EFEKTIFITAS DAN KEAMANAN
IN VIVO
FAGE LITIK
FR38
DARI LIMBAH DOMESTIK DALAM MENURUNKAN
CEMARAN
SALMONELLA
P38
INDIGENOUS
PADA SOSIS, SUSU, DAN AIR
DEWI SARTIKA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Efektifitas dan Keamanan In Vivo Fage Litik FR38 dari Limbah Domestik dalam Menurunkan Cemaran Salmonella P38 Indigenous pada Sosis, Susu, dan Air adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di akhir Disertasi
Bogor, 2012
Domestic Waste to Decrease The Indigenous Salmonella P38 on Sausage, Milk, and Water. Under direction of SRI BUDIARTI, MIRNAWATI B. SUDARWANTO and IMAN RUSMANA.
The ability of phage FR38 to lysis an indigenous Salmonella P38 from faeces of diarrhea patient has been studied, however its effects on food and its safety are not studied yet. This study was conducted to observe the effects of phage FR38 on food, and its safety in using of the phage on food.
Lysis efectivity of phage FR38 on food were measured on sausage, milk, and water. After phage's treatment on sausage, milk, and water, the total colony of Salmonella P38 was counted by surface plate method. Twelve male Sprague-Dawley rats were used for measure of phage's safety. Those rats were divided into two group; (i) control and (ii) treated with phage FR38’s 5 ml/kg bw (1 ml = 1.59 x 107 pfu phage). The phage treatment was administered by phage intragastricly. The clinical symptoms were observed at 15 days after treatment.
The result showed that indigenous phage FR38 had been able to decrease of indigenous Salmonella P38 on fresh sausage, milk, and water (0,01). The body
weight, organ weight, erythrocyt, hematocrit, hemoglobin, leukocyte, total protein,
creatinine, SGOT, SGPT of phage’s treatment rat were not different with control on 16th day (P > 0.05). It can be concluded that no effect of phage FR38 on body weight, blood chemistry, kidney, liver functions (0,01) and histology of the rat.
RINGKASAN
DEWI SARTIKA. Efektifitas dan Keamanan In Vivo Fage litik FR38 dari Limbah Domestik dalam Menurunkan Cemaran Salmonella P38 Indigenous pada Sosis, Susu, dan Air. Dibimbing Oleh SRI BUDIARTI, MIRNAWATI B. SUDARWANTO dan IMAN RUSMANA.
Sanitasi lingkungan sangat berperan pada prevalensi Salmonella di suatu daerah. Peningkatan populasi Salmonella di lingkungan dapat mencemari makanan baik pada bahan mentah maupun makanan jadi. Salmonella sp. merupakan bakteri patogen pencemar pangan dan penyebab food borne diseases serta water borne disease. Cemaran Salmonella, pada pangan telah banyak diteliti, diantaranya pada sosis dan susu serta produk olahannya. Di Indonesia penurunan cemaran Salmonella sp. pada pangan dilakukan dengan penambahan zat pengawet pangan/zat kimia. Dilaporkan bahwa bahan pengawet tersebut selain menurunkan cemaran mikroba ternyata harganya mahal dan memberi efek karsinogenik bila digunakan dalam waktu yang lama (efek akumulasi). Sehingga perlu alternatif lain penurun Salmonella sp. pada pangan. Salmonella P38 ditemukan pada feses penderita diare di daerah sindang barang. Peneliti terdahulu telah menemukan fage FR38 dari limbah domestik yang dapat melisiskan Salmonella P38 indigeneous secara signifikan. Fage litik dapat dijadikan alternatif dalam melakukan sanitasi pada proses pengolahan pangan. Pemanfaatan fage FR38 pada susu, sosis dan air serta keamanannya terhadap tubuh sejauh ini belum diketahui pengaruhnya. Penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemanfaatan fage FR38 terhadap penurunanan Salmonella P38 pada sosis, susu dan air serta keamanannya secara in vivo. Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai pengendali hayati cemaran Salmonella P38 baik pada pangan maupun lingkungan.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Biomedis Hewan, Laboratorium Biologi Nutrisi PPSHB-IPB; Kandang tikus dan Laboratorium Fisiologi FKH-IPB; Laboratorium Kesehatan Daerah Bogor, serta Balai Besar Penelitian Veteriner Cimanggu Bogor.
Efektifitas pemanfaatan Fage litik pada susu dirancang dengan cara mengkombinasikan aplikasi penambahan fage litik pada susu pasteurisasi yang diberi cemaran 4.3 x 104 cfu Salmonella P38 dan ditambahkan fage FR38 sebanyak 3.8 x 104 pfu fage/100 ml susu. Efektifitas fage litik pada sosis dirancang dengan cara mengkombinasikan aplikasi penggunaan fage litik pada sosis sapi olahan yang diberi cemaran 4.7 x 104 cfu Salmonella dan 3.8 x 10 pfu fage/20 g sosis. Efektifitas fage litik pada air dilakukan dengan cara memberi perlakuan 3.4 x 104 pfu fage FR38 ke dalam 100 ml aquades yang telah dicemari dengan 4.8 x 104 cfu Salmonella P38. Pengamatan dilakukan pada selang waktu kontak 0, 24, dan 48 jam. Pengamatan meliputi total mikroba Salmonella P38 serta analisa proksimat kandungan nutrisi pangan yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, serat kasar dan kadar protein.
diambil dari jantung dengan menggunakan syringe 5 ml, lalu dianalisis eritrosit, hemoglobin, hematokrit, leukosit, eritrosit, SGOT, SGPT, ureum, kreatinin, protein total, diferensiasi butiran darah putih (limfosit, neutrofil, eosinofil, basofil). Deskriptif feses diamati setiap hari. Histopathology dari organ hati, limpa, usus, lambung, dan ginjal diamati dengan membandingkan organ yang sama pada tikus kontrol.
Penambahan fage pada sosis ternyata menghambat laju pertumbuhan Salmonella sp. selama penyimpanan 0, 24 dan 48 jam pada suhu ruang. Pada penyimpanan 24 jam (7.5x101 cfu/ml) dan 48 jam (7.8x102 cfu/ml) ternyata fage litik menurunkan Salmonella P38 secara signifikan dibandingkan dengan perlakuan tanpa fage pada penyimpanan 24 jam (2.57 x 106 cfu/ml) dan 48 jam (7.9x108 cfu/ml) (0,01). Penambahan fage pada susu ternyata juga mempengaruhi laju
pertumbuhan Salmonella sp. selama penyimpanan 0, 24 dan 48 jam di suhu ruang. Pada penyimpanan 24 jam (9.4 x 102 cfu/ml) dan 48 jam (1.2 x 103 cfu/ml) ternyata fage litik menurunkan Salmonella P38 secara signifikan dibandingkan dengan perlakuan tanpa fage pada penyimpanan 24 jam (2.6 x 108 cfu/ml) dan 48 jam (7.9x1012 cfu/ml) (0,01). Fage FR38 efektif dalam menurunkan cemaran Salmonella
P38 pada air. Fage FR38 dapat menurunkan jumlah mikroba secara signifikan dari 3.6 menjadi 9cfu/ml dibandingkan dengan tanpa Fage (Salmonella P38) yang justru meningkatkan jumlah mikroba menjadi 9.5 x 106 cfu/ml pada lama penyimpanan 48 jam (0,01).
Uji in-vivo pada tikus menunjukkan bahwa kreatinin pada tikus yang diberi perlakuan fage (1.331±0.527) ternyata tidak berbeda nyata secara signifikan dibandingkan dengan kontrol (1.394±0.743) (0,01). SGOT pada tikus yang diberi
perlakuan fage (193.50 ± 34.735) tidak berbeda nyata secara signifikan dibandingkan dengan kontrol (211.67±65.503) (hitung>0.05). Hal ini menunjukkan
bahwa perlakuan fage tidak mempengaruhi fungsi hati. Hemoglobin, eritrosit, leukosit, trombosit dan Packed Cell Volume (PCV) pada tikus yang diberi perlakuan fage ternyata tidak berbeda nyata pengaruhnya dibandingkan dengan kontrol pada hari ke-16. Pada uji histopatologi terlihat bahwa organ yang diberi perlakuan fage tidak menunjukkan kelainan yang spesifik (TAKS).
Simpulan dari penelitian ini adalah perlakuan penambahan fage FR38 pada sosis, susu dan air ternyata dapat menahan laju kecepatan tumbuh Salmonella P38 pada penyimpanan 24 dan 48 jam secara signifikan. Konsumsi secara oral fage sebanyak 1.59 x 107 pfu ternyata tidak berpengaruh terhadap gambaran darah, SGOT, SGPT, kreatinin, ureum dan jaringan dibandingkan dengan kontrol pada tikus putih (rattus novergicus L.) galur Sprague Dawley. Hal ini menunjukkan bahwa fage adalah efektif menurunkan cemaran Salmonella pada pangan seperti sosis, susu, dan air serta aman bagi tubuh tikus.
©Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
PADA SOSIS, SUSU, DAN AIR
DEWI SARTIKA
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar pada Ujian Tertutup:
Prof. Dr. drh. Retno Damayanti Soejoedono, M.S.
Dr. Ir. Eti Riani, MSi
Penguji Luar pada Ujian Terbuka:
Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, S.H., M.Sc., SpF(K).
Nama : Dewi Sartika
NIM : P062080091
Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. dr. Sri Budiarti Ketua
Mengetahui
Ketua Program Studi,
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian : 30 Oktober 2012 Tanggal Lulus :
Prof. Dr. drh. Mirnawati B. Sudarwanto Dr. Ir. Iman Rusmana, M.Si.
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan
hidayah-Nya, disertasi dengan judul Efektifitas dan Keamanan In Vivo Fage Litik
FR38 dari Limbah Domestik dalam Menurunkan Cemaran Salmonella P388
Indigenous pada Sosis, Susu, dan Air dapat diselesaikan. Penelitian ini didanai
oleh Hibah Penelitian Tim Pascasarjana sebagai ketua Tim Penelitian adalah Dr. dr.
Sri Budiarti.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini tidak mungkin tercipta tanpa
bantuan dari segala pihak. Untuk itu penulis menyampaikan penghargaan
setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih kepada: Ibu Dr. dr. Sri Budiarti, sebagai ketua
Komisi Pembimbing; yang telah memberikan motivasi, ilmu, keteladanan kepada
penulis mulai dari awal pemilihan tema, pelaksanaan penelitian hingga penulisan
disertasi; inovasi, logika ilmiah dan ide-ide cemerlang beliau banyak menghiasi
disertasi ini; motto beliau ‘keep spirit and be a Samurai’ menggugah penulis untuk bangkit menyelesaikan disertasi ini; Ibu Prof. Dr. drh. Mirnawati B. Sudarwanto
selaku anggota Komisi Pembimbing yang telah all out dalam membimbing dan
mendampingi penulis baik dalam menentukan metode, rancangan percobaan,
pelaksanaan penelitian hingga penulisan disertasi; keteladanan dan penerapan
planning, organizing, actuating dan controlling dalam me-manage penelitian
banyak saya adopsi dari beliau; dan Bapak Dr. Iman Rusmana, MSi selaku anggota
Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran, ide dan keteladanan
baik selama pelaksanaan penelitian, penulisan disertasi hingga publikasi ilmiah;
logika ilmiah yang beliau sarankan telah memberi warna tulisan ini.
Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis ucapkan dengan tulus kepada:
Rektor Institut Pertanian Bogor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB; Bapak Prof.
Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS selaku Ketua Ketua Program Studi PSL beserta staf
dosen dan akademik; Rektor Universitas Lampung, Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Lampung, Bapak Dr.Eng. Ir. Udin Hasanudin, M.Eng., (Kajur THP), Ibu
Ir. Susilawati MS (Sekjur THP) yang telah memberikan izin bagi penulis untuk
mengikuti program pendidikan Doktor di IPB.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada: Ibu Prof. Dr. drh. Retno
masukan demi kesempurnaan disertasi ini; Ketua Laboratorium Biomedis Hewan,
para laboran (bu Dewi Asnita, bu Ida, mbak Endang dan pak Edi), dan Bapak drh.
Yulfian Sani, PhD. (Kepala Lab. Diagnostik Balai Besar Balitvet Cimanggu) yang
telah meluangkan waktu dan tenaga memperlancar proses penelitian ini.
Ucapan terima kasih dan penghormatan juga penulis haturkan kepada
Ayahnda H. Syukur Siadjin, Ibunda Hj. Syukuriah yang tak pernah putus
mengingatkan penulis dengan cinta dan kasih sayangnya untuk menyelesaikan studi
ini, dalam bentuk doa, dukungan, dan semangat sampai hari ini "Allahuma firlii
waliwalidayya warhamhuma kamma rabbayyani saghiirrra". Sayangilah beliau
berdua dan sempatkan penulis berbakti kepadanya, Aamiin YRA; Mertua penulis,
Alm. Ayahnda KH. M. Burkan Saleh dan Almh. Ibunda Hj. Nuraini, yang ikut
mendoakan sewaktu beliau masih hidup. Semoga Beliau berdua tenang disisi-Nya.
Aamiin YRA; Suami penulis, Dr. Muhammad Ikbal, M.Pd. dengan cinta dan kasih
sayangnya telah memberi dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan S3 di IPB;
anak-anak penulis, M. Rosikhul Ilmi, Egalita Fauziannissa, dan Najhwa Fazilla
Ikbal, yang selalu ikut mendoakan penulis dan terpaksa mengerti bahwa uminya
sedang menyelesaikan perkuliahan; Saudara penulis, kak Erwan Ekajaya, ST, M.T.,
mbak Rohai Inah, S.S., M.Si, dek Suharti Ningsih, S.P., M.Si., dek Verra Charoline,
S.E., M.H., yang tak pernah putus dengan kasihnya membantu doa, semangat serta
dukungannya: Seluruh keluarga baik di Lampung, Lahat maupun di Kerinci;
Rekan-rekan penulis yaitu Dr. Rastina Rachim, Dr. Nurlita Pertiwi, M.T., dan Rekan-rekan S3
PSL tahun 2008; serta rekan-rekan lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga bantuan, dukungan dan perhatian yang telah diberikan mendapat
balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Akhir kata semoga disertasi ini
bermanfaat.
Bogor, 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tanjung karang pada tanggal 20 Desember 1970
sebagai anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan H. Syukur Siadjin dan Hj.
Syukuriah. Pendidikan Sarjana diselesaikan tahun 1994 pada Jurusan Teknologi
Hasil Pertanian (THP), Universitas Lampung. Pendidikan S2 diselesaikan pada
tahun 1999 pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang dan tahun 2003
pada PPs Ilmu Pangan IPB. Pada tahun 2008 penulis diterima di Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor yang
didanai oleh beasiswa BPPS Dikti. Penulis bertugas pada Jurusan THP, Fakultas
Pertanian, Universitas Lampung, Bandar lampung sejak tahun 2008.
Selama mengikuti program S3, penulis aktif menulis artikel ilmiah di
bidang lingkungan. Artikel berjudul Economic Analysis on Deforestation telah
diterbitkan di Quantitatif International Journal 2009. Artikel lain yang berjudul
Clean Development Mechanism Project on Food industri telah disajikan pada
Annual International Conference on Green Technology and Engineering 2st tahun
2009. Artikel ilmiah yang berjudul The Effect of Phage FR38 on Sprague Dawley
Rat inferred from Blood Parameters and Organ Systems (merupakan bagian dari
disertasi S3) telah dipublikasikan pada Hayati Journal of Biosciences Vol.19 No. 3,
p.131-136 bulan September Tahun 2012.
3.2.1.2 Kuantifikasi Fage ...
No Teks Halaman
1 Bagan alir perumusan masalah ... ...
2 Pola pemutusan transmisi wabah salmonellosis di lingkungan ...
3 Mekanisme masuknya Salmonella pada tubuh manusia ...
4 Siklus transmisi wabah Salmonellosis di lingkungan ...
5 Siklus replikasi fage ...
6 Kepala, struktur, dan bentuk fage ...
7 Reproduksi fage ...
8 Mekanisme paparan alergen pada tubuh ...
9 Reaksi alergi dan tanggap tubuh terhadap alergen ... ...
10 Prosedur pengolahan susu dengan aplikasi fage litik ... .…………...…….35
11 Prosedur pengolahan sosis dengan aplikasi fage ...…...…36
12 Pengaruh buffer ringer dan buffer SM terhadap rata-rata ukuran
flaque fage ...
13 Efektifitas lisis fage FR38 yang diukur berdasarkan nilai OD ...
14 Uji bebas Salmonella, uji kuantifikasi fage, serta
pengamatan fage dengan menggunakan (TEM) ...
15 Pengaruh perlakuan fage selama 48 jam: (A) fage FR 38 dan Salmonella P 38; (B) Salmonella P 38; (C) Kontrol; (D) Buffer SM dan dan (E) Nutrient Broth... …………...
16 Pengaruh fage FR38 terhadap nilai pH susu ...
17 Pertumbuhan tikus kontrol dan perlakuan fage FR38 ...
18 Perbandingan jaringan tikus yang diberi perlakuan fage (ginjal (A), Liver (C), Lambung (E) dan limpa (G)) dan jaringan tikus kontrol
DAFTAR TABEL
No Teks Halaman
1 Prosentase wabah salmonellosis per 100.000 jiwa periode
2005-2009 ...
