• Tidak ada hasil yang ditemukan

Istinbat hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang pengharaman rokok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Istinbat hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang pengharaman rokok"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah(S.Sy)

Oleh : SYIFAUDIN NIM: 208044100025

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

ISTINBAT HUKUM MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH

TENTANG PENGHARAMAN ROKOK

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah(S.Sy)

Oleh :

SYIFAUDIN NIM: 208044100025

Dibawah bimbingan:

Pembimbing I Pembimbing II

DR. H. M. Nurul Irfan, MA Kamarusdiana, S.Ag., MH 1973 0802 2003 1210 01 1972 2402 1998 0310 03

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

Skripsi berjudul Istinbat Hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah Tentang Pengharaman Rokok telah diujikan dalam sidang Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada

Senin, 20 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S. Sy) pada Program Studi Ahwal Asyakhsiyyah.

Jakarta, 20 Juni 2011

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. HM. Amin Suma, SH., MA., MM NIP. 1955 0505 1982 0310 12

PANITIA UJIAN

1.Ketua : Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM NIP. 1955 0505 1982 0310 12

2.Sekretaris : Mufidah, SH. I.

3.Pembimbing I: Dr. H. M. Nurul Irfan, MA NIP. 1973 0802 2003 1210 01

4.Pembimbing II: Kamarusdiana, S. Ag., MH NIP. 1972 2402 1998 0310 03

5.Penguji I : Dr. H. M. Taufiki, M. Ag NIP. 1965 1119 1998 0320 02

(4)

i

ميحرلا نمح رلا ها مسب

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas ridha dan

rahmat-Nya-lah skripsi ini dapat diselesaikan dalam rangka memenuhi

persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum Islam pada Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Salawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan umat Islam Nabi

Muhammad SAW, beserta segenap keluarga, Sahabat, dan juga umatnya. Yang

InsyaAllah kita termasuk di dalamnya.

Selama proses penyelesaian skripsi ini, penulis sangat menyadari bahwa

dalam proses tersebut tidaklah terlepas dari segala bantuan, bimbingan dan

motivasi dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MA. MM, Dekan Fakultas Syariah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH. MA, dan Rosdiana, MA, masing-masing sebagai

ketua dan sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag, Koordinator Teknis Non Reguler Fakultas Syariah

dan Hukum UIN SYarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. H. M. Nurul Irfan, M. Ag dan Kamarusdiana, S. Ag., MH yang keduanya

(5)

ii

5. Kedua orang tua tercinta yang terhormat Abah dan Ibu yang telah mendidik,

membesarkan, memberikan kasih sayang yang tidak ternilai harganya, semangat

serta doanya kepada penulis.

6. Saudara-saudaraku tercinta Teteh-teteh, Aa’ serta keponakan penulis yang selalu memberikan senyuman sehingga penulis termotivasi dan tersemangati

ketika penulis mulai mengalami kejenuhan dalam penyelesaian skripsi ini.

7. kepada seluruh staff pengajar Fakultas Syariah, yang telah banyak memberikan

banyak ilmu, wawasan, serta kesabarannya dalam mendidik penulis selama

bangku perkulihan. Semoga akan menjadi manfaat dan berkah untuk penulis.

8. Segenap staff perpustakaan Syariah dan Hukum maupun perpustakaan utama

yang telah memberi fasilitas penulis untuk melengkapi referensi dalam

penulisan skripsi ini.

9. Sahabat-sahabatku di konsentrasi Peradilan Agama angkatan 2008 yang telah

banyak mencurahkan waktu dan tenaganya untuk membantu dalam proses

penyelesaian skripsi ini.

10.Serta rekan-rekan dan semua pihak yang mungkin tidak dapat penulis

sebutkan satu-persatu dalam skripsi ini.

Besar harapan skripsi ini dapat memberikan konstribusi yang positif bagi

pihak-pihak yang memberikan bantuan kepada penulis terutama bagi rekan-rekan

mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ahwal Syakhsiyyah

(6)

iii

Penulis sangat sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, karena

manusia bukanlah makhluk yang sempurna. Demikian sedikit pengantar dan

ucapan terima kasih. Atas semua perhatian yang diberikan, penulis sampaikan

ucapan terima kasih.

Jakarta, 09 Juni 2011

(7)

iv

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

PEDOMAN TRANSLITERASI iv

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Identifikasi Masalah

ROKOK

...….………..

7

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 8

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 8

E. Review Study Terdahulu 9

F. Metode Penelitian 12

G. Sistematika Penulisan 14

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG FATWA

A.Definisi Fatwa 16

B.Mekanisme Fatwa 22

C.Kekuatan atau Kedudukan Fatwa 31

BAB III : MAJELIS TARJIH DAN TARJIH MUHAMMADIYAH

A. Pengertian Majelis Tarjih 35

B. Kedudukan Majelis Tarjih Muhammadiyah 43

(8)

v

BAB IV : ROKOK DALAM PERSPEKTIF MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH

A. Rokok dalam Perspektif Ilmu Kesehatan 50

B. Metode Istinbat Hukum Majelis Tarjih

Muhammadiyah dalam Fatwa Rokok

55

C. Analisis Penulis 63

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan 69

B. Saran 70

DAFTAR PUSTAKA 72

(9)

1

A.Latar Belakang Masalah

Kondisi Obyektif yang berkaitan dengan permasalahan (problematika)

terhadap realita memerlukan tanggapan logis-yuridis dari nash-nash al- Quran dan

as- Sunnah yang belum tercover secara eksplisit, hal ini mewajibakan seseorang

yang mampu dan memenuhi syarat untuk melakukan Ijtihad (usaha

sungguh-sungguh untuk pengalian hukum). Al- Quran sengaja didisain untuk menjelaskan

persoalan-persoalan yang menyangkut masalah hukum secara global dan tidak

diperinci agar tidak kehilangan relevansinya dengan dinamika masyarakat yang

senantiasa mengalami perubahan dari masa ke masa. 1

Di sisi lain Allah SWT juga menganugrahkan akal serta fikiran kepada

manusia menjadikannya makhluk yang berkembang, berinovasi, dan

berkeingintahuan tinggi terhadap suatu permasalahan, olehnya melalui pranata

inilah manusia dapat mengeksplorasi akal pikirannya untuk melakukan ijtihad

dengan memperhatikan kaidah-kaidah yang diperlukan.

Ijtihad tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. Hanya orang-orang

yang telah memenuhi persyaratan saja, dengan demikian ijtihad tidak dapat

dilakukan oleh sembarang orang akan tetapi orang yang ahli dibidangnya (Ulama)

1Ma’ruf A i ,

(10)

2

ini salah satu pranata yang disiapkan agama bagi orang yang tidak mempunyai

kemampuan untuk melakukan ijtihad untuk bertanya atau memohon penjelasan

kepada orang yang mempuyai kompetensi dalam menjawab permasalahan

tersebut. Termasuk dalam hal ini adalah dengan memohon penjelasan tentang

status hukum (fatwa) suatu masalah atau perbuatan yang belum ada ketetapan

hukumnya. Dalam sistem hukum Islam, fatwa mempunyai peranan yang cukup

dominan dalam memberikan pertimbangan hukum keagamaan kepada masyarakat,

sekalipun fatwa juga dianggap tidak punya kekuatan hukum yang mengikat (Ghair

Mulzimah)2.

Aktivitas yang berkembang dewasa ini khususnya di Indonesia adalah

perilaku merokok. Kegiatan merokok dalam masyarakat dianggap sebagai hal

yang biasa, hal ini karena banyaknya masyarakat yang melakukan kegiatan

merokok. Fenomena yang ada merokok tidak hanya menjadi komoditi kaum pria

dewasa bahkan dintaranya adalah kaum hawa dan yang lebih miris lagi, tidak

sedikit jumlah anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar sudah

konsumtif terhadap rokok. Berdasarkan pengamatan komisi perlindungan Anak

Indonesia, ditemukan fakta bahwa setidaknya 60% anak-anak di bawah umur

sudah mengenal rokok.3

2 Ma’ruf A i ,

Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008), dalam kata pengantar.

3

(11)

Rokok sudah menjadi konsumsi harian masyarakat. Rokok bebas dijual di

warung, di jajakan di jalan raya, di jual di toko-toko, bahkan koperasi kampus pun

tidak lewat ikut memasarkannya. Rokok adalah makhluk beracun yang

terus-menerus menjadi fenomena dalam kehidupan masyarakat hingga saat ini.

