YANG DIKELUARKAN OLEH MAJELIS TARJIH DAN TAJDID
MUHAMMADIYAH
(Analisis Framing Terkait Dikeluarkannya Fatwa Rokok Haram oleh
Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah pada 8 Maret 2010 di Media
Online Detik.com dan Antara.com Edisi Maret 2010)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana pada FISIP
UPN ”VETERAN” Jawa Timur
OLEH :
NUR RAHMA ALIFAH
NPM. 0643010357
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN”
JAWA TIMUR
YANG DIKELUARKAN OLEH MAJELIS TARJIH DAN TAJDID
MUHAMMADIYAH
(Analisis Framing Terkait Dikeluarkannya Fatwa Rokok Haram oleh Majelis
Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah pada 8 Maret 2010 di Media Online
Detik.com dan Antara.com Edisi Maret 2010)
Disusun Oleh :
NUR RAHMA ALIFAH
NPM : 0643010357
Telah dipertahankan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program
Studi Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional
“Veteran”Jawa Timur
Pada tanggal : 11 Juni 2010
Menyetujui,
Pembimbing Utama Tim Penguji
1. Ketua
Juwito,S.Sos.,M.Si. Juwito,S.Sos.,M.Si.
NPT. 3 6704 95 00361 NPT. 3 6704 95 00361
2. Sekretaris
Drs.Saifudin Zuhri,M.Si. NPT. 3 7006 94 00351 3. Anggota
Dra.Herlina Suksmawati,M.Si. NIP. 19641225 199309 2001
Mengetahui,
DEKAN
PEMBINGKAIAN BERITA TENTANG FATWA ROKOK HARAM
YANG DIKELUARKAN OLEH MAJELIS TARJIH DAN TAJDID
MUHAMMADIYAH
(Analisis Framing Terkait Dikeluarkannya Fatwa Rokok Haram oleh Majelis
Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah pada 8 Maret 2010 di Media Online
Detik.com dan Antara.com Edisi Maret 2010)
Disusun Oleh :
Nur Rahma Alifah
0643010357 / FISIP / IKOM
Telah disetujui untuk mengikuti ujian skripsi
Menyetujui,
PEMBIMBING
J u w i t o, S.Sos., M.Si.
NPT. 3 6704 95 0036 1
Mengetahui,
DEKAN
Alhamdulillahirobbil’alamin. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
rahmat dan hidayah-Nya hingga skripsi ini bisa diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Penyusunan penelitian atau skripsi ini adalah salah satu syarat bagi mahasiswa agar
dapat menyelesaian proses belajarnya di tingkat strata satu. Selain itu, skripsi juga merupakan
bukti kematangan ilmu yang dimiliki oleh mahasiswa dalam memahami semua yang telah
dipelajari di kelas perkuliahan.
Dalam penelitian atau skripsi ini penulis mencurahkan rasa terima kasih yang besar
dan mendalam kepada Dosen Pembimbing peneliti, Bapak Juwito,S.Sos.,M.Si. Karena,
beliau adalah pihak yang telah berjasa atas tersusunnya skripsi ini.
Penyusunan penelitian atau skripsi ini belumlah sempurna. Oleh karena itu,
diperlukan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun. Selain itu, penulis ingin
menyampaikan terima kasih kepada beberapa pihak terkait yang mendukung penyelesaian
skripsi ini. Adapun ucapan terima kasih tersebut disampaikan kepada :
1.
Allah SWT, karena karunia kesehatan baik secara mental dan fisik yang diberikanNya
sampai detik ini.
2.
Drs. Hj. Suparwati, dekan Fakultas Ilmu politik dan Sosial UPN.
3.
Bapak Juwito, S.Sos.,M.Si. sebagai Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi.
4.
Dosen - dosen Ilmu Komunikasi, Bpk. Kusnarto, Bpk. Udin, dan Ibu Sumardjiati yang
telah memberikan banyak ilmu dan dorongan dalam penyelesaian skripsi ini.
Gunung atas perhatiannya selama ini.
7. Dian, Evin, Sherly, Woro, Dila dan Ririn, teman seperjuangan di kampus UPN. Terima
kasih telah mau mengerti dan menemaniku mulai awal semester hingga detik ini.
8.
Magna Community, Mas Winarto dkk, semua teman-teman yang terus semangat meraih
tujuan hidup. Ayo lestarikan lingkungan!
9.
Terima kasih buat teman – teman angkatan 2006 yang lain yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu.
10.
Terima kasih juga guru saya, Pak Nardi, yang masih setia membagi ilmunya sejak
penulis tingkat sekolah dasar sampai sekarang.
11.
Pelatih Pencak Silat Perisai Putih, Kak Putut, Mas Jimmi, Mas Ociem dan Mbak Ainun,
atas saran, bimbingan dan semangat yang diberikan selama ini.
12.
Teman-teman seangkatan di Perguruan Silat Nasional Perisai Putih Surabaya, atas
kesetiaan yang telah diberikan kepada penulis dan kebersamaan yang telah dilalui
bersama. Semoga kita bisa meraih semua mimpi-mimpi kita.
13.
Teman atau rekan kerja penulis, Mbak Nia, Mbak Umi, dan Mas Irwan, terima kasih
atas ilmu dan pengalaman yang dibagikan kepada penulis.
Akhir kata, penulis selalu menantikan adanya saran dan kritik yang sifatnya
membangun demi sempurnanya penyusunan skripsi ini. Terima kasih.
HALAMAN JUDUL ……….. i
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI... ……… ii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI... iii
KATA PENGANTAR... iv
DAFTAR ISI... vi
DAFTAR TABEL... ix
DAFTAR LAMPIRAN... xi
ABSTRAKSI... xii
BAB I PENDAHULUAN ……….... 1
1.1.Latar Belakang Masalah ………..
1
1.2.Perumusan Masalah...……….
16
1.3.Tujuan Penelitian... ……….
16
1.4.Manfaat Penelitian...
16
BAB II KAJIAN PUSTAKA. ………. 18
2.1.Media dan Berita Dilihat dari Pandangan Konstruksionis..
18
2.1.1. Fakta atau Peristiwa Adalah Hasil Konstruksi...
18
2.1.2. Media Adalah Agen Konstruksi...
19
2.1.6. Etika, Pilihan Moral, dam Keberpihakan Wartawan Adalah
Bagian yang Integral dalam Produksi Berita...
23
2.1.7. Nilai, Etika, dan Pilihan Moral Peneliti Menjadi Bagian
yang Integral dalam Penelitian...
24
2.1.8. Khalayak Mempunyai Penafsiran Tersendiri Atas Berita
24
2.2. Bahasa Sebagai Isi Media………...
25
2.3
Jurnalisme Online Sebagai Media Massa....………
26
2.4
Ideologi Media...
30
2.5
Framing Dan Proses Produksi Berita...
31
2.6
Analisis Framing Termasuk Paradigma Konstruktivis...
32
2.7
Analisis Framing...
33
2.8
Proses Framing...
35
2.9
Konsepsi Framing Robert N. Entman...
36
2.10
Rokok dan Persepsi Hukum...
41
2.11
Kerangka Berpikir...
46
BAB III METODE PENELITIAN ………... 48
3.1. Metode Penelitian...
48
3.2. Subyek dan Obyek Penelitian...
50
3.3. Unit Analisis...
50
3.4. Populasi dan Korpus...
51
3.5. Teknik Pengumpulan Data...
52
3.6. Teknik Analisis Data...
53
4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian...
56
4.1.1. Sejarah Detik.com...
56
4.1.2.
Sejarah
Antara.com...
58
4.2. Analisis Berita pada Detik.com dan Antara.com...
62
4.2.1. Frame Detik.com...
63
4.2.2.
Frame
Antara.com...
79
4.2.3. Perbandingan Frame Detik.com dan Antara.com...
94
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...
98
5.1. Kesimpulan...
98
5.2. Saran...
99
DAFTAR PUSTAKA...
101
TABEL 1
Perbedaan teknis Penulisan berita pada Media Cetak dan Media Online.. 29
TABEL 2
Deskripsi Ringkas Berita “PP Muhammadiyah Keluarkan Fatwa
Haram Merokok”...
64
TABEL 3
Frame berita “”PP Muhammadiyah Keluarkan Fatwa Haram Merokok”
64
TABEL 4
Deskripsi berita “PKS Dukung Fatwa Haram Rokok, Siapkan Sanksi bagi
Kader yang Melanggar”...
67
TABEL 5
Frame Berita “PKS Dukung Fatwa Haram Rokok, Siapkan Sanksi bagi Kader yangMelanggar”... 67
TABEL 6 Deskripsi Ringkas Berita “Fatwa Rokok Haram Tak akan Dibahas di Munas Majelis Tarjih Muhammadiyah” ... 69
TABEL 7 Frame berita “Fatwa Rokok Haram Tak akan Dibahas di Munas Majelis Tarjih
Muhammadiyah”... 69
TABEL 8
Frame Detik.com : Fatwa Haram Rokok yang Dikeluarkan Majelis Tarjih dan
Tajdid Muhammadiyah ...