2 Infeksi Salmonella spp. Pada hewan ternak periode tahun 1990-2003 ...
3 Residu antibiotik pada produk ternak ...
4 Pengaruh suhu penyimpanan terhadap nilai PFU fage ...
5 Pengaruh buffer stock terhadap nilai Plaque Forming Unit (pfu)
Salmonella P38 pada susu ...
11 Kreatinin dan total protein pada tikus yang diberi perlakuan fage ...
12 Nilai SGOT dan SGPT pada tikus yang diberi perlakuan fage ...
13 Rata-rata berat organ selama perlakuan fage FR38 ...
14 Penampakan feses tikus selama perlakuan fage FR38 ...
15 Gambaran hematologi darah tikus yang diberi perlakuan fage
No Teks Halaman
1 Tampilan fage FR38 ...
2 Tampilan flak dari fage FR38 ...
3 Proses sentrifugasi cairan fage ...
4 Proses filtrasi cairan fage ...
5 Perlakuan fage pada susu ...
6 Penampakan sosis setelah mendapatkan perlakuan Salmonella P38 ...
7 Penghitungan total mikroba dengan menggunakan media XLD ...
8 Tata letak kandang tikus ...
9 Tempat minum tikus ...
10 Makanan tikus ...
11 Alat sonde tikus ...
12 Tampilan tikus pada hari ke-16 ...
13 Pengambilan data berat badan ...
14 Bentuk feses tikus ...
15 Proses anesthesia tikus ...
16 Organ tikus ...
17 Sampel organ diawetkan di dalam larutan formalin ...
18 Pengumpulan tikus setelah pembedahan ...
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
Cemaran Salmonella di lingkungan seperti di tanah dan air banyak terjadi
baik di negara maju maupun berkembang. Air dan tanah yang tercemar
Salmonella , merupakan agen pencemar makanan dan minuman yang memicu
timbulnya wabah salmonellosis di lingkungan. Wabah salmonellosis di dunia
menyebabkan gastroenteritis akut atau diare (1.3 milyar jiwa) dan kematian (13
juta jiwa) (Portillo 2000). Budiarti et al. (1991) melaporkan bahwa Salmonella
derby yang diisolasi dari penderita diare di Myanmar secara in-vitro dapat melekat
dan menyerang sel Hep-2 yang mengindikasikan bahwa bakteri tersebut dapat
menyebabkan diare. Lebih dari 50% penyebab wabah diare di dunia diakibatkan
dari makanan yang tercemar Salmonella (Miliotis dan Bier 2003).
Di negara berkembang, wabah salmonellosis menyebabkan kematian
sekitar 3 juta penduduk setiap tahun (Zein et al. 2004). Wabah tersebut ternyata
tidak dapat dituntaskan dari tahun ke tahun. Acute Communicable Disease
Control (ACDC) (2009) melaporkan bahwa insiden salmonellosis yang tertinggi
pada golongan umur 15-34 tahun (22,7%); diikuti oleh golongan 1-4 tahun
(19.2%); 5-14 tahun (16.3%); > 65 tahun (10.3%); 35-44 tahun (9.2%); 45-64
tahun (8.5%); < 1 tahun (7.5%); dan 55-64 tahun (6.4%).
Di Indonesia, berdasarkan survey di rumah sakit di Jakarta, Padang,
Medan, Denpasar, Pontianak, Makasar, dan Batam dari 2.812 pasien diare
penyebab utama diantaranya adalah Salmonella spp, dengan rincian kasus diare
yaitu di puskesmas (13.3%); rumah sakit rawat inap (0.45%); dan pasien rawat
jalan (0.05%) (Zein et al. 2004). Agen penyebab wabah salmonellosis menurut
Grau (1989) mudah ditransmisikan dari lingkungan ke hewan dan manusia baik
langsung ataupun tidak langsung melalui produk pangan asal ternak. Menurut
Poernomo (2004) infeksi Salmonella spp. Pada ternak tahun 1990-2003 yang
tertinggi adalah infeksi S. enteritidis (294 kasus); diikuti S. typhimurium
(65 kasus) dan S. hadar (52 kasus). Hewan yang terinfeksi Salmonella dari
lingkungan dapat menyebarkan bakteri ini melalui fesesnya. Feses tersebut akan
Transmisi pencemaran Salmonella sp. dari lingkungan ke pangan
menyebabkan food borne diseases dan water borne disease (Bell dan Kyriakides
2002). Cemaran Salmonella sp. pada pangan yang mengakibatkan keracunan
pangan telah banyak diteliti, misalnya pada daging mentah dan sosis (Zhuang dan
Mustapha 2005); susu serta produk olahannya (Izzo 2011).
Susu dan sosis merupakan media yang baik untuk pertumbuhan
Salmonella sp. Deteksi cemaran Salmonella sp. pada susu sudah banyak dilakukan
yaitu pada susu sapi olahan (Bhattacharya et al. 2012); susu kambing
(Migeemanathan et al. 2011); susu mentah (Hill et al. 2012); susu bebas lemak
(Barbaree et al. 2007) dan susu bubuk (Anderson et al. 2007). Cemaran
Salmonella sp. pada Sosis ternyata juga telah diteliti misalnya pada sosis babi di
Irlandia (Buttler et al. 2012); sosis babi segar di Brazilia (Cardoso et al. 2009);
dan sosis fermentasi (Hwang et al. 2009).
Di Indonesia penurunan cemaran Salmonella sp. pada pangan dilakukan
dengan penambahan zat pengawet pangan/zat kimia, misalnya sodium benzoate,
sodium nitrat, sodium sulfit, butylated hydroxyl toluene (BHT), butylated
hydroxyl anisol (BHA), t-butyl hydroxy quinon (TBHQ). Bahan pengawet
tersebut selain menurunkan cemaran mikroba ternyata harganya mahal dan
memberi efek karsinogenik (BPOM 2003). Menurut Sinha dan D’Souza (2010), sodium benzoat pada dosis 155 mg/kg bb berefek gangguan pada sel hati tikus.
Sodium benzoate juga merugikan bagi penderita asma yang peka terhadap aspirin
(BPOM 2003).
Menurut Essien (2007) sosis umumnya menggunakan pengawet sodium
benzoat dan sodium sulfat, sodium karbonat, BHA, BHT, ammonium karbonate,
sodium fosfat, potasium fosfat, dan lain lain. Sedangkan susu umumnya
menggunakan pengawet sodium benzoat, sodium asetat, sodium propionat,
sodium sorbat, derivat sulfit (Zuethen dan Sorensen 2003)
Harga zat pengawet yang mahal ternyata membuat produsen pangan
menggantinya dengan zat pengawet yang tidak diperbolehkan misalnya formalin,
tawas dan hydrogen peroxida. Berdasarkan survey Sinaga (2011) di 3 pasar
tradisional di Medan ternyata ikan kembung olahan mengandung formalin dengan
3
terdapat pada produk tahu, susu, daging sapi, daging ayam, mie, dan saos. Zat
pengawet yang tidak diperbolehkan seperti formalin selain menekan mikroba,
juga menyebabkan kerusakan pada jaringan saluran cerna (Mahdi et al. 2009).
Penurunan paparan Salmonella pada hewan juga menggunakan antibiotik.
Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai takaran memberi efek resistensi pada
mikroba sehingga produk hasil hewan seperti daging dan susu menjadi tidak aman
dikonsumsi karena menimbulkan reaksi alergis, keracunan, resistensi mikroba
tertentu atau gangguan fisiologis pada manusia. Residu antibiotik pada produk
ternak sudah banyak diteliti misalnya pada susu individu (80%), susu kandang
(24%), susu loper (34.4%) (Sudarwanto 1990); residu penisilin pada susu
pasteurisasi (Sudarwanto 1992); serta residu tetrasiklin, khlortetrasiklin,
oksitetrasiklin pada susu segar (Bahri 2008). Residu penisilin dan tetrasiklin juga
terdeteksi pada daging sapi dan daging ayam (Iniansredef 1999). Budiarti (2011)
melaporkan adanya paparan E. coli resisten antibiotik pada 95% manusia sehat
pada berbagai usia bahkan pada fase neonatus. Berdasarkan paparan diatas perlu
alternatif lain untuk menurunkan mikroba juga Salmonella pada pangan.
Fage litik dapat dijadikan alternatif dalam melakukan pengawetan pada
proses pengolahan pangan, karena bersifat alami, dan banyak terdapat di
lingkungan (Abedon 2008); dapat diisolasi dari berbagai macam bahan pangan
misalnya fage E. coli pada kerang (Albert et al. 1994); fage E. coli pada wortel
(Endley et al. 2003); fage Propionibacterium freudenreichii pada keju (Gautier et
al. 1995); fage Campylobacter pada daging (Atterburry et al. 2001); fage
Lactobacillus spp. pada yogurt (Kilic et al. 1996).
