan hati penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun guna perbaikan dan kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan, Amin.
DAFTAR ISI
E. Manfaat penulisan ... 7
F. Metode penelitian ... 7
G. Keaslian penulisan ... 10
H. Sistematika penulisan ... 12
BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA A. Pengertian Perjanjian dan Asas-asas dalam Perjanjian ... 14
B. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian ... 19
C. Berakhirnya Suatu Perjanjian ... 27
BAB III. PERJANJIAN PEMBORONGAN DAN PENGATURANNYA A. Pengertian Perjanjian Pemborongan dan Bentuk-bentuk Perjanjian Pemborongan ... 35
B. Macam-macam dan Jenis Perjanjian Pemborongan ... 43
BAB IV. ASPEK HUKUM PERJANJIAN PEMBORONGAN ANTARA HUTAGODANG ESTATE DENGAN PT SARI SAWIT KENCANA LABUHAN BATU
A. Proses Terjadinya Perjanjian Pemborongan Pemeliharaan Tanaman Kelapa
Sawit Antara Hutagodang Estate dengan PT Sari Saawit Kencana ... 58
B. Penerapan Serta Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Pemeliharaan Kelapa
Sawit ... 69
C. Berakhirnya Perjanjian Pemborongan Pemeliharaan Tanaman Kelapa Sawit
Antara Hutagodang Estate dengan PT Sari Sawit Kencana ... 83
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 88
B. Saran ... 89
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Muhammad Faisal Dalimunthe*
Sinta Uli,S.H,M.Hum**
Rabiatul Syahriah,S.H,M.Hum***
Pelaksanaan perjanjian adalah perbuatan memenuhi kewajiban dan memperoleh hak yang telah disepakati oleh pihak-pihak sehingga tercapai tujuan antara para pihak yang mana para pihak melaksanakan perjanjian dengan sempurna dan itikad baik sesuai dengan persetujuan yang telah dicapai. Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimana proses terjadinya perjanjian pemborongan pemeliharaan tanaman kelapa sawit antara hutagodang estate dengan PT sari sawit kencana, bagaimana pelaksanaan perjanjian pemborongan pemeliharaan kelapa sawit, bagaimanakah berakhirnya perjanjian pemborongan pemeliharaan tanaman kelapa sawit antara hutagodang estate dengan PT sari sawi kencana.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah yuridis normatif dan yuridis empiris yang bersifat deskriptif yang dilakukan melalui penelusuran data-data yang di kumpulkan oleh bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Proses terjadinya perjanjian pemborongan antara Hutagodang Estate dengan PT. Sari Sawit Kencana LabuhanBatu melakukan pelelangan yang menggunakan pelelangan terbatas. Pelelangan terbatas diikuti oleh sekurang-kurangnya 5 (lima) rekanan yang tertentu dalam daftar rekanan. Pelelangan terbatas tersebut dilakukan sekurang-kurangnya selama 7 (tujuh) hari kerja dalam pengumuman yang akan dilakukan di papan pengumuman resmi. Pelaksanaan perjanjian pemborongan pemeliharaan kelapa sawit dilakukan pada saat Tanaman Belum Menghasilkan yang merupakan tanaman kelapa sawit yang berumur lebih dari enam bulan sampai umur tiga tahun dan dilakukan juga pada saat Tanaman Menghasilkan dimana tanaman kelapa sawit berusia pada umur sekitar empat tahun yang masa buahnya dijaga agar tanaman memiliki masa menghasilkan yang lama. Berakhirnya suatu perjanjian pemborongan terjadi apabila pekerjaan antara para pihak telah diserah terimakan dan telah dituangkan dalam berita acara serah terima pekerjaan, perjanjian pemborongan juga dapat berakhir apabila adanya pembatalan perjanjian pemborongan serta adanya kematian pemborong serta kepailitan
Kata Kunci : Perjanjian , Pemborongan , Pemeliharaan Tanaman Kelapa Sawit
* Mahasiswi Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan dan kemajuan masyarakat dalam masa pembangunan sekarang
ini menimbulkan pengaruh yang besar terhadap perkembangan hukum.
Perkembangan hukum yang dimaksud ialah dengan adanya perjanjian – perjanjian
yang di pergunakan sehari – hari. Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.1
Menurut ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian yang dibuat dengan
sah “berlaku sebagai undang-undang” untuk mereka yang membuatnya. Kalimat ini
dimaksudkan, tidak lain, bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah artinya tidak
bertentangan dengan undang-undang mengikat kedua belah pihak. Perjanjian itu pada
umumnya tidak dapat ditarik kembali, kecuali dengan persetujuan kedua belah pihak
atau berdasarkan alasan-alasan yang ditetapkan oleh undang-undang.2
Pelaksanaan perjanjian adalah perbuatan merealisasikan atau memenuhi
kewajiban dan memperoleh hak yang telah disepakati oleh pihak – pihak sehingga
1
Handri Rahardjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2009, hal 41
2
tercapai tujuan mereka. Masing – masing pihak melaksanakan perjanjian dengan
sempurna dan itikad baik sesuai dengan persetujuan yang telah dicapai.3
Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu hasil – hasil pembangunan harus dapat
dinikmati seluruh rakyat sebagai peningkatan kesejahteraan lahir dan batin secara adil
dan merata. Sebaliknya, berhasilnya pembangunan tergantung partisipasi seluruh
rakyat, yang berarti pembangunan harus dilaksanakan secara merata oleh segenap
lapisan masyarakat.
Untuk mencapai kesejahteraan di Indonesia diperlukan pembangunan, dimana
kesejahteraan masyarakat itu sangat erat sekali kaitannya dengan masalah
pembangunan. Dalam era reformasi saat ini pembangunan tidak hanya dilakukan
dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya saja, tetapi pembangunan juga
diatur dalam bidang hukum.
4
Perjanjian pemborongan pekerjaan adalah suatu perjanjian antara pihak yang
memborongkan pekerjaan dengan pihak yang memborong pekerjaan, dimana pihak
pertama menghendaki sesuatu hasil pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lawan, atas
pembayaran suatu jumlah uang sebagai harga pemborongan.5
3
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, hal 307
4
Fx. Djumialji, Perjanjian Pemborongan, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hal 5
Dari definisi tersebut dapat dikatakan:
a. Bahwa yang membuat perjanjian pemborongan atau dengan kata
lain yang terkait dalam perjanjian pemborongan adalah dua pihak
saja yaitu: Pihak kesatu disebut yang memborongkan dan pihak
kedua disebut pemborong.
b. Bahwa objek dari perjanjian pemborongan adalah pembuatan suatu
karya.6
Perbedaan perjanjian kerja dengan perjanjian pemborongan yaitu bahwa
dengan perjanjian kerja terdapat unsur subordinasi, sedangkan pada perjanjian
pemborongan menunaikan jasa ada koordinasi.