71
TABEL 9
Deskripsi Ringkas Berita “Muhammadiyah Keluarkan Fatwa Haram
Merokok”... 77
TABEL 10 Frame berita “ PP Muhammadiyah Keluarkan Fatwa Haram Merokok ”
78
TABEL 11 Deskripsi Berita “Tolak Fatwa Haram Rokok Petani Bakar Tembakau”
81
TABEL 12
Frame Berita “Tolak Fatwa Haram Rokok Petani Bakar Tembakau
”....81
Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah ... 85
TABEL 16 Perbandingan Frame Detik.com dan Antara.com...
91
LAMPIRAN
1
Berita Detik.com “PP Muhammadiyah Keluarkan Fatwa Haram
Merokok”... 100
LAMPIRAN 2
Berita Detik.com “PKS Dukung Fatwa Haram Rokok, Siapkan sanksi
Bagi yang Melanggar”...
101
LAMPIRAN 3
Berita Detik.com “Fatwa Rokok Haram Tak akan Dibahas di Munas
Tarjih Muhammadiyah”...
102
LAMPIRAN
4
Berita Antara.com “Muhammadiyah Keluarkan Fatwa Haram
Merokok”... 103
LAMPIRAN
5
Berita Antara.com “Tolak Fatwa Haram Rokok Petani Bakar
Tembakau”... 104
NUR RAHMA ALIFAH. PEMBINGKAIAN BERITA TENTANG FATWA HARAM
ROKOK YANG DIKELUARKAN MAJELIS TARJIH DAN TAJDID
MUHAMMADIYAH (Studi Analisis Framing Tentang Berita Fatwa Haram Rokok yang
Dikeluarkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah pada 8 Maret 2010 pada Media
Detik Dot Com dan Antara Dot Com Edisi Maret 2010)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana situs berita online Detik.com
dan Antara.com membingkai berita tentang keluarnya fatwa haram rokok oleh Majelis Tarjih
dan Tajdid Muhammadiyah. Objek dari penelitian ini berita-berita yang terkait dengan fatwa
rokok haram pada Bulan Maret 2010 di media online tersebut. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dan menjadikan paradigma konstruktivis sebagai paradigmanya.
Penelitian ini menggunakan metode analisis framing dengan perangkat analisis dari
Entman yang menggunakan empat cara untuk melakukan analisis framing. Pertama, problem
identification yaitu bagaimana media mengidentifikasi masalah. Peristiwa tersebut dilihat
sebagai apa oleh media. Kedua, causal interpretation yaitu bagaimana media
mengidentifikasi masalah yakni siapa yang dianggap sebagai penyebab masalah dalam
peristiwa. Ketiga, moral evaluation yaitu bagaimana media melakukan penilaian atas
penyebab suatu masalah, dan bagaimana cara penanganan suatu masalah. Keempat, treatment
recommendation yaitu bagaimana media menawarkan dan suatu cara penanganan masalah.
Setelah dianalisis, dapat disimpulkan bahwa kedua media memiliki frame yang
berbeda. Detik.com terlihat mendukung keluarnya fatwa haram tersebut. Hal ini dapat dilihat
dari teknik penulisan atau bahasa yang disajikan oleh Detik.com yang bersikap tenang-tenang
saja atau mendukung dalam menyikapi fatwa ini. Sementara itu, Antara.com cenderung tidak
setuju dengan dikeluarkannya fatwa tersebut. Hal ini terlihat dari sikap Antara.com yang
lebih memilih informasi yang memberitakan sikap penolakan atau protes terhadap fatwa yang
dikeluarkan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah itu.
Kata Kunci : Framing, Fatwa Haram Rokok Muhammadiyah, Detik.com, Antara.com,
Robert N Entman
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kita sering atau bahkan setiap hari mengkonsumsi informasi atau berita
melalui media massa. Media massa menyuguhkan berbagai informasi yang membuat
pikiran dan perasaan kita ikut berubah-ubah ketika kita membaca, mendengar atau
menonton sajian informasi tersebut. Semua ini terjadi karena kekuatan dasyat bahasa
jurnalistik.
Jurnalistik adalah bidang profesi yang mengusahakan penyajian informasi
tentang kejadian kehidupan sehari-hari (pada hakikatnya dalam bentuk penerangan,
penafsiran dan pengkajian) secara berkala, dengan menggunakan sarana penerbitan
yang ada (Suhandang, 2004: 22). Sedangkan, Bahasa Jurnalistik didefinisikan sebagai
bahasa yang digunakan oleh para wartawan, redaktur, atau pengelola media massa
dalam menyusun dan menyajikan, memuat, menyiarkan dan menayangkan berita serta
laporan yang benar, aktual, penting dan menarik dengan tujuan agar mudah dipahami
isinya dan cepat ditangkap maknanya (Sumadiria, 2006 : 7).
Dalam penyajian jurnalistik media cetak dan online dipengaruhi oleh dua
faktor, yakni faktor verbal dan visual. Verbal sangat menekankan pada kemampuan
memilih dan menyusun kata dalam rangkaian kalimat dan paragraf yang efektif dan
komunikatif. Sedangkan, visual menunjuk pada kemampuan menata, menempatkan
dan mendesain tata letak atau hal-hal yang menyangkut segi perwajahan. Pada
harus benar, jelas dan akurat, melainkan harus menarik, meningkatkan minat baca
pada pengkonsumsi media cetak (Sumadiria, 2005: 4).
Berita adalah cerita atau keterangan mengenai kejadian atau peristiwa yang
hangat; kabar; laporan; pemberitahuan; pengumuman (KBBI, 2001 : 140). Berita
adalah jalan cerita tentang peristiwa (Sudirman Tebba, 2005: 55). Ini berarti bahwa
suatu berita setidaknya mengandung dua hal, yaitu peristiwa dan jalan ceritanya. Jalan
cerita tanpa peristiwa atau peristiwa tanpa jalan cerita tidak dapat disebut berita.
Berita dalam jurnalistik media cetak adalah sebuah tulisan tentang peristiwa yang
layak untuk disebarluaskan kepada khalayak karena memiliki nilai berita(Hikmat
Kususmaningrat, 2005: 9).
Untuk membuat informasi menjadi lebih bermakna biasanya sebuah media
cetak melakukan penonjolan-penonjolan terhadap suatu berita. Dalam pengambilan
keputusan mengenai sisi mana yang ditonjolkan tentu melibatkan nilai dan ideologi
para wartawan yang terlibat dalam proses produksi berita ( Sobur, 2001: 163).
Dalam berita ada karakteristik intrinsik yang dikenal sebagai nilai berita (news value). Nilai berita ini menjadi ukuran yang berguna, atau yang biasa diterapkan untuk menentukan layak berita. Inilah kriteria berita atau unsur-unsur nilai berita yang
sekarang dipakai dalam memilih berita.
Unsur-unsur atau yang biasa disebut dengan news value adalah Sudirman Tebba, 2005 : 57):
Berita tidak ubahnya seperti es krim yang gampang meleleh,
bersamaan dengan berlalunya waktu nilainya semakin berkurang.
Masyarakat lebih menghendaki berita yang ingin mereka ketahui lebih cepat
mereka baca, untuk melegakan perasaan ingin tahu mereka mengenai
peristiwa yang baru saja terjadi.
b. Kedekatan (Proximity)
Semakin dekat peristiwa itu dengan pembaca, maka peristiwa itu
semakin dapat menarik perhatian khalayaknya.
c. Keterkenalan (Prominence)
Dalam kolom surat kabar, ini terlihat jelas. Misalnya, di kolom warta
kematian. Apabila yang meninggal atau yang berduka adalah keluarga yang
terkenal maka kolom tersebut akan semakin besar. Public figure, tokoh pemerintahan juga termasuk di dalamnya.
d. Dampak (Consequense)
Peristiwa yang mempunyai dampak luas terhadap masyarakat mampu
menambah nilai suatu berita. Misalnya, pengumuman kenaikan BBM.
Berita ini mempunyai nilai yang tinggi karena berdampak pada masyarakat
yang luas.
e. Human Interest
Berita yang mempunyai human interest mengandung unsur yang dapat menarik simpati, empati atau menggugah perasaan khalayak yang
Sejak era reformasi, keran kebebasan dan kemerdekaan pers terbuka lebar.
Independen dan objektif merupakan dua kata kunci yang digunakan sebagai mantel
jurnalis di seluruh dunia. Setiap jurnalis mengupayakan bahwa dirinya akan bertindak
objektif, seimbang, dan melaksanakan tugas tanpa keberpihakan untuk mengungkap
kebenaran ke masyarakat.
