• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi Internal di Indonesia Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi Internal di Indonesia Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah"

Copied!
74
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI MIGRASI

INTERNAL DI INDONESIA SEBELUM DAN SETELAH

OTONOMI DAERAH

DWINDA LARASATI WIDYAPUTRI

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi Internal di Indonesia Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Dwinda Larasati Widyaputri

(4)

Migrasi Internal di Indonesia Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah. Dibimbing oleh YETI LIS PURNAMADEWI.

Migrasi merupakan fenomena yang terjadi akibat adanya disparitas antar daerah. Banyak faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan migrasi, salah satunya karena perekonomian di daerah tersebut dan tersedianya lapangan pekerjaan. Arus migrasi masuk di Indonesia cenderung terpusat pada daerah-daerah berpendapatan tinggi, padahal tingkat pengangguran di daerah-daerah tersebut juga tinggi, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan beberapa provinsi lainnya. Salah satu upaya untuk mengurangi jumlah migrasi adalah dengan melakukan otonomi daerah. Adanya otonomi daerah ini memberikan kesempatan bagi masing-masing daerah untuk membangun daerahnya sendiri, sehingga diharapkan dapat mengatasi disparitas antar daerah. Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor pendorong dan faktor penarik yang memengaruhi migrasi internal di Indonesia sebelum dan setelah otonomi daerah. Metode yang digunakan adalah model ekonometrika dengan data panel. Hasil estimasi model menunjukkan bahwa variabel yang dianalisis yaitu PDRB per kapita, upah minimum, penduduk tamatan pendidikan tinggi dan menengah berpengaruh positif terhadap migrasi. Sementara itu jumlah pengangguran dan dummy otonomi daerah berpengaruh negatif terhadap migrasi. Berdasarkan hasil estimasi model, adanya otonomi daerah dapat mengurangi jumlah migrasi masuk.

Kata kunci : migrasi, PDRB per kapita, pengangguran, otonomi daerah, data panel

ABSTRACT

DWINDA LARASATI WIDYAPUTRI. The Factors Affecting Internal Migration in Indonesia Before and After Regional Autonomy. Supervised by YETI LIS PURNAMADEWI

Migration is a phenomenon that occurs due to regional disparities. Many of the factors drive a person to do the migration, such as the economic growth in the region and the availability of jobs. Migration flows in Indonesia tend to be concentrated in high-income areas, while the unemployment rate is also high in the area, such as DKI Jakarta, West Java, and some other provinces. One effort to reduce the amount of migration is to perform regional autonomy. This regional autonomy provides an opportunity for each region to build their own country, which is expected to overcome regional disparities. This study aims to analyze the factors that push and pull factors affecting internal migration in Indonesia before and after the regional autonomy. The method used is the econometric model with panel data. The estimation of the model showed that variables were analyzed, namely GDP per capita, minimum wages, and population of secondary and higher education graduates, positively influence migration. Meanwhile, unemployment and dummy of regional autonomy negatively influence migration. Based on the estimation of the model, regional autonomy can reduce the amount of migration. Keywords : migration, GDP per capita, unemployment, regional autonomy, panel

(5)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI MIGRASI

INTERNAL DI INDONESIA SEBELUM DAN SETELAH

OTONOMI DAERAH

DWINDA LARASATI WIDYAPUTRI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ilmu Ekonomi

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)
(7)

NIM : H14090019

Disetujui oleh

Dr. Yeti Lis Purnamadewi Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Dedi Budiman Hakim Ketua Departemen

(8)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah migrasi, dengan judul “Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi Internal di Indonesia Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah”. Skripsi ini merupakan hasil karya penulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan skripsi ini terdapat banyak kekurangan karena keterbatasan pengetahuan yang dimiliki. Namun pada akhirnya, karya ilmiah ini berhasil penulis selesaikan atas bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ungkapan terimakasih kepada :

1. Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc, Agr selaku dosen pembimbing atas saran dan bimbingan yang diberikan dalam penulisan karya ilmiah ini. 2. Dr. Alla Asmara, S.Pt, M.Si., selaku dosen penguji utama dan Laily Dwi

Arsyianti, M.Sc selaku penguji komisi pendidikan atas kritik dan masukan yang positif dalam penyempurnaan penulisan.

3. Seluruh dosen dan staff Departemen Ilmu Ekonomi yang telah memberikan ilmu serta bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

4. Ibunda tercinta, Enny Andrias atas doa dan dukungan yang selalu diberikan kepada penulis. Serta kakak dan adik yang telah memberikan semangat dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

5. Sahabat seperjuangan, Farah Meiska, Andrian TS, Tiara Natalia dan Adini atas dukungan serta saran dan kritik yang diberikan.

6. Sahabat sekaligus keluarga Dramaga Cantik, Niken Larasati, Listya Purnamasari, Titiek Ujianti dan Ratu Sarah atas kebersamaan dan dukungannya selama ini.

7. Sahabat tercinta, Perdana Kumara, Distia Auliandyni, Galuh Raga serta teman-teman Ilmu Ekonomi 46 lainnya atas kebersamaan, dukungan dan semangat yang selalu diberikan kepada penulis.

8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini baik secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 5

Tujuan Penelitian 8

Manfaat Penelitian 8

Ruang Lingkup Penelitian 9

TINJAUAN PUSTAKA 9

Definsi, Konsep, dan Model Migrasi 9

Konsep Otonomi Daerah dan Kaitannya dengan Migrasi 13

Model Pertumbuhan Ekonomi 15

Penelitian Terdahulu 20

Kerangka Pemikiran 21

Hipotesis 23

METODE PENELITIAN 23

Jenis dan Sumber Data 23

Metode Analisis 24

Perumusan Model 25

Pemilihan Model Data Panel 26

Uji Asumsi Model 27

Definisi Operasional Variabel 28

GAMBARAN UMUM 29

Kondisi Geografis dan Kependudukan Indonesia 29

Kondisi Migrasi Internal di Indonesia 31

Kondisi Perekonomian 32

Kondisi Angkatan Kerja 33

Kondisi Upah 36

HASIL DAN PEMBAHASAN 39

Perkembangan Migrasi Internal di Indonesia Sebelum dan Setelah

Otonomi Daerah 39

Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi keluar 44 Faktor-faktor yang Memengaruhi Migrasi Masuk di Indonesia Sebelum

dan Setelah Otonomi Daerah 47

SIMPULAN DAN SARAN 51

Simpulan 51

Saran 52

DAFTAR PUSTAKA 52

LAMPIRAN 55

(10)

DAFTAR TABEL

1 Produk Domestik Regional Bruto dan Produk Domestik Regional Bruto Per Kapita atas dasar harga konstan 2000 menurut provinsi 2009-2011 4 2 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menurut provinsi, 2008-2012 7

3 Kerangka identifikasi autokorelasi 28

4 Jumlah kepadatan penduduk tiap provinsi (km2) 30 5 Jumlah migran masuk seumur hidup dan migran keluar menurut pulau

tahun 1990-2005 31

6 Persentase migran seumur hidup menurut usia dan jenis kelamin 32 7 Produk Domestik Bruto (PDRB) Indonesia menurut lapangan usaha tahun

2009-2012 33

8 Penduduk usia 15 tahun ke atas menurut jenis kegiatan tahun 2010-2012 34 9 Pengangguran terbuka menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan

tahun 2010-2012 35

10 Jumlah migrasi masuk seumur hidup tahun 1990-2000 41 11 Jumlah migrasi masuk seumur hidup tahun 2005-2010 42

12 Persentase migran neto tahun 1990-2010 45

13 Hasil uji normalitas model faktor-faktor yang memengaruhi migrasi 48 14 Korelasi antar variabel model persamaan migrasi 48 15 Hasil estimasi model faktor-faktor yang memengaruhi migrasi masuk

sebelum dan setelah otonomi daerah 49

DAFTAR GAMBAR

1 Migrasi masuk seumur hidup beberapa provinsi di Indonesia 2 2 Persentase migran seumur hidup tahun 2010 3

3 Kurva fungsi produksi 16

4 Pertumbuhan populasi dalam model Solow 18

5 Dampak pertumbuhan populasi terhadap perekonomian 19

6 Kerangka pemikiran 22

7 Jumlah penduduk Indonesia 29

8 Upah nominal pekerja produksi/pelaksana menurut lapangan usaha tahun

2007, 2011-2012 36

9 Perkembangan rata-rata upah minimum seluruh provinsi Indonesia sebelum

otonomi daerah 37

10 Perkembangan rata-rata upah minimum seluruh provinsi Indonesia setelah

otonomi daerah 38

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Upah Minimum Nominal dan Riil Menurut Provinsi Tahun 2010-2012 55

2 Hasil Estimasi Model Pooled Least Square 56

3 Hasil Estimasi Model Fixed Effect 57

4 Hasil Estimasi Model Random Effect 58

5 Hasil Uji Chow dan Uji Hausman 59

6 Hasil Uji Normalitas dan Heteroskedastisitas 60

(12)
(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perbedaan luas wilayah dan karakteristik masing-masing daerah di Indonesia menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang tidak merata. Hal ini juga tentunya dipengaruhi oleh faktor lain seperti potensi daerah, tenaga kerja, ketersediaan sumberdaya dan lainnya. Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi di daerah lain biasanya menyebabkan terjadinya migrasi antar daerah. Migrasi merupakan perpindahan seseorang dari suatu daerah ke daerah lain, baik dari desa ke kota ataupun sebaliknya, secara permanen.

