• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Beberapa Tanah Montmorillonitik Di Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Beberapa Tanah Montmorillonitik Di Jawa Barat"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK BEBERAPA TANAH MONTMORILLONITIK

DI JAWA BARAT

ZULDADAN NASPENDRA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Karakteristik beberapa Tanah Montmorillonitik di Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2016

(4)

RINGKASAN

ZULDADAN NASPENDRA. Karakteristik beberapa Tanah Montmorillonitik di Jawa Barat. Dibimbing oleh SUDARSONO dan ISKANDAR.

Tanah-tanah montmorillonitik dengan kuantitas mineral klei montmorillonit lebih dominan dari mineral lainnya tersebar luas di dataran rendah mulai dari iklim subtropik sampai iklim dingin dengan intensitas pencucian rendah, dan hanya sebagian kecil terdapat di zona tropik. Di Indonesia, khususnya di bagian barat pulau Jawa dengan intensitas curah hujan tinggi, periode musim kering singkat, dan potensi pencucian tinggi, juga berkembang tanah-tanah montmorillonitik. Akan tetapi, informasi mengenai karakteristik tanah-tanah tersebut masih terbatas. Disamping itu, jerapan kalium pada kelompok tanah ini menjadi salah satu persoalan penting karena dikhawatirkan jerapan K+ justru berdampak terhadap defisiensi K+ bagi tanaman. Penelitian ini memiliki tiga tujuan utama, yaitu (1) mengkaji karakteristik morfopedogenetik dan distribusi mineralogi klei tanah-tanah montmorillonitik, (2) mengamati dinamika jerapan dan pertukaran K+ pada berbagai subfraksi klei dan fraksi tanah, (3) mengkaji

faktor ukuran fraksi, kelimpahan montmorillonit, dan ionic strength terhadap jerapan dan pertukaran K+.

Sebanyak empat pedon diinvestigasi untuk mendukung penelitian ini, yaitu di Lebak (MS1), Karawang (MS2), Cianjur (MS3), dan Cirebon (MS4). Kajian morfopedogenetik berdasarkan pada pengamatan tanah di lapangan dan hasil karakterisasi tanah dan klei di laboratorium. Klei difraksionasi dengan menggunakan metode sentrifugasi untuk mendapatkan klei kasar (2-0.2 µm), klei medium (0.2-0.08 µm), dan klei halus (<0.08 µm). Eksperimen jerapan dan pertukaran K+ menggunakan metode batch equilibrium.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah-tanah montmorillonitik di Jawa Barat memiliki sifat vertik (retak, slickenside, struktur baji) dan gilgai, dan dalam kondisi akuik. Kadar klei yang tinggi (>50 %) dan kelimpahan montmorillonit yang signifikan, serta vegetasi rumput, secara signifikan mempengaruhi terbentuknya sifat vertik dan gilgai. Proses pedoturbation tidak signifikan karena durasi kejadian retak berlangsung singkat sehingga hanya sedikit mulch dan bahan organik masuk ke dalam profil. Akibatnya sifat vertik berkembang lemah dan perbedaan tinggi antara mickroknoll dan mikrobasin pada topografi gilgai menjadi tipis. Semua subfraksi klei didominasi oleh montmorillonit. Kelimpahan montmorillonit secara signifikan semakin dominan dengan semakin halusnya ukuran klei, dan sebaliknya dengan kaolinit dan kelompok tektosilikat (kuarsa dan kristobalit), sedangkan kelompok oksi-hidroksi Fe (goetit dan hematit) dan hidroksi-Al (gibbsit) sedikit meningkat dengan semakin halusnya ukuran klei.

Distribusi klei (klei total dan klei halus), nilai KTK, dan kelimpahan montmorillonit dan jerapan K+ mengikuti urutan pedon MS3 > MS4 > MS2 > MS1 dan dinamika masing-masing nilai tersebut semakin tinggi dengan semakin halusnya ukuran klei. Rata-rata 63.51 % dari klei total (<2 µm) merupakan klei halus dengan nilai KTK 63.05 cmolc.kg-1, kadar klei medium 12.54 % dengan

nilai KTK 49.54 cmolc.kg-1, dan kadar klei kasar 23.95 % dengan nilai KTK 40.46

(5)

Dinamika jerapan K+ memperlihatkan bahwa sampai pada konsentrasi

maksimum 440 mg.L-1 K+, fraksi tanah, klei total dan semua subfraksi klei masih memiliki kapasitas menjerap dengan konsentrasi K+ yang lebih tinggi. Jerapan K+ meningkat dengan semakin halusnya ukuran klei, dan jerapan K+ juga meningkat

pada ionic strength yang lebih tinggi dari 0.01 ke 0.1 mol.L-1 NaCl. Peningkatan jerapan K+ akibat faktor tersebut berdampak pada berkurangnya pertukaran/pelepasan K+.

Jerapan K+ meningkat sebesar 14.963 mg.g-1 di setiap penurunan satu kelas ukuran fraksi klei dengan ionic strength 0.1 mol.L-1 NaCl dan 9.473 mg.g-1 dengan ionic strength 0.01 mol.L-1 NaCl. Peningkatan jerapan K+ dengan semakin halusnya ukuran fraksi klei dipengaruhi oleh meningkatnya kelimpahan montmorillonit pada fraksi klei yang lebih halus, sedangkan K+ yang tersisa pada komplek jerapan setelah proses pertukaran merupakan K+ yang terjerap kuat di bagian interlayer mineral karena K+ memiliki dimensi besar dan radius hidrasi rendah yang sesuai dengan jarak interlayer montmorillonit. Ionic strength Na+ yang tinggi dapat meningkatkan jerapan K+ karena (1) kation-kation saling mendekat sehingga double layer menjadi tipis; dengan demikian, K+ yang berdimensi besar dan radius hidrasi rendah menjadi banyak terjerap, (2) Na+ akan menekan lebih kuat K+ ke permukaan klei yang bermuatan negatif sehingga K+ terjerap lebih banyak, dan (3) Na+ dapat mereduksi penolakan ikatan elektrostatik yang telah terjadi antara K+ dengan permukaan mineral klei sehingga K+ yang

terjerap dapat dipertahankan pada komplek jerapan.

Penelitian ini menemukan bahwa pembentukan sifat vertik dan topografi gilgai yang berkembang lemah pada tanah-tanah montmorillonitik di wilayah tropik Indonesia, khususnya Jawa Barat, dipengaruhi oleh proses pedoturbation yang tidak signifikan. Jerapan K+ yang tinggi dan kuat pada tanah-tanah montmorillonitik dapat menyebabkan berkurangnya ketersediaan K+ untuk

tanaman.

(6)

SUMMARY

ZULDADAN NASPENDRA. Characterization of montmorillonitic soils in western Java, Indonesia. Supervised by SUDARSONO and ISKANDAR.

Montmorillonitic soils, which have more montmorillonite minerals than any other single kind of clay mineral, are widespread in areas with low rainfall intensity such as from lowland temperate climates to cold climate regions and/or in areas with unfavorable conditions for leaching. In Indonesia, particularly in western Java, with high precipitation, and high leaching potential, short dry-season period, has also developed the montmorillonitic soils. However, the existing information regarding montmorillonitic soils and their characteristics is still limited. In addition, sorption of potassium in the soils have been an important issue because the sorption phenomenon is worried to affect on potassium deficiency for plants. The study in hand was designed to (1) explore and asses the morphopedogenetic properties and identify the distribution of clay minerals of montmorillonitic soils, (2) observe the dynamics of sorption and exchange of potassium in various clay sub-fractions and soil fraction, and to (3) examine the effect of fraction size, abundance of montmorillonite, and ionic strength on the sorption and exchange of potassium.

We studied soil profile and landscape and collected samples from four representative pedons in western Java, namely Lebak (MS1), Karawang (MS2), Cianjur (MS3), and Cirebon (MS4). Study of morphopedogenetic properties was based on field observations and characterizations of soil and clay mineral. A sequential fractionation was done on the 2 µm clay by centrifugation method in order to obtain coarse clay (2-0.2 µm), medium clay (0.2-0.08 µm), and fine clay (<0.08 µm). Sorption and exchange experiments of K+ were carried out by using the batch equilibrium method.

Our results showed that the montmorillonitic soils exhibit vertic properties (cracks, slickenside, wedge-shape structure) and gilgai landscape, and under aquic conditions. High clay content (>50 %), high abundance of montmorillonite, and grass vegetation in soils, are significantly high, resulting in formation of the vertic properties and gilgai landscape. The pedoturbation process is not significant because the cracks last only for a few weeks, which allows a minute amount of organic matter and mulch to enter into the soil. As a result, the difference in height between microknoll and micorbasin in the gilgai landscape becomes narrow and the vertic formations become weak. All clay sub-fractions (coarse clay 2-0.2 µm, medium clay 0.2-0.08 µm, and fine clay <0.08 µm) are highly dominated by montmorillonite. The abundance of this mineral was a significantly higher amount with the finer clay fraction, in contrast to kaolinite and the tectosilicate group (quartz and cristobalite), whereas the oxy-hydroxy Fe (goethite and hematite) and hydroxy-Al (gibbsite) showed little increase with the finer clay fraction.

(7)

value by 49.54 cmolc.kg-1, and coarse clay content was 23.95 % with CEC value

by 40.46 cmolc.kg-1.