Di Indonesia isolasi fage sudah dilakukan, seperti isolasi fage
Xanthomonas campestris (Triana, 1996); fage enteropatogenik E. coli (Budiarti et
al. 2011); dan fage Salmonella FR38 (Budiarti dan Rusmana 2010). Penemuan
fage bakteri tersebut belum diiringi pemanfaatannya di lingkungan dan pangan.
Pada penelitian ini dilakukan kajian pemanfaatan fage litik dalam
menurunkan cemaran Salmonella pada sosis, susu, dan air. Menurut Winarno
(2004) pangan yang aman adalah pangan yang tidak mengandung bahan toksik
yang membahayakan tubuh manusia. Dilaporkan oleh Budiarti dan Rusmana
melisiskan bakteri Salmonella P38 indigenous yang diisolasi dari pasien
anak-anak diare, secara signifikan. Salmonella P38 tersebut resisten
amoxicillin-clavulanic acid, ampicillin, ampicillin sulbactam, chepalotin. Sehingga diduga
fage FR 38 dapat menurunkan kontaminasi Salmonella P38 pada sosis, susu, dan
air. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pengaruh pemanfaatan
fage FR38 terhadap penurunan Salmonella P38 pada sosis, susu dan air serta
keamanannya secara in vivo.
1.2 Perumusan Masalah
Salmonella sp. adalah bakteri patogen pencemar lingkungan tanah dan air,
yang mengakibatkan wabah salmonellosis atau diare pada hewan dan manusia.
Transmisi Salmonella dari lingkungan ke hewan atau manusia dan sebaliknya
akan membentuk siklus terus menerus (Gambar 2). Cemaran Salmonella pada
tanah, air, dan hewan menyebabkan kontaminasi pada produk pangan dan air.
Cemaran Salmonella pada pangan ditemukan juga pada sosis, susu, dan air.
Salmonella P38 adalah bakteri resisten terhadap antibiotik. Bakteri resisten
antibiotik bila mencemari pangan akan menyebabkan penyakit yang sulit diobati.
Penurunan mikroba pada pangan di Indonesia dilakukan dengan penambahan zat
pengawet pangan. Bahan pengawet tersebut selain menurunkan cemaran mikroba
ternyata harganya mahal dan memberi efek karsinogenik bila digunakan terus
menerus (efek akumulatif).
Berdasarkan paparan diatas perlu alternatif penurun mikroba Salmonella
pada pangan yang bersifat alami dan non toksik serta ramah lingkungan. Fage litik
dapat dijadikan alternatif sebagai pengawet pada proses pengolahan pangan. Pada
penelitian in vitro diketahui, populasi Salmonella P38 dapat diturunkan dengan
melakukan penambahan Fage FR38. Fage FR38 diisolasi dari limbah domestik
dan bersifat spesifik dalam menginfeksi host (inang). Efektifitas dan keamanan
penggunaan fage pada pangan di Indonesia sejauh ini belum banyak dilakukan.
Sehingga perlu adanya kajian efektifitas dan keamanan pemanfaatan fage FR38
untuk menurunkan cemaran Salmonella P38 pada sosis, susu dan air. Perumusan
5
Gambar 1 Bagan alir Perumusan Masalah
RAMAH LINGKUNGAN
SALMONELLA P38 MENCEMARI PRODUK SOSIS, SUSU, DAN AIR
ZAT PENURUN CEMARAN BAKTERI PADA PANGAN DAN AIR YANG DIPERBOLEHKAN: MAHAL DAN KARSINOGENIK
PRODUSEN MENGGUNAKAN PENGAWET YANG TIDAK DIPERBOLEHKAN DAN ANTIBIOTIK
TOKSIK DAN BERBAHAYA BAGI KESEHATAN
FAGE FR38 MERUPAKAN ALTERNATIF BARU
MUDAH DIDAPAT DAN DIPERBANYAK ALAMI
PERMASALAHAN: PENERAPAN PADA PANGAN DAN PENELITIAN FAGE DI INDONESIA SANGAT MINIM DILAKUKAN
PERLU PENELITIAN LEBIH LANJUT PEMANFAATAN FAGE FR38 DALAM MENURUNKAN CEMARAN
SALMONELLA P38 PADA SOSIS, SUSU, DAN AIR SERTA KEAMANANNYA SECARA IN-VIVO
KEAMANAN IN-VIVO
EFISIENSI
PENURUNAN CEMARAN SALMONELLA P38
PADA SOSIS, SUSU, DAN AIR TIDAK TOKSIK
SALMONELLA. MENCEMARI LINGKUNGAN TANAH DAN AIR
WABAH SALMONELLOSIS PADA HEWAN DAN MANUSIA
PENURUNAN WABAH SALMONELLOSIS
---
-
---
---
Gambar 2 Pola pemutusan transmisi wabah salmonellosis di Lingkungan Keterangan: --- = pemutusan rantai
Diharapkan dengan dilakukannya penelitian ini maka cemaran Salmonella
P38 pada sosis, susu, serta air akan menurun. Pemanfaatan fage dalam penurunan
cemaran Salmonella akan memutus rantai berulang siklus transmisi wabah
salmonellosis di lingkungan (Gambar 2). Berdasarkan paparan di atas, maka
perumusan masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Apakah fage FR38 efektif dalam menurunkan cemaran Salmonella P38
pada sosis bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi sosis
seperti lemak, protein, kadar air, kadar abu serta serat kasar?
2. Apakah fage FR38 efektif dalam menurunkan cemaran Salmonella P38
pada susu bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi susu
seperti lemak, protein, kadar air, kadar abu?
3. Apakah fage FR38 efektif menurunkan cemaran Salmonella P38 pada air bila
dikaji berdasarkan total mikroba?
4. Apakah penggunaan fage FR38 aman secara in-vivo bila dikaji berdasarkan
fungsi hati, fungsi ginjal, berat badan, berat organ, penampakan feses,
hematologi darah dan histopatologi organ tikus galur sprague dawley? Fage Cemaran Salmonella di tanah dan air
7
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh efektivitas lisis FR38 terhadap penurunan cemaran
Salmonella P38 pada sosis bila dikaji berdasarkan total mikroba dan
kandungan nutrisi sosis seperti lemak, protein, kadar air, kadar abu serta serat
kasar.
2. Mengetahui pengaruh efektivitas lisis FR38 terhadap penurunan cemaran
Salmonella P38 pada susu bila dikaji berdasarkan total mikroba dan
kandungan nutrisi susu seperti lemak, protein, kadar air, dan kadar abu.
3. Mengetahui pengaruh efektivitas lisis FR38 terhadap penurunan cemaran
Salmonella P38 pada air bila dikaji berdasarkan total mikroba.
4. Mengetahui tingkat keamanan penggunaan fage litik secara in-vivo bila dikaji
berdasarkan fungsi hati, fungsi ginjal, berat badan, berat organ, penampakan
feses, hematologi darah dan histopatologi organ tikus galur sprague dawley.
1.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah:
1. H0: Perlakuan fage litik FR38 tidak efektif dalam menurunkan
cemaran Salmonella P38 pada sosis bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi sosis seperti lemak, protein, kadar air, kadar abu serta serat kasar.
H1: Perlakuan fage litik FR38 efektif dalam menurunkan cemaran
Salmonella P38 pada sosis bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi sosis seperti lemak, protein, kadar air, kadar abu serta serat kasar.
2. H0: Perlakuan fage litik FR38 tidak efektif dalam menurunkan cemaran
Salmonella P38 pada susu bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi susu seperti lemak, protein, kadar air, dan kadar abu.
3. H1:
H0:
Perlakuan fage litik FR38 efektif dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada susu bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi susu seperti lemak, protein, kadar air, dan kadar abu.
H1: Perlakuan fage litik FR38 efektif dalam menurunkan cemaran
Salmonella P38 pada air bila dikaji berdasarkan total mikroba
4. H0: Penggunaan fage FR38 tidak aman secara in-vivo bila dikaji
berdasarkan fungsi hati, fungsi ginjal, berat badan, berat organ, penampakan feses, hematologi darah dan histopatologi organ tikus galur sprague dawley.
H1: Penggunaan fage FR38 aman secara in-vivo bila dikaji berdasarkan
fungsi hati, fungsi ginjal, berat badan, berat organ, penampakan feses, hematologi darah dan histopatologi organ tikus galur sprague dawley.
1.5 Novelty atau kebaruan
Kebaruan dari penelitian ini adalah:
1. Pemanfaatan fage FR38 dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada
sosis bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi sosis seperti
lemak, protein, kadar air, kadar abu serta serat kasar.
2. Pemanfaatan fage FR38 dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada
susu bila dikaji berdasarkan total mikroba dan kandungan nutrisi susu seperti
lemak, protein, kadar air, dan kadar abu.
3. Pemanfaatan fage FR38 dalam menurunkan cemaran Salmonella P38 pada
air bila dikaji berdasarkan total mikroba.