Peraturan – peraturan mengenai perjanjian pemborongan pekerja yang bersifat
perdata/privat dan berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Ketentuan – ketentuan ynag terdapat dalam Bab 7A Buku III KUH
Perdata yang berjudul “Perjanjian untuk melakukan pekerjaan”, Pasal
1601 huruf b, Pasal 1604 sampai Pasal 1616. Ketentuan – ketentuan
perjanjian pemborongan pekerjaan yang diatur dalam KUH Perdata ini
berlaku sebagai hukum pelengkap.
b. Ketentuan – ketentuan dalam A.V.1941 yang merupakan singkatan dari
“Algemene Voorwaarden voorde unitvoering bij aannemig van openbare
werken in Indonesia”, yang terjemahannya adalah syarat – syarat umum
6
Fx. Djumialdji, Hukum Bangunan, dasar-dasar Hukum dalam Proyek dan Sumber Daya
untuk pelaksanaan pemborongan pekerja umum di Indonesia. A.V.1941
merupakan peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda, yang
merupakan peraturan standar atau baku bagi perjanjian pemborongan di
Indonesia khususnya untuk proyek – proyek pemerintah tetapi isinya
banyak yang sudah tidak sesuai dengan zaman sekarang.7
c. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang jasa Konstruksi beserta
peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi, Peraturan
Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa
Konstruksi, dan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi, Peraturan Presiden Nomor 4
Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
d. Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 beserta perubahannya yang
merupakan penyempurnaan Keputusan Presiden 54 tahun 2010 yang
merupakan penyempurnaan Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003
dari Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pengadaan
Barang dan Jasa Instansi Pemerintah Undang – undang, Peraturan
Pemerintah dan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tersebut diatas
merupakan peraturan baru yang berlaku bagi kegiatan pekerjaan
konstruksi yang mengakibatkan ketentuan dalam A.V.1941 hanya berlaku
sepanjang tidak diatur dalam peraturan yang baru.
7
Perjanjian pemborongan bersifat konsensuil yaitu perjanjian pemborongan itu
ada atau lahir sejak adanya kata sepakat antara kedua belah pihak yaitu pihak yang
memborongkan dengan pihak pemborong mengenai pembuatan suatu karya dan harga
borongan atau kontrak.
Dengan adanya kata sepakat tersebut, perjanjian pemborongan mengikat
kedua belah pihak artinya para pihak tidak dapat membatalkan perjanjian
pemborongan tanpa persetujuan pihak lainnya. Jika perjanjian pemborongan
dibatalkan atau diputuskan secara sepihak maka pihak lainnya dapat menuntutnya.8
“ Aspek hukum perjanjian pemborongan pemeliharaan tanaman kelapa sawit
antara Hutagodang Estate dengan PT Sari Sawit Kencana LabuhanBatu”
Perjanjian pemborongan pemeliharaan tanaman kelapa sawit merupakan salah
satu bidang usaha pemborongan pekerjaan yang berkembang, dan untuk mencapai
keefektifan pelaksanaan pemeliharaan tanaman kelapa sawit tersebut, para pihak yang
terlibat tidak boleh mengabaikan akta pentingnya perjanjian, dimana pemborong
dalam melakukan pekerjaannya harus selalu berpatokan pada isi perjanjian yang
disepakati bersama antara pemborongan dengan yang memborongkan karena apabila
terjadi penyimpangan bisa dijadikan alasan untuk menyatakan telah terjadi
wanprestasi.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dianggap penting untuk
mengangkat topic penulisan skripsi dengan judul:
8
B. Permasalahan
Berdasarkan pengamatan dan penelaahan, maka permasalahan yang di angkat
dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaimanakah proses terjadinya perjanjian pemborongan pemeliharaan
tanaman kelapa sawit antara Hutagodang Estate dengan PT Sari Sawit
Kencana ?
2. Bagaimanakah pelaksanaan perjanjian pemborongan pemeliharaan kelapa
sawit?
3. Bagaimanakah berakhirnya perjanjian pemborongan pemeliharaan
tanaman kelapa sawit antara Hutagodang Estate dengan PT Sari Sawit
Kencana ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana proses terjadinya perjanjian pemborongan
pemeliharaan tanaman kelapa sawit antara Hutagodang Estate dengan PT
Sari Sawit Kencana.
2. Untuk mengetahui secara mendalam mengenai pelaksanaan perjanjian
pemborongan pemeliharaan kelapa sawit.
3. Untuk mengetahui bagaimana cara berakhirnya perjanjian pemborongan
pemeliharaan tanaman kelapa sawit antara Hutagodang Estate dengan PT
D. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah:
1. Secara Teoretis
Tulisan ini menambah wawasan bagi ilmu pengetahuan untuk lebih
mengetahui secara mendalam mengenai prosedur- prosedur perjanjian
yang sah dan mengenai prosedur - prosedur perjanjian pemborongan yang
sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
2. Secara Praktis
Tulisan ini dapat memberikan manfaat yang dapat dijadikan sebagai
pedoman dan masukan bagi PT Sari Sawit Kencana terhadap masalah
seputar wanprestasi yang akan terjadi terhadap perjanjian pemborongan.
E. Metode Penelitian
Dalam rangka mencari dan menemukan suatu kebenaran ilmiah dan
mendapatkan hasil yang optimal dalam melengkapi bahan-bahan bagi penulisan
skripsi ini, maka metode yang dilakukan meliputi:
1. Jenis dan sifat penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian
hukum yang bersifat yuridis normatifyaitu pendekatan yang menggunakan konsep
legis-positivis yang menyatakan bahwa hukum adalah identik dengan norma-norma
berwenang. Selain itu konsep ini juga memandang hukum sebagai sistem normatif
yang bersifat otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat.9
Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif-analitis, yaitu data yang
dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan serta juga tingkah laku yang
nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.10
2. Sumber data
Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder dan data primer.
data primer yaitu data yang diperoleh dari tangan pertama atau secara langsunng dari
narasumber, seperti wawancara. Data skunder yaitu data yang diperoleh melalui studi
kepustakaan, meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, situs internet,
media massa, dan kamus serta data yang terdiri dari:
a. Bahan Hukum Primer, yaitu norma-norma atau kaedah-kaedah dasar
seperti Pembukaan UUD 1945, Peraturan Dasar seperti peraturan
Perundang-undangan yang meliputi undang-undang, Peraturan
Pemerintah, dan Peraturan Menteri, khususnya yang berkaitan dengan
perlindungan konsumen.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu buku-buku yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer seperti buku-buku yang menguraikan
9
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta,1988, hal 11
10
materi yang tertulis yang dikarang oleh para sarjana, bahan-bahan
mengajar dan lain-lain.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu kamus, bahan dari internet dan lain-lain yang
merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder.11
3. Metode pengumpulan data
Penelitian perpustakaan, yaitu penelitian yang menunjukkan perpustakaan
sebagai tempat dilaksanakannya suatu penelitian. Sebenarnya suatu penelitian mutlak
menggunakan kepustakaan sebagai sumber data sekunder. Di tempat inilah diperoleh
hasil-hasil penelitian dalam bentuk tulisan yang sangat berguna bagi mereka yang
sedang melaksanakan penelitian. Peneliti dapat memilih dan memecahkan dan
menjawab permasalahan pada penelitian yang dilaksanakan.12
11
Ronny Hanitijo Soemitro, Op.cit. hal 24 12
Tampil Anshari Siregar, Metode Penelitian Hukum, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005, hal 21
Penelitian lapangan, yaitu tempat para peneliti untuk mendapatkan data
primer. dalam penelitian tidak hanya mencukupkan data sekunder yang telah
diperoleh dari kepustakaan, tetapi juga didukung oleh data lapangan wawancara,
yaitu wawancara kepada pihak PT Sari Sawit Kencana. Kelengkapan data sangat
menentukan hasil penelitian yang diperoleh. Dalam penulisan ini, lokasi penelitian
F. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini didasarkan kepada ide dan pemikiran secara pribadi dari
awal hingga akhir penyelesaian. Ide maupun pemikiran yang ada muncul karena
melihat kondisi yang berkembang saat ini mengenai proses perjanjian pemborongan
yang dilakukan para pihak. Dengan kata lain, tulisan ini bukanlah merupakan hasil
ciptaan ataupun penulisan orang lain. Oleh karena itu, keaslian dari penulisan ini
terjamin adanya. Kalaupun ada judul penulisan yang hampir menyerupai namun
berbeda tempat risetnya adalah sebagai berikut:
1. Perjanjian (Kontrak) Pemborongan Pekerjaan Pemeliharaan Tanaman
Kelapa Sawit oleh CV. Kaliwangi.