Meskipun sikap independen dan objektif menjadi kiblat setiap jurnalis, pada
kenyataannya seringkali didapati suguhan berita yang beraneka warna dari sebuah
peristiwa yang sama. Berangkat dari peristiwa yang sama, media tertentu
mewartakannya dengan cara menonjolkan sisi aspek tertentu, sedangkan yang lainnya
meminimalisir, memelintir, bahkan menutup sisi atau aspek tersebut dan sebagainya.
Ini menunjukkan di balik jubah kebesaran independensi dan objektivitas, seorang
jurnalis menyimpan paradoks, tragedi bahkan ironi (Eriyanto, 2002: 5).
Media sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan
kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam. Menurut Antonio
Gramsci, media adalah sebuah ruang dimana berbagai ideologi dipresentasikan.
Media massa juga mempunyai kepentingan yang berada di dalam media massa itu.
Media massa tidak mungkin berdiri statis di tengah-tengah, dia akan bergerak dinamis
di antara pusaran-pusaran kepentingan yang sedang bermain. (Sobur, 2001 : 30). Ini
berarti di satu sisi media dapat menjadi sarana penyebaran teknologi penguasa, alat
legitimasi dan kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga dapat
menjadi alat ukur dalam membangun kultur dan ideologi tandingan. Hal ini berkaitan
dengan cara pandang atau perspektif yang digunakan oleh masing-masing pihak.
Setiap institusi media mempunyai ideologi serta visi dan misi tersendiri.
wartawan yang bekerja di suatu institusi media dengan kebijakan redaksional tertentu,
akan mencari, meliput, menulis dan melaporkan peristiwa / realitas berdasarkan
kebijakan redaksional institusi media tersebut. Kebijakan redaksional ini menjadi
salah satu pembatas wartawan tersebut dalam memahami dan mempersepsikan sebuah
realitas.
Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok mempunyai peluang
besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami realitas.
Karena itu dalam praktiknya, framing dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu lain, serta menonjolkan aspek isu tersebut dengan
menggunakan pelbagai strategi wacana, penempatan yang mencolok, pengulangan,
pemakaian grafis untuk memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika
menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan (Sobur, 2001 : 164).
Berita yang dibaca dan dilihat di media bukanlah cerminan dari peristiwa atau
realitas itu sendiri, melainkan sebuah hasil rekonstruksi dari realitas. Dan yang
menjadi agen rekonstruksi berita adalah wartawan. Dengan kata lain, berita yang kita
konsumsi adalah hasil rekonstruksi atas peristiwa menurut prespektif wartawan.
Untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan
wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita, peneliti memilih analisis framing sebagai metode penelitian. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu
dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta
apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, dan hendak dibawa
Hal ini berlaku untuk segala jenis media termasuk media baru yang
berkembang dengan cepat belakangan ini yaitu internet. Sejarah media massa
memperlihatkan bahwa sebuah teknologi baru tidak pernah menghilangkan teknologi
lama., namun mensubtitusinya. Radio tidak menggantikan surat kabar, namun menjadi
sebuah alternatif, menciptakan sebuah kerajaan dan khalayak baru. Sama halnya
dengan kehadiran media online khususnya jurnalisme online tidak akan bisa menggantikan sepenuhnya bentuk-bentuk media lama, namun meningkatkan
intensitasnya dengan menggabungkan fungsi-fungsi dari teknologi internet dengan
media tradisional (Santana, 2005 : 135).
Peneliti menggunakan analisis framing sebagai metode penelitian. Sebagai analisis teks media, framing merupakan salah satu alternatif model analisis yang dapat mengungkapkan sebuah fakta. Selain itu melalui metode framing ini, akan dapat diketahui siapa yang mengendalikan siapa, siapa lawan siapa, mana kawan mana
lawan, mana patron mana klien, siapa diuntungkan siapa dirugikan, siapa menindas
siapa tertindas, dan seterusnya (Eriyanto, 2004: VI). Jadi, diharapkan dengan
menggunakan metode framing ini, sebuah realitas akan dapat diketahui kebenarannya.
Dalam prakteknya, framing dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu yang lain, serta menonjolkan aspek dari isu tersebut dengan menggunakan berbagai
startegi wacana. Misalnya, dengan penempatan yang mencolok (sebagai headline, di depan atau di belakang), pengulangan, pemakaian grafik, untuk mendukung,
memperkuat, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa
yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, dan simplifikasi.
Semua aspek tersebut digunakan untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi
Jadi, dalam kaitannya dengan redaksional, khususnya dalam hubungan dengan
penulisan berita, framing dapat menyebabkan suatu peristiwa yang sama dapat menghasilkan berita yang secara radikal berbeda apabila masing-masing wartawan
memiliki frame yang berbeda ketika melihat peristiwa tersebut dalam menuliskan pandangannya menjadi bentuk berita. Hal ini dapat menyebabkan dua buah realitas,
yakni realitas sosial atau realitas sesungguhnya dan realitas media yang terbentuk
setelah melalui beritanya seringkali merupakan hasil pandangan mereka (predisposisi perseptual) wartawan ketika melihat dan meliput peristiwa. Analisis framing dapat membantu kita untuk mengetahui bagaimana realitas peristiwa yang sama dikemas
secara berbeda oleh wartawan sehingga hasilnya berita yang berbeda (Nugroho, dkk,
1999).
Berita tentang fatwa merokok itu haram oleh Majelis tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah adalah suatu bukti yang dapat menunjukkan
bagaimana suatu institusi media mengalami kesulitan dalam mengemas berita yang
objektif kepada khalayak. Bagaimana media mengemas atau mengkonstruksi sebuah
peristiwa dalam bentuk berita yang akan dikonsumsi oleh khalayak luas.
Sepanjang Bulan Maret 2010, detik.com memuat 23 berita yang berkaitan
dengan respon-respon terhadap dikeluarkannya fatwa merokok itu haram oleh Majelis
tarjih dan Tajdid Muhammadiyah. Sementara, antara.com memuat 26 berita.
Berbicara soal sejarah rokok, ada beberapa artikel yang menyebutkan bahwa
merokok pertama kali dilakukan oleh orang Indian penduduk asli Amerika. Suku
Indian melakukan hal tersebut karena adanya kaitan dengan pemujaan dewa/roh.
ekspedisi ke benua Amerika. Dalam ekspedisinya, mereka menemukan penduduk
pribumi – Indian mengisap tembakau yang digulung seperti cerutu.
Para petualang Eropa ini kemudian menirukan budaya ini dan menganggapnya
sebagai lifestyle baru. Budaya ini kemudian menular diantara para penduduk Eropa,
mereka menganggapnya Sejak saat itulah, bersamaan dengan penjajahan yang
dilakukan oleh bangsa-bangsa eropa ke seluruh dunia, rokok pun ikut tersebar ke
seluruh dunia.
Jika artikel tersebut terbukti kebenarannya, bisa disimpulkan bahwa masa
dimana budaya rokok ini pertama kali ditemukan jauh terjadi setelah masa hidup Nabi
Muhammad SAW. Karenanya tidaklah mengherankan jika di dalam haditsnya Nabi
tidak pernah meriwayatkan hukum soal rokok ini secara jelas dan hanya tersirat dari
hadits-haditsnya yang bersifat umum.
Sementara itu, di nusantara sejarah rokok yang paling tua konon kabarnya
ditemukan di Kudus dalam bentuk rokok kretek. Penemunya adalah Haji Djamhari
pada kurun waktu sekitar 1870-1880-an. Konon, pada waktu itu Djamhari merasa
sakit pada bagian dada karena menderita penyakit asma. Ia lalu mengoleskan minyak
cengkeh pada bagian tubuhnya yang sakit. Ternyata sakitnya pun reda.
Berdasarkan pengalaman tersebut, Djamari pun lantas bereksperimen dengan
memotong-motong cengkeh kecil-kecil (merajang) dan mencampurnya dengan
rajangan tembakau untuk kemudian dilinting menjadi rokok. Dari bunyi rokok yang
Sayangnya, Djamhari keburu wafat sebelum dapat meraup kekayaan dari
rokok kretek. Temuan Djamhari ini yang menyebar dari mulut ke mulut ini kemudian
diteruskan oleh salah seorang warga Kudus lain, yaitu Nitisemito. Ia menjadikan
rokok sebagai industri rumahan untuk diproduksi massal pertama kalinya di
Indonesia. Pada tahun 1908 perusahaan Nitisemito mendapat ijin dari Pemerintah
Hindia Belanda dengan merk Bal tiga. Setahun kemudian Nitisemito mulai membuat
rokok kretek dan di tahun inilah sebenarnya rokok kretek tumbuh menjadi industri,
meski masih berupa home industri yang dikerjakan Nitisemito dan keluarganya.