Peraturan pemerintah, fatwa majelis ulama, penelitian ilmiah, bahkan ancaman

kesehatan serta kematian pun tetap tidak menjadikan masyarakat untuk

meninggalkan rokok. Bahkan beragam alasan mereka pertahankan untuk

mereduksi hukum agar rokok tetap diperbolehkan, walaupun pada kenyataannya

banyak data yang mempresentasikan mengenai bahaya rokok bagi kesehatan.

Tidak hanya WHO (World Health Organization) bahkan lebih dari 70.0004

artikel ilmiah mengemukakan bahwa dalam kepulan asap rokok terkandung 4000

racun kimia berbahaya, 43 diantaranya bersifat Karsinogenik yakni merangsang

tumbuhnya kanker, berbagai zat yang terkandung diantaranya adalah Tar, Karbon

Monoksida (CO) serta Nikotin.

Dari hasil penelitian yang dilakukan United Satate Surgeon General

Amerika Serikat menyatakan ada 10 tipe kanker yang disebabkan oleh rokok5

yaitu kanker mulut, tenggorokan, pita suara, esofagus, kanker paru-paru, lambung,

kanker pankreas, kantung kemih, leher rahim, leukimia bahkan kanker darah.

4Ah ad Rifa’i Rif’a ,

Merokok Haram, (Jakarta: Republika, 2010), h. 7

5

(12)

4

Prof. Dr. Anwar Jusuf, guru besar FIKUI berpendapat bahwa asap rokok

jauh lebih berbahaya dibandingkan polusi udara6 karena di dalamnya mengandung

zat kimia yang bersifat karsinogen, zat tersebut memicu sel-sel normal menjadi

ganas dalam prosesnya yang terjadi berulang-ulang selama berbulan-bulan bahkan

bertahun-tahun hal inilah yang memicu timbulnya kanker pada paru-paru.

Penyakit yang disebabkan oleh rokok begitu kompleks, namun sangat

disayangkan meskipun sudah banyak penelitian yang membuktikan tentang bahaya

rokok namun seolah masyarakat tetap tidak peduli. Data WHO (World Health

Organization) juga menyebutkan Indonesia merupakan salah satu Negara dengan

jumlah perokok terbesar di Dunia dan senantiasa meningkat dari tahun

ketahunnya. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan BPS

(Badan Pusat Statistik) menyebutkan persentase jumlah perokok di Indonesia dari

tahun ketahunnya selalu meningkat, jika pada tahun 2001 hanya 31,8% dari

penduduk Indonesia yang merokok peningkatan jelas terjadi dua kali lipatnya

yakni pada tahun 2007 jumlah menjadi 69%7. Inilah kenyataannya sebagian besar

masyarakat Indonesia telah menjadi konsumen aktif rokok tak jarang dari mereka

menyetarakan kebutuhan merokok seperti makanan yang dikonsumsi sehari-hari

bahkan ada yang menjadikannya sebagai prioritas kebutuhan pada urutan pertama.

6

Abu Umar Basyir, Mengapa Ragu Tinggalkan Rokok, (Jakarta: Pustaka Tazkia, 2005), h. 191

7Ah ad Rifa’i Rif’a ,

(13)

Sangat ironis, penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam yakni

87% atau lebih dari 202 juta dari 230 juta8 jiwa sehari-harinya harus terancam

dengan polusi udara yang bercampur racun yang berasal dari kepulan asap rokok.9

Rokok sebagai barang yang ditemukan belakangan ini bukan pada zaman

Rasulullah, karena dalam sejarahanya rokok baru dikenal oleh para pelaut yang

menyertai Columbus ke benua baru Amerika di akhir abad XV dan mulai meluas

keseluruh Dunia di ujung abad XVI10. Pada perjalannannya kini rokok telah

menjelma menjadi sebuah kebutuhan primer bagi manusia. Hal inilah yang

kemudian mengundang kontroversi sehingga para ulama dan organisasi keislaman

berupaya berijtihad untuk menentukan hukum mengkonsumsinya.

Sebelum banyak dilakukan penelitian mengenai bahaya dalam kandungan

rokok muncul beberapa pendapat tentang hukum menkonsumsi rokok yang ditarik

hanya sebatas pengetahuan masing-masing mengenai hakikat rokok saja.

Fenomena belakangan ini kaum muslimin di Indonesia dibuat berselisih

pendapat mengenai fatwa dari salah satu organisasi massa yang mengharamkan

rokok. Majelis Tarjih Muhammadiyah mengeluarkan fatwa bahwa rokok adalah

haram. Keluarnya fatwa haram tersebut menimbulkan perselisihan dikalangan

masyarakat, karena tidak sedikit dari masyarakat yang sudah terbiasa merokok dan

8

Harian Republika, tanggal 25 Mei 2008

9

Ghufron Maba, Ternyata rokok Haram, (Surabaya: PT. Java Pustaka, 2008), h. 2

10

(14)

6

merasa bahwa rokok tersebut hanya memiliki hukum makruh saja, yaitu lebih baik

ditinggalkan daripada dilakukan, namun tidak ada larangan untuk

mengkonsumsinya kini di haramkan melalui fatwa tersebut.

Beberapa alasan yang menjadi dasar pengharaman rokok di antaranya

adalah sebagai berikut:11

1. Merokok itu sesuatu yang khobits (buruk).

2. Merokok termasuk perbuatan mubadzir.

Beberapa waktu lalu Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah

mengeluarkan fatwa Haram bagi rokok. Tapi sebaliknya, Nahdlatul Ulama malah

memfatwakan mubah. MUI lebih condong untuk memfatwakan rokok Haram

bersyarat. Menurut Tambroni, MUI menjadikan rokok menjadi haram jika dihisap

oleh anak kecil hingga baliq atau sekitar usia 15 tahun, serta jika dihisap oleh ibu

yang sedang hamil dan bagi orang yang berpenyakit jantung. Tak hanya itu, MUI

berpandangan, rokok menjadi haram jika dihisap di tempat umum.

Sejumlah pihak telah meminta MUI mengeluarkan fatwa tentang rokok, di

antaranya LSM Anti Rokok dan Departemen Kesehatan. Secara substansial rokok

bisa masuk dalam kategori hukum haram, makruh, atau ikhtilaf (diperselisihkan).

Yang menarik dari fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah adalah, bahwa

keputusan yang telah diambil yang didasarkan pada dalil-dalil yang dipandang

paling kuat ketika diputuskan, dapat saja dikoreksi oleh siapapun yang

11

(15)

memberikannya, asal disertai dalil/petunjuk dalil yang kuat. Hanya saja, koreksi

atas keputusan itu juga harus melalui keputusan Majelis Tarjih yang didasarkan

pada musyawarah, sesuai dengan ketentuan organisasi. Hal ini berdasarkan pada

filosofi bahwa keputusan Majelis Tarjih bukanlah yang paling benar, tetapi di saat

memutuskan di pandang paling mendekatai kebenaran di antara dalil-dalil yang

didapati di kala itu.12

Berdasarkan kenyataan tersebutlah sehingga penulis tertarik untuk

mengangkat dan mengkaji mengenai Istinbat Hukum Majelis Tarjih

Muhammadiyah Tentang Pengharaman Rokok.

B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan mengenai fatwa haram

rokok adalah suatu hal yang sangat penting untuk dibahas, karena rokok itu sendiri

selain memiliki kandungan yang berbahaya bagi tubuh manusia, sedang di sisi lain

rokok sudah menjadi kebutuhan masyarakat yang sulit untuk ditinggalkan.

Namun demikian, perlu diingat bahwa dalam Islam ada beberapa hal yang

harus diperhatikan dalam memberikan hukum terhadap sesuatu. Pengambilan

hukum terhadap suatu barang tidak boleh dilakukan secara membabi buta tanpa

memperhatikan serta menimbang efek yang melekat elemen-elemen yang

menempel pada sesuatu permasalahan, di satu sisi rokok dianggap menguntungkan

karna menghasilkan pemasukan cukai terbesar, disisi lain rokok membahayakan

12

(16)

8

karena banyak terdapat zat yang dapat mengganggu kesehatan, namun pada

realitanya rokok juga merupakan kebiasaan masyarakat yang tidak dapat instant

dihapuskan walaupun sudah difatwakan hukumnya.