Meningkatnya arus migrasi penduduk ini tentunya dipengaruhi banyak hal, seperti kondisi perekonomian di daerah tersebut, ketersediaan lapangan pekerjaan, upah minimum regional, daya tarik kota, serta kehidupan yang lebih modern. Tingginya jumlah migran yang masuk setiap tahunnya tentu menimbulkan dampak tersendiri bagi suatu daerah seperti masalah kepadatan penduduk, kemacetan, berkurangnya kesempatan mendapatkan pekerjaan dan masih banyak dampak yang lainnya.

Seseorang dikatakan sebagai migran seumur hidup jika provinsi atau kabupaten/kota tempat lahirnya berbeda dengan provinsi atau kabupaten/kota tempat tinggal sekarang. Sementara itu, seseorang dikatakan sebagai migran risen apabila provinsi atau kabupaten/kota tempat tinggal 5 tahun lalu berbeda dengan provinsi atau kabupaten/kota tempat tinggal sekarang. (BPS, 2010)

Beberapa daerah di Indonesia menjadi tempat tujuan penduduk untuk melakukan migrasi, seperti DKI Jakarta yang merupakan Ibukota, Provinsi Riau, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Lampung yang memiliki jumlah migran masuk paling besar. Jumlah migrasi ini juga terus mengalami peningkatan pada tahun-tahun berikutnya. Gambar 1 menunjukkan arus migrasi masuk seumur hidup ke beberapa provinsi di Indonesia. Apabila diurutkan maka provinsi yang memiliki jumlah migran masuk terbesar adalah Jawa Barat, disusul kemudian DKI Jakarta, Riau, Lampung, Kalimantan Timur, dan Sumatera Selatan. Keenam provinsi ini memiliki jumlah migrasi masuk yang lebih besar apabila dibandingkan dengan rata-rata migrasi masuk Indonesia. Tidak hanya itu, jumlah migran yang masuk ke provinsi tersebut juga melebihi jumlah migran yang keluar dari provinsi-provinsi tersebut. Berdasarkan data yang tersaji pada Gambar 1, di tahun 1971 jumlah migran masuk ke provinsi Riau dan Kalimantan Timur masih lebih rendah dibandingkan jumlah migran masuk rata-rata Indonesia, namun setelah tahun 1980 jumlah migran masuk keenam provinsi ini terus melebihi jumlah migran masuk rata-rata Indonesia hingga tahun 2010. Hal ini menunjukkan bahwa keenam provinsi inilah yang menjadi tujuan utama penduduk melakukan migrasi.

(14)

Kalimantan Timur yaitu 36,8 persen, Riau yaitu 34,5 persen dan Banten yaitu 26 persen. Berdasarkan gambar, provinsi-provinsi ini memiliki jumlah persentase migran masuk yang lebih besar daripada jumlah persentase migran keluar. Artinya provinsi-provinsi tersebut memang menjadi tempat tujuan paling banyak untuk bermigrasi. Sementara itu di provinsi-provinsi lainnya, seperti Provinsi Jawa Tengah, Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan, persentase jumlah migran keluar justru melebihi persentase migran masuk. Sehingga ada kemungkinan bahwa tingginya persentase migrasi masuk di sejumlah provinsi tertentu berasal dari provinsi-provinsi tersebut yang memiliki persentase jumlah migrasi keluar paling tinggi.

Sumber : BPS, 2010 (diolah)

Gambar 1 Migrasi masuk seumur hidup beberapa provinsi di Indonesia

Menurut Todaro dan Smith (2006), pada awalnya para ekonom memandang migrasi sebagai suatu hal yang positif dalam pembangunan. Migrasi internal (migrasi antar daerah dalam satu negara) dianggap sebagai proses alamiah yang akan menyalurkan surplus tenaga kerja di daerah-daerah perdesaan ke sektor industri modern di kota-kota yang daya serapnya lebih tinggi. Proses ini dipandang positif secara sosial, karena memungkinkan berlangsungnya suatu pergeseran sumber daya manusia dari tempat-tempat yang produk marjinal sosialnya nol ke lokasi lain yang produk marjinalnya tidak hanya positif tetapi juga akan terus meningkat sehubungan dengan adanya akumulasi modal dan kemajuan teknologi. Kenyataannya, tingkat migrasi di negara-negara berkembang saat ini, seperti Indonesia salah satunya, telah jauh melampaui tingkat penciptaan atau penambahan lapangan pekerjaan, sehingga migrasi yang saat ini berlangsung sedemikian deras telah jauh melampaui daya serap sekor-sektor industri maupun jasa-jasa pelayanan sosial yang ada di daerah-daerah perkotaan. Dengan demikian, fenomena migrasi tidak bisa lagi dipandang sebagai suatu hal yang positif untuk mengatasi permintaan tenaga kerja di daerah perkotaan. Sebaliknya, sekarang migrasi justru menyebabkan surplus tenaga kerja di perkotaan secara berlebihan sehingga memperburuk masalah pengangguran di daerah perkotaan.

0 1,000,000 2,000,000 3,000,000 4,000,000 5,000,000 6,000,000

1971 1980 1990 2000 2010 Tahun

(15)

Migrasi yang semula dianggap sebagai transfer tenaga kerja dari pedesaan ke perkotaan atau dari suatu provinsi ke provinsi lainnya, justru berdampak pada aspek lainnya seperti perekonomian dan masalah kependudukan. Tingginya tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di berbagai daerah salah satunya disebabkan oleh migrasi, sehingga perlu adanya kebijakan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk dengan mengatasi jumlah migrasi yang berlebihan di sejumlah provinsi.

Sumber : BPS (2010)

Gambar 2 Persentase migran seumur hidup tahun 2010

(16)

Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto dan Produk Domestik Regional Bruto per kapita atas dasar harga konstan 2000 menurut provinsi, 2009-2011

PROVINSI PDRB ADHK 2000 (Miliar Rupiah) PDRB Per Kapita ADHK 2000 (Ribu Rupiah)

Provinsi yang menjadi tujuan bermigrasi tidak hanya provinsi-provinsi yang maju saja. Apabila dilihat dari persentase jumlah migrasi masuknya, Provinsi Lampung juga termasuk salah satu yang memiliki persentase yang tinggi, begitu juga dengan Provinsi Jambi dan Kalimantan Tengah. Padahal provinsi-provinsi tersebut memiliki PDRB per kapita yang berada di bawah PDRB per kapita Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa tidak hanya provinsi maju saja yang menjadi tujuan utama bermigrasi melainkan ada daya tarik lain dari setiap provinsi yang membuat penduduk bermigrasi ke provinsi tersebut.

(17)

perundang-undangan. Adanya otonomi daerah ini bertujuan agar masing-masing daerah memiliki kewenangan untuk membangun daerahnya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Selain itu pelaksanaan otonomi daerah sendiri bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan juga sebagai salah satu upaya pemerataan pertumbuhan ekonomi di seluruh daerah. Hal ini sebenarnya dapat memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus daerahnya sendiri.

Otonomi daerah akan memungkinkan lahirnya program-program baru pemerintah yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan pekerjaan. Pelaksanaan otonomi daerah ini memberikan keuntungan sendiri bagi suatu daerah dimana pertumbuhan ekonomi dapat ditingkatkan sehingga migrasi keluar dapat dicegah. Pada hakekatnya, migrasi merupakan refleksi perbedaan pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan fasilitas pembangunan antara suatu daerah dengan daerah lainnya.

Meningkatnya jumlah migran masuk ke beberapa provinsi di Indonesia, tentunya dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu tujuan seseorang melakukan migrasi adalah untuk mendapatkan kesempatan kerja yang lebih baik. Apabila migran yang masuk memiliki kualitas dan kapabilitas yang baik, hal ini dapat menambah jumlah tenaga kerja yang produktif di provinsi tersebut. Dengan produktivitas tenaga kerja yang meningkat tentunya akan membantu mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan PDRB tidak hanya didukung oleh hasil alam tetapi juga bagaimana pengolahan dan produktivitas tenaga kerjanya. Hal ini akan membawa dampak yang positif bagi provinsi-provinsi yang `menjadi tempat tujuan bermigrasi. Namun di sisi lain, meningkatnya jumlah penduduk juga dapat mengurangi kesempatan kerja. Apabila pertumbuhan penduduk telah melampaui ketersediaan lapangan pekerjaan, tentunya hal ini akan memperburuk masalah pengangguran.