Maka untuk pertama kalinya pada waktu itu, rokok kretek temuan Djamhari
dijual tanpa bungkus dengan harga sekitar 2,5 sen seikat (25 batang ukuran kecil) dan
3 sen seikat untuk 25 batang ukuran besar. Kesuksesan Nitisemito kemudian banyak
ditiru orang, sehingga antara tahun 1915 -1918 bermunculan ratusan pabrik rokok
kretek baru tidak hanya di Kudus tetapi juga di Semarang, Surabaya, Blitar, Kediri
dan Malang. Sehingga tidaklah berlebihan bila rokok kretek penciptanya adalah orang
Indonesia (http://kabarindonesia.com/...) diakses pada tanggal 28/03/10 pukul 20:05
WIB.
Dalam kehidupan sehari-hari, diakui atau tidak, bagi sebagian masyarakat
keberadaan rokok sangat vital. Mereka tidak menganggap rokok sebagai candu, tapi
sebuah lifestyle yang melekat dalam interaksi dalam komunitas. Rokok merupakan
teman setia yang menemani mereka di warung kopi, begadang dan sarana mencari
teman. Dari sebatang rokok yang ditawarkan tidaklah sulit untuk mendapatkan teman
baru bagi mereka. Karenanya fungsi rokok disini juga sebagai media komunikasi.
Kita sering melihat benda atau objek rokok dalam kehidupan sehari-hari. Perlu
kita ketahui, banyak pihak atau komponen yang terlibat dalam pengeluaran produksi
rokok. Diantaranya, ada komponen petani tembakau, petani cengkeh, buruh,
pemerintah, pengusaha rokok, industri rokok, industri kertas, industri jasa, dan
produsen teknologi. Mereka adalah pihak-pihak yang mempunyai pengaruh besar
dalam pengadaan rokok hingga sampai ke para konsumennya.
Berpijak dari kriteria ekonomi semata dalam pengembangan sektor produksi
rokok bukanlah satu-satunya langkah yang optimum dalam memajukan kesejahteraan
masyarakat. Seperti pernyataan dalam kampanye penolakan anti rokok 2009, “Tidak
merokok, itu kan merugikan negara seperti Indonesia yang kaya dan maju akan
produksi rokok”. Sudah menjadi alasan umum bagi para pengusaha rokok dan
pendukung industri rokok bahwa industri rokok adalah industri padat karya dan
memberikan sumbangan banyak dalam perekonomian negara. Tentunya para
pengusaha rokok dan pendukung industri rokok menyajikan data konstribusi terhadap
perekonomian bangsa.
Saat ini, industri rokok telah tumbuh menjadi sumber devisa negara. Berkat
pemasukan cukai, industri rokok menjadi sumber primadona pendapatan APBN.
Pemasukan negara atas industri ini pada 2009 sekitar Rp 52 triliun. Dari Kudus, pada
2009, cukai yang berhasil disetor ke kas negara oleh KPPBC Tipe Madya Cukai
Kudus lebih kurang Rp 14,5 triliun atau 104,75 persen dari target yang dibebankan
pada 2009 (http://kompas.com) diakses pada 28/03/10 pukul 19:35 WIB.
Industri rokok telah menjadi tempat jutaan tenaga kerja yang mengisap manis
terjadinya antrean panjang angkatan kerja yang menanti kesempatan ngelinting
tembakau dan cengkih.
Industri rokok telah menjadi salah satu solusi problem beban angkatan kerja,
meningkatkan taraf hidup petani, menambah pendapatan pengusaha rokok, dan
memperbanyak pemasukan bagi pundi-pundi negara.
Hampir semua strata sosial masyarakat baik langsung atau tidak menjadi
pengisap rokok sekaligus kena candu industri rokok. Itulah mengapa industri rokok
selalu berada dalam ironi: dicaci sekaligus didamba karena uang yang dihasilkannya.
Mematikan industri rokok mungkin seperti menyembelih angsa bertelur emas.
Karena itu, problem industri rokok di Indonesia tidak melulu mengenai
kesehatan fisik manusia, tetapi jauh lebih kompleks. Rokok juga berhubungan dengan
kesehatan sosial, ekonomi, dan kesehatan "kantong" birokrat, politisi, aparat
keamanan, juga urusan "kantong" negara.
Di Kudus sendiri, menurut data Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia
(KSPSI) Kabupaten Kudus, tak kurang 110.000 bekerja di industri rokok. Seandainya
dari 110.000 orang menanggung beban dua orang maka 330.000 orang bergantung
dari industri penghasil asap dan perusak kesehatan ini. Belum sektor-sektor kegiatan
ekonomi, pertanian, dan industri penyuplai pabrik rokok. Industri rokok telah
menggurita menjadi salah satu pemain besar dalam tata perekonomian di Indonesia.
Pabrik rokok tidak mungkin dapat dimatikan sebab ada sekitar 10.150.000
tenaga kerja dari hulu ke hilir produksi rokok dan terancamnya pendapatan negara
Peringatan kesehatan di bungkus rokok (Tobacco Warning Labels) yang sudah
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan
Rokok bagi Kesehatan hanya menjadi hiasan. Sangat sulit berhenti merokok karena
sudah nyandu (ketagihan). Perokok maupun pihak yang diuntungkan industri rokok
sama-sama sudah ketagihan, betapa rokok begitu ngangeni. Kepulan asapnya maupun
jasa sumber penghasil asap bisa meraup dana hingga triliunan rupiah.
Inilah dilema negara ini. Sebagian masyarakat menginginkan aman dari
bahaya yang ditimbulkan rokok, secara langsung maupun tidak langsung. Dan ada
juga bagian yang sudah merasa tidak bisa hidup tanpa rokok. Biasanya ini dilakukan
setelah santap makan. Negara sendiri juga merasakan dilema tersebut. Indonesia
masih memerlukan dana dari cukai rokok untuk pembangunan dan tidak ingin
menambah jumlah pengangguran dengan menutup jalur produksi tembakau.
Sedangkan, di sisi lain menginginkan perwujudan kehidupan yang sehat, yaitu dengan
lingkungan yang sehat, bebas asap rokok.
Ada banyak upaya kelompok mesyarakat untuk mengendalikan bahaya dari
penggunaan rokok. Sehingga, muncullah banyak peraturan yang diharapkan dapat
mensejahterakan seluruh lapisan, termasuk hidup sehat. Sebelumya, pada Selasa 12
Agustus 2008 memalui berita TV dari dewan syariah MUI menyampaikan fatwa
terbarunya tentang merokok, yaitu : “Merokok hukumnya adalah haram bagi
anak-anak dibawah usia 17 Tahun”. Keputusan ini selain dikarenakan banyaknya remaja
yang menjadi perokok, juga dikarenakan oleh desakan dari Komisi Perlindungan
Pada awal Maret 2010, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, mengeluarkan fatwa baru terhadap hukum merokok. Setelah
menelaah manfaat dan mudarat rokok melalui Haloqoh Fiqih Pengendalian Tembakau
di Gedung PD Muhammadiyah Kota Yogyakarta, Majelis Tarjih dan Tajdid
Muhammadiyah berkesimpulan bahwa merokok secara syariah Islam masuk dalam
kategori haram. Muhammadiyah mengeluarkan surat fatwa haram Nomor
6//SM/MTT/III/2010 berisi merokok hukumnya adalah haram pada Senin 8 Maret
2010.
Prof. Dr. Syamsul Anwar menjelaskan bahwa keputusan tersebut telah ditelaah
dan diteliti baik secara ilmiah maupun dari sudut pandang Agama. “Dari sisi agama
sesuatu yang membahayakan itu dilarang, sehingga ada keselarasan antara ketentuan
agama dan fakta ilmiah" terangnya. "Berdasar hasil kajian dari ahli medis dan
akademisi, semua pihak sepakat bahwa rokok adalah sesuatu yang membahayakan
karena mengandung zat aditif dan zat berbahaya lainnya, mengandung 4000 zat kimia,
69 diantaranya adalah karsinogenik atau pencetus kanker". Selain itu juga menjadi
penyebab timbulnya penyakit sosial yang harus segera ditanggulangi
(http://Muhammadiyah.or.id) diakses pada 31/03/10 pukul 09:10 WIB.
Di sisi lain perilaku merokok mempunyai kaitan kuat dengan kemiskinan,
faktanya keluarga termiskin justru mempunyai prevelensi merokok lebih tinggi dari
pendapatan terkaya, menurut data di SUSENAS 2006. Menurut data yang dicermati
oleh Majelis Tarjih dan Tajdid tersebut, konsumsi keluarga termiskin untuk membeli
"Pengeluaran keluarga miskin untuk konsumsi rokok ini menempati urutan kedua
setelah beras.”
