• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan keuarga dalam pembiasaan ibadah shalat anak usia 7-10 tahun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peranan keuarga dalam pembiasaan ibadah shalat anak usia 7-10 tahun"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)

sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh :

Unayah NIM : 106011000200

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

Keguruan. “Peranan Keluarga dalam Pembiasaan Ibadah Shalat Anak Usia

7-10 Tahun (Studi Kasus di Lingkungan Rt 07/01 Cilincing Jakarta Utara.

Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang utama dan pertama bagi seorang anak. Sebelum anak berkenalan dengan dunia sekitarnya, ia akan berkenalan terlebih dahulu dengan situasi keluarga. Pengalaman pergaulan dalam keluarga akan memberikan pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan anak untuk masa yang akan datang. Oleh karena itu orang tua bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anaknya termasuk di dalamnya pendidikan ibadah.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar peran orang tua dalam pendidikan ibadah shalat anak usia 7-10 tahun di lingkungan Rt07/01 Cilincing, untuk mengetahui usaha-usaha apa saja yang dilakukan orang tua dalam membiasakan anaknya shalat, serta untuk mengetahui kesulitan-kesulitan apa saja yang dialami orang tua dalam membiasakan anak shalat.

Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan Rt 07/01 Cilincing Jakarta Utara. Adapun subyek penelitiannya adalah seluruh orang tua yang memiliki anak usia 7-10 tahun yang berjumlah 37 KK, dengan menggunakan metode penelitian deskriptif analisis, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, angket dan dokumentasi.

(6)

vi

Segala puja dan puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat

hidup dan kehidupan hingga detik ini masih memberikan izin untuk menikmati

indahnya hidup. Alhamdulillahirrabbil‘aalamiin, penulis mengucapkan rasa syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan pertolongan-Nya, sehingga

skripsi ini dapat diselesaikan.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah atas Nabi Muhammad

SAW, keluarganya, sahabatnya, dan bagi seluruh pengikutnya yang telah

mengenalkan Islam kepada seluruh umat manusia.

Dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati penulis mengakui bahwa

penulisan skripsi ini banyak menemukan kesulitan dan hambatan, namun berkat

bantuan serta dukungan dari berbagai pihak, akhirnya penulisan skripsi ini dapt

terselesaikan. Sudah sepatutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua

pihak yang telah memberikan bantuan serta dukungannya, sehingga penulisan

skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya

kepada :

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bahrissalim, M.Ag, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam, yang selalu

memberikan kemudahan dalam setiap kebijakan yang beliau berikan selama

penulis menjadi mahasiswa di jurusan PAI.

3. Drs. Sapiuddin Sidiq, M.Ag, Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

4. Abdul Ghofur, M.A, Dosen Penasehat Akademik Jurusan Pendidikan Agama

Islam sekaligus Dosen Pembimbing skripsi,, yang memberikan dukungan dan

(7)

vii

terutama untuk Jurusan Pendidikan Agama Islam, yang telah memberikan

motivasi dan kontribusi, selama penulis menjadi mahasiswa.

6. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan FITK, yang

turut memberikan pelayanan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Ayahanda Jaenudin dan Ibunda Sukaenah tercinta yang selalu menyayangi dan

mendoakan penulis. Semoga pintu Rahman dan Rahim-Nya selalu terbuka

untuk pengorbanan kalian, Amin. Adik-adik tercinta Miawati dan Ayu

Hacicah serta seluruh keluarga, terimakasih selalu setia memberikan motivasi

dan dukungan kepada penulis hingga terselesaikannya skpripsi ini.

8. Seseorang yang memberikan inspirasi terbesar, Welly C. S yang selalu ada buat penulis, baik suka maupun duka.

9. Kawan-kawan seperjuangan Pendidikan Agama Islam angkatan 2006 kelas E

yang selalu memberi dukungan kepada penulis untuk tetap semangat, semoga

persahabatan dan kekeluargaan yang terjalin selama ini tak usang ditelan

waktu.

10.Dan kepada semua pihak yang telah membantu serta memberikan dukungan

kepada penulis baik secara moral maupun materil.

Bagi mereka semua tiada kata selain ucapan ribuan terimakasih

penulis, semoga Allah SWT., membalas semua amal baik mereka, dan

akhirnya penulis berharap sekripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Jakarta, 13 Mei 2011

(8)

viii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Pembatasan Masalah ... 9

D. Perumusan Masalah... 9

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

BAB II : ACUAN TEORITIK ... 11

A. Pendidikan Ibadah Shalat ... 11

1. Pengertian Pendidikan Ibadah ... 11

2. Pengertian Shalat ... 13

3. Kedudukan Shalat dalam Agama ... 14

4. Hikmah Shalat ... 16

5. Pembinaan Ibadah Shalat pada Anak ... 17

B. Peranan Keluarga... 29

(9)

ix

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN ... 38

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 38

B. Metode Penelitian ... 38

C. Populasi dan sampel ... 39

D. Teknik Pengumpulan Data ... 39

E. Teknik Analisis Data ... 41

BAB IV : HASIL PENELITIAN ... 42

A. Gambaran Umum Rt 07/01 Cilincing ... 42

1. Letak Geografis Wilayah ... 42

2. Keadaan Penduduk ... 42

3. Sarana Pendidikan dan Ibadah ... 43

B. Analisis Data ... 44

C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 56

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 61

A. Kesimpulan ... 61

B. Saran ... 62

(10)

x

Tabel 2 : Skala prosentase yang digunakan dalam penulisan laporan skripsi .... 41

Tabel 3 : Jenjang pendidikan penduduk ... 43

Tabel 4 : Mulai membiasakan anak shalat ... 44

Tabel 5 : Melatih anak untuk melaksanakan shalat ... 45

Tabel 6 : Membangunkan anak untuk melaksanakan shalat Subuh ... 45

Tabel 7 : Memerintahkan anak untuk melaksanakan shalat Zuhur ... 46

Tabel 8 : Memerintahkan anak untuk melaksanakan shalat Ashar ... 47

Tabel 9 : Memerintahkan anak untuk melaksanakan shalat Magrib ... 47

Tabel 10 : Memerintahkan anak untuk melaksanakan shalat Isya ... 48

Tabel 11 : Melatih anak untuk shalat di awal waktu ... 48

Tabel 12 : Mengajak anak shalat berjamaah ... 49

Tabel 13 : Mengajak anak shalat berjamaah di masjid ... 50

Tabel 14 : Mengajarkan tatacara berwudhu pada anak ... 50

Tabel 15 : Mengajarkan tatacara shalat pada anak... 51

Tabel 16 : Tatacara shalat yang diajarkan pada anak ... 51

Tabel 17 : Cara mengajarkan shalat pada anak ... 52

Tabel 18 : Orang tua mulai mengajarkan tatacara shalat pada anak ... 53

Tabel 19 : Sikap orang tua apabila anak melakukan gerakan yang salah ketika shalat ... 53

Tabel 20 : Menegur anak bila tidak shalat ... 54

Tabel 21 : Memarahi anak apabila meninggalkan shalat ... 54

Tabel 22 : Memukul anak apabila meninggalkan shalat ... 55

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keluarga adalah institusi pertama yang dikenal oleh anak. Dalam

keluarga ibulah orang pertama yang dikenal, maka tak berlebihan jika dikatakan

bahwa seorang ibu mewarnai pendidikan anak-anaknya.1

Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang utama dan pertama bagi seorang anak, sebelum ia berkenalan dengan dunia sekitarnya, ia akan berkenalan terlebih dahulu dengan situasi keluarga. Pengalaman pergaulan dalam keluarga akan memberikan pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan anak untuk masa yang akan datang. Keluargalah yang akan memberikan warna kehidupan seorang anak baik perilaku, budi pekerti maupun adat kebiasaan sehari-hari. Keluarga jualah tempat dimana seorang anak mendapat tempaan pertama kali yang kemudian menentukan baik buruk kehidupan setelahnya di masyarakat hingga tak salah lagi kalau keluarga adalah elemen penting dalam menentukan baik buruknya masyarakat.2

1

Abudin Nata dan Fauzan, Pendidikan dalam Perspektif Hadits, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), cet. I, h. 239

2

Athiyah al-Abrasy, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet. VII, h. 133

(12)