Perumusan Masalah

Migrasi merupakan fenomena perpindahan penduduk yang terjadi karena adanya disparitas antar daerah. Jumlah migrasi yang semakin meningkat menyebabkan masalah kepadatan penduduk bagi suatu daerah. Banyak faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan migrasi, salah satunya karena pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut dan tersedianya lapangan pekerjaan.

(18)

Indonesia. Provinsi Jambi memiliki persentase jumlah migrasi masuk sebesar 23,9 persen sementara pendapatan per kapita hanya 5 982 ribu rupiah. Provinsi Kalimantan Tengah memiliki persentase jumlah migrasi masuk sebesar 23,8 persen sementara pendapatan per kapita juga masih berada dibawah rata-rata Indonesia yaitu 8 924 ribu rupiah. Begitu juga dengan provinsi lainnya yang memiliki pendapatan per kapita rendah namun tetap menjadi tempat tujuan migrasi. Hal ini menunjukkan bahwa kemajuan suatu daerah bukanlah alasan utama mengapa penduduk bermigrasi, melainkan ada faktor-faktor lainnya.

Apabila dilihat berdasarkan perkembangan migrasi masuk dari tahun ke tahun, jumlah migrasi cenderung terus meningkat di beberapa daerah yang merupakan daerah dengan pendapatan per kapita tertinggi. Setelah diberlakukannya kebijakan desentralisasi yaitu otonomi daerah, seharusnya masing-masing daerah dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga jumlah migrasi keluar dapat ditekan. Namun ternyata beberapa daerah maju tetap menjadi tujuan utama migrasi sementara daerah-daerah lain tetap ditinggalkan penduduknya meskipun daerah tersebut sudah mengalami peningkatan ekonomi melalui adanya otonomi daerah.

Meningkatnya jumlah migrasi tidak hanya menimbulkan masalah kepadatan penduduk melainkan juga menimbulkan masalah pengangguran, karena penduduk asli harus bersaing dengan penduduk migran untuk mendapatkan lapangan pekerjaan. Berdasarkan data dari BPS, tingkat pengangguran terbuka (TPT) beberapa provinsi di Indonesia memang mengalami penurunan, tetapi tingkat pengangguran yang masih di atas rata-rata Indonesia tidak menghalangi niat penduduk untuk bermigrasi ke daerah tersebut.

Tabel 2 menjelaskan besarnya tingkat pengangguran masing-masing provinsi di Indonesia. Berdasarkan data dari BPS, provinsi yang memiliki tingkat pengangguran paling tinggi adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten dan Kalimantan Timur. Apabila dilihat, daerah-daerah ini merupakan provinsi dengan jumlah penduduk yang besar. Kalimantan Timur, DKI Jakarta, dan Jawa Barat, meskipun merupakan provinsi dengan pertumbuhan PDRB yang tinggi dan menjadi salah satu tempat tujuan untuk bermigrasi, namun masih memiliki tingkat pengangguran yang tinggi.

(19)

Tabel 2 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menurut provinsi, 2008-2012

Provinsi Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) 2008 2009 2010 2011 2012

Aceh 9.56 8.71 8.37 7.43 7.88

Sumatera Utara 9.1 8.45 7.43 6.37 6.31

Sumatera Barat 8.04 7.97 6.95 6.45 6.25

Riau 8.20 8.56 8.72 5.32 5.17

Kepulauan Riau 8.01 8.11 6.90 7.80 5.87

Jambi 5.14 5.54 5.39 4.02 3.65

Sumatera Selatan 8.08 7.61 6.65 5.77 5.59 Kep. Bangka Belitung 5.99 6.14 5.63 3.61 2.78

Bengkulu 4.90 5.08 4.59 2.37 2.14

Lampung 7.15 6.62 5.57 5.78 5.12

DKI Jakarta 12.16 12.15 11.05 10.80 10.72

Jawa Barat 12.08 10.96 10.33 9.83 9.78

Banten 15.18 14.97 13.68 13.06 10.74

Jawa Tengah 15.18 14.97 6.21 5.93 5.88

DI Yogyakarta 5.38 6.00 5.69 3.97 4.09

Jawa Timur 6.42 5.08 4.25 4.16 4.13

Bali 3.31 3.13 3.06 2.32 2.11

Nusa Tenggara Barat 6.13 6.25 5.29 5.33 5.21 Nusa Tenggara Timur 3.73 3.97 3.34 2.69 2.39 Kalimantan Barat 5.41 5.44 4.62 3.88 3.36 Kalimantan Tengah 4.59 4.62 4.14 2.55 2.71 Kalimantan Selatan 6.18 6.36 5.25 5.23 4.32 Kalimantan Timur 11.11 10.83 10.10 9.84 9.29 Sulawesi Utara 10.65 10.56 9.61 8.62 8.32

Gorontalo 5.65 5.89 5.16 4.26 4.81

Sulawesi Tengah 5.45 5.43 4.61 4.01 3.73 Sulawesi Selatan 9.04 8.90 8.37 6.56 6.46 Sulawesi Barat 4.57 4.51 3.25 2.82 2.07 Sulawesi Tenggara 5.73 4.74 4.61 3.06 3.10

Maluku 10.67 10.57 9.97 7.38 7.11

Maluku Utara 6.48 6.76 6.03 5.55 5.31

Papua 4.39 4.08 3.55 3.94 2.90

Papua Barat 7.65 7.56 7.68 8.94 6.57

Indonesia 8.39 7.87 7.14 6.56 6.32

Sumber : Statistik Indonesia (2012)

(20)

memiliki pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, namun tingkat penganggurannya masih cukup tinggi. Sebaliknya, provinsi yang memiliki tingkat pengangguran rendah tapi memiliki PDRB yang juga rendah tetap menjadi tempat tujuan migrasi. Jumlah migrasi ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun pada beberapa provinsi di Indonesia.

Salah satu upaya untuk menekan jumlah migrasi yang berlebihan di beberapa daerah adalah dengan mengurangi disparitas antar daerah. Kebijakan otonomi daerah di tahun 2001, memberikan kewenangan kepada masing-masing daerah untuk membangun daerahnya sendiri, hal ini dilakukan sebagai upaya pengembangan daerah yang lebih terfokus. Apabila pelaksanaan otonomi daerah dapat berjalan dengan baik, maka pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah dapat berjalan dengan seimbang sehingga tidak ada kesesnjangan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Adanya otonomi daerah seharusnya dapat dijadikan suatu langkah untuk mencegah penduduk meninggalkan daerah asalnya, karena penduduk tidak perlu mencari kesejahteraan di tempat lain. Namun ternyata setelah adanya otonomi daerah, arus migrasi tetap meningkat dan terpusat pada daerah-daerah tertentu saja. Dengan demikian dapat dirumuskan suatu masalah, yaitu :

1. Bagaimana perkembangan migrasi internal di Indonesia sebelum dan setelah adanya otonomi daerah dan apa saja yang menjadi faktor pendorong migrasi keluar?

2. Apa saja faktor-faktor yang memengaruhi migrasi masuk di Indonesia sebelum dan setelah adanya otonomi daerah?

Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dibahas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah

1. Mengkaji perkembangan migrasi internal di Indonesia sebelum dan setelah adanya otonomi daerah dan menganalisis faktor pendorong migrasi keluar. 2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi migrasi masuk di Indonesia

sebelum dan setelah adanya otonomi daerah.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik bagi penulis maupun pihak-pihak lain yang terkait. Manfaat tersebut antara lain :

1. Bagi Pemerintah atau instansi pengambilan keputusan terkait, diharapkan dapat memberi masukan dan bahan pertimbangan untuk perencanaan dan pembangunan yang terkait dengan jumlah migrasi masuk yang cenderung terpusat pada beberapa daerah serta masalah pengangguran di beberapa provinsi di Indonesia.

2. Bagi pembaca diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan masukan untuk penelitian selanjutnya.

(21)

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini berkisar pada jumlah migrasi masuk dan keluar di Indonesia pada saat sebelum dan setelah adanya otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini kemudian akan dihubungkan dengan kondisi migrasi yang terjadi di masing-masing provinsi. Jumlah provinsi yang digunakan sebagai objek pengamatan adalah sebanyak 25 provinsi berdasarkan kelengkapan data yang ada. Kurun waktu penelitian adalah tahun 1990, 1995, 2000, 2005 dan 2010 yang dibagi dalam dua periode yaitu periode sebelum otonomi daerah, tahun 1990 dan 1995, serta periode setelah otonomi daerah yaitu tahun 2000, 2005 dan 2010.

Migrasi dipengaruhi oleh beberapa hal seperti pendapatan per kapita, pengangguran dan tingkat upah. Hal tersebut dapat menjadi faktor pendorong ataupun faktor penarik migrasi. Perkembangan migrasi dan faktor-faktor yang memengaruhi migrasi keluar dianalisis secara deskriptif, sementara itu analisis kuantitatif digunakan hanya untuk melihat faktor-faktor yang memengaruhi migrasi masuk, karena data-data variabel yang digunakan terkait dengan faktor yang dapat memengaruhi migrasi masuk. Hal ini juga untuk membuktikan apakah variabel-variabel yang menjadi faktor penarik berdasarkan teori tersebut dapat memengaruhi migrasi secara signifikan.

