PENDEKATAN OPTIMASI DINAMIK
DISERTASI
SLAMETTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PENDEKATAN OPTIMASI DINAMIK
DISERTASI
SLAMETTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan
dalam disertasi saya yang berjudul:
ANALISIS EKONOMI DAN HIDROLOGI
PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR WADUK JUANDA OLEH PERUSAHAAN UMUM JASA TIRTA II: PENDEKATAN
OPTIMASI DINAMIK
merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi sendiri dengan pembimbingan
Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan dengan rujukannya.
Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program yang
sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah
dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Januari 2012
Slametto
Slametto. Economic and Hydrology Analysis of Water Resources Management Juanda Reservoir by Jasa Tirta II State Corporation: Dynamic Optimization
Approach (Yusman Syaukat as Chairman, Wilson H. Limbong and
Mochammad Amronas Members of the Advisory Committe).
Rapid population growth, urban development, and food demand have increased pressure on water demand over time. The stock of water resources has became limited, not only in terms of quantity, but also quality. This scarcity has increased intersectoral water demand in Jatiluhur Irrigation Area. The objectives of this research are (1) to evaluate of the existing and optimal water allocation, (2) to estimate total net social benefit generated from distributing water by Jasa Tirta II State Corporation, and (3) to evaluate raw water tariffs charged to users, namely electricity generator, municipal water utilities (Jakarta, Karawang, Bekasi, Subang and Indramayu), industries.
Primary and secondary data are collected for the period of 10 years and used in this research and a dynamic optimization approach is applied. The study area includes the area of Juanda Reservoir and Jatiluhur Irrigation Areas, which include East Tarum, North Tarum, and West Tarum canals. Water resource user sectors, namely the irrigation sector, water companies regency / municipality sector, industry sector, and the Regional Water Company of Jakarta sector. The analytical method used is a dynamic optimization approach.
The results showed that (1) optimal allocation of water to the agricultural sector is more efficient than the actual allocation, so more water can be allocated for the other sectors, (2)
In order to improve the benefits of water, the Ministry of Public Work should allocate sufficient funding for rehabilitate the infrastructure, including to reduce sedimentation in the dam and its irrigation networks,
simulation on the levels of water allocated for irrigation results in more economic water distribution which generates higher social benefits, and (3) optimal water allocation implies optimal values of water that can be used to determine the tariff of water charges to different users.
and second the Jasa Tirta II State Corporation should include user cost of the water in determining the tariff of water.
dilengkapi dengan Waduk Juanda dan sistem irigasi yang mampu mengairi daerah pertanian seluas 240 ribu hektar. Tujuan awal pembangunan Daerah Irigasi Jatiluhur adalah pemanfaatan sumberdaya air sungai Citarum untuk meningkatkan penyediaan pangan dan pengendalian banjir. Sesuai dengan perkembangannya, pemanfaatan air Daerah Irigasi Jatiluhur telah menjadi pemasok air baku bagi kepentingan air minum, rumah tangga, municipal, dan industri serta PLTA. Wilayah sekitar Citarum memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi, jumlah penduduk yang besar, dan sumber air yang terus berkurang. Hal ini menimbulkan kelangkaan air dan menjadikannya barang ekonomi (economic good). Di lain pihak, sarana dan prasarana saat ini sudah tidak berfungsi dengan baik. Biaya operasional dan pemeliharaan Perum Jasa Tirta II didapat dari penerimaan para pengguna air dengan tarif yang ditetapkan Pemerintah yang kemungkinan terlalu rendah. Sehubungan dengan itu, tujuan penelitian untuk (1) membangun model pola alokasi optimal sumberdaya air di Daerah Irigasi Jatiluhur, (2) membandingkan pola distribusi air antara kondisi saat ini dengan beberapa pola alternatif yang dapat meningkatkan manfaat sosial bersih dari sumberdaya air, (3) mengestimasi nilai ekonomi dari sumberdaya air untuk setiap sektor pengguna, dan (4) mengestimasi peningkatan nilai manfaat sosial bersih dari berbagai pola alokasi. Hal ini dimaksudkan untuk melakukan efisiensi ekonomi tentang pengelolaan sumberdaya air di Daerah Irigasi Jatiluhur agar dapat dimanfaatkan secara optimal.
digunakan untuk dapat menghasilkan manfaat, alokasi, dan nilai air yang optimum. Periode waktunya selama 16 tahun, tahun 2010─2025 dalam arti untuk rencana selama 16 tahun ke depan.
Agar dapat mengambil keputusan terbaik dan memberikan gambaran pilihan, perlu dibuat skenario kebijakan. Skenario itu dilihat dari sisi tingkat pertumbuhan ekonomi 5 persen dan 10 persen. Masing-masing dilihat bila tingkat diskonto: 5 persen, 10 persen dan 15 persen. Kemudian, dibuat skenario dengan penggunaan air untuk irigasi bila dibuat kuota: 85 persen, 80 persen, 70 persen, atau 60 persen. Sebagai landasan atau ’based line’ untuk memperbandingkan dengan skenario kuota, skenario dibuat dengan tidak menggunakan kuota tetapi diserahkan kepada sistem yang dikenal sebagai Social Planner. Tiap-ttiap skenario dibuat per sektor pengguna air, yaitu: listrik, irigasi, Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten/Kota, industri dan Perusahaan Air Minum DKI Jakarta. Dari sisi wilayah pemasok air, dipilih Waduk Juanda, Tarum Timur, Tarum Utara dan Tarum Barat. Untuk software komputer yang terkait digunakan General Algebraic Modeling System (GAMS). Software GAMS mampu menyelesaikan masalah optimasi termasuk mencari optimasi net social benefit.
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini
tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau
PENDEKATAN OPTIMASI DINAMIK
SLAMETTO
DISERTASI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Anggota Luar Ujian Komisi Ujian Tertutup:
1. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS
Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor;
2. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS
Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Anggota Luar Ujian Komisi Ujian Terbuka:
1. Dr. Ir. Roestam Sjarief, MNRM
Komisaris Utama Dewan Komisaris PT Nindya Karya (Persero), Kementerian Pekerjaan Umum;
2. Dr. Ir. Sumaryanto, MS
Nama Mahasiswa : Slametto
Nomor Pokok : A.161040304
M
Meennyyeettuujjuuii::
1
1..KKoommiissiiPPeemmbbiimmbbiinngg
Ketua
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec
Anggota
Prof. Dr. Ir. W. H. Limbong, MS
Anggota
Dr. Ir. Mochammad Amron, M.Sc
M
Meennggeettaahhuuii::
2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian,
3. Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, MA Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
T
TaannggggaallUUjjiiaann:: 1177JJaannuuaarrii22001122 TTaannggggaallPPeennggeessaahhaann::
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya
dengan rahmat dan kasih-Nya, disertasi ini dapat diselesaikan. Tujuan penelitian
adalah menghasilkan bahan guna melakukan efisiensi ekonomi tentang
pengelolaan sumberdaya air Waduk Juanda. Secara spesifik tujuan penelitian ini
adalah untuk (1) membangun model pola alokasi optimal sumberdaya air di
Daerah Irigasi Jatiluhur, (2) membandingkan pola distribusi air antara kondisi saat
ini dengan beberapa pola alternatif yang adapt meningkatkan manfaat sosial
bersih dari sumberdaya air, (3) mengestimasi nilai ekonomi dari sumberdaya air
untuk setiap sektor pengguna, dan (4) mengestimasi peningkatan nilai manfaat
sosial bersih dari berbagai pola alokasi. Analisis dilakukan dengan menggunakan
data primer dan sekunder dari berbagai sumber, sedangkan metodenya
menggunakan pendekatan optimasi dinamik.
Pada kesempatan ini penulis bermaksud menyampaikan penghargaan dan
terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec sebagai ketua Komisi Pembimbing, yang telah
mengarahkan penulis sejak penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian
sampai dengan selesainya penyusunan disertasi sekaligus membimbing
pemodelan dengan optimasi dinamik menggunakan program GAMS dengan
penuh kesabaran;
2. Prof. Dr. Ir. W. H. Limbong, MS sebagai anggota Komisi Pembimbing yang
telah memberikan pengarahan permasalahan ekonomi dan penulisan disertasi
penyusunan proposal hingga penyelesaian disertasi;
4. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA sebagai ketua Program Studi Ilmu
Ekonomi Pertanian IPB, serta dosen-dosen di program studi Ilmu Ekonomi
Pertanian IPB, yang selalu mendorong penulis untuk segera menyelesaikan
studi ini;
5. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS, dan Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS sebagai penguji
luar komisi ujian tertutup;
6. Dr. Ir. Roestam Sjarief, MNRM, dan Dr. Ir. Sumaryanto, MS sebagai penguji
luar komisi ujian terbuka;
7. Rekan-rekan Program Studi S3 EPN Khusus, Angkatan II dan Angkatan
Reguler yang selalu memberikan motivasi dan saran dalam kaitannya dengan
penyelesaian disertasi dan studi ini;
8. Rekan-rekan di Sekretariat EPN, yang selalu memberi motivasi dan
membantu kelancaran administrasi;
9. Rekan-rekan Mahasiswa S1, S2, S3, dan Alumni IPB yang tidak dapat kami
sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu studi kami di S3 Institut Pertanian Bogor;
10. Jajaran direksi, pejabat, dan karyawan Perusahaan Umum Jasa Tirta II atas
segala bantuannya selama penulis melakukan penelitian;
11. Isteri serta anak-cucu tercinta yang dengan pengertiannya telah dengan sabar
menunggu.