Anggota keluarga terdiri dari suami, istri atau orang tua (ayah dan ibu)

serta anak-anak. Ikatan keluarga tersebut didasarkan kepada cinta kasih sayang

antara suami istri yang melahirkan anak-anak. Oleh karena itu hubungan

pendidikan dalam keluarga adalah didasarkan atas adanya hubungan kodrati

antara orang tua dan anak. Salah satu fungsi keluarga yang ada hubungannya

dengan kehidupan si anak yaitu fungsi keagamaan. Keluarga merupakan pusat

pendidikan, upacara dan ibadah agama bagi para anggotanya, disamping peran

yang dilakukan institusi agama. Fungsi ini penting artinya bagi penanaman jiwa

agama pada si anak.3

Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka,

karena dari merekalah anak mulai menerima pendidikan. Islam memerintahkan

agar para orang tua berlaku sebagai kepala dan pemimpin dalam kelurganya serta

berkewajiban untuk memelihara keluarga dari api neraka, sebagaimana firman

Allah:

Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S at-Tahrim: 6).4

Anak dalam ajaran Islam ialah amanat dari Allah yang dititipkan kepada kedua orangtuanya. Pandangan ini mengisyaratkan adanya keterpautan eksistensi anak dengan al-Khaliq maupun dengan kedua orangtuanya. Istilah amanat mengimplikasikan keharusan menghadapi dan memperlakukan anak dengan sungguh-sungguh, hati-hati, teliti dan cermat. Sebagai amanat, anak harus dijaga, diraksa, dibimbing dan diarahkan selaras dengan apa yang diamanatkan. Anak dilahirkan tidak dalam keadaan lengkap dan tidak dalam keadaan kosong. Ia dilahirkan

3

Alisuf Sabri, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya), cet.1, h. 14 4

(13)

dalam keadaan fitrah. Memang ia dilahirkan dalam keadaan tidak tahu apa-apa, akan tetapi ia telah dibekali dengan pendengaran, penglihatan dan kata hati (Af Idah), sebagai modal yang harus dikembangkan dan diarahkan kepada martabat manusia yang mulia, yaitu yang mengisi dan menjadikan kehidupannya sebagai takwa kepada Allah.5

Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang

yang paling bertaqwa, …. (QS. Al-Hujurat: 13).6

Anak adalah buah hati, belahan jiwa, perhiasan dunia, dan kebanggaan

orang tua yang merupakan karunia terbesar karena anak pahala orang tua mengalir

walaupun mereka sudah meninggal.7 Allah berfirman:

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus-menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi

Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.:” (al-Kahfi: 46).8 Ngalim Purwanto mengatakan bahwa anak atau manusia adalah makhluk

yang berpribadi dan berkesusilaan. Ia dapat dan sanggup hidup menurut

norma-norma kesusilaan, ia dapat memilih dan menentukan apa-apa yang akan

dilakukan, juga menghindari atau menolak segala yang tidak disukainya.9

Untuk menjadikan anak berakhlak baik hendaknya orang tua menanamkan

nilai-nilai pendidikan agama atau keimanan sejak dini, karena apabila pendidikan

agama ini terabaikan dalam keluarga sampai masa remaja maka akan sulitlah bagi

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 517 7

Al-Maghribi bin as-Said al-Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak, Panduan Mendidik Anak Sejak Masa Kandungan hingga Dewasa, Terj. Dari Kaifa Turabbi Waladan Shalihan oleh Zainal Abidin, (Jakarta: Darul Haq, 2007), Cet. V, h. 86

8

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 299 9

(14)

si anak menghadapi perubahan pada dirinya, yang tidak jarang membawa

keguncangan jiwa.10

Peran orang tua sangat besar artinya, sebab orang tua adalah unsur pertama

dan utama dalam pendidikan anak-anaknya, orang tua harus membina dan

membimbing mereka.11 Peranan orang tua sangat berpengaruh dalam mendidik anak, peranan tersebut akan berjalan dengan baik apabila diimbangi dengan

pengetahuan mereka tentang agama. Di antara akidah dasar peran orang tua dalam

mendidik anak mereka yaitu menanamkan prinsip-prinsip yang mulia dan

sifat-sifat terpuji dalam dirinya terlebih dahulu sejak dini.

Orang tua harus mampu menjaga dan mendidik anak-anaknya agar

menjadi anak-anak yang shaleh serta taat beribadah kepada Allah. Karena

manusia diciptakan oleh Allah semata-mata untuk menyembahnya. Dalam hal ini

Allah SWT berfirman di dalam al-Qur’an surat az-Dzariyat: 56:

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (Q.S Adz-Dzariat/51: 56).12

Adapun salah satu tujuan pendidikan Islam menurut al-Ghazali adalah

beribadah kepada Allah, dan kesempurnaan insani yang tujuan utamanya adalah

kebahagiaan dunia akhirat.13 Secara umum tujuan pendidikan Islam adalah menjadikan manusia sebagai insan pengabdi kepada sang Khaliq, guna mampu

membangun dunia dan mengelola alam semesta sesuai dengan konsep yang telah

ditetapkan Allah SWT.14

Berdasarkan tujuan pendidikan Islam adalah untuk mengabdi atau

beribadah kepada Allah, maka orang tua haruslah membimbing dan mengajarkan

10

Ahmad Tafsir, Pendidikan Agama dalam Keluarga, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya), cet ke-1, hal. 101

11

Abudin Nata dan Fauzan, Pendidikan dalam Perspektif Hadits…, h. 237 12

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 523 13

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1998), cet ke-2, h. 26 14

(15)

anak-anaknya untuk beribadah kepada Allah. Ibadah kepada Allah banyak

bentuknya tetapi shalatlah yang membawa sesuatu yang amat dekat dengan Allah,

di dalamnya terdapat komunikasi antara Tuhan dan hamba-Nya. Dalam shalat

manusia menuju ke kesucian Tuhan. Berserah diri kepada Tuhan, memohon

pertolongan, perlindungan, ampunan, dan memohon di jauhkan dari kesesatan.

Dilihat dari kehidupan perasaan, ibadah dapat mendidik manusia agar

mempunyai perasaan rabbani yang murni dan selalu tunduk dan taat kepada

perintah Allah SWT semata.

Dilihat dari segi nilai-nilai sosial, ibadah dapat mendidik manusia untuk

selalu terpaut kepada sesama muslim dimanapun ia berada dan dalam keadaan

apapun. Sebagian besar ibadah yang dilakukan secara rutin, didirikan secara

berjamaah dan teratur dalam suasana yang penuh kecintaan, mempunyai satu

tujuan dan mempersatukan.15

Berdasarkan hal tersebut orang tua bertanggung jawab dalam

membimbing, mengajarkan, dan membiasakan anak-anaknya untuk melaksanakan

shalat, berdasarkan sabda nabi Muhammad SAW:

“Dari ‘Amr Bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang maknanya), “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka jika mereka tidak mengerjakan shalat pada usia sepuluh tahun, dan (pada usia tersebut) pisahkanlah

tempat tidur mereka.” (HR. Abu Daud).

Rasulullah SAW memberikan masa tenggang atau jarak masa yang cukup

untuk orang tua dan sang anak, sebelum orang tua berpindah pada masa

15Muhammad ‘Ali Quthb,

(16)

memberikan hukuman badani terhadap sang anak apabila meninggalkan shalat.

Kemungkinan anak lelaki atau anak perempuan dalam usia ini, terpengaruh oleh

faktor-faktor psikologis dan pemikiran yang mendorongnya bersikap bandel atau

malas atau lain sebagainya. Dengan demikian perintah yang terus-menerus untuk

mendirikan shalat kepada sang anak, dapat dijadikan peringatan dan perhatian

yang cukup membuat perhatian sang anak tertumpu kepada shalat. Dan manakala

sang anak masih saja tetap membandel, maka baik anak laki-laki maupun anak

perempuan dikenakan hukuman sebagai peringatan baginya.16

Hadis di atas dapat dipahami bahwa orang tua harus membiasakan anak

shalat sejak usia tujuh tahun dan harus dilakukan secara terus-menerus dan

berulang-ulang, sebelum akhirnya berpindah pada masa pemberian hukuman yaitu

ketika anak berusia sepuluh tahun. Seandainya dilogikakan dengan hitungan,

dalam sehari seseorang melaksanakan shalat sebanyak 5 kali, kemudian dikalikan

setahun maka orang tua telah mengajarkan dan membiasakan anak shalat

sebanyak 1825 kali, lalu dikalikan 3 (jarak dari 7 sampai 10 tahun) berarti

sebanyak 5475 kali orang tua telah membiasakan anak untuk melaksanakan shalat.

Artinya apabila orang tua telah membiasakan anaknya melaksanakan shalat

sampai 5475 kali tetapi sang anak masih tetap membandel dan tidak mau

melaksanakan shalat maka orang tua berhak untuk memukul anak nya, namun

apabila orang tua belum mebiasakan anaknya shalat sampai 5475 kali maka orang

tua tidak boleh memukul anaknya. Sebab bagaimana orang tua mau memukul

anaknya sedangkan orang tua itu tidak menjalankan kewajibannya untuk

mangajarkan anaknya shalat ketika berusia tujuh tahun.