Berdasarkan analisa di atas penulis ingin mengetahui kedudukan hukum

rokok, dengan mengkaji sumber hukum untuk rokok serta hukum dari obyek yang

digunakan dalam pertukarannya yang menuju pada al-Qur’an dan as-Sunnah,

Ijma’ maupun Qiyas.

C.Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, maka pembatasan

permasalah dalam skripsi ini dibatasi hanya pada lingkup sejauh mana Majelis

Tarjih Muhammadiyah memandang hukum rokok dengan menelusuri

literatur-literatur fiqh dan ushul fiqh.

Sedangkan perumusan permasalahan dalam skripsi ini, adalah:

1. Bagaimana kedudukan dan kewenangan Majelis Tarjih Muhammadiyah?

2. Bagaimana mekanisme kerja Majelis Tarjih Muhammadiyah?

3. Bagaimana metode istinbat hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah terhadap

fatwa haram rokok?

D.Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan umum yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk

(17)

sedangkan tujuan khususnya adalah agar penulis mampu menjawab permasalahan

yang telah dikemukakan dalam perumusan masalah diatas, yaitu :

1. Untuk mengetahui kedudukan dan kewenangan Majelis Tarjih

Muhammadiyah.

2. Untuk mengetahui mekanisme kerja Majelis Tarjih Muhammadiyah.

3. Untuk mengetahui metode istinbat hukum Majelis Tarjih Muhammadiyah

terhadap fatwa haram rokok.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Diharapkan skripsi ini dapat menambah keilmuan Hukum Islam berkaitan

dengan Fatwa di Majelis Tarjih Muhammadiyah.

2. Secara Praktis

Seri kajian diharapkan bermanfaat terhadap prilaku yang membentuk

masyarakat, pemerhati hukum.

E.Review Studi Terdahulu

Pembahasan mengenai rokok sudah pernah dibahas sebelumnya oleh

beberapa skripsi, diantanya adalah :

NAMA JUDUL ANALISA

Kamal Febriansyah

(Fakultas Psikologi

UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta,

“Pengaruh peringatan

tentang bahaya merokok

pada iklan rokok terhadap

sikap remaja terhadap

merokok”

Dalam skripsinya ini

penulis berusaha

meneliti bagaimana

pengaruh peringatan

(18)

10

2007) iklan rokok terhadap

sikap remaja terhadap

merokok. Dari hasil

penelitiannya tersebut,

Kamal menyimpulkan

bahwa terdapat

pengaruh yang lemah

dari peringatan bahaya

merokok terhadap

sikap remaja. Hal ini

dipengaruhi oleh

kecenderungan remaja

yang masih dalam

kondisi labil, sehingga

tidak begitu

memperhatikan

peringatan bahaya

merokok itu sendiri.

Bagus Samsudin

(Komunikasi Penyiaran

Islam, Fakultas

Dakwah dan

Komunikasi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta,

tahun 2009)

“Respon Warga

Perumahan Reni

Jaya-Pamulang Terhadap

Fatwa Haram Rokok

Majelis Ulama Indonesia

(MUI)”

Dalam skripsinya ini

Penulis berusaha untuk

menjelaskan mengenai

respon masyarakat yang

ada di Perumahan

Reni-Jaya Pamulang fatwa

haram rokok Majelis

Ulama Indonesia (MUI).

(19)

yang telah dilakukan,

dapat disimpulkan bahwa

respon masyarakat

terbagi dua, yaitu antara

yang menerima dan

menolak fatwa tersebut.

Anita

(Jurusan

Pengembangan

Masyarakt Islam

Fakultas Dakwah dan

Komunikasi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta,

tahun 2010)

“Pelaksanaan program

sosialisasi bahaya rokok

pada Lembaga Wanita

Indonesia Tanpa

Tembakau (WITT) di

masyarakat”

Dalam skripsi ini penulis

menjelaskan tentang

program sosialisasi

bahaya rokok yang

dilakukan oleh para

aktivis yang tergabung

pada Lembaga Wanita

Indonesia tanpa

Tembakau (WITT) di

masyarakat. Dalam

sosialiasi tersebut, para

aktivits berusaha untuk

memberikan penjelasan

kepada masyarakat

bahaya yang terkandung

dalam rokok, seperti

keberadaan tar dan

nikotin yang dapat

menyebabkan berbagai

penyakit pada manusia.

Selain bahaya yang akan

(20)

12

sendiri, para aktivis juga

berusaha untuk

menjelaskan bahaya

rokok bagi mereka yang

tergolong perokok pasif.

Adapun perbedaan skripsi penulis dengan skripsi-skripsi terdahulu terletak

pada Kajian pembahasan, pada skripsi ini penulis menfokuskan pembahasan pada

Istinbath Majelis Tarjih Muhammadiyah mengenai rokok, penelusuran

pengambilan hukum rokok, serta bahaya rokok bagi kesehatan. Kajian lain yang

penulis coba untuk kemukakan antara lain juga pandangan hukum Islam terhadap

rokok.

F. Metode Penelitian

Metode yang digunakan oleh penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

adalah menggunakan metode-metode yang umumnya berlaku dalam penelitian

yaitu:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan (Library Research)

yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara penelusuran literature, text book,

surat kabar, majalah hukum, peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan

sebagainya yang ada relevansinya dengan judul skripsi.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat dekriptif-analisis, dalam pengertian tidak sekedar

(21)

data-data yang berhubungan dengan rokok, bahaya rokok bagi kesehatan, rokok dalam

hukum Islam serta aplikasinya dari Istinbath Majelis Tarjih Muhammadiyah yakni

dalam kaitannya terhadap fatwa yang haram yang dikeluarkannya.

3. Sumber Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu:

a. Data Primer

Mengenai obyek dari kajian penelitian ini, penulis menggunakan fatwa

Majelis Tarjih Muhammadiyah mengenai pengharaman Rokok Sebagai data

Primer bahan analisa pembuatan skripsi ini, Karena melalui istinbath itu penulis

dapat menganalisa metode istinbat hukum yang digunakan Majelis Tarjih

Muhammadiyah terhadap pengharaman rokok.

b. Data Skunder

Sedangkan tehnik dalam pengumpulan data skunder atau data penunjang,

penulis mengumpulkan data dengan bantuan Library Research yaitu penelitian

yang dilakukan dengan cara penelusuran literature, text book, surat kabar, majalah

hukum, dan lain sebagainya yang mengandung sumber informasi terkait judul

skripsi. Kemudian penulis mengolah data dengan menganalisa serta

mengintrepretasikan bahan kajian yang telah ada untuk memperoleh landasan

teoritis yang akurat serta menunjang proses penulisan skripsi ini, dengan demikian

(22)

14

dibutuhkan serta menunjang keakuratan data untuk melengkapi penulisan skripsi

ini dapat dicapai dengan maksimal.

c. Teknik Analisis Data

Kemudian teknik analisis data yang penulis lakukan adalah dari data yang

sudah terkumpul baik dari data primer maupun skunder penulis kaitkan dengan

menganalisa permasalah yang ada guna menemukan jawaban terhadap

permasalahan seperti yang telah di rumuskan dalam perumusan permasalahan pada

skripsi ini, dengan menggunakan metode deskriptif analisis.

Kemudian dalam teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman kepada

ketentuan yang telah diatur dalam buku “pedoman penulisan skripsi Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2008/2009”.

G.Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima Bab. Dengan uraian

sistematika pembahasan sebagai berikut:

Bab I : Merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,

Identifikasi Masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian serta

sistematika penulisan.

Bab II : Pada bab ini berisikan mengenai landasan teori, yaitu Definisi Fatwa,

(23)

Bab III : Bab ini menguraikan Majelis Tarjih dan Tarjih Muhammadiyah, yakni

membahas mengenai pengertian Majelis Tarjih, kedudukan Majelis

Tarjih Muhammadiyah, tugas dan wewenang Majelis Tarjih, serta Fatwa

majelis tarjih Muhammadiyah.

Bab IV : Bab ini membahas mengenai Rokok dalam perspektif majelis tarjih

Muhammadiyah sub pembahasan yaitu rokok dalam persfektif ilmu

kesehatan, metode istinbath hukum majelis tarjih Muhammadiyah dalam

fatwa rokok serta analisis penulis.