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi, Konsep dan Model Migrasi

Migrasi dapat diartikan sebagai perpindahan penduduk dengan tujuan menetap dari suatu daerah ke daerah lain. Menurut Rusli (1994), migrasi adalah suatu gerak penduduk secara geografis, spasial atau territorial antara unit-unit geografis yang melibatkan perubahan tempat tinggal yaitu dari tempat asal ke tempat tujuan. Sedangkan definisi migrasi menurut Munir (2000) adalah perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melampaui batas politik/negara ataupun batas administrasi/batas bagian dalam suatu negara.

Menurut BPS (2010) migrasi dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu 1) Migrasi Seumur Hidup dan 2) Migrasi Risen. Seseorang dikategorikan sebagai migran seumur hidup jika provinsi atau kabupaten/kota tempat lahirnya berbeda dengan provinsi atau kabupaten/kota tempat tinggal sekarang (pada waktu sensus). Sedangkan, seseorang dikategorikan sebagai migran risen jika provinsi atau kabupaten/kota tempat tinggal lima tahun yang lalu berbeda dengan provinsi atau kabupaten/kota tempat tinggal sekarang (pada waktu sensus).

Migrasi merupakan bagian dari mobilitas penduduk. Mobilitas penduduk adalah perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain. Mobilitas penduduk ada yang bersifat nonpermanen (sementara) misalnya turisme baik nasional maupun internasional, dan ada pula mobilitas penduduk permanen (menetap). Mobilitas penduduk horizontal atau geografis meliputi semua gerakan

(movement) penduduk yang melintasi batas wilayah tertentu dalam periode waktu

(22)

migrasi dapat diukur berdasarkan konsep ruang dan waktu. Seseorang dapat disebut sebagai seorang migran, apabila orang tersebut melintasi batas wilayah administrasi dan lamanya bertempat tinggal di daerah tujuan minimal enam bulan (Mantra, 1984).

Migrasi dapat dibedakan berdasarkan jangkauan kepindahannya, yaitu migrasi lokal atau internal dan migrasi internasional.

1. Migrasi lokal

Migrasi lokal/nasional adalah perpindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain dalam satu negara. Bentuk-bentuk migrasi lokal dapat dibedakan, menjadi berikut ini

a). Sirkulasi

Sirkulasi merupakan bentuk perpindahan penduduk tidak menetap, namun ada juga yang menetap atau tinggal untuk sementara waktu di daerah tujuan. Sirkulasi umumnya dilakukan oleh orang-orang yang bekerja di luar daerah tempat tinggalnya sehingga kadang perlu menetap. Seseorang yang melakukan sirkulasi harian disebut juga dengan commuter.

b). Urbanisasi

Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota dalam satu pulau. Urbanisasi pada umumnya bersifat menetap, sehingga dapat memengaruhi jumlah penduduk kota yang dituju ataupun jumlah penduduk di desa yang ditinggalkan. c). Ruralisasi

Ruralisasi adalah kebalikan dari urbanisasi, yaitu perpindahan penduduk dari kota ke desa. Ruralisasi pada umumnya banyak dilakukan oleh mereka yang dulu pernah melakukan urbanisasi, namun banyak juga pelaku ruralisasi yang merupakan orang kota asli.

d). Transmigrasi

Transmigrasi yaitu perpindahan penduduk dari daerah atau pulau yang padat penduduknya ke daerah (pulau) yang berpenduduk jarang. Pelaku transmigrasi disebut dengan transmigran.

2. Migrasi Internasional

Migrasi internasional adalah perpindahan penduduk antarnegara. Migrasi internasional terjadi karena beberapa hal, antara lain, karena terjadi peperangan, bencana alam, atau untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Migrasi internasional dapat dibedakan menjadi dua, yaitu imigrasi dan emigrasi.

a). Imigrasi adalah masuknya penduduk dari luar negeri ke dalam negeri untuk tujuan menetap. Pelaku imigrasi disebut dengan imigran.

b). Emigrasi yaitu perpindahan penduduk dari dalam negeri ke luar negeri untuk tujuan menetap. Pelaku emigrasi disebut dengan emigran.

Menurut Lee (1966) migrasi dalam arti luas adalah perubahan tempat tinggal secara permanen atau semi permanen. Disini tidak ada pembatasan, baik pada jarak perpindahan maupun sifatnya, yaitu apakah perbedaan itu bersifat sukarela atau terpaksa. Jadi migrasi adalah gerakan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain dengan niatan menetap di daerah tujuan.

(23)

1. Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal 2. Faktor-faktor yang terdapat di daerah tujuan 3. Faktor penghalang antara

4. Faktor-faktor pribadi (individu)

Menurut Hardjosudarmo (1965) terjadinya migrasi disebabkan oleh tiga faktor, yaitu:

1. Faktor pendorong (push factor) yang ada pada daerah asal, yakni adanya pertambahan penduduk yang mengakibatkan timbulnya tekanan penduduk, adanya kekeringan sumber alam, adanya fluktuasi iklim, dan ketidaksesuaian diri dengan lingkungan.

2. Faktor penarik (pull factor) yang ada pada daerah tujuan, yakni adanya sumber alam serta sumber mata pencaharian baru, adanya pendapatan-pendapatan baru, dan iklim yang sangat baik.

3. Faktor lainnya (other factor), yakni adanya perubahan-perubahan teknologi, seperti munculnya mekanisasi pertanian yang bisa menyebabkan berkurangnya permintaan tenaga kerja untuk pertanian. Hal ini memaksa buruh tani untuk pindah ke tempat atau pekerjaan lain. Selain itu juga karena adanya perubahan pasar, faktor agama, politik, dan faktor pribadi.

Menurut BPS (2010) ada beberapa hal yang menjadi faktor-faktor pendorong dan faktor penarik untuk melakukan migrasi. Faktor pendorong tersebut antara lain :

 Makin berkurangnya sumber-sumber kehidupan seperti menurunnya daya dukung lingkungan, menurunnya permintaan atas barang-barang tertentu yang bahan bakunya makin sulit diperoleh seperti hasil tambang, kayu, atau bahan dari pertanian.

 Menyempitnya lapangan pekerjaan di tempat asal (misalnya tanah untuk pertanian di wilayah perdesaan yang makin menyempit).

 Adanya tekanan-tekanan seperti politik, agama, dan suku, sehingga mengganggu hak asasi penduduk di daerah asal.

 Alasan pendidikan, pekerjaan atau perkawinan.

 Bencana alam seperti banjir, kebakaran, gempa bumi, tsunami, musim kemarau panjang atau adanya wabah penyakit.

Sementara itu yang menjadi faktor penarik, antara lain :

 Adanya harapan akan memperoleh kesempatan untuk memperbaiki taraf hidup.

 Adanya kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik

 Keadaan lingkungan dan keadaan hidup yang menyenangkan, misalnya iklim, perumahan, sekolah dan fasilitas-fasilitas publik lainnya.

 Adanya aktivitas-aktivitas di kota besar, tempat-tempat hiburan, pusat kebudayaan sebagai daya tarik bagi orang-orang daerah lain untuk bermukim di kota besar.

(24)

Ada beberapa teori yang menerangkan mengapa seseorang mengambil keputusan melakukan mobilitas. Pertama, seseorang mengalami tekanan (stress), baik ekonomi, sosial, maupun psikologi di tempat ia berada. Tiap-tiap individu mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda, sehingga suatu wilayah oleh seseorang dinyatakan sebagai wilayah yang dapat memenuhi kebutuhannya, sedangkan orang lain tidak. Kedua, terjadi perbedaan nilai kefaedahan wilayah antara tempat yang satu dengan tempat lainnya. Apabila tempat yang satu dengan lainnya tidak ada perbedaan nilai kefaedahan wilayah, tidak akan terjadi mobilitas penduduk.

Teori migrasi mula-mula diperkenalkan oleh Ravenstein (1885) dan kemudian digunakan sebagai dasar kajian bagi peneliti lainnya (Lee, 1966; Zelinsky, 1971 dalam Wirawan, 2006). Kedua peneliti mengatakan bahwa motif utama yang menyebabkan seseorang melakukan migrasi adalah alasan ekonomi. Mantra (1998) menyebutkan bahwa beberapa teori yang mengungkapkan mengapa orang melakukan mobilitas, diantaranya adalah teori kebutuhan dan stres. Setiap individu mempunyai beberapa macam kebutuhan ekonomi, sosial, budaya, dan psikologis. Semakin besar kebutuhan tidak dapat terpenuhi, semakin besar stres yang dialami. Apabila stres sudah melebihi batas, maka seseorang akan berpindah ke tempat lain yang mempunyai nilai kefaedahan terhadap pemenuhan kebutuhannya. Perkembangan teori migrasi demikian dikenal dengan model

stress-treshold atau place-utility.