Sebenarnya apabila orang tua benar-benar telah membiasakan anaknya

untuk shalat sebanyak 5475 kali yang ia biasakan sejak anak nya berusia tujuh

tahun, maka dengan sendirinya anak tersebut akan terbiasa untuk melaksanakan

shalat, sebagaimana Zakiah Daradjat dalam bukunya Pendidikan Islam dalam

Keluarga dan Sekolah menjelaskan bahwa apabila orang tua melatih anaknya

untuk shalat secara terus-menerus dan berulang-ulang maka anak akan terbiasa

melakukannya dan kebiasaan itu akan terbawa sampai ia dewasa.

16Muhammad ‘Ali Quthb,

(17)

Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa betapa besar peran dan tanggung

jawab orang tua dalam mendidik anaknya untuk melaksanakan shalat. Dan yang

perlu disampaikan adalah pendidikan ibadah dalam keluarga harus ditekankan.

Untuk menumbuhkan kebiasaan beribadah pada diri anak tidaklah mudah,

karena pada masa anak-anak ini akan terlihat beberapa sikap perlawanan, yang

ingin menentukan keinginannya sendiri. Masa ini disebut masa negativisme yang

dipandang dari segi pendidikan merupakan masa yang sukar. Akan tetapi masa ini

akan terlewati dengan baik bila seorang anak dibesarkan, dipelihara, dan dididik

dalam rumah tangga yang aman, tentram, penuh kasih sayang maka pribadinya

akan terbina dengan baik. Terlebih bila ayah dan ibunya taat dalam melaksanakan

ajaran agama. Ini merupakan pengalaman yang baik yang ditangkap oleh

anak-anak.17

Begitu besar dan pentingnya peranan orang tua dalam mendidik

anak-anaknya terutama dalam membimbing dan membiasakan anak-anaknya untuk

beribadah, yang apabila semua itu terealisasikan dengan baik maka akan

membentuk pribadi anak yang taat dalam menjalankan perintah Allah dan akan

menjadi bekal yang baik bagi kehidupan mereka di masa yang akan datang. Tetapi

kenyataannya banyak para orang tua yang belum menjalankan perannya dengan

baik.

Khususnya di lingkungan Rt 07/01 Cilincing Jakarta Utara, banyak para

orang tua yang sibuk bekerja untuk mencari nafkah atau uang sehingga

mengabaikan pendidikan ibadah anaknya. Yang lebih mengkhawatirkan lagi

yaitu pengasuhan balita yang seharusnya dilakukan oleh orang tua mereka

kemudian diserahkan kepada pembantu atau baby sitter, sehingga tujuan

pembinaan spiritual dasar yang seharusnya dilakukan oleh orang tua tidak

terealisasi.

Kesalahpahaman orang tua dalam dunia pendidikan saat ini adalah adanya

anggapan bahwa hanya sekolah yang bertanggung jawab terhadap pendidikan

anak-anaknya, sehingga orang tua menyerahkan pendidikan anaknya kepada guru

di sekolah dan mengabaikan tanggung jawab nya dalam mendidik anak.

17

(18)

Seorang anak sangat membutuhkan perhatian, pengawasan dan

pembiasaan dari orang tua nya terutama dalam membiasakan anak nya untuk

melaksanakan shalat. Namun yang terjadi kebanyakan anak-anak menghabiskan

waktu nya hanya untuk bermain atau menonton televisi tanpa ada pengawasan

dari orang tua sehingga pendidikan ibadah pada anak terabaikan. Kebanyakan dari

para orang tua melalaikan tanggung jawabnya dalam mendidik anak untuk

melaksanakan shalat sejak usia dini. Mereka menganggap bahwa seorang anak

tidak perlu melaksanakan shalat karena anak-anak mereka masih kecil dan tidak

ada kewajiban pula bagi anak-anak untuk melaksanakan shalat.

Beranjak dari apa yang penulis paparkan di atas dapat dipahami bahwa

usaha dalam membimbing dan membiasakan anak melakukan ibadah shalat sejak

usia tujuh tahun perlu mendapat perhatian yang serius dari para orang tua, karena

akan sangat berpengaruh untuk kehidupan anak di masa yang akan datang.

Berdasarkan hal tersebut mendorong penulis untuk membahasnya lebih

jauh dalam bentuk skripsi dengan judul: PERANAN KELUARGA DALAM PEMBIASAAN IBADAH SHALAT ANAK USIA 7-10 TAHUN. (Studi Kasus di Lingkungan Rt 07/01 Cilincing Jakarta Utara).

B. Identifikasi Masalah

Dari uraian latar belakang diatas, penulis dapat mengidentifikasi beberapa

permasalahan, antara lain:

1. Banyaknya orang tua yang sibuk bekerja atau mencari nafkah, sehingga

mengabaikan pendidikan ibadah anaknya.

2. Banyak orang tua yang menyerahkan pendidikan dan tanggung jawab mereka

sepenuhnya pada sekolah, sehingga mengabaikan tanggung jawab nya dalam

mendidik anak.

3. Banyak orang tua yang menyerahkan pendidikan dan pengasuhan anaknya

pada babysitter, sehingga pendidikan dasar spiritual yang seharus nya

ditanamkan oleh orang tua tidak terealisasikan.

(19)

5. Banyak orang tua yang lalai dalam mengajarkan ibadah shalat pada anak sejak

dini.

C. Pembatasan Masalah

Dari permasalahan-permasalahan yang tercantum dalam identifikasi

masalah, penulis melihat perlu melakukan pembatasan masalah. Hal itu dilakukan

agar permasalahan penelitian tidak menimbulkan kerancuan, maka permasalahan

penelitian menjadi sebagai berikut:

1. Peranan keluarga. Peranan adalah tindakan atau tugas yang dilakukan orang

tua dalam membimbing dan mendidik anak-anaknya. sedangkan yang

dimasksud dengan keluarga adalah suatu lingkungan yang terdiri dari ayah,

ibu, dan anak. Dalam hal ini yang berperan di dalam kelaurga adalah orang

tua.

2. Yang dimaksud ibadah shalat ialah ibadah shlat fardlu (shalat wajib).

3. Pelaksanaan shalat yang penulis maksud adalah shalat anak usia 7-10 tahun.

D. Perumusan Masalah

Dari pembatasan masalah pada poin sebelumnya dapat dirumuskan

menjadi pertanyaan berikut:

a. Bagaimana peranan keluarga dalam membiasaan ibadah shalat anak usia 7-10

tahun?

b. Usaha-usaha apa saja yang dilakukan orang tua dalam membiasakan anak

untuk melaksanakan ibadah shalat?

c. Kesulitan-kesulitan apa saja yang dialami orang tua dalam membiasakan anak

(20)

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

a. Untuk mengetahui bagaimana peranan orang tua dalam pelaksanaan

ibadah shalat anak.

b. Untuk mengetahui usaha-usaha yang di tempuh orang tua di lingkungan

RT 07/01 Cilincing Jakarta Utara dalam membimbing dan membiasakan

anak-anak melakukan ibadah shalat lima waktu.

c. Untuk mengetahui kesulitan-kesulitan apa saja yang dialami orang tua

dalam membimbing dan membiasakan anak-anak melaksanakan ibadah

shalat.

2. Manfaat penelitian

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi para orang

tua akan pentingnya tanggung jawab mereka dalam mendidik anak,

terutama pendidikan ibadah shalat.

b. Hasil penelitian ini menjadi sumbangan berarti sebagai bahan bacaan

untuk mahasiswa dan masyarakat pada umumnya, juga dapat dijadikan

(21)

BAB II

ACUAN TEORITIK

A. IBADAH SHALAT 1. Pengertian Ibadah

Ibadah secara etimologi berarti taat, tunduk, patuh, mengikuti dan doa.1 Secara terminology terdapat macam-macam rumusan yang telah di kemukakan

para ulama antara lain:

Menurut ulama tauhid, ibadah adalah mengesakan, mengagungkan

sepenuhnya serta merendahkan diri dan menundukkan jiwa kepada-Nya.2

Menurut ulama akhlak ibadah adalah mengerjakan segala bentuk

ketaatan badaniyah dan menyelenggarakan segala syariat (hukum).