4. Keamanan penggunaan fage litik secara in vivo.bila dikaji berdasarkan fungsi
hati, fungsi ginjal, berat badan, berat organ, penampakan feses, hematologi
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dampak Cemaran Salmonella pada Lingkungan 2.1.1 Ciri-ciri Salmonella sp.
Salmonella sp. adalah bakteri berbentuk batang lurus, gram negatif, tidak
berspora, bergerak dengan flagel peritrik, memiliki ukuran 2-4 μm x 0.5-0,8 μm (Jawetz et al. 2005). Salmonella sp. hampir tidak pernah memfermentasi laktosa
dan sukrosa, membentuk asam dan kadang gas dari manosa, memporoduksi
hidrogen sulfide atau H2S. Pada biakan agar koloninya memiliki median 2-8
milimeter, dengan bentuk bulat agak cembung, dan jernih (Robinson et al. 2000).
Menurut Cox (2000) Salmonella sp. bersifat motil dan memfermentasi glukosa
dengan membentuk gas dan asam.
Salmonella sp. tahan hidup dalam air yang dibekukan dalam waktu yang
lama, bakteri ini resisten terhadap bahan kimia tertentu misalnya hijau brillian,
sodium tetrathionat, dan sodium deoxycholate (Robinson et al. 2000). Menurut
Ray (2001) Salmonella sp. mampu berkembang biak pada berbagai makanan
tanpa mempengaruhi tampilan kualitasnya.
Genus Salmonella adalah termasuk family Enterobactericeae (Jawetz
et al. 2005) dan merupakan bakteri fakultatif anaerob. Salmonella dapat tumbuh
pada suhu 5-45oC dengan suhu optimum 35-37oC (Ray 2001); mampu hidup pada
pH rendah tetapi sensitif dengan penambahan garam. Salmonella akan
membentuk rantai filamen panjang ketika tumbuh pada suhu ekstrim 4-8oC atau
44oC serta pada pH 4.4 atau 9.4 (Bhunia 2008). Semua Salmonella merupakan
patogen intraselular fakultatif dan bersifat patogen, serta dapat menyerang
makrofag, sel-sel dendrit, dan epitel (Jawetz et al. 2005). Faktor virulensi yang
terlibat dalam patogenisitas Salmonella sp meliputi lipopolisakarida (LPS) dan
pili (Cogan dan Humprey 2003).
Klasifikasi Salmonella sp. berdasarkan dasar reaksi biokimia dan serotipe
yang diidentifikasi menurut struktur antigen O, H dan Vi yang spesifik (Jawetz
et al. 2005), menurut reaksi biokimianya, Salmonella sp. dapat diklasifikasikan
menjadi tiga spesies yaitu S. typhi, S. enteritidis, S. cholerasuis (Molbak et al.
paratyphi A (Serotipe group A), S. paratyphi B (Serotipe group B), S. paratyphi C
(Serotipe group), dan S. typhi dari Serotipe group D (Jawetz et al. 2005).
2.1.2 Patogenesis
S. typhi, S. paratyphi A, B dan C merupakan penyebab infeksi utama pada
manusia. Bakteri ini selalu masuk melalui jalan oral dan biasanya dengan cara
mengkontaminasi makanan dan minuman (Jay 2000). Diantara faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi ketahanan tubuh terhadap infeksi Salmonella sp adalah
keasaman lambung, flora normal dalam usus dan ketahanan usus lokal (Jawetz et
al. 2005). Menurut Robinson et al. (2000) Salmonella juga terdeteksi pada
daging, susu, telur, buah dan Sayur. Telur yang terkontaminasi Salmonella yang
disimpan pada suhu kamar dapat mencapai 1011 sel/telur (Robinson et al. 2000).
Mekanisme patogenesis Salmonella biasanya melalui proses infeksi
sistemik yang mengakibatkan demam, diare, abdominal pain, dan vomitting.
Gejala timbul tergantung daya tahan tubuh, umumnya setelah terpapar 3-4 hari
(Bhunia 2008). Dosis infeksi Salmonella bervariasi yaitu 1-109 cfu/g, menurut
Bhunia (2008) dosis minimal Salmonella yang mengakibatkan penyakit adalah
103 cfu/g. Menurut Cooper (1994) dosis 103 dapat menyebabkan wabah
salmonellosispada manusia. Pola penyebaran penyakit ini adalah melalui saluran
cerna (mulut, esofagus, lambung, usus 12 jari, usus halus, usus besar). S typhi,
paratyphi A, B, dan C masuk ke tubuh manusia bersama bahan makanan atau
minuman yang tercemar (Rabson et al. 2005). Setelah berhasil melampaui usus
halus, kuman masuk ke kelenjar getah bening, ke pembuluh darah, dan ke seluruh
tubuh (terutama pada organ hati, empedu, dan lain-lain (Gambar 3). Akibatnya
feses dan urin penderita bisa mengandung kuman S. typhi, S. paratyphi A, B dan
C yang siap menginfeksi manusia lain melalui makanan atau minuman yang
tercemar. Pada penderita yang tergolong carrier kuman Salmonella bisa ada terus
11
Gambar 3 Mekanisme masuknya Salmonella pada tubuh manusia (Smida 2011)
Bakteri tersebut melalui aliran darah juga akan menyerang hati, kantong
empedu, limpa, ginjal, dan sumsum tulang dan menyebabkan infeksi
organ-organ tersebut (Ray 2001). Melalui organ-organ-organ-organ yang telah terinfeksi inilah
mereka menyerang aliran darah yang menyebabkan bakteremia sekunder.
Bakteremia sekunder ini bertanggung jawab sebagai penyebab terjadinya demam
dan penyakit klinis (Rabson et al. 2005).
Gejala klinis pada salmonellosis tergantung pada sifat virulensi dan invasi
bakteri, jumlah bakteri, daya tahan tubuh hospes (umur dan kesehatan). Masa
inkubasi infeksi Salmonella pada manusia adalah 5-72 jam tetapi gejala umumnya
terjadi setelah 12-36 jam menelan makanan yang terkontaminasi Salmonella.
Tanda-tanda awal adalah diare, dehidrasi, sakit perut, mual-mual, dan muntah.
Salmonellosis bila tidak ditangani dengan tepat akan mengakibatkan kematian
2.1.3 Mekanisme Wabah Salmonellosis di Lingkungan
Salmonellosis adalah wabah yang timbul akibat adanya infeksi bakteri
Salmonella yang menyerang saluran gastrointestinal setelah mengkonsumsi
makanan yang tercemar Salmonella. Wabah salmonellosis telah terjadi sejak 20
tahun yang lalu di Eropa. Tahun 1980-an terjadi peningkatan yang signifikan
wabah salmonellosis yang diakibatkan oleh S. enteritidis dan pada tahun 1990
wabah ini menyebar ke negara berkembang. Wabah salmonellosis bersifat
epidemik. Wabah ini menurun setelah dilakukan beberapa implementasi kontrol
Salmonella. Prosentase wabah Salmonellosis berdasarkan usia disajikan oleh
ACDC (2009) pada Tabel 1.
Tabel 1 Prosentase wabah salmonellosis per 100.000 jiwa periode 2005 - 2009
Kriteria 2005 2006 2007 2008 2009
Berdasarkan Usia (tahun)
< 1 8.8 8.2 9.2 5.4 7.5
1 - 4 17.6 18.2 16.9 37.4 19.2
5 - 14 17.4 17.1 15.9 10.4 16.3
15 - 34 20.3 20.6 20.9 17.0 22.7
35 - 44 10.8 8.6 10.5 9.2 9.2
45 - 54 8.1 9.2 7.9 7.1 8.5
55 - 64 6.7 6.6 6.9 5.6 6.4
65 + 10.1 11.5 11.5 7.8 10.3
Tidak teridentifikasi 0.2 0 0.3 0.2 0
Berdasarkan Ras/etnik
Asia 9.7 11.3 10.5 7.0 8.6
Hitam 6.8 7.8 5.9 4.7 6.3
Amerika 45.8 50.0 49.9 65.4 52.0
Putih 36.1 28.8 31.4 19.9 30.7
Lain-lain 0.6 0.3 0.9 0.2 0.8
Tidak teridentifikasi 1.2 1.6 1.4 2.9 1.6
Agen penyebab wabah salmonellosis ini mudah ditransmisikan dari
lingkungan ke hewan dan manusia serta sebaliknya baik langsung ataupun tidak
langsung melalui produk pangan asal ternak (Grau 1989). Hewan yang terinfeksi
Salmonella dari lingkungan dapat menyebarkan bakteri ini melalui feses (Tabel
2). Feses tersebut akan mencemari lingkungan sekitar seperti tanah dan air.