(24)

16

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG FATWA

A.Definisi Fatwa

Dalam kehidupan sehari-hari, kaum muslimin seringkali mendengar

istilah fatwa. Bagi sebagian orang, fatwa dianggap sebagai sebuah ketentuan

yang harus dijalankan. Fatwa dianggap sebagai sebuah hukum yang memiliki

konsekuensi dalam menjalankannya. Bagi sebagian yang lain, fatwa dianggap

sebagai sebuah anjuran. Sehingga tidak ada ketentuan hukum dalam menjalankan

atau meninggalkan suatu fatwa.

Fatwa berasal dari bahasa Arab al-ifta’, al-fatwa. Yang secara sederhana

dimengerti sebagai pemberi keputusan.1 Fatwa adalah suatu jawaban resmi

terhadap pertanyaan atau persoalan penting menyangkut dogma atau hukum,

yang diberikan oleh seseorang yang mempunyai otoritas untuk melakukannya.2

Fatwa secara etimologi (bahasa) ialah:

Artinya: “Menyelesaikan setiap masalah” 3

1

Pengantar M. Quraisy Shihab dalam bukunya M.B. Hooker, Islam Mazhab Indonesia, Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial, terjemahan Iding Rosyidin Hasan, (Jakarta: Teraju, 2003), Cet. II, h. 16

2

Ibid., h. 21.

3

(25)

Definisi tersebut jika dicari persamaannya dalam al-Quran adalah sebuah

solusi dari suatu permasalahan. Seperti firman Allah SWT:







































































































( ءاسنلا : ٧ )

Artinya: Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah:

"Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang

dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang para

wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang

ditetapkan untuk mereka, , sedang kamu ingin mengawini merekadan

tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh

kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan

kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, Maka Sesungguhnya Allah

adalah Maha mengetahuinya.QS. An-Nisa’(QS. An-Nisa (4): 127)

Sedangkan fatwa secara terminologi (istilah) ialah:

Artinya:

“Fatwa adalah menyampaikan hukum-hukum Allah berdasarkan dalil-dalil syariah yang mencakup segala persoalan.” 4

4

(26)

18

Berdasarkan terminologi tersebut, fatwa adalah sebuah hukum yang

berasal dari Allah dengan menyandarkan pada dalil-dalil syariah mengenai

berbagai pertanyaan yang berkenaan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi

oleh umat manusia.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fatwa adalah jawaban

(keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah.5 Fatwa

(bahasa Arab, keputusan yang sah), suatu pengumuman yang sah diberikan

sebagai tanggapan atas suatu pertanyaan tentang suatu praktek hukum Islam.

Keputusan ini diberikan oleh seorang mufti dengan kualifikasi tinggi dan

berdasarkan pada sesuatu yang bisa dijadikan teladan dan wewenang bukan

pendapat pribadi sendiri.6

Fatwa adalah menerangkan hukum agama dari suatu persoalan sebagai

jawaban pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa (mustasfi), baik

perorangan maupun kolektif, baik dikenal maupun tidak dikenal. Dalam ilmu

ushul fiqh fatwa berarti pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid atau

sebagai jawaban yang diajukan peminta dalam suatu kasus yang sifatnya tidak

mengikat.7

5

Pusat Bahasa dan Budaya, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), Cet. Ke-3, h. 275

6

Muhammad Iqbal dan William Hunt, Ensiklopedi Ringkas tentang Islam, (Jakarta: Taramedia, 2003), h. 110-111.

7

(27)

Dalam buku fatwa Munas VII MUI 2005, disebutkan bahwa fatwa adalah

penjelasan tentang hukum atau ajaran Islam mengenai permasalahn yang

dihadapi atau ditanyakan oleh masyarakat serta merupakan pedoman dalam

melaksanakan ajaran agamanya.8 Fatwa adalah nasehat yang datangnya dari

orang yang lebih tinggi kepada orang yang lebih rendah dari padanya, baik

tingkatan umurnya, ilmunya maupun kewibawaannya.9 Fatwa adalah sama

dengan petuah, nasehat, jawaban atas pertanyaan yang berkait dengan hukum.

Jamaknya adalah fatawa, dalam ilmu ushul fiqh berarti pendapat yang

dikemukakan seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban yang diajukan

peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat.10

Fatwa menurut syara’ adalah menerangkan hukum syara’ dalam suatu

persoalan sebagai jawaban dari satu pertanyaan, baik si penanya tersebut jelas

identitasnya maupun tidak, baik perseorangan maupun kolektif.11

Inti dari pengertian fatwa merupakan jawaban atau penjelasan atas suatu

pertanyaan atau kasus yang sedang dihadapi, dan dapat dijadikan pedoman atau

dasar sesuai dengan keyakinan ajaran agamanya masing-masing.

8

Majelis Ulama Indonesia, Fatwa Munas VII MUI 2005, Cet. III, h. V

9

M. Abdul Mujieb, dkk., Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), h. 77

10

Abdul Aziz Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1996), Jilid 2, h. 326

11

(28)

20

Dari pengertian-pengertian fatwa di atas, dapat dijumpai adanya pihak

yang meminta fatwa (mustafti) dan ada pihak yang memberi fatwa (mufti). Pihak

yang meminta fatwa (mustafti) bisa bersifat pribadi, lembaga atau kelompok

masyarakat, ataupun pemerintah dan bahkan dari kalangan MUI sendiri.

Sedangkan pemberi fatwa (mufti) adalah pihak yang mengeluarkan fatwa yang

dilakukan oleh seorang mujtahid atau faqih yang telah memenuhi

persyaratan-persyaratan tertentu dalam mengeluarkan fatwa. Fatwa tersebut bersifat petuah,

nasehat dan tidak harus diikuti oleh peminta fatwa, karena fatwa tersebut tidak

mempunyai daya ikat atau sanksi bagi yang melanggarnya.

Fatwa muncul karena adanya suatu perkara akibat perkembangan sosial

yang dihadapi oleh umat, karena itu fatwa mensyaratkan adanya orang yang

meminta atau kondisi yang memerlukan adanya pandangan atau keputusan

hukum. Dengan demikian, fatwa tidak persis dengan tanya jawab keagamaan

biasa seperti dalam pengajian-pengajian, bukan juga sekedar ceramah seputar

suatu ajaran agama, fatwa senantiasa sangat sosiologis, ia mengandaikan adanya

perkembangan baru, atau kebutuhan baru yang secara hukum belum ada

ketetapan hukumnya atau belum jelas duduk masalahnya.12

Tradisi pemberian fatwa di zaman Nabi Muhammad SAW diawali

dengan datangnya suatu pertanyaan dari umatnya, penjelasan mengenai hukum

Islam didasarkan pada al-Quran, as-Sunnah, dan apa yang diwahyukan pada

12

(29)

beliau, dalam al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang dimulai dengan pertanyaan

dari masyarakat, mereka bertanya kepada Nabi SAW tentang berbagai persoalan,

lalu mendapat jawaban dari Allah SWT melalui wahyu yang disampaikan kepada

beliau. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain tentang nikah beda agama

(al-Baqarah (2): 221), khamr dan judi (al-Baqarah (2): 219), masa haid bagi wanita

(al-Baqarah (2): 222), anak yatim (al-Baqarah (2): 220), perang pada bulan

Haram (al-Baqarah (2): 217), dan lain-lain.13

Pada zaman Nabi SAW tidak terdapat pemisahan antara hukum agama

dan hukum negara. Sebagai hakim, beliau memutuskan perkara yang ditanyakan,

dan beliau memerintahkan untuk melaksanakannya, setelah beliau wafat,

permasalahan tentang hukum ditanyakan kepada para khalifah dan hakim yang

mengadili perkara masyarakat. Kalangan sahabat Nabi SAW yang terkenal

sebagai pemberi fatwa di Madinah adalah „Aisyah binti Abu Bakar, Abdullah,

Abu Hurairah, Said bin al-Musayyab, Urwah ibnu al-Zubair, Abu Bakar ibn

Abdul Rahman ibn al-Haris, Ali ibn Abu Thalib dan Sulaiman ibn Yasar.