Kepada semuanya yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, selain
masukan dari para pembaca untuk kesempurnaan penelitian sejenis atau terkait di
masa datang akan berguna. Penulis berharap agar penelitian ini dapat memberikan
manfaat bagi masyarakat dan bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Penulis dilahirkan pada tanggal 15 Juni1945 di Klaten dan memiliki orang
tua yang bernama Moeslam Sonosuwarno (Almarhum) dan Lasiyem
Sonosuwarno (Almarhumah).
Pendidikan Strata 1 diperoleh pada tahun 1973 pada jurusan Matematika,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gadjah Mada.
Pendidikan Strata 2 diperoleh pada tahun 1997 pada program Studi
Pembangunan Institut Teknologi Bandung. Dilanjutkan sebagai mahasiswa
program Strata 3 di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor Tahun 2004.
Pada tahun 1973 penulis mulai bekerja di Departemen Pekerjaan Umum
sebagai Counterpart Konsultan Proyek Irigasi bantuan Internationl Development
Agency. Tahun 2004─2010 sebagai Direktur Pengelolaan Perum Jasa Tirta II
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena hanya
dengan rahmat dan kasih-Nya, disertasi ini dapat diselesaikan. Tujuan penelitian
adalah menghasilkan bahan guna melakukan efisiensi ekonomi tentang
pengelolaan sumberdaya air Waduk Juanda. Secara spesifik tujuan penelitian ini
adalah untuk (1) membangun model pola alokasi optimal sumberdaya air di
Daerah Irigasi Jatiluhur, (2) membandingkan pola distribusi air antara kondisi saat
ini dengan beberapa pola alternatif yang adapt meningkatkan manfaat sosial
bersih dari sumberdaya air, (3) mengestimasi nilai ekonomi dari sumberdaya air
untuk setiap sektor pengguna, dan (4) mengestimasi peningkatan nilai manfaat
sosial bersih dari berbagai pola alokasi. Analisis dilakukan dengan menggunakan
data primer dan sekunder dari berbagai sumber, sedangkan metodenya
menggunakan pendekatan optimasi dinamik.
Pada kesempatan ini penulis bermaksud menyampaikan penghargaan dan
terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec sebagai ketua Komisi Pembimbing, yang telah
mengarahkan penulis sejak penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian
sampai dengan selesainya penyusunan disertasi sekaligus membimbing
pemodelan dengan optimasi dinamik menggunakan program GAMS dengan
penuh kesabaran;
2. Prof. Dr. Ir. W. H. Limbong, MS sebagai anggota Komisi Pembimbing yang
telah memberikan pengarahan permasalahan ekonomi dan penulisan disertasi
penyusunan proposal hingga penyelesaian disertasi;
4. Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA sebagai ketua Program Studi Ilmu
Ekonomi Pertanian IPB, serta dosen-dosen di program studi Ilmu Ekonomi
Pertanian IPB, yang selalu mendorong penulis untuk segera menyelesaikan
studi ini;
5. Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS, dan Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS sebagai penguji
luar komisi ujian tertutup;
6. Dr. Ir. Roestam Sjarief, MNRM, dan Dr. Ir. Sumaryanto, MS sebagai penguji
luar komisi ujian terbuka;
7. Rekan-rekan Program Studi S3 EPN Khusus, Angkatan II dan Angkatan
Reguler yang selalu memberikan motivasi dan saran dalam kaitannya dengan
penyelesaian disertasi dan studi ini;
8. Rekan-rekan di Sekretariat EPN, yang selalu memberi motivasi dan
membantu kelancaran administrasi;
9. Rekan-rekan Mahasiswa S1, S2, S3, dan Alumni IPB yang tidak dapat kami
sebutkan satu persatu yang telah banyak membantu studi kami di S3 Institut Pertanian Bogor;
10. Jajaran direksi, pejabat, dan karyawan Perusahaan Umum Jasa Tirta II atas
segala bantuannya selama penulis melakukan penelitian;
11. Isteri serta anak-cucu tercinta yang dengan pengertiannya telah dengan sabar
menunggu.
Kepada semuanya yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, selain
juga doa semoga Tuhan Yang Maha Esa yang membalas. Penulis menyadari
bahwa penelitian ini tentu masih belum sempurna. Oleh karena itu, saran dan
masukan dari para pembaca untuk kesempurnaan penelitian sejenis atau terkait di
masa datang akan berguna. Penulis berharap agar penelitian ini dapat memberikan
manfaat bagi masyarakat dan bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
model ASDIJ dapat dikembangkan lebih lanjut dengan memasukkan, yaitu:
1. Memperluas pembuatan model untuk mencari nilai air yang sesungguhnya,
dengan menambah variabel faktor investasi, biaya ekstrasi, biaya
manajemen dan biaya lingkungan dimasukkan.
2. Memperluas pembuatan model dengan menambah variabel untuk mencari
nilai air yang memberikan keseimbangan antar pengguna baik dari segi
jarak maupun besaran penggunaan air.
3. Mempertajam kendala dengan menambah variabel sumberdaya yang ada di
Daerah Irigasi Jatiluhur sehingga dapat memberikan output yang lebih
xv
Halaman
DAFTAR TABEL ... xx
DAFTAR GAMBAR ... xxii
DAFTAR LAMPIRAN ... xxiii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 6
1.3 Tujuan Penelitian ... 11
1.4 Kegunaan Penelitian ... 11
1.5 Ruang Lingkup... 12
1.6 Keterbatasan Penelitian ... 12
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13
2.1 Kelangkaan Air ... 13
2.2 Alokasi Sumber Daya Air... 15
2.2.1 Efisiensi Produksi ... 18
2.2.2 Efisiensi Konsumsi ... 18
2.2.3 Efisiensi Harga ... 18
2.3 Penentuan Harga Air: Tanpa dan Dengan Eksternalitas ... 19
2.4 Permintaan dan Penawaran Air ... 21
2.5 Penentuan Harga Air ... 25
2.5.1 Penetapan Harga Air Berdasarkan Areal ... 28
2.5.2 Penetapan Harga Air Berdasarkan Volume ... 31
2.5.3 Penetapan Harga Air Berdasarkan Blok ... 32
2.5.4 Tarif Dua Bagian ... 33
2.5.5 Pasar Air ... 35
2.5.6 Metode Cost Recovery ... 37
2.6 Penelitian Terdahulu: Model Pengelolaan Sumberdaya Air …… 41
xvi
2.6.4 Model Pengelolaan Sumber Daya Air di Wilayah
Tangkapan Air Bendungan Sutami dan Sengguruh ... 56
2.6.5 Model Pengelolaan Sumberdaya Air dalam Kompetisi antar Sektor di Wilayah Hilir Daerah Irigasi Jatiluhur ... 62
2.6.6 Matrik Model Pengelolaan Satuan Wilayah Sungai ... 68
III. KERANGKA PEMIKIRAN ... 71
3.1 Kerangka Teoretis ... 71
3.1.1 Teori Model Optimasi Dinamik ... 71
3.1.2 Konsep Manfaat dalam Alokasi Sumber Daya Air ... 72
3.1.3 Pendekatan Indek Permintaan dan Nilai Air ... 76
3.1.3.1 Indek Permintaan Air oleh Pengguna ... 76
3.1.3.2 Efisiensi Produksi Air di Saluran ... 76
3.1.3.3 Fungsi Obyektif ... 77
3.1.3.4 Nilai Air Baku ... 78
3.1.3.5 Tarif Berganda ... 79
3.1.3.6 Teori Harga Ramsey ... 80
3.2 Kerangka Pemodelan ... 83
IV. MODEL KONSEPTUAL ALOKASI SUMBER DAYA AIR DI DAERAH IRIGASI JATILUHUR ... 88
4.1 Fungsi Manfaat Marjinal ... 88
4.2 Penerimaan Total Perusahaan Umum Jasa Tirta II ... 89
4.3 Manfaat Total Pengguna Air ... 91
4.3.1 Manfaat Total Sektor Pembangkit Listrik Tenaga Air ... 92
4.3.2 Manfaat Total Sektor Irigasi ... 93
4.3.3 Manfaat Total Sektor Perusahaan Daerah Air Minum untuk Kabupaten/Kota ... 93
4.3.4 Manfaat Total Sektor Industri ... 94
4.3.5 Manfaat Total Sektor Perusahaan Air Minum Daerah Khusus Ibukota Jakarta ... 94
xvii
4.4.2 Biaya Produksi Pembangkit Listrik Tenaga Air ... 97
4.4.3 Biaya Distribusi Air untuk Irigasi ... 97
4.4.4 Biaya Pasok Air Baku ke Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten/Kota ... 97
4.4.5 Biaya Pasok Air Baku ke Sektor industri ... 98
4.4.6 Biaya Pasok Air Baku ke Perusahaan Air Minum Daerah Khusus Ibukota Jakarta ... 98
4.4.7 Biaya Total Seluruh Pengguna Air ... 98
4.5 Fungsi Tujuan ... 99
4.5.1 Model Alokasi Sumber Daya Air Jatiluhur ... 100
4.5.2 Nilai Sekarang Manfaat Sosial Bersih ... 101
4.6 Kendala Air dari Waduk ... 101
4.6.1 Kendala Penyimpanan Air di Waduk ... 102
4.6.2 Kendala Waduk ... 102
4.6.3 Air di Pengguna dan Air Dibuang ke Laut ... 103
4.7 Batasan ... 104 V. METODE PENELITIAN ... 105 5.1 Wilayah Penelitian ... 105
5.2 Metoda Pengumpulan Data ... 105