Nama : Rahmat Purba
NIM : 990221041
Tahun : 2001
Rumusan masalah :
a. Dalam perjanjian pemborongan ada beberapa proses atau cara yang
dilakukan oleh pemborong pekerjaan dalam suatu proyek, dalam hal
ini yang dipermasalahkan adalah bagaimanakah proses pemborongan
yang dilakukan oleh CV.KALIWANGI dalam perjanjian (kontrak)
pemborongan pekerjaan pemeliharaan tanaman kelapa sawit di Kebun
Bukit Sentang ?
b. Dalam suatu perjanjian (kontrak) pemborongan pekerjaan diperlukan
tidak sesuainya pemenuhan prestasi kerja dengan apa yang telah
diperjanjikan sebelumnya yang telah dituangkan dalam perjanjian
(kontrak), yang menjadi masalah adalah apakah yang menjadi jaminan
dalam perjanjian (kontrak) pemborongan pekerjaan pemeliharaan
tanaman kelapa sawit oleh CV.KALIWANGI di Kebun Bukit
Sentang?
c. Dalam suatu perjanjian (kontrak) pemborongan pekerjaan tidaklah
selalu berjalan lancar dan mulus, tetapi bisa timbul perselisihan
diantara kedua belah pihak, yang menjadi masalah adalah bagaimana
cara penyelesaian perselisihan tersebut, apakah ada diatur dalam
perjanjian (kontrak) atau tidak?
2. Aspek Hukum Perjanjian Pemborongan Pemeliharaan Tanaman Kelapa
Sawit antara UD. RAP Maruli dengan Perkebunan Nusantara IV. Unit
Kebun Gunung Bayu (PERSERO) (Studi: UD. RAP MARULI dan PT.
PERKEBUNAN NUSANTARA IV. UNIT KEBUN BAYU PERSERO).
Nama : Ayu Andanaly
NIM : 030200029
Tahun : 2008
Rumusan masalah :
a. Bagaimanakah proses pemborongan yang dilakukan oleh UD.RAP
MARULI dalam perjanjian pemborongan pemeliharaan tanaman
kelapa sawit di PT. Perkebunan Nusantara IV. Unit Kebun Gunung
b. Apakah yang menjadi jaminan dalam perjanjian pemborongan
pemeliharaan tanaman kelapa sawit oleh UD.RAP MARULI di
PT.Perkebunan Nusantara IV. Unit Kebun Gunung Bayu (Persero) ?
c. Bagaimanakah cara penyelesaian perselisihan tersebut?
Akan tetapi substansi pembahasan dan tempat riset dalam skripsi ini sangatlah
berbeda sehingga keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan.
G. Sistematika Penulisan
Penyusunan skripsi ini di uraikan dalam sistematika yang secara garis
besarnya terdiri atas 5 (lima) bab dan tiap – tiap bab terdiri dari sub – sub sebagai
berikut :
Bab I Pendahuluan
Bab ini merupakan bab yang menguraikan tentang hal – hal yang
umum yang mendasari penulisan skripsi ini, yang terdiri dari latar
belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode
penelitian, keaslian penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II Tinjauan Umum tentang Perjanjian dan Pengaturan Menurut KUH
Perdata
Dalam bab ini membahas gambaran secara umum mengenai hukum
perjanjian, asas – asas dalam perjanjian, syarat sahnya perjanjian, serta
Bab III Perjanjian Pemborongan dan Pengaturannya
Dalam bab ini dikemukakan secara umum mengenai perjanjian
pemborongan dan bentuk-bentuk perjanjian pemborongan,
macam-macam dan jenis perjanjian pemborongan serta pihak-pihak dalam
perjanjian pemborongan.
Bab IV Aspek Hukum Perjanjian Pemborongan antara Hutagodang Estate
dengan PT Sari Sawit Kencana LabuhanBatu.
Dalam bab ini diuraikan tentang pokok permasalahan yang terdiri dari
Proses terjadinya perjanjian pemborongan pemeliharaan tanaman
kelapa sawit antara Hutagodang Estate dengan PT Sari Sawi Kencana,
penerapan serta pelaksanaan perjanjian pemborongan pemeliharaan
kelapa sawit, berakhirnya perjanjian pemborongan pemeliharaan
kelapa sawit antara Hutagodang Estate dengan PT Sari Sawit Kencana.
Bab V Kesimpulan dan Saran
Dalam bab ini merupakan bab yang membahas penutupan dari seluruh
bab – bab sebelumnya. Dalam bab ini berisikan kesimpulan dan saran
yang dibuat berdasarkan urain skripsi ini, kemudian dilengkapi dengan
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN
MENURUT KUH PERDATA
A. Pengertian Perjanjian dan Asas – Asas dalam Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Pasal 1313 KUH Perdata menyatakan “Suatu perjanjian adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih”.
Perjanjian merupakan sumber perikatan atau dengan kata lain perikatan biasa
lahir dari perjanjian. Perikatan merupakan suatu perbuatan hukum antara dua pihak,
dimana pihak menuntut sesuatu dari pihak yang lain yang mempunyai kewajiban
memenuhi tuntutan ini. Dalam arti luas perjanjian berarti setiap perjanjian yang
menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki oleh para pihak.
Peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum antara pihak yang
satu dan pihak yang lain. Dalam hubungan hukum tersebut, setiap pihak memiliki hak
dan kewajiban timbal balik. Pihak yang satu mempunyai hak untuk menuntut sesuatu
terhadap pihak lainnya dan pihak lain itu wajib memenuhi tuntutan itu, juga
sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan disebut pihak yang dituntut
(debitur). Sesuatu yang dituntut disebut prestasi.13
“suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasarkan kata
sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan di antara mereka (para
pihak / subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu
berhak atas prestasi dan begitu juga subjek hukum yang lain berkewajiban yang telah
disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum.
Perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata. Perjanjian adalah “Suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih”.
Penyempurnaan terhadap definisi perjanjian pada Pasal 1313 KUHPerdata
adalah sebagai berikut:
14
“Perjanjian adalah persetujuan dengan mana dua pihak atau lebih saling
mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal yang bersifat kebendaan di
bidang harta kekayaan.”
Dalam arti sempit perjanjian dapat diartikan sebagai berikut:
15
Definisi dalam arti sempit ini jelas menunjukkan telah terjadi persetujuan
(persepakatan) antara pihak yang satu (kreditur) dan pihak yang lain (debitur), untuk
melaksanakan suatu hal yang bersifat kebendaan (zakelijk) sebagai objek perjanjian.
13
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, hal 229 14
Handri Rahardjo, Op. Cit, hal 42 15
2. Asas – Asas dalam Perjanjian
Asas – asas hukum yang penting diperhatikan pada waktu membuat perjanjian
maupun pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
a. Asas kebebasan berkontrak
Asas ini bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan
siapa pun, apa pun isinya, apa pun bentuknya sejauh tidak melanggar
undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan (Pasal 1337 KUH
Perdata).