13
Tabel 2 Infeksi Salmonella spp. pada hewan ternak periode tahun 1990-2003
Salmonella spp. A B C D E F G H
S. Typhi 16 4 2 5 35 1 2 65
S. enteritidis 197 - 8 59 22 5 3
S. hadar 29 - 1 15 4 3 - 52
S. lexington 4 - 1 10 1 - 1 17
S. ouakam 23 - 2 3 1 - - 29
S. schwarzengrund 19 2 1 11 4 1 - 38
Keterangan: A = Unggas (ayam, itik, burung); B = Ruminansia (Sapi, kerbau, kambing, domba); C = Babi, kucing, anjing; D = Limbah (Rumah potong hewan, alat, air, sampah, bulu); E = Pangan asal ternak
(karkas, daging, susu, telur dan produknya; F = Pakan ternak; G = Manusia; H = Jumlah (Poernomo 2004).
Gambar 4 Siklus transmisi wabah salmonellosis di Lingkungan
Penurunan paparan Salmonella pada hewan ternyata juga dilakukan
dengan menggunakan antibiotik. Penggunaan antibiotik tidak sesuai takaran
ternyata memberi efek negatif yaitu produk hasil hewan seperti daging dan susu
tidak aman dikonsumsi, menyebabkan reaksi alergis, keracunan, resistensi
mikroba tertentu atau gangguan fisiologis pada manusia. Residu antibiotik pada
produk ternak tersaji pada Tabel 3.
Salmonella mencemari lingkungan
Wabah salmonellosis di Lingkungan
Hewan Manusia
Feses mengandung Salmonella
Cemaran Salmonella di tanah dan air
Tabel 3 Residu antibiotik pada produk ternak
Produk Sampel
positif (%)
Jenis residu Sumber
Susu individu 80 antibiotik Sudarwanto (1990)
Susu kandang 24 antibiotik Sudarwanto (1990)
Susu loper 34.4 antibiotik Sudarwanto (1990)
Susu pasteurisasi 32.5 penisilin Sudarwanto et al. (1992)
Susu segar 5.5
Susu mentah 59.1 penisilin Sudarwanto et al. (1992)
Daging sapi
41.7 penisilin Iniansredef (1999)
Hati ayam
2.1.4 Isolasi dan Identifikasi Salmonella pada Makanan
Menurut Adams dan Moss (2008) metode isolasi dan identifikasi
Salmonella pada makanan mendapat perhatian lebih dibandingkan penyebab
foodborne diseases lainnya. Untuk mengidentifikasi Salmonella pada makanan
dapat menggunakan teknik biakan konvensional (Ray 2001). Terdapat lima
tahapan prosedur untuk mengidentifikasi Salmonella pada makanan, yaitu tahap
pre-enrichment (pra-pengayaan), selective enrichment (pengayaan selektif),
selective plating media (media pemupukan selektif), uji biokimia, dan uji
serologik (Ray 2001).
2.2 Fage litik
2.2.1 Karakteristik Fage
Fage merupakan parasit obligat intraselular yang dapat menggandakan diri
di dalam bakteri dengan menggunakan beberapa atau semua mesin biosintetik sel
inang. Fage secara metabolisme hanya dapat bereproduksi setelah menginfeksi
15
toksik terhadap binatang dan tumbuhan. Seperti pada virus umumnya, fage
mengandung asam nukleat DNA berantai tunggal atau ganda dan RNA berantai
tunggal yang diliputi selubung protein atau kapsid. Kapsid terdiri atas subunit
kapsomer (Pelczar dan Chan 2007).
Fage berdasarkan sistem klasifikasi dari the International Committee on
Taxonomy of viruses, dimasukkan dalam kelompok ordo I, yaitu caudovirales
dengan ciri fage yang memiliki DNA double-strand dan berekor. Fage yang
merupakan virus penginfeksi bakteri, memiliki 2 tipe yaitu litik dan lisogenik
dengan daur siklus yang berbeda (Gambar 5).
Gambar 5 Siklus replikasi fage (Todar 2009)
Semua fage mempunyai inti asam nukleat yang ditutupi oleh selubung
protein atau kapsid (Gambar 6). Kapsid terdiri sub unit morfologis yang disebut
kapsomer. Kapsomer terdiri dari sub unit atau molekul protein yang disebut
(A) Kepala fage (B) Struktur fage
(C) Bentuk fage
Gambar 6 Kepala, struktur dan bentuk fage (Sahrojas 2010)
Cara reproduksi fage litik terdiri atas 5 tahap, yaitu tahap adsorpsi, tahap
penetrasi, tahap sintesis, tahap pematangan, dan tahap lisis. Bila fage litik
menginfeksi sel bakteri maka fage akan bereplikasi di dalam sel inang membentuk
sejumlah fage baru kemudian akan membuat sel inang pecah (Hogg 2005). Pada
tahap adsorpsi, ujung ekor melekat pada sel melalui reseptor khusus pada
permukaan sel. Proses perlekatan ini bersifat spesifik dimana reseptor dan fage
bersifat sebagai pasangan (Gambar 7). Reseptor dapat berupa lipopolisakaida,
17
Gambar 7 Reproduksi fage (Hyglos 2012)
Pembentukan kepala, ekor, dan serabut ekor diatur melalui 3 jalur yang
dilaksanakan oleh runutan gen yang berlainan. Tahap pematangan atau perakitan
merupakan tahap penyusunan asam nukleat dan protein virus menjadi partikel
virus yang utuh. Tahap perakitan terjadi setelah sintesis protein dan asam nukleat
yang diikuti oleh lisis sel bakteri dan pelepasan fage (Hogg 2005)
2. 2.2 Penelitian dan Aplikasi Fage
Penemuan dan penelitian fage telah banyak dilakukan sejak Ernest
Hanbury Hankin melakukan pengamatan pertamakali terhadap aktivitas fage yang
menginfeksi Vibrio cholerae di India pada tahun 1896. Setelah penemuan fage
pada tahun 1915-1917, penggunaan fage secara klinis pada manusia terhadap
infeksi bakteri telah dilakukan di Eropa khususnya di Eropa Timur (Pelczar dan
Chan 2007). Terapi fage telah digunakan untuk melawan penyakit infeksi pada
kulit, tulang, saluran gastrointestinal, dada, abdomen, kepala, leher, dan sistem
organ tubuh lainnya (Abedon 2008). Pada tahun 1921, Bruynoghe dan Maisin
Staphylococcus. Pada tahun l940-an, perusahaan Eli Lilly di US memproduksi 7
produk fage yang digunakan untuk manusia. Kemudian pada tahun 1980-an,
Smith dan Huggins melaksanakan berbagai percobaan terapi fage (Abedon 2008).
2.3 Uji In-vivo
2.3.1 Paparan Alergi dan Respon Tubuh 2.3.1.1 Alergen
Istilah alergi adalah keadaan respon immun yang menyimpang atau respon
immun berlebihan terhadap suatu substansi atau antigen (Despopoulos dan
Silbernagl 2003). Alergi dikenal juga dengan istilah reaksi hipersensitivitas.
Secara definitif, alergi diartikan sebagai reaksi immunologi terhadap antigen
(benda asing) secara tak wajar pada seseorang yang sebelumnya terpapar oleh
antigen yang bersangkutan. Sedangkan Roitt's (2001) mendefinisikan alergi
sebagai respon hipersensitivitas yang diakibatkan bahan asing yang dapat
menimbulkan gangguan immun pada tubuh. Respon alergi adalah reaksi
perlawanan yang dapat berulang terhadap suatu bahan yang diperantarai oleh
respon immunologis (Gambar 8).
Gambar 8 Mekanisme paparan alergen pada tubuh (Ningrum 2009)
Zat atau senyawa yang dapat menimbulkan reaksi alergi disebut alergen.
19
susu sapi, kacang-kacangan, gandum, ikan, kerang-kerangan dan jenis makanan
seperti coklat, jeruk, daging, kentang, apel dan tomat, antigen, vaksin, obat dan
parasit (Corwin 2008). Senyawa ideal yang dapat bersifat alergen mempunyai
berat molekul 10.000 sampai 70.000 Dalton. Berat molekul yang kurang dari
10.000 Dalton dapat bersifat alergen apabila berikatan dengan protein pembawa
alergen.
2.3.1.2 Klasifikasi Reaksi Alergi
Reaksi alergi terdiri dari dua jenis yaitu reaksi tertunda (delayed) dan
langsung (immediate). Reaksi alergi tertunda biasanya bersifat lokal sedangkan
reaksi alergi langsung bersifat lebih serius dan tidak hanya melibatkan kulit, tetapi
juga permukaan mukosa (Roitt's 2008). Waktu untuk memunculkan reaksi alergi
sejak terpapar alergen pada reaksi alergi tertunda sekitar 6 jam sampai 2 hari,
sedangkan pada reaksi langsung antara beberapa menit hingga 1 jam. Jalur
immunologis dan perantara yang terlibat pada kedua jenis reaksi alergi berbeda.