Model Migrasi Todaro

Pembangunan ekonomi di negara-negara maju, salah satunya didukung oleh perpindahan tenaga kerja dari pedesaan ke perkotaan. Banyaknya penduduk yang melakukan migrasi karena sebagian besar perekonomian di pedesaan didominasi oleh sektor pertanian, sementara itu perekonomian di daerah perkotaan terpusat pada kegiatan industrialisasi. Oleh karena itu kemajuan perekonomian secara keseluruhan di negara maju disebabkan adanya proses realokasi secara bertahap dari sektor pertanian ke sektor industri.

Migrasi di negara-negara berkembang awalnya dipandang sebagai suatu hal yang positif karena dengan adanya migrasi dapat terjadi transfer tenaga kerja dari daerah yang memiliki surplus tenaga kerja ke daerah lain yang kekurangan tenaga kerja. Namun faktanya, lonjakan migrasi yang terjadi di negara berkembang ini bukannya memacu pembangunan di perkotaan melainkan menyebabkan masalah pengangguran. Todaro dan Smith (2006) kemudian mengembangkan sebuah teori baru mengenai migrasi dari desa ke kota dalam rangka menjelaskan adanya suatu hubungan yang bersifat paradoks antara lonjakan migrasi dari desa ke kota yang semakin cepat itu dengan terus meningkatnya pengangguran di perkotaan. Teori tersebut kemudian dikenal sebagai Model Migrasi Todaro, yang mirip dengan Model Harris-Todaro.

(25)

Dalil dasar dalam model ini adalah bahwa para migran senantiasa mempertimbangkan dan membanding-bandingkan berbagai macam pasar tenaga kerja yang tersedia bagi mereka di sektor pedesaan dan perkotaan, serta kemudian memilih salah satu diantaranya yang dapat memaksimumkan keuntungan yang diharapkan.

Model migrasi dari Todaro memiliki empat pemikiran dasar sebagai berikut: 1. Migrasi desa-kota dirangsang terutama oleh berbagai pertimbangan ekonomi

yang rasional dan yang langsung berkaitan dengan keuntungan atau manfaat dan biaya-biaya relatif migrasi itu sendiri.

2. Keputusan untuk bermigrasi bergantung pada selisih antara tingkat pendapatan yang diharapkan di kota dan tingkat pendapatan aktual di pedesaan.

3. Kemungkinan mendapatkan pekerjaan di perkotaan berkaitan langsung dengan tingkat lapangan pekerjaan di perkotaan, sehingga berbanding terbalik dengan tingkat pengangguran di perkotaan.

4. Laju migrasi desa-kota bisa saja terus berlangsung meskipun telah melebihi laju pertumbuhan kesempatan kerja. Kenyataan ini memiliki landasan yang rasional; karena adanya perbedaan ekspektasi pendapatan yang sangat lebar, yakni para migran pergi ke kota untuk meraih tingkat upah lebih tinggi yang nyata.

Konsep Otonomi Daerah dan Kaitannya dengan Migrasi

Semasa Orde Baru, pemerintah telah membangun suatu pemerintahan nasional yang kuat dengan menempatkan stabilitas politik untuk mempercepat pembangunan ekonomi Indonesia. Hal ini tentunya juga didukung oleh inisiatif program-program pembangunan dari pusat. Dalam kerangka struktur sentralisasi kekuasaan politik dan otoritas administrasi ini, kemudian dibentuklah Undang-undang No. 5 Tahun 1974 yang mengatur tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah (Kuncoro, 2004).

Undang-undang No. 5 Tahun 1974 ini telah meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah yang dirangkum dalam tiga prinsip: Pertama, desentralisasi yang berarti penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada daerah. Kedua, dekonsentrasi yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah atau kepala wilayah tingkat atasnya kepada pejabat-pejabat di daerah. Ketiga, tugas perbantuan yang berarti pengkoordinasian prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi oleh kepala daerah yang memiliki fungsi ganda sebagai penguasa tunggal di daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah. Akibat prinsip ini, dikenal adanya daerah otonom dan wilayah admisitratif.

(26)

terdesentralisasi. Perubahan UU tersebut kemudian dilakukan pada masa pemerintahan Habibie dan tertuang pada UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999 (Rasyid dalam Haris, 2005). Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 ini memaknai otonomi daerah sebagai pemberian kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Menurut Mardiasmo (2007), tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terkandung tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, yaitu:

 Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.

 Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya daerah.

 Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.

Ketika otonomi daerah baru berjalan, terjadi banyak penyimpangan karena peraturan otonomi daerah dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 dinilai terlalu memberikan kebebasan pada pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya sendiri sehingga kebebasan ini tidak dapat dikendalikan dan menimbulkan dampak negatif. Kemudian dilakukan beberapa perubahan agar landasan hukum mengenai otonomi daerah lebih jelas. Pemerintah kemudian mengganti Undang-undang No. 22 tahun 1999 menajdi Undang-undang No. 32 tahun 2004.

Dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi derah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 6 selanjutnya menyebutkan bahwa daerah otonom adalah kesatuan masyarakat yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pelaksanaan otonomi daerah pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan sesuai dengan kehendak dan kepentingan masyarakat.

(27)

Salah satu upaya untuk mengurangi arus migrasi adalah dengan melakukan pemerataan di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah memang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah agar lebih leluasa dalam mengembangkan daerahnya sendiri. Hal ini dimaksudkan agar pengembangan dan pengelolalaan sumberdaya di masing-masing daerah dapat berjalan lebih efektif dan efisien. Keberhasilan otonomi daerah juga tentunya didukung oleh kesiapan dan kemandirian pemerintah daerah dalam mengelolanya agar dapat berujung pada kesejahteraan masyarakat. Akselerasi pembangunan diharapkan diharapkan terjadi di semua pemerintah daerah sehingga memperkecil jurang ketimpangan antar kabupaten dan provinsi.

Berdasarkan hasil studi Takeda dan Nakata (1998) yang mengidentifikasi tingkat disparitas wilayah di Indonesia, apabila dibandingkan dengan negara China dan Brazil yang sama-sama berpenduduk besar, tingkat disparitas ekonomi maupun sosial di Indonesia adalah yang tertinggi, baik dengan atau tanpa pendapatan dari sektor pertambangan. Maksud dan tujuan otonomi daerah memberi makna desentralisasi pembangunan akan berpengaruh terhadap laju pertumbuhan antar daerah yang semakin seimbang sehingga pelaksanaan pembangunan semakin merata. Pemerataan pembangunan ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk di seluruh provinsi. Dengan kondisi yang relatif mapan pada semua tingkatan penduduk, implikasi dari otonomi daerah ini diharapkan dapat menekan laju migrasi keluar karena penduduk tidak perlu lagi mencari kesejahteraan di tempat lain.

Model Pertumbuhan Ekonomi

Teori Pertumbuhan Solow

Pertumbuhan Ekonomi adalah pertumbuhan output riil suatu perekonomian sepanjang tahun. Pertumbuhan ekonomi diukur dengan peningkatan Produk Nasional Bruto (PNB) riil atau Produk Domestik Bruto (PDB) sepanjang waktu atau peningkatan pendapatan perkapita sepanjang waktu. Ukuran yang terakhir tersebut menghubungkan peningkatan output total dengan perubahan jumlah penduduk. Bila output total hanya naik sedikit dibandingkan dengan kenaikan jumlah penduduk, maka hanya terjadi sedikit peningkatan standar hidup rata-rata.

Model pertumbuhan Solow dirancang untuk menunjukkan bagaimana pertumbuhan persediaan modal, pertumbuhan angkatan kerja, dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian, serta bagaimana pegaruhnya terhadap output barang dan jasa suatu Negara secara keseluruhan (Mankiw, 2007).