Dynamics of K+ sorption showed that at a given maximum concentration of K+ (440 mg.L-1), soil fraction, total clay, and all clay sub-fractions have still more

sorption capacity with the higher concentration of K+. Sorption of K+ increased with the finer clay fraction, and the sorption of K+ also increased as ionic strength increased from 0.01 to 0.1 mol.L-1 NaCl. Increasing the sorption of K+ impacted directly on depletion of the exchange of K+.

Amount of adsorbed K+ increased by 14.963 mg.g-1 with decreasing one class of clay fraction at ionic strength by 0.1 mol.L-1 NaCl and increased by 9.473 mg.g-1 at ionic strength by 0.01 mol.L-1 NaCl. The increase of K+ adsorption with

the finer clay fraction was influenced by increasing the abundance of montmorillonite in the finer clay fraction, whereas the remains of K+ in the sorption complexes after exchange process were strongly adsorbed K+ in the

interlayer of montmorillonite because the K+ has a large atomic radius and a low hydration radius corresponding to the interlayer radius of montmorillonite. The increase of K+ adsorption with increasing the ionic strength of Na+ was caused by (1) the double layers approach each other so closely which favors the K+ having a large atomic radius and a low hydration radius become highly adsorbed, (2) Na+ compresses the K+ to negatively charge surfaces of the clay mineral and the K+ becomes more adsorbed, and (3) Na+ reduces the repulsion of electrostatic

bonding which has occurred between K+ and mineral surface; therefore, the adsorbed K+ can be maintained in the sorption complexes.

The experiment has provided new insight that insignificant contribution of pedoturbation process in wet tropical regions of western Java, Indonesia, affects on weak development of the vertic properties and gilgai landscape. Furthermore, the high adsorbed K+ and the strong adsorbed K+ on the montmorillonitic soils

impact on K+ deficiency for plants.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Tanah

KARAKTERISTIK BEBERAPA TANAH MONTMORILLONITIK

DI JAWA BARAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(10)
(11)

Judul Tesis : Karakteristik beberapa Tanah Montmorillonitik di Jawa Barat Nama : Zuldadan Naspendra

NIM : A151130131

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr Ir Sudarsono, MSc

Ketua Dr Ir Iskandar Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Tanah

Dr Ir Atang Sutandi, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah tanah montmorillonitik yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2015, dengan judul Karakteristik beberapa Tanah Montmorillonitik di Jawa Barat.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr Ir Sudarsono, MSc dan Bapak Dr Ir Iskandar selaku pembimbing. Terimakasih diucapkan kepada Bapak Dr Ir Syaiful Anwar, MSc selaku penguji luar komisi pada Sidang Tesis. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan untuk LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan), Kementerian Keuangan, RI, yang telah memberikan beasiswa studi dan penelitian selama mengikuti Program Magister Ilmu Tanah, IPB. Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Sigit dari Balai Pelatihan Pertanian Jawa Barat dan kepada staf Badan Meteorologi dan Geofisika pusat, Jakarta, atas kerjasamanya dalam pengumpulan data.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ketua Program Studi Ilmu Tanah, staf pengajar Pascasarjana Ilmu Tanah atas ilmu yang diberikan, analis Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, dan rekan-rekan pascasarjana Ilmu Tanah, khususnya angkatan 2013. Spesial terimakasih penulis ucapkan kepada kedua orang tua, istri, putra pertama penulis Serhan Dhiaurrahman Nurdan, dan adik-adik, serta seluruh keluarga, atas segala dukungan dan do’anya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2016

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

I PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

II METODE PENELITIAN 4

Lokasi dan Waktu Penelitian 4

Keadaan Umum Lokasi Penelitian 4

Pengamatan dan pengumpulan data 5

Pengamatan morfologi tanah 5

Analisis fisika, kimia, dan mineralogi 6

Fraksionasi mineral klei 6

Eksperimen jerapan dan pertukaran kalium 7

Analisis Data 8

III HASIL DAN PEMBAHASAN 10

Morfologi Tanah 10

Tingkat perkembangan tanah 10

Gilgai, retak dan slickenside 11

Warna tanah 13

Struktur tanah 15

Fitur redoksimorfik 17

Sifat Fisika Tanah 18

Partikel tanah 18

Bulk desnity dan pori tanah 19

Sifat Kimia Tanah 20

Sumber kemasaman tanah dan hubungannya dengan aluminiun,

kejenuhan basa 20

Bahan organik tanah 22

Kapasitas tukar kation 23

Kation basa 24

Mineralogi Klei 25

Kelimpahan mineral klei 25

Subfraksi mineral klei dan nilai KTK 28

Dinamika Jerapan dan Pertukaran Kalium 30

Jerapan kinetik K+ 30

Jerapan isotermal K+ 32

Pertukaran K+ dalam komplek jerapan 36

Pembahasan Umum 39

IV KESIMPULAN 43

DAFTAR PUSTAKA 44

LAMPIRAN 50

(14)

DAFTAR TABEL

1. Informasi umum dan susunan geologi wilayah pedon pengamatan 5

2. Karakteristik morfologi tanah 14

3. Karakteristik fisika tanah 18

4. Matrik korelasi Pearson (r) karakteristik fisika dan kimia tanah 21

5. Karakteristik kimia tanah 21

6. Semikuantitatif kelimpahan berbagai mineral pada fraksi klei 26

7. Kuantitas subfraksi klei dan nilai KTK 29

8. Parameter jerapan kinetik kation K+ model persamaan Pseudo-first

order dan Pseudo-second order 31

9. Parameter jerapan isotermal kation K+ model persamaan Freundlich

dan Langmuir 33

10.Pertukaran K+ setelah proses jerapan pada konsentrasi maksimum 440

mg.L-1 38

DAFTAR GAMBAR

1. Lokasi pengamatan profil tanah dan titik pengambilan sampel 4

2. Diagram alir kegiatan penelitian 9

3. Penampang profil tanah montmorillonitik. MS1 = Lebak, MS2 =

Karawang, MS3 = Cianjur, MS4 = Cirebon 10

4. Zona ditemukannya sifat vertik di profil tanah (retak, slickenside, dan struktur baji). a) MS1 (tidak terdapat sifat vertik, retak hanya di permukaan tanah, b) MS2, c) MS3, d) MS4 (tiga pedon tersebut

terdapat sifat vertik) 11

5. Topografi gilgai dengan microknoll dan microbasin di wilayah pedon MS4 pada musim kering. a) Landskap topografi gilgai, b) microbasin

pada kondisi kering 12

6. Struktur baji (wedge-shape structure) yang menyerupai busur identik pada tanah-tanah montmorillonitik. a) MS3 (Cianjur), b) MS4

(Cirebon) 16

7. Beberapa fitur redoksimorfik di dalam profil tanah. a) Nodul (hitam, G1 2.5/N) ditemukan pada pedon MS1 di horizon Apg, b) masses (merah, 10 R 5/N) terdapat pada pedon MS2 di horizon Bt2, c) masses (hitam gelap kemerahan, 10 YR 2.5/1) pada pedon MS3 di horizon Bw1, dan d) masses (hitam 5 YR 2.5/1) pada pedon MS3 di horizon Bw2 17 8. Dinamika beberapa karakteristik tanah berdasarkan kedalaman. a) Klei,

b) Ca-dd, c) Mg-dd, d) K-dd, e) Na-dd 25

9. Pola difraksi XRD dengan penjenuhan Mg-glyserol dan K-air dried pada klei kasar (2-0.2 µm), klei medium (0.2-0.08 µm), klei halus (<0.08 µm). a) Sampel MS1 (Lebak), b) sampel MS2 (Karawang). Mt = montmorillonit, K = kaolinit, Goe = goetit, Hm = hematit, Gib =

gibbsit, Q = kuarsa 27

(15)

montmorillonit, K = kaolinit, Goe = goetit, Hm = hematit, Gib =

gibbsit, Q = kuarsa, Cr = kristobalit 28

11.a) Distribusi ukuran partikel, b) nilai KTK pada fraksi tanah dan pada

berbagai fraksi klei 29

12.Jerapan kinetik K+ pada klei <2 µm dengan konsentrasi K+ 0.17 g.L-1 dan ionic strength 0.1 mol.L-1 NaCl: a) MS1, b) MS2, c) MS3, d) MS4. (○) Rata-rata K+ yang terjerap. Garis putus-putus merupakan model non-linear jerapan kinetik Pseudo second order 30 13.Jerapan isotermal K+ pada fraksi tanah dan berbagai fraksi klei dengan

ionic strength 0.1 mol.L-1 NaCl: a) MS1, b) MS2, c) MS3, d) MS4. (□) fraksi tanah halus (<2 mm), (◊) klei total (<2 µm), (∆) klei kasar (2-0.2 µm), (x) klei medium (0.2-0.08 µm), (○) klei halus (<0.08 µm). Garis putus-putus merupakan jerapan K+ model persamaan Freundlich 32 14.Jerapan isotermal K+ pada fraksi tanah dan berbagai fraksi klei dengan

ionic strength 0.01 mol.L-1 NaCl: a) MS1, b) MS2, c) MS3, d) MS4. (□) fraksi tanah halus (<2 mm), (◊) klei total (<2 µm), (∆) klei kasar (2-0.2 µm), (x) klei medium (0.2-0.08 µm), (○) klei halus (<0.08 µm). Garis putus-putus merupakan jerapan K+ model persamaan Freundlich 34 15.Hubungan jerapan K+ dengan berbagai ukuran fraksi klei pada

konsentrasi maksimum 440 mg.L-1 K+ (mg.g-1). a) 0.1 mol.L-1 NaCl, b)