Reaksi alergi tersebut oleh Gell dan Coombs dibagi dalam 4 tipe reaksi
menurut kecepatannya dan mekanisme immun yang terjadi (Kuby 2007; Roitt's
2008). Reaksi tipe I disebut juga reaksi cepat, reaksi anafilaksis atau reaksi alergi
yang segera timbul sesudah alergen masuk ke dalam tubuh. Alergen yang masuk
ke dalam tubuh akan menimbulkan respon immun dengan disintesisnya IgE yang
disebut proses sensitisasi. Kemudian IgE diikat oleh reseptor Fc pada permukaan
sel mast dan basofil.
Apabila tubuh sudah tersensitisasi tersebut terpapar oleh alergen yang
sama, alergen tersebut akan membentuk ikatan dengan IgE pada permukaan sel
mast dan sel basofil. Setiap alergen terikat oleh dua atau lebih molekul IgE (cross
linking) (Despopoulos dan Silbernagl 2003). Kuatnya ikatan tersebut
menyebabkan terjadinya reaksi-reaki biokimia dalam sel.
Roitt's (2008) menjelaskan bahwa contoh reaksi tipe I adalah alergi
terhadap makanan. Alergi makanan biasanya ditimbulkan oleh reaksi yang
diperantarai oleh IgE. Sintesis IgE pada individu yang alergi terjadi sebagai akibat
dari adanya respon immunologi terhadap alergen yang masuk ke dalam tubuh
terhadap protein makanan yang masuk ke dalam tubuh adalah sintesis IgD, IgA,
IgM atau IgG (Kuby 2007).
Reaksi alergi tipe II merupakan reaksi alergi sitotoksik yang terjadi karena
dibentuknya antibodi jenis IgG dan IgM terhadap antigen. Antibodi tersebut dapat
mengaktifkan komplemen dan sel fagosit sehingga menimbulkan lisis
(Despopoulos dan Silbernagl 2003). Sebagian kerusakan jaringan pada penyakit
autoimmun juga ditimbulkan melalui mekanisme reaksi tipe II.
Gambar 9 Reaksi alergi dan tanggap tubuh terhadap alergen (Nature 2006)
Reaksi alergi tipe III disebut juga reaksi kompleks immun terjadi akibat
penimbunan kompleks antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah.
Biasanya antibodi yang terlibat adalah jenis IgG. Kompleks antigen-antibodi
tersebut mengaktifkan komplemen yang kemudian melepas Macrophage
Chemotactic Factors (Roitt's 2008).
Reaksi hipersensitifitas lambat atau tipe IV timbul lebih dari 24 jam
21
disensitisasi terhadap antigen tertentu. Dalam keadaan ini tidak ada peranan
antibodi (Corwin 2009).
2.3.1.3 Antibodi
Antibodi atau immunoglobulin (Ig) adalah golongan protein yang
dibentuk oleh sel plasma akibat kontak dengan antigen. Antibodi jenis IgE,
pertama kali ditemukan oleh Ishizaka. IgE atau antibodi reagenik mempunyai
berat molekul 200.000 dalton. Kadar IgE ditemukan dalam serum paling sedikit,
akan tetapi efeknya sangat nyata. Kadar IgE normal dalam serum orang Swedia
(0,1-178 IU/ml) dan untuk orang Indonesia (0-<120 IU/ml). Antibodi jenis IgE
ini banyak dihasilkan terutama pada traktus respiratorius, gastrointestinal dan
merupakan bagian dari antibodi sistem sekterotis eksternal, seperti halnya IgA
(Despopoulos dan Silbernagl 2003).
Individu yang menderita alergi dapat dicirikan dengan tingginya kadar IgE
akibat stimulasi oleh antigen seperti debu, tepung sari, jamur atau makanan.
Antibodi jenis IgE akan berikatan dengan kuat (high affinity) pada reseptor Fce
(FceRl) pada sel mast dan sel basofil, sedangkan low affinity terjadi pada reseptor
FceR (FceR2) pada sel limfosit, mast, eosinofil dan platelet (Kuby 2007).
2.3.1.4 Sel Mast dan Basofil
Jumlah sel basofil yang ditemukan dalam sirkulasi darah sangat sedikit,
yaitu kurang dari 0.5% dari seluruh darah putih. Sel basofil diduga berfungsi
sebagai sel fagosit, tetapi yang jelas sel tersebut berfungsi sebagai sel mediator.
Sel Mast adalah sel yang dalam struktur, fungsi dan proliferasinya sama dengan
basofil (Kuby 2007).
Berbeda dengan basofil, sel mast hanya dapat ditemukan di jaringan
khususnya paling banyak ditemukan pada permukaan jaringan seperti kulit.
Kandungan sel mast pada kulit yaitu 104 sel /mm3, kemudian pada alveoli
paru-paru 106 sel/gram jaringan, gastrointestinal, mukosa dan membran mukosa nasal.
Seperti halnya sel mast, sel basofil juga mempunyai reseptor dengan afinitas yang
tinggi untuk IgE, kira-kira 270.000 reseptor FceRl terdapat dalam permukaan sel.
Pada kulit, baik sel basofil maupun sel mast dapat melepaskan bahan-bahan
permeabilitas vaskuler, respon inflamasi, mengerutkan otot polos bronkus dan
Iain-lain (Kuby 2007).
Sel mast dan basofil akan melepaskan mediatornya apabila diaktifkan oleh
alergen spesifik dengan mekanisme IgE. Selain itu, dapat juga diaktifkan dengan:
1. Sel yang dapat merangsang pelepasan histamin: sel neutrofil, eosinofil,
limfosit, makrofag, trombosit,sel endotel.
2. Rangsangan obat: opionid, antibiotik, kontras pelemas otot.
3. Hipoksia
4. Komponen Ca-Ionophor (A-23187)
5. Anafilatoksin (polipeptida basa) : C3a, C4a dan C5a
6. Rangsangan fisis : panas, sinar matahari, dingin dan tekanan
7. Sitokin : Interleukin-1 (IL-1), Interleukin-3 (IL-3) dan GM-SF
(Granidocyte-Macrophage-Colony-Stimulating Factor)
Mediator yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil terdiri dari 2 jenis yaitu
mediator primer dan sekunder. Mediator primer sudah tersimpan dalam granula
sel dan mediator sekunder disintesis setelah aktivasi sel sasaran atau dilepaskan
pada saat kerusakan fospolipid membran dalam proses degranulasi (Kuby 2007).
2.3.2 Uji Keamanan
2.3.1.1 Keamanan dan Toksisitas
Pada penelitian ini dilakukan uji keamanan terhadap fage. Uji keamanan
pada fage untuk mengetahui ada tidaknya efek toksik/racun yang terdapat pada
fage apabila digunakan sebagai bahan tambahan pada bahan pangan. Uji toksisitas
yang diteliti pada hewan percobaan biasanya untuk mengevaluasi keamanan dari
kandungan dari suatu bahan untuk penggunaan produk rumah tangga, bahan
tambahan makanan, kosmetik, obat-obatan, dan sediaan biologi. Pada penelitian
ini dilakukan uji keamanan pada fage selama 15 hari.
Uji keamanan dimaksudkan untuk mendapatkan informasi tentang gejala
keracunan dan efek suatu bahan pada tubuh. Uji keamanan dalam penelitian ini
bertujuan mengukur efek yang merugikan yang timbul segera sesudah pemberian
suatu bahan sebagai dosis tunggal. atau berulang yang diberikan dalam 24 jam.
23
(2001) penelitian uji keamanan ini paling sedikit menggunakan 4 hewan uji.
Dosis terendah merupakan dosis yang tidak menyebabkan timbulnya efek atau
gejala keracunan, dan dosis tertinggi merupakan dosis yang menyebabkan
kematian semua (100%) hewan uji.
Pada penelitian ini dilakukan pengujian tingkat keamanan suatu bahan.
Cara pemberian obat atau bahan yang diteliti harus disesuaikan dengan
pemberiannya pada manusia, sehingga dapat mempermudah dalam melakukan
ekstrapolasi dari hewan ke manusia (Suckow 2001). Informasi yang didapatkan
seperti hematologi, histologi dan pathogenesis, dapat menjelaskan adanya suatu
proses aman atau tidaknya bahan bila masuk ke dalam tubuh hewan coba selama
perlakuan.
2.3.1.2 Absorpsi, Distribusi, dan Ekskresi Alergen
Jalur utama bagi penyerapan alergen adalah saluran cerna, paru-paru
dan kulit. Banyak alergen dapat masuk ke saluran cerna bersama makanan dan air
minum, atau secara sendiri sebagai obat atau zat kimia lain. Kecuali zat yang
kaustik, sebagian besar toksikan tidak menimbulkan efek toksik kecuali kalau
mereka diserap. Absorpsi usus akan lebih tinggi lagi dengan lebih lamanya waktu
kontak dan luasnya daerah permukaan vili dan mikrovili usus (Kuby 2007).