Penawaran barang dalam model Solow didasarkan pada fungsi produksi yang sudah dikenal, yang menyatakan bahwa output bergantung pada persediaan modal dan angkatan kerja :

Y = F(K,L)

Model pertumbuhan Solow mengasumsikan bahwa fungsi produksi memiliki skala pengembalian konstan atau skala hasil konstan (constan return to scale). Fungsi produksi memiliki skala pengembalian yang konstan jika

(28)

dengan z bernilai positif. Jika modal dan tenaga kerja dikalikan dengan z maka output yang dihasilkan juga dikalikan dengan z. Fungsi produksi dengan pengembalian kosntan digunakan untuk menganalisis seluruh variabel dalam perekonomian dengan dibandingkan jumlah tenaga kerja. Kemudian z = 1/L

dimasukkan dalam persamaan di atas untuk mendapatkan

Y/L = F(K/L, 1)

Persamaan ini menunjukkan bahwa jumlah output per pekerja Y/L adalah fungsi dari jumlah modal per pekerja K/L. Asumsi skala pengembalian konstan menunjukkan bahwa besarnya perekonomian—sebagaimana diukur oleh jumlah pekerja—tidak memengaruhi hubungan antara output per pekerja dan modal per pekerja. Karena besarnya perekonomian tidak menjadi masalah, maka cukup beralasan untuk menyatakan seluruh variabel dalam istilah per pekerja. Jika seluruh variabel dilambangkan dengan huruf kecil dimana y = Y/L adalah output per pekerja dan k = K/L adalah modal per pekerja maka akan didapatkan fungsi produksi sebagai berikut

Y = f(k)

dimana f(k) didefinisikan sebagai F(k,1). Gambar 3 menunjukkan fungsi produksi ini. Kemiringan dari fungsi produksi ini menunjukkan berapa banyaknya output tambahan yang dihasilkan seorang pekerja ketika mendapatkan satu unit modal tambahan. Angka yang diperoleh merupakan produk marjinal modal MPK, secara sistematis dapat ditulis sebagai

MPK = f(k + 1) – f(k)

Output per Pekerja, y

Output, f(k)

MPK 1

Modal per pekerja, k

Gambar 3 Kurva Fungsi Produksi

(29)

Permintaan terhadap barang dalam model Solow berasal dari konsumsi dan investasi. Dengan kata lain, output per pekerja y merupakan konsumsi per pekerja

c dan investasi per pekerja i :

y = c + i

Persamaan ini adalah versi per pekerja dari identitas perhitungan pendapatan nasional untuk suatu perekonomian. Model Solow mengasumsikan bahwa setiap tahun orang menabung sebagian s dari pendapatan mereka dan mengkonsumsi sebagian (1 - s), dengan demikian fungsi konsumsi dapat dinyatakan

c = (1 –s)y,

di mana s, tingkat tabungan, adalah angka antara nol dan satu. Untuk melihat apakah fungsi konsumsi ini berpengaruh pada investasi, substitusikan (1 – s)y

untuk c dalam identitas perhitungan pendapatan nasional:

y = (1 –s)y + i

i = sy

Persamaan ini menunjukkan bahwa investasi sama dengan tabungan, jadi tingkat tabungan, s juga merupakan bagian dari output yang menunjukkan investasi.

Pada setiap momen, persediaan modal adalah determinan output perekonomian yang penting karena setiap persediaan modal bisa berubah sepanjang waktu, dan perubahan itu bisa mengarah ke pertumbuhan ekonomi. Biasanya, terdapat dua kekuatan yang memengaruhi persediaan modal: investasi dan depresiasi. Investasi mengacu pada pengeluaran untuk peluasan usaha dan peralatan baru, hal itu menyebabkan persediaan modal bertambah. Depresiasi mengacu pada penggunaan modal, dan hal itu menyebabkan persediaan modal berkurang.

Perubahan Persediaan Modal = Investasi – Depresiasi Δk = i - k

di mana Δk adalah perubahan persediaan modal antara satu tahun tertentu dan

tahun berikutnya. Karena investasi i sama dengan sf(k), maka

Δk = sf(k) k

Suatu perekonomian berada dalam kondisi mapan ketika tingkat persediaan modal berada pada k* di mana jumlah investasi sama dengan jumlah depresiasi. Pada kondisi ini, persediaan modal tidak akan berubah karena investasi dan depresiasi beraksi di dalamnya secara seimbang, yaitu pada k*, Δk = 0 sehingga persediaan modal k dan output f(k) dalam kondisi mapan sepanjang waktu (tidak tumbuh atau menyusut).

Model Solow dasar menunjukkan bahwa akumulasi modal dengan sendirinya tidak bisa menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan: tingkat tabungan yang tinggi menyebabkan pertumbuhan yang tinggi secara temporer, tetapi perekonomian pada akhirnya mendekati kondisi mapan di mana modal dan output konstan. Untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, model Solow harus diperluas, oleh karena itu perlu dimasukkan sumber lainnya yaitu pertumbuhan penduduk ke dalam model, sehingga perubahan persediaan modal adalah

Δk = i –( + n ) k

Δk = sf(k) –( + n ) k

(30)

Simbol ( + n)k menunujukkan investasi pulang-pokok atau impas. Investasi pulang-pokok mencakup depresiasi modal yang ada, yang sama dengan k.

Investasi pulang-pokok juga mencakup jumlah investasi yang dibutuhkan untuk menyediakan modal bagi para pekerja baru. Depresiasi mengurangi k dengan menghabiskan persediaan modal, sedangkan pertumbuhan populasi mengurangi k

dengan menyebarkan persediaan modal dalam jumlah yang lebih kecil di antara populasi pekerja yang lebih besar.

Gambar 4 menunjukkan dampak pertumbuhan populasi terhadap persediaan modal pada kondisi mapan. Perekonomian akan berada dalam kondisi mapan jika modal per pekerja k tidak berubah. Dalam kondisi mapan, dampak positif investasi terhadap persediaan modal per pekerja akan menyeimbangkan dampak negatif depresiasi dan pertumbuhan populasi. Yaitu pada k*, Δk = 0, dan i* = k*

+ nk*. Sekali perekonomian berada dalam kondisi mapan, investasi memiliki dua

tujuan. Sebagian dari perekonomian itu ( k*) akan mengganti modal yang

terdepresiasi, dan sisanya (nk*) memberi modal untuk para pekerja baru.

y ( + n)k

i = sf(k)

y*

k*

k

Gambar 4 Pertumbuhan populasi dalam model Solow

Pertumbuhan populasi dapat menjelaskan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Adanya pertumbuhan populasi memberikan dampak pada tingkat persediaan modal per pekerja. Apabila terjadi peningkatan pertumbuhan populasi, hal ini akan mengurangi tingkat modal per pekerja pada kondisi mapan. Karena k*

lebih rendah, dan karena y* = f(k*), maka tingkat output per pekerja juga lebih rendah. Pada kasus migrasi internal, meningkatnya jumlah migrasi masuk di suatu provinsi berarti meningkatkan pertumbuhan populasi di provinsi tersebut. Pertumbuhan penduduk melalui migrasi ini tentunya akan berdampak pada persediaan modal dan output per pekerja. Hal ini dijelaskan dalam Gambar 5 yang menunjukkan kondisi perekonomian setelah adanya migrasi.

(31)

akan memiliki tingkat modal per pekerja yang lebih rendah dan pendapatan yang lebih rendah pula.

y ( + n2)k

( + n1)k

i = sy

k2* k1* k

Gambar 5 Dampak pertumbuhan populasi terhadap perekonomian

Teori Pertumbuhan Neoklasik Tradisional

Model pertumbuhan neoklasik Solow merupakan pengembangan dari formulasi Harrod-Domar dengan menambahkan faktor kedua, yakni tenaga kerja, serta menambahkan variabel independen ketiga, yakni teknologi ke dalam persamaan pertumbuhan. Namun, berbeda dengan model Harrod-Domar yang mengasumsikan skala hasil tetap dengan koefisien baku, model pertumbuhan neoklasik Solow berpegang pada konsep skala hasil yang terus berkurang

(diminishing returns) dari input tenaga kerja dan modal jika keduanya dianalisis

secara terpisah. Kemajuan teknologi ditetapkan sebagai faktor residu untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, dan tinggi-rendahnya pertumbuhan itu sendiri oleh Solow diasumsikan bersifat eksogen atau tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya.

Dalam bentuknya yang lebih formal, model pertumbuhan neoklasik Solow memakai fungsi produksi agregat standar, yakni :

Y = Kα(AL)1-α

dimana Y adalah produk domestik bruto, K adalah stok modal fisik dan modal manusia, L adalah tenaga kerja, dan A adalah produktivitas tenaga kerja, yang pertumbuhannya ditentukan secara eksogen. Adapun simbol α melambangkan elasitisitas output terhadap modal (atau kenaikan dari 1 persen penambahan modal fisik dan modal manusia). Hal itu biasanya dihitung secara statistik sebagai pangsa modal dalam perhitungan pendapatan nasional suatu negara. Karena α diasumsikan kurang dari 1 dan modal swasta diasumsikan dibayar berdasarkan produk marginalnya sehingga tidak ada ekonomi eksternal, maka formulasi teori pertumbuhan neoklasik ini memunculkan skala hasil modal dan tenaga kerja yang terus berkurang.

y1*

(32)

Menurut Teori Pertumbuhan Neoklasik Tradisional, pertumbuhan output selalu bersumber dari satu atau lebih dari tiga faktor, yakni: kenaikan kuantitas dan kualitas tenaga kerja (melalui pertumbuhan jumlah penduduk dan perbaikan pendidikan), penambahan modal (melalui tabungan dan investasi), serta penyempurnaan teknologi (Todaro, 2006).

Penelitian Terdahulu

Berbagai macam penelitian tentang migrasi telah banyak dilakukan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Berikut ini akan dipaparkan beberapa penelitian terdahulu dan berbagai metode yang digunakan serta hasilnya.