Dr Sudibyo Markus selaku Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi
Kesehatan, Pemberdayaan Masyarakat dan Lingkungan menyatakan bahwa fatwa
merokok adalah haram adalah dalam rangka merevisi fatwa Majlis Tarjid tahun 2005 ,
yang menyatakan bahwa merokok hukumnya mubah, boleh dikerjakan, tapi
ditinggalkan lebih baik. Namun dengan semakin terbukanya informasi mengenai
dampak buruk merokok dibidang kesehatan, sosial dan ekonomi, terlebih bagi
keluarga miskin, serta memperhatikan beberapa ketentuan hukum positif tentang
diperlukannya lingkungan dan perilaku hidup sehat bagi masyarakat, apalagi
ketentuan UU No. 39 Tahun 2009 pasal 113, bahwa tembakau mengandung zat
adiktif, maka Majelis Tarjih dan Tajdid merasakan perlunya merevisi ketentuan lama
tersebut.
Dalam memberitakan fatwa dari Muhammadiyah tersebut media tak serta
merta satu pandangan sebab realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang
berbeda dikarenakan adanya cara pandang yang berbeda. Perbedaan antara realitas
yang sesungguhnya dengan berita tidak dianggap salah, tetapi sebagai suatu
kewajaran.
Pada penelitian ini perangkat framing yang digunakan peneliti dengan mengangkat pemberitaaan mengenai pro dan kontra keluarnya fatwa merokok adalah
lebih menonjol dalam suatu teks komunikasi, dalam khalayak hal itu berarti
menyajikan secara khusus definisi suatu masalah (Define problems atau identifications), interpretasi sebab akibat (Diagnose cause atau causal interpretation), evaluasi moral (Make moral judgement), dan tawaran penyelesaian sebagaimana masalah tersebut digambarkan (Treatment recommendation). Dari pengertian ini, framing menurut Entman pada dasarnya merupakan pemberian definisi, penjelasan,
evaluasi dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir
tertentu terhadap peristiwa yang diwacanakan oleh sebuah media.
Entman juga mengemukakan bahwa proses framing tidak dapat dipisahkan dari strategi pengolahan dan penyajian informasi dalam presentasi sebuah media.
Dalam hal ini wartawan mengolah dan mengemas informasi sesuai dengan ideologi,
kecenderungan ataupun keberpihakan politik mereka. Seperti apa yang terdapat dalam
asumsi framing, telah dijelaskan bahwa individu jurnalis atau wartawan selalu
menyertakan pengalaman hidup, pengalaman sosial dan kecenderungan psikologi
ketika menafsirkan pesan yang sampai padanya (Nugroho, 1999: 23). Sehingga,
dalam diri wartawan juga mempunyai kewenangan dalam hal membatasi dan
menafsirkan komentar-komentar sumber berita, serta memberi porsi pemberitaan yang
berbeda antara sumber berita satu dengan sumber berita yang lainnya.
Dalam membingkai atau mengkonstruksi atas realitas, antara media online satu dengan yang lain terdapat perbedaan. Seperti halnya pada media online detik.com dan antara.com. Keduanya mempunyai cara pandang yang berbeda dalam menulis dan
menyajikan suatu berita.
Subjek dari penelitian ini adalah detik.com dan antara.com. Sedangkan, objek
Muhammadiyah. Peneliti memilih media detik.com dan antara.com dikarenakan
kedua media online termasuk dalam 5 besar situs berita populer di alexa.com.Dan media ini merupakan media online yang paling banyak memuat berita mengenai fatwa merokok haram oleh Muhammadiyah. Detik.com memuat 23 berita. Antara.com
memuat 26 berita. Sedangkan media yang temasuk lima besar lainnya hanya memuat
sedikit berita, misal : republika.co.id memuat 13 berita, tempointeraktif.com memuat
15 berita, dan kompas.com memuat 3 berita.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan, maka yang menjadi
permasalahan dari penelitian ini adalah :
Bagaimanakah media online detik.com dan antara.com membingkai berita tentang fatwa Muhammadiyah, merokok itu haram?
1.3 Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana media online detik.com dan antara.com dalam membingkai berita tentang fatwa merokok haram oleh PP
Muhammadiyah.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Untuk menambah kajian dalam bidang ilmu komunikasi yang
menggunakan metode kualitatif, dan menerapkan penelitian analisis framing
menambah pengetahuan mengenai strategi apa yang diterapkan oleh suatu
media dalam membingkai realitas sosial dan moral mengenai pro kontra yang
terjadi setelah dikeluarkannya fatwa merokok itu haram oleh Majelis Tarjih
dan Tajdid Muhammadiyah pada Maret 2010.
1.4.2 Manfaat Praktik
a. Dapat menjadi bahan evaluasi dan masukan bagi jurnalis serta institusi media
massa, khususnya detik.com dan antara.com dalam mengkonstruksi berita
yang disampaikan kepada khalayak.
b. Dapat menjadi sumber referensi bagi mahasiswa ilmu komunikasi yang
tertarik dengan penelitian teks media khususnya yang menggunakan metode
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Media Dan Berita Dilihat Dari Paradigma Konstruksionis
Pendekatan konstruksionis mempunyai penilaian sendiri mengenai
bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat. Penilaian tersebut diuraikan sebagai
berikut:
2.1.1 Fakta Atau Peristiwa Adalah Hasil Kontruksi
Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang tertentu dari wartawan.
Di sini tidak ada realitas yang objektif, karena realitas tercipta lewat konstruksi
dan pandangan tertentu. Realitas berbeda-beda tergantung pada bagaimana
konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai
pandangan yang berbeda.
Peristiwa-peristiwa yang dijadikan sebagai berita oleh media massa
melalui proses penyeleksian terlebih dahulu, hanya peristiwa yang memenuhi
kriteria kelayakan informasi yang akan dinagkut oleh media massa kemudian
ditampilkan kepada khalayak (Eriyanto, 2004: 26).
Setelah proses penyeleksian tersebut, maka peristiwa itu akan dibingkai
sedemikian rupa oleh wartawan. Pembingkaian yang dilakukan oleh wartawan
tentunya melalui proses konstruksi. Proses kontruksi atau suatu realitas ini
dapat berupa penonjolan dan penekanan pada aspek tertentu atau dapat juga
berita tersebut ada bagian yang dihilangkan, luput, atau bahkan disembunyikan
Berita merupakan hasil konstruksi sosial dimana selalu melibatkan
pandangan, ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan ataupun dari institusi
media, tempat dimana wartawan tersebut bekerja. Bagaimana realitas tersebut
dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan
dimaknai (Birowo, 2004 : 176).
Peristiwa dan realitas yang sama dapat dibingkai secara berbeda oleh
masing-masing media. Hal ini terkait dengan visi, misi, dan ideologi yang
dipakai masing-masing media. Sehingga, kadangkala dari hasil pembingkaian
tersebut dapat diketahui bahwa media lebih berpihak kepada siapa (jika yang
diberitakan adalah seorang tokoh, golongan atau kelompok tertentu).
Keberpihakan pemberitaan media terhadap salah satu kelompok atau golongan
dalam masyarakat, dalam banyak hal tergantung pada etika, moral, dan
nilai-nilai. Aspek-aspek etika, moral dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin
dihilangkan dalam pemberitaan media. Hal ini merupakan bagian integral dan
tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi suatu realitas. Media
menjadi tempat pertarungan ideologi antara kelompok-kelompok yang ada di
masyarakat (Sobur, 2001 : vi).
2.1.2 Media Adalah Agen Konstruksi
Dalam pandangan konstruksionis, media dilihat bukanlah sekedar saluran
yang bebas, ia juga subyek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan
pandangan, bias, dan pemihakannya. Media bukan hanya memilih peristiwa
dan menentukan sumber berita, melainkan juga berperan dalam
media dapat membingkai dengan bingkai tertentu yang pada akhirnya
menentukan bagaimana khalayak harus melihat dan memahami peristiwa
dalam kacamata tertentu (Eriyanto, 2004 : 24).
Isi media merupakan hasil para pekerja dalam merekonstruksi berbagai
realitas yang dipilihnya untuk dijadikan sebagai sebuah berita, diantaranya
realitas politik. Disebabkan sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa
adalah menceritakan peristiwa-peristiwa, maka dapat dikatakan bahwa seluruh
isi media adalah realitas yang dikonstruksi (constructed reaality). Pembuatan
berita di media pada dasarnya tak lebih dari penyusunan realitas-realitas
hingga membentuk sebuah cerita (Tuchman dalam Sobur, 2001 : 83).