Sedangkan menurut ulama fiqh ibadah adalah bentuk ketaatan yang

dikerjakan untuk mencapai keridhaan Allah dan mengharapkan pahalanya

diakhirat.3

1

Dewan Direksi Islam, Ibadah Ensiklopedi, (Jakarta: Ikhtiar Baru Vanhoeve, 1994), Cet. III, h. 43

2

Abdurrahman Ritonga dan Zainudin, Fikih Ibadah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), Cet. I, h. 2

3

Zurinal Z, dan Aminuddin, Fiqih Ibadah, (Jakarta: LP. UIN Ayarif Hidayatullah Jakarta, 2008), Cet. I, h. 27-28

(22)

Dari pengertian di atas, jelaslah bahwa seorang hamba yang taat kepada

Allah perlu untuk beribadah kepada-Nya setiap saat. Karena ibadah merupakan

suatu ungkapan syukur atas segala nikmat yang diberi Allah kepada hamba Nya.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan ibadah

adalah segala usaha sadar yang dilakukan oleh orang dewasa untuk membantu

anak dalam melaksanakan perintah Allah dan Rasul-Nya dengan mengharap

keridhaan dan pahala guna membentuk manusia yang beriman dan memiliki

kepribadian yang mulia.

2. Pengertian Shalat

Shalat adalah suatu ibadah yang mengandung beberapa ucapan dan

perbuatan tertentu, yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.4 Menurut Dr. Shalih shalat ialah rukun-rukun yang khusus dan

bacaan-bacaan tertentu dengan ikatan waktu yang sudah ditentukan atau ucapan dan

perbuatan yang dibuka dengan takbir dan diakhiri dengan salam disertai niat.5 Dari pengertian di atas dapat ditarik suatu definisi tentang shalat yaitu

suatu perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam

berdasarkan syarat dan rukun-rukun tertentu, dikerjakan dengan penuh khusyu’ dan ikhlas untuk mengagungkan kebesaran Allah serta mengharapkan

keridhaan-Nya.

Shalat merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang mukallaf.

Dalil-dalil mengenai perintah shalat banyak terdapat di dalam al-Quran, di antaranya:

“…Sungguh salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 103).6

4

Masjfuk Zuhdi, Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 1992), cet ke2, h. 13 5

Salih bin Ganim as-Sadlan, Fiqih Shalat Berjama,ah… h. 27 6

(23)

Dan dia menyuruh keluarganya, untuk (melaksanakan) salat dan (menunaikan) zakat, dan dia seorang yang diridai di sisi Tuhannya”. (QS. Maryam: 55).7

...

“… Dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari

(perbuatan) keji dan mungkar.” (Q.S al-Ankabut/29: 45).8

Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang

yang khusyu’ dalam salatnya.” (Q.S al-Mu’minun/23: 1-2).9

Terdapat pula hadits nabi yang memerintahkankan para orang tua untuk

mengajarkan anak melaksanakan shalat. Rasulullah SAW bersabda:

Ajarilah anak shalat oleh kalian sejak usia 7 tahun dan pukullah dia karena meninggalkannya bila telah berusia 10 tahun.” (H.R Tirmidzi).

3. Kedudukan Shalat dalam Agama

Dalam ajaran Islam ibadah shalat mempunyai kedudukan yang tertinggi

dibandingkan ibadah-ibadah lainnya. Shalat merupakan tiang agama islam.

Islam tidak dapat tegak kecuali dengan shalat.10 Hal ini dijelaskan Rasulullah dalam hadits nya:

Shalat itu tiang agama, maka barang siapa yang mendirikan shalat berarti ia menegakkan agama. Dan barang siapa meninggalkannya, berarti ia telah merobohkan agama.” (HR. Baihaqy).

Shalat juga merupakan kewajiban manusia yang pertama-tama dimintai

pertanggung jawabannya oleh Allah pada hari kiamat. Bila shalat seseorang itu

7

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 309 8

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h. 401 9

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya…, h.342 10

(24)

baik, maka baik pulalah seluruh amalnya, begitupun sebaliknya jika rusak

shalatnya maka rusak pula seluruh amalnya.11

“…Sungguh salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 103).12

Pilar seluruh agama adalah shalat, karena shalat ibadah yang terdahulu sebagai konsekwensi iman, tidak ada syari’at samawi yang lepas darinya. Telah datang perintah melaksanakannya juga motivasi (pendorong) bagi pelaksananya

yang disampaikan oleh lisan para Nabi dan Rasul, karena dampaknya yang besar

pada pengolahan jiwa dan pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah. Tidak ada

sesuatu yang terbukti ampuh memperbaiki jiwa dan meluruskannya serta

mengajaknya pada keutamaan-keutamaan yang tinggi juga akhlak yang mulia

selain shalat.13

Shalat merupakan rangkaian ibadah yang sempurna dan terbaik bagi

seorang hamba dalam bermunajat kepada Rabbnya dimana mengikutsertakan

segenap anggota badan, mulai dari ucapan lisan, gerakan kaki dan kepala, panca

indera dan seluruh bagian badan. Semua itu mengambil bagian dari tetesan

hikmah ibadah yang agung ini disertai dengan olah batin, tegaknya hati dalam

keajiban yang terangkum dalam sanjungan dan pujian, pengagungan dan

pensucian, takbir, syahadat yang benar. Setelah selesai dari shalat, duduk

sejenak memuji Rabb dan bersalam pada Nabi dan hamba-hamba Allah yang

lain. Lalu dilanjutkan dengan bershalawat atas Rasulnya dilanjutkan dengan

meminta kebajikan, kebaikan dan karunia kepada Allah SWT.14

Dalam sebuah hadits Rasulullah dengan tegas menyebutkan bahwa

shalat merupakan ibadah yang pertama kali dihisab di hari kiamat. Rasulullah

SAW bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:

11

Masjfuk Zuhdi, Studi Islam…, h. 13-14 12

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemanhannya…, h. 95 13

Shalil bin Ghanim as-Sadlan, Fiqh Shalat Berjamaah; Ensiklopedi Hukum Shalat

Berjamaah, Bid’ah dan Kemungkarannya, (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006), Cet. I, h. 30 14

(25)

Sesungguhnya amal (manusia) yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalat. Jika shalatnya baik maka ia beruntung; dan kalau jelek maka ia gagal dan akan merugi. (H.R. at-Tirmidzi).15 Melihat begitu besar pentingnya shalat, maka menjadi tanggung jawab

orang tua untuk bisa mengajarkan pendidikan shalat kepada anak-anaknya.

Karena selain merupakan pesan dari nabi, shalat adalah sarana untuk

mensyukuri dan memuji nikmat-nikmat Allah Swt, tiang dan fondasi agama,

penghapus dosa, serta penyuci hati dan jiwa.

4. Hikmah Shalat

Ibadah shalat memiliki pengaruh yang besar bagi kemaslahatan dan

kebaikan hidup jasmani dan rohani.

a. Bagi jasmani.

1) Mementingkan kesucian dan kebersihan. Salah satu syarat shalat adalah bersuci karena shalat ditujukan kepada Allah yang Maha Suci. Bersuci dengan berwudhu, mandi dan lain-lain sangat besar pengaruhnya bagi kesehatan dan kesegaran tubuh, sehingga memungkinkan mencapai prestasi kerja yang lebih baik.

2) Menguatkan tubuh. Shalat adalah latihan jasmani atau senam. Gerakan dalam shalat seperti berdiri, angkat tangan, ruku, tegak kembali, sujud, duduk dan lain-lain adalah merupakan gerakan dasar dalam olah raga. Gerakan tersebut sangat berpengaruh untuk menguatkan otot, urat, persendian, melancarkan peredaran darah, dan lain-lain.16

b. Bagi rohani.

Semakin dekat seseorang kepada Tuhan dan semakin banyak

ibadahnya, maka akan semakin tentramlah jiwanya serta semakin mampu ia

menghadapi kesukaran dalam hidup. Shalat merupakan cara-cara pelegaan

15

Muhammad Jihad Akbar, Mukjizat Ibadah Fajar (Jakarta: Alifbata, 2007), Cet. I, h.24 16

(26)

batin yang akan mengembalikan ketenangan dan ketentraman jiwa bagi

orang-orang yang melakukannya.17

5. Rukun, Syarat dan Hal-Hal yang Membatalkan Shalat

Ulama Fikih menyepakati bahwa rukun shalat itu adalah:

a. Niat

Niat yaitu sengaja melakukan shalat karena mengikuti perintah Allah

supaya diridhaiNya. Yang terpenting niat adalah kehendak hati yang

dilakukan secara sengaja dan ikhlas, tanpa paksaan dari pihak manapun,

kecuali semata-mata mengharapkan ridha Allah SWT.

b. Berdiri

Orang yang mampu dan kuasa untuk berdiri dalam melaksanakan

shalat fardhu, berdiri merupakan salah satu rukun yang harus dilaksanakan.