5.3 Asumsi-Asumsi Dasar Pemodelan ... 106
5.3.1 Asumsi Sistem Irigasi ... 106
5.3.2 Asumsi Perhitungan Air ... 107
5.3.3 Asumsi Tinggi Muka Air Waduk Juanda ... 109
5.3.4 Asumsi Kategori Pengguna Air Waduk Juanda ... 112
5.4 Metoda Analisis ... 115
5.4.1 Analisis Model ... 117
5.4.2 Hubungan Manfaat Marjinal, Biaya Marjinal, dan Biaya Marjinal Pengguna di Sektor-Sektor ... 121
5.4.2.1 Sektor Listrik ... 121
xviii
5.4.2.4 Sektor Industri ... 121 5.4.2.5 Sektor Perusahaan Air Minum Daerah Khusus
Ibukota Jakarta ... 122 5.4.3 Estimasi Manfaat Marjinal dan Biaya Marjinal ... 122 5.4.4 Estimasi Aloaksi Air ... 122 5.4.4.1 Kuota Air Untuk Irigasi ... 123 5.4.4.2 Alokasi Pengguna Air Non Irigasi ... 123 5.4.4.3 Proporsi Pengguna Air ... 123 5.4.5 Konsep Analisis Ekonomi ... 124 5.4.5.1 Nilai Sekarang Manfaat Bersih Optimal ... 124 5.4.5.2 Manfaat Bersih Parsial ... 124 5.4.5.3 Perbandingan Manfaat Antara Kondisi Riil
dengan Model ... 124 5.4.5.4 Manfaat dan Biaya Marjinal serta Biaya Marjinal
Pengguna ... 125 5.5 Skenario-Skenario Kebijakan ... 125 5.5.1 Skenario Kebutuhan Air untuk Irigasi ... 126 5.5.2 Skenario Kondisi Saat Kini atau Status Quo ... 126 5.5.3 Skenario Sesuai Perencana Sosial ... 127 5.5.4 Skenario Kuota Masing-Masing Sektor ... 127 5.5.5 Pengukuran Model untuk Setiap Skenario ... 128
VI. GAMBARAN UMUM DAERAH IRIGASI JATILUHUR…….. 131
6.1 Perekonomian Wilayah Jawa Barat dan Wilayah Sekitar
Daerah Irigasi Jatiluhur ... 131 6.2 Kondisi Sumber Air di Daerah Irigasi Jatiluhur ... 135 6.3 Tata Guna Lahan Daerah Irigasi Jatiluhur ... 137
6.4 Status dan Perkembangan Pengelolaan Daerah Irigasi Jatiluhur. 139
xix
Tirta II... 149 6.7.4 Penetapan Tarif Air ... 152 6.8 Kehilangan Air di Daerah Irigasi Jatiluhur ... 153
VII. HASIL DAN PEMBAHASAN ...
155 7.1 Net Social Benefit dari Fungsi Obyektif ... 155 7.1.1 Nilai Obyektif Setiap Skenario ... 155 7.1.2 Efisiensi Ekonomi ... 160
7.1.3 Benefit/CostRatio... 163 7.2 Alokasi Air Optimum ... 163 7.3 Nilai Air Berdasarkan Manfaat Marjinal ... 169 7.3.1 Nilai Air Irigasi ... 169 7.3.2 Nilai Air Perusahaan Daerah Air Minum Kabupaten
/Kota ... 169 7.3.3 Nilai Air Industri ... 170 7.3.4 Nilai Air Perusahaan Air Minum Daerah Khusus Ibukota
Jakarta ... 172 7.3.5 Nilai Air Pembangkit Listrik Tenaga Air ... 172 7.4 Biaya Marjinal ... 174 7.5 Biaya Marjinal Pengguna ... 174
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 173
8.1 Simpulan ... 173 8.2 Saran Kebijakan ... 173 8.3 Implikasi Kebijakan ... 174 8.4 Saran Penelitian Lanjutan ...
176 DAFTAR PUSTAKA ... 183
LAMPIRAN ...
189
xx
Nomor Halaman
1. Keuntungan dan Kerugian Perusahaan Umum Jasa Tirta II
Menurut Wilayah Tahun 2001─2007 ... 3
2. Matrik Perbandingan Model Pengelolaan Air Secara
Ekonomi ... 69
3. Matrik Volume Air ke Sektor Pengguna dari Wilayah
Pemasok ... 91 4. Koefisien Manfaat Marjinal dan Biaya Marjinal Kuota
Irigasi 60 Persen dan 70 Persen ... 129
5. Koefisien Manfaat Marjinal dan Biaya Marjinal Kuota
Irigasi 80 Persen, 85 Persen, dan Perencana Sosial ... 139
6. Laju Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat Tahun 2003-2007.. 131
7. Produk Domestik Regional Bruto Jawa Barat
Tahun 2003-2007 ... 132
8. Kondisi Perekonomian Daerah Irigasi Jatiluhur
Tahun 2001-2007 ... 133
9. Proyeksi Penduduk di Daerah Irigasi Jatiluhur ... 134
10. Proyeksi Permintaan Air Baku ... 135
11. Rata-Rata Aliran Sungai Citarum ... 137
12. Sawah Irigasi Teknis di Daerah Irigasi Jatiluhur
Tahun 2001-2007 ... 138
13. Rata-Rata Air Keluar dari Waduk Juanda Tahun 2001-2007 141
14. Rata-Rata Jumlah Air dari Wilayah ke Sektor
Tahun 2001-2007 ... 145
15. Biaya Operasi/Pemeliharaan dan Penerimaan Perusahaan
Umum Jasa Tirta II Tahun 2001-2007 ... 151
16. Tarif Listrik, Perusahaan Air Minum Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Perusahaan Air Minum Kabupaten/Kota,
xxi
18. Nilai Sekarang Total Manfaat Bersih Fungsi Obyektif ... 156
19. Persentase Perubahan Total Manfaat Bersih Optimum ... 160
20. Jumlah Air Selama 16 Tahun (2010-2025) Per Sektor menurut Skenario pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5
Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen ... 164
21. Alokasi Optimum Per Sektor dan Per Wilayah... 167
22. Nilai Air Menurut Perencana Sosial pada Tingkat
Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5
Persen ... 171
23. Penerimaan Menurut Perencana Sosial dan Perusahaan
Umum Jasa Tirta II ... 173
24. Biaya Marjinal Estimasi Perencana Sosial pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto
5 Persen ... 175
25. Biaya Marjinal Pengguna Menurut Perencana Sosial pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat
xxii
Nomor Halaman
1. Diagram Kotak Edgeworth Pertukaran ... 16
2. Marginal Rate of Transformation dan Marginal Rate of
Technical Substitution... 19
3. Alokasi Optimal Berdasarkan Marjinal Cost Pricing …... 20
4. Permintaan dan Penawaran Air ... 22 5. Sistem Harga Dual Air ... 23
6. Sistem Harga Dual Air Rasionalisasi Pengguna Urban .... 24
7. Komponen Model, Model Integrasi Hidrolis, dan Ekonomi Pada Satuan Wilayah Sungai di Dong Nai
Basin ... 45 8. Manfaat Marjinal, Biaya Marjinnal dan Biaya Marjinal
Pengguna... 78
9. Ilustrasi Multipart Tarif Decreasing-Block Tariff ... 80 10. Kerangka Pemodelan Penyaluran Sumber Daya Air di
Daerah Irigasi Jatiluhur ... 84
11. Tampungan dan Tinggi Muka Air Waduk Juanda ... 110
12. Perilaku Outflow Waduk Juanda Tahun 1993-2008 ... 111
13. Skema Sistem Pengairan Jatiluhur ... 144
14. Benefit/Cost Ratio Menurut Kuota Air untuk Irigasi 85 Persen, 80 Persen dan Perencana Sosial pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5
xxiii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Tabel Manfaat Marjinal dan Biaya Marjinal Pengguna Per Sektor Per Wilayah dari Status Quo Pada Tingkat
Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5
Persen ... 189
2. Tabel Manfaat Marjinal dan Biaya Marjinal Pengguna Per Sektor Per Wilayah dari Kuota Air Irigasi 80 Persen Pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen dan Tingkat
Diskonto 5 Persen ... 190
3. Grafik Alokasi Air Optimal Berdasar Status Quo Untuk Tiap Sektor Pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5 Persen
dan Tingkat Diskonto 5 Persen ... 191
4. Grafik Alokasi Air Optimal Berdasar Perencana Sosial Untuk Tiap Sektor Pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5
Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen ... 192
5. Grafik Alokasi Air Optimal Berdasar Kuota Air Irigasi 80 Persen Untuk Tiap Sektor Pada Tingkat Pertumbuhan
Ekonomi 5 Persen dan Tingkat Diskonto 5 Persen ... 193
6. Peta Daerah Irigasi Jatiluhur ... 194
7. Contoh Listing Program GAMS Untuk Memecahkan
Optimasi Dinamik dengan Model (ASDIJ) dari Skenario Perencana Sosial Pada Tingkat Pertumbuhan Ekonomi 5
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Daerah Irigasi Jatiluhur terletak di Daerah Aliran Sungai Citarum Provinsi
Jawa Barat. Daerah Irigasi Jatiluhur dibangun oleh Pemerintah Republik
Indonesia pada tahun 1957─1967 yang dilengkapi dengan Waduk Juanda dan
sistem irigasi yang mampu mengairi daerah pertanian seluas kurang lebih 240 000
hektar. Tujuan awal pembangunan Daerah Irigasi Jatiluhur adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya terkait dengan (1) penyediaan
pangan yang dilakukan melalui peningkatan produktivitas lahan dan pemanfaatan
sumberdaya air sungai Citarum, dan (2) pengendalian banjir. Sejalan dengan
perkembangannya, pemanfaatan Daerah Irigasi Jatiluhur telah berubah dari tujuan
awalnya, yaitu sebagai pemasok air bagi kepentingan air minum, rumah tangga,
municipal, dan industri (domestic, municipal, and industry-DMI), serta
pembangkit listrik tenaga air (PLTA) (Perum Jasa Tirta II, 2007).
Seiring dengan perkembangan nasional dan daerah, wilayah Daerah Irigasi
Jatiluhur secara perlahan tumbuh menjadi wilayah perkotaan dan industri dengan
jumlah penduduk yang meningkat pesat, yang menuntut kebutuhan akan air yang
lebih besar bila dibandingkan keadaan sebelumnya. Ketersediaan sumberdaya air
di wilayah tersebut menjadi sangat penting untuk pembangunan ekonomi yang
berkelanjutan sehingga mampu memberikan kontribusi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat baik regional maupun nasional. Pelayanan irigasi
produksi pertanian, terutama padi, sebesar 6 persen dari stok pangan nasional
(BPS, 2004). Pengelola sumberdaya air di Daerah Irigasi Jatiluhur sampai saat ini
dilaksanakan oleh berbagai institusi, dimana pelaksanaannya belum sesuai dengan
yang diharapkan seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumberdaya Air yang mengacu pada pengelolaan sumberdaya air secara
terpadu dengan mempertimbangkan penggunaan sumberdaya tersebut dalam
kaitannya dengan kegiatan dan fungsi sosial dan ekonomi, serta prasarana
pengairan yang diperlukan. Hal ini tampak dari sarana pelayanan irigasi dan
non-irigasi sudah berumur 50 tahun dan sudah tidak berfungsi dengan baik karena
pemeliharaan yang kurang optimal. Dengan unit pembangkit listrik tenaga air juga
sudah berumur 50 tahun itu, biaya operasi dan pemeliharaannya semakin tinggi
sehingga efisiensi penggunaan pembangkit listrik tenaga air sudah menurun. Pada
musim kemarau sumber air telah berkurang yang menyebabkan penurunan
kapasitas saluran akibat sedimentasi dan banyaknya air yang hilang sebagai
konsekuensi dari rusaknya saluran.
Penerimaan Perusahaan Umum Jasa Tirta II bersumber dari air di Waduk
Juanda yang menghasilkan listrik dari pembangkit listrik tenaga air, perusahaan
daerah air minum kabupaten/kota, dan industri, yang digunakan untuk kegiatan
operasi dan pemeliharaan setiap tahunnya ternyata tidak mencukupi. Penerimaan
dari pembangkit listrik tenaga air dan Perusahaan Air Minum DKI Jakarta lebih
besar dari pada biaya yang dikeluarkan, tetapi penerimaan dari perusahaan daerah
air minum kabupaten/kota dan industri lebih kecil dari pada biaya yang
dikeluarkan Perusahaan Umum Jasa Tirta II untuk biaya operasi dan
Tarif yang diberlakukan tidak berdasarkan pada tarif seperti yang
diharapkan, tetapi merupakan penetapan Pemerintah tanpa mempertimbangkan
biaya riil operasi dan pemeliharaan untuk pengelolaan sarana dan prasarana air
tersebut. Rendahnya penerimaan Perusahaan Umum Jasa Tirta II disebabkan oleh
penentuan tarif listrik, air baku untuk Perusahaan Air Minum DKI Jakarta dan
perusahaan daerah air minum kabupaten/kota, serta industri tarifnya ditetapkan
Pemerintah yang diperkirakan terlalu rendah.
Tabel 1. Keuntungan dan Kerugian Perum Jasa Tirta II Menurut Wilayah Tahun 2001-2007
No. Wilayah
Nilai Keuntungan dan Kerugian (Rp miliar)
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
1. PLTA 66.99 77.21 40.18 60.14 87.90 87.43 87.33 2. Tarum Timur -1.66 -1.46 -2.64 -1.49 -3.73 -4.30 -4.30 3. Tarum Utara -6.44 -5.45 -6.61 -6.90 -8.47 -9.48 -10.27 4. Tarum Barat -9.71 -8.98 -9.23 -9.68 -12.82 -7.64 -15.90
5.
Perusahaan Air Minum DKI Jakarta
13.74 18.06 25.04 27.73 35.98 45.92 45.53
6. Total 62.92 79.38 46.73 69.81 98.86 111.92 102.37 Sumber: Perusahaan Umum Jasa Tirta II, 2008
Sebagai contoh tarif yang ditetapkan pemerintah, untuk listrik sebesar
Rp 137.77/kWh, Perusahaan Air Minum DKI Jakarta sebesar Rp 127.23/m3,
sementara itu, tarif perusahaan daerah air minum kabupaten/kota sebesar
Rp 45/m3 dan tarif industri sebesar Rp 50/m3. (Perusahaan Umum Jasa Tirta II,
2008). Untuk kepentingan irigasi, menurut Undang-undang tidak dikenakan tarif.
dalam melakukan operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi di Daerah Irigasi
Jatiluhur untuk dapat memasok air kepada semua pemangku kepentingan dengan
baik.
Biaya operasi dan pemeliharaan yang dikeluarkan oleh Perusahaan Umum
Jasa Tirta II selama 7 tahun, bukan merupakan biaya operasi dan pemeliharaan
yang seharusnya, melainkan biaya yang disesuaikan dengan kondisi keuangan
perusahaan terutama biaya pemeliharaan yang bersifat darurat, misalnya
mengurangi kebocoran di seluruh jaringan(Perusahaan Umum Jasa Tirta II,
2008). Kegiatan operasi diutamakan untuk mengatur air agar tidak terjadi konflik
kepentingan, melakukan alokasi air agar dapat dilakukan secara efisien, dan
melaksanakan pengawasan terhadap masyarakat dalam pemanfaatan air.
Pemeliharaan dilakukan terhadap prasarana yang ada agar saluran dapat berfungsi
lebih baik. Pemeliharaan yang bersifat permanen dan rehabilitasi infrastruktur di
Daerah Irigasi Jatiluhur masih ditangani oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah. Infrastruktur yang ada ketika penelitian ini dilakukan hanya berfungsi
sekitar 60─70 persen dari kondisi ideal (Nippon Koei, 2006). Nippon Koei
mengemukakan bahwa biaya untuk pemeliharaan dan rehabilitasi seluruh
komponen jaringan irigasi yang menjadi tanggung jawab perusahaan belum dapat
dilakukan, sedangkan rehabilitasi saluran induk Tarum Timur, Tarum Utara, dan
Tarum Barat, serta saluran sekundernya agar dapat berfungsi ke kondisi ideal
ternyata memerlukan biaya lebih dari US$200.00 juta yang dilaksanakan selama 5
tahun. Kondisi sarana yang kurang memadai, karena menurunnya debit sungai
Citarum dan mengeringnya sungai-sungai lain di Daerah Irigasi Jatiluhur,
Umum Jasa Tirta II tidak dapat menjangkau seluruh wilayah pelayanan untuk
semua sektor, khususnya irigasi. Permintaan akan air baku untuk sektor
perusahaan daerah air minum kabupaten/kota dan industri dari tahun ke tahun
meningkat terus. Perusahaan Umum Jasa Tirta II telah melakukan perjanjian
kerja sama dengan perusahaan daerah air minum kabupaten/kota dan industri.
Pasokan air ke pengguna tersebut akan menjadi prioritas dan memberikan
penerimaan yang dapat digunakan untuk menutupi biaya operasional perusahaan.
Hal ini menimbulkan konflik kepentingan antara perusahaan dan sektor-sektor
pengguna air (Katiandagho, 2007). Kondisi ini membutuhkan pengelolaan
sumberdaya air secara lebih efisien untuk memenuhi seluruh sektor pengguna air,
baik pertanian maupun non pertanian. Perum Jasa Tirta II mempunyai peran yang
penting dalam mengelola sumberdaya air tersebut.
Peningkatan penduduk dan pertumbuhan perkotaan di sekitar Daerah
Irigasi Jatiluhur telah menimbulkan permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya
air. Selain debit dan sarana yang menjadi penyebab layanan kurang maksimal,
pertambahan penduduk di wilayah hilir Sungai Citarum menyebabkan
peningkatan permintaan air terutama dari sektor non-pertanian. Jumlah penduduk
yang terus meningkat dan pertumbuhan di bidang industri menyebabkan
meningkatnya kebutuhan akan air. Sistem jaringan yang semula dirancang untuk
penyediaan air irigasi, sebagian dialihkan untuk memenuhi kebutuhan domestik
dan industri. Oleh sebab itu, air di wilayah Sungai Citarum menjadi sumberdaya
yang langka (scarce) dan telah menjadi komoditas ekonomi yang mempunyai
posisi strategis dan menjadi suatu ‘bisnis yang serius’ (Bloomquist, 1992).
jumlah penduduk yang besar, dan kurang memiliki sumber air, menimbulkan
peluang bagi air untuk diperlakukan sebagai barang ekonomi (economic good)
sebagaimana yang diproklamasikan di dalam konferensi air di Dublin, Irlandia
pada tahun 1992. Dengan demikian, wilayah sekitar Citarum dan DKI Jakarta
merupakan pasar air (water market) bagi air Sungai Citarum dan air akan
mempunyai nilai yang cukup berarti.
Permasalahan yang dialami penyediaan air di Waduk Juanda (Jatiluhur)
juga terjadi di berbagai negara lainnya, seperti Bendungan Aswan di Sungai Nil,
Mesir, peningkatan penduduk, pertumbuhan perkotaanm, dan indusrinya
menimbulkan permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya air. Sistem jaringan
yang dirancang untuk penyediaan air untuk irigasi dialihkan sebagian untuk
memenuhi kebutuhan domestik dan industri. Peralihan itu telah menyebabkan
kelangkaan air dan air menjadi barang ekonomi. Penetapan besaran nilai air dan
alokasinya untuk setiap sektor menjadi permasalahan pengelola (Barder, 2004).
Permasalahan yang sama terjadi juga di Daerah Irigasi Kirindi Oya, India, yang
sumber airnya berasal dari Waduk Lunuganwehera. Waduk ini mengairi 5 400
hektar dengan kapasitas waduk 227 juta meter kubik dan kapasitas terpakai
mencapai 200 juta meter kubik. Perubahan penggunaan air terjadi juga di daerah
irigasi ini dan ditanggapi dengan perubahan sistem jaringan dimana jaringan
dibagi dua, yaitu untuk memasok kebutuhan domestik, industri dan irigasi .
1.2 Perumusan Masalah
Ketika kebutuhan air non-pertanian mengalami peningkatan yang pesat,
masih menjadi pemakai air terbesar. Proporsi pengalokasian air dari Waduk
Juanda selama 7 tahun dari tahun 2001─2007 untuk wilayah Tarum Timur
rata-rata 28 persen, untuk Tarum Utara rata-rata-rata-rata sebesar 42 persen, dan untuk ke
Tarum Barat sebesar 29 persen. Pemanfaaatan air untuk sektor-sektor, rata-rata di
Tarum Timur sektor pertanian mencapai 94 persen, perusahaan daerah air minum
kabupaten/kota sebesar 1 persen dan industri sebesar 5 persen. Di Tarum Utara,
sektor pertanian mencapai 98 persen, perusahaan daerah air minum
kabupaten/kota sebesar 0.1 persen, dan industri sebesar 1 persen. Di Tarum Barat,
sektor pertanian mencapai 59 persen, Perusahaan Air Minum DKI Jakarta sebesar
34 persen, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota sebesar 2 persen, dan
industri sebesar 5 persen (Perusahaan Umum Jasa Tirta II, 2008).
Produksi pembangkit listrik tenaga air tergantung kepada kebutuhan air
yang diperlukan untuk irigasi, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota dan
industri di wilayah hilir. Pada waktu air keluar dari waduk terlebih dahulu
dilewatkan melalui pembangkit listrik tenaga air sehingga menghasilkan listrik
dan memberikan kontribusi nyata terhadap pendapatan Perusahaan Umum Jasa
Tirta II, disamping pendapatan dari industri, perusahaan daerah air minum
kabupaten/kota, dan industri (Perusahaan Umum Jasa Tirta II, 2007). Pasokan air
yang dilakukan oleh Perusahaan Umum Jasa Tirta II selama ini untuk memenuhi
kebutuhan sektor pengguna belum diperhitungkan sebagai suatu kegiatan
ekonomi, dimana dari aktivitas pasokan air ini menghasilkan manfaat bagi
pengguna, baik untuk sektor pertanian dan non-pertanian seperti perusahaan
daerah air minum kabupaten/kota maupun industri. Penerimaan pengelola berupa
pemeliharaan, karena diharapkan penerimaan dari air selayaknya harus kembali ke
air artinya untuk biaya operasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana sistem
jaringan di Daerah Irigasi Jatiluhur.
Meskipun ketiga sektor pengguna air di Daerah Irigasi Jatiluhur
menggunakan air sebagai salah satu input produksinya, yang memberikan nilai
ekonomi terhadap input tersebut hanya sektor domestik dan industri, sedangkan
sektor pertanian tidak. Penentuan tarif air baku untuk domestik dan industri
tersebut berdasarkan pada penetapan dari Menteri atas usulan Gubernur Jawa
Barat. Tarif air untuk industri, perusahaan daerah air minum kabupaten/kota sudah
5 tahun, yaitu tahun 2003─2007 tidak mengalami perbaikan tarif. Tarif air untuk
irigasi adalah nol, alias gratis. Hal ini mengakibatkan tugas dan fungsi Perusahaan
Umum Jasa Tirta II dalam memberikan pelayanan menjadi kurang optimum.
Air untuk sektor pertanian walaupun menurut Undang-Undang, petani
tidak dipungut biaya jasa pengelolaan sumberdaya air oleh Perusahaan Umum
Jasa Tirta II, seyogyanya Pemerintah dapat mengganti biaya jasa pengelolaan
sumberdaya air untuk operasi dan pemeliharaan irigasi karena 80-90 persen air
dari waduk Jatiluhur yang dikelola oleh Perusahaan Umum Jasa Tirta II yang
digunakan untuk kepentingan sektor pertanian. Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumberdaya Air menyatakan bahwa pengguna sumberdaya air di
sektor pertanian tidak dapat dipungut biaya jasa pengelolaan sumberdaya air.
Tidak dipungutnya biaya jasa pengelolaan sumberdaya air pada sektor pertanian
berakibat pada pandangan para petani terhadap sumberdaya air sebagai
sumberdaya yang berlimpah dan tidak memiliki nilai ekonomi sehingga
terkendali. Penggunaan air yang tidak terkendali oleh sektor pertanian akan
berakibat berkurangnya ketersediaan air di waduk. Salah satu fungsi waduk adalah
sebagai penyimpan cadangan air ketika musim kemarau. Berkurangnya
ketersediaan air di waduk di musim kemarau, akan menyebabkan kelangkaan air.
Selain itu, berkurangnya ketersediaan air di waduk dapat mempengaruhi
kelestarian waduk, yang akan menyebabkan kerugian yang lebih besar akibat
rusaknya bangunan waduk. Selain itu, tidak adanya pemungutan biaya jasa
pengelolaan sumberdaya air untuk memberikan jasa layanan terhadap sektor
pertanian telah mengakibatkan pemeliharaan terhadap infratruktur irigasi tidak
dapat dilakukan dengan baik. Fungsi bendung-bendung, pintu-pintu air, saluran
primer, dan sekunder telah menurun karena rusak, bocor dan sedimentasi,
sehingga pemanfaatan air tidak optimum. Apabila tidak ditangani dengan baik
distribusi air akan berdampak terhadap keberlanjutan sistem pengairan di Daerah
Irigasi Jatiluhur. Guna peningkatan pelayanan di Daerah Irigasi Jatiluhur, baik
kuantitas maupun kualitasnya, dibutuhkan penerimaan yang dapat menutupi total
biaya operasi dan pemeliharaan saluran yang diperlukan. Salah satu sumber dana
yang terbesar, yaitu dari sektor pertanian sebagai pengguna air dengan proporsi
terbesar. Namun, terdapat dua permasalahan pokok dalam biaya jasa pengelolaan
sumberdaya air terkait dengan iuran (tarif) penyaluran air irigasi, yaitu
mekanisme pemungutan dan besaran biaya jasa pengelolaan sumberdaya air.
Mekanisme pemungutan tarif untuk pertanian tidak dapat diterapkan
seperti pada sektor domestik dan industri, yang jumlah penggunanya tidak terlalu
banyak. Pada sektor pertanian, terdapat 240 000 hektar sawah yang dilayani
untuk melakukan pemungutan kepada setiap pengguna. Bila penyaluran air irigasi
yang dilakukan Perusahaan Umum Jasa Tirta II merupakan penunjang program
pemerintah dalam peningkatan produksi beras terkait ketahanan pangan,
pemungutan iuran atau tarif penyaluran air irigasi seharusnya dapat ditanggung
oleh pemerintah dalam bentuk public service obligation (PSO). Perusahaan
Umum Jasa Tirta II adalah salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
mendapat tugas mengemban kewajiban pelayanan umum (public service
obligation-PSO), sehingga pemerintah wajib memberikan kompensasi atas semua
biaya yang telah dikeluarkan oleh Perusahaan Umum Jasa Tirta II tersebut
termasuk margin keuntungan yang diharapkan (Pasal 66 UU Nomor 19/2003
tentang BUMN).
Berdasarkan kompleksitas permasalahan di atas, dapat dirumuskan
beberapa pertanyaan penelitian yang dapat diajukan dalam studi ini sebagai
berikut.
Berdasarkan kompleksitas permasalahan di atas, dapat dirumuskan beberapa
pertanyaan penelitian yang dapat diajukan dalam studi ini sebagai berikut.
1) Bagaimanakah pembuatan model tentang perilaku optimal pemanfaatan air
optimal berkaitan dengan perubahan permintaan air baku oleh penggunanya
serta perubahan nilai air dan manfaat sosial bersihnya?
2) Pola distribusi air optimal yang bagaimana agar lebih baik dari pada kondisi
saat ini sehingga dapat meningkatkan manfaat sosial bersih pengelolanya?
3) Bagaimana cara mengestimasi nilai ekonomi sumberdaya air yang optimal
4) Bagaimana mengestimasi peningkatan nilai manfaat sosial bersih menjadi
yang terbaik dari berbagai pilihan?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan penelitian adalah untuk mengukur dan menganalisis
tingkat efisiensi ekonomi tentang pengelolaan sumberdaya air di Daerah Irigasi
Jatiluhur agar dapat dimanfaatkan secara optimal, sedangkan secara spesifik
tujuan penelitian ini adalah:
1) Membangun model pola alokasi optimal sumberdaya air di Daerah Irigasi
Jatiluhur
2) Membandingkan pola distribusi air antara kondisi saat ini dengan beberapa
pola alternatif yang dapat meningkatkan manfaat sosial bersih dari
sumberdaya air
3) Mengestimasi nilai ekonomi sumberdaya air untuk setiap sektor pengguna
4) Mengestimasi peningkatan nilai manfaat sosial bersih dari berbagai pola
alokasi
1.4 Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
1) Sebagai bahan pertimbangan dalam menyeimbangkan ketersediaan air dan
kebutuhan permintaan air di Daerah Irigasi Jatiluhur.
2) Sebagai bahan pertimbangan secara komprehensif integratif tentang
kepentingan dari tiga sektor utama, yaitu pemanfaatan air untuk perusahaan
3) Sebagai bahan masukan Perusahaan Umum Jasa Tirta II dalam mengelola
sumberdaya air secara efisien, karena keberhasilan sektor pertanian sangat
ditentukan oleh kebutuhan air yang diperlukan.
4) Sebagai bahan masukan untuk menjaga eksistensi Perum Jasa Tirta II sebagai
organisasi perusahaan umum pemerintah agar tetap tampil di depan dalam
mengelola sumberdaya air secara berkelanjutan.
1.5 Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian yaitu:
1) Mencakup biaya untuk operasi dan pemeliharaan Waduk Juanda dan Daerah
Irigasi Jatiluhur.
2) Penerimaan dan biaya Perusahaan Umum Jasa Tirta II dalam rangka operasi
dan pemeliharaan (OP) Daerah Irigasi Jatiluhur.
3) Biaya dibatasi pada biaya operasi dan pemeliharaan serta manajemen.
4) Sektor pengguna air adalah pembangkit tenaga listrik, irigasi, perusahaan
daerah air minum kabupaten/kota, dan industri yang berada di Perusahaan
Umum Jasa Tirta II.
5) Mencakup air permukaan yang bersumber dari Waduk Juanda dan sumber
setempat.
1.6 Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini tidak termasuk:
1) Faktor lingkungan, iklim, sosial budaya, dan investasi.
2) Air bawah tanah dan Daerah Irigasi Selatan Jatiluhur yang pada umumnya
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kelangkaan Air
Kelangkaan sumberdaya air terjadi karena berbagai dimensi baik dari segi
permintaan maupun penawaran. Permintaan sumberdaya air untuk keperluan
rumah tangga, industri dan pertanian semakin meningkat seiring dengan
pertumbuhan penduduk dan ekonomi. Sementara itu, ketersediaan sumberdaya air
terutama pada musim kemarau semakin terbatas baik disebabkan oleh
menurunnya debit sungai akibat kerusakan lingkungan, perubahan iklim global
maupun penurunan kapasitas atau kerusakan sarana penyimpan dan penyaluran
air.
Terbatasnya ketersediaan sumberdaya air dapat menjadi salah satu kendala
dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Keterbatasan ketersediaan air
yang biasa disebut kelangkaan air dapat ditinjau dari segi kualitas maupun
kuantitasnya. Kelangkaan air untuk sektor pertanian dapat mengganggu produksi
pertanian yang sebagian besar merupakan sumber pangan. Selanjutnya, bagi
sektor domestik dapat mengakibatkan penurunan tingkat kesehatan masyarakat
akibat tidak tersedianya air bersih untuk minum dan sanitasi serta kebersihan kota.
Untuk sektor industri dimana air merupakan salah satu input bagi proses
produksinya dapat mengakibatkan terganggunya proses produksi.
Menghadapi kelangkaan air dan permintaan air yang semakin meningkat,
dibutuhkan pengelolaan air yang efisien, agar dicapai alokasi yang optimal baik
secara hidrologi maupun ekonomi. Mekanisme alokasi sumberdaya air merupakan
konsep ekonomi untuk mengefisiensikan sumberdaya air dengan cara alokasi.
ketersediaan air, yaitu melalui marginal cost pricing (MCP), alokasi publik, water
markets dan user-based allocation.
Untuk mengukur kelangkaan air adalah perbandingan antara air yang
tersedia dengan yang digunakan. Berbagai perhitungan kelangkaan air telah
dilakukan antara lain dengan menggunakan indeks yang digunakan PBB (1997)
dan diadopsi Voromarty el al.(2000) bahwa secara umum indeks kelangkaan air
adalah (1) kurang dari 0.1 tidak ada kelangkaan, (2) antara 0.1 dan 0.2 adalah
rendah, (3) antara 0.2 dan 0.4 adalah moderat, (4) kurang atau sama dengan 0.4
adalah tinggi
Pengukuran kelangkaan sumberdaya air di atas, menunjukkan indeks
kelangkaan air yang ada disaluran, bukan air tersisa di waduk. Kelangkaan ini
berdasarkan fisik tanpa mempertimbangkan nilai ekonomi air. Perlu diketahui
bahwa air adalah sumberdaya yang lebih cepat diperbaharui dan waktu yang
digunakan untuk memperbaharui lebih cepat daripada air tanah dan tidak
memperhatikan kualitas air yang ada. Dari sisi ekonomi, air tidak dilihat dari sisi
fisiknya, tetapi juga dari sisi ekonomi. Hal ini berarti bahwa menghitung cadangan
ekonominya dibagi dengan tingkat ekstrasinya. Untuk itu, Fauzi (2004)
menyarankan penghitungan dengan menggunakan pengukuran moneter, yaitu
dengan salah satu dari cara menghitung harga riil, unit cost, dan rente kelangkaan
sumberdaya. Dengan cara rente, kelangkaan dianggap paling baik karena dasarnya
menggunakan teori kapital sumberdaya dimana return manfaat yang diperoleh
sama dengan biaya oportunitas dari aset yang lain. Makin tinggi rente kelangkaan
Kondisi Daerah Aliran Sungai aktual menggambarkan tahapan
pengembangannya yang berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya air dan
finansial yang dibutuhkan. Tahapan pengembangan menjadi lebih lengkap dengan
adanya pengukuran indeks kelangkaan. Indeks kelangkaan ini menunjukkan
apakah wilayah tersebut sudah menghadapi permasalahan kelangkaan sumberdaya
air dan sampai sejauh mana kelangkaan tersebut berpengaruh pada pengelolaan
sumberdaya air yang ada.
Bila indeks pengukuran sumberdaya air kelangkaan air menunjukkan telah
terjadi kelangkaan air, alokasi bagaimana yang sebaiknya dilakukan dalam
pengelolaan sumberdaya air di wilayah tersebut dengan mempertimbangkan
aturan alokasi sumberdaya serta mekanisme yang sesuai dengan kondisi yang ada.
2.2 Alokasi Sumberdaya Air
Alokasi sumberdaya air merupakan tindakan ekonomi yang menghasilkan
baik benefit maupun biaya. Pengelolaan sumberdaya air khususnya air permukaan
yang penggunanya beragam dan wilayahnya sangat luas membutuhkan suatu
pemodelan yang dapat digunakan dan menghasilkan benefit yang optimum bagi
baik pengguna maupun pengelola.
Alokasi sebagai aktivitas ekonomi menjadi perhatian utama dalam
pengelolaan sumberdaya air, terutama jika diperhadapkan pada masalah
kelangkaan air suatu wilayah. Alokasi air yang baik ke semua sektor pengguna air
guna pencapaian kesejahteraan semua pihak, serta memenuhi kriteria
kesejahteraan antara lain: (1) kriteria kesejahteraan kosial, (2) kriteria pemerataan,
Pertama kriteria kesejahteraan sosial adalah kriteria kesejahteraan yang
mengasumsikan bahwa baik selera maupun kesejahteraan individu dapat dihitung.
X X
Y Y
A
B
OM
ON
XA M XA
N
YA M
YA N U1
N
U2 N U3
N
U1 M U2
M
U3 M
[image:43.595.71.490.60.809.2]Sumber: Pindyck, 2005
Gambar 1. Diagram Kotak Edgeworth Pertukaran
Dari Gambar 1. bila X barang berupa air untuk irigasi dan Y barang berupa air
untuk non irigasi, sedangkan M adalah pengguna barang sektor irigasi dan N
adalah pengguna barang sektor non irigasi, maka kurva sepanjang OM-ON,
merupakan kurva kontrak yang menunjukkan tingkat kepuasan yang dapat
diperoleh dari barang X dan Y. Semua titik sepanjang kurva tersebut merupakan
titik alokasi barang yang efisien yang memberikan kepuasan optimum bagi M dan
N. Di sepanjang kurva kontrak, preferensi individu bersaing satu sama lainnya,
yang berarti kesejahteraan yang diperoleh salah satu pihak hanya mungkin
tercapai atas pengorbanan pihak lainnya. Kondisi kesejahteraan sosial yang
optimum pada alokasi optimum merupakan kondisi Pareto optimum dan disebut
alokasi Pareto optimum. Kedua adalah kriteria pemerataan, yang merupakan suatu
jumlah barang yang diberikan sama jumlahnya. Jika titik A dipilih, XAN > XAM
dan YAN < YAM jumlah barang tidak merupakan ukuran dalam kriteria
pemerataan, tetapi tingkat kepuasan yang optimum tiap-tiap individu menjadi
tolok ukur utama. Ketiga adalah kriteria manfaat berdasarkan hampir sama dengan
kriteria pemerataan dimana alokasi optimum yang dipilih pada saat tingkat utilitas
bersamanya mencapai maksimum. Titik di sepanjang kurva kontrak yang dipilih
adalah yang memberikan total kepuasan kedua sektor pengguna air yaitu pertanian
dan non pertanian (UN + UM
Dalam mengalokasikan sumberdaya, tiga hal pokok yang perlu
diperhatikan, yakni: (1) efisiensi konsumsi, (2) efisiensi produksi, dan (3) efisiensi
harga.
), misalnya titik B, maksimum. Ketiga kriteria ini
sulit untuk dikuantifikasikan dan sangat normatif. Keempat adalah kriteria
maksimin yang dikemukakan oleh Rawls (1971), memandang masyarakat seperti
pada posisi awal tidak ada yang tahu posisi (dan kepuasannya) akhirnya. Kriteria
Rawls pada dasarnya memaksimalkan posisi yang paling lemah, atau dikatakan
memaksimumkan mereka yang utilitasnya minimum, sehingga sering disebut
kriteria maksimin. Sifat kriteria Rawls, yakni: (1) jika pilihan dilakukan di antara
distribusi dengan jumlah konstan, kriteria ini memiliki implikasi egalitarian,
semua orang akan menerima jumlah yang sama (distribusi merata), (2) jika
pemilihan dilakukan di antara distribusi yang tidak tetap, kriteria Rawls selalu
membela orang yang terburuk dan mengorbankan keseluruhan; atau dengan kata
lain Rawls tidak konsisten dengan kriteria kompensasi ekonomi yang umum, dan
(3) dalam kondisi yang lebih kompleks dengan barang dan individu yang
2.2.1 Efisiensi Produksi
Produksi akan efisien jika kenaikan output untuk suatu barang berupa air
untuk non irigasi, Y mengharuskan penurunan output barang berupa air untuk
irigasi, X yang dapat diilustrasikan seperi Gambar 1. tetapi untuk efisiensi
produksi. Efisiensi produksi akan terjadi jika MRTS (marginal rate of
substitution) antara dua input adalah sama yaitu air dari Waduk Juanda, artinya
isokuan harus bersinggungan, misalnya di titik A. Jika isokuan-isokuan tidak
bersinggungan, misalnya air untuk irigasi di realokasi untuk non irigasi.
Himpunan alokasi input produksi di titik-titik produksi yang efisien seperti A
dikenal kurva kontrak produksi (production contract curve).
2.2.2 Efisiensi konsumsi
Seperti dijelaskan dari 2.2 yang pertama bahwa konsumsi akan efisien
jika kenaikan kepuasan salah satu konsumen memerlukan penurunan kepuasan
konsumen lainnya. Misalnya pengguna air untuk non irigasi memerlukan
penurunan kepuasan pengguna air untuk irigasi. Efisiensi konsumsi akan terjadi
jika MRTS adalah sama untuk semua pengguna yang meminta air dari Waduk
Juanda. Hal ini berarti bahwa kurva-kurva indeferens kedua pengguna air dari
irigasi dan non irigasi harus bersinggungan. Himpunan alokasi konsumsi yang
efisien dikenal kurva kontrak konsumsi (consumtion contract curve) (Ekivalen
Gambar 1 tetapi untuk konsumsi).
2.2.3 Efisiensi harga
Konsumen harus bersedia untuk mengganti barang yang dikonsumsikan
tersebut pada tingkat rasio yang sama dimana perekonomiaan tersebut dapat
konsumen yang membeli kedua barang tersebut, MRS (marginal rate of
substitution) barang-barang tersebut harus sama dengan MRT (marginal rate of
transformation). Ini berarti bahwa slope kurva-kurva indeferens dari pengguna air
untuk irigasi dan non irigasi harus sama dengan slope batas kemungkinan
produksi, atau slope di titik F harus sama dengan di titik B. Ini berarti MRT
=MRS atau ratio MC Irigasi/MCNonirigasi atau PIrigasi/PNonirigasi harus sama antara di
titik F dan di titik B. Hal ini pengelola harus membuat alokasi yang baik
mendekati persaiangan sempurna antara pengguna dan pengelola (Pindyck, 2005).
[image:46.595.99.489.109.820.2]Sumber: Arsyad, 1987
Gambar 2. Marginal Rate of Transformation dan Marginal Rate of Technical Substitution
2.3 Penentuan Harga Air: Tanpa dan Dengan Eksternalitas
Penentuan harga dapat menggambarkan biaya yang sebenarnya dan akan
memberikan sinyal kepada user mengenai nilai air melalui water pricing. Model
sumberdaya air yang didasarkan pada water pricing adalah marginal cost pricing.
Mekanisme marginal cost pricing didasarkan pada prinsip ekonomi bahwa
alokasi sumberdaya air yang optimal secara sosial, ketika manfaat sosial marjinal
Nonirigasi
PIrigasi/PNonirigasi B
UB F
UA
BKP
A Irigasi
BKP=Batas Kemungkinan Produksi PIrigasi/PNonirigasi N*
yang diperoleh dari konsumsi air setara dengan biaya sosial marjinal yang
dikeluarkannya. Manfaat sosial marjinal dicirikan oleh kurva permintaan terhadap
air, sementara biaya sosial marjinal tanpa biaya lingkungan yang menggambarkan
kurva pasokan air yang menunjukkan biaya yang harus dibayar oleh user sebesar
P* untuk memproduksi satu unit tambahan air sebesar Q*.
[image:47.595.74.467.39.653.2]Sumber: Fauzi, 2004
Gambar 3. Alokasi Optimal berdasarkan Marginal Cost Pricing
Ketika terjadi eksternalitas misalnya terjadi erosi atau lingkungan
sumberdaya air maka biaya marjinal atas sumberdaya air termasuk biaya
pengguna (user cost) yang semula A menjadi B.Jadi untuk memproduksi satu unit
tambahan air menjadi sebesar QL maka memerlukan biaya sebesar PL. Dinar et al.
(1997) menyatakan bahwa mekanisme marginal cost pricing memiliki beberapa
kelebihan, antara lain, mekanisme ini secara teoretis paling efisien dan dapat
menghindari underpriced (penilaian di bawah harga) dan penggunaan berlebihan
(overuse). Selain itu, marginal cost pricing memiliki beberapa kelemahan, antara Biaya Marjinal dengan
Biaya Lingkunan
Biaya Marjinal tanpa Biaya Lingkungan
Manfaat Marjina l
Q (kuantitas) (Rp)
P
L
QL Q
* P
*
B
lain, aspek kesetaraan (equity), termasuk masyarakat berpenghasilan rendah tidak
dapat mengakses sumberdaya air terutama pada musim kemarau ketika air yang
tersedia lebih sedikit dan harganya meningkat.
2.4 Permintaan dan Penawaran Air
Terbatasnya ketersediaan sumberdaya air dapat menjadi salah satu kendala
dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Keterbatasan ketersediaan air
yang biasa disebut kelangkaan air dapat ditinjau dari segi kualitas ataupun
kuantitasnya. Kelangkaan air untuk sektor pertanian dapat mengganggu produksi
sektor pertanian yang sebagian besar merupakan sumber pangan. Selanjutnya,
bagi sektor domestik hal itu dapat mengakibatkan penurunan tingkat kesehatan
masyarakat akibat tidak tersedianya air bersih untuk minum dan sanitasi serta
kebersihan kota. Untuk sektor industri, air merupakan salah satu input bagi proses
produksinya dapat mengakibatkan terganggunya proses produksi.
Dalam menghadapi kelangkaan air dan permintaan air yang semakin
meningkat, dibutuhkan pengelolaan air yang efisien agar dicapai alokasi yang
optimal baik secara hidrologi maupun ekonomi. Mekanisme alokasi sumberdaya
air merupakan konsep ekonomi untuk mengefisienkan sumberdaya air dengan
cara alokasi. Dinar et al. (1987) mengemukakan bahwa ada empat kerangka
mekanisme alokasi ketersediaan air, yaitu melalui marginal cost pricing, alokasi
publik, water markets, dan user-based allocation.
Permintaan air di wilayah ini dapat dibagi dalam 2 kategori besar, yaitu
sektor pertanian dan urban. Permintaan air urban terjadi akibat pertumbuhan dan
mengandalkan air dari sistem sungai yang ada sama seperti sektor pertanian.
Pemukiman dan industri memberikan valuasi air lebih tinggi dari pada sektor
pertanian sehingga menyebabkan terjadinya kompetisi dengan sektor pertanian.
Misalkan, Da menggambarkan permintaan air sektor pertanian, Du
permintaan air urban serta Dt merupakan total permintaan keduanya. Jika harga
air diatur oleh pemerintah sebesar P, dan jumlah yang diminta sebanyak Wtd lebih
kecil dari pada yang ditawarkan Ws, terdapat kelebihan air yang ditawarkan.
Ketika permintaan air urban meningkat menjadi Du’, dan total permintaan
menjadi Dt’, terlihat adanya kekurangan air pada saat jumlah yang diminta Wtd’
lebih besar dari pada yang ditawarkan Ws (Gambar 4.). Ketika harga ditetapkan
pemerintah sebesar P, harga tidak dapat merasionalisasi air yang tersedia pada
berbagai variasi pengguna atau dengan kata lain harga tidak dapat merespons
tekanan permintaan dan penawaran. Jika pemerintah meningkatkan harga air
irigasi, beberapa metode yang rasional mengungkapkan akan terjadi kompetisi
antar pengguna.
Sumber: Randall, 1987
Gambar 4. Permintaan dan Penawaran Air
HARGA AIR
0 P
Wt d
Dt’=Du+Da
Da
Du Du' S
JUMLAH AIR, W Dt=Du+Da
Ws W
Permintaan air sektor pertanian sebesar Dt, permintaan urban Du’ dan penawaran
dan permintaan agregat keduanya sebesar Dt’, jumlah air yang diminta sebesar
Wd’, maka terdapat kelebihan air sebesar Ws-Wtd
.
Sumber: Randall, 1987
Gambar 5. Sistem Harga Dual Air
Ketika permintaan urban meningkat dari Du ke Du’, permintaan sektor
pertanian tetap pada Da, maka permintaan keduanya menjadi Dt
diminta sebesar W
’, dan jumlah yang
t
’d, dan kekurangan air sebesar Wtd’ -Ws (Gambar 5.). Jika
pemerintah menetapkan air yang tersedia untuk urban sebesar Su, untuk sektor
pertanian sebesar S-Su = Sa
Pada D
, dengan catatan bahwa kondisi ini merupakan
keseimbangan.
u
dan Su, terdapat kekurangan air untuk pengguna urban sebesar
Wtd” - Wts”(Gambar 6.), pada Da dan Sa terdapat kekurangan air untuk sektor
pertanian sebesar Wad (sama dengan (Was + Wad) ─ Wus’ lebih besar dari pada Sa
= S-Su. Jika pemerintah tidak mengijinkan Pa untuk naik, maka akan terjadi HARGA AIR
0 Pa
Wtd' Wtd”
Dt'=Wu'+Da Dt" =Wu"+Da
Da Du”
Du’ S
Wu’ Wu”
Pu
[image:50.595.100.506.0.836.2]“black market” air irigasi, dan dapat dihindari dengan diijinkannya pengalihan
antar user. Dari uraian di atas dapatlah dilihat bahwa alokasi sumberdaya air
sangat kompleks dan rumit untuk dilakukan.
[image:51.595.88.466.102.820.2]Sumber: Randall, 1987
Gambar 6. Sistem Harga Dual Air Rasionalisasi Pengguna Urban
Keempat faktor yaitu kondisi Daerah Aliran Sungai, indeks kelangkaan
air, kriteria alokasi sumberdaya air serta mekanisme alokasi sumberdaya air yang
telah diuraikan di atas merupakan faktor penting yang tidak dapat diabaikan dalam
membentuk model pengelolaan sumberdaya air. Kondisi suatu DAS perlu
diketahui terlebih dahulu agar dapat mengindentifikasi keadaan sumberdaya air di
wilayah tersebut dan menentukan keputusan yang terbaik dalam pengelolaan
sumberdaya air di wilayah tersebut.
Kondisi Daerah Aliran Sungai aktual menggambarkan tahapan
pengembangannya yang berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya air dan HARGA AIR
0 Pa
Wu s”
Ws
D'”=Wu s”+Da
Da
Du
"
Su St
Wu
s” Wud”
Pu
JUMLAH AIR, W +Wa
finansial yang dibutuhkan. Tahapan pengembangan menjadi lebih lengkap dengan
adanya pengukuran indeks kelangkaan. Indeks kelangkaan ini menunjukkan
apakah wilayah tersebut sudah menghadapi permasalahan kelangkaan sumberdaya
air dan sampai sejauh mana kelangkaan tersebut berpengaruh pada pengelolaan
sumberdaya air yang ada. Bila indeks kelangkaan air menunjukkan bahwa telah
terjadi kelangkaan air, alokasi bagaimana yang sebaiknya dilakukan dalam
pengelolaan sumberdaya air di wilayah tersebut dengan mempertimbangkan
aturan alokasi sumberdaya serta mekanisme yang sesuai dengan kondisi yang ada.
Setelah memahami kondisi yang ada di wilayah yang akan diteliti,
konstruksi model pengelolaan sumberdaya air dilakukan berdasarkan faktor-faktor
di atas sebagai bahan pertimbangan. Model yang dihasilkan akan benar-benar
sesuai dengan gambaran wilayah tersebut, baik ketersediaan airnya maupun
sektor-sektor yang terlibat di dalamnya. Keputusan yang diambil merupakan
keputusan yang dapat memenuhi kriteria yang telah dikemukakan di atas.
2.5 Penentuan Harga Air
Mekanisme pricing dan charging dapat dilakukan melalui volumetric
pricing, output pricing, area pricing, tiered dan two part tariff pricing, serta water
markets. Mekanisme pricing dan charging seringkali diistilahkan sebagai valuasi
air, yaitu valuasi air dibedakan menurut sektor yaitu sektor pertanian dan
nonpertanian. Dalam menghitung valuasi air yang digunakan sektor pertanian,
pendekatan yang dilakukan menggunakan fungsi produksi sektor pertanian yaitu
air diperlakukan sebagai input-nya. Valuasi untuk sektor nonpertanian meliputi
listrik, pertambangan dan pabrik, serta rekreasi dan lingkungan. Terdapat dua cara
penentuan valuasi air sektor nonpertanian, yaitu berdasarkan pasar dan nonpasar.
Valuasi berdasarkan pasar karena air merupakan barang nilai tambah, sebagai
salah satu usaha untuk memberikan nilai kepada sumberdaya. Valuasi berdasarkan
nonpasar karena air termasuk salah satu sumberdaya yang pengelolaannya cukup
unik, air sulit diperlakukan sebagai barang yang diperdagangkan.
Pada bagian sebelumnya telah diuraikan bahwa penentuan harga air dan
alokasinya merupakan dua hal yang sangat berkaitan erat, yaitu untuk
memperoleh suatu alokasi air yang optimal dilakukan melalui penentuan harga air.
Penentuan harga air dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi pengguna (user) dan
sisi penyalur atau pengelola.
Pengelola sumberdaya air dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu
pengelolaan secara publik yang dilaksanakan oleh pemerintah dan pengelolaan
secara komersial oleh suatu badan usaha. Kelompok pengelola ini sangat penting
artinya karena mempunyai dampak yang berbeda secara ekonomi terutama
terhadap pengguna. Pengelola publik tidak berorientasi pada profit karena
investasi dan biaya ditanggung oleh pemerintah dan pengguna tidak dibebani
biaya pengambilan air. Pengelola komersial akan memperhitungkan investasi dan
semua biaya yang dikeluarkannya dan membebankannya pada pengguna.
Perbedaan kelompok pengelola ini akan menghasilkan perbedaan pada penentuan
harga air.
Selain pengelola, pengguna yang beragam dengan pandangan yang
berbeda dalam memberikan valuasi terhadap sumberdaya air, memerlukan
terintegrasi dan mencakup semua bidang yang berperan dalam pengelolaan
sumberdaya air. Pengguna sumberdaya air dapat dibedakan dalam dua kelompok
besar yaitu yang memperlakukan sumberdaya air sebagai barang publik (sektor
pertanian) dan sebagai barang ekonomi (sektor nonpertanian atau urban).
Penentuan harga air dari sisi pengguna, yaitu sumberdaya air diperlakukan
sebagai input untuk penentuan harga air oleh pengelalola sumberdaya air
dianggap sebagai output. Penentuan harga air oleh pengelola yang bersifat badan
usaha dan kelompok pengguna sektor nonpertanian jauh lebih mudah
dibandingkan dengan apabila penggunanya sektor pertanian. Sektor pertanian,
selain jumlah penggunanya yang banyak, luasan lahan serta jarak dengan saluran
induk sangat bervariasi merupakan kendala dalam penghitungan harga air.
Penetapan harga air bertujuan untuk mengembalikan baik biaya
pengelolaan, infrastruktur, maupun penghematan penggunaan air per unit output
yang dihasilkan. Kunci utama untuk pencapaian tuju