• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Indeks Klinis dan Kesehatan Kuku Berdasarkan Kelompok Ternak Pada Domba Garut.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil Indeks Klinis dan Kesehatan Kuku Berdasarkan Kelompok Ternak Pada Domba Garut."

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

PROFIL INDEKS KLINIS DAN KESEHATAN KUKU

BERDASARKAN KELOMPOK TERNAK

PADA DOMBA GARUT

PURNAMA SINTA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Profil Indeks Klinis dan Kesehatan Kuku Berdasarkan Kelompok Ternak Pada Domba Garut adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

PURNAMA SINTA. Profil Indeks Klinis dan Kesehatan Kuku Berdasarkan Kelompok Ternak Pada Domba Garut. Dibimbing oleh AGUS LELANA.

Tingkat produktivitas ternak domba berhubungan erat dengan kondisi kesehatan. Kondisi kesehatan tubuh domba Garut diperoleh dari hasil pemeriksaan klinis pada masing-masing kelompok ternak. Penelitian ini membahas kesehatan kuku, body condition score (BCS) dan keterkaitan terhadap suhu tubuh. Penelitian ini menggunakan sampel domba Garut yang dipilih secara acak meliputi 10 ekor anakan jantan, 10 ekor remaja jantan, 10 ekor pejantan, 10 ekor anakan betina, 10 ekor dara, 10 ekor betina bunting, 10 ekor kering kandang, dan 10 ekor laktasi. Analisis data menggunakan metode statistik deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kesehatan kuku berpengaruh nyata terhadap suhu tubuh ternak. Suhu tinggi ditemukan pada kelompok domba pejantan yang memiliki kuku panjang dan retak. Hasil lainnya menunjukan bahwa skor BCS berkorelasi terbalik terhadap suhu tubuh. Pada kelompok domba betina, ternak dengan suhu tubuh rendah dari suhu kisaran normal ditemukan pada betina bunting (BCS 3, 39.4 ºC), betina flushing (BCS 3, 38.1 ºC) dan diikuti betina laktasi (BCS 2, 37.8 ºC). Pada kelompok domba jantan (BCS 2.5, 41.0 ºC), anakan jantan (BCS 2.1, 39.8 ºC), dan anakan betina (BCS 1.5, 39.7 ºC).

Kata kunci: domba Garut, kesehatan kuku, BCS, suhu tubuh

ABSTRACT

PURNAMA SINTA. Clinical Index and Hoof Health Profile Based on Physiological State of Garut Sheep. Supervised by AGUS LELANA.

The level of productivity of sheep is closely linked to the health condition. In order to increased the health condition of Garut’s sheep we perform clinical evaluation based on physiological state. This study was conducted to assess the health of hoof, body condition scores (BCS) and its relation to body temperature as a parameter Garut’s sheep body temperature. This study used redomizing stall animals that consist of 10 male lambs, 10 male adolescents, 10 studs, 10 female lambs, 10 nolly-para females, 10 gestations, 10 flushing animals, and 10 lactating animals. Data analysis was performed using descriptive statistic. The result showed that the health of hoof tend to be related to the body temperature. The animal with high in normal ranging of temperature were found highly among studs that characterized by crack and long hoof. Other result showed that the score of BCS was tend to be related cenversely to the body temperature. In female sheep, the animals with low in normal ranges of temperature were found more in gestation animals (approcimately BCS 3, 39.4 ºC), and followed by flushing animals (approcimately BCS 3, 38.1 ºC) and lactating animals (approcimately BCS 2, 37.8 ºC). In male sheep animals (approcimately BCS 2.5, 41.0 ºC), and followed by male lambs (approcimately BCS 2.1, 39.8 ºC) and female lambs (approcimately BCS 1.5, 39.7 ºC).