Sementara itu di Makkah sahabat pemberi fatwa yang terkenal antara lain

Abdullah ibn Abbas ibn Abdul Muthalib, Mujahid ibn Jabar, Ikrimah, Atho’ ibn

Abi Rabah dan Abu al-Zubair Muhammad ibn Muslim ibn Quddus. Sedangkan

di Bashrah sahabat yang terkenal dalam memberi fatwa antara lain Anas ibn

Malik al-Anshari, Abu „Aliyah Rafi’ ibn Mahram, Hasan ibn Abi Hasan, dan di

13

(30)

22

Mesir sahabat pemberi fatwa yang terkenal antara lain Abdullah ibn Umar ibn

al-„Ash, Abu al-Khair Mursid ibn Abdullah al-Yazni, Yazid ibn Abu al-Habib.14

Dengan semangat dakwah Islam yang menjulang, menghasilkan wilayah

Islam yang semakin meluas, kebutuhan manusia semakin beragam pula, sehingga

berbagai persoalan muncul dari zaman ke zaman, yang memerlukan jawaban dan

penyelesaian yang cukup serius. Untuk itu para warga pergi ke tokoh-tokoh

masyarakat yang terdiri dari kaum ulama untuk menanyakan masalah-masalah

hukum yang sedang dihadapi.

Sudah menjadi sunnatullah bahwa tingkat pemikiran manusia, semakin

meningkat dari zaman ke zaman. Hal ini terbukti dengan semakin banyak rahasia

alam yang berhasil disingkap oleh manusia serta pesatnya ilmu pengetahuan dan

teknologi yang telah berhasil menyediakan berbagai sarana untuk memenuhi

kebutuhan manusia yang semakin beragam.

B.Mekanisme Fatwa

Agama memegang peranan penting dalam mengarahkan dan

membimbing masyarakat. Tidak ada yang menandingi kekuatan Agama. Dan

agama tidak dapat dinomorduakan atau diletakkan di pinggiran kehidupan

manusia, karena Agama merupakan sumbu utama dan pegangan pokok bagi

kehidupan manusia.15

14

Ibid., h. 148

15

(31)

Perlu ditegaskan, bahwa loncatan umat Islam dari milenium lalu ke

milenium baru ini jelas menghadirkan banyak sekali perubahan dan

perkembangan yang menyisakan kondisi-kondisi baru yang membutuhkan fatwa.

Fatwa sudah semestinya menjadi respon proaktif dari para otoritas pemberi fatwa

dalam menanggapi, bahkan persoalan-persoalan yang belum terjadi, namun

sudah dapat diprediksi kehadirannya, seperti kloning manusia, dan sebagainya.

Dengan demikian lembaga pemberi fatwa dituntut lebih jeli dan produktif dalam

memahami kebutuhan masyarakat riil manusia.

Pada tingkat resmi dan organisasi kemasyarakatan, pemberi fatwa tidak

pernah dilakukan secara pribadi. Di negara-negara Timur Tengah seperti Mesir,

Libanon, Irak, Iran dan Saudi Arabia, begitu juga negara-negara ASEAN seperti

Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura, fatwa selalu diberikan

oleh lembaga-lembaga yang berwenang. Di Indonesia pada tingkat nasional

terdapat komisi fatwa MUI, dan pada tingkat ke-Ormasan Islam terdapat lembaga

fatwa seperti Lajnah Tarjih Muhammadiyah dan Bahsul Masa’il NU. Dua

lembaga yang terakhir ini merupakan lembaga fatwa perintis pertama di

Indonesia.16

Dari pengertian fatwa di atas dapat disimpulkan bahwa fatwa mempunyai

beberapa karakteristik, antara lain:

16

(32)

24

1. Fatwa hanya dilakukan ketika ada kejadian nyata, dan seorang ahli fiqh

berusaha mengetahui hukumnya. Fatwa yang baik dari seorang mujtahid17,

disamping harus memenuhi semua persyaratan ijtihad juga harus memenuhi

beberapa persyaratan yang lain, yaitu mengetahui secara persis kasus yang

dimintakan fatwanya, mempelajari psikologi peminta fatwa dan masyarakat

lingkungannya, agar dapat diketahui dampak dari fatwa tersebut, dari segi

posifit dan negatifnya. Diceritakan dari Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa ia

mengemukakan beberapa syarat bagi mufti, yaitu:

Seseorang seyogyanya tidak mengeluarkan fatwa sebelum memenuhi lima

hal: pertama, memasang niat. Jika tidak disertai niat, maka ia serta ucapannya

tidak mendapatkan nur (pencerahan). Kedua, bertindak atas dasar ilmu, penuh

santun, wibawa dan ketenangan. Ketiga, mempunyai kekuatan untuk

menghadapi dan mengetahui persoalan yang akan dikeluarkan fatwanya.

Keempat, memiliki ilmu yang cukup. Sebab jika tidak didukung dengan ilmu

yang memadai, maka ia akan dilecehkan dan menjadi bahan gunjingan orang.

Kelima, mengetahui kondisi sosiologis masyarakat.18

17

Syarat-syarat mujtahid yang menggali hukum (mustanbith), adalah: menguasai bahasa Arab, mengetahui nasakh dan mansukh dalam al-Quran, mengerti sunnah (hadits), mengerti letak ijma’ dan khilaf, mengetahui qiyas, mengetahui maksud-maksud hukum. Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terj. Saefullah, (Jakarta: pustaka Firdaus, 1999), cet. Ke-5, h. 568-575

18

(33)

2. Keputusan fatwa bersifat tidak mengikat.19 Para ulama wajib memberi fatwa,

tidak boleh mengharuskan orang untuk menggali diri hukum-hukum itu dari

dalil-dalilnya.20 Namun ia tidak boleh mengerjakan apa yang difatwakan oleh

seorang ulama kecuali apabila hatinya pun puas menerima hukum itu dan

tidak merasakan bahwa apa yang difatwakan itu berlawanan dengan yang

seharusnya.21

3. Fatwa harus berorientasi untuk kepentingan kemaslahatan masyarakat. Dalam

hal ini as-Syatibi berkata sebagaimana dikutip oleh Muhammad Abu Zahrah:

Mufti yang mencapai tingkat tinggi adalah mufti yang memberikan fatwa dengan pendapat tengah-tengah yang dapat diterima mayoritas masyarakat. Maka, ia tidak menawarkan mazhab dengan pendapat yang berat dan tidak pula turun kepada pendapat yang ringan.22

Karakteristik fatwa tersebut bisa diartikan sebagai alasan atau penyebab

munculnya fatwa. Ketika sebuah fatwa dikeluarkan, baik oleh lembaga-lembaga

keagamaan maupun oleh organisasi-organisasi keagamaan yang memiliki

departemen fatwa dimaksudkan untuk memberikan jawabatan atas berbagai

persoalan yang ada di tengah-tengah umat manusia yang masih menjadi tanda

tanya di antara mereka. Dalam mengeluarkan suatu fatwa, ada mekanisme yang

19

A. Rahman Ritonga, dkk., Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 326

20

Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiequ, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001), Cet. Ke-2, h. 166

21

Ibid, h. 67

22

(34)

26

harus dianut. Dan mekanisme tersebut tercermin dari tiga karakteristik fatwa di

atas.

As-Syatibi memberikan alasan, bahwa mengambil salah satu dari dua

sudut pendapat yang ekstrem akan keluar dari konteks keadilan, menyimpang ke

arah kelaliman. Ia menegaskan, segi yang memberatkan akan mendatangkan

kepada kerusakan, sedang segi toleransi yang mutlak akan mendatangkan kepada

kelemahan.23

Pintu rukhshah (kemurahan) terbuka lebar di depan seorang mufti.

Dengan rukhshah ia hadir mengobati kondisi masyarakat (penyakit sosial),

apabila ia melihat bahwa menetapkan „azimah (hukum asal) akan mendatangkan

kesulitan dan kesusahan. Sesungguhnya Allah suka bila dijalankan rukhshah

-rukhshah-Nya, sebagaimana halnya suka bila dilaksanakan „azimah-„azimah

-Nya. Dalam keadaan di mana „azimah menimbulkan kesusahan, maka rukhshah

lebih disukai Allah dari pada „azimah. Sebab Allah menginginkan hamba-Nya

memperoleh kemudahan, tidak mengingingkan tertimpa kesusahan.24

Dalam Islam terdapat teori yang menyebutkan tentang maqâsid as

-syarî’ah. Dalam teori tersebut di jabarkan lima hal yang harus dijaga dalam

mememutuskan suatu perkara.