0.01 mol.L-1 NaCl 35

16.Hubungan jerapan dengan pertukaran K+ pada ionic strength a) 0.1 mol.L-1 NaCl, dan b) 0.01 mol.L-1 NaCl. I = ionic strength 37

DAFTAR LAMPIRAN

1. Deskripsi profil tanah MS1 51

2. Deskripsi profil tanah MS2 52

3. Deskripsi profil tanah MS3 53

(16)
(17)

19

I PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanah montmorillonitik dengan kuantitas mineral klei montmorillonit lebih dominan dari mineral lainnya tersebar luas di dataran rendah mulai dari iklim subtropik sampai iklim dingin dengan intensitas pencucian rendah, dan hanya sebagian kecil terdapat di zona tropik (Allen & Hajek 1989; Tan 2008). Pada umumnya, tanah-tanah montmorillonitik terbentuk dari/atau asosiasi bahan sedimen aluvium, sedimen lakustrin, batu gamping (Dames 1955; Soil Survey Staff 1999; Moustakas 2012), sedimen marin (Carson & Dixion 1972), produk autigenik batuan vulkan (El-Attar & Jackson 1973; Rice et al. 1985; Winkler et al. 2016), dan batuan klei (Alfors et al. 1973). Sementara, di Indonesia (khususnya di barat pulau Jawa) dengan curah hujan tinggi (1625-3000 mm/tahun) (BMKG 2015), periode musim kering singkat, dan tingkat potensi pencucian tinggi, juga telah berkembang tanah-tanah montmorillonitik yang berasal dari/atau asosiasi bahan sedimen aluvium, batu klei, marl, dan/atau endapan tuf vulkan andesit (Dames 1955; Subagjo 1983; Prasetyo 2007).

Karakteristik morfopedogenetik utama tanah-tanah montmorillonitik ditandai adanya retak dan keras pada musim kering, mengembang dan lekat pada musim hujan, kadar klei ≥30 %, dan matrik tanah berwarna gelap. Namun karakteristik tersebut bisa beragam dan dapat berkembang pada berbagai ordo dan tingkat klasifikasi tanah, seperti klei hitam Houston (Udic Pellusterts) di bagian selatan USA yang terbentuk dari bahan induk kapur dan batu klei, serta berasosiasi dengan klei marin, marl, dan kapur (Carson & Dixion 1972). Di California, USA, terdapat seri tanah Bonsall; fine, montmorillonitic, thermic Natric Palexeralfs (Graham & O’Geen 2010), di Etiopia terdapat subgroup Vertic Planosols berwarna pucat dengan perubahan tekstur nyata (Van Ranst et al. 2011; Dumon et al. 2014), di dataran aluvial Drama-Timur Laut Yunani terdapat subgroup Typic Haploxererts di landskap bagian bawah dan Chromic Haploxererts di landskap bagian atas dengan signifikan smektit/montmorillonit (Moustakas 2012). Sementara laporan mengenai karakteristik khas tanah-tanah montmorillonitik di Indonesia masih belum banyak diketahui berdasarkan peninjauan aspek morfopedogenetik dan distribusi mineralogi klei.

(18)

2

Di dalam tanah, pada umumnya mineral montmorillonit ditemukan pada ukuran fraksi klei ≤2 µm. Hasil penelitian Laird & Dowdy (1994) menunjukkan bahwa pada tanah-tanah di wilayah beriklim sedang, kelimpahan montmorillonit cenderung semakin dominan pada klei halus (<0.08 µm). Sebaliknya, kuarsa, kaolinit dan illit cenderung semakin dominan pada klei kasar (Hubert et al. 2012; Dumon et al. 2014). Berdasarkan dinamika kelimpahan tersebut, jika suatu tanah didominasi oleh klei halus tentu luas permukaan dan total muatan semakin besar dan KTK semakin tinggi sehingga jerapan kation menjadi semakin besar. Demikian juga dengan kelimpahan montmorillonit yang semakin dominan pada subfraksi klei halus diduga akan meningkatkan kapasitas jerapan K+. Namun keterangan mengenai pengaruh kelas ukuran klei terhadap jerapan K+ pada

tanah-tanah montmorillonitik masih sangat terbatas.

Beberapa penelitian terkait kapasitas jerapan montmorillonit terhadap suatu unsur sangat bervariasi. Na-montmorillonit dan Ca-montmorillonit mampu menjerap logam Hg2+ masing-masing sebesar 94 % dan 60.4 % dari konsentrasi awal Hg2+ 10 µg.L-1 dan 500 µg.L-1 di setiap 1 g montmorillonit (dos Santos et al. 2015). Sebesar 61.3 % logam Cd2+ dapat terjerap dari konsentrasi awal Cd2+ 44.5 µg.L-1 di setiap 1 g montmorillonit Arizona, USA (Undabeytia et al. 1998). Montmorillonit low-cost Nigeria mampu menjerap logam Ni2+ sebesar 166.7 mg.g-1 dan Mn2+ sebesar 142.86 mg.g-1 (Akpomie et al. 2015). Sementara laporan mengenai kapasitas jerapan K+ pada tanah-tanah montmorillonitik dan pada

berbagai ukuran subfraksi fraksi klei masih belum diketahui.

Jerapan K+ pada tanah-tanah montmorillonitik menjadi sangat penting untuk mencegah proses pencucian K+, tetapi persoalan jerapan K+ akan muncul apabila

K+ yang tertahan tersebut menjadi sulit dipertukarkan, dalam artian K+ menjadi terfiksasi (Borchardt 1989; Sparks 2006; Nursyamsi et al. 2008; Tan 2011; Schneider et al. 2013) sehingga terjadi defisiensi K+ bagi tanaman. Kondisi tersebut menjadi lazim dan cukup beralasan karena selain sifat-sifat montmorillonit di atas dan K+ yang terjerap di interlayer mineral, kalium juga berdimensi lebih besar (0.133 nm) dari kation lainnya dan memiliki radius efektif rendah (0.53 nm) pada saat terhidrasi sehingga diduga kation yang terjerap tersebut menjadi sulit dipertukarkan. Kemudian, nilai jerapan suatu kation pada umumnya berkorelasi dengan nilai KTK. Akan tetapi, hasil penelitian Stul & Van Leemput (1982) pada mineral klei montmorillonit Moosburg, Jerman, menunjukkan bahwa pada fraksi <0.05 µm justru diperoleh nilai KTK 889 µEq.g-1 dan muatan 0.294 p.h.f.u (per half formula unit-cel) lebih rendah dari fraksi di atasnya (0.1–0.05 µm) dengan nilai KTK 905 µEq.g-1 dan muatan 0.305 p.h.f.u.

Jika hal demikian terjadi, tentu jerapan kation justru akan lebih kecil pada klei halus dibandingkan dengan klei medium. Oleh sebab itu, diperlukan sebuah penelitian untuk memverifikasi dan memberikan penjelasan atas laporan tersebut.

(19)

3 Perumusan Masalah

Karakteristik tanah-tanah montmorillonitik di Indonesia, khususnya di bagian barat pulau Jawa, belum banyak diketahui. Sementara kelompok tanah tersebut dapat berkembang dari berbagai bahan induk dan pada berbagai ordo dan tingkat klasifikasi tanah. Intensitas curah hujan yang tinggi, periode musim kering yang singkat, dan potensi pencucian yang tinggi di Jawa bagian barat diduga telah membentuk karakteristik khas tanah-tanah montmorillonitik, baik dari aspek morfopedogenetik maupun distribusi mineral klei. Disamping itu, persoalan jerapan kalium (K+) menjadi salah satu isu penting pada tanah ini karena K+ merupakan unsur hara makro bagi tanaman. Jerapan K+ yang tinggi dan kuat diduga berpengaruh terhadap rendahnya jumlah pertukaran K+ sehingga

berdampak kepada defisiensi K+ bagi tanaman. Di dalam tanah, montmorillonit biasanya ditemukan pada ukuran klei ≤2 µm dan kelimpahannya cenderung semakin dominan pada fraksi klei halus (<0.08 µm). Akan tetapi, kelimpahan mineral lain memperlihatkan dinamika kelimpahan yang berbeda pada subfraksi klei sehingga faktor ukuran fraksi klei akan berpengaruh terhadap jumlah jerapan K+. Namun laporan mengenai pengaruh kelas ukuran fraksi klei terhadap jerapan K+ pada tanah-tanah montmorillonitik masih dipertanyakan.

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka diperlukan beberapa pertanyaan untuk menjawab persoalan tersebut:

1. Seperti apakah karakteristik morfopedogenetik dan distribusi mineralogi pada berbagai subfraksi klei tanah-tanah montmorillonitik?

2. Bagaimana dinamika jerapan dan pertukaran K+ pada berbagai subfraksi klei dan fraksi tanah?

3. Bagaimana pengaruh ukuran fraksi, kelimpahan mineral montmorillonit, dan ionic strength terhadap jerapan dan pertukaran K+?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengkaji karakteristik morfopedogenetik dan distribusi mineralogi klei pada berbagai subfraksi klei tanah-tanah montmorillonitik.

2. Mengamati dinamika jerapan dan pertukaran K+ pada berbagai subfraksi klei dan fraksi tanah.

(20)

4

II METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas pertanian IPB, dari bulan Februari - November 2015 yang diawali dengan survey dan pengamatan 4 profil tanah montmorillonitik di bagian barat pulau Jawa, yaitu di Cipanas (Lebak), Jatisari (Karawang), Bojongpicung (Cianjur), dan Ciwaringin (Cirebon) (Gambar 1). Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 1 Lokasi pengamatan profil tanah dan titik pengambilan sampel.