Sedangkan bagi orang yang lemah, tidak diharuskan dengan berdiri, bisa

dilakukan dengan duduk, berbaring sesuai dengan kemampuan orang yang

akan shalat.

c. Takbiratul Ihram

Takbiratul Ihram adalah membaca “Allahu Akbar”. Disebut takbirtul ihram karena setelah mengucapkannya dalam shalat diharamkan

mengerjakan perbuatan-perbuatan di luar shalat, seperti makan dan minum.

d. Membaca surat al-Fatihah

e. Rukuk serta tuma’ninah

Rukuk adalah membungkukkan badan membentuk sudut siku-siku

atau sudut 90 derajat saat shalat dilakukan dengan berdiri, antara punggung

dengan bokong, sampai lurus punggung dengan lehernya. Bagi yang shalat

dengan duduk hendaknya melakukan rukuk sampai setentang antara muka

dengan lutut, atau antara muka dengan tempat sujudnya.

17

(27)

f. I’tidal serta tuma’ninah

I’tidal adalah berdiri tegak kembali sperti ketika membaca surat al

-Fatihah.

g. Sujud dua kali serta tuma’ninah

Sujud yaitu sekurang-kurangnya meletakkan sebagian kening ke

tempat shalat. Sujud yang sempurna adalah meletakkan kedua tangan ke

tempat shalat, lutut, telapak kaki, dan kening serta hidung.

h. Duduk di antara dua sujud serta tuma’ninah

i. Duduk tawarruk atau duduk akhir

Duduk tawarruk adalah duduk dengan telapak kaki yang kanan

dalam posisi terbalik, sedangkan telapak kaki kiri dimasukkan ke bawah

kaki kanan.

j. Membaca tasyahud akhir

k. Membaca shalawat atas Nabi Muhammad SAW

Membaca shalawat atas Nabi Muhammad SAW setelah membaca

tasyahud akhir adalah wajib, adapun membaca shalawat atas keluarga Nabi menurut Imam Syafi’i merupakan sunat.

l. Memberi salam yang pertama ke kanan

m. Menertibkan rukun.

Menertibkan rukun adalah melakukan semua rukun shalat secara

berurutan, mulai dari awal hingga akhir, sesuai urutannya.18

Dalam shalat terdapat syarat yang harus dipenuhi bagi orang yang

hendak melakukan shalat, yaitu syarat wajib dan syarat sahnya shalat,

syarat-syarat wajib shalat yaitu:

a. Islam

b. Suci dari haid dan nifas

c. Berakal

d. Baligh

e. Telah sampai dakwah Islam kepadanya.

18

(28)

f. Melihat dan mendengar. Maksudnya wajib melaksanakan shalat setelah

melihat atau mendengar dakwah Islam melalui berbagai media, sehingga

mengetahui kewajiban untuk melaksanakan shalat.

g. Jaga, maksudnya tidak tidur, lupa atau gila.19 Syarat-syarat sahnya shalat adalah;

a. Kesucian tubuh, pakaian dan tempat shalat.

b. Mengetahui masuknya waktu shalat.

c. Menghadap kiblat.

d. Menutup aurat.20

Hal-hal yang dapat merusak shalat atau yang membatalkannya, yaitu:

a. Makan dan minum.

b. Berbicara dengan sengaja bukan untuk kemaslahatan shalat.

c. Mengerjakan sesuatu pekerjaan yang bukan dari pekerjaan-pekerjaan shalat.

Meninggalkan suatu rukun dan syarat dengan sengaja.21

6. Pembinaan Ibadah Shalat Pada Anak

Pembinaan ketaatan beribadah pada anak juga mulai dari dalam keluarga,

dengan membimbing dan mengajarkan atau melatih anak dengan ajaran agama,

seperti syahadat, shalat (bacaan dan gerakannya), berwudhu, doa-doa, bacaan al-Qur’an. Lafaz zikir dan akhlak terpuji, seperti bersyukur ketika mendapat anugerah, bersikap jujur, menjalin persaudaraan dengan orang lain, dan

menjauhkan diri dari perbuatan yang dilarang Allah. 22Anak yang masih kecil kegiatan ibadah yang lebih menarik baginya adalah yang mengandung gerak.

Anak-anak suka melakukan shalat, meniru orang tuanya kendatipun ia tidak

mengerti apa yang dilakukannya itu. Pengalaman keagamaan yang menarik bagi

19

Zurinal Z., dan Aminuddin, Fiqih Ibadah…, h. 69-71 20

Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqih Praktis Menurut al-Qur’an, as-Sunnah, dan Pendapat Para Ulama, (Bandung: Mizan, 2001), Cet. III, h. 110-111

21

Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Shalat, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), Cet. II, h. 183-187

22

(29)

anak di antaranya shalat berjamaah. Di samping itu, anak senang melihat dan

berada di dalam tempat ibadah (masjid, mushala, surau dan sebagainya) yang

bagus, rapi dan dihiasi dengan lukisan atau tulisan yang indah.

Pengalaman-pengalaman tersebut merupakan unsur-unsur positif dalam

pembentukan kepribadiannya yang sedang tumbuh dan berkembang itu.23

Orang tua perlu mengetahui tahapan-tahapan dalam membiasakan anak

melakukan ibadah shalat agar orang tua bisa memahami cara yang tepat dalam

menanamkan pembiasaah ibadah shalat sesuai dengan perkembangan usia anak.

Dalam buku Begini Seharusnya Mendidik Anak, al-Magribi menjelaskan bahwa

ada tiga tahapan dalam membiasakan anak untuk melakukan shalat24, yaitu:

Tahapan Pertama: Perintah untuk shalat

Ini adalah masa pertumbuhan kesadaran anak hingga umur tujuh tahun,

pada masa ini anak gemar melihat dan meniru, ketika anak melihat kedua orang

tuanya sedang shalat maka dengan cepat menirunya sehingga bila kedua orang

tua melatih dan membiasakan hal itu sejak usia dini, yang demikian itu lebih

baik.

Sebagaimana Zakiah daradjat mengatakan bahwa pelaksanaan perintah

shalat bagi anak-anak adalah dengan persuasi, mengajak dan membimbing

mereka untuk melakukan shalat. Jika anak-anak telah terbiasa shalat dalam

keluarga maka kebiasaan tersebut akan terbawa sampai ia dewasa.25

Secara praktis, orang tua menumbuhkan kecintaan anak terhadap shalat

bisa dilakukan pada usia antara 2-7 tahun. Di masa ini orang tua bisa mengajak

anak membiasakan diri untuk shalat berjamaah. Misalnya, suami atau seorang

ayah menjadi imam di depan dan seorang ibu bersama anak menjadi makmum.

Bila hal ini dilakukan setiap waktu, maka lama kelamaan anak akan terbiasa.

23

Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah…, h. 61 24

Al- Maghribi bin as-Said al –Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak, Panduan Mendidik Anak Sejak Masa Kandungan hingga Dewasa, Terj. Dari Kaifa Turabbi Waladan Shalihan oleh Zainal Abidin, (Jakarta: Darul Haq, 2007), Cet. V, h. 282-286

25

(30)

Dalam menumbuhkan kecintaan anak pada shalat, beberapa pakar

mengemukakan berbagai cara yang bisa membantu orang tua dalam

mewujudkannya, diantaranya:

1. Orang tua sebagai teladan

Orang tua seringkali mengeluh karena anak-anak mereka melalaikan shalat. Padahal mereka telah menasehati dan memperingatkan agar anak tidak meninggalkannya. Namun satu hal yang kadang-kadang tidak disadari adalah bahwa seringkali orang tua yang melalaikannya sendiri. Padahal anak akan banyak “bercermin” pada orang tua. Setiap tingkah laku orang tua akan mudah ditiru oleh anak. Oleh karena itu bila orang tua menyuruh anak, maka orang tua pun harus melaksanakannya terlebih dahulu atau langsung mengajak anak-anak secara bersama-sama berjamaah dimasjid. Dengan cara tersebut anakpun akan mudah mengikuti seruan orang tua.26

Pada tahap ini keteladanan merupakan cara yang paling baik dalam

menanamkan nilai ibadah pada anak. Keteladanan dalam pendidikan merupakan

metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan

dan membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial anak.27

Orang tua khususnya ibu perlu memberikan contoh dan teladan yang

dapat diterima dalam mengembangkan kepribadian dan membentuk sikap anak.

Seorang anak yang sering mendengar perintah-perintah diiringi suara keras dan

bentakan-bentakan, tidak bisa diharapkan untuk bicara lemah lembut, karena itu

untuk menanamkan kelembutan dan sikap ramah pada anak dibutuhkan contoh

dari ibu yang penuh kelembutan dan keramahan.