Tommy Firman menulis artikel di majalah Prisma Nomor 7 – 1994 yang

berjudul ―Migrasi Antar Provinsi dan Pengembangan Wilayah di Indonesia‖,

dengan data yang bersumber dari Sensus Penduduk tahun 1980 dan 1990. Artikel tersebut mengkaji hubungan antara migrasi antar provinsi dengan perkembangan wilayah. Kesimpulan dari pengkajian tersebut adalah yang pertama, pola migrasi antar provinsi dalam kurun waktu 1980-1990 sebagian besar berasal dari dan menuju ke provinsi-provinsi di pulau Jawa. Kedua, wilayah utama migrasi antar provinsi adalah daerah perkotaan di pulau Jawa. Hasil Sensus Penduduk 1980 menunjukkan bahwa perbandingan tujuan ke wilayah perkotaan dan pedesaan masih seimbang, yaitu 48 persen berbanding 52 persen, namun berdasarkan hasil Sensus Penduduk 1990 proporsi migran yang menuju wilayah perkotaan menjadi 60 persen. Hal ini merupakan indikasi bahwa migrasi antar provinsi di Indonesia baik dalam jumlah absolut maupun persentase semakin berorientasi ke wilayah perkotaan.

Solimano (2002) dalam penelitiannya yang berjudul ―Development Cycles,

Political Regimes and International Migration: Argentina in the 20th Century”

mengungkapkan migrasi penduduk ke Amerika Serikat dan Eropa atau Negara yang lebih maju dengan pendekatan ekonomi dan politik. Metode yang digunakan adalah dengan pendekatan Ordinary Least Square (OLS). Pendekatan ekonomi dilakukan dengan melihat tingkat rasio pendapatan nasional negara asal dengan negara tujuan. Sedangkan pendekatan politik dilakukan dengan mamsukkan rezim pemerintahan di negara asal yaitu Argentina. Hasil dari penelitian ini yaitu diketahui bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara selisih pendapatan nasional negara penerima dengan negara pengirim migran.

Desiar (2003) menganalisis dampak migrasi terhadap pengangguran dan sektor informal di DKI Jakarta. Penelitian ini membahas mengenai faktor apa saja yang memengaruhi masuknya migrasi ke DKI Jakarta dan seberapa besar tingkat pengangguran dan peningkatan sektor informal akibat adanya migrasi. Hasil dari penelitian ini diketahui bahwa migrasi masuk ke DKI Jakarta meningkatkan pengangguran dan sektor informal.

(33)

kemungkinan, yang pertama, lapangan pekerjaan di Jawa Timur justru didominasi oleh migran. Kemungkinan kedua, excess supply tenaga kerja yang terjadi pada sektor pertanian membuat keinginan untuk bermigrasi ke wilayah industri semakin tinggi walaupun angka pengangguran di sana tinggi. Selanjutnya, Chletsos dan Roupakias (2012) meneliti tentang keterkaitan imigrasi, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi di Yunani. Penelitian ini membahas bagaimana ketiga variabel yaitu imigrasi, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi saling memengaruhi satu sama lain. Data yang digunakan adalah data tahunan sebanyak 30 tahun dan dianalisis menggunakan metode Error Correction

Model (ECM). Hasil dari penelitian ini adalah terdapat hubungan jangka panjang

dimana pertumbuhan ekonomi dan pengangguran memengaruhi migrasi tetapi tidak sebaliknya.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu antara lain, Solimano menganalisis migrasi internasional dari Argentina ke Amerika Serikat, sedangkan penelitian ini menganalisis migrasi internal antar provinsi di Indonesia. Perbedaan dengan penelitian Chletsos dan Roupakias adalah Chletsos dan Roupakias menganalisis keterkaitan antara imigrasi, pengangguran dan pertumbuhan, sedangkan penelitian ini menambahkan variabel lainnya. data yang digunakan juga berbeda yaitu data panel dari beberapa provinsi di Indonesia. Selanjutnya, perbedaan penelitian ini dengan penelitian Desiar adalah Desiar menganalisis dampak migrasi terhadap pengangguran dan sektor informal di DKI Jakarta, sedangkan penelitian ini hanya melihat faktor-faktor yang mempemgaruhi migrasi internal dan tidak membahas sektor informal. Sementara itu penelitian Nada mengaitkan migrasi dengan otonomi daerah namun dengan menghitung pertumbuhan kesempatan kerja yang terjadi setelah adanya otonomi daerah.

Kerangka Pemikiran

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dibahas, banyak faktor yang memengaruhi keputusan seseorang untuk melakukan migrasi. Provinsi-provinsi yang memiliki sumberdaya alam melimpah dan pendapatan per kapita yang tinggi tentunya menjadi daya tarik tersendiri bagi para migran. Tidak hanya itu, keputusan seseorang melakukan migrasi juga dipengaruhi oleh faktor pendorong dari daerah asal, seperti menyempitnya lapangan pekerjaan di daerah asal, makin berkurangnya sumber-sumber alam, perbedaan upah, alasan perkawinan, bencana alam dan masih banyak faktor lainnya. Perbedaan kondisi di masing-masing daerah inilah yang menjadi alasan seseorang melakukan migrasi.

(34)

daerah-daerah yang maju, sementara di daerah lain semakin banyak juga penduduk yang keluar untuk pindah ke daerah yang lebih maju.

Pada tahun 2001 Pemerintah memberlakukan otonomi daerah untuk memberikan kesempatan bagi Pemerintah Daerah untuk mengembangkan daerahnya masing-masing dengan leluasa. Adanya otonomi daerah ditujukan agar tercipta pembangunan yang lebih efisien dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Apabila otonomi daerah berhasil dilakukan tentunya dapat mengurangi jumlah migrasi keluar dari daerah tersebut, oleh karena itu perlu dilihat bagaimana perbedaan jumlah migrasi pada saat sebelum dan setelah otonomi daerah.

Gambar 6 Kerangka pemikiran Perbedaan kondisi perekonomian daerah

Implikasi kebijakan MIGRASI INTERNAL

Migrasi Keluar Migrasi Masuk

Faktor Pendorong : -PDRB provinsi asal

-Ketersediaan lapangan kerja provinsi asal

-Kurangnya sumberdaya dan fasilitas provinsi asal

-Rendahnya tingkat upah di provinsi asal

Faktor Penarik : -PDRB provinsi tujuan

-Ketersediaan lapangan kerja provinsi tujuan

-Tersedianya sumberdaya dan fasilitas provinsi tujuan

-Tingginya tingkat upah di provinsi tujuan

Migrasi Neto

OTONOMI DAERAH

Faktor-faktor yang memengaruhi migrasi masuk sebelum dan setelah

otonomi daerah Perkembangan migrasi internal sebelum

dan setelah otonomi daerah dan faktor-faktor pendorong migrasi keluar

(35)

Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan sebelumnya, ada beberapa faktor-faktor yang memengaruhi keputusan seseorang untuk melakukan migrasi. Oleh karena itu dapat dibuat bebrapa hipotesis penelitian, yaitu :

1. Tingkat PDRB per kapita provinsi tujuan memiliki hubungan yang positif terhadap jumlah migrasi yang masuk ke provinsi tersebut.

2. Jumlah Pengangguran provinsi tujuan memiliki hubungan yang negatif terhadap jumlah migrasi yang masuk ke provinsi tersebut.

3. Tingkat upah provinsi tujuan memiliki hubungan yang positif terhadap jumlah migrasi yang masuk ke provinsi tersebut.

4. Jumlah penduduk yang menamatkan pendidikan tinggi dan menengah di provinsi tujuan memiliki hubungan yang negatif terhadap jumlah migrasi yamg masuk ke provinsi tersebut.

5. Dummy sebelum dan setelah otonomi daerah memiliki hubungan yang

negatif terhadap jumlah migrasi masuk ke provinsi tersebut.

METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini dilakukan dalam lingkup nasional, yaitu membahas mengenai migrasi yang masuk antar seluruh provinsi di Indonesia. Data yang digunakan adalah data migrasi masuk, data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita dari masing-masing provinsi, tingkat pengangguran di masing-masing provinsi, data tenaga kerja Indonesia dan Upah Minimum Regional (UMR). Provinsi yang dijadikan objek penelitian sebanyak 25 provinsi, hal ini karena ada beberapa provinsi yang mengalami pemekaran daerah sehingga data tidak tersedia dengan lengkap. Pengambilan jumlah objek yang banyak bertujuan untuk memunculkan keunikan yang terjadi di masing-masing provinsi. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data time series

(tahun 1990, 1995, 2000, 2005, dan 2010) serta data cross section yang terdiri dari data migrasi masuk seluruh provinsi di Indonesia, PDRB riil per kapita, UMR, dan tingkat pengangguran terbuka. Data diperoleh dari berbagai sumber, yaitu BPS, hasil Sensus Penduduk tahun 1990, 2000, dan 2010 serta Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 1995 dan 2005, media internet, artikel, dan literatur-literatur lainnya yang berkaitan.

(36)

Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan gambaran perkembangan migrasi internal di Indonesia pada saat sebelum dan setelah otonomi daerah serta faktor-faktor apa saja yang menjadi faktor pendorong migrasi keluar. Analisis secara kuantitatif digunakan untuk menganalisa faktor-faktor yang memengaruhi migrasi masuk seumur hidup antar provinsi di Indonesia sebelum dan setelah otonomi daerah. Metode ini menggunakan regresi data panel.

Data Panel

Dalam menduga suatu model ekonometrik, diperlukan data contoh untuk melihat adanya hubungan antara variabel bebas dangan variabel tak bebas. Data panel merupakan bagian dari pengumpulan gabungan dua jenis bentuk data yaitu data runtut waktu (time series) dan data silang (cross section). Penggunaaan data panel dilakukan bila dalam suatu penelitian ditemukan keterbatasan data baik dalam bentuk pengamatan waktu maupun dalam bentuk pengamatan objek. Kedua kondisi tersebut dapat diatasi dengan menggunakan data panel yang bertujuan untuk memperoleh hasil estmasi yang lebih baik (efisien). Metode data panel terdiri dari tiga jenis model. Model panel mampu meningkatkan jumlah pengamatan sehingga terjadi peningkatan derajat bebas, dengan demikian panel mampu menghasilkan penduga parameter yang lebih efisien. Model panel tersebut antara lain :

1. Model Pooled

Model pooled yaitu model yang didapatkan dengan mengkombinasikan atau mengumpulkan semua data cross section dan time series. Model data ini kemudian di duga dengan menggunakan Ordinary Least Square (OLS) yaitu : Yit = α + βXit+ it,

dimana :

Yit = variabel endogen, Xit = variabel eksogen,

α = interesep,

β = slope, i = individu ke i t = individu ke-t,

= error/simpangan.

2. Model Efek Tetap (Fixed Effect)

Masalah terbesar dalam pendekatan model kuadrat terkecil adalah asumsi interesep dan slope dari persamaan regresi yang dianggap konstan baik antar individu maupun antar waktu yang mungkin kurang beralasan. Untuk mengatasi masalah ini maka kita bisa menggunakan Model Efek Tetap (Fixed Effect).

(37)

memungkinkan perubahan-perubahan interesep ini lalu model di duga dengan OLS, yaitu :

Yit= αiDi + βXit + it dimana :

Yit = variabel endogen, Xit = variabel eksogen,

αi = interesep model yang berubah-ubah antar cross section unit,

β = slope,

D = variabel dummy,

I = individu ke-i, t = periode waktu ke-t, =error/simpangan.

3. Model Efek Acak (Random Effect)

Keputusan untuk memasukkan variabel dummy dalam model efek tetap tak dapat dipungkiri akan dapat menimbulkan konsekuensi. Penambahan variabel boneka akan dapat mengurangi banyaknya derajat kebebasan yang pada akhirnya akan mengurangi efisiensi dari parameter yang diestimasi. Untuk mengatasi masalah tersebut maka kita bisa menggunakan Model Efek Acak (Random Effect). Dalam model efek acak parameter yang berbeda antar individu maupun antar waktu dimasukkan ke dalam error. Karena hal inilah model efek acak sering juga disebut model komponen error (error component model). Bentuk model efek acak ini bisa dijelaskan pada persamaan berikut :

Yit= αi+ βXit+ it it = uit+ vit+ wit dimana :

uit ~ ζ(0, u²) = komponen cross section error,

vit ~ ζ(0, v²) = komponen time series error,

wit ~ ζ(0, v²)= komponen combination error,

kita juga mengasumsikan bahwa error secara individual juga tidak saling berkorelasi begitu juga dengan error kombinasinya. Penggunaan model efek acak dapat menghemat pemakaian derajat kebebasan dan tidak mengurangi jumlahnya seperti yang dilakukan pada model efek tetap. Hal ini berimplikasi parameter yang merupakan hasil estimasi akan menjadi efisien. Semakin efisien maka model akan semakin baik.

Perumusan Model

Data diolah dengan menggunakan bantuan program Eviews 6 dan Microsoft

Excell 2007. Salah satu langkah dalam penelitian ini adalah merumuskan model

umum yang akan digunakan untuk dianalisis dengan fungsi regresi. Penggunaan regresi ditujukan untuk melihat kemungkinan adanya migrasi dari berbagai variabel yang diestimasi. Keputusan seseorang melakukan migrasi dikarenakan adanya alasan ekonomi dan non ekonomi. Menurut model migrasi Todaro, faktor ekonomi yang menjadi alasan seseorang melakukan migrasi adalah pendapatan di daerah lain yang lebih tinggi serta tersedianya lapangan pekerjaan. Oleh karena itu dipilihlah variabel-variabel yang dapat menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi migrasi masuk. Model umum yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

(38)

dimana :

MIGit = Jumlah migrasi masuk di masing-masing provinsi, PDRBPKit = Jumlah PDRB per kapita riil masing-masing provinsi, JPit = Jumlah pengangguran terbuka masing-masing provinsi, UMRit = Upah minimum regional masing-masing provinsi,

PTMit = Jumlah penduduk yang menamatkan pendidikan tinggi dan menengah masing-masing provinsi,

D = dummy (0 untuk sebelum otonomi daerah, dan 1 untuk setelah

otonomi daerah),

β0 = intersep model yang berubah-ubah tiap provinsi,

βi = slope variabel (i = 1,2,3,4,5), i = provinsi ke- i,

t = pada tahun ke- t, = error / simpangan.

Model ini diestimasi menggunakan metode ekonometrika dengan data panel, karena model ini menggunakan kombinasi data time series dan cross section. Panel data menyediakan informasi yang cukup kaya untuk perkembangan teknik estimasi dan hasil teoritik. Panel data juga memiliki beberapa keunggulan, diantaranya sebagai berikut (Baltagi, 2005) :

1. Mampu mengontrol heterogenitas individu, panel data memberi peluang perlakuan bahwa unit-unit ekonomi yang dianalisis dalam penelitian ini adalah homogen.

2. Banyak memperoleh informasi lebih banyak, lebih beragam, mengurangi kolinearitas antar variabel, meningkatkan derajat kebebasan serta lebih efisien. Data time series memiliki kecenderungan tingkat kolinearitas yang tinggi, dengan menggunakan panel data, penambahan dimensi cross section

dapat memperkaya keragaman dan informasi pada variabel, sehingga akan menghasilkan informasi yang lebih akurat.

3. Panel data lebih baik untuk studi dynamic of adjusment. Salah satu kekurangan apabila menggunakan pendekatan cross section adalah tidak dapat menggambarkan adanya perubahan-perubahan yang terjadi. Dengan menggunakan panel data, dapat diketahui apakah kondisi yang terjadi tersebut permanen atau temporer.

4. Mampu lebih baik dalam mengestimasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat dideteksi oleh pure cross section atau pure time series. 5. Dapat membangun dan menguji model perilaku (behavioral model) yang

lebih kompleks dibanding pure cross section atau data time series.

Pemilihan Model Data Panel

Pemilihan model data panel ditentukan dengan membuat spesifikasi yang dikembangkan oleh Hausman. Spesifikasi tersebut memberikan penilaian dengan menggunakan Uji F. Ada tiga pengujian statistik yang digunakan dalam data panel untuk menentukan model mana yang paling baik untuk dipilih.

1. Uji F atau chi square statistics

Uji F digunakan untuk memilih antara metode PLS tanpa variabel dummy

Gambar

Gambar 1   Migrasi masuk seumur hidup beberapa provinsi di Indonesia
Gambar 2   Persentase migran seumur hidup tahun 2010
Tabel 1 Produk Domestik Regional Bruto dan Produk Domestik Regional Bruto   per kapita atas dasar harga konstan 2000 menurut provinsi, 2009-2011
Tabel 2 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menurut provinsi, 2008-2012
+7

Referensi

Dokumen terkait

Maka dari itu dipilihlah Museum Seni Kontemporer di Yogyakarta sebagai wujud untuk dapat memenuhi wadah akan karya-karya seni kontemporer di Yogyakarta yang terus

Perilaku dan lingkungan dipengaruhi melalui program promosi kesehatan, diagnosis pendidikan dan organisasi dalam promosi kesehatan berkaitan dengan faktor yang

Islam tersebar di Indonesia atau Nusantara didukung oleh beberapa faktor yaitu ajaran Islam yang menekankan prinsip ketauhidan dalam sistem

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan respon yang terjadi pada material pelat kapal berbahan sandwich dengan mengidentifikasi kerusakan

Responden pada penelitian ini adalah mahasiswa FEBIIAIN palopo Angkatan 2015.. Dari hasil angket yang telah dijawab oleh responden 75,9% mahasiswa ingin

Asai antagonis isolat .iamtir terhadap jamur paogur dilakukan secara kuaiitatif untuk melihat kcmampuur imlat jamur dalul morghambat pertumbuhan jamur parogen tansman 6. K$ltrr

Akhirnya pada tahun 1983 para pengusaha yang tergabung dalam PPRK (Persatuan Perusahaan Rokok Kretek Kudus) sepakat untuk melestarikan budaya dalam peradaban manusia

Hasil tersebut juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fogh- Andersen (1942) dan dikonfirmasi oleh penelitian lain yang dilakukan oleh Fraser dan Calnan (1961) ;