Dalam perkembangannya hal ini tidak lagi bersifat mutlak tetapi relative
(kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab). Asas inilah yang
menyebabkan hukum perjanjian bersistem terbuka. Pasal – pasal dalam
hukum perjanjian sebagian besar karena Pasal 1320 KUHPerdata bersifat
memaksa dinamakan hukum pelengkap karena para pihak boleh membuat
ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum
perjanjian.
Jika dipahami secara seksama maka asas kebebasan berkontrak memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk:
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian
2. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya
Namun, keempat hal tersebut boleh dilakukan dengan syarat tidak
melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.16
b. Asas Konsensualisme
Asas ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dalam pasal
itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas
yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara
formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan
yang dibuat oleh kedua belah pihak.17
c. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas ini disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan
dengan akibat perjanjian, bahwa asas ini adalah dimana hakim atau pihak
ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak,
sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh
melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para
pihak. Asas ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, yang berbunyi: “ Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang.”
16
Handri Rahardjo, Op. Cit, hal 44 17
d. Asas Iktikad Baik
Asas ini disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang
berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.” Asas ini
merupakan bahwa para pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan
substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh
atau kemauan baik dari para pihak.
Asas iktikad baik ini dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Iktikad baik nisbi yaitu orang memperhatikan sikap dan tingkah laku
yang nyata dari subjek.
2. Iktikad baik mutlak yaitu penilaiannya terletak pada akal sehat dan
keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan menurut
norma-norma yang objektif.
e. Asas kepribadian
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang
yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan
perorangan saja. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1315 dan Pasal 1340
KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi: “Pada umumnya
seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk
dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan
perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUH
Perdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antar pihak yang
membuatnya.” Inti ketentuan ini bahwa perjanjian yang dibuat oleh para
ada pengecualiannya sebagaimana yang di jelaskan dalam Pasal 1317
KUH Perdata. Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat
mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga.
Jika dibandingkan kedua pasal itu maka dalam Pasal 1317 KUH Perdata
mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam pasal
1318 KUH Perdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan
orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Sedangkan Pasal 1317
KUH Perdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318
KUH Perdata memiliki ruang lingkup luas.18
B. Syarat – Syarat Sahnya Perjanjian
1. Kesepakatan
Syarat sahnya perjanjian yang pertama adalah kesepakatan para pihak,
kesepakatan diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Kesepakatan adalah
persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak
lainnya. Yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak
dapat dilihat atau diketahui orang lain.
Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu:
a. Bahasa yang sempurna dan tertulis;
b. Bahasa yang sempurna dan lisan;
c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.
Karena dalam kenyataannya sering kali seseorang menyampaikan
18
dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi di mengerti oleh pihak
lawannya;
d. Bahwa syarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
e. Diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.19
2. Kecakapan Bertindak
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk
melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan
menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan
perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dam mempunyai wewenang
untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh
undang-undang. Orang yang cakap atau mempunyai wewenang untuk
melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran
kedewasaan adalah telah berumur 21 tahun dan atau sudah kawin. Orang
yang tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah;
a. Orang yang belum dewasa
Menurut Pasal 330 KUH Perdata, belum dewasa adalah mereka yang
belum mencapai umur genap 21 tahun dan belum pernah kawin. Apabila
perkawinan itu dibubarkan sebelum mereka genap 21 tahun maka tidak
berarti mereka kembali lagi dalam keadaan belum dewasa.
b. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan
Menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya.
Seseorang yang berada di bawah pengawasan pengampuan,
19
kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa. Jika
seorang anak yang belum dewasa harus diwakili orang tua atau walinya,
maka seseorang dewasa yang berada di bawah pengampuan harus
diwakili oleh pengampu atau kuratornya. Dalam Pasal 433 KUH
Perdata disebutkan bahwa setiap orang dewasa yang selalu berada
dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap, harus di bawah
pengampuan jika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya.
Seseorang yang telah dewasa dapat juga berada di bawah pengampuan
karena keborosannya.
c. Istri dalam Pasal 1330 KUH Perdata. Namun dalam perkembangannya
istri dapat melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo SEMA Nomor. 3 Tahun 1993.
3. Adanya Objek Perjanjian
Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek
perjanjian adalah pokok perjanjian. Pokok perjanjian adalah apa yang
menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Pokok
perjanjian ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif. Yang menjadi pokok
perjanjian adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat
sesuatu, misalnya adalah jual beli dimana menyerahkan hak milik atas
rumah itu dan menyerahkan uang harga dari pembelian rumah itu.
Pokok perjanjian itu harus ditentukan, dibolehkan, dimungkinkan, dan dapat
perjanjian, isi perjanjian harus dipastikan dalam arti dapat ditentukan secara
cukup.
4. Adanya sebab yang halal
Undang-undang tidak menyebutkan pengertian mengenai sebab. yang
dimaksud dengan sebab bukanlah sesuatu yang mendorong para pihak
untuk mengadakan perjanjian, karena alasan yang menyebabkan para pihak
untuk membuat perjanjian itu tidak menjadi perhatian umum. Adapun sebab
yang tidak diperbolehkan ialah jika isi perjanjian bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.20
Perjanjian sah dan mengikat adalah perjanjian yang memenuhi unsur-unsur
dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang sah dan
mengikat diakui dan memiliki akibat hukum. Menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Syarat yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif, karena menyangkut
pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ketiga keempat disebut
syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian.
Dari uraian di atas, apabila syarat subjektif tidak terpenuhi, maka salah satu
pihak dapat meminta supaya perjanjian itu dibatalkan, namunapabila para pihak tidak
ada yang keberatan, maka perjanjian itu dianggap sah. Sementara itu apabila syarat
objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum.
Perdata setiap perjanjian selalu memiliki empat unsur dan pada setiap unsur melekat
syarat-syarat yang ditentukan undang-undang.
Perjanjian yang tidak memenuhi unsur-unsur dan syarat-syarat seperti yang
ditentukan di atas tidak akan diakui oleh hukum walaupun diakui oleh pihak-pihak
yang membuatnya, tetapi tidak mengikat, artinya tidak wajib dilaksanakan. Apabila
dilaksanakan juga, sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakuinya dan
menimbulkan sengketa.
Perjanjian yang tidak memenuhi unsur-unsur dapat merupakan konsekuensi
hukum dari tidak terpenuhinya salah satu atau lebih syarat-syarat sahnya kontrak
bervariasi mengikuti syarat mana yang dilanggar. Konsekuensi hukum tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Batal demi hukum
Dimana dalam hal dilanggarnya syarat objektif dalam Pasal 1320 KUH
Perdata syarat objektif adalah perihal tertentu dan kausa yang legal.
b. Dapat dibatalkan
Dalam hal tidak terpenuhinya syarat subjektif dalam Pasal 1320 KUH Perdata
syarat subjektif tersebut adalah kesepakatan kehendak dan kecakapan berbuat.
c. Kontrak itu dapat dilaksanakan
Kontrak yang tidak dapat dilaksanakan adalah kontrak tidak begitu saja batal
tetapi tidak dapat dilaksanakan, melainkan masih mempunyai status hukum
kontrak tidak dapat dilaksanakan masih mungkin dikonvensi menjadi kontrak
yang sah. Sedangkan bedanya dengan kontrak yang dapat dibatalkan adalah
bahwa dengan kontrak yang dapat dibatalkan, kontrak tersebut sudah sah,
mengikat dan dapat dilaksanakan sampai dengan dibatalkan kontrak tersebut,
sementara kontrak yang tidak dapat dilaksanakan belum mempunyai kekuatan
hukum sebelum dikonversi menjadi kontrak yang sah.
d. Sanksi administratif
Ada juga syarat kontrak yang apabila tidak dipenuhi hanya mengakibatkan
dikenakan sanksi administratif saja terhadap salah satu pihak atau kedua belah
pihak dalam kontrak tersebut.21
1) Perjanjian mengikat para pihak
Dimana telah diuraikan di atas bahwa perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian tidak
dapat ditarik kembali selain sepakat kedua belah pihak. Atau karena alasan-alasan
yang cukup menurut undand-undang dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Hal
ini merupakan, akibat hukum yang timbul dalam perjanjian.
Akibat dari suatu perjanjian menurut Pasal 1338 KUH Perdata, adalah:
Yang dimaksud dengan para pihak adalah para pihak yang membuatnya
yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1340 KUH Perdata, ahli waris
berdasarkan alas hak umum karena mereka itu memperoleh segala hak
21
dari seseorang secara tidak terperinci, serta yang dimaksud dengan para
pihak juga dimaksudkan pada pihak ketiga yang diuntungkan dari
perjanjian yang dibuat berdasarkan alas hak khusus karena mereka
memperoleh segala hak dari seseorang secara terperinci atau khusus.
2) Perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak karena Pasal 1338
ayat (2) KUH Perdata merupakan kesepakatan diantara kedua belah pihak
dan alasan- alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
3) Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik yang ditentukan dalam
Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Melaksanakan apa yang menjadi hak di
satu pihak dan kewajiban di pihak yang lain dari yang membuat
perjanjian. Hakim berkuasa menyimpangi isi perjanjian bila bertentangan
dengan rasa keadilan. Sehingga ada suatu perjanjian dapat dilaksanakan
harus dilandasi dengan prinsip iktikad baik, prinsip kepatutan, kebiasaan
dan sesuai dengan undang-undang. Dimasukkannya itikad baik dalam
pelaksanaan perjanjian berarti kita harus menafsirkan perjanjian itu
berdasarkan keadilan dan kepatutan.22
Dengan adanya akibat hukum yang timbul dalam perjanjian maka perjanjian
itu menimbulkan akibat hukum yang sah dan mengikat berlaku sebagai
undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya tidak dapat dibatalkan tanpa persetujuan
kedua belah pihak dan harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Dimana akibat hukum
yang timbul di dalam perjanjian yang sah.
22
(a) Berlaku sebagai undang-undang
Dikatakan berlaku sebagai undang-undang artinya perjanjian mempunyai
kekuatan mengikat dan memaksa serta memberi kepastian hukum kepada
pihak-pihak yang membuatnya. Pihak-pihak wajib menaati perjanjian itu
sama dengan menaati undang-undang. Apabila ada pihak yang melanggar
undang-undang sehingga diberi akibat hukum tertentu, yaitu sanksi
hukum. Jadi, siapa yang melanggar perjanjian dia dapat dituntut dan diberi
hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
(b) Tidak dapat dibatalkan sepihak
Perjanjian adalah persetujuan kedua belah pihak, jika akan dibatalkan
harus dengan persetujuan kedua belah pihak juga. Namun, jika ada alasan
yang cukup menurut undang-undang perjanjian dapat dibatalkan secara
sepihak.
(c) Pelaksanaan dengan iktikad baik
Pada Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata iktikad baik adalah ukuran objektif
untuk menilai pelaksanaan perjanjian, apakah pelaksanaan perjanjian itu
mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan serta apakah
pelaksanaan perjanjian itu telah berjalan dengan benar.
Apabila terjadi selisih pendapat antara pelaksanaan perjanjian dengan
mengawasi dan menilai pelaksanaan, apakah ada pelanggaran terhadap
norma-norma kepatutan dan kesusilaan itu.23
C. Berakhirnya Suatu Perjanjian
Tentang hapusnya perjanjian yang mengakibatkan berakhirnya suatu
perjanjian diatur dalam buku III KUH Perdata, hapusnya persetujuan berarti
menghapuskan semua pernyataan kehendak yang telah dituangkan dalam
persetujuan dengan sendirinya menghapuskan seluruh perjanjian, tetapi belum
tentu dengan hapusnya perjanjian akan menghapuskan persetujuan hanya saja
persetujuan itu tidak akan mempunyai kekuatan, maka pelaksanaan suatu
perjanjian itu telah dipenuhi debitur.
Adapun macam-macam penghapusan perjanjian dalam Pasal 1381 KUH
Perdata adalah, sebagai berikut:
1. Karena pembayaran
2. Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan
3. Karena pembaharuan hutang
4. Karena perjumpaan hutang atau kompensasi
5. Karena pencampuran hutang
6. Karena pembebasan hutang
7. Karena musnahnya barang yang terhutang
8. Karena kebatalan atau pembatalan
9. Karena kadaluwarsa.24
23
Ad. 1. Pembayaran
Hal ini adalah yang paling penting karena mengenai betul-betul
pelaksanaan perjanjian. Hal pembayaran ini diatur dalam Pasal 1382 sampai
Pasal 1403 KUH Perdata.
Pembayaran disini adalah pembayaran dalam arti luas, tidak saja
pembayaran berupa uang juga penyerahan barang yang dijual oleh penjualnya.
Pembayaran itu sah apabila pemilik berkuasa memindahkannya, pembayaran
itu harus dilakukan kepada si berhutang atau seseorang yang dikuasakan
untuk menerima.
Tiap-tiap perikatan dapat dipenuhi oleh siapa saja yang berkepentingan
seperti seseorang yang merupakan si berhutang atau seseorang penanggung
hutang. Suatu perikatan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga yang
tidak mempunyai kepentingan asal saja pihak ketiga itu bertindak atas nama
dan untuk melunasi hutangnya si berhutang atau bertindak atas namanya
sendiri asal tidak menggantikan hak-hak si berpiutang.
Ad. 2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan perjanjian
Hal ini diatur dalam Pasal 1404 sampai 1412 KUH Perdata. Usaha ini
adalah perlu, oleh karena biasanya dianggap bahwa pihak-pihak tidak ada
kewajiban untuk menerima pelaksanaan perjanjian.
24
Namun adakalanya kreditur menolak pembayaran yang dilakukan debitur.
Hal ini dimana kreditur berada dalam keadaan wanprestasi, apabila terjadi
debitur dapat menuntut pemutusan dan pembatalan perjanjian ataupun ganti
rugi.
Hal ini kemungkinan bahwa perjanjian yang telah dibuat oleh kreditur
dan debitur akan memberatkan debitur apabila pembayaran tidak segera
dilakukan seperti pada perjanjian untuk menyerahkan barang atau uang yang
memakai bunga tinggi maka dalam hal ini debitur dapat melakukan
penawaran pembayaran, namun apabila debitur segera membayar dengan
suatu penitipan barang yang ditetapkan pula oleh undang-undang maka
bebaslah debitur dari kewajibannya dan dianggap telah terjadi suatu
pembayaran yang sah.25
25
Ibid, hal 193
Ad. 3 Pembaharuan hutang
Pembaharuan hutang lahir atas dasar persetujuan para pihak untuk
membuat persetujuan dengan jalan menghapuskan perjanjian yang lama
dengan perjanjian yang baru.
Pembaharuan hutang diatur dalam Pasal 1413 KUH Perdata yang terdiri
1. Apabila seseorang yang berhutang membuat suatu perikatan-hutang
baru guna orang yang menghutangkan kepadanya, yang menggantikan
hutang yang lama, yang dihapuskan karena disebut novasi objektif.
2. Apabila seorang berhutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang
yang berhutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari
perikatannya, disebut novasi subjektif.
3. Apabila sebagai akibat suatu persetujuan baru, seorang berpiutang
baru ditunjuk untuk menggantikan orang berpiutang lama, terhadap
siapa si berhutang dibebaskan dari perikatannya, disebut novasi
subjektif aktif.
Dalam Pasal 1414 KUH Perdata diterangkan bahwa “pembaharuan
hutang hanya dapat terlaksana antara orang-orang yang cakap untuk
mengadakan perikatan-perikatan”. Dalam Pasal 1415 KUH Perdata
ditegaskan bahwa “tiada pembaharuan hutang yang dipersangkakan,
kehendak seseorang untuk mengadakan harus dengan tegas ternyata dari
perbuatannya”.26
Perjumpaan hutang adalah suatu cara penghapusan hutang dengan jalan
memperjumpakan atau memperhitungkan hutang piutang secara timbal
balik antara kreditur dengan debitur dimana perjumpaan hutang diatur
dalam Pasal 1424 KUH Perdata. Ad. 4 Perjumpaan Hutang atau Kompensasi
26
Dalam Pasal 1426 KUH Perdata menyatakan “ perjumpaan terjadi demi
hukum, bahkan dengan tidak setahunya orang-orang yang berhutang, dan
kedua hutang itu yang satu menghapuskan yang lain dan sebaliknya, pada
saat hutang-hutang itu bersama-sama ada, bertimbal balik untuk
diperjumpakan kecuali dalam tiga hal yang disebutkan dalam Pasal 1429
KUH Perdata:
a. Apabila dituntut pengembalian suatu barang yang secara berlawanan
dengan hukum dirampas dari pemiliknya.
b. Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau
dipinjamkan.
c. Terhadap suatu hutang yang bersumber pada tunjangan-nafkah telah
dinyatakan tidak dapat disita.
Ad. 5 Pencampuran Hutang
Dalam Pasal 1436 KUH Perdata pencampuran hutang ini terjadi
apabila kedudukan-kedudukan sebagai orang berpiutang dan orang berhutang
berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu pencampuran
hutang, dengan mana piutang dihapuskan.
Mariam Darus Badrulzaman, “mengatakan bahwa percampurqan
hutang adalah percampuran kedudukan dari partai yang mengadakan
kreditur. Dalam hal ini demi hukum perikatan yang semula ada diantara kedua
belah pihak”.
Hal yang menyebabkan terjadinya percampuran hutang adalah:
a. Perkawinan, dengan pencampuran harta antara si berpiutang
dengan si berhutang.
b. Apabila si berhutang menggantikan hak si berpiutang karena
warisan.27
Ad. 6. Pembebasan hutang
Pembebasan hutang terjadi apabila dengan tegas menyatakan tidak
menghendaki lagi prestasi dari kreditur dan melepaskan hak atas pembayaran.
Hal ini yang dibutuhkan adalah adanya kehendak kreditur disertai dengan
menggugurkan perjanjian itu sendiri. Dan yang dapat dikatagorikan sebagai
pembebasan hutang apabila pembebasan itu merupakan pelepasan hak oleh
kreditur terhadap debitur. Pembebasan hutang ini diatur dalam Pasal 1438
KUH Perdata.
Akibat dari pembebasan hutang ini tidak ada di atur dalam
undang-undang secara khusus, tetapi dengan pembebasan hutang ini maka perikatan
akan dianggap telah selesai atau hapus.
27
Ad. 7. Musnahnya barang yang terhutang
Musnahnya barang yang terhutang diatur dalam Pasal 1444 KUH Perdata
yang menyatakan “apabila tertentu yang menjadi bahan persetujuan, musnah,
tak lagi dapat diperdagangkan atau hilang, sedemikian hingga sama sekali
tidak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya,
asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya si berhutang dan sebelum
ia lalai menyerahkannya”.
Ad. 8. Kebatalan atau Pembatalan
Apabila suatu perjanjian harus dianggap batal meskipun tidak diminta
oleh suatu pihak. Maka perjanjian seperti itu dianggap tidak ada sejak semula,
batal mutlak adalah suatu perjanjian yang diadakan tanpa mengindahkan cara
yang secara mutlak dikehendaki oleh undang-undang. Pembatalan lain adalah
pembatalan tidak mutlak yaitu hanya terjadi jika diminta oleh orang-orang
tertentu dan hanya berlaku terhadap orang-orang tertentu.
Pembatalan perjanjian yang berdasarkan atas hal merugikan suatu pihak,
maka pembatalan tersebut dapat diminta untuk melakukan pembatalan
perjanjian.
Ad. 9. Daluwarsa atau Lampau waktu
Daluwarsa diatur dalam Pasal 1946 KUH Perdata yaitu adalah sesuatu
atau untuk dibebaskan dari sesuatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu
Suatu perikatan dapat hapus karena lewatnya waktu tetapi daluwarsa yang
dimaksud adalah daluwarsa yang batas waktunya telah ditetapkan oleh
undang-undang. Apabila dengan lampaunya jangka waktu tertentu maka
dianggap perjanjian telah hapus, sehingga debitur bebas dari kewajiban
memenuhi perjanjian dan dianggap seseorang telah memperoleh hak milik
BAB III
PERJANJIAN PEMBORONGAN DAN PENGATURANNYA
A. Pengertian Perjanjian Pemborongan dan Bentuk-bentuk Perjanjian
Pemborongan
1. Perjanjian Pemborongan
Sebagaimana diketahui, Negara Indonesia merupakan suatu negara yang
sedang membangun, di mana pada saat ini sedang giat melaksanakan pembangunan
disegala bidang, baik pembangunan di bidang fisik maupun di bidang non fisik.
Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati
seluruh rakyat sebagai peningkatan kesejahteraan lahir dan batin secara adil dan
merata. Sebaliknya, berhasil tidaknya pembangunan tergantung dari partisipasi
seluruh rakyat yang berarti pembangunan harus dilaksanakan secara merata oleh
segenap lapisan masyarakat.
Pelaksanaan pembangunan proyek-proyek ini melibatkan berbagai pihak
seperti pemberi tugas (bouwheer), pemborong, arsitek, agrarian, Pemda dan
sebagainya. Di samping itu dalam pelaksanaan pembangunan kita dihadapkan pada
peralatan-peralatan yang mutakhir dan canggih yang perlu di perhatikan.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata dalam Pasal 1601 b KUH Perdata, di
persetujuan dengan mana pihak yang satu si pemborong mengikatkan diri untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain, pihak yang memborongkan
dengan menerima suatu harga yang ditentukan.
Definisi perjanjian pemborongan di sini kurang tepat menganggap bahwa
perjanjian pemborongan adalah perjanjian sepihak sebab si pemborong hanya
mempunyai kewajiban saja sedangkan yang memborongkan hak saja. Sebenarnya
perjanjian pemborongan adalah perjanjian timbal balik hak dan kewajiban.Dengan
demikian definisi perjanjian pemborongan yang benar sebagai berikut: Pemborongan
pekerjaan adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong
mengikatkan diri untuk yang memborong, mengikatkan diri untuk membayar suatu
harga yang ditentukan.28
a. Bahwa yang membuat perjanjian pemborongan atau dengan kata lain yang
terkait dalam perjanjian pemborongan adalah dua pihak saja yaitu pihak
kesatu disebut yang memborongkan / prinsip /bouwheer / aanbesteder /
pemberi tugas dan sebagainya. Di mana pihak kedua disebut pemborong /
kontraktor / rekanan/ annemer / pelaksana dan sebagainya. Dari definisi tersebut dapat dikatakan bahwa:
b. Bahwa objek dari perjanjian pemborongan adalah pembuatan suatu karya ( het
maken van werk ).29
28
F.X Djumialdji, Op.Cit, hal 4 29
Perjanjian pemborongan diatur dalam Bab 7A Buku III KUH Perdata Pasal
1601 b, kemudian Pasal 1604 sampai dengan Pasal 1616. Yang terdapat tiga ( 3 )
macam untuk melakukan perjanjian yaitu:
1. Perjanjian Kerja
2. Perjanjian Pemborongan
3. Perjanjian menunaikan jasa
Ketiga perjanjian tersebut mempunyai persamaan yaitu bahwa pihak yang
satu melakukan pekerjaan bagi pihak yang lain dengan menerima upah. Hal ini
memiliki perbedaan antara perjanjian kerja dengan perjanjian pemborongan dan
perjanjian menunaikan jasa yaitu bahwa dalam perjanjian kerja terdapat unsur
subordinasi, sedangkan pada perjanjian pemborongan dan perjanjian menunaikan jasa
ada koordinasi. Namun perbedaan antara perjanjian pemborongan dengan perjanjian
menunaikan jasa, yaitu bahwa dalam perjanjian pemborongan berupa mewujudkan
suatu karya tertentu sedangkan dalam perjanjian menunaikan jasa berupa
melaksanakan tugas tertentu yang ditentukan sebelumnya.
Perjanjian pemborongan selain diatur dalam KUH Perdata juga diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang pelaksanaan anggaran
pendapatan dan belanja Negara.
Perjanjian pemborongan juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor : 4
Perjanjian pemborongan pada KUH Perdata bersifat pelengkap artinya
ketentuan-ketentuan perjanjian dalam KUH Perdata dapat digunakan oleh para pihak
dalam perjanjian pemborongan dapat membuat sendiri ketentuan-ketentuan perjanjian
pemborongan asal tidak bertentangan atau dilarang oleh undang-undang serta tidak
bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
Apabila para pihak dalam perjanjian pemborongan membuat sendiri
ketentuan-ketentuan yang disepakati maka ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata
dapat melengkapi apabila ada kekerungannya.Disamping itu khusus untuk
proyek-proyek pemerintah harus berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ditur dalam
Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015, dan ketentuan tersebut bersifat memaksa
atau dengan kata lain tidak boleh dilanggar.
Timbulnya perjanjian pemborongan dilatar belakangi oleh pesatnya kegiatan
pembangunan di segala bidang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan
kesejahteraan hidup manusia. Pada awalnya manusia dalam memenuhi kebutuhannya
dalam hal pembangunan yang memerlukan tenaga kerja yang cukup besar adalah
memulai kerjasama, yaitu suatu kerjasama yang ada di dalam masyarakat untuk
saling membantu dalam hal menyelesaikan suatu pekerjaan seseorang, dimana
seseorang yang dibantu tersebut melakukan hal yang sama pada orang yang telah
membantu menyelesaikan pekerjaan. Seiring dengan perkembangan zaman dan
kemajuan teknologi, maka cara kerjasama tersebut ditinggalkan masyarakat dalam hal
untuk menyelesaikan pekerjaannya. Kita mengetahui bahwa masing-masing orang
mempunyai keterbatasan,. Oleh karena itu orang yang berusaha memposisikan
dirinya pada spesialisasi dan tertentu, misalnya keahlian penguasaan dibidang
teknologi dan kemampuan menyediakan tenaga kerja. Dengan perkembangan
kehidupan kemasyarakatan dalam hal pembangunan, maka berkembang jugalah
bidang-bidang yang salah satunya bidang usaha perjanjian pemborongan yaitu usaha
yang memanfaatkan keahliannya, kemampuan menyediakan tenaga kerja untuk
melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan orang yang membutuhkan dengan
mengharapkan balas dan jasa berupa sejumlah harga borongan tertentu untuk
memenuhi ketentuan-ketentuan yang diharapkan masing-masing pihak dalam
perjanjian pemborongan ini maka dibutuhkan suatu kesepakatan masing-masing yang
dituangkan dalam suatu perjanjian atau kontrak. Perjanjian ( kontrak ) yang mengatur
kesepakatan-kesepakatan para pihak dalam hal ini, pihak yang mengerjakan disebut
pemborong dengan pihak yang memborongkan pekerjaan tersebut disebut pemberi
kerja inilah yang disebut pemborong pekerjaan.30
Perjanjian pemborongan bersifat konsensuil artinya perjanjian pemborongan
itu ada atau lahir sejak adanya kata sepakat antara kedua belah pihak yaitu pihak yang
memborongkan dengan pihak pemborong mengenai pembuatan suatu karya dan harga
borongan/ kontrak.
2. Bentuk-Bentuk Perjanjian Pemborongan
31
Dengan kata sepakat tersebut, perjanjian pemborongan mengikat kedua
belah pihak artinya para pihak tidak dapat membatalkan perjanjian pemborongan
tanpa persetujuan pihak lainnya. Jiak perjanjian pemborongan dibatalkan atau
diputuskan secara sepihak maka pihak lainnya dapat menuntutnya.
Perjanjian pemborongan bentuknya bebas atau vormurij artinya perjanjian
dapat dibuat secara lisan maupun tertulis dalam prakteknya, apabila perjanjian
pemborongan yang menyangkut harga borongan yang agak besar maupun yang besar,
biasanya perjanjian pemborongan dibuat secara baik dengan akta dibawah tangan
atau akta autentik (akta notaris).
Perjanjian pemborongan pada proyek-proyek pemerintah harus dibuat secara
tertulis dan dituangkan dalam bentuk-bentuk formulir tertentu, perjanjian yang dibuat
dengan formulir-formulir tertentu disebut dengan perjanjian standar, perjanjian
pemborongan dibuat dengan bentuk standar pada proyek-proyek pemerintah oleh
karena menyangkut keuangan yang besar jumlahnya dan untuk melindungi
kesejahteraan umum.32
Arti perjanjian standar adalah perjanjian yang dibuat berdasarkan peraturan
standar, adapun peraturan standar untuk Perjanjian Pemborongan yaitu AV 1941
(AglemeneVoorwarden de Uitvoeing bij aanneming van openbare werken in
Indonesie) atau syarat-syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan pekerjaan
Indonesia.
Aglemene Voorwarden de Uitvoeing bij aannemig van openbare werken in
Indonesie (AV 1941) ditetapkan dengan keputusan pemerintah belanda tanggal 28
mei 1941.
Disamping itu dalam Peraturan Presiden Nomor 4 tahun 2015 diatur
beberapa bentuk kontrak dengan menggunakan sistem:
a. Berdasarkan Bentuk Imbalan
1) Kontrak Lump Sum adalah kontrak pengadaan barang/jasa atas
penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu, dengan jumlah
harga yang pasti dan tetap, dan semua risiko yang mungkin muncul dalam
proses penyelesaian pekerjaan sepenuhnya ditanggung oleh penyedia
barang/jasa.
2) Kontrak Harga Satuan adalah kontrak pengadaan barang/jasaatau
penyelesaian buruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu, berdasarkan
harga satuan yang pasti dan tetap untuk setiap satuan atau unsur pekerjaan
yang spesifikasi teknis tertentu yang volume pekerjaannya masih bersifat
perkiraan sementara, sedangkan pembayarannya didasarkan pada hasil
pengukuran bersama atas volume pekerjaan yang benar-benar telah
dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa.
3) Kontrak Gabungan Lump Sum dan Harga Satuan adalah kontrak yang
merupakan gabungan lump sum dan harga satuan dalam satu pekerjaan
4) Kontrak Terima Jadi adalah kontrak pengadaan barang/jasa pemborongan
atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu dengan
jumlah harga pasti dan tetap sampai seluruh bangunan/konstruksi,
peralatan dan jaringan utama maupun penunjangannya dapat berfungsi
dengan baik sesuai dengan kriteria kinerja yang telah ditetapkan.
5) Kontrak Presentase adalah kontrak pelaksanaan jasa konsultasi di bidang
kontruksi atau pekerjaan pemborongan tertentu, dimana konsultan yang
bersangkutan menerima imbalan jasa berdasarkan persentase tertentu dari
nilai pekerjaan fisik konstruksi/pemborongan tersebut.33
b. Berdasarkan Jangka Waktu Pelaksanaan
1) Kontrak Tahun Tunggal adalah kontrak pelaksanaannya untuk satu (1)
tahun anggaran.
2) Kontrak Tahun Jamak adalah kontrak pelaksanaan pekerjaan yang
mengikat dana anggaran untuk masa lebih dari satu (1) tahun anggaran
yang dilakukan atas persetujuan oleh Menteri Keuangan untuk pengadaan
yang dibiayai APBN, Gubernur untuk pengadaaan yang dibiayai APBD
Propinsi, Bupati/Walikota untuk pengadaan yang dibiayai APBD
Kabupaten/Kota.
c. Berdasarkan Jumlah Penggunaan Barang/Jasa
1) Kontrak Pengadaan Tunggal adalah kontrak antara satu unit kerja atau
satu proyek dengan penyedia barang/jasa tertentu untuk melaksanakan dan
menyelesaikan pekerjaan tertentu dalam waktu tertentu.
2) Kontrak Pengadaan Bersama adalah kontrak antara beberapa proyek
dengan penyedia barang/jasa tertentu untuk menyelesaikan pekerjaan
tertentu dalam waktu tertentu sesuai dengan kegiatan bersama yang jelas
dari masing-masing unit kerja dan pendanaan bersama yang dituangkan
dalam kesepakatan bersama.
B. Macam-Macam dan Jenis Perjanjian Pemborongan
1. Macam-Macam Perjanjian Pemborongan
Di dalam KUH Perdata dikenal adanya 2 (dua) macam perjanjian
pemborongan yaitu:
1. Perjanjian Pemborongan di mana pemborong hanya melakukan pekerjaan saja
2. Perjanjian Pemborongan di mana pemborong selain melakukan pekerjaan juga
menyediakan bahan-bahannya (materilnya).
Perbedaan kedua macam perjanjian pemborongan tersebut dalam hal risiko
kalau terjadi overmach atau keadaan memaksa. Dalam perjanjian pemborongan di
mana pemborong hanya melakukan pekerjaan saja, apabila pekerjaan itu musnah
sebelum diserahkan. Maka pemborong hanya bertanggung jawab atas kesalahannya
pekerjaan juga menyediakan bahan-bahannya, apabila pekerjaan itu musnah sebelum
diserahkan, maka pemborong bertanggung jawab baik karena kesalahannya maupun
yang memborongkan telah lalai menerima pekerjaan tersebut.34
1. Sepakat mereka yang mengikat diri
Seedangkan isi perjanjian pemborongan dalam KUH Perdata terdapat 2
(dua) asas hukum yang menjadi dasar bagi pembuatan suatu perjanjian, asas yang
pertama adalah asas konsesualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian telah lahir sejak
tercapainya kesepakatan tanpa memerlukan suatu formalitas tertentu.
Asas ini terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yang mengatur syarat
sahnya suatu perjanjian, yaitu:
2. Cakap untuk berbuat perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Sedangkan yang kedua adalah asas kebebasan berkontrak yaitu seperti yang
disimpulkan pada Pasal 1338 ayat (1) yang berbunyi “ Semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Perkataan semua berarti kepada masyarakat diperbolehkan membuat
perjanjian yang berupa dan berisi apa saja dan perjanjian itu mengikat seperti
undang-undang bagi mereka yang membuatnya, dengan catatan sepanjang tidak bertentangan
dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan baik.
34
Dalam membuat perjanjian pemborongan untuk suatu pekerjaan diatur
mengenai pokok-pokok atau hal-hal yang diperjanjikan dalam klausula-klausula pada
surat perjanjian pemborongan tersebut. Di mana isi perjanjian pemborongan inilah
yang menjadi dasar adanya suatu perjanjian pada bentuk perjanjian tertulis dan isi
perjanjian ini mempunyai kekuatan yang mengikat bagi para pihak yang melakukan
perjanjian.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 mengatur tentang isi
Perjanjian yang sebagai berikut:
a. Para pihak yang menandatangani kontrak yang meliputi nama, jabatan dan
alamat
b. Pokok pekerjaan yang diperjanjikan dengan uraian yang jelas mengenai jenis
dan jumlah barang/jasa yang diperjanjikan.
c. Hak dan Kewajiban para pihak yang terikat di dalam perjanjian
d. Nilai atau harga kontrak pekerjaan, serta syarat-syarat pembayaran
e. Persyaratan dan spesifikasi teknis yang jelas dan rinci
f. Tempat dan jangka waktu penyelesaian / penyerahan dengan disertai jadwal
waktu penyelesaian / penyerahan yang pasti serta syarat-syarat penyerahannya
g. Jaminan teknis / hasil pekerjaan yang dilaksanakan dan/atau ketentuan
mengenai kelaikan
h. Ketentuan mengenai cidera janji dan sanksi dalam hal para pihak tidak
memenuhhi kewajibannya
j. Ketentuan mengenai keadaan memaksa
k. Ketentuan mengenai kewajiban para pihak dalam hal terjadi kegagalan dalam
pelaksanaan pekerjaan
l. Ketentuan mengenai perlindungan tenaga kerja
m. Ketentuan mengenai bentuk dan tanggung jawab gangguan lingkungan
n. Ketentuan mengenai penyelesaian perselisihan
2. Jenis-Jenis Perjanjian Pemborongan
Ada tiga jenis dalam perjanjian pemborongan yaitu:
a. Perjanjian pemborongan bangunan yang diperoleh sebagai hasil
pelelangan atas dasar penawaran yang diajukan (competitive bid
contract).
b. Perjanjian pemborongan bangunan atas dasar penunjukan
c. Perjanjian pemborongan yang diperoleh sebagai hasil perundingan antara
si pemberi tugas dengan pemborong (negotiated contract).35
C. Pihak-Pihak dalam Perjanjian Pemborongan
Perjanjian pemborongan merupakan perjanjian yang menimbulkan
pihak-pihak dalam melakukan perjanjian pemborongan untuk melakukan
ketentuan-ketentuan pelaksanaan perjanjian pemborongan yang telah disepakati oleh
masing-masing pihak dari subjek perjanjian pemborongan.