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Wilayah barat pulau Jawa tersusun atas gugus pegunungan dan dataran tinggi vulkan dan merupakan bagian dari Sistem Pegunungan Sunda yang membentang mulai dari bagian barat sampai ke bagian timur pulau Jawa sehingga terdapat banyak gunung api purba, gunung api aktif, maupun bukit kapur, sedangkan di bagian utara pulau tersebut tersebar luas dataran vulkan dan dataran aluvial (Van Bemmelen 1949).

(21)

5

Tabel 1 Informasi umum dan susunan geologi wilayah pedon pengamatan.

Profil (mm.thCH -1) (°C) ST R Elevasi (mdpl) Umur Formasi Batuan induk LU

MS1 2210 28.6 u 123 Miosen tengah-atas

Bojong

manik Batu pasir dan batu klei Sawah

MS2 1625 29.3 f 38 Holosen Endapan dataran banjir

Klei bertuf dan pasir halus Kebun campuran

MS3 2862 27.7 f 303 Miosen

tengah Anggota napal Napal abu gelap, batu klei bernapal dan serpih klei dengan sisipan batu pasir kuarsa dan batu gamping

Batu klei dengan sisipan batu pasir bertuf, konglomerat, dan sisipan

Puslitbang Geologi (1999), data diolah.

Karakteristik dan pembeda utama tanah antar pedon adalah komposisi ukuran partikel tanah. Partikel tanah pedon MS1 didominasi oleh fragmen kasar >2 mm (5.3 - 77.1 %), sedangkan pada pedon MS2, MS3 dan MS4 partikel tanah didominasi hampir 100 % fraksi tanah halus (<2 mm) (Tabel 3). Perbedaan karakteristik tersebut berkaitan dengan (1) karakteristik bahan/batuan induk, (2) perbedaan tingkat perkembangan tanah, dan (3) kelas dan posisi landform.

Landform pedon MS1 termasuk teras aluvial yang terletak di wilayah middle-stream (tengah). Energi air dan sungai yang cepat dan kuat dari kawasan upstream mampu menghanyutkan berbagai ukuran material (material kasar maupun halus) dan terdeposisi ke kawasan middle-stream. Pembentukan teras aluvial ini merupakan hasil proses degradasi dan torehan material dari kawasan upstream dan proses agradasi material ke wilayah middle-stream (deposited area) sehingga membentuk teras-teras. Teras tersebut tidak lagi mendapatkan suplai endapan baru dari sungai secara periodik (Verstappen 1973; Marsoedi et al. 1997; Nivière et al. 2016). Ketinggian teras aluvium sekitar 12 m dari permukaan sungai. Selain disebabkan oleh proses agradasi material, ketinggian teras ini juga disebabkan oleh pengikisan dasar sungai oleh energi air. Sementara posisi landform pedon MS2, MS3, dan MS4 adalah terletak di kawasan downstream (hilir). Kawasan downstream memiliki elevasi rendah dan datar sehingga energi air/sungai sebagai pembawa material bergerak lambat. Implikasinya, energi air hanya mampu mengangkut material halus, sedangkan material kasar tidak akan mencapai kawasan dataran banjir di wilayah downstream (Nivière et al. 2016).

Pengamatan dan pengumpulan data

Pengamatan morfologi tanah

(22)

6

(konkresi, nodul, masses), perakaran, dan fragmen kasar (>2 mm) (Schoeneberger et al. 2012). Hasil deskripsi masing-masing pengamatan profil tanah secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 1-4.

Analisis fisika, kimia, dan mineralogi

Sampel yang telah kering udara dihaluskan dan disaring lolos ayakan <2 mm untuk analisis fisika dan kimia tanah, sedangkan fraksi tanah >2 mm ditimbang sebagai bobot fragmen kasar. Analisis sifat fisika tanah terdiri atas: Bobot volume (BD), total ruang pori (TRP), dan kadar air berdasarkan metode Gravimetrik (Gardner 1986), tekstur tanah menggunakan metode pipet dan ayakan (Gee & Bauder 1986).

Analisis kimia tanah meliputi: pH H2O dan pH KCl 1 N (rasio 1:1) dengan

metode elektroda gelas pH meter, daya hantar listrik (1:1) dengan metode elektroda EC (Electric conductivity), C-organik dengan metode Walkley and Black (Nelson & Sommers 1982). Metode KTK berdasarkan pencucian dengan NH4OAc 1 N pH 7 (Thomas 1982), sedangkan kation Ca, Mg hasil ekstraksi

tersebut diukur dengan Atomic Absorption Spectrometer (Shimadzu type AA-6300), kation K dan Na diukur dengan Flame Photometer (Cole-Parmer Dual-Channel model EW-02655-10). Analisis Al-dd dan H-dd tanah diekstrak dengan KCl 1 N (Thomas 1982).

Analisis mineralogi subfraksi klei menggunakan XRD (X-ray diffractometer). Sampel terorientasi pada glass slide dipersiapkan dengan 2 perlakuan, yaitu (1) penjenuhan Mg-Glyserol, (2) penjenuhan K-air dried (Jackson 1969; Whiting & Allardice 1986). Persiapan tersebut hanya dibatasi menjadi 2 perlakuan dengan tujuan menekankan pengamatan mineral klei montmorillonit. Pola difraksi XRD didapat dengan menggunakan XRD-Emma GBC dengan menggunakan radiasi Cu-Kα 1.54056 Å (0.154056 nm) pada sudut 2Ɵ (2-30°). Pengujian karakteristik klei meliputi KTK dan kelimpahan mineral pada masing-masing subfraksi klei.

Fraksionasi mineral klei

Subfraksi mineral klei (klei kasar 2–0.2 µm, klei medium 0.2–0.08 µm, dan klei halus <0.08 µm) diperoleh dari fraksionasi tanah <2 mm. Tanah yang digunakan adalah tanah pada kedalaman 0 - 30 cm dari permukaan tanah. Sebelum difraksionasi, agen-agen penyemen dibebaskan dan kation-kation dipisahkan dari tanah. Terdapat 3 tahap pembebasan dan pemisahan tersebut (Jackson 1969; Kunze & Dixion 1986), yaitu (1) pemisahan karbonat dan kation-kation dengan menggunakan NaOAc 0.5 mol.L-1 pH 5, (2) destruksi bahan organik dan pemisahan MnO2 dengan H2O2 30 %, dan (3) pemisahan oksida besi

(23)

7

t = .

( ) ( ) (∆ ) (1)

tmin adalah waktu sedimentasi (menit), n adalah viskositas cairan pada suhu

tertentu, R adalah radius dari permukaan partikel sedimen ke pusat rotasi (cm), S adalah radius dari permukaan supernatan ke pusat rotasi (cm), Nm adalah rpm

(revolusi per menit), Du merupakan diameter partikel (µm), dan ∆S adalah

perbedaan antara gravitasi spesifik partikel (Sp) dengan gravitasi spesifik cairan

(Sl). Diakhir proses fraksionasi, kadar air sampel dikeringkan pada suhu 50 oC

sampai bobot tetap. Kemudian secara hati-hati sampel dihaluskan menjadi bubuk dan disimpan dalam botol vial di dalam desikator sebelum digunakan.

Eksperimen jerapan dan pertukaran kalium

Eksperimen jerapan dan pertukaran kalium dilaksanakan dengan metode batch equilibrium. Pada percobaan ini, sampel yang digunakan adalah kelompok sampel pada kedalaman 0 - 30 cm dari permukaan tanah. Eksperimen tersebut dilakukan terhadap sampel fraksi tanah halus (<2 mm), klei total (<2 µm), klei kasar (2-0.2 µm), klei medium (0.2-0.08 µm), dan klei halus (<0.08 µm). Bahan klei berasal dari hasil fraksionasi tanah <2 mm setelah dilakukan pembebasan agen-agen penyemen dan pemisahan kation-kation.

Eksperimen jerapan kinetik

Sampel 20 mg (dibuat duplo) dimasukkan ke dalam tabung sentrifus 50 ml dan ditambahkan 30 ml larutan kation K+ dengan konsentrasi 0.17 g.L-1 (sumber

K+ diambil dari KCl) yang dilarutkan sebelumnya dalam 0.1 mol.L-1 NaCl sebagai ionic strength. Campuran larutan tersebut dikocok 200 rpm pada suhu ruangan (25 ± 1 oC) selama 0, 0.25, 0.5, 1, 2.5, 5 jam untuk mendapatkan waktu ekuilibrium. Selanjutnya disentrifus dengan kecepatan 3500 rpm selama 15 menit. Supernatan didekantasi lalu K+ diukur dengan menggunakan Flame Photometer. Blanko juga dipersiapkan tanpa menggunakan sampel. Kemudian, konsentrasi kation K+ yang terjerap ditentukan berdasarkan perbedaan konsentrasi awal dengan konsentrasi akhir larutan. Waktu ekuilibrium yang diperoleh, selanjutnya digunakan untuk eksperimen jerapan dan eksperimen pertukaran.

Eksperimen jerapan isotermal

(24)

8

Eksperimen pertukaran

Eksperimen pertukaran kation K+ dilakukan segera setelah selesai eksperimen jerapan. Volume supernatan yang telah didekantasi sebelumnya digantikan oleh larutan 0.01 atau 0.1 mol.L-1 NaCl (disesuaikan dengan ionic

strength pada eksperimen jerapan isotermal) dengan volume sama (20 ml). Campuran dikocok pada suhu ruangan (25 ± 1 oC) dengan kecepatan 200 rpm selama 2.5 jam (waktu ekuilibriun tercapai 2.5 jam). Selanjutnya disentrifus dengan kecepatan 3500 rpm selama 15 menit. Supernatan didekantasi lalu K+ diukur dengan menggunakan Flame Photometer. Konsentrasi kation yang dipertukarkan ditentukan berdasarkan perbedaan konsentrasi awal kation yang tersisa dengan konsentrasi akhir larutan.

Analisis Data

Sistem klasifikasi tanah menggunakan Key to Soil Taxonomy-12th Edition (Soil Survey Staff 2014a). Pengamatan dan deskripsi profil tanah di lapangan mengacu panduan Field Book for Describing and SamplingSoils (Schoeneberger et al. 2012).

Beberapa persamaan non-linear digunakan sebagai pembanding untuk mendapatkan persamaan terbaik pada eksperimen jerapan kinetik dan jerapan isotermal K+. Eksperimen jerapan kinetik menggunakan dua persamaan, yaitu

pseudo-first order kinetic (pers. 2) dan pseudo-second order kinetic (pers. 3):

= [1 − exp(−$. %)] (2)

= '()

* ' () (3)

qt adalah jumlah kation K+ yang terjerap pada waktu t per massa klei (mg.g-1), K

merupakan konstanta laju jerapan (g.mg-1-h), qe adalah jumlah K+ yang terjerap

pada kondisi ekuilibrium (mg.g-1), Kqe2 adalah laju awal (mg.g-1-h), sedangkan

analisis jerapan isotermal K+ menggunakan persamaan Langmuir (pers. 4) dan

Freundlich (pers. 5):

=+ ,- '. /

* '. / (4)

= $0C / (5)

qe adalah konsentrasi K+ yang terjerap pada kondisi ekuilibrium (mg.g-1), Qmax

adalah kapasitas jerapan maksimum K+ per massa klei (mg.g-1), C adalah konsentrasi larutan kation K+ pada kondisi ekuilibrium (mg.L-1), Kl merupakan

koefisien jerapan Langmuir (L.mg-1) dan Kf adalah konstanta jerapan Freundlich

[(mg.g-1) (L.mg-1)n], 1/n adalah nilai eksponensial Freundlich (indikator non linear isotherm).

(25)

9 identifikasi intensitas peak hasil XRD menggunakan perangkat lunak QualX version 2.1.

Gambar 2 Diagram alir kegiatan penelitian.

Studi pustaka

tanah permanen Pengamatan profil tanah

Kondisi fisik lahan Pengambilan

sampel tanah

Kimia tanah Karakterisasi tanah Fisika tanah

Morfo-Diatur waktu dan kecepatan sentrifus untuk 2 µm Minimal sentrifugasi 6 x pengulangan Penambahan larutan Na2CO3 pH 9.5 endapan

dekantasi

Diatur waktu dan kecepatan sentrifus untuk 0.2 µm Minimal sentrifugasi 6 x pengulangan Penambahan larutan Na2CO3 pH 9.5 dekantasi

endapan endapan

supernatan

(26)

10

III HASIL DAN PEMBAHASAN

Morfologi Tanah

Tingkat perkembangan tanah

Karakteristik morfologi tanah dapat dilihat pada Tabel 2. Morfologi tanah montmorillonitik di empat pedon pengamatan memperlihatkan keragaman tingkat perkembangan tanah. Pembentukan susunan horizon menjadi salah satu indikator tingkat perkembangan tanah. Pedon MS1 berkembang lebih muda dibandingkan dengan pedon lainnya (MS2, MS3, dan MS4) berdasarkan penilaian solum tanah yang tipis, susunan horizon tanah yang belum lengkap (Gambar 3), dan memiliki fragmen kasar >2 mm (Tabel 3) yang signifikan di dalam tanah, yaitu 5.3 – 77.1 %.

Gambar 3 Penampang profil tanah montmorillonitik. MS1 = Lebak, MS2 = Karawang,

MS3 = Cianjur, MS4 = Cirebon.

Tanah pada pedon MS1 hanya memiliki horizon Apg dan AC. Horizon Apg tergolong tipis dengan ketebalan 13 cm dari permukaan tanah (Gambar 3). Di bawah horizon tersebut terdapat horizon transisi AC yang memiliki kemiripan dengan horizon Apg maupun C. Fragmen kasar >2 mm pada pedon MS1 ditemukan paling banyak dari pedon lainnya dan memperlihatkan persentase semakin tinggi mendekati bahan induk (Tabel 3). Tanah pada pedon MS1 digunakan untuk padi sawah (Tabel 1). Lapisan oksidasi dan lapisan reduksi terlihat jelas berdasarkan perbedaan warna tanah di horizon permukaan (Tabel 2). Lapisan tapak bajak sudah terbentuk yang dinilai dari peningkatan kadar klei di horizon tersebut (AC) (Tabel 3), sedangkan lapisan Fe dan Mn belum terbentuk karena tanah baru disawahkan (umur sawah <10 tahun).

Berbeda dari pedon MS1, tanah di pedon MS2, MS3, dan MS4 sudah terlihat berkembang. Hal ini diketahui dari kedalaman solum yang tebal, susunan

Apg

AC

C

A

Bt

Bg

Bt1

Bt2

A

Bw1

Bw2

Btg1

Ag

Bg1

Bg2

Bg3

Btg2

(27)

11 horizon tanah yang lengkap (Gambar 3), dan fraksi tanah didominasi oleh fraksi tanah halus <2 mm (Tabel 3). Demikian juga dengan kadar klei di tiga pedon terakhir ini (MS2, MS3, dan MS4) terlihat lebih banyak dari pedon MS1 (Tabel 3).

Gilgai, retak dan slickenside

Secara morfopedogenetik, karakteristik tanah-tanah montmorillonitik identik dengan adanya mikrorelief gilgai yang menyerupai kolam-kolam berbentuk poligon, terutama di wilayah beregim kelembaban udik atau ustik, dan adanya sifat vertik, berupa (1) retak membelah horizon tanah secara periodik, (2) adanya slickenside, dan (3) terbentuknya struktur baji (Soil survey staff 1999; Buol et al. 2011).

Gambar 4 Zona ditemukannya sifat vertik di profil tanah (retak, slickenside, dan

struktur baji). a) MS1 (tidak terdapat sifat vertik, retak hanya di permukaan tanah, b) MS2, c) MS3, d) MS4 (tiga pedon tersebut terdapat sifat vertik).

Pada pedon MS2, MS3, dan MS4 ditemukan karakteristik horizon vertik, berupa adanya sisa retakan membelah antar horizon, struktur baji yang berdekatan dengan zona retak, dan ditemukannya zona slickenside pada pedon MS3 dan MS4 (Gambar 4). Kemunculan sifat vertik tersebut memperlihatkan hubungan dengan kadar klei dan kelimpahan montmorillonit yang tinggi pada pedon ini (Tabel 6). Sementara pada pedon MS1 dengan kadar klei dan kelimpahan montmorillonit paling rendah tidak ditemukan sifat vertik.

Pergantian musim di kawasan tropik Indonesia, khususnya Jawa Barat, dari musim hujan ke musim kemarau atau sebaliknya, dan kadar klei yang tinggi (Tabel 3) dengan kelimpahan mineral montmorillonit yang dominan pada pedon

A

Bw

Bg1

Bg2 A

Bt

a) b)

(28)

12

MS2, MS3, dan MS4 (Tabel 6) mempengaruhi derajat kebasahan/kelembaban tanah. Implikasinya tanah menjadi retak dan menutup. Sisa-sisa retakan ditemukan di semua pedon dengan ukuran beragam (Tabel 2). Pada pedon MS2, MS3, dan MS4, sisa retakan membelah antar horizon, sedangkan pada pedon MS1 retak hanya di permukaan tanah (Gambar 4).

Mikrorelief gilgai dan slickenside hanya ditemukan pada pedon MS3 dan MS4. Gilgai pada pedon MS3 berukuran sekitar 1.5 x 1 m. Jarak antar gilgai sekitar 2-5 m, sedangkan slickenside ditemukan pada kedalaman 32-55 cm. Pada pedon MS4 gilgai (Gambar 5) berukuran sekitar 3 x 2 m dengan jarak antar gilgai sekitar 2-8 m. Gilgai tersebut merupakan paling luas dari pedon lainnya, sedangkan slickenside pada pedon ini ditemukan samar-samar pada kedalaman 20-40 cm karena pada saat pengamatan penampang tanah dalam kondisi lebih lembab dari pedon MS3.

Gambar 5 Topografi gilgai dengan microknoll dan microbasin di wilayah pedon MS4

pada musim kering. a) Landskap topografi gilgai, b) microbasin pada kondisi kering.

Pengkajian menunjukkan bahwa gilgai dan slickenside terlihat berhubungan dengan (1) kadar klei dengan montmorillonit sebagai mineral utama (Buol et al. 2011; Moustakas 2012), dan (2) penggunaan lahan. Hal ini menjadi alasan karena kedua tersebut hanya ditemukan dengan kadar klei rata-rata >50 % dengan kelimpahan montmorillonit dominan dan pada penggunaan lahan rumput, seperti di pedon MS3 dan MS4, sedangkan di pedon lainnya kedua fitur tersebut tidak ditemukan. Vegetasi rumput dapat menjadi salah satu faktor terbentuknya gilgai karena akar rumput berukuran halus dan dangkal sehingga tidak dapat mereduksi gesekan antar aggregat tanah pada saat tanah mengembang. Sebagai pembanding untuk memperkuat analisis, telah dilakukan pengamatan tanah pada penggunaan lahan hutan sekunder di bagian timur lokasi pengamatan pedon MS4 dengan jarak ± 100 m. Hasil menunjukkan bahwa tidak ditemukan gilgai di areal tersebut. Hal ini menjadi petunjuk bahwa akar pohon yang berukuran kasar mampu mereduksi pergerakan tanah sehingga mikrorelief gilgai menjadi berkurang.

Mekanisme pembentukan fitur gilgai dan slickenside banyak dijelaskan oleh para ahli (Wilding & Tessier 1988; Buol et al. 2011; Kabala et al. 2015; Diaz et al. 2015). Slickenside terjadi akibat gesekan antar agregat tanah pada saat tanah terhidrasi. Prosesnya adalah pada saat terhidrasi volume tanah meningkat sehingga retak yang sebelumnya terbuka menjadi tertutup. Pada kondisi tersebut, terjadi gesekan dan tekanan antar agregat tanah ke berbagai arah. Gesekan dan

(29)

13 tekanan tersebut menyebabkan terbentuknya bidang gelincir di permukaan ped. Pada waktu bersamaan gilgai terbentuk, akibat peningkatan volume matrik tanah tadi, melalui intrusi material tanah dari lapisan bawah ke arah permukaan tanah sehingga membentuk gundukan (microknoll), sedangkan pada bagian lain membentuk cekungan (microbasin). Moeyersons et al. (2006) membuktikan bahwa pergerakan tanah tersebut dapat memindahkan fragmen kasar dari horizon bawah tanah ke horizon permukaan tanah dan ke permukaan tanah.

Warna tanah

Beberapa atau salah satu horizon di semua pedon pengamatan berwarna abu-abu atau abu-abu kehijauan sampai kebiruan. Warna abu-abu yang ditemukan mengindikasikan salah satu dari dua hal berikut, yaitu (1) pada tanah tersebut telah terjadi proses gleization, seperti pada pedon MS1, atau (2) warna abu-abu tersebut merupakan warna asli tanah yang berasal dari bahan induk tanah, seperti pada pedon MS2, MS3 dan MS4.

Ada atau tidak adanya Fe yang tereduksi berkatian dengan durasi penjenuhan matrik tanah oleh air dan pengaruh bahan induk tanah. Semua tanah yang diamati memenuhi sifat akuik tetapi memiliki bahan induk yang berbeda. Pada pedon MS2, MS3, dan MS4, tanah berkembang dari klei bertuf, marl/napal, dan batu kapur secara berturut-turut. Oleh karena bahan tersebut memiliki cadangan kation basa lebih dominan dibandingkan dengan besi, maka besi yang direduksi menjadi tidak signifikan atau tidak ada sama sekali. Sementara tanah pada pedon MS1 berkembang dari batu pasir dan batu klei. Bahan tersebut memiliki cadangan kation basa lebih rendah dan besi lebih tinggi dibandingkan dengan bahan pembentuk tanah tiga pedon lainnya sehingga besi berpotensi lebih banyak tereduksi.

Pada pedon MS1, proses gleization disebabkan oleh aktivitas pengairan buatan (episaturation). Pada pedon ini dengan jelas ditemukan kombinasi warna tanah di horizon permukaan (horizon Apg) (Gambar 3). Mayoritas matrik tanah di horizon tersebut (Apg) berwarna abu-abu kehijauan (G 1 5/5 GY, agak basah), sedangkan sebagian kecil pada matrik tersebut berwarna kuning (7.5 YR 5/4, agak basah). Matrik yang berwarna kuning memiliki ketebalan tipis ±7 mm dari permukaan tanah (lapisan oksidasi) dan ada juga membentuk pola kombinasi tidak beraturan. Adanya kombinasi warna tersebut mengindikasikan bahwa sebagian matrik tanah tereduksi dan sebagian teroksidasi. Pada horizon C, fenomena ini masih tampak. Untuk kasus di horizon C, ada 2 faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi, yaitu (1) lapisan tapak bajak yang terbentuk belum mampu menahan air sehingga air lolos ke horizon C, dan (2) tanah didominasi oleh fraksi kasar >2 mm sehingga air di lapisan permukaan tanah terperkolasi dan membasahi lapisan bawah tanah.

(30)

14

meningkat dari 41.5 % di horizon Bg ke 50.6 % di horizon Bt1, sedangkan BD tanah meningkat dari 1.41 g.cm-3 di horizon Bg ke 1.75 g.cm-3 di horizon Bt1 (Tabel 3). Akibat peningkatan faktor tersebut, maka terjadi stagnasi pergerakan air ke bawah tanah.

Tabel 2 Karakteristik morfologi tanah.

Profil Kedalaman (cm)

Warna (lembab)

Batas

horizon Struktur Konsistensi Nilai n Fitur

1Warna dominan, sedangkan warna lainnya 7.5 YR 5/4. Kondisi agak basah. 2Warna dominan, sedangkan warna lainnya G1 5/5 GY. Kondisi agak basah. 3Warna dominan, sedangkan warna lainnya G1 5/5 GY. Kondisi lembab.

Batas horizon: C = jelas, G = berangsur, S = datar, W = berombak.

Struktur: Ma = massive, AB = gumpal bersudut, Pl = platy, Wed = baji, Me = sedang, Fi = halus, We = lemah, Mo = sederhana, St = kuat.

Konsistensi: Fr = gembur, Fi = teguh, Efi = sangat teguh; Pl = plastis, SPl = agak plastis, VPl = sangat plastis; St = lekat, SSt = agak lekat, VSt = sangat lekat.

Fitur redoks: N = nodul, M = masses, f = sedikit, m = banyak, c = biasa, 2 = sedang, 3 kasar. 4Hitam, G1 2.5/N; 5Merah, 10 R 5/6; 6Hitam gelap kemerahan 10 YR 2.5/1; 7Hitam, 5YR 2.5/1.

Retak: RCR = retak di horizon permukaan, RTH = retak membelah antar horizon, l = panjang (cm), w = lebar (cm).

Perakaran: Co = kasar, M = medium, F = halus; 1 = sedikit, 2 = sedang, 3 = banyak.

(31)

15 Perbedaan ketebalan tersebut berkaitan dengan mobilitas substansi organik ke dalam tanah.

Warna tanah di dua pedon ini (MS3 dan MS4) terlihat semakin pucat berdasarkan kedalaman tanah (Gambar 3; Tabel 2). Pengamatan menunjukkan bahwa hal tersebut disebabkan oleh muka air tanah dangkal. Kedalaman muka air tanah pada pedon MS3 hanya ± 130 cm dari permukaan tanah yang diukur dari petak kolam di bagian utara pedon (jarak pedon ke kolam ± 9 meter), sedangkan kedalaman muka air tanah pedon MS4 adalah ± 155 cm yang diukur dari anak sungai yang berada di bagian barat pedon (jarak pedon ke kolam ± 50 meter).

Dinamika warna tanah di setiap pedon menampilkan bahwa matrik tanah berwarna lebih gelap di horizon permukaan dan semakin terang berdasarkan kedalaman tanah (Gambar 3) sebagai pengaruh dari bahan organik tanah (Tabel 5). Interaksi bahan organik dengan klei akan membentuk komplek organo-mineral sehingga dapat menghambat mobilitas bahan organik ke horizon bawah permukaan tanah (Christensen 2001; Kaiser et al. 2002).

Struktur tanah

Tanah yang mengalami proses pedogenesis akan membentuk unit-unit tanah yang teragregasi secara alami (struktur) dengan beragam bentuk, ukuran, dan tingkat perkembangan. Akan tetapi, struktur tanah bisa tidak terbentuk (1) apabila aktivitas antropogenik secara aktif dan kontinu mempengaruhi tanah sehingga unit-unit tanah yang teragregasi menjadi hancur, dan/atau bisa juga tidak terbentuk (2) apabila ditemukan pada horizon C.

Pengamatan tanah di lapangan memperlihatkan bahwa pada pedon MS2, MS3, dan MS4, semua horizon memiliki struktur. Pada pedon MS1, struktur tanah hanya terbentuk di horizon AC, sedangkan di horizon Apg dan di horizon C struktur tanah tidak terbentuk (Tabel 3). Unit tanah tanpa struktur di dua horizon tersebut berupa massive. Dalam hal ini, pembentukan massive di dua horizon tersebut berbeda. Di horizon Apg atau di puddle layer pembentukan massive berkaitan dengan penggunaan lahan karena tanah disawahkan (Tabel 1). Adanya aktivitas antropogenik berupa penimbunan dan perataan lahan, serta pembuatan teras dan pematang sawah selama pencetakan lahan sawah di masa lampau menyebabkan struktur alami tanah menjadi rusak; kemudian, pengolahan tanah dan penjenuhan air secara periodik dan kontinu menyebabkan tanah menjadi berlumpur pada saat tergenang, dan pada saat kering unit-unit tanah tersebut menjadi massive. Berbeda dari horizon Apg, struktur tanah di horizon C belum terbentuk karena di horizon tersebut belum terjadi proses pedogenesis dan matrik tanah masih berupa bahan-bahan yang didominasi oleh fragmen kasar.