1. Memelihara agama (hifz al-dîn)

23

Ibid

24

(35)

Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan kepentingannya, dapat

dibedakan menjadi tiga peringkat:

a. Memelihara agama dalam peringkat darûriyyât, yaitu memelihara dan

melaksanakan kewajiban keagamaan yang termasuk peringka primer,

seperti melaksanakan shalat lima waktu. Kalau shalat ini diabaikan, maka

akan terancamlah eksistensi agama.

b. Memelihara agama dalam peringkat hâjiyyât, yaitu melaksanakan

ketentuan agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat

jama’ dan qashar bagi orang yang sedang bepergian. Kalau ketentuan ini

tidak dilaksanakan, maka tidak akan mengancam eksistensi agama,

melainkan hanya mempersulit orang yang melakukannya.

c. Memelihara agama dalam peringkat tahsîniyyât, yaitu mengikuti petunjuk

agama guna menjunjung tinggi martabat manusia, sekaligus melengkapi

pelaksanaan kewajibannya kepada Tuhan. Misalnya, menutup aurat, baik

di dalam maupun luar shalat, membersihkan badan, pakaian dan tempat.

2. Memelihara jiwa (hifz al-nafs)

Memelihara jiwa, berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat

dibedakan menjadi tiga peringkat:

a. Memelihara jiwa dalam peringkat darûriyyât, seperti memenuhi

(36)

28

kebutuhan pokok itu diabaikan, maka akan berakibat terancamnya

eksistensi jiwa manusia.25

b. Memelihara jiwa dalam peringkat hâjiyyât, seperti dibolehkan berburu

dan menikmati makanan yang lezat dan halal. Kalau kegiatan ini

diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan

hanya akan mempersulit hidupnya.

c. Memelihara jiwa dalam peringkat tahsîniyyât, seperti ditetapkannya tata

cara makan dan minum. Kegiatan ini hanya berhubungan dengan

kesopanan atau etiket, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa

manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang.

3. Memelihara akal (hifz al-‘aql)

Memelihara akal, dilihat dari segi kepentingannya dapat dibedakan

menjadi tiga peringkat:

a. Memelihara akal dalam peringkat darûriyyât, seperti diharamkan

meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka

akan berakibat terancamnya eksistensi akal.

b. Memelihara akal dalam peringkat hâjiyyât, seperti dianjurkan untuk

menuntut ilmu pengetahuan. Sekiranya kegiatan itu tidak dilakukan, maka

tidak akan merusak akal, tetapi akan mempersulit diri seseorang, dalam

kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.

25

(37)

c. Memelihara akal dalam peringkat tahsîniyyât, seperti menghindarkan diri

dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaidah. Hal ini

erat kaitannya dengan etiket, tidak akan mengancam eksistensi akal

secara langsung.26

4. Memelihara keturunan (hifz al-nasl)

Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya,

dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:

a. Memelihara keturunan dalam peringkat darûriyyât, seperti disyari’atkan

nikah dan dilarang zina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka akan

terancam eksistensi keturunan.27

b. Memelihara keturunan dalam peringkat hâjiyyât, seperti ditetapkan

ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan

diberikan hak talak padanya. Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu

akad, maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar

mahar misl. Sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami

kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah

tangga tidak harmonis lagi.

c. Memelihara keturunan dalam peringkat tahsîniyyât, seperti disyari’atkan

khitbah atau walîmah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka

melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan

26

Ibid, h. 43

27

(38)

30

mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula akan mempersulit orang

yang melakukan perkawinan.

5.Memelihara harta (hifz al-mâl)

Dilihat dari segi kepentingannya, memelihara harta dapat dibedakan

menjadi tiga peringkat:

a. Memelihara harta dalam peringkat darûriyyât, seperti disyari’atkan

tatacara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan

cara yang tidak sah. Apabila aturan itu dilanggar, maka akan berakibat

terancanmnya eksistensi harta.

b. Memelihara harta dalam peringkat hâjiyyât, seperti disyari’atkan jual beli

dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan

mengancam eksistensi harta melainkan akan mempersulit orang yang

memerlukan modal.

c. Memelihara harta dalam peringkat tahsîniyyât, seperti adanya ketentuan

agar menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat

kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan

berpengaruh kepada keabsahan jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga

ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang kedua dan pertama.28

Adapun proses yang berkaitan dengan mekanisme pemberian fatwa yakni,

1.al-Ifta atau al-futya, kegiatan menerangkan hukum syara’ (fatwa) sebagai

jawaban yang diajukan.

28

(39)

2. Mustafti, artinya individu atau kelompok yang mengajukan pertanyaan atau

meminta fatwa.

3. Mufti, Orang yang memberikan fatwa atas pertanyaan yang diajukan.

4. Mustafti Fih, masalah, peristiwa, kasus atau kejadian yang ditanyakan status

hukumnya.

5. Fatwa, Jawaban atau hukum atas masalah, peristiwa, kasus atau kejadian yang

ditanyakan.29

C.Kekuatan/kedudukan Fatwa

Kehidupan sehari-hari tidak pernah mudah bagi individu yang

sungguh-sungguh berpedoman pada wahyu, kesulitan-kesulitannya berlipat ganda dengan

adanya akomodasi Islam yang setengah hati. Fatwa merupakan suatu yang

krusial karena merupakan respon internal terhadap pelbagai persoalan di mana

angota-anggota umat sendiri memandangnya sebagai hal yang sangat penting

dalam rangka menunaikan kewajiban yang diberikan Tuhan dengan benar.

Dalam kehidupan di masyarakat fatwa menduduki fungsi yang sebagai

amar ma’ruf nahi munkar, karena ia menyampaikan pesan-pesan agama yang

harus dikerjakan atau harus ditinggalkan oleh umat. Oleh karena itu, hukum

berfatwa menurut asalnya adalah fardhu kifayah. Bila dalam suatu wilayah hanya

ada seorang mufti yang ditanya tentang suatu masalah hukum yang sudah terjadi

dan akan luput seandainya ia tidak segera berfatwa, maka hukum berfatwa atas

29Ma’ruf Amin,

(40)

32

mufti tersebut menjadi fardhu a’in. Namum, bila ada mujtahid lain yang

kualitasnya sama atau lebih baik atau masalah yang ditanyakan kepadanya

bukanlah masalah yang mendesak untuk segera dipecahkan, maka hukum

berfatwa bagi mufti tersebut adalah fardhu kifâyah.30

Lahirnya suatu fatwa berpengaruh terhadap pensosialisasinya di

masyarakat. Fatwa harus dikeluarkan oleh mufti yang memahami, mengerti dan

mendalami akan hukum syari’at, mufti berkedudukan sebagai pemberi

penjelasan tentang hukum syara’ yang harus diketahui dan diamalkan oleh umat.

Oleh karena itu, umat akan selamat apabila ia berfatwa dengan benar dan akan

sesat apabila ia salah dalam berfatwa.

Kedudukan mufti sama dengan hakim, yaitu menggali hukum atau

mencetuskan hukum kepada umat. Namun fatwa yang dikeluarkan bukanlah

peraturan atau undang-undang yang harus diikuti, fatwa hanyalah nasehat, petuah

atas jawaban pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan hukum, tiada sanksi

bagi yang menghianatinya.

Sebelum memberikan jawaban atau fatwa, seorang mufti pada dasarnya

telah melalui proses yang mencakup empat hal, yaitu :

1.Apa hukum atas masalah yang dimaksud.

2.Apakah dalilnya

3.Apa wajh dalalah-nya.

30

(41)

4.Apa saja jawaban-jawaban/fatwa yang bertentangan di seputar persoalan yang

dimaksud.

Berdasarkan hal itu, sebagian ulama ahli fiqh mensyaratkan seorang mufti

itu harus ahli ijtihad (mujtahid). Sebab, empat proses tersebut di atas, menuntut

kemampuan orang yang ahli ijtihad, di samping tentu saja dia adalah seorang

muslim, adil, mukallaf, ahli fiqh dan memliki pemikiran yang jernih. Namun

as-Syaukani tidak mensyaratkan seorang mufti itu harus mujtahid, yang penting dia

ahli di dalam agama Islam.31

Seorang mufti juga harus memperhatikan beberapa keadaan, seperti :

mengetahui secara persis kasus yang dimintakan fatwanya, mempelajari

psikologi mustafti dan masyarakat lingkungannya agar dapat diketahui implikasi

dari fatwa yang dikeluarkannya sehingga tidak membuat agama Allah menjadi

bahan tertawaan dan permainan. Lebih lanjut seperti yang telah di yakini Imam

Malik, bahwa ia tidak akan memberi fatwa suatu masalah sebelum ada

pengakuan dari tujuh puluh ulama yang menyatakan bahwa dirinya mempunyai

kemampuan untuk menjawab permasalahan tersebut.32 Hal ini dijaga demi

menjaga kehati-hatian keluarnya hukum.

Seorang mufti tidak boleh berfatwa dengan fatwa yang bertentangan

dengan nash syar’i, meskipun fatwanya itu sesuai dengan madzhabnya. Ia juga

tidak boleh berfatwa dari perkataan dan pandangan yang belum mengalami

31

Ibid, h.435

32Ma’ruf Amin,

(42)

34

proses tarjih atau analisis perbandingan dan pengambilan dalil terkuat.

Kehati-hatian para salaf as shaleh dalam menjawab suatu masalah yang diajukan

merupakan cerminan keluasan ilmu dan kehati-hatian mereka dalam

mengeluarkan fatwa, karena mereka mengetahui secara persis ancaman bagi

orang yang mengeluarkan fatwan tanpa yakin akan dalil-dalilnya. Ancaman bagi

orang atau pihak yang dengan mudah mengeluarkan fatwa tanpa pertimbangan

yang matang adalah neraka.33

Dengan memperhatikan berbagai penjelasan di atas, baik mengenai

pengertian fatwa maupun sejarah fatwa di masa Rasulullah atau sahabat,

ditambah dengan beberapa karakteristik yang melekat pada pemberian suatu

fatwa, maka dapat disimpulkan bahwa fatwa mempunyai kedudukan yang tidak

mengikat. Fatwa yang dikeluarkan oleh pemberi fatwa, tidak serta merta harus

diikuti atau dijalankan oleh kaum muslimin. Hal ini karena sifat fatwa yang lebih

kepada anjuran atau saran, sehingga memberikan pilihan kepada kaum muslimin

untuk mengikutinya atau tidak.

33

(43)

35

A. Pengertian Majelis Tarjih

Pemikiran Muhammadiyah dalam bidang keagamaan pada umumnya dan

pemikirannya dalam bidang fikih khususnya telah ditulis dalam Himpunan

Putusan Majelis Tarjih. Buku ini memuat putusan-putusan yang telah diambil

oleh Majelis Tarjih dalam berbagai bidang, terutama bidang fikih. Kemudian

berbagai macam putusan Majelis Tarjih juga dapati dijumpai dalam buku-buku

lain yang diterbitkan oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah.1

Menurut bahasa, kata tarjih berasal dari rajjaha. Rajjaha berarti member

pertimbangan lebih dahulu dari pada yang lain. Menurut istilah, para ulama

berbeda-beda dalam memberikan rumusan tarjih ini. Sebagian besar ulama

Hanafiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah, memberikan rumusan bahwa tarjih itu

perbuatan mujtahid, sehingga dalam kitab Kasyufu ‘l-Asrâr disebutkan bahwa

tarjih adalah:2

1

Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), Cet. Ke-1, h. 9

2

(44)

36

Artinya: “Usaha yang dilakukan oleh mujtahid untuk mengemukakan satu di antara dua jalan yang bertentangan, karena adanya kelebihan yang

nyata untuk dilakukan tarjih.”

Dalam penjelasan kitab tersebut dikatakan bahwa mujtahid yang

mengemukakan satu dari dua dalil itu lebih kuat dari yang lainnya, karena adanya

keterangan; baik tulisan, ucapan, maupun perbuatan yang mendorong mujtahid

untuk mengambil yang mempunyai kelebihan dari pada yang lain.

Barangkali akan lebih sempurna kalau kita tambahkan pengertian (ta’rif)

yang menyebutkan adanya pertentangan dua dalil itu dalam kualifikasi yang

sama, seperti yang dikemukakan oleh Ustadz Ali Hasballah, dengan rumusan:

Artinya: “Menempatkan kelebihan salah satu dari dua dalil yang sama dengan

sesuatu yang menjadikannya lebih utama dari yang lain dengan

ungkapan atau penggunaannya.”3

Sedangkan tarjîh merupakan istilah yang terdapat dalam ilmu usûl al-fiqh

yang secara harfiah diartikan dengan „pengukuhan’, yang membuat sesuatu yang

kukuh

(

).

Dalam istilah usûl al-fiqh kata ini diartikan dengan

mengukuhkan salah satu di antara dua dalil yang bertentangan yang seimbang

3

(45)

kekuatannya dengan menyatakan kelebihan dalil yang satu dari yang lainnya.

Dengan demikian tarjîh hanya dilakukan pada dalil-dalil yang kelihatannya

bertentangan, baik yang bersifat qat’i maupun zanni. Sedangkan tugas Majelis

Tarjih pada Muhammadiyah adalah membahas dan memutuskan

masalah-masalah keagamaan yang diperselisihkan, dengan cara mengambil pendapat yang

dianggap kuat dalilnya.4

Sedang K.H. Sahlan Rasyidi, sebagaimana yang dikutip oleh Arbiyah

Lubis, mendefinisikan tarjih dalam organisasi Muhammadiyah sebagai:

“Bermusyawarah bersama dari tokoh-tokoh ahli yang meneliti, membanding, menimbang dan memilih dari segala masalah yang diperselisihkan karena perbedaan pendapat di kalangan umat awam mana yang dianggap lebih kuat, lebih mendasar, lebih besar dan lebih dekat dari sumber utamanya ialah al-Quran dan Hadis.”5

Sedangkan tajdid, dari segi bahasa berarti pembaharuan, dan dari segi

istilah tajdid memiliki dua arti, yakni (1) pemurnian; (2) peningkatan,

pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya.

Dalam arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan

ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada al-Quran dan as-Sunnah

as-Shalihah. Dalam arti “peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang

semakna dengannya”, tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran pengamalan, dan

4

Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), Cet. Ke-1, h. 65

5

(46)

38

perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada al-Quran dan

as-Sunnah as-Shalihah.

Untuk melaksanakan tajdid dalam kedua pengertian istilah tersebut,

diperlukan aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang

bersih, yang dijiwai oleh ajaran Islam. Menurut Muhammadiyah, tajdid

merupakan salah satu watak dari ajaran Islam.

Rumusan tajdid tersebut mengisyaratkan bahwa Muhammadiyah ijtihad

dapat dilakukan terhadap peristiwa atau kasus yang tidak terdapat secara eksplisit

dalam sumber utama ajaran Islam, al-Quran dan Hadits; dan terhadap kasus yang

terdapat dalam kedua sumber itu. Ijtihad dalam bentuknya yang kedua dilakukan

dengan cara menafsirkan kembali al-Quran dan Hadits sesuai dengan kondisi

masyarakat sekarang ini. Pada prinsipnya, Muhammadiyah mengakui peranan

akal dalam memahami al-Quran dan Hadits. Namun kata-kata “yang dijiwai

ajaran Islam memberi kesan bahwa akal cukup terbatas dalam menyelesaikan

masalah-masalah yang timbul sekarang ini, dan akal juga terbatas dalam

memahami nash al-Quran dan Hadits.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa jika pemahaman akal berbeda

dengan kehendak zâhir nash, maka kehendak nash harus didahulukan daripada

pemahaman akal. Prinsip ini jelas berbeda dengan prinsip yang diyakini oleh

(47)

dari arti zâhir nash, jika terdapat pertentangan di antara keduanya. Artinya, nash

itu harus dicari interpretasinya sehingga sesuai dengan pemahaman akal.6

Majelis Tarjih Muhammadiyah mengakui kenisbian akal dalam

memahami nash al-Quran dan Hadis. Tetapi, kenisbian itu hanya terbatas pada

ketentuan-ketentuan yang sudah diatur dalam nash. Sedangkan dalam masalah

keduniaan penggunaan akal sangat diperlukan guna mencapai kemaslahatan

umat. Artinya, masalah-masalah yang berhubungan dengan sesama manusia, atau

bisa disebut mu’âmalah, dengan demikian penggunaan akal sangat penting dalam

menghadapi masalah mu’amalah, khususnya yang berhubungan dengan masalah

sosial, karena Muhammadiyah disebut organisasi sosial. Kerangka tarjih

Muhammadiyah bertitik tolak dari kerangka berpikir bahwa Islam diyakini

sebagai agama wahyu yang bersifat universal dan eternal. Islam dalam pengertian

ini tidak dapat diubah. Kemudian untuk menjadi kesemestaan dan keabadian

ajaran Islam di dunia yang senantiasa berubah, diperlukan penyesuaian dan

penyegaran dengan situasi baru. Sehingga pada hakikatnya tarjih dalam

Muhammadiyah terkait dengan masalah tafsir, hadis, dan usul al-fiqh.7

Setelah penulis mengemukakan pengertian dari tarjih itu sendiri, penulis

kemudian berusaha untuk memberikan beberapa aspek yang terdapat dalam

6

Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), Cet. Ke-1, h. 58-59

7

Afifi Fauzi Abbas, anggota majlis tarjih PP. Muhammadiyah Periode 2005-2010 pada

pengajian tarjih “Kitab Masail Khamsah” di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah Menteng Raya,

(48)

40

proses pentarjihan. Hal ini penulis lakukan,dalam rangka untuk mendapatkan

pemahaman yang komprehensif tentang tarjih.

Setidaknya ada tiga aspek pentarjihan. Hal ini jika dilihat dari uraian para

ahli ilmu Ushul Fiqh berkaitan dengan tarjih untuk dalil-dalil manqûl, yaitu:8

1. Yang kembali kepada sanad, dan ini dibagi menjadi dua:

a. Yang kembali kepada diri perawi yang dibagi menjadi dua pula;

yang kembali kepada diri perawi dan yang kembali pada penilaian

perawi

b. Yang kembali kepada periwayatan

2. Yang kembali kepada matan.

3. Yang kembali kepada hal yang di luar tersebut.9

Untuk lebih jelaskanya, berikut ini adalah penjelasan dari ketiga

aspek pentarjihan tersebut di atas.

1. Yang kembali kepada diri perawi:

a. Jumlah perawi (maksudnya sanad) yang banyak jumlahnya

dimenangkan dari yang sedikit.

b. Kemasyhuran tsiqah seorang perawi dimenangkan dari yang tidak.

c. Perawi yang lebih wara’ dan takwa dimenangkan dari yang kurang.

8

Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah; Metodologi dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. Ke-5, h. 5-8

9

(49)

d. Perawi yang telah mengamalkan yang diriwayatkan, lebih

diutamakan dari yang menyelisihinya.

e. Perawi yang menghayati langsung yang diriwayatkan, dimenangkan

dari yang jauh.

f. Perawi yang lebih dekat hubungannya dengan Nabi, dimenangkan

dari yang jauh.

g. Perawi yang termasuk kibâr-i l-Shahâbah diutamakan dari yang

Shighâr-i ‘l-Shahâbah.

h. Perawi yang lebih dulu Islamnya dimenangkan dari yang kemudian.

i. Perawi yang mendengar ucapan hafalan langsung lebih diutamakan

dari yang hanya menerima dari tulisan.

j. Perawi yang menerima khabar sesudah baligh diutamakan dari

yang menerima sebelum baligh.10

2. Yang kembali pada penilaian (tazkiyah) perawi:

a. Jumlah yang menganggap baik lebih banyak dimenangkan dari

yang sedikit.

b. Ungkapan yang menganggap baik dengan tegas diutamakan dari

yang tidak tegas.

c. Pensucian perawi dengan menggunakan kata pensaksian

dimenangkan dari yang hanya dengan kata periwayatan saja.

3. Yang kembali pada periwayatan:

10

(50)

42

a. Yang diriwayatkan atas yang didengar dari gurunya diutamakan

dari yang dibaca di hadapan gurunya.

b. Yang disepakati marfu’-nya dimenangkan dari yang

diperselisihkan.

c. Riwayat bi l-lafzzhi dimenangkan dari riwayat bi ‘l-ma’na.

4. Yang kembali kepada matan, dititikberatkan pada lafaz dan makna:

a. Yang bukan musytarak didahulukan dari yang musytarak.

b. Haqikah didahulukan atas majaz.

c. Kalau keduanya musytarak, yang lebih sedikit artinya didahulukan

dari yang banyak artinya.

d. Kalau keduanya majaz, pengertian yang manqul didahulukan atas

yang ma’qul.

e. Yang tidak memerlukan izhmar atau hadzf didahulukan atas yang

memerlukan.

f. Kalau keduanya hakiki, maka yang lebih masyhur yang dipakai.

g. Makna syar’i didahulukan atas makna lughawi.

h. Yang ada muakkad-nya didahulukan dari yang tidak.

i. Manthuq didahulukan atas yang mafhum.

j. Khâsh didahulukan atas ‘âm.

5. Yang kembali pada isi dalil:

a. Yang melarang didahulukan atas yang membolehkan.

(51)

c. Yang mengandung hukum haram didahulukan atas yang makruh.

d. Itsbat didahulukan atas nafi’.

e. Yang mengandung ziyadah didahulukan atas yang tidak.

f. Yang mengandung taklifi dimenangkan atas yang wadl’i.

g. Yang meringankan didahulukan atas yang memberatkan.11

6. Tarjih sebuah dalil, berdasarkan yang lain dari hal-hal tersebut di atas:

a. Yang mencocoki dengan dalil lain dimenangkan dari yang tidak.

b. Yang mengandung apa yang diamalkan oleh ahli Madinah

dimenangkan dari yang tidak.

c. Yang ta’wil-nya sesuai dimenangkan dari yang tidak sesuai.

d. Hukum yang ber-illah dimenangkan dari yang tidak.12

B. Kedudukan Majelis Tarjih dalam Muhammadiyah

Dilihat dari sejarah berdirnya, Majelis Tarjih Muhammadiyah tidak

terlepas dari keadaan masyarakat Jawa yang sinkretis, serta banyaknya

praktek-praktek bersifat „abangan’, menyebabkan konsep dasar tauhid sebagai asas dari

segala hal yang asasi terbelenggu tradisi animistik.13 Gambaran Cliffort Geerzt

cukup memberikan kejelasan bahwa kehidupan ke-Islaman masyarakat Jawa

11

Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah; Metodologi dan Aplikasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Cet. Ke-5,h. 8

12

Ibid, h. 10

1313

(52)

44

terklasifikasi ke dalam tiga struktur sosial, abangan, santri, dan priyayi, di mana

masing varian memberi kesan akan kualitas keberagamaannya

masing-masing. Kondisi demikian menyadarkan Muhammadiyah, sehingga dalam

kongres Muhammadiyah XVI tahun 1927 di Pekalongan, usulan K.H. Mas

Mansur, supaya Muhammadiyah membentuk suatu Majelisatau badan semacam

Majelis ulama yang bertugas khusus meneliti dan menggali hukum-hukum Islam

berdasarkan al-Quran dan hadis, yang sekarang dikenal dengan Majelis Tarjih,

diterima dengan suara bulat.14

Muhammadiyah disinyalir mengalami stagnasi pemikiran justru karena

Majelis Tarjih Muhammadiyah belum berfungsi secara optimal. Adapun

kelahiran Majelis Tarjih ini K.H. Mas Mans

Referensi

Dokumen terkait

Muhammadiyah terkait dengan fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid mengenai bank. 4.2.Bahan atau Data Penelitian. Penelitian ini akan menggunakan data primer dan data sekunder. Data sekunder

Mas Mansyur yaitu Majelis Tarjih suatu metode atau lembaga yang dijadikan oleh Muhammadiyah untuk penetapan suatu hukum dalam Islam pada masa K.H..

Penelitian tesis ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan sosiologi hukum dan memiliki tujuan untuk mencari jawaban; bagaimana fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan

Ada dua tujuan yang ingin dicapai, yaitu pertama , untuk mengetahui adanya perubahan hukum dalam fatwa-fatwa Tarjih yang berbeda dengan kitab-kitab fikih karena

Permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimanakah cara sosialisasi fatwa Majlis Tarjih dan Tajdid tentang haramnya rokok terhadap warga Muhammadiyah

Perbedaan Pandangan Lembaga Bahtsul Masail Nahdaltul Ulama dan Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang aplikasi Ta’aruf Online Dari penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti,

Melihat dari keputusan Majelis Tarjih tentang penentuan awal bulan Kamariyah dapat diketahui bahwa Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan Kamariyah menggunakan

Berisi tentang kumpulan hadist-hadist tentang taharah yang dihimpun oleh Majelis Tarjih