Alergen mencapai hati melalui sistem vaskuler. Di dalam hati, alergen
mengalami biotransformasi. Hasil dari biotransformasi tersebut dapat berupa
metabolit aktif dari alergen tersebut atau berupa senyawa lainnya yang merupakan
produk sampingannya. Metabolit aktif atau senyawa sampingannya tersebut dapat
mempengaruhi fisiologi hati bila bersifat toksik. Sebagai akibatnya, fungsi hati
dapat terganggu, seperti menurunnya kemampuan sintesa protein, hambatan
konjugasi bilirubin, dan timbulnya lesi pada hepatosit yang semakin lama
berkembang menjadi nekrosis yang meluas (Kuby 2007).
Ginjal membuang alergen dari tubuh dengan mekanisme yang serupa
dengan mekanisme yang digunakan untuk membuang hasil akhir metabolisme
faali, yaitu dengan filtrasi glomerulus, difusi tubuler, dan sekresi tubuler. Kapiler
glomerulus memiliki pori-pori yang besar (70 nm) karena itu, sebagian besar
berat molekul 60.000 Dalton) atau yang terikat erat pada protein plasma. Alergen
dalam filtrat glomerulus akan mengalami reabsorps di sel-sel tubulus bila
koefisien partisi tinggi. Suatu alergen diekskresikan lewat tubulus ke dalam urin
melalui mekanisme difusi pasif (Roitt's 2001).
Hati juga merupakan alat tubuh yang penting untuk ekskresi alergen. terutama
untuk senyawa yang polaritasnya tinggi dan yang terikat pada protein plasma.
Umumnya, alergen tersebut tidak akan diserap kembali ke dalam darah, hanya
dikeluarkan melalui feses (Kuby 2007).
2.3.1.3 Efek Toksikan pada Tubuh
Efek toksik sangat bervariasi baik dalam sifat maupun mekanisme
kerjanya. Semua efek toksik terjadi karena interaksi biokimiawi antara toksikan
(dan/atau metabolitnya) dengan struktur reseptor tertentu dalam tubuh. Struktur itu
dapat bersifat nonspesifik, seperti jaringan yang berkontak langsung dengan bahan
korosif. Tetapi seringkali strukturnya itu spesifik, misalnya struktur subseluler
tertentu. Beberapa bahan kimia dapat menyebabkan lesi pada tempat bahan itu
bersentuhan dengan tubuh. Umumnya toksikan hanya mempengaruhi satu atau
beberapa organ saja. Organ seperti itu disebut sebagai target organ (Roitt's 2001).
Efek toksik disebut reversibel jika efek itu dapat hilang dengan sendirinya.
Sebaliknya, efek bersifat irreversibel bila menetap atau justru bertambah parah
setelah pajanan toksikan dihentikan. Efek irreversibel ini di antaranya adalah
karsanoma, mutasi, kerusakan saraf, dan sirosis hati. Efek toksikan dapat
reversibel bila tubuh terpajan pada kadar yang rendah atau untuk waktu yang
singkat. Sementara. efek ireversibel dapat dihasilkan pada pajanan dengan kadar
yang lebih tinggi atau waktu yang lebih lama efek morfologis berkaitan dengan
perubahan bentuk luar dan mikroskopis pada morfologi jaringan. Berbagai efek
jenis ini, misalnya nekrosis dan neoplasia, bersifat ireversibel dan berbahaya.
Efek fungsional biasanya berupa perubahan reversibel pada fungsi organ sasaran.
Karenanya, pada penelitian toksikologi fungsi hati dan ginjal juga diperiksa. Uji
keamanan sangat berharga untuk memantau efek toksik pada organ sasaran dalam
25
2.3.1.4 Efek Toksikan pada Fungsi Ginjal
Ginjal mamalia adalah sebuah organ yang sangat kompleks, baik secara
anatomis maupun fisiologis. Selain fungsi utamanya yaitu ekskretorik. ginjal
berperan besar dalam mempertahankan homeostasis tubuh, dengan mengatur
volumen cairan ekstraseluler dan komposisi elektrolit tubuh (Corwin 2009).
Urin adaiah jalur utama ekskresi sebagian besar toksikan. Akibatnya,
ginjal mempunyai volume aliran darah yang tinggi, yang mengkonsentrasikan
toksikan pada filtrat dan membawa toksikan melalui sel tubulus. Karenanya, ginjal
adalah target organ utama dari efek toksik. Beratnya beberapa efek yang
diakibatkan oleh toksikan beragam dari satu perubahan biokimia atau lebih
sampai kematian sel, dan efek ini dapat muncul sebagai perubahan kecil pada
fungsi ginjal atau gagal ginjal total (Kuby 2007).
Suatu bahan yang bersifat toksik dapat mengakibatkan gagal ginjal akut,
apabila diberikan dalam dosis tertentu pada jangka waktu yang singkat. Keadaan
ini disebut sebagai nephrotoxic acute renal failure. Kerusakan yang ditimbuikan
terjadi pada nefron, unit terkecil dari ginjal. Nefrotoksik menyebabkan iskemia
dan nekrosis fokal pada epitel tubulus, sehingga tubulus ginjal terlepas dari
membrana basalis. Nekrosis paling parah terjadi pada tubulus proksimal yang
menyebabkan kerusakan ginjal (Brady dan Brenner 2001).
Pemeriksaan fungsional ginjal secara rutin dilakukan sebagai bagian
integral dari penelitian toksisitas jangka pendek dan jangka panjang. Parameter
fungsi ginjal dapat diamati dari analisis darah seperti kadar nitrogen urea darah
(Blood Urea Nitrogen, BUN) atau ureum dan kreatinin. Nitrogen urea darah
diperoleh dari metabolisme protein normal dan diekskresi melalui urin. Ureum
yang meningkat menunjukkan kerusakan glomerulus. Kadar ureum juga dapat
dipengaruhi oleh kurangnya zat makanan dan hefatotoksisitas yang merupakan efek
umum beberapa toksikan. Sedangkan kreatinin adaiah suatu metabolit kreatin dan
diekskresi seluruhnya dalam urin melalui filtrasi glomerulus. Meningkatnya kadar
kreatinin dalam darah merupakan indikasi rusaknya fungsi ginjal, yang seringkali
2.3.1.5 Efek Toksikan pada Fungsi Hati
Hati adalah organ terbesar dan secara metabolisme paling kompleks di
dalam tubuh. Organ ini terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian
besar obat dan toksikan. Toksikan biasanya dapat mengalami detoksifikasi, tetapi
banyak toksikan dapat dibioaktifkan dan menjadi lebih toksik. Sebagian besar
toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal, dan setelah diserap,
toksikan dibawa oleh vena porta hati ke hati. Hati mempunyai banyak tempat
pengikatan. Kadar enzim yang melakukan metabolisme xenobiotik dalam hati
juga tinggi ini membuat sebagian besar toksikan menjadi kurang toksik dan lebih
mudah larut air, dan karenanya lebih mudah diekskresikan. Tetapi dalam beberapa
kasus, toksikan diaktifkan sehingga dapat menginduksi lesi. Beberapa enzim
serum digunakan sebagai indikator kerusakan hati. Bila terjadi kerusakan hati,
enzim ini dilepaskan ke dalam darah dari sitosol dan organel subsel, seperti
mitokondria, lisosom, dan nukleus. Alanine transaminase/serum glutamic-pyruvic
transaminase (SGPT) dan serum glutamic-oxaloacetic transaminase/aspartat
transaminase (SGOT) meningkat nyata sekali pada keadaan nekrosis hati akut
(Kuby 2007).
Kerusakan hati dapat terjadi sebagai akibat dari paparan sejumlah bahan
kimia atau obat-obatan, melalui inhalasi, ingesti, atau parenteral. Bahan yang
bersifat hepatotoksik dapat menyebabkan kerusakan hati secara langsung,
misalnya sebagai radikal bebas atau metabolit antara yang menyebabkan
peroksidasi membran lipid yang pada akhirnya mengakibatkan kerusakan
hepatosit. Obat atau metabolit dapat juga merusak membran sel atau molekul
seluler lainnya, atau mengganggu jalur biokimiawi dan integritas sel.
Hepatitis toksik terjadi pada semua individu yang terpapar toksikan,
sifatnya tergantung pada dosis. Periode laten antara paparan dengan kerusakan hati
umumnya singkat, antara 24 hingga 48 jam. Bahan penyebabnya bisa bersifat
sistemik atau dirubah menjadi metabolitnya di dalam hati. Reaksi
hipersensitivitas timbul juga pada penderita hepatotoksik (Corwin 2009).
Secara mikroskopis, pada kerusakan hati setelah paparan toksikan dalam
dosis tinggi dan waktu yang singkat atau akut, akan tampak akumulasi lemak