(32)

16

perlahan-lahan tersebut menyebabkan klei mengendap secara terorientasi. Semakin lama umur sawah, maka endapan klei semakin banyak dan lapisan tapak bajak menjadi tebal sehingga struktur platy menjadi semakin berkembang. Oleh karena lahan sawah pada pedon MS1 berumur < 10 tahun (berdasarkan interview pemilik lahan), maka lapisan tapak bajak dan struktur platy berkembang lemah. Selain itu, pembentukan struktur platy juga erat kaitannya dengan adanya pemadatan tanah oleh alat mekanisasi dan pengolahan pada kondisi jenuh air (Boizard et al.2013) seperti pada tanah sawah.

Gambar 6 Struktur baji (wedge-shape structure) yang menyerupai busur identik pada

tanah-tanah montmorillonitik. a) MS3 (Cianjur), b) MS4 (Cirebon).

Bentuk struktur tanah pada pedon MS2, MS3, dan MS4 memiliki kesamaan satu dengan lainnya. Struktur khas tanah-tanah montmorillonitik (struktur baji) ditemukan di tiga pedon ini (Tabel 2). Bentuk struktur baji setelah diambil dari profil tanah dapat dilihat pada Gambar 6. Pengamatan di lapangan memperlihatkan bahwa letak masing-masing struktur baji berbeda di dalam tanah. Pada pedon MS2, struktur baji terdapat di horizon permukaan A, sedangkan pada pedon MS3 tipe struktur tersebut terdapat pada horizon A dan Bw1. Struktur baji pada pedon MS4 hanya ditemukan di horizon bawah permukaan (horizon Bg1 dan Bg2), sedangkan struktur tanah di horizon permukaan (horizon Ag) pada pedon MS4 ini adalah gumpal bersudut (Tabel 2). Terbentuknya struktur gumpal bersudut tersebut dipengaruhi oleh akar halus dari vegetasi rumput tebal yang tumbuh di atasnya sehingga mengagregasi butir penyusun tanah.

Pengamatan menunjukkan bahwa struktur baji di pedon MS2, MS3, dan MS4 ditemukan pada kedalaman <61 cm dari permukaan tanah dengan tingkat perkembangan lemah. Kedalaman tersebut merupakan zona ditemukannya fitur retak dan slickenside (Tabel 2). Hasil yang sama juga pernah dilaporkan oleh Kabala et al. (2015) pada tanah-tanah yang memiliki sifat vertik di Polandia Barat. Terbentuknya struktur tersebut berkaitan dengan sifat mineral tanah-tanah montmorillonitik yang mampu mengembang dan mengerut pada saat terhidrasi dan kering. Krishna & Perumal (1948) melaporkan bahwa terbentuknya struktur tersebut akibat masuknya material tanah di zona retak pada saat musim kering sehingga terjadi penambahan volume. Kemudian pada saat musim hujan, tanah mengembang, agregat tanah saling menekan dan menggesek, maka terbentuk struktur baji.

(33)

17 Fitur redoksimorfik

Nodul hanya ditemukan pada pedon MS1 (Gambar 7a) di horizon peralihan AC. Nodul tersebut berukuran kasar dan berwarna hitam (G1 2.5/N) dengan konsentrasi sedikit di dalam tanah (Tabel 2) dan dapat dipisahkan dengan mudah dari matrik tanah. Nodul tersebut terbentuk akibat penggenangan secara berulang-ulang karena tanah disawahkan. Implikasinya, tanah mengalami perubahan redoks.

Gambar 7 Beberapa fitur redoksimorfik di dalam profil tanah. a) Nodul (hitam, G1

2.5/N) ditemukan pada pedon MS1 di horizon Apg, b) masses (merah, 10 R 5/N) terdapat pada pedon MS2 di horizon Bt2, c) masses (hitam gelap kemerahan, 10 YR 2.5/1) pada pedon MS3 di horizon Bw1, dan d) masses (hitam 5 YR 2.5/1) pada pedon MS3 di horizon Bw2.

Masses1 ditemukan pada pedon MS2 dan MS3. Pada pedon MS2, masses berwarna merah (10 R 5/6) (kondisi oksidatif) dan berasosiasi dengan warna abu-abu kehijauan (G1 5/5 GY) di sebagian kecil dari matrik tanah yang tereduksi di horizon paling bawah (Bt2) (Gambar 7b). Sementara pada pedon MS3 terdapat 2 macam masses yang ditemukan di horizon Bw1 (hitam gelap kemerahan, 10 YR 2.5/1; Gambar 7c), dan di horizon Bw2 (hitam, 5YR 2.5/1; Gambar 7d). Terbentuknya masses di pedon MS2 dan MS3 disebabkan oleh muka air tanah dangkal sehingga fluktuasi air tanah menyebabkan aerasi tanah berubah (terjadi proses redoks) dalam merespon dinamika pergerakan tersebut.

1

Masses merupakan konsentrasi bahan yang teroksidasi dan berwarna lebih merah atau lebih gelap dari warna matrik tanah. Bahan tersebut tidak tersementasi sehingga tidak dapat dipisahkan dari matrik tanah (Schoeneberger 2012).

a) b)

(34)

18

Kemunculan fitur redoksimorfik di dalam tanah berkaitan dengan penjenuhan matrik tanah oleh air dan terbentuk oleh oksidasi dan reduksi unsur Fe dan Mn di dalam tanah (Lindbo et al. 2000; Buol et al. 2011; Szymaṅski et al. 2014). Sementara pada pedon MS4 fitur redoksimorfik tidak ditemukan. Pada pedon MS4 seluruh matrik tanah berwarna abu-abu sampai abu-abu kehijauan (Tabel 2). Warna tersebut tetap bertahan ketika terekspos ke udara dalam waktu lama. Schwertmann (1993) melaporkan bahwa matrik tanah berwarna abu-abu berasal dari pembebasan Fe dari kompleks mineral klei, dan kemudian sebagian Fe tersebut tereduksi.

Sifat Fisika Tanah

Partikel tanah

Karakteristik partikel penyusun tanah antar pedon dapat di lihat pada Tabel 3. Pada pedon MS1, seluruh horizon memiliki fragmen kasar (>2 mm) dengan jumlah 5.3 - 77.1 %. Persentase fragmen kasar di horizon bawah permukaan lebih dominan dibandingkan dengan horizon permukaan tanah. Jenis fragmen kasar tersebut terdiri atas kerikil, kerakal, dan batuan. Berbeda dari pedon MS1, pedon MS2, MS3, dan MS4 terlihat sangat kontras. Seluruh horizon tanah di tiga pedon ini relatif sama dan didominasi oleh fraksi tanah halus yang hampir mencapai 100 %.

Tabel 3 Karakteristik fisika tanah.

Profil Kedalaman (cm) (%) KA BD

a Tanah berbatu sehingga sampel utuh tidak bisa diambil.

(35)

19 banyak material yang belum mengalami pelapukan ke bentuk fraksi halus. Sebaliknya, pada pedon MS2, MS3, dan MS4 tanah sudah lebih berkembang dari pedon MS1.

Semua pedon memiliki kadar klei >30 % (34.7 - 67.5 %). Rata-rata kadar klei tertinggi terdapat pada pedon MS3 yaitu 59.63 %. Kadar klei mengikuti urutan MS3 > MS4 > MS2 > MS1. Selisih rata-rata kadar klei pedon MS3 mencapai 20 % dengan pedon MS1, 9.8 % dengan pedon MS2, dan 9.9 % dengan pedon MS4.

Dinamika klei pada pedon MS1 memperlihatkan klei meningkat di lapisan tapak bajak (AC) (Gambar 8a). Peningkatan klei tersebut terjadi bukan karena faktor pedogenik, tetapi disebabkan oleh faktor antropogenik. Aktivitas pengolahan dan pelumpuran tanah secara berulang-ulang menyebabkan terjadinya migrasi klei (Winkler et al. 2016) ke lapisan tersebut.

Secara pedogenik, proses lessivage hanya ditemukan pada pedon MS2 di horizon A. Proses tersebut menyebabkan kadar klei menurun di horizon A dan meningkat di horizon Bt. Fenomena tersebut pada umumnya jarang ditemukan pada tanah-tanah montmorillonitik. Curah hujan yang tinggi di seluruh wilayah pedon pengamatan (±1625 mm.tahun-1, Tabel 1) diprediksi menjadi faktor penyebab terjadinya proses tersebut, tetapi ternyata alasan tersebut tidak kuat karena pada pedon lainnya proses tersebut tidak terjadi (sampai batas control section). Setelah ditinjau, kadar klei menjadi kunci utama mudah tidaknya klei mengalami translokasi. Kadar klei yang tinggi mampu menghambat pergerakan air melalui pengisian ruang pori tanah (void) oleh klei sehingga lapisan tanah menjadi impermeable. Implikasinya adalah fluks pergerakan air secara vertikal dalam memindahkan klei ke horizon bawah permukaan tanah menjadi terhambat. Akan tetapi, pada kasus pedon MS2, kadar klei justru lebih rendah (rata-rata 49.80 %) dari pedon MS3 (59.63 %) dan pedon MS4 (50.70 %). Oleh sebab itu, translokasi klei pada pedon MS2 lebih berpotensi terjadi ke horizon bawah tanah (horizon Bt).

Bulk density dan pori tanah

Bulk density (BD) dan ruang pori tanah (TRP) berkorelasi sangat signifikan (r = 0.71, p = <0.01, Tabel 4) dan keduanya memperlihatkan dinamika semakin meningkat berdasarkan kedalaman tanah (Tabel 3). Secara alami, BD tanah berhubungan dengan kadar klei (r = 0.37, Tabel 4). Hal tersebut dapat terjadi melalui mekanisme pengisian ruang pori tanah (terutama pori makro dan meso) oleh koloid klei (r = 0.51, p = <0.05, Tabel 4) sehingga menyebabkan BD tanah meningkat. Implikasinya adalah ruang pori tanah (TRP) menjadi berkurang. Sementara pergerakan pengisian klei tersebut ke horizon bawah permukaan (horizon Bt pedon MS2) menandakan adanya translokasi klei dari horizon permukaan ke bagian bawah permukaannya sebagai indikasi dari adanya proses lessivage (Miller et al. 1971; Szymaṅski et al. 2014).

(36)

20

lain yang lebih signifikan mempengaruhi BD tanah tinggi pada pedon MS4, yaitu status kelembaban tanah pada saat pengambilan sampel, seperti yang ditunjukkan dari nilai kadar air tanah (r = -0.89, p = <0.01, Tabel 4 dan Tabel 3).

Hubungan antara BD dengan kelembaban tanah dapat dijelaskan bahwa pada saat kelembaban tanah rendah, maka air hilang meninggalkan pori, kemudian tanah mengerut sehingga tanah menjadi kompak dan memadat. Akibatnya BD tanah menjadi tinggi. Penelitian Grossman et al. (1985) membuktikan hubungan berbagai kondisi spesifik kelembaban tanah terhadap nilai BD pada Udic Chromustert. Hasilnya adalah BD tanah meningkat dengan dengan semakin rendahnya kelembaban tanah.

Sifat Kimia Tanah

Karakteristik kimia tanah memperlihatkan bahwa beberapa pedon dapat dikelompokkan berdasarkan kemiripan karakteristiknya. Pedon MS2, MS3, dan MS4 dapat dikelompokkan menjadi satu kluster, sedangkan pedon MS1 terlihat berbeda karena memiliki karakteristik kimia jauh lebih rendah dari pedon lainnya (Tabel 5).

Sumber kemasaman tanah dan hubungannya dengan aluminium dan kejenuhan basa

Pada dasarnya sumber kemasaman tanah disebabkan oleh faktor tunggal, yaitu adanya kelebihan ion H+ di dalam tanah (r = -0.43, p = <0.05, Tabel 4). Akan tetapi, dinamika kemasaman tanah dapat dipengaruhi oleh berbagai macam karakteristik tanah, seperti yang tersaji pada Tabel 4.

Secara berturut-turut, rata-rata nilai pH tertinggi sampai terendah pada masing-masing pedon mengikuti urutan MS4 > MS3 > MS2 > MS1. Pedon MS4 memiliki nilai pH tertinggi (agak masam – agak basa) dengan kisaran nilai pH H2O 5.9 - 7.6, sedangkan nilai pH pedon MS1 terukur paling rendah (sangat

masam-masam) dengan kisaran nilai pH H2O 4.3 - 5.0.

Penyebab kemasaman tanah dan hubungannya dengan aluminium dapat dipertukarkan (Al-dd) (r = -0.55, p = <0.05, Tabel 4) dan kejenuhan basa (KB) (r = 0.92, p = <0.01, Tabel 4) sangat tergantung kepada jenis bahan induk yang mengalami pelapukan dan lingkungan yang mempengaruhinya. Ketika mineral mengalami pelapukan, kation pada gugus Si-O-K(kation) akan terputus sehingga

status kation menjadi (1) terjerap di permukaan mineral sebagai kation yang dapat dipertukarkan dan/atau (2) terlepas ke larutan tanah. Kedua status tersebut akan meningkatkan kejenuhan basa (KB) apabila kation tidak tercuci meninggalkan profil tanah. Sementara, akibat pelapukan yang telah terjadi, gugus Si-O- yang kehilangan kation menyebabkan muatan menjadi tidak seimbang. Ketidakseimbangan tersebut akan dinetralkan oleh ion H+ membentuk Si-O-H dan menghasilkan OH- (H+ dan OH- berasal dari disosiasi H2O) yang akan

(37)

21

Tabel 4 Matrik korelasi Pearson (r) karakteristik fisika dan kimia tanah.

pH H2O ∆pH EC BO Klei KA BD TRP KTK-S KTK-C KTK-E KB Ca-dd Mg-dd K-dd Na-dd Al-dd H-dd

Tabel 5 Karakteristik kimia tanah.

Profil Kedalaman (cm) pH 1:1 (%) BO (ds.mEC -1)

KTK (cmolc.kg-1)

KTK-SE (%) KB

Kation basa (cmolc.kg-1) Kation asam (cmolc.kg-1)

H₂O KCl ∆pH Tanah Klei Efektif Ca Mg K Na Al H

(38)

22 rendah dan kuarsa dominan, maka kation yang terputus akibat pelapukan akan lebih banyak di larutan tanah sehingga berpotensi tercuci meninggalkan profil tanah. Akan tetapi, aluminiun sebagai kation trivalen dan hidrogen yang memiliki densitas muatan tinggi akan terjerap lebih kuat dibandingkan kation basa sehingga konsentrasi Al3+ dan H+ menjadi dominan di dalam tanah.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dibandingkan jenis batuan induk dan kelimpahan mineral montmorillonit dan kuarsa masing-masing pedon. Pada pedon MS1, batuan induk tanah adalah batu pasir dan batu klei (Tabel 1) dengan cadangan kation basa rendah, kelimpahan montmorillonit paling rendah dan kuarsa paling tinggi dibandingkan dengan pedon lainnya (Tabel 6) sehingga berdampak terhadap nilai pH menjadi lebih rendah, Al-dd menjadi lebih tinggi, dan KB menjadi lebih rendah dari pedon lainnya (Tabel 5); dan sebaliknya apabila dibandingkan dengan tiga pedon lainnya.

Bahan organik tanah

Kadar bahan organik tanah bervariasi antar pedon terutama di horizon permukaan tanah, sedangkan di horizon bawah permukaan tanah cenderung homogen. Tabel 5 memperlihatkan bahwa kadar bahan organik tanah pada pedon MS3 lebih rendah dari pedon MS4, padahal penggunaan lahan sebagai sumber bahan organik tanah di dua pedon ini sama-sama berupa rumput (Tabel 1). Berdasarkan pengamatan, hal ini disebabkan oleh faktor kerapatan vegetasi yang tumbuh di atasnya. Vegetasi rumput pada pedon MS4 tumbuh lebih tebal dibandingkan dengan pedon MS3 sehingga biomassa yang disumbangkan ke dalam tanah menjadi lebih banyak pada pedon MS4.

Kadar bahan organik tanah pada pedon MS1 dengan penggunaan lahan sawah terukur cukup tinggi terutama di horizon Apg (3.2 %, Tabel 5) apabila dibandingkan dengan pedon MS2 dan MS3. Tingginya kadar bahan organik tanah pada pedon MS1 disebabkan oleh (1) adanya sisa rumpun padi pada periode musim tanam sebelumnya, dan (2) kebiasaan petani mengembalikan jerami padi ke dalam tanah sehingga dapat memperkaya kadar bahan organik tanah. Darmawan (2006) menambahkan bahwa sistem budidaya padi monokultur secara kontinu (IP 2.5 per tahun) menciptakan lingkungan tanah dalam kondisi anaerob sehingga dapat memperlambat laju dekomposisi bahan organik segar pada tanah sawah.

Gambar

Gambar 1  Lokasi pengamatan profil tanah dan titik pengambilan sampel.
Tabel 1  Informasi umum dan susunan geologi wilayah pedon pengamatan.
Gambar 2  Diagram alir kegiatan penelitian.
Gambar 3 Penampang profil tanah montmorillonitik. MS1 = Lebak, MS2 = Karawang, MS3 = Cianjur, MS4 = Cirebon
+7

Referensi

Dokumen terkait

kapal dan muatan (barang maupun orang) yang dilihat dari waktu. putar kapal, jumlah kunjungan kapal, fasilitas darat

Realisasi Belanja Negara sampai dengan akhir September 2018 sebesar Rp1.512,55 triliun, mencapai sekitar 68,1 persen dari pagu APBN, atau meningkat 10,00 persen jika dibandingkan

NAMA KURSUS KOD PROGRAM/ MAJOR/

Program Studi Teknik Informatika Fakultas Teknologi Industri Universitas Kristen Petra Jl. Semakin banyak aplikasi ketenagakerjaan yang muncul pada platform Android. Sebagai

Fungsi dan tujuan konservasi yang melekat dalam TNBG sudah menjadi bagian dari budaya kita di masa yang lalu, bahkan dalam konteks yang terbatas masih dipraktikkan

Berdasarkan klasifikasi anak luar biasa yang digunakan dalam pendidikan luar biasa anak tunaganda adalah anak yang memiliki ketunaan lebih dari satu, misalnya tunanetra dengan

mekanisme Pendanaan pada PTN Badan Hukum diatur dengan Peraturan Pemerintah, dan untuk melaksanakan amanat tersebut telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 58

Latar Belakang : Industri Indonesia masih banyak menggunakan tenaga manusia dalam hal produksi. Pada penanganan kerja secara manual, manusia dituntut mempunyai kemampuan