Isi media hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan
menggunakan bahasa sebagai perangkatnya. Sedangkan bahasa bukan hanya
sebagai alat realitas, namun juga bisa menentukan relief seperti apa yang
diciptakan oleh bahasa tentang realitas. Akibatnya media massa memiliki
peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi gambar yang dihasilkan dari
realitas yang dikonstruksinya (Sobur, 2001 : 88).
2.1.3 Berita Bukan Refleksi Dari Realitas. Ia Hanyalah Konstruksi Dari
Realitas
Dalam pandangan kaum konstruksionis, ”berita yang kita baca pada
dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik, bukan kaidah baku
pemakaian kata, gambar, sampai penyuntingan) memberi andil bagaimana
realitas tersebut hadir dihadapan khalayak.” (Eriyanto, 2002 : 26).
Dari aspek “campur tangan” media dalam menyajikan realitas melalui
suatu proses yang kita sebut sebagai konstruksi realitas (contruction of reality).
Misalnya liputan politik, sebetulnya setiap liputan oleh media massa baik
melalui rekaman atau tertulis adalah rekonstruksi realitas; suatu upaya
menyusun realitas dari satu atau sejumlah peristiwa yang semula
terpenggal-penggal atau acak menjadi tersistematis hingga membentuk cerita atau wacana
yang bermakna (Ibnu Hamad, 2004 : 11).
Berita bukan refleksi dari realitas, melainkan “hanyalah” konstruksi dari
realitas. Artinya, berita juga artikel jurnalistik adalah pentas drama di mana
pertunjukan dapat diawali dari mana saja (Wahyu Wibowo, 2006 : 93).
2.1.4 Berita Bersifat Subjektif atau Konstruksi Atas Realitas
Hal ini dikarenakan oleh berita adalah produk dari konstruksi dan
pemaknaan atas realitas. Pemaknaan seseorang atas suatu realitas bisa jadi
berbeda dengan orang lain, yang tentunya menghasilkan “realitas” yang
berbeda pula. Berita bersifat subjektif karena opini tidak dapat dihilangkan.
Karena ketika kegiatan meliput berlangsung, wartawan melihat dengan
perspektif dan pertimbangan yang sifatnya subjektif (Eriyanto, 2002 : 27).
Berita bersifat subjektif dan jurnalis bukan hanya sekadar pelapor,
melainkan agen konstruksi realitas. Mengingat fakta atau peristiwa bersifat
subjektif, maka menulis artikel jurnalistik bukan pula sekadar pelapor (Wahyu
Menurut kaum kritis, berita adalah hasil pertarungan wacana antara
berbagai kekuatan dalam masyarakat yang selalu melibatkan pandangan dan
ideologi wartawan atau media (Eriyanto, 2001 : 34).
Dalam analisis framing, berita selalu bersifat subjektif. Opini tidak dapat
dihilangkan karena ketika meliput, wartawan melihat realitas dengan
perspektif dan pertimbangan subjektif. Dalam konteks ini, wartawan tidak
sekadar menyampaikan kepada khalayak tentang sesuatu yang terjadi,
melainkan juga memberikan makna tertentu tentang kejadian itu (Alo Liliweri,
2005 : 194).
2.1.5 Wartawan Bukan Pelapor. Ia Agen Konstruksi Realitas
Sebagai seorang agen, wartawan telah menjalin transaksi dan hubungan
dengan obyek yang diliputnya, sehingga berita merupakan produk dari
transaksi antara wartawan dengan fakta yang diliputnya (Eriyanto, 2004 : 31).
Menurut filsafat common sense realism, adanya suatu obyek mencirikan
sebagaimana orang mempersepsikan. Sesungguhnya, relasi antara realitas
empiris dengan fakta yang dibangun oleh seorang jurnalis, sangat tergantung
pada kemampuan mengorganisasikan elemen-elemen realitas menjadi
sederetan makna. Dengan demikian, fakta dalam jurnalis menjadi sangat
dinamis, tergantung pada persepsi yang dimiliki dan perspektif (sudut
pandang) yang dihadirkan dan satu lagi tergantung pada pencarian atau
penemuan fakta (Panuju, 2005 : 27).
Wartawan sebagai individu, memiliki cara berfikir (frame of thingking)
pengalaman yang dimiliki. Selain itu, juga sangat ditentukan oleh kebiasaan
menggunakan sudut pandang. Setiap individu juga memiliki konteks dalam
“membingkai” sehingga menghasilkan makna yang unik (Panuju, 2005 : 3).
Jadi, meskipun wartawan punya ukuran tentang “nilai sebuah berita”
(news value), tetapi wartawan juga mempunyai keterbatasan visi, kepentingan
ideologis, dan sudut pandang yang berbeda, dan bahkan latar belakang budaya
dan etnis. Peristiwa itu baru disebut mempuyai nilai berita, dan karenanya
layak diberitakan kalau peristiwa tersebut berhubungan dengan elite atau
orang yang terkenal, mempunyai nilai dramatis, human interest, dapat
memancing kesedihan, keharuan dan sebagainya. Secara sederhana, semakin
besar peristiwa, maka semakin besar pula dampak yang ditimbulkannya, lebih
memungkinkan dihitung sebagai berita (Eriyanto, 2005 : 104).
2.1.6 Etika, Pilihan Moral, dan Keberpihakan Wartawan Adalah Bagian yang
Integral dalam Produksi Berita
Etika, pilihan moral, dan keberpihakan jurnalis adalah bagian yang
integral dalam produksi berita. Bertalian dengan pemahaman bahwa menulis
harus piawai dalam mengonstruksi fakta, peristiwa atau realitas sosial secara
subjektif. Maka, penulis haruslah memperhatikan segi etis dan estetis dalam
2.1.7 Nilai, Etika, dan Pilihan Moral Peneliti Menjadi Bagian yang Integral
dalam Penelitian
Salah satu sifat dasar dari penelitian yang bertipe konstruksionis adalah
pandangan yang menyatakan bahwa peneliti bukanlah subjek yang bebas nilai.
Pilihan etika, moral atau keberpihakan peneliti menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari proses penelitian. Campur tangan penelitian dalam banyak hal
dapat berupa keberpihakan atau pilihan moral, sedikit banyak akan
mempengaruhi bagaimana realitas itu dimaknai dan dipahami (Eriyanto, 2002
: 35).
2.1.8 Khalayak Mempunyai Penafsiran Tersendiri Atas Berita
Dalam pandangan konstruksionis, khalayak bukan dilihat sebagai subjek
yang pasif. Khalayak merupakan subjek yang aktif yang mampu menafsirkan
apa yang dia baca. Mengapa? Dalam bahasa Stuart Hall, makna dari suatu teks
bukan terdapat dalam pesan/berita yang dibaca oleh pembaca. Makna selalu
potensial mempunyai banyak arti (polisemi) (Eriyanto, 2002 : 36).
Khalayak aktif bukan hanya dalam hal memilih berita dan media apa
yang sesuai dengan dirinya, tetapi aktif dalam memaknai sebuah isi media.
Penafsiran atas suatu teks bukan oleh media, karena khalayak mempunyai
penafsiran tersendiri atas suatu teks. Teks yang sama sangat mungkin
2.2 Bahasa Sebagai Isi Media
Isi media pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan
menggunakan bahasa sebagai perangkatnya. Sedangkan bahasa bukan hanya sebagai
realitas, namun juga bisa menentukan relief seperti apa yang diciptakan oleh bahasa
tentang realitas. Akibatnya media massa memiliki peluang yang sangat besar untuk
mempengaruhi gambar yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikannya
(Sobur, 2001 : 88).
Setiap upaya “menceritakan” sebuah peristiwa, keadaan, benda atau apapun,
pada hakikatnya adalah usaha mengonstruksikan realitas. Begitu pula dengan profesi
wartawan. Pekerjaan utama wartawan adalah mengisahkan hasil reportasenya
kepada khalayak. Dengan demikian mereka selalu terlibat dengan usaha
merekonstruksikan realitas, yakni menyusun fakta yang dikumpulkannya ke dalam
suatu bentuk laporan jurnalistik berupa berita (news), karangan bebas (feature), atau
gabungan keduanya (news feature). Dengan demikian berita pada dasarnya adalah
realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality) (Sobur, 2001 : 88).
Penggunaan bahasa tertentu jelas berimplikasi terhadap kemunculan makna
tertentu. Pilihan kata dan cara penyajian suatu realitas turut menentukan bentuk
konstruksi realitas yang sekaligus menentukan makna yang muncul darinya. Bahkan
menurut Hamad dalam Sobur (2001 :90) bahasa bukan cuma mampu mencerminkan
realitas, tetapi sekaligus menciptakan realitas.
Dalam rekonstruksi realitas, bahasa dapat dikatakan sebagai unsur utama. Ia
merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas. Sehingga dapat dikatakan
2.3 Jurnalisme Online Sebagai Media Massa
Jurnalisme dalam KBBI disebut sebagai pekerjaan mengumpulkan, menulis,
mengedit, dan melaporkan berita kepada khalayak. Dalam perkembangannya, media
penyampaian berita kepada pembaca tidak hanya terbatas pada surat kabar. Tetapi
seiring perkembangan teknologi, kini arah perkembangan media menuju persaingan
media online. Media online bisa menampung berita teks, image, audio dan video.
Berbeda dengan media cetak, yang hanya menampilkan teks dan image.
”Online” sendiri merupakan bahasa internet yang berarti informasi dapat
diakses di mana saja dan kapan saja selama ada jaringan internet. Jurnalisme online
ini merupakan perubahan baru dalam ilmu jurnalistik. Laporan jurnalistik dengan
menggunakan teknologi internet, disebut dengan media online, yang menyajikan
informasi dengan cepat dan mudah diakses di mana saja. Dengan kata lain, berita saat
ini bisa dibaca saat ini juga, di belahan bumi mana
saja.(http://jurnalisme-makasar.com) diakses tanggal 08/04/10 pukul 00:23 wib.
Pada pertengahan dekade tahun 1990-an, The Annenberg Washington Program
in Communications Policy Studies of Northwestern University memproyeksikan
“Perubahan Media Berita”. Proyeksi ini menggambarkan perkembangan jurnalisme
yang telah menggunakan multimedia. Koran tidak lagi menjadi pemeran utama.Media
cetak bergabung dengan teknologi televisi, radio, dan internet (Santana, 2005:2).
Perkembangan media tidak lepas dari perkembangan teknologi komunikasi.
Kalau dulu orang hanya mengenal media cetak dan elektronik (televisi dan radio), kini
mengikutinya dengan menjadikan internet sebagai media massa. Kini seiring
perkembangan teknologi telepon seluler, berita-berita di internet juga bisa diakses
melalui ponsel.
Jurnalisme online layak disebut dengan jurnalisme masa depan. Karena
perkembangan teknologi memungkinkan orang membeli perangkat pendukung akses
internet praktis seperti notebook atau netbook dengan harga murah. Apalagi kalau
koneksi internet mudah diperoleh secara terbuka seperti hotspot (WiFi) di
ruang-ruang publik. Sehingga minat masyarakat terhadap media bisa bergeser dari media
cetak ke media online. Hal itupun sekarang mulai terjadi. Bahkan beberapa media
cetak besar di Amerika Serikat, seperti kelompok Chicago Tribune, mulai merugi
dan terancam gulung tikar. Karena masyarakat mulai beralih ke media online.
Mengapa jurnalisme online memagang peranan penting dalam perkembangan
media massa saat ini?(http://edukasi.kompasiana.com) diakses pada 08/04/10 pukul
12:42 wib.
a. Jurnalisme online membawa nilai egaliter.
Setiap individu bebas merealisasikan sumber dayanya dari mengerahkan segala
potensinya untuk menggapai semua bagian dalam menentukan jalan yang disenangi.
Setiap individu bebas memanfaatkan peluang berkomunikasi dengan siapa saja untuk
mewarisi peradaban dunia dengan bebas dan mengaktualisasikan dirinya.
Dalam jurnalisme online sangat menjunjung tinggi adanya kebebasan berpendapat
serta berkumpul dan berserikat. Menurut paham liberal, ini merupakan kebebasan
asasi yang dimiliki oleh setiap manusia. Selain itu posisi antara masyarakat dan
negara adalah setara, dalam artian bahwa negara tidak boleh mencampuri urusan atau
kehidupan masyarakat.
Berikut ini adalah karakteristik atau keuntungan dari jurnalisme online, seperti
tertulis dalam buku Online Journalis,. Principles and Practices of News for The Web
(Holcomb Hathaway Publishers, 2005):
1. Audience Control. Jurnalisme online memungkinkan audience untuk bisa lebih
leluasa dalam memilih berita yang ingin didapatkannya
2. Nonlienarity. Jurnalisme online memungkinkan setiap berita yang disampaikan
dapat berdiri sendiri sehingga audience tidak harus membaca secara berurutan
untuk memahami.
3. Storage and retrieval. Online jurnalisme memungkinkan berita tersimpan dan
diakses kembali dengan mudah oleh audience.
4. Unlimited Space. Jurnalisme online memungkinkan jumlah berita yang
disampaikan/ ditayangkan kepada audience dapat menjadi jauh lebih lengkap
ketimbang media lainnya.
5. Immediacy. Jurnalisme online memungkinkan informasi dapat disampaikan
secara cepat dan langsung kepada audience.
6. Multimedia Capability. Jurnalisme online memungkinkan bagi tim redaksi untuk
menyertakan teks, suara, gambar, video dan komponen lainnya di dalam berita
7. Interactivity. Jurnalisme online memungkinkan adanya peningkatan partisipasi
audience dalam setiap berita.
Berikut ini adalah perbedaan-perbedaan antara teknis penulisan berita pada
[image:41.612.90.516.278.656.2]media cetak dan media online :
Tabel 1
Perbedaan teknis Penulisan berita pada Media Cetak dan Media Online
Unsur Media Cetak Media Online
Pembatasan panjang naskah
Biasanya panjang naskah telah dibatasi, misalnya 5 – 7 halaman kuarto diketik 2 spasi.
Tidak ada pembatasan panjang naskah, karena halaman web bisa menampung naskah yang sepanjang apapun. Namun demi alasan kecepatan akses, keindahan desain dan alasan-alasan teknis lainnya, perlu dihindarkan penulisan naskah yang terlalu panjang.
Prosedur naskah
Naskah biasanya harus di-ACC oleh redaksi sebelum dimuat.
Sama saja. Namun ada sejumlah media yang memperbolehkan wartawan di lapangan yang telah dipercaya untuk meng-upload sendiri tulisan-tulisan mereka.
Editing
Kalau sudah naik cetak (atau sudah di-film-kan pada proses percetakan), tak bisa diedit lagi.
Walaupun sudah online, masih bisa diedit dengan leluasa. Tapi biasanya, editing hanya mencakup masalah-masalah teknis, seperti merevisi salah ketik, dan seterusnya.
Tugas desainer atau layouter
Tiap edisi, desainer atau layouter harus tetap bekerja untuk menyelesaikan desain pada edisi tersebut.
Desainer dan programmer cukup bekerja sekali saja, yakni di awal pembuatan situs web. Selanjutnya, tugas mereka hanya pada masalah-masalah maintenance atau ketika perusahaan memutuskan untuk mengubah desain dan sebagainya. Setiap kali redaksi meng-upload naskah, naskah itu akan langsung “masuk” ke desain secara otomatis.
Jadwal terbit
Berkala (harian, mingguan, bulanan, dua mingguan, dan sebagainya).
Kapan saja bisa, tidak ada jadwal khusus, kecuali untuk jenis-jenis tulisan/rubrik tertentu.
Distribusi
Walau sudah selesai dicetak, media tersebut belum bisa langsung dibaca oleh khalayak ramai sebelum melalui proses distribusi.
Begitu di-upload, setiap berita dapat langsung dibaca oleh semua orang di seluruh dunia yang memiliki akses internet.
2.4 Ideologi Media
Konsep ideologi dalam sebuah institusi media massa ikut berpengaruh dalam
menentukan arah pemberitaan yang disampaikan kepada pembaca. Hal ini
disebabkan karena adanya teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktek
ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu (Eriyanto, 2002 :13).
Dalam pembuatan berita selalu melibatkan pandangan dan ideologi wartawan
atau bahkan media yang bersangkutan. Ideologi ini menentukan aspek fakta dipilih
dan membuang apa yang ingin dibuang. Artinya, jika seorang wartawan menulis
berita dari salah satu pihak dan memasukkan opininya pada berita, semua itu
dilakukan dalam rangka pembenaran tertentu. Dapat dikatakan media bukanlah
merupakan sarana yang netral dalam menampilkan kekuatan dan kelompok dalam
masyarakat secara apa adanya tetapi kelompok dan ideeologi yang dominan dalam
media itulah yang akan ditampilkan dalam berita-beritanya (Eriyanto, 2004 : 90).
Pada kenyataannya berita di media massa tidak pernah netral dan objektif. Jika
kita lihat bahasa jurnalistik yang digunakan media pun selalu dapat ditemukan
adanya pemilihan fakta tertentu dan membuang aspek fakta lain yang mencerminkan
pemihakan media pada salah satu kelompok atau ideologi tertentu. Bahasa ternyata
tidak pernah lepas dari subjektivitas sang wartawan dalam mengkonstruksi realitas
dengan mengetahui bahasa yang digunakan dalam berita, pada saat itu juga kita
menemukan ideologi yang dianut oleh wartawan dan media yang bersangkutan.
Konsep ideologi bisa membantu menjelaskan mengapa wartawan memilih
fakta tertentu untuk ditonjolkan dari pada fakta yang lain, walaupun hal itu
pada sumber yang lain, ataupun secara nyata atau tidak melakukan pemihakan
kepada pihak tertentu. Artinya ideologi wartawan dan media yang bersangkutanlah
yang secara strategis menghasilkan berita-berita seperti itu. Di sini dapat dikatakan
media merupakan inti instrumen ideologi yang tidak dipandang sebagai zona netral
yaitu sebagai kelompok dan kepentingan ditampung, tetapi media lebih sebagai
subyek yang mengkonsumsi realitas atas penafsiran wartawan atau media sendiri
untuk disebarkan kepada khalayak (Eriyanto, 2004 : 92).
2.5 Framing dan Proses Produksi Berita
Framing berhubungan dengan proses produksi berita, yang meliputi kerangka
kerja dan rutinitas organisasi media. Suatu peristiwa yang dibingkai dalam kerangka
tertentu dan bukan bingkai yang lain, bukan hanya disebabkan oleh struktur skema
wartawan, tetapi juga rutinitas kerja dan institusi media, yang secara langsung atau
tidak langsung mempengaruhi pemaknaan terhadap suatu peristiwa. Institusi media
dapat mengontrol pola kerja tertentu yang mengharuskan wartawan melihat peristiwa
ke dalam kemasan tertentu, atau bisa juga wartawan menjadi bagian dari anggota
komunitasnya. Jadi, wartawan hidup dan bekerja dalam suatu institusi yang
mempunyai pola kerja, kebiasaan, aturan, norma, etika, dan rutinitas tersendiri. Di
mana semua elemen proses produksi berita tersebut mempengaruhi cara pandang
wartawan dalam memaknai peristiwa (Eriyanto, 2005 : 99-100).
Wartawan adalah profesi yang dituntut untuk mengungkap kebenaran dan
menginformasikan ke publik seluas mungkin temuan-temuan dari fakta-fakta yang
Selain semata-mata demi pembangunan kehidupan dan peradaban manusia yang lebih
baik. Sekalipun dampak dari pelaksanaan profesinya itu akan memakan “korban”
seperti pejabat yang korupsi, dokter yang melanggar etika profesi, dan sebagainya.
Peranan itu harus dilakukannya. Karena pers bukanlah petugas hubungan masyarakat
(humas) sebuah apartemen, yang hanya berbicara pada sisi-sisi positif dan
keberhasilan dari apartemennya, serta menyimpan dalam keburukan dan kebobrokan
lembaganya (Djatmika, 2004 : 25).
Framing adalah bagian yang tak terpisahkan dari bagaimana awak media
mengkonstruksi realitas. Framing berhubungan erat dengan proses editing
(penyuntingan) yang melibatkan semua pekerja di bagian keredaksian. Reporter di
lapangan menentukan siapa yang akan diwawancarainya, serta pertanyaan apa yang
akan diajukan. Redaktur yang bertugas di desk yang bersangkutan, dengan maupun
tanpa berkonsultasi dengan redaktur pelaksana atau redaktur umum, menentukan
judul apa yang akan diberikan. Petugas tatap muka dengan atau tanpa berkonsultasi
dengan para redaktur menentukan apakah teks berita itu perlu diberi aksentuasi, foto,
karikatur atau bahkan ilustrasi mana yang akan dipilih (Eriyanto, 2006: 165).
2.6 Analisis Framing Termasuk Paradigma Konstruktivis
Analisis framing termasuk ke dalam paradigma konstruktivis. Dimana
paradigma ini mempunyai posisi dan pandangan tersendiri terhadap media dan teks
berita yang dihasilkan. Paradigma ini juga memandang bahwa realitas kehidupan
sosial bukanlah realitas yang natural, melainkan hasil dari konstruksi. Sehingga
dikonstruksi, dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Dalam studi komunikasi,
paradigma ini sering disebut sebagai paradigma produksi dan penukaran makna
(Eriyanto, 2002 : 37).
Yang menjadi titik perhatian pada paradigma konstruktivis adalah bagaimana
masing-masing pihak dalam lalu lintas komunikasi, saling memproduksi dan
mempertukarkan makna. Pesan dibentuk secara bersama-sama antara pengirim dan
penerima atau pihak yang berkomunikasi dan dihubungkan dengan konteks sosial
dimana mereka berada. Intinya adalah bagaimana pesan itu dibuat atau diciptakan
oleh komunikator dan bagaimana pesan itu secara aktif, ditafsirkan oleh individu
sebagai penerima pesan (Eriyanto, 2002 : 40).
2.7 Analisis Framing
Gagasan ide mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun
1955. (Sudibyo dalam Sobur, 2001 : 161). Frame pada awalnya dimaknai sebagai
struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan
politik, kebijakan dan wacana, dan yang menyediakan kategori-kategori standar untuk
mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman
(1974) yang mengendalikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of
behavior) yang membimbing individu dalam membaca realitas. (Sobur, 2001 : 162).
Realitas itu sendiri tercipta dalam konsepsi wartawan. Sehingga berbagai hal yang
terjadi seperti faktor dan orang, didistribusikan menjadi peristiwa yang kemudian
G.J. Aditjondro mendefinisikan framing sebagai metode penyajian realitas
dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan
dibelokkan secara halus, dengan menggunakan istilah yang punya konotasi tertentu,
dan dengan bantuan foto, karikatur dan alat ilustrasi (Sudibyo dalam Sobur, 2001 :
165).
Pada analisis framing yang kita lihat adalah bagaimana cara media memaknai,
memahami dan membingkai sebuah kasus atau peristiwa yang ada dalam berita. Maka
jelas adanya framing secara sederhana dapat digambarkan sebagai suatu analisis untuk
mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa sajalah)
dibingkai oleh media. (Eriyanto, 2004 : 3).
Dalam ranah studi komunikasi analisis framing mewakili tradisi yang
mengedepankan pendekatan multidisipliner untuk menganalisa fenomena untuk
membedakan cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksikan fakta. Karena itu
konsep framing selalu berkaitan erat dengan proses seleksi isu dan bagaimana
menonjolkan aspek dari isu atau realitas tersebut dalam berita. Di sini framing
dipandang sebagai penempatan informasi dalam konteks yang khas sehingga isu
tertentu tersebut mendapatkan alokasi yang besar daripada isu-isu yang lain.
Sehingga jelas berdasarkan Gitlin dalam Erianto, dengan framing jurnalis
memproses berbagai informasi yang tersedia dengan jalan mengemaskan sedemikian
rupa dalam kategori kognitif tertentu dan disamping pada khalayak (Eriyanto, 2004 :
2.8 Proses Framing
Proses framing sangat berkaitan erat dengan persoalan bagaimana sebuah
realitas dikemas dan disajikan dalam perspektif sebuah media. Kemasan (package)
disini adalah semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu
untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang disampaikan dalam sebuah berita,
serta untuk menafsirkan pesan-pesan yang diterima oleh khalayak. Kemasan ini
diibaratkan sebagai wadah atau struktur data yang mengorganisir sejumlah informasi
yang dapat menunjukkan posisi atau kecenderungan posisi atau kecenderungan politik
seorang wartawan dalam penyusunan berita, selain itu proses framing juga dapat
membantu untuk menjelaskan makna dibalik suatu isu atau peristiwa yang dibingkai
oleh sebuah berita. Proses framing juga berkaitan dengan strategi pengolahan dan
penyajian informasi jurnalistik. Dominasi sebuah frame dalam suatu wawancara berita
bagaimanapun dipengaruhi oleh proses produksi berita yang melibatkan unsur-unsur
redaksional, reporter, redaktur dan lainnya. Dengan kata lain proses framing
merupakan bagian yang integral dari proses redaksional media massa dan
menempatkan awak media (wartawan) pada posisi strategis.
Analisis framing dipakai untuk mengetahui bagaimana realitas dibingkai oleh
media. Dengan demikian realitas sosial dipahami, dimaknai, dan dikonstruksi dengan
bentukan dan makna tertentu. Elemen tersebut menandakan bagaimana peristiwa
ditampilkan. Inilah sesungguhnya sebuah realitas, bagaimana media membangun,
menyuguhkan, dan memproduksi suatu peristiwa kepada pembacanya (Eriyanto, 2004
2.9 Konsepsi Framing Robert M. Entman
Analisis dalam penelitian ini menggunakan model Robert M. Entman, Entman
menyebutkan bahwa framing merupakan seleksi atas berbagai aspek realitas yang
diterima dan membuat peristiwa tersebut lebih menonjol dalam suatu teks
komunikasi, dalam banyak hal i