Demikian halnya dalam pembinaan ibadah shalat wajib, seorang anak

membutuhkan contoh teladan dari orang tuanya sejak kecil. Jika sejak kecil

orang tua menanamkan akan pentingnya pelaksanaan ibadah shalat maka anak

akan terbawa suasana tersebut. Dengan adanya teladan tersebut, seorang anak

akan belajar shalat dan menekuninya ketika melihat orang tuanya tekun

menunaikannya di setiap waktunya, demikian juga ibadah-ibadah lainnya. 28

26

Imam Musbikin, Kudidik Anakku Dengan Bahagia, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), Cet. I, h. 414

27

Dr.Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam … , h.2 28

(31)

2. Shalat di awal waktu.

Orang tua bisa menanamkan rasa cinta anak terhadap shalat, melalui cara

membiasakan diri mengajak anak untuk shalat berjamaah di awal waktu.

Dengan cara ini anak akan tergerak hatinya untuk cepat-cepat mendirikan shalat

ketika terdengar suara adzan.29 3. Menghargai tiap tindakan anak

Apapun yang dilakukan orang tua untuk mengajarkan anaknya shalat,

namun tidak jarang orang tua akan mendapati tindakan anak yang

bermacam-macam. Misalnya anak setelah berdiri langsung sujud tanpa rukuk, menoleh ke

sana-kemari, bahkan kadang baru mendapatkan satu rakaat saja, anak telah

berlari.

Walaupun demikian, orang tua perlu menghargai dan menghormati

setiap tindakan anak. Sebagai orang tua harus tetap bersyukur, Alhamdulillah,

sebab bagaimanapun juga anak masih dalam tahap belajar. Walaupun sedikit,

anak telah belajar untuk berbuat kebajikan. Orang tua harus tekun, sabar, dalam

membimbing, mengarahkan dan memberi contoh agar anak sedikit demi sedikit

bisa menjalankan dengan baik.30 Firman Allah: QS. 20: 132

Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabar dalam mengerjakannya.” (QS. Thaha: 132).31

Dengan kesabaran dan ketekunan orang tua, kelak anak benar-benar

menjadi orang yang disiplin dalam shalatnya.

4. Memisahkan tempat anak.

Anak biasanya sering ramai sendri dalam shalatnya. Kadang antara satu

dengan yang lain saling mengganggu, menjahili dan saling dorong. Kebiasaan

seperti ini, anak tidak lagi bisa berkonsentrasi dalam shalat, bahkan

29

Imam Musbikin, Kudidik Anakku dengan Bahagia, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), Cet. I, h. 415

30

Hana binti Abdul Azis ash-Shani, Mendidik Anak Agar Terbiasa Shalat, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2008), Cet. I, h. 107

31

(32)

mengundang pertengkaran hingga anak menangis. Kondisi seperti ini, biasanya

akan membawa trauma pada anak. Akibatnya anak tidak mau lagi diajak ke

masjid untuk shalat, karena takut dijahili oleh temannya.

Oleh karena itu, memisahkan posisi antar anak dalam shalat sangat

berguna dan banyak sekali manfaatnya. Misalnya bila ada dua anak yang akan

mengerjakan shalat, orang tua bisa berada di tengah-tengah. Dengan cara ini,

anak tidak lagi saling dorong dan dengan senang akan mengikuti shalat hingga

selesai.

Melatih anak untuk mencintai shalat membutuhkan kebijaksanaan dan

kesabaran. Memberi contoh yang baik lagi kreatif sangat bermanfaat. Orang tua

yang rajin dan mempunyai disiplin dalam shalat akan sangat berpengaruh dan

menjadi teladan yang baik bagi belahan jiwanya, yakni menjadi anak yang

shaleh dan shalehah yang taat beribadah kepada Allah SWT.32

Tahapan Kedua: Mengajarkan Tata Cara Shalat

Periode ini mulai diajarkan ketika anak berumur antara tujuh hingga

sepuluh tahun, maka pengarahan dan bimbingan pada anak tentang tata cara

shalat dari mulai rukunnya, syaratnya, waktunya, dan hal-hal yang merusak

shalat harus sudah dimulai.

Dari Sabirah bin Ma’bad al-Juhani bahwa Rasulullah saw bersabda:

Ajarilah anakmu untuk shalat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah untuk shalat ketika berumur sepuluh tahun.”33

Dalam mendidik anak untuk melaksanakan shalat orang tua harus

mengajarkan tata cara shalat dengan benar berdasarkan ketentuan-ketentuan

yang telah dijelaskan di atas, sehingga anak dapat mengetahui dan

mempraktekkan nya dengan benar.

32

Imam Musbikin, Kudidik Anakku dengan Bahagia, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), Cet. I, h. 416-418

33

(33)

Tahapan Ketiga: Memukul Anak Karena Tidak Shalat

Tahapan ini dimulai semenjak anak berusia sepuluh tahun, ketika anak

mulai teledor, sembrono, atau malas dalam menunaikan shalat. Orang tua atau

pendidik boleh memukul anak sebagai bentuk pemberian sanksi kepada anak

yang teledor menunaikan kewajibannya terhadap Tuhan karena mengikuti jalan

syetan.34

Mengenai tahapan pertumbuhan anak, Muhammad Ali Quthb dalam

karyanya Auladuna fi Dlau-it tarbiyyatil Islamiyyah menjelaskan bahwa anak

melampaui masa penanaman dan pertumbuhan diri pada tiga tahun pertama dari

usianya. Kemudian ia mengalami masa pendidikan, pengajaran dan penanaman

akhlak, yaitu pada usia antara empat tahun sampai dengan tujuh tahun. Pada

usia terakhir ini sang anak mulai memasuki masa-masa stabil dan mulai

merasakan insting sexnya, baligh dan tanggung jawab. Maka dalam usia

tersebut sang anak harus mengalami proses penekanan dan kekerasan.

Pendidikan dipusatkan dengan pemberian rangsangan dan perhatian, yaitu

melalui perintah pada permulaannya, dan melalui pukulan yang tidak

membahayakan ketika anak berusia sepuluh tahun untuk tahap kedua.35

Memang Rasulullah sendiri memberikan masa tenggang atau jarak masa

yang cukup untuk orang tua dan sang anak sebelum orang tua berpindah pada

masa memberikan hukuman badani terhadap sang anak apabila meninggalkan

shalat. Kemungkinan anak laki-laki atau anak perempuan dalam usia ini,

terpengaruh oleh faktor-faktor psikologis dan pemikiran yang mendorongnya

bersikap bandel atau malas. Dengan demikian perintah yang terus menerus

untuk mendirikan shalat kepada sang anak dapat dijadikan peringatan dan

perhatian yang cukup membuat perhatian sang anak tertumpu pada shalat. Dan

apabila sang anak masih saja tetap membandel, maka baik anak laki-laki

ataupun perempuan dikenakan hukuman sebagai peringatan baginya.

Menurut Syekh waliyullah ad-Dahlawi, anak telah mencapai usia baligh

dilihat dari dua sisi: pertama, apabila dia telah dianggap sehat secara

34

Al-Maghribi bin as-Said al-Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak ...., h. 286 35

(34)

kejiwaannya, anak mampu membedakan senmdiri antara sakit dan sehat atau

dalam istilah lain, anak telah berakal. Dan petunjuk yang bisa diketahui anak

telah berakal adalah saat anak sudah mencapai usia tujuh tahun. Anak sudah

mulai bisa berpikir tentang keadaan sekitarknya, bertanya kerena keinginannya

untuk mengetahui apa yang ia temukan saat itu, dan lain sebagainya. Sedangkan

tanda berakalnya anak dapat terlihat lebih maju ketika dia telah berusia sepuluh

tahun. Saat itu anak telah mampu menilai tingkah laku dirinya atau orang lain.

Anak dapat membedakan perbuatan seseorang atau dirinya berbahaya atau

bermanfaat. Pada saat ini anak sudah mampu berdagang dan mengadakan

perjanjian. Kedua, ketika anak telah berusia limabelas tahun. Dia telah mencapi

kesempurnaan akalnya. Jasmani dan rohaninya telah berfungsi dengan baik.

Tanda-tanda yang jelas terlihat adalah dengan keluarnya air mani ketika

bermimpi, serta mulai tumbuhnya rambut di bagian vital anak.36

Dalam pendidikan Islam diakui perlunya hukuman berupa pukulan. Ahli

didik muslim berpendapat bahwa hukuman itu tidak boleh berupa siksaan, baik

badan maupun jiwa. Bila keadaan amat memerlukan hukuman, maka hukuman

itu harus digunakan dengan sangat hai-hati. Anak-anak jangan dicela dengan

keras, tetapi dengan lemah lembut. Bila perlu gunakanlah muka masam atau

cara lain yang menggambarkan ketidak senangan pada kelakuan anak.

Hukuman itu harus adil atau sesuai dengan kesalahan. Anak harus mengetahui

mengapa ia dihukum. Selanjutnya hukuman itu harus membawa anak pada

kesadaran akan kesalahannya, sehingga hukuman tidak meninggalkan dendam

pada anak.37

Dalam buku Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis karya M Ngalim

Purwanto dijelaskan bahwa hukuman dan menghukum itu bukanlah soal

perseorangan, melainkan mempunyai sifat kemasyarakatan. Hukuman tidak

dapat dilakukan sewenang-wenang menurut kehendak seseorang, tetapi

36

Muhammad Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, terj. Dari Manhaj al-Tarbiyah al-Nabawiyah li al-Thifl oleh Kuswandani, dkk, (Bandung: al-Bayan, 1997), Cet. I, h. 153-155

37

(35)

menghukum itu adalah suatu perbuatan yang tidak bebas, yang selalu mendapat

pengawasan dari masyarakat dan negara. Apalagi hukuman yang bersifat

pendidikan, harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Adapun syarat-syarat

hukuman itu antara lain:

a. Hukuman itu harus bersifat memperbaiki. Ini berarti bahwa hukuman harus

mempunya nilai mendidik (normatif) bagi si terhukum. Sehingga dengan

hukuman itu dapat memperbaiki kelakuan dan moral anak.

b. Hukuman tidak boleh bersifat ancaman atau balas dendam, karena hukuman

yang seperti ini tidak memungkinkan adanya hubungan baik antara si

pendidik dengan yang didik.

c. Jangan menghukum ketika dalam keadaan sedang marah. Sebab jika

demikian, kemungkinan hukuman itu tidak adil atau terlalu berat.

d. Tiap-tiap hukuman harus diberikan dengan sadar dan sudah diperhitungkan

atau dipertimbangkan terlebih dahulu.

e. Bagi si terhukum (anak), hukuman itu hendaklah dapat dirasakannya

sebagai penderitaan yang sebenarnya. Sehingga dengan hukuman itu anak

merasa menyesal dan merasa bahwa untuk sementara waktu ia kehilangan

kasih sayang orang tuanya.

f. Jangan melakukan hukuman badan. Sebab pada hakikatnya hukuman badan

itu dilarang oleh negara, tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan

merupakan penganiayaan sesama makhluk, lagi pula, hukuman badan tidak

meyakinkan kita adanya perbaikan bagi siterhukum, tetapi sebaliknya hanya

menimbulkan sikap suka melawan.

g. Hukuman tidak boleh merusak hubungan baik antara si pendidikan dan anak

didiknya. Untuk itu perlulah hukuman yang diberikan itu dapat dimengerti

dan dipahami oleh anak. Anak hendaknya memahami bahwa hukuman itu

akibat yang sewajarnya dari pelanggaran yang telah diperbuatnya.38

Wiliam Stern membedakan tiga macam hukuman yang disesuaikan

dengan tingkat perkembangan anak-anak yang menerima hukuman itu.

38

(36)

a. Hukuman asosiatif. Umumnya, orang mengasosiasikan antara hukuman dan

kejahatan atau pelanggaran, antara penderitaan yang diakibatkan oleh

hukuman dengan perbuatan pelanggaran yang dilakukan. Untuk

menyingkirkan perasaan tidak enak terhadap hukum itu, biasanya anak

menjauhi perbuatan yang tidak baik atau yang dilarang.

b. Hukuman logis. Hukuman logis dipergunakan terhadap anak yang telah agak

besar. Dengan hukuman ini, anak mengerti bahwa hukuman itu adalah

akibat yang logis dari pekerjaan atau perbuatannya yang tidak baik. Anak

mengerti bahwa ia mendapat hukuman itu adalah akibat dari kesalahan yang

diperbuatnya. Misalnya, seorang anak disuruh menghapus papan tulis karena

ia telah mencoret-coret dan mengotorinya. Karena datang terlambat, si Amir

ditahan guru di sekolah untuk mengerjakan pekerjaannya yang tadi belum

diselesaikan.

c. Hukuman normatif. Hukuman normatif adalah hukuman yang bermaksud

memperbaiki moral anak-anak. Hukuman ini dilakukan terhadap

pelanggaran-pelanggaran mengenai norma-norma etika, seperti berdusta,

menipu, dan mencuri. Jadi, hukuman normatif sangat erat kaitannya dengan

pembentukan watak anak-anak. Dengan hukuman ini, pendidik berusaha

mempengaruhi kata hati anak, menginsafkan anak terhadap perbuatannya

yang salah dan memperkuat kemauannya untuk selalu berbuat baik dan

menghindari kejahatan.39

Islam memberi arahan dalam memberi hukuman terhadap anak atau

peserta didik, si pendidik hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Tidak menghukum anak ketika marah, karena terbawa emosional yang

dipengaruhi nafsu syetan.

b. Tidak menyakiti perasaan dan harga diri anak.

c. Tidak merendahkan derajat dan martabat yang dihukum.

d. Tidak menyakiti secara fisik.

39

(37)

e. Bertujuan mengubah perilaku yang tidak atau kurang baik.40

Tokoh-tokoh cendekiawan muslim memberikan komentar dan

pendapatnya mengenai hukuman, diantaranya: menurut Ibnu Sina Islam sangat

menghargai martabat manusia dan naluri manusia yang selalu ingin disayangi,

dan hukuman itu boleh dilakukan dalam keadaan terpaksa atau kondisi yang

tidak normal. Al-Aghazali berpendapat seorang pendidik laksana dokter, apabila

dia berlebihan member obat (hukuman) kepada anak, hati mereka akan beku

dan jiwanya akan mati. Maksudnya penerapan hukuman harus proporsional,

tidak boleh berlebihan dan diusahakan member kesempatan terlebih dahulu

kepada anak untuk memperbaiki. Sedangkan ibnu Khaldun berpendapat bahwa

seorang pendidik memberikan pengajaran pada anak didik harus

memahami/menguasai ilmu jiwa anak, apabila tidak, dikhawatirkan seorang

pendidik bertindak ceroboh, kasar, keras dan mudah marah. Hal ini tentu akan

menyebabkan anak menjadi pendusta, pemalas, pemurung, tidak percaya diri

dan akan mengemukakan sesuatu yang tidak sesuai dengan fakta karena takut

dihukum.41

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa hukuman

memiliki tujuan untuk merubah tingkah laku manusia menjadi lebih baik.

Hukuman merupakan upaya akhir yang dilakukan pendidik apabila upaya

prefentif yang bersifat lemah lembut tidak menunjukkan perubahan atau hasil

yang positif. Dalam menerapkan hukuman harus dilakukan dengan hati-hati

dan proporsional dalam arti sesuai dengan tingkat kesalahan anak dan yang

terpenting adalah hukuman dapat merubah perilaku anak menjadi lebih baik.

40

Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), Cet. I, h. 18-22

41

(38)

B. Peranan Keluarga 1. Pengertian Peranan

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, peranan diartikan sebagai

tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu peristiwa.42 Peranan dapat diartikan pula sebagai sesuatu yang menjadi bagian atau yang memegang

pimpinan terutama (di dalam terjadinya sesuatu hal). Ada juga yang

merumuskan lain, bahwa peranan berarti bagian yang dimainkan, tugas

kewajiban pekerjaan. Selanjutnya bahwa peranan berarti bagian yang harus

dilakukan di dalam suatu kegiatan.43

Secara sederhana peran orang tua dapat dijelaskan sebagai kewajiban

orang tua kepada anak. Di antaranya adalah orang tua wajib memenuhi hak-hak

(kebutuhan) anaknya, seperti hak akan kebutuhan minum, makan, pakaian dan

kebutuhan lain yang terpenting adalah kebutuhan akan pendidikan, baik

pendidikan umum maupun pendidikan agama, termasuk di dalamnya pembinaan

shalat.

2. Pengertian Keluarga

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia keluarga adalah Ibu, bapak

beserta anak-anaknya; sanak saudara dan kaum kerabat.44 Keluarga adalah lembaga sosial resmi yang terbentuk setelah adanya suatu perkawinan. Dalam

UU perkawinan pasal 1 ayat 1 tahun 1974 menjelaskan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami

istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa”

Menurut H. Ali Akbar keluarga merupakan masyarakat terkecil yang

sekurang-kurangnya terdiri dari suami/istri sebagai anggota inti berikut anak

42

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), Edisi ke-3, Cet. IV, h. 854

43

Sahilun A. Nasir, Peranan Agama Terhadap Pemecahan Problema Remaja, (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), Cet. II, h. 9

44

(39)

yang lahir dari mereka. Jadi setidak-tidaknya anggota keluarga terdiri dari suami

dan istri, bila belum mempunyai anak atau tidak punya anak sama sekali.45 Hasan Langgulung dalam bukunya “Manusia dan Pendidikan” menjelaskan tentang definisi keluarga:

“…Jadi keluarga dalam pengertian yang sempit merupakan suatu unit sosial yang terdiri dari seorang suami dan istri, atau dengan kata lain keluarga adalah perkumpulan yang halal antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bersifat terus menerus dimana yang satu merasa tentram dengan yang lain sesuai dengan yang ditentukan agama dan masyarakat dan ketika kedua suami istri itu dikaruniai seorang anak atau lebih, maka anak-anak itu menjadi unsur ketiga pada keluarga tersebut”.

Lain halnya dengan Masyfuk Zuhdi yang memberikan pengertian keluarga dalam arti luas. Ia menjelaskan “keluarga dalam arti yang luas ialah ayah, ibu dan anak ditambah mertua, kemenakan-kemenakan, adik-adik dan

sebagainya yang kebutuhan semuanya tergantung pada keluarga.

Dengan demikian menurut Masyfuk Zuhdi keluarga tidak hanya

beranggotakan suami/istri dan anak, akan tetapi bisa juga yang lainnya yang

merupakan tanggungan keluarga tersebut. Pengertian ini banyak terdapat pada

kehidupan bangsa Indonesia yang berlainan dengan bangsa Barat.46

Dari pengertian di atas, pengertian keluarga secara sempit dapat

diartikan bahwa keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak.

Sedangkan pengertian keluarga secara luas adalah suatu keluarga inti dengan

adanya tambahan dari sejumlah orang baik yang sekerabat yang secara

bersama-sama hidup dalam suatu rumah tangga dalam keluarga inti.

Dengan melihat pengertian keluarga secara sempit dan luas, maka dapat

disimpulkan bahwa keluarga adalah suatu komunitas masyarakat terkecil yang

terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang juga terdapat kerabat dari pihak suami

dan istri yang dapat hidup bersama dalam suatu rumah tangga.

45

Ali Akbar, Remaja dan Kesadaran Nikah, (Jakarta: Pustaka Anta, 1992), Cet. II, h. 135 46

(40)

3. Fungsi dan Peranan Keluarga

Sebagai salah satu pusat pendidikan, keluarga mempunyai tugas yang

sangat fundamental dalam upaya mempersiapkan anak bagi peranannya pada

masa yang akan datang. Dalam lingkungan keluarga ini sudah dimulai

ditanamkan dasar-dasar perilaku, sikap hidup dan kebiasaan lainnya. Dengan

demikian perlu diciptakan lingkungan keluarga yang kondusif bagi

perkembangan anak.47

Fungsi keluarga yang utama ialah mendidik anak-anaknya. Anak

manusia berbeda dengan binatang, tanpa pendidikan dan bimbingan dalam arti

yang luas, anak tidak akan menjadi anggota masyarakat yang dapat menjalankan

kewajiban dalam kehidupan bersama. Dalam hal ini anak berakar dalam diri

orang tuanya, sedangkan orang tua merupakan faktor pendidik bagi anak dan

memainkan peranan paling utama dalam pertumbuhan kepribadiannya.

Singgih D. Gunarsa dalam bukunya “Psikologi Praktis Anak Remaja dan Keluarga” menjelaskan tentang fungsi keluarga antara lain:

a. Mendapatkan keturunan dan membesarkan anak.

Rasulullah bersabda:

Menikahlah, berketurunanlah, niscaya kamu menjadi banyak karena aku akan merasa bangga olehmu di hadapan umat lain pada hari kiamat.”

Dengan perkawinan, manusia akan semakin banyak dan

berkesinambungan, dengan demikian akan terpelihara kelangsungan hidup

manusia. Dalam kelestarian dan kesinambungan terdapat suatu pemeliharaan

terhadap kelangsungan hidup jenis manusia dan suatu dorongan bagi para

spesialis untuk meletakkan metode-metode pendidikan dan dasar-dasar yang

benar untuk mencapai keselamatan jenis manusia dari aspek moral dan

47

(41)

fisikal secara berbarengan. Al-Qur’an menjelaskan hikmah sosial dan maslahat kemanusiaan,48 Allah berfirman:

Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rezeki dari yang baik. (QS. An-Nahl: 72).49

Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamudari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu. (QS. An-Nisa: 1).50

Dengan perkawinan yang sesuai dengan syari’at Allah maka anak yang dilahirkan akan merasa bangga dengan bapak-bapaknya yang menjadi

keturuanannya. Dengan adanya keturunan terdapat penghargaan diri,

kemantapan jiwa, dan penghormatan terhadap kemanusiaan mereka. sekiranya tidak ada perkawinan yang disyari’atkan oleh Allah, maka masyarakat tidak akan merasa bangga dengan anak yang tidak memiliki

kehormatan dan keturunan. Maka lahirlah celaan besar yang menimpa

48

Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Terj. Dari Ushulut

Tarbiyatu ‘l-Aulad fi ‘l-Islam oleh Saifullah Kamalie dan Hery Noer Ali, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1998), Cet. I, h. 6

49

Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2009), h. 274

50

(42)

akhlak mulia, dan tersebarlah kerusakan dan upaya menghalalkan segala

cara.51

b. Memberikan afeksi atau kasih sayang, dukungan dan keakraban.

Naluri menyayangi anak merupakan potensi yang diciptakan oleh

Allah bersamaan dengan penciptaan manusia dan binatang. Allah

menjadikan naluri kasih dan sayang sebagai salah satu landasan kehidupan

alamiah, psikologis, dan sosial mayoritas makhluk hidup. Keluarga,

terutama orang tua, bertanggung jawab untuk untuk memberikan kasih

sayang kepada anak, karena kasih sayang merupakan landasan terpenting

dalam pertumbuhan dan perkembangan psikologis dan sosial anak. Jika

seorang anak mengalami ketidakseimbangan rasa cinta, kehidupan

bermasyarakatnya akan dicemari penyimpangan-penyimpangan. Anak akan

sulit berteman atau bekerjasama, apalagi jika harus melayani atau

mengorbankan miliknya demi orang lain. Setelah dewasa, anak sulit untuk

menjadi ayah yang penyayang, suami yang bergaul dengan baik dan penuh

pertimbangan, atau tetangga yang santun pada tetangga lainnya. Rasulullah

adalah figur pencinta anak yang ideal, beliau mengasihi anak dan bersabar

dalam menghadapi rajukannya.52 c. Mengembangkan kepribadian.

Ibu yang baik, saleh, penyayang, dan bijaksana, sebelum

mengandung telah memohon kepada Allah agar mendapatkan anak yang

saleh, yang berguna bagi bangsa, negara dan agamanya. Ketika mulai

mengandung, hatinya gembira menanti kelahiran sang anak. Sejak dalam

kandungan bayi mendapatkan pengaruh yang positif dalam kepribadiannya

yang akan tumbuh di masa yang akan datang. Ketika dalam kandungan,

janin mendapatkan pengaruh dari sikap dan perasaan ibunya, melalui

saraf-saraf yang terdapat dalam rahim. Sikap positif sang ibu terhadap janin dan

ketentraman batinnya dalam hidup menyebabkan saraf-saraf bekerja lancar

51

Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam…, h. 6-7 52

Gambar

Tabel 1 KISI-KISI QUISIONER
Tabel 2
 Tabel 3 No Pendidikan
Tabel 4 Mulai membiasakan anak shalat
+7

Referensi

Dokumen terkait

Persamaan yang dimaksud adalah bahwa (1) tidak seluruh komponen VAIC memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan perusahaan, dan (2) bahwa tidak semua ukuran

Salah satu cara untuk  mendapat ketebalan yang tepat adalah dengan membuat garis – garis plesteran/patok pada dinding dengan arah vertikal dari atas ke bawah dengan jarak 1 -

Stringer (2002) juga berpendapat bahwa karakteristik atau komponen iklim organisasi mempengaruhi motivasi anggota organisasi untuk berperilaku tertentu.

pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerahnya seharusnya bisa meningkatkan kinerja keuangan daerah yang bersangkutan (Ropa, Mega Oktavia (2016). Analisis

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan hal-hal yang menjadi faktor dalam mempengaruhi efikasi diri pengasuhan individu yaitu adanya pengalaman orang

Selain berdasarkan bentangnya, jembatan juga dikategorikan berdasarkan fungsinya, diantaranya adalah jembatan jalan raya yang difungsikan untuk memikul beban lalu

PENILAIAN KINERJA DI PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM (PDAM) KABUPATEN PASURUAN DENGAN MENGGUNAKAN PERSPEKTIF FINANSIAL DAN

Minyak ikan salmon, minyak cumi dan minyak kedelai mengandung asam lemak esensial yang berfungsi untuk meningkatkan pertumbuhan dan sintasan crablet sehingga dilakukan