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

PROFIL INDEKS KLINIS DAN KESEHATAN KUKU

BERDASARKAN KELOMPOK TERNAK

PADA DOMBA GARUT

PURNAMA SINTA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Oktober – Desember 2014 ini ialah kesehatan domba Garut, dengan judul Profil Indeks Klinis dan Kesehatan Kuku Berdasarkan Kelompok Ternak Pada Domba Garut.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ayahanda tercinta Ali Dasril dan Ibunda tercinta Tiasa serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr Drh RP Agus Lelana, SpMP MSi selaku pembimbing serta Ibu Dr Drh Umi Cahyaningsih, MSi selaku dosen pembimbing akademik. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada pimpinan dan staf UPTD Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba Margawati, Garut yang telah membantu selama pengambilan sampel dan pengumpulan data.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Domba Garut 2

Kesehatan Kuku 3

Body Condition Scores (BCS) 3

suhu Tubuh 4

METODE 5

Bahan 5

Alat 6

Prosedur Penelitian 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Hasil 7

Pembahasan 8

SIMPULAN DAN SARAN 13

Simpulan 13

Saran 13

DAFTAR PUSTAKA 13

(10)

DAFTAR TABEL

1 Suhu Tubuh Domba Garut Secara Individual 8

DAFTAR GAMBAR

1 Kuku Domba Garut Sebelum dan Sesudah Trimming 4

2 Teknik Menahan (Restrain) Domba Garut dan Perbedaan Kuku Panjang

dan Normal 4

3 Skematis Kaki dan Kuku Domba Garut 4

4 Teknik Penilaian Body Condition Scores (BCS) 4

(11)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Domba Garut merupakan ternak hasil persilangan antara domba lokal, domba Merino dari Australia dan domba Kaapstad dari Afrika Barat Daya. Domba ini dapat beradaptasi dengan masukan (input) pakan dengan kualitas rendah dan terjangkau, tetapi mampu menghasilkan (output) produksi lebih tinggi, melalui pendekatan pemeliharaan dan kesehatan yang baik (Suherman 2009). Bentuk anatomi dan tingkah laku yang unik menyebabkan domba Garut berpotensi sebagai domba ketangkasan (20%) dan domba pedaging (80%). Keunggulannya sebagai sumber protein hewani yang bergizi, terjangkau, mudah berproduksi dan disebarluaskan menyebabkan domba Garut dapat mensubtitusi kebutuhan daging sapi impor (Ditjenak 2010).

Mengingat potensinya dalam menunjang swasembada daging, pemerintah melalui Unit Pelaksana Teknis Balai Pengembangan dan Perbibitan Ternak Domba Provinsi Jawa Barat mengembangkan manajemen produktivitas domba Garut di Margawati, Kabupaten Garut. Dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak, diperlukan pengetahuan mengenai profil metabolisme dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Menurut Yani dan Purwanto (2006) faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme ternak meliputi faktor keturunan, pakan, pengelolaan, perkandangan, kesehatan, serta faktor lingkungan. Yani dan Purwanto (2006) juga menjelaskan bahwa faktor lingkungan merupakan faktor mikro yang dapat mempengaruhi temperatur tubuh. Widodo et al. (2011) juga menekankan bahwa iklim berpengaruh terhadap temperatur tubuh.

Selain faktor mikro, penampilan produksi juga dipengaruhi oleh faktor makro yang didapat dari penilaian ukuran tubuh ternak (body condition score). Dalam konteks metabolisme, besarnya penambahan panas yang berasal dari radiasi matahari di daerah tropis dapat mencapai empat kali lebih besar dari produksi panas hasil metabolisme. Besarnya penambahan panas ini tergantung pada ukuran tubuh ternak. Makin kecil ukuran tubuh ternak, maka semakin tinggi suhu tubuh ternak (Saputra et al. 2013). Suhu tubuh normal domba berkisar 39.0 -40.5 ºC (Widodo et al. 2011). Konsep kesehatan ternak dalam hal ini kesehatan kuku sangat penting untuk mengoptimalkan produksi. Masalah kuku seringkali muncul akibat kelalaian pemotongan kuku secara berkala di peternakan. Hal ini berdampak pada kinerja dan produktivitas ternak menurun. Menurut Sudarmono dan Sugeng (2011) pemotongan kuku panjang dilakukan rutin agar ternak terhindar dari agen infeksi dan gangguan keseimbangan tubuh.

Pemeriksaan indeks klinis ternak dapat berupa pengukuran suhu tubuh dan penilaian BCS (Pugh 2002). Pengukuran suhu tubuh merupakan salah satu cara yang mudah dari indeks pemeriksaan klinis untuk mengetahui status kesehatan ternak. Adapun dalam penilaian BCS, faktor utama yang diperlukan adalah pengetahuan peternak penyedia daging tentang penggunaan BCS dalam menentukan status gizi yang erat kaitannya dengan harga ternak tersebut.

(12)

2

dan pejantan. Hasil pemeriksaan ini dapat menunjang terwujudnya peningkatan produksi dan produktivitas domba Garut di Unit Perbibitan Ternak Domba (UPTD) Pengembangan Ternak Domba, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat, Margawati.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menerangkan keterkaitan kesehatan kuku dengan indeks klinis berupa body condition score (BCS), dan suhu tubuh pada masing-masing kelompok ternak di UPTD Balai Pengembangan dan Perbibitan Ternak Domba Garut.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan UPTD Balai Pengembangan dan Perbibitan Ternak Domba Garut dalam meningkatkan produksi dan produktivitas ternak sebagai domba pedaging.

TINJAUAN PUSTAKA

Domba Garut

Domba Garut merupakan ternak hasil persilangan antara domba lokal, domba Merino dari Australia dan domba Kaapstad dari Afrika Barat Daya. Persilangan ini terjadi pada tahun 1864, ketika Pemerintah Hindia Belanda mengimpor domba Merino dari Australia. Domba Merino dipelihara oleh K.F.Holle di tanah pertaniannya didaerah Garut. Pada tahun 1886, K.F.Holle menyebarluaskan beberapa ekor dombanya kepada peternak disekitarnya dan kepada Bupati Limbangan Van Nispen, para tokoh pribumi di Garut dan Tarogong, serta bangsa Eropa didaerah Sumedang dan Bandung (Soemirat dan Merkens 1926). Domba Garut merupakan salah satu kekayaan sumber daya genetik domba lokal Indonesia yang tersebar secara geografis di Provinsi Jawa Barat. Budidaya domba Garut dilakukan secara turun-temurun dan telah dilindungi oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 2914/Kpts/OT.140/6/2011 (Maurya et al. 2009). Menurut Herdis (2005), klasifikasi:

Kingdom : Animalia (hewan)

Phylum : Chordata (hewan bertulang belakang) Kelas : Mamalia (hewan menyusui)

Ordo : Artiodactyla (hewan berkuku genap) Family : Bovidae (memamah biak)

Genus : Ovis (domba)

(13)

3

Domba Garut (Ovis aries) mempunyai keunggulan dalam kemampuan beradaptasi yang baik, berperan dalam pasokan daging untuk masyarakat, bersifat prolifik (melahirkan anak lebih dari satu), dan tidak mengenal musim kawin (Herdis 2005). Usaha ternak domba Garut memberi kontribusi nyata terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat. Dilihat dari rata-rata tingkat kepemilikan ideal adalah 20-50 ekor per peternak (Setiawan B 2011). Ciri khas domba Garut jantan adalah pangkal ekornya agak lebar denga ujung runcing dan pendek, dahi sedikit lebar, kepala pendek, mata kecil, tanduk besar dan melingkar ke belakang. Berbeda debga betina yang tidak memiliki tanduk, bentuk telinga bervariasi (pendek sampai panjang). Domba betina yang memiliki telinga pendek dikenal dengan domba rumpung, sedangkan betina telinga panjang dikenal domba bongkor (Suherman 2009). Domba ini juga memiliki berat badan rata-rata di atas domba lokal lainnya. Menurut Herdis (2005) menyebutkan bahwa domba Garut dengan pakan baik akan mencapai bobot badan yang diinginkan, yaitu 60-80 kg pada jantan dan 30-40 kg pada betina.

Kesehatan Kuku

Kuku merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan ternak. Kelainan pada kuku dapat dilihat secara inspeksi dan palpasi. Selain itu, salah satu indikator kesehatan kuku adalah suhu tubuh. Ternak yang mengalami gangguan kesehatan kuku akan menunjukkan peningkatan suhu tubuh yang sering dikenal demam pada ternak (Blakely dan Bade 1991). Menurut Maurya et al. (2009) pemotongan kuku domba dilakukan 4 bulan sekali. Pemotongan kuku merupakan salah satu perawatan kesehatan ternak. Berhasil tidaknya suatu peternakan tergantung dari faktor kesehatan, salah satunya kesehatan kuku. Kuku panjang dapat mengganggu pertumbuhan anak, karena anak berjalan dengan tidak wajar sampai dewasa dan ini dapat menurunkan nilai jual ternak (Setiawan B 2011). Pemotongan kuku domba dewasa merupakan langkah langkah preventif terhadap kemungkinan terjangkitnya penyakit kuku (pododermatitis), akibat agen penyakit yang terdapat disela kuku. Selain itu, kuku panjnang pada domba jantan akan mengganggu proses perkawinan akibat tidak bisa berdiri sempurna. Jika kuku patah maka akan menimbulkan luka dan infeksi akan terjadi (Saputra et al. 2013). Menurut Setiawan B (2011) pemotongan kuku pada anakan dimulai umur 6 bulan dan selanjutnya dilakukan seperti pada indukan betina dan pejantan, yaitu 3-6 bulan sekali. Pola rotasi ternak sangat mempengaruhi kejadian kuku yang abnormal. Ternak yang selalu dikandangkan akan lebih cepat pertumbuhan kukunya dibandingkan ternak yang digembalakan. Setiawan B (2011) memaparkan bahwa kuku yang panjang apabila tidak segera dipotong dapat mengakibatkan gangguan pergerakan, domba jantan mengalami kesulitan untuk kawin dan terbentuknya rongga di bawah kuku yang dipenuhi dengan kotoran, sehingga dapat menurunkan produksi peternakan.

(14)

4

kulit kaki. Luka tersebut akan memicu mikroorganisme masuk kedalam jaringan, kuku menjadi rapuh dan bau, sehingga menimbulkan penyakit infeksi yang sering dinamakan Foot Rot (Devendra dan Mcleroy 1982).

Gambar 1 Kuku domba sebelum dan sesudah dilakukan trimming (Agromed 2009)

Gambar 2 Teknik menahan (restrain) domba dan perbedaan kuku panjang dan kuku normal (Davendra dan Mcleroy 1982)

Gambar 3 Skematis kaki dan kuku domba (Davendra dan Mclorey 1982)

Body Condition Score (BCS) Domba

(15)

5

Gambar 4 [A] Merasakan tulang punggung domba tepat di costae terakhir dan awal tulang pinggul; [B] Merasakan ujung prosessus transversus dengan keterangan:

(1) prosessus spinosus; (2) lemak;

(3) otot; dan

(4) prosessus transversus

Gambar 5 Penonjolan prosessus spinosus yang tajam, otot pinggang dangkal (emaciacio/BCS 1)

Gambar 6 Penonjolan prosessus spinosus yang tajam, otot punggung sedikit terdapat lemak (kurus/BCS 2)

Gambar 7 Penonjolan prosessus spinosus halus dan bulat (sedang/BCS 3)

Gambar 8 Prosessus spinosus sedikit teraba dan otot pinggang ditutupi lemak (gemuk/BCS 4)

3 2

1

(16)

6

Gambar 9 Prosessus spinosus tidak teraba dan otot pinggang sangat banyak ditutupi lemak (obesitas/BCS 5)

Suhu Tubuh

Suhu rektal digunakan sebagai ukuran suhu tubuh. Suhu rektal merupakan suhu yang paling optimal menunjukan suhu internal tubuh (intertubuh), karena suhu rektal terhubung langsung dengan rongga dalam tubuh dan mendapatkan banyak vaskularisasi (Yilmaz et al. 2011). Shu rektal dipengaruhi beberapa faktor, yaitu suhu lingkungan, aktivitas ternak, pakan, minuman, dan pencernaan (Herdis 2005). Suhu tubuh normal adalah panas tubuh yang termonetral. Suhu rektal domba berkisar antara 37.5- 40.5 ºC (Yilmaz et al. 2011), sedangkan menurut Herdis (2015) menyatakan bahwa suhu rektal normal domba 38.0- 40.0 ºC. Suhu normal domba dewasa 38.4- 40.5 ºC dan domba muda 39.5 ºC (Agromed 2009).

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di UPTD Balai Pengembangan dan Perbibitan Ternak Domba, Provinsi Jawa Barat Margawati, Kabupaten Garut. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Oktober sampai November 2014. Pengolahan data dilaksanakan di FKH IPB pada bulan Desember 2014.

Bahan

Objek penelitian ini adalah 80 ekor yang dipilih secara acak dari 1.253 ekor domba Garut berdasarkan kelompok ternak sebagai berikut: 10 ekor jantan anakan, 10 ekor remaja jantan, 10 ekor pejantan, 10 ekor betina anakan, 10 ekor dara, 10 ekor bunting, 10 ekor kering kandang, dan 10 ekor laktasi per kandang.

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi meteran, termometer rektal, kertas bersih, alat tulis, jam, dan kamera.

Prosedur Penelitian

(17)

7 lemak di atas dan disekitar vertebrae, yaitu prosessus spinosus dan prosessus transversus. Penilaian tersebut dilakukan oleh empat orang untyk mengurangi subjektifitas penilaian, kemudian hasil penilaian dirata-ratakan. Adapun untuk penilaian kesehatan kuku dilakukan dengan meletakkan satu tangan di depan leher ternak dan ditengadahkan, serta tangan satunya lagi diletakkan di belakang kepala dengan posisi kaki menjepit punggung ternak. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan kuku. Hasil pengukuran penilaian ternak dituliskan ke dalam buku pengamatan yang telah disediakan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum

Balai Pengembangan dan Perbibitan Ternak Domba Margawati merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis Dinas di lingkungan Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat yang mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian fungsi dinas dibidang pengujian dan pengembangan perbibitan ternak domba di Jawa Barat. UPTD ini berlokasi di Kelurahan Sukanegla Kecamatan Garut Kota Kabupaten Garut dengan luas lahan ± 26 Ha. Secara topografi Kelurahan Sukanegla berada pada ketinggian 1000 meter dari permukaan laut dan memiliki suhu berkisar antara 16-26 ºC, dan curah hujan berkisar antara 1800-2500 mm/tahun serta kelembaban udara 85-95%. Kondisi lokasi ini merupakan ekologi yang cocok untuk pengembangan bibit domba Garut. Suhu optimal untuk lingkungan ternak domba berkisar antara 13-18 ºC dan kritisnya pada suhu 32 ºC atau lebih, sedangkan kelembaban optimal berkisar 60-70%. Faktor iklim yang terpenting adalah suhu dan kelembaban udara, karena secara langsung mempengaruhi kondisi dan produktivitas ternak (Martawidjaja et al. 1999).

Indeks Klinis: Suhu

(18)

8

Tabel 1 Suhu tubuh domba Garut secara individual pada masing-masing fase pertumbuhan

Kelompok Ternak (n=80)

Suhu Rektal (°C) berdasarkan jumlah ternak (ekor) Hipotermi Normotermi Hipertermi

Keterangan: Hipotermi (38.5-39.5 ºC), normotermi (39.6-40.0 ºC), dan hipertermi (˃40.0 ºC)

Kesehatan Kuku

Profil Kesehatan Kuku

(19)

9

Gambar 1 Profil kesehatan kuku ternak domba Garut di UPTD Margawati

Kelainan Kuku

Abnormalitas kuku terlihat pada beberapa ternak domba di UPTD Margawati. Kelainan bentuk kuku yang ditemukan berupa kuku kaki depan terpelintir, kuku kaki belakang yang miring. Bentuk abnormal kuku tersebut akibat trimming yang tidak dilakukan secara berkala. Kelainan kuku di atas ditemukan pada ternak domba pejantan (dewasa). Suhu pada domba pejantan yang memiliki abnormal kuku kaki belakang retak melebihi suhu normal yaitu 40.45 ºC. Adapun domba pejantan yang memiliki abnormal kuku plantar terpelintir dan miring 36.5 ºC yang berada di bawah kisaran normal.

Keterkaitan Suhu Tubuh Terhadap Kesehatan Kuku

(20)

10

Gambar 4 Keterkaitan suhu tubuh terhadap kuku domba Garut di UPTD Margawati. Keterangan:

1. Jantan anakan 5. Dara 2. Jantan remaja 6. Bunting

3. Pejantan 7. Kering kandang 4. Betina anakan 8. Laktasi

Indeks Klinis: Body Condition Score (BCS)

Profil BCS Ternak

Hasil pengumpulan data rata-rata BCS domba Garut UPTD Balai Pengembangan dan Perbibitan Ternak Domba Margawati ditampilkan dalam bentuk Gambar 2 (A dan B) dan perbandingan literatur pada Hambar 3C. Dimana betina anakan memiliki BCS 2.1, dara BCS 2.5, bunting BCS 2.6, laktasi BCS 2.1, kering kandang BCS 1.9, jantan anakan BCS 2.0, jantan remaja BCS 2.0, dan pejantan BCS 3.0.

Data BCS UPTD ini dibandingkan dengan literatur yang menunjukan BCS optimal masing-masing fase pertumbuhan. Pada domba anakan baik betina maupun jantan, BCS yang diperoleh sesuai dengan BCS optimal yakni berkisar 2.0-2.5 dan dara memiliki BCS optimal berkisar 2.5-3.0 (Meyer dan Thompson 2006). Pada domba bunting BCS optimal 3.0 dan ini berbeda dengan BCS domba bunting UPTD Margawati yakni 2.6. Kemungkinan pada domba bunting UPTD Marhawati kekurangan asupan nutrisi, sehingga cadangan lemak yang tersimpan ditubuh induk dimobilisasi menjadi energi dan nutrisi untuk fetus. Pada domba

(21)

11 laktasi BCS optimal 2.0-2.5 (ESGPIP 2001). Skor BCS laktasi UPTD masih dalam kisaran normal yakni 2.1. pada domba kering kandang BCS optimal 2.0 (ESGPIP 2001). Pada domba kering kandang UPTD Margawati BCS 1.9 yang tidak terlalu berbeda nyata dengan skor optimal literatur. Pada domba pejantan BCS optimal 3.0-3.5 (Meyer dan Thompson 2006). Hal ini sesuai dengan BCS domba pejantan UPTD Margawati yaitu 3.0.

Gambar 11 Penilaian subjektif BCS domba Garut di UPTD Margawati dengan skor 1.0-1.5 (A); skor 1.5-2.0 (B); skor 2.0-2.5 (C); skor 2.5-3.0 (D); dan skor 3.0-3.5 (E)

Keterkaitan Suhu Tubuh Terhadap BCS Ternak

Tingkat konsumsi adalah jumlah pakan yang dikonsumsi oleh terak secara ad libitum. Kesehatan ternak juga sangat berpengaruh terhadap konsumsi pakan. Ternak yang sakit, walaupun gejala penyakitnya belum jelas, nafsu makannya turun dan cenderung malas berjalan ketempat pakan maupun minum. Pada

Gambar 2A Gambar 2B

Gambar 3C Literatur BCS optimal (ESGPIP 2001)

A B C

(22)

12 2. Jantan remaja 6. Bunting

3. Pejantan 7. Kering kandang 4. Betina anakan 8. Laktasi

Kondisi suhu tubuh ternak yang tinggi, berdampak pada menurunnya bobot badan dan berpengaruh terhadap nilai BCS ternak yang semakin kecil. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di UPTD Margawati pada Gambar 5, satu ekor anakan jantan yang memiliki suhu rendah (38.6 ºC) dengan BCS 3.0. Selain pada kelompok anakan jantan, BCS 2.0 terlihat pada satu ekor domba pejantan yang memiliki suhu tinggi (41.3 ºC). Pada kelompok domba kering kandang ditemukan satu ekor yang memiliki suhu rendah (37.9 ºC) dengan BCS 3.0. Menurut Herdis (2005) korelasi suhu terhadap bobot badan berbanding terbalik. Hal ini menunjukan jika suhu tinggi maka bobot badan ternak semakin rendah, begitu juga dengan penilaian BCS. Jika ternak memiliki suhu rendah, maka nilai BCS yang diperoleh secara subjektif pun tinggi. Ternak mengalami stress akibat panas lingkungan dapat menaikkan suhu tubuh dn frekuensi pernapasan. Apabila suhu lingkungan naik sampai 35 ºC akan terjadi gangguan termoregulasi pada ternak, menyebabkan kenaikan suhu tubuh dan konsumsi air minum. Sebaliknya, kondisi ini akan menurunkan konsumsi pakan yang berefek pada penurununan produktivitas ternak (Subronto et al. 2004).

36.2

Score 1 Score 1.5 Score 2 Score 2.5 Score 3 Score 3.5

Kelompok Ternak

(23)

13

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Berdasarkan kelompok ternak, domba kering kandang memiliki suhu tubuh cenderung rendah dibandingkan domba betina lainnya;

2. Peningkatan suhu tubuh pada domba pejantan berkorelasi dengan gangguan kesehatan kuku; dan

3. Suhu tubuh cenderung berbanding terbalik dengan skor BCS, terutama pada kelompok ternak domba betina dara, bunting dan pejantan.

Saran

1. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan antara suhu lingkungan dan suhu tubuh domba Garut; dan

2. Temuan adanya suhu tubuh yang cenderung rendah dengan selang normal pada betina kering kandang, perlu diteliti lebih lanjut keterkaitannya dengan proses metabolisme.

DAFTAR PUSTAKA

Agromedia. 2009. Petunjuk Praktis Menggemukkan Domba, Kambing, dan Sapi Potong. Jakarta (ID): pt. Agromedia Pustaka.

Arifin M, Kusuma I, Sunarso. 2009. Konsentrasi VFA rumen pada domba ekor tipis jantan yang mendapatkan suhu lingkungan dan aras pemberian pakan yang berbeda. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro. Semarang (ID): UNDIP Pr.

Blakely J, Bade HD. 1991. Ilmu Peternakan. Yogyakarta (ID): UGM Pr.

Devendra C, Mclorey GB. 1982. Goat and Sheep Production in The Tropics. United Kingdom (US): Longman Froup Limited.

[DITJENAK] Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014. Jakarta (ID): PT. Agromedia Pustaka.

[ESGPIP] Ethiopia Sheep and Goat Productivity Improvement Program. 2001. Body Condition Scoring of Sheep and Goats. 8th Ed. www.pvamrfethiopia. Herdis. 2005. Optimalisasi inseminasi buatan melalui aplikasi teknologi

laserpunktur pada domba garut (Ovis aries) [disertasi]. Bogor (ID): IPB Pr. Kamiya M, Iwama Y, Tