SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah(S.Sy)
Oleh : SYIFAUDIN NIM: 208044100025
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
ISTINBAT HUKUM MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH
TENTANG PENGHARAMAN ROKOK
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah(S.Sy)
Oleh :
SYIFAUDIN NIM: 208044100025
Dibawah bimbingan:
Pembimbing I Pembimbing II
DR. H. M. Nurul Irfan, MA Kamarusdiana, S.Ag., MH 1973 0802 2003 1210 01 1972 2402 1998 0310 03
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Skripsi berjudul Istinbat Hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah Tentang Pengharaman Rokok telah diujikan dalam sidang Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada
Senin, 20 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S. Sy) pada Program Studi Ahwal Asyakhsiyyah.
Jakarta, 20 Juni 2011
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. HM. Amin Suma, SH., MA., MM NIP. 1955 0505 1982 0310 12
PANITIA UJIAN
1.Ketua : Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM NIP. 1955 0505 1982 0310 12
2.Sekretaris : Mufidah, SH. I.
3.Pembimbing I: Dr. H. M. Nurul Irfan, MA NIP. 1973 0802 2003 1210 01
4.Pembimbing II: Kamarusdiana, S. Ag., MH NIP. 1972 2402 1998 0310 03
5.Penguji I : Dr. H. M. Taufiki, M. Ag NIP. 1965 1119 1998 0320 02
i
ميحرلا نمح رلا ها مسب
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas ridha dan
rahmat-Nya-lah skripsi ini dapat diselesaikan dalam rangka memenuhi
persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum Islam pada Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Salawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan umat Islam Nabi
Muhammad SAW, beserta segenap keluarga, Sahabat, dan juga umatnya. Yang
InsyaAllah kita termasuk di dalamnya.
Selama proses penyelesaian skripsi ini, penulis sangat menyadari bahwa
dalam proses tersebut tidaklah terlepas dari segala bantuan, bimbingan dan
motivasi dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM, Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA, dan Rosdiana, MA, masing-masing sebagai
ketua dan sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag, Koordinator Teknis Non Reguler Fakultas Syariah
dan Hukum UIN SYarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. H. M. Nurul Irfan, M. Ag dan Kamarusdiana, S. Ag., MH yang keduanya
ii
5. Kedua orang tua tercinta yang terhormat Abah dan Ibu yang telah mendidik,
membesarkan, memberikan kasih sayang yang tidak ternilai harganya, semangat
serta doanya kepada penulis.
6. Saudara-saudaraku tercinta Teteh-teteh, Aa’ serta keponakan penulis yang selalu memberikan senyuman sehingga penulis termotivasi dan tersemangati
ketika penulis mulai mengalami kejenuhan dalam penyelesaian skripsi ini.
7. kepada seluruh staff pengajar Fakultas Syariah, yang telah banyak memberikan
banyak ilmu, wawasan, serta kesabarannya dalam mendidik penulis selama
bangku perkulihan. Semoga akan menjadi manfaat dan berkah untuk penulis.
8. Segenap staff perpustakaan Syariah dan Hukum maupun perpustakaan utama
yang telah memberi fasilitas penulis untuk melengkapi referensi dalam
penulisan skripsi ini.
9. Sahabat-sahabatku di konsentrasi Peradilan Agama angkatan 2008 yang telah
banyak mencurahkan waktu dan tenaganya untuk membantu dalam proses
penyelesaian skripsi ini.
10.Serta rekan-rekan dan semua pihak yang mungkin tidak dapat penulis
sebutkan satu-persatu dalam skripsi ini.
Besar harapan skripsi ini dapat memberikan konstribusi yang positif bagi
pihak-pihak yang memberikan bantuan kepada penulis terutama bagi rekan-rekan
mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ahwal Syakhsiyyah
iii
Penulis sangat sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, karena
manusia bukanlah makhluk yang sempurna. Demikian sedikit pengantar dan
ucapan terima kasih. Atas semua perhatian yang diberikan, penulis sampaikan
ucapan terima kasih.
Jakarta, 09 Juni 2011
iv
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
PEDOMAN TRANSLITERASI iv
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Identifikasi Masalah
ROKOK
...….………..7
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 8
E. Review Study Terdahulu 9
F. Metode Penelitian 12
G. Sistematika Penulisan 14
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG FATWA
A.Definisi Fatwa 16
B.Mekanisme Fatwa 22
C.Kekuatan atau Kedudukan Fatwa 31
BAB III : MAJELIS TARJIH DAN TARJIH MUHAMMADIYAH
A. Pengertian Majelis Tarjih 35
B. Kedudukan Majelis Tarjih Muhammadiyah 43
v
BAB IV : ROKOK DALAM PERSPEKTIF MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH
A. Rokok dalam Perspektif Ilmu Kesehatan 50
B. Metode Istinbat Hukum Majelis Tarjih
Muhammadiyah dalam Fatwa Rokok
55
C. Analisis Penulis 63
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan 69
B. Saran 70
DAFTAR PUSTAKA 72
1
A.Latar Belakang Masalah
Kondisi Obyektif yang berkaitan dengan permasalahan (problematika)
terhadap realita memerlukan tanggapan logis-yuridis dari nash-nash al- Quran dan
as- Sunnah yang belum tercover secara eksplisit, hal ini mewajibakan seseorang
yang mampu dan memenuhi syarat untuk melakukan Ijtihad (usaha
sungguh-sungguh untuk pengalian hukum). Al- Quran sengaja didisain untuk menjelaskan
persoalan-persoalan yang menyangkut masalah hukum secara global dan tidak
diperinci agar tidak kehilangan relevansinya dengan dinamika masyarakat yang
senantiasa mengalami perubahan dari masa ke masa. 1
Di sisi lain Allah SWT juga menganugrahkan akal serta fikiran kepada
manusia menjadikannya makhluk yang berkembang, berinovasi, dan
berkeingintahuan tinggi terhadap suatu permasalahan, olehnya melalui pranata
inilah manusia dapat mengeksplorasi akal pikirannya untuk melakukan ijtihad
dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang diperlukan.
Ijtihad tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Hanya orang-orang
yang telah memenuhi persyaratan saja, dengan demikian ijtihad tidak dapat
dilakukan oleh sembarang orang akan tetapi orang yang ahli dibidangnya (Ulama)
1Ma’ruf A i ,
2
ini salah satu pranata yang disiapkan agama bagi orang yang tidak mempunyai
kemampuan untuk melakukan ijtihad untuk bertanya atau memohon penjelasan
kepada orang yang mempuyai kompetensi dalam menjawab permasalahan
tersebut. Termasuk dalam hal ini adalah dengan memohon penjelasan tentang
status hukum (fatwa) suatu masalah atau perbuatan yang belum ada ketetapan
hukumnya. Dalam sistem hukum Islam, fatwa mempunyai peranan yang cukup
dominan dalam memberikan pertimbangan hukum keagamaan kepada masyarakat,
sekalipun fatwa juga dianggap tidak punya kekuatan hukum yang mengikat (Ghair
Mulzimah)2.
Aktivitas yang berkembang dewasa ini khususnya di Indonesia adalah
perilaku merokok. Kegiatan merokok dalam masyarakat dianggap sebagai hal
yang biasa, hal ini karena banyaknya masyarakat yang melakukan kegiatan
merokok. Fenomena yang ada merokok tidak hanya menjadi komoditi kaum pria
dewasa bahkan dintaranya adalah kaum hawa dan yang lebih miris lagi, tidak
sedikit jumlah anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar sudah
konsumtif terhadap rokok. Berdasarkan pengamatan komisi perlindungan Anak
Indonesia, ditemukan fakta bahwa setidaknya 60% anak-anak di bawah umur
sudah mengenal rokok.3
2 Ma’ruf A i ,
Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), dalam kata pengantar.
3
Rokok sudah menjadi konsumsi harian masyarakat. Rokok bebas dijual di
warung, di jajakan di jalan raya, di jual di toko-toko, bahkan koperasi kampus pun
tidak lewat ikut memasarkannya. Rokok adalah makhluk beracun yang
terus-menerus menjadi fenomena dalam kehidupan masyarakat hingga saat ini.
Peraturan pemerintah, fatwa majelis ulama, penelitian ilmiah, bahkan ancaman
kesehatan serta kematian pun tetap tidak menjadikan masyarakat untuk
meninggalkan rokok. Bahkan beragam alasan mereka pertahankan untuk
mereduksi hukum agar rokok tetap diperbolehkan, walaupun pada kenyataannya
banyak data yang mempresentasikan mengenai bahaya rokok bagi kesehatan.
Tidak hanya WHO (World Health Organization) bahkan lebih dari 70.0004
artikel ilmiah mengemukakan bahwa dalam kepulan asap rokok terkandung 4000
racun kimia berbahaya, 43 diantaranya bersifat Karsinogenik yakni merangsang
tumbuhnya kanker, berbagai zat yang terkandung diantaranya adalah Tar, Karbon
Monoksida (CO) serta Nikotin.
Dari hasil penelitian yang dilakukan United Satate Surgeon General
Amerika Serikat menyatakan ada 10 tipe kanker yang disebabkan oleh rokok5
yaitu kanker mulut, tenggorokan, pita suara, esofagus, kanker paru-paru, lambung,
kanker pankreas, kantung kemih, leher rahim, leukimia bahkan kanker darah.
4Ah ad Rifa’i Rif’a ,
Merokok Haram, (Jakarta: Republika, 2010), h. 7
5
4
Prof. Dr. Anwar Jusuf, guru besar FIKUI berpendapat bahwa asap rokok
jauh lebih berbahaya dibandingkan polusi udara6 karena di dalamnya mengandung
zat kimia yang bersifat karsinogen, zat tersebut memicu sel-sel normal menjadi
ganas dalam prosesnya yang terjadi berulang-ulang selama berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun hal inilah yang memicu timbulnya kanker pada paru-paru.
Penyakit yang disebabkan oleh rokok begitu kompleks, namun sangat
disayangkan meskipun sudah banyak penelitian yang membuktikan tentang bahaya
rokok namun seolah masyarakat tetap tidak peduli. Data WHO (World Health
Organization) juga menyebutkan Indonesia merupakan salah satu Negara dengan
jumlah perokok terbesar di Dunia dan senantiasa meningkat dari tahun
ketahunnya. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan BPS
(Badan Pusat Statistik) menyebutkan persentase jumlah perokok di Indonesia dari
tahun ketahunnya selalu meningkat, jika pada tahun 2001 hanya 31,8% dari
penduduk Indonesia yang merokok peningkatan jelas terjadi dua kali lipatnya
yakni pada tahun 2007 jumlah menjadi 69%7. Inilah kenyataannya sebagian besar
masyarakat Indonesia telah menjadi konsumen aktif rokok tak jarang dari mereka
menyetarakan kebutuhan merokok seperti makanan yang dikonsumsi sehari-hari
bahkan ada yang menjadikannya sebagai prioritas kebutuhan pada urutan pertama.
6
Abu Umar Basyir, Mengapa Ragu Tinggalkan Rokok, (Jakarta: Pustaka Tazkia, 2005), h. 191
7Ah ad Rifa’i Rif’a ,
Sangat ironis, penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam yakni
87% atau lebih dari 202 juta dari 230 juta8 jiwa sehari-harinya harus terancam
dengan polusi udara yang bercampur racun yang berasal dari kepulan asap rokok.9
Rokok sebagai barang yang ditemukan belakangan ini bukan pada zaman
Rasulullah, karena dalam sejarahanya rokok baru dikenal oleh para pelaut yang
menyertai Columbus ke benua baru Amerika di akhir abad XV dan mulai meluas
keseluruh Dunia di ujung abad XVI10. Pada perjalannannya kini rokok telah
menjelma menjadi sebuah kebutuhan primer bagi manusia. Hal inilah yang
kemudian mengundang kontroversi sehingga para ulama dan organisasi keislaman
berupaya berijtihad untuk menentukan hukum mengkonsumsinya.
Sebelum banyak dilakukan penelitian mengenai bahaya dalam kandungan
rokok muncul beberapa pendapat tentang hukum menkonsumsi rokok yang ditarik
hanya sebatas pengetahuan masing-masing mengenai hakikat rokok saja.
Fenomena belakangan ini kaum muslimin di Indonesia dibuat berselisih
pendapat mengenai fatwa dari salah satu organisasi massa yang mengharamkan
rokok. Majelis Tarjih Muhammadiyah mengeluarkan fatwa bahwa rokok adalah
haram. Keluarnya fatwa haram tersebut menimbulkan perselisihan dikalangan
masyarakat, karena tidak sedikit dari masyarakat yang sudah terbiasa merokok dan
8
Harian Republika, tanggal 25 Mei 2008
9
Ghufron Maba, Ternyata rokok Haram, (Surabaya: PT. Java Pustaka, 2008), h. 2
10
6
merasa bahwa rokok tersebut hanya memiliki hukum makruh saja, yaitu lebih baik
ditinggalkan daripada dilakukan, namun tidak ada larangan untuk
mengkonsumsinya kini di haramkan melalui fatwa tersebut.
Beberapa alasan yang menjadi dasar pengharaman rokok di antaranya
adalah sebagai berikut:11
1. Merokok itu sesuatu yang khobits (buruk).
2. Merokok termasuk perbuatan mubadzir.
Beberapa waktu lalu Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah
mengeluarkan fatwa Haram bagi rokok. Tapi sebaliknya, Nahdlatul Ulama malah
memfatwakan mubah. MUI lebih condong untuk memfatwakan rokok Haram
bersyarat. Menurut Tambroni, MUI menjadikan rokok menjadi haram jika dihisap
oleh anak kecil hingga baliq atau sekitar usia 15 tahun, serta jika dihisap oleh ibu
yang sedang hamil dan bagi orang yang berpenyakit jantung. Tak hanya itu, MUI
berpandangan, rokok menjadi haram jika dihisap di tempat umum.
Sejumlah pihak telah meminta MUI mengeluarkan fatwa tentang rokok, di
antaranya LSM Anti Rokok dan Departemen Kesehatan. Secara substansial rokok
bisa masuk dalam kategori hukum haram, makruh, atau ikhtilaf (diperselisihkan).
Yang menarik dari fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah adalah, bahwa
keputusan yang telah diambil yang didasarkan pada dalil-dalil yang dipandang
paling kuat ketika diputuskan, dapat saja dikoreksi oleh siapapun yang
11
memberikannya, asal disertai dalil/petunjuk dalil yang kuat. Hanya saja, koreksi
atas keputusan itu juga harus melalui keputusan Majelis Tarjih yang didasarkan
pada musyawarah, sesuai dengan ketentuan organisasi. Hal ini berdasarkan pada
filosofi bahwa keputusan Majelis Tarjih bukanlah yang paling benar, tetapi di saat
memutuskan di pandang paling mendekatai kebenaran di antara dalil-dalil yang
didapati di kala itu.12
Berdasarkan kenyataan tersebutlah sehingga penulis tertarik untuk
mengangkat dan mengkaji mengenai Istinbat Hukum Majelis Tarjih
Muhammadiyah Tentang Pengharaman Rokok.
B.Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan mengenai fatwa haram
rokok adalah suatu hal yang sangat penting untuk dibahas, karena rokok itu sendiri
selain memiliki kandungan yang berbahaya bagi tubuh manusia, sedang di sisi lain
rokok sudah menjadi kebutuhan masyarakat yang sulit untuk ditinggalkan.
Namun demikian, perlu diingat bahwa dalam Islam ada beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam memberikan hukum terhadap sesuatu. Pengambilan
hukum terhadap suatu barang tidak boleh dilakukan secara membabi buta tanpa
memperhatikan serta menimbang efek yang melekat elemen-elemen yang
menempel pada sesuatu permasalahan, di satu sisi rokok dianggap menguntungkan
karna menghasilkan pemasukan cukai terbesar, disisi lain rokok membahayakan
12
8
karena banyak terdapat zat yang dapat mengganggu kesehatan, namun pada
realitanya rokok juga merupakan kebiasaan masyarakat yang tidak dapat instant
dihapuskan walaupun sudah difatwakan hukumnya.
Berdasarkan analisa di atas penulis ingin mengetahui kedudukan hukum
rokok, dengan mengkaji sumber hukum untuk rokok serta hukum dari obyek yang
digunakan dalam pertukarannya yang menuju pada al-Qur’an dan as-Sunnah,
Ijma’ maupun Qiyas.
C.Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka pembatasan
permasalah dalam skripsi ini dibatasi hanya pada lingkup sejauh mana Majelis
Tarjih Muhammadiyah memandang hukum rokok dengan menelusuri
literatur-literatur fiqh dan ushul fiqh.
Sedangkan perumusan permasalahan dalam skripsi ini, adalah:
1. Bagaimana kedudukan dan kewenangan Majelis Tarjih Muhammadiyah?
2. Bagaimana mekanisme kerja Majelis Tarjih Muhammadiyah?
3. Bagaimana metode istinbat hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah terhadap
fatwa haram rokok?
D.Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan umum yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk
sedangkan tujuan khususnya adalah agar penulis mampu menjawab permasalahan
yang telah dikemukakan dalam perumusan masalah diatas, yaitu :
1. Untuk mengetahui kedudukan dan kewenangan Majelis Tarjih
Muhammadiyah.
2. Untuk mengetahui mekanisme kerja Majelis Tarjih Muhammadiyah.
3. Untuk mengetahui metode istinbat hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah
terhadap fatwa haram rokok.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Diharapkan skripsi ini dapat menambah keilmuan Hukum Islam berkaitan
dengan Fatwa di Majelis Tarjih Muhammadiyah.
2. Secara Praktis
Seri kajian diharapkan bermanfaat terhadap prilaku yang membentuk
masyarakat, pemerhati hukum.
E.Review Studi Terdahulu
Pembahasan mengenai rokok sudah pernah dibahas sebelumnya oleh
beberapa skripsi, diantanya adalah :
NAMA JUDUL ANALISA
Kamal Febriansyah
(Fakultas Psikologi
UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta,
“Pengaruh peringatan
tentang bahaya merokok
pada iklan rokok terhadap
sikap remaja terhadap
merokok”
Dalam skripsinya ini
penulis berusaha
meneliti bagaimana
pengaruh peringatan
10
2007) iklan rokok terhadap
sikap remaja terhadap
merokok. Dari hasil
penelitiannya tersebut,
Kamal menyimpulkan
bahwa terdapat
pengaruh yang lemah
dari peringatan bahaya
merokok terhadap
sikap remaja. Hal ini
dipengaruhi oleh
kecenderungan remaja
yang masih dalam
kondisi labil, sehingga
tidak begitu
memperhatikan
peringatan bahaya
merokok itu sendiri.
Bagus Samsudin
(Komunikasi Penyiaran
Islam, Fakultas
Dakwah dan
Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta,
tahun 2009)
“Respon Warga
Perumahan Reni
Jaya-Pamulang Terhadap
Fatwa Haram Rokok
Majelis Ulama Indonesia
(MUI)”
Dalam skripsinya ini
Penulis berusaha untuk
menjelaskan mengenai
respon masyarakat yang
ada di Perumahan
Reni-Jaya Pamulang fatwa
haram rokok Majelis
Ulama Indonesia (MUI).
yang telah dilakukan,
dapat disimpulkan bahwa
respon masyarakat
terbagi dua, yaitu antara
yang menerima dan
menolak fatwa tersebut.
Anita
(Jurusan
Pengembangan
Masyarakt Islam
Fakultas Dakwah dan
Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta,
tahun 2010)
“Pelaksanaan program
sosialisasi bahaya rokok
pada Lembaga Wanita
Indonesia Tanpa
Tembakau (WITT) di
masyarakat”
Dalam skripsi ini penulis
menjelaskan tentang
program sosialisasi
bahaya rokok yang
dilakukan oleh para
aktivis yang tergabung
pada Lembaga Wanita
Indonesia tanpa
Tembakau (WITT) di
masyarakat. Dalam
sosialiasi tersebut, para
aktivits berusaha untuk
memberikan penjelasan
kepada masyarakat
bahaya yang terkandung
dalam rokok, seperti
keberadaan tar dan
nikotin yang dapat
menyebabkan berbagai
penyakit pada manusia.
Selain bahaya yang akan
12
sendiri, para aktivis juga
berusaha untuk
menjelaskan bahaya
rokok bagi mereka yang
tergolong perokok pasif.
Adapun perbedaan skripsi penulis dengan skripsi-skripsi terdahulu terletak
pada Kajian pembahasan, pada skripsi ini penulis menfokuskan pembahasan pada
Istinbath Majelis Tarjih Muhammadiyah mengenai rokok, penelusuran
pengambilan hukum rokok, serta bahaya rokok bagi kesehatan. Kajian lain yang
penulis coba untuk kemukakan antara lain juga pandangan hukum Islam terhadap
rokok.
F. Metode Penelitian
Metode yang digunakan oleh penulis dalam menyelesaikan skripsi ini
adalah menggunakan metode-metode yang umumnya berlaku dalam penelitian
yaitu:
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (Library Research)
yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara penelusuran literature, text book,
surat kabar, majalah hukum, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan
sebagainya yang ada relevansinya dengan judul skripsi.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat dekriptif-analisis, dalam pengertian tidak sekedar
data-data yang berhubungan dengan rokok, bahaya rokok bagi kesehatan, rokok dalam
hukum Islam serta aplikasinya dari Istinbath Majelis Tarjih Muhammadiyah yakni
dalam kaitannya terhadap fatwa yang haram yang dikeluarkannya.
3. Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu:
a. Data Primer
Mengenai obyek dari kajian penelitian ini, penulis menggunakan fatwa
Majelis Tarjih Muhammadiyah mengenai pengharaman Rokok Sebagai data
Primer bahan analisa pembuatan skripsi ini, Karena melalui istinbath itu penulis
dapat menganalisa metode istinbat hukum yang digunakan Majelis Tarjih
Muhammadiyah terhadap pengharaman rokok.
b. Data Skunder
Sedangkan tehnik dalam pengumpulan data skunder atau data penunjang,
penulis mengumpulkan data dengan bantuan Library Research yaitu penelitian
yang dilakukan dengan cara penelusuran literature, text book, surat kabar, majalah
hukum, dan lain sebagainya yang mengandung sumber informasi terkait judul
skripsi. Kemudian penulis mengolah data dengan menganalisa serta
mengintrepretasikan bahan kajian yang telah ada untuk memperoleh landasan
teoritis yang akurat serta menunjang proses penulisan skripsi ini, dengan demikian
14
dibutuhkan serta menunjang keakuratan data untuk melengkapi penulisan skripsi
ini dapat dicapai dengan maksimal.
c. Teknik Analisis Data
Kemudian teknik analisis data yang penulis lakukan adalah dari data yang
sudah terkumpul baik dari data primer maupun skunder penulis kaitkan dengan
menganalisa permasalah yang ada guna menemukan jawaban terhadap
permasalahan seperti yang telah di rumuskan dalam perumusan permasalahan pada
skripsi ini, dengan menggunakan metode deskriptif analisis.
Kemudian dalam teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman kepada
ketentuan yang telah diatur dalam buku “pedoman penulisan skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2008/2009”.
G.Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima Bab. Dengan uraian
sistematika pembahasan sebagai berikut:
Bab I : Merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,
Identifikasi Masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian serta
sistematika penulisan.
Bab II : Pada bab ini berisikan mengenai landasan teori, yaitu Definisi Fatwa,
Bab III : Bab ini menguraikan Majelis Tarjih dan Tarjih Muhammadiyah, yakni
membahas mengenai pengertian Majelis Tarjih, kedudukan Majelis
Tarjih Muhammadiyah, tugas dan wewenang Majelis Tarjih, serta Fatwa
majelis tarjih Muhammadiyah.
Bab IV : Bab ini membahas mengenai Rokok dalam perspektif majelis tarjih
Muhammadiyah sub pembahasan yaitu rokok dalam persfektif ilmu
kesehatan, metode istinbath hukum majelis tarjih Muhammadiyah dalam
fatwa rokok serta analisis penulis.
16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG FATWA
A.Definisi Fatwa
Dalam kehidupan sehari-hari, kaum muslimin seringkali mendengar
istilah fatwa. Bagi sebagian orang, fatwa dianggap sebagai sebuah ketentuan
yang harus dijalankan. Fatwa dianggap sebagai sebuah hukum yang memiliki
konsekuensi dalam menjalankannya. Bagi sebagian yang lain, fatwa dianggap
sebagai sebuah anjuran. Sehingga tidak ada ketentuan hukum dalam menjalankan
atau meninggalkan suatu fatwa.
Fatwa berasal dari bahasa Arab al-ifta’, al-fatwa. Yang secara sederhana
dimengerti sebagai pemberi keputusan.1 Fatwa adalah suatu jawaban resmi
terhadap pertanyaan atau persoalan penting menyangkut dogma atau hukum,
yang diberikan oleh seseorang yang mempunyai otoritas untuk melakukannya.2
Fatwa secara etimologi (bahasa) ialah:
Artinya: “Menyelesaikan setiap masalah” 3
1
Pengantar M. Quraisy Shihab dalam bukunya M.B. Hooker, Islam Mazhab Indonesia, Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial, terjemahan Iding Rosyidin Hasan, (Jakarta: Teraju, 2003), Cet. II, h. 16
2
Ibid., h. 21.
3
Definisi tersebut jika dicari persamaannya dalam al-Quran adalah sebuah
solusi dari suatu permasalahan. Seperti firman Allah SWT:
( ءاسنلا : ٧ )Artinya: Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah:
"Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang
dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang para
wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang
ditetapkan untuk mereka, , sedang kamu ingin mengawini merekadan
tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh
kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan
kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, Maka Sesungguhnya Allah
adalah Maha mengetahuinya.QS. An-Nisa’(QS. An-Nisa (4): 127)
Sedangkan fatwa secara terminologi (istilah) ialah:
Artinya:
“Fatwa adalah menyampaikan hukum-hukum Allah berdasarkan dalil-dalil syariah yang mencakup segala persoalan.” 4
4
18
Berdasarkan terminologi tersebut, fatwa adalah sebuah hukum yang
berasal dari Allah dengan menyandarkan pada dalil-dalil syariah mengenai
berbagai pertanyaan yang berkenaan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi
oleh umat manusia.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fatwa adalah jawaban
(keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah.5 Fatwa
(bahasa Arab, keputusan yang sah), suatu pengumuman yang sah diberikan
sebagai tanggapan atas suatu pertanyaan tentang suatu praktek hukum Islam.
Keputusan ini diberikan oleh seorang mufti dengan kualifikasi tinggi dan
berdasarkan pada sesuatu yang bisa dijadikan teladan dan wewenang bukan
pendapat pribadi sendiri.6
Fatwa adalah menerangkan hukum agama dari suatu persoalan sebagai
jawaban pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustasfi), baik
perorangan maupun kolektif, baik dikenal maupun tidak dikenal. Dalam ilmu
ushul fiqh fatwa berarti pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid atau
sebagai jawaban yang diajukan peminta dalam suatu kasus yang sifatnya tidak
mengikat.7
5
Pusat Bahasa dan Budaya, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), Cet. Ke-3, h. 275
6
Muhammad Iqbal dan William Hunt, Ensiklopedi Ringkas tentang Islam, (Jakarta: Taramedia, 2003), h. 110-111.
7
Dalam buku fatwa Munas VII MUI 2005, disebutkan bahwa fatwa adalah
penjelasan tentang hukum atau ajaran Islam mengenai permasalahn yang
dihadapi atau ditanyakan oleh masyarakat serta merupakan pedoman dalam
melaksanakan ajaran agamanya.8 Fatwa adalah nasehat yang datangnya dari
orang yang lebih tinggi kepada orang yang lebih rendah dari padanya, baik
tingkatan umurnya, ilmunya maupun kewibawaannya.9 Fatwa adalah sama
dengan petuah, nasehat, jawaban atas pertanyaan yang berkait dengan hukum.
Jamaknya adalah fatawa, dalam ilmu ushul fiqh berarti pendapat yang
dikemukakan seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban yang diajukan
peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat.10
Fatwa menurut syara’ adalah menerangkan hukum syara’ dalam suatu
persoalan sebagai jawaban dari satu pertanyaan, baik si penanya tersebut jelas
identitasnya maupun tidak, baik perseorangan maupun kolektif.11
Inti dari pengertian fatwa merupakan jawaban atau penjelasan atas suatu
pertanyaan atau kasus yang sedang dihadapi, dan dapat dijadikan pedoman atau
dasar sesuai dengan keyakinan ajaran agamanya masing-masing.
8
Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Munas VII MUI 2005, Cet. III, h. V
9
M. Abdul Mujieb, dkk., Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), h. 77
10
Abdul Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996), Jilid 2, h. 326
11
20
Dari pengertian-pengertian fatwa di atas, dapat dijumpai adanya pihak
yang meminta fatwa (mustafti) dan ada pihak yang memberi fatwa (mufti). Pihak
yang meminta fatwa (mustafti) bisa bersifat pribadi, lembaga atau kelompok
masyarakat, ataupun pemerintah dan bahkan dari kalangan MUI sendiri.
Sedangkan pemberi fatwa (mufti) adalah pihak yang mengeluarkan fatwa yang
dilakukan oleh seorang mujtahid atau faqih yang telah memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu dalam mengeluarkan fatwa. Fatwa tersebut bersifat petuah,
nasehat dan tidak harus diikuti oleh peminta fatwa, karena fatwa tersebut tidak
mempunyai daya ikat atau sanksi bagi yang melanggarnya.
Fatwa muncul karena adanya suatu perkara akibat perkembangan sosial
yang dihadapi oleh umat, karena itu fatwa mensyaratkan adanya orang yang
meminta atau kondisi yang memerlukan adanya pandangan atau keputusan
hukum. Dengan demikian, fatwa tidak persis dengan tanya jawab keagamaan
biasa seperti dalam pengajian-pengajian, bukan juga sekedar ceramah seputar
suatu ajaran agama, fatwa senantiasa sangat sosiologis, ia mengandaikan adanya
perkembangan baru, atau kebutuhan baru yang secara hukum belum ada
ketetapan hukumnya atau belum jelas duduk masalahnya.12
Tradisi pemberian fatwa di zaman Nabi Muhammad SAW diawali
dengan datangnya suatu pertanyaan dari umatnya, penjelasan mengenai hukum
Islam didasarkan pada al-Quran, as-Sunnah, dan apa yang diwahyukan pada
12
beliau, dalam al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang dimulai dengan pertanyaan
dari masyarakat, mereka bertanya kepada Nabi SAW tentang berbagai persoalan,
lalu mendapat jawaban dari Allah SWT melalui wahyu yang disampaikan kepada
beliau. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain tentang nikah beda agama
(al-Baqarah (2): 221), khamr dan judi (al-Baqarah (2): 219), masa haid bagi wanita
(al-Baqarah (2): 222), anak yatim (al-Baqarah (2): 220), perang pada bulan
Haram (al-Baqarah (2): 217), dan lain-lain.13
Pada zaman Nabi SAW tidak terdapat pemisahan antara hukum agama
dan hukum negara. Sebagai hakim, beliau memutuskan perkara yang ditanyakan,
dan beliau memerintahkan untuk melaksanakannya, setelah beliau wafat,
permasalahan tentang hukum ditanyakan kepada para khalifah dan hakim yang
mengadili perkara masyarakat. Kalangan sahabat Nabi SAW yang terkenal
sebagai pemberi fatwa di Madinah adalah „Aisyah binti Abu Bakar, Abdullah,
Abu Hurairah, Said bin al-Musayyab, Urwah ibnu al-Zubair, Abu Bakar ibn
Abdul Rahman ibn al-Haris, Ali ibn Abu Thalib dan Sulaiman ibn Yasar.
Sementara itu di Makkah sahabat pemberi fatwa yang terkenal antara lain
Abdullah ibn Abbas ibn Abdul Muthalib, Mujahid ibn Jabar, Ikrimah, Atho’ ibn
Abi Rabah dan Abu al-Zubair Muhammad ibn Muslim ibn Quddus. Sedangkan
di Bashrah sahabat yang terkenal dalam memberi fatwa antara lain Anas ibn
Malik al-Anshari, Abu „Aliyah Rafi’ ibn Mahram, Hasan ibn Abi Hasan, dan di
13
22
Mesir sahabat pemberi fatwa yang terkenal antara lain Abdullah ibn Umar ibn
al-„Ash, Abu al-Khair Mursid ibn Abdullah al-Yazni, Yazid ibn Abu al-Habib.14
Dengan semangat dakwah Islam yang menjulang, menghasilkan wilayah
Islam yang semakin meluas, kebutuhan manusia semakin beragam pula, sehingga
berbagai persoalan muncul dari zaman ke zaman, yang memerlukan jawaban dan
penyelesaian yang cukup serius. Untuk itu para warga pergi ke tokoh-tokoh
masyarakat yang terdiri dari kaum ulama untuk menanyakan masalah-masalah
hukum yang sedang dihadapi.
Sudah menjadi sunnatullah bahwa tingkat pemikiran manusia, semakin
meningkat dari zaman ke zaman. Hal ini terbukti dengan semakin banyak rahasia
alam yang berhasil disingkap oleh manusia serta pesatnya ilmu pengetahuan dan
teknologi yang telah berhasil menyediakan berbagai sarana untuk memenuhi
kebutuhan manusia yang semakin beragam.
B.Mekanisme Fatwa
Agama memegang peranan penting dalam mengarahkan dan
membimbing masyarakat. Tidak ada yang menandingi kekuatan Agama. Dan
agama tidak dapat dinomorduakan atau diletakkan di pinggiran kehidupan
manusia, karena Agama merupakan sumbu utama dan pegangan pokok bagi
kehidupan manusia.15
14
Ibid., h. 148
15
Perlu ditegaskan, bahwa loncatan umat Islam dari milenium lalu ke
milenium baru ini jelas menghadirkan banyak sekali perubahan dan
perkembangan yang menyisakan kondisi-kondisi baru yang membutuhkan fatwa.
Fatwa sudah semestinya menjadi respon proaktif dari para otoritas pemberi fatwa
dalam menanggapi, bahkan persoalan-persoalan yang belum terjadi, namun
sudah dapat diprediksi kehadirannya, seperti kloning manusia, dan sebagainya.
Dengan demikian lembaga pemberi fatwa dituntut lebih jeli dan produktif dalam
memahami kebutuhan masyarakat riil manusia.
Pada tingkat resmi dan organisasi kemasyarakatan, pemberi fatwa tidak
pernah dilakukan secara pribadi. Di negara-negara Timur Tengah seperti Mesir,
Libanon, Irak, Iran dan Saudi Arabia, begitu juga negara-negara ASEAN seperti
Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura, fatwa selalu diberikan
oleh lembaga-lembaga yang berwenang. Di Indonesia pada tingkat nasional
terdapat komisi fatwa MUI, dan pada tingkat ke-Ormasan Islam terdapat lembaga
fatwa seperti Lajnah Tarjih Muhammadiyah dan Bahsul Masa’il NU. Dua
lembaga yang terakhir ini merupakan lembaga fatwa perintis pertama di
Indonesia.16
Dari pengertian fatwa di atas dapat disimpulkan bahwa fatwa mempunyai
beberapa karakteristik, antara lain:
16
24
1. Fatwa hanya dilakukan ketika ada kejadian nyata, dan seorang ahli fiqh
berusaha mengetahui hukumnya. Fatwa yang baik dari seorang mujtahid17,
disamping harus memenuhi semua persyaratan ijtihad juga harus memenuhi
beberapa persyaratan yang lain, yaitu mengetahui secara persis kasus yang
dimintakan fatwanya, mempelajari psikologi peminta fatwa dan masyarakat
lingkungannya, agar dapat diketahui dampak dari fatwa tersebut, dari segi
posifit dan negatifnya. Diceritakan dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa ia
mengemukakan beberapa syarat bagi mufti, yaitu:
Seseorang seyogyanya tidak mengeluarkan fatwa sebelum memenuhi lima
hal: pertama, memasang niat. Jika tidak disertai niat, maka ia serta ucapannya
tidak mendapatkan nur (pencerahan). Kedua, bertindak atas dasar ilmu, penuh
santun, wibawa dan ketenangan. Ketiga, mempunyai kekuatan untuk
menghadapi dan mengetahui persoalan yang akan dikeluarkan fatwanya.
Keempat, memiliki ilmu yang cukup. Sebab jika tidak didukung dengan ilmu
yang memadai, maka ia akan dilecehkan dan menjadi bahan gunjingan orang.
Kelima, mengetahui kondisi sosiologis masyarakat.18
17
Syarat-syarat mujtahid yang menggali hukum (mustanbith), adalah: menguasai bahasa Arab, mengetahui nasakh dan mansukh dalam al-Quran, mengerti sunnah (hadits), mengerti letak ijma’ dan khilaf, mengetahui qiyas, mengetahui maksud-maksud hukum. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terj. Saefullah, (Jakarta: pustaka Firdaus, 1999), cet. Ke-5, h. 568-575
18
2. Keputusan fatwa bersifat tidak mengikat.19 Para ulama wajib memberi fatwa,
tidak boleh mengharuskan orang untuk menggali diri hukum-hukum itu dari
dalil-dalilnya.20 Namun ia tidak boleh mengerjakan apa yang difatwakan oleh
seorang ulama kecuali apabila hatinya pun puas menerima hukum itu dan
tidak merasakan bahwa apa yang difatwakan itu berlawanan dengan yang
seharusnya.21
3. Fatwa harus berorientasi untuk kepentingan kemaslahatan masyarakat. Dalam
hal ini as-Syatibi berkata sebagaimana dikutip oleh Muhammad Abu Zahrah:
Mufti yang mencapai tingkat tinggi adalah mufti yang memberikan fatwa dengan pendapat tengah-tengah yang dapat diterima mayoritas masyarakat. Maka, ia tidak menawarkan mazhab dengan pendapat yang berat dan tidak pula turun kepada pendapat yang ringan.22
Karakteristik fatwa tersebut bisa diartikan sebagai alasan atau penyebab
munculnya fatwa. Ketika sebuah fatwa dikeluarkan, baik oleh lembaga-lembaga
keagamaan maupun oleh organisasi-organisasi keagamaan yang memiliki
departemen fatwa dimaksudkan untuk memberikan jawabatan atas berbagai
persoalan yang ada di tengah-tengah umat manusia yang masih menjadi tanda
tanya di antara mereka. Dalam mengeluarkan suatu fatwa, ada mekanisme yang
19
A. Rahman Ritonga, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 326
20
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiequ, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001), Cet. Ke-2, h. 166
21
Ibid, h. 67
22
26
harus dianut. Dan mekanisme tersebut tercermin dari tiga karakteristik fatwa di
atas.
As-Syatibi memberikan alasan, bahwa mengambil salah satu dari dua
sudut pendapat yang ekstrem akan keluar dari konteks keadilan, menyimpang ke
arah kelaliman. Ia menegaskan, segi yang memberatkan akan mendatangkan
kepada kerusakan, sedang segi toleransi yang mutlak akan mendatangkan kepada
kelemahan.23
Pintu rukhshah (kemurahan) terbuka lebar di depan seorang mufti.
Dengan rukhshah ia hadir mengobati kondisi masyarakat (penyakit sosial),
apabila ia melihat bahwa menetapkan „azimah (hukum asal) akan mendatangkan
kesulitan dan kesusahan. Sesungguhnya Allah suka bila dijalankan rukhshah
-rukhshah-Nya, sebagaimana halnya suka bila dilaksanakan „azimah-„azimah
-Nya. Dalam keadaan di mana „azimah menimbulkan kesusahan, maka rukhshah
lebih disukai Allah dari pada „azimah. Sebab Allah menginginkan hamba-Nya
memperoleh kemudahan, tidak mengingingkan tertimpa kesusahan.24
Dalam Islam terdapat teori yang menyebutkan tentang maqâsid as
-syarî’ah. Dalam teori tersebut di jabarkan lima hal yang harus dijaga dalam
mememutuskan suatu perkara.
1. Memelihara agama (hifz al-dîn)
23
Ibid
24
Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara agama dalam peringkat darûriyyât, yaitu memelihara dan
melaksanakan kewajiban keagamaan yang termasuk peringka primer,
seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat ini diabaikan, maka
akan terancamlah eksistensi agama.
b. Memelihara agama dalam peringkat hâjiyyât, yaitu melaksanakan
ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat
jama’ dan qashar bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini
tidak dilaksanakan, maka tidak akan mengancam eksistensi agama,
melainkan hanya mempersulit orang yang melakukannya.
c. Memelihara agama dalam peringkat tahsîniyyât, yaitu mengikuti petunjuk
agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus melengkapi
pelaksanaan kewajibannya kepada Tuhan. Misalnya, menutup aurat, baik
di dalam maupun luar shalat, membersihkan badan, pakaian dan tempat.
2. Memelihara jiwa (hifz al-nafs)
Memelihara jiwa, berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat
dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara jiwa dalam peringkat darûriyyât, seperti memenuhi
28
kebutuhan pokok itu diabaikan, maka akan berakibat terancamnya
eksistensi jiwa manusia.25
b. Memelihara jiwa dalam peringkat hâjiyyât, seperti dibolehkan berburu
dan menikmati makanan yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini
diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan
hanya akan mempersulit hidupnya.
c. Memelihara jiwa dalam peringkat tahsîniyyât, seperti ditetapkannya tata
cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan
kesopanan atau etiket, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa
manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang.
3. Memelihara akal (hifz al-‘aql)
Memelihara akal, dilihat dari segi kepentingannya dapat dibedakan
menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara akal dalam peringkat darûriyyât, seperti diharamkan
meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka
akan berakibat terancamnya eksistensi akal.
b. Memelihara akal dalam peringkat hâjiyyât, seperti dianjurkan untuk
menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya kegiatan itu tidak dilakukan, maka
tidak akan merusak akal, tetapi akan mempersulit diri seseorang, dalam
kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
25
c. Memelihara akal dalam peringkat tahsîniyyât, seperti menghindarkan diri
dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaidah. Hal ini
erat kaitannya dengan etiket, tidak akan mengancam eksistensi akal
secara langsung.26
4. Memelihara keturunan (hifz al-nasl)
Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya,
dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara keturunan dalam peringkat darûriyyât, seperti disyari’atkan
nikah dan dilarang zina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka akan
terancam eksistensi keturunan.27
b. Memelihara keturunan dalam peringkat hâjiyyât, seperti ditetapkan
ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan
diberikan hak talak padanya. Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu
akad, maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar
mahar misl. Sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami
kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah
tangga tidak harmonis lagi.
c. Memelihara keturunan dalam peringkat tahsîniyyât, seperti disyari’atkan
khitbah atau walîmah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka
melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan
26
Ibid, h. 43
27
30
mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula akan mempersulit orang
yang melakukan perkawinan.
5.Memelihara harta (hifz al-mâl)
Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat dibedakan
menjadi tiga peringkat:
a. Memelihara harta dalam peringkat darûriyyât, seperti disyari’atkan
tatacara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan
cara yang tidak sah. Apabila aturan itu dilanggar, maka akan berakibat
terancanmnya eksistensi harta.
b. Memelihara harta dalam peringkat hâjiyyât, seperti disyari’atkan jual beli
dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan
mengancam eksistensi harta melainkan akan mempersulit orang yang
memerlukan modal.
c. Memelihara harta dalam peringkat tahsîniyyât, seperti adanya ketentuan
agar menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat
kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan
berpengaruh kepada keabsahan jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga
ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang kedua dan pertama.28
Adapun proses yang berkaitan dengan mekanisme pemberian fatwa yakni,
1.al-Ifta atau al-futya, kegiatan menerangkan hukum syara’ (fatwa) sebagai
jawaban yang diajukan.
28
2. Mustafti, artinya individu atau kelompok yang mengajukan pertanyaan atau
meminta fatwa.
3. Mufti, Orang yang memberikan fatwa atas pertanyaan yang diajukan.
4. Mustafti Fih, masalah, peristiwa, kasus atau kejadian yang ditanyakan status
hukumnya.
5. Fatwa, Jawaban atau hukum atas masalah, peristiwa, kasus atau kejadian yang
ditanyakan.29
C.Kekuatan/kedudukan Fatwa
Kehidupan sehari-hari tidak pernah mudah bagi individu yang
sungguh-sungguh berpedoman pada wahyu, kesulitan-kesulitannya berlipat ganda dengan
adanya akomodasi Islam yang setengah hati. Fatwa merupakan suatu yang
krusial karena merupakan respon internal terhadap pelbagai persoalan di mana
angota-anggota umat sendiri memandangnya sebagai hal yang sangat penting
dalam rangka menunaikan kewajiban yang diberikan Tuhan dengan benar.
Dalam kehidupan di masyarakat fatwa menduduki fungsi yang sebagai
amar ma’ruf nahi munkar, karena ia menyampaikan pesan-pesan agama yang
harus dikerjakan atau harus ditinggalkan oleh umat. Oleh karena itu, hukum
berfatwa menurut asalnya adalah fardhu kifayah. Bila dalam suatu wilayah hanya
ada seorang mufti yang ditanya tentang suatu masalah hukum yang sudah terjadi
dan akan luput seandainya ia tidak segera berfatwa, maka hukum berfatwa atas
29Ma’ruf Amin,
32
mufti tersebut menjadi fardhu a’in. Namum, bila ada mujtahid lain yang
kualitasnya sama atau lebih baik atau masalah yang ditanyakan kepadanya
bukanlah masalah yang mendesak untuk segera dipecahkan, maka hukum
berfatwa bagi mufti tersebut adalah fardhu kifâyah.30
Lahirnya suatu fatwa berpengaruh terhadap pensosialisasinya di
masyarakat. Fatwa harus dikeluarkan oleh mufti yang memahami, mengerti dan
mendalami akan hukum syari’at, mufti berkedudukan sebagai pemberi
penjelasan tentang hukum syara’ yang harus diketahui dan diamalkan oleh umat.
Oleh karena itu, umat akan selamat apabila ia berfatwa dengan benar dan akan
sesat apabila ia salah dalam berfatwa.
Kedudukan mufti sama dengan hakim, yaitu menggali hukum atau
mencetuskan hukum kepada umat. Namun fatwa yang dikeluarkan bukanlah
peraturan atau undang-undang yang harus diikuti, fatwa hanyalah nasehat, petuah
atas jawaban pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan hukum, tiada sanksi
bagi yang menghianatinya.
Sebelum memberikan jawaban atau fatwa, seorang mufti pada dasarnya
telah melalui proses yang mencakup empat hal, yaitu :
1.Apa hukum atas masalah yang dimaksud.
2.Apakah dalilnya
3.Apa wajh dalalah-nya.
30
4.Apa saja jawaban-jawaban/fatwa yang bertentangan di seputar persoalan yang
dimaksud.
Berdasarkan hal itu, sebagian ulama ahli fiqh mensyaratkan seorang mufti
itu harus ahli ijtihad (mujtahid). Sebab, empat proses tersebut di atas, menuntut
kemampuan orang yang ahli ijtihad, di samping tentu saja dia adalah seorang
muslim, adil, mukallaf, ahli fiqh dan memliki pemikiran yang jernih. Namun
as-Syaukani tidak mensyaratkan seorang mufti itu harus mujtahid, yang penting dia
ahli di dalam agama Islam.31
Seorang mufti juga harus memperhatikan beberapa keadaan, seperti :
mengetahui secara persis kasus yang dimintakan fatwanya, mempelajari
psikologi mustafti dan masyarakat lingkungannya agar dapat diketahui implikasi
dari fatwa yang dikeluarkannya sehingga tidak membuat agama Allah menjadi
bahan tertawaan dan permainan. Lebih lanjut seperti yang telah di yakini Imam
Malik, bahwa ia tidak akan memberi fatwa suatu masalah sebelum ada
pengakuan dari tujuh puluh ulama yang menyatakan bahwa dirinya mempunyai
kemampuan untuk menjawab permasalahan tersebut.32 Hal ini dijaga demi
menjaga kehati-hatian keluarnya hukum.
Seorang mufti tidak boleh berfatwa dengan fatwa yang bertentangan
dengan nash syar’i, meskipun fatwanya itu sesuai dengan madzhabnya. Ia juga
tidak boleh berfatwa dari perkataan dan pandangan yang belum mengalami
31
Ibid, h.435
32Ma’ruf Amin,
34
proses tarjih atau analisis perbandingan dan pengambilan dalil terkuat.
Kehati-hatian para salaf as shaleh dalam menjawab suatu masalah yang diajukan
merupakan cerminan keluasan ilmu dan kehati-hatian mereka dalam
mengeluarkan fatwa, karena mereka mengetahui secara persis ancaman bagi
orang yang mengeluarkan fatwan tanpa yakin akan dalil-dalilnya. Ancaman bagi
orang atau pihak yang dengan mudah mengeluarkan fatwa tanpa pertimbangan
yang matang adalah neraka.33
Dengan memperhatikan berbagai penjelasan di atas, baik mengenai
pengertian fatwa maupun sejarah fatwa di masa Rasulullah atau sahabat,
ditambah dengan beberapa karakteristik yang melekat pada pemberian suatu
fatwa, maka dapat disimpulkan bahwa fatwa mempunyai kedudukan yang tidak
mengikat. Fatwa yang dikeluarkan oleh pemberi fatwa, tidak serta merta harus
diikuti atau dijalankan oleh kaum muslimin. Hal ini karena sifat fatwa yang lebih
kepada anjuran atau saran, sehingga memberikan pilihan kepada kaum muslimin
untuk mengikutinya atau tidak.
33
35
A. Pengertian Majelis Tarjih
Pemikiran Muhammadiyah dalam bidang keagamaan pada umumnya dan
pemikirannya dalam bidang fikih khususnya telah ditulis dalam Himpunan
Putusan Majelis Tarjih. Buku ini memuat putusan-putusan yang telah diambil
oleh Majelis Tarjih dalam berbagai bidang, terutama bidang fikih. Kemudian
berbagai macam putusan Majelis Tarjih juga dapati dijumpai dalam buku-buku
lain yang diterbitkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah.1
Menurut bahasa, kata tarjih berasal dari rajjaha. Rajjaha berarti member
pertimbangan lebih dahulu dari pada yang lain. Menurut istilah, para ulama
berbeda-beda dalam memberikan rumusan tarjih ini. Sebagian besar ulama
Hanafiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah, memberikan rumusan bahwa tarjih itu
perbuatan mujtahid, sehingga dalam kitab Kasyufu ‘l-Asrâr disebutkan bahwa
tarjih adalah:2
1
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), Cet. Ke-1, h. 9
2
36
Artinya: “Usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu di antara dua jalan yang bertentangan, karena adanya kelebihan yang
nyata untuk dilakukan tarjih.”
Dalam penjelasan kitab tersebut dikatakan bahwa mujtahid yang
mengemukakan satu dari dua dalil itu lebih kuat dari yang lainnya, karena adanya
keterangan; baik tulisan, ucapan, maupun perbuatan yang mendorong mujtahid
untuk mengambil yang mempunyai kelebihan dari pada yang lain.
Barangkali akan lebih sempurna kalau kita tambahkan pengertian (ta’rif)
yang menyebutkan adanya pertentangan dua dalil itu dalam kualifikasi yang
sama, seperti yang dikemukakan oleh Ustadz Ali Hasballah, dengan rumusan:
Artinya: “Menempatkan kelebihan salah satu dari dua dalil yang sama dengan
sesuatu yang menjadikannya lebih utama dari yang lain dengan
ungkapan atau penggunaannya.”3
Sedangkan tarjîh merupakan istilah yang terdapat dalam ilmu usûl al-fiqh
yang secara harfiah diartikan dengan „pengukuhan’, yang membuat sesuatu yang
kukuh
(
).
Dalam istilah usûl al-fiqh kata ini diartikan denganmengukuhkan salah satu di antara dua dalil yang bertentangan yang seimbang
3
kekuatannya dengan menyatakan kelebihan dalil yang satu dari yang lainnya.
Dengan demikian tarjîh hanya dilakukan pada dalil-dalil yang kelihatannya
bertentangan, baik yang bersifat qat’i maupun zanni. Sedangkan tugas Majelis
Tarjih pada Muhammadiyah adalah membahas dan memutuskan
masalah-masalah keagamaan yang diperselisihkan, dengan cara mengambil pendapat yang
dianggap kuat dalilnya.4
Sedang K.H. Sahlan Rasyidi, sebagaimana yang dikutip oleh Arbiyah
Lubis, mendefinisikan tarjih dalam organisasi Muhammadiyah sebagai:
“Bermusyawarah bersama dari tokoh-tokoh ahli yang meneliti, membanding, menimbang dan memilih dari segala masalah yang diperselisihkan karena perbedaan pendapat di kalangan umat awam mana yang dianggap lebih kuat, lebih mendasar, lebih besar dan lebih dekat dari sumber utamanya ialah al-Quran dan Hadis.”5
Sedangkan tajdid, dari segi bahasa berarti pembaharuan, dan dari segi
istilah tajdid memiliki dua arti, yakni (1) pemurnian; (2) peningkatan,
pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya.
Dalam arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan
ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada al-Quran dan as-Sunnah
as-Shalihah. Dalam arti “peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang
semakna dengannya”, tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran pengamalan, dan
4
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), Cet. Ke-1, h. 65
5
38
perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada al-Quran dan
as-Sunnah as-Shalihah.
Untuk melaksanakan tajdid dalam kedua pengertian istilah tersebut,
diperlukan aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang
bersih, yang dijiwai oleh ajaran Islam. Menurut Muhammadiyah, tajdid
merupakan salah satu watak dari ajaran Islam.
Rumusan tajdid tersebut mengisyaratkan bahwa Muhammadiyah ijtihad
dapat dilakukan terhadap peristiwa atau kasus yang tidak terdapat secara eksplisit
dalam sumber utama ajaran Islam, al-Quran dan Hadits; dan terhadap kasus yang
terdapat dalam kedua sumber itu. Ijtihad dalam bentuknya yang kedua dilakukan
dengan cara menafsirkan kembali al-Quran dan Hadits sesuai dengan kondisi
masyarakat sekarang ini. Pada prinsipnya, Muhammadiyah mengakui peranan
akal dalam memahami al-Quran dan Hadits. Namun kata-kata “yang dijiwai
ajaran Islam memberi kesan bahwa akal cukup terbatas dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang timbul sekarang ini, dan akal juga terbatas dalam
memahami nash al-Quran dan Hadits.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jika pemahaman akal berbeda
dengan kehendak zâhir nash, maka kehendak nash harus didahulukan daripada
pemahaman akal. Prinsip ini jelas berbeda dengan prinsip yang diyakini oleh
dari arti zâhir nash, jika terdapat pertentangan di antara keduanya. Artinya, nash
itu harus dicari interpretasinya sehingga sesuai dengan pemahaman akal.6
Majelis Tarjih Muhammadiyah mengakui kenisbian akal dalam
memahami nash al-Quran dan Hadis. Tetapi, kenisbian itu hanya terbatas pada
ketentuan-ketentuan yang sudah diatur dalam nash. Sedangkan dalam masalah
keduniaan penggunaan akal sangat diperlukan guna mencapai kemaslahatan
umat. Artinya, masalah-masalah yang berhubungan dengan sesama manusia, atau
bisa disebut mu’âmalah, dengan demikian penggunaan akal sangat penting dalam
menghadapi masalah mu’amalah, khususnya yang berhubungan dengan masalah
sosial, karena Muhammadiyah disebut organisasi sosial. Kerangka tarjih
Muhammadiyah bertitik tolak dari kerangka berpikir bahwa Islam diyakini
sebagai agama wahyu yang bersifat universal dan eternal. Islam dalam pengertian
ini tidak dapat diubah. Kemudian untuk menjadi kesemestaan dan keabadian
ajaran Islam di dunia yang senantiasa berubah, diperlukan penyesuaian dan
penyegaran dengan situasi baru. Sehingga pada hakikatnya tarjih dalam
Muhammadiyah terkait dengan masalah tafsir, hadis, dan usul al-fiqh.7
Setelah penulis mengemukakan pengertian dari tarjih itu sendiri, penulis
kemudian berusaha untuk memberikan beberapa aspek yang terdapat dalam
6
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), Cet. Ke-1, h. 58-59
7
Afifi Fauzi Abbas, anggota majlis tarjih PP. Muhammadiyah Periode 2005-2010 pada
pengajian tarjih “Kitab Masail Khamsah” di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Menteng Raya,
40
proses pentarjihan. Hal ini penulis lakukan,dalam rangka untuk mendapatkan
pemahaman yang komprehensif tentang tarjih.
Setidaknya ada tiga aspek pentarjihan. Hal ini jika dilihat dari uraian para
ahli ilmu Ushul Fiqh berkaitan dengan tarjih untuk dalil-dalil manqûl, yaitu:8
1. Yang kembali kepada sanad, dan ini dibagi menjadi dua:
a. Yang kembali kepada diri perawi yang dibagi menjadi dua pula;
yang kembali kepada diri perawi dan yang kembali pada penilaian
perawi
b. Yang kembali kepada periwayatan
2. Yang kembali kepada matan.
3. Yang kembali kepada hal yang di luar tersebut.9
Untuk lebih jelaskanya, berikut ini adalah penjelasan dari ketiga
aspek pentarjihan tersebut di atas.
1. Yang kembali kepada diri perawi:
a. Jumlah perawi (maksudnya sanad) yang banyak jumlahnya
dimenangkan dari yang sedikit.
b. Kemasyhuran tsiqah seorang perawi dimenangkan dari yang tidak.
c. Perawi yang lebih wara’ dan takwa dimenangkan dari yang kurang.
8
Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah; Metodologi dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. Ke-5, h. 5-8
9
d. Perawi yang telah mengamalkan yang diriwayatkan, lebih
diutamakan dari yang menyelisihinya.
e. Perawi yang menghayati langsung yang diriwayatkan, dimenangkan
dari yang jauh.
f. Perawi yang lebih dekat hubungannya dengan Nabi, dimenangkan
dari yang jauh.
g. Perawi yang termasuk kibâr-i l-Shahâbah diutamakan dari yang
Shighâr-i ‘l-Shahâbah.
h. Perawi yang lebih dulu Islamnya dimenangkan dari yang kemudian.
i. Perawi yang mendengar ucapan hafalan langsung lebih diutamakan
dari yang hanya menerima dari tulisan.
j. Perawi yang menerima khabar sesudah baligh diutamakan dari
yang menerima sebelum baligh.10
2. Yang kembali pada penilaian (tazkiyah) perawi:
a. Jumlah yang menganggap baik lebih banyak dimenangkan dari
yang sedikit.
b. Ungkapan yang menganggap baik dengan tegas diutamakan dari
yang tidak tegas.
c. Pensucian perawi dengan menggunakan kata pensaksian
dimenangkan dari yang hanya dengan kata periwayatan saja.
3. Yang kembali pada periwayatan:
10
42
a. Yang diriwayatkan atas yang didengar dari gurunya diutamakan
dari yang dibaca di hadapan gurunya.
b. Yang disepakati marfu’-nya dimenangkan dari yang
diperselisihkan.
c. Riwayat bi l-lafzzhi dimenangkan dari riwayat bi ‘l-ma’na.
4. Yang kembali kepada matan, dititikberatkan pada lafaz dan makna:
a. Yang bukan musytarak didahulukan dari yang musytarak.
b. Haqikah didahulukan atas majaz.
c. Kalau keduanya musytarak, yang lebih sedikit artinya didahulukan
dari yang banyak artinya.
d. Kalau keduanya majaz, pengertian yang manqul didahulukan atas
yang ma’qul.
e. Yang tidak memerlukan izhmar atau hadzf didahulukan atas yang
memerlukan.
f. Kalau keduanya hakiki, maka yang lebih masyhur yang dipakai.
g. Makna syar’i didahulukan atas makna lughawi.
h. Yang ada muakkad-nya didahulukan dari yang tidak.
i. Manthuq didahulukan atas yang mafhum.
j. Khâsh didahulukan atas ‘âm.
5. Yang kembali pada isi dalil:
a. Yang melarang didahulukan atas yang membolehkan.
c. Yang mengandung hukum haram didahulukan atas yang makruh.
d. Itsbat didahulukan atas nafi’.
e. Yang mengandung ziyadah didahulukan atas yang tidak.
f. Yang mengandung taklifi dimenangkan atas yang wadl’i.
g. Yang meringankan didahulukan atas yang memberatkan.11
6. Tarjih sebuah dalil, berdasarkan yang lain dari hal-hal tersebut di atas:
a. Yang mencocoki dengan dalil lain dimenangkan dari yang tidak.
b. Yang mengandung apa yang diamalkan oleh ahli Madinah
dimenangkan dari yang tidak.
c. Yang ta’wil-nya sesuai dimenangkan dari yang tidak sesuai.
d. Hukum yang ber-illah dimenangkan dari yang tidak.12
B. Kedudukan Majelis Tarjih dalam Muhammadiyah
Dilihat dari sejarah berdirnya, Majelis Tarjih Muhammadiyah tidak
terlepas dari keadaan masyarakat Jawa yang sinkretis, serta banyaknya
praktek-praktek bersifat „abangan’, menyebabkan konsep dasar tauhid sebagai asas dari
segala hal yang asasi terbelenggu tradisi animistik.13 Gambaran Cliffort Geerzt
cukup memberikan kejelasan bahwa kehidupan ke-Islaman masyarakat Jawa
11
Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah; Metodologi dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. Ke-5,h. 8
12
Ibid, h. 10
1313
44
terklasifikasi ke dalam tiga struktur sosial, abangan, santri, dan priyayi, di mana
masing varian memberi kesan akan kualitas keberagamaannya
masing-masing. Kondisi demikian menyadarkan Muhammadiyah, sehingga dalam
kongres Muhammadiyah XVI tahun 1927 di Pekalongan, usulan K.H. Mas
Mansur, supaya Muhammadiyah membentuk suatu Majelisatau badan semacam
Majelis ulama yang bertugas khusus meneliti dan menggali hukum-hukum Islam
berdasarkan al-Quran dan hadis, yang sekarang dikenal dengan Majelis Tarjih,
diterima dengan suara bulat.14
Muhammadiyah disinyalir mengalami stagnasi pemikiran justru karena
Majelis Tarjih Muhammadiyah belum berfungsi secara optimal. Adapun
kelahiran Majelis Tarjih ini K.H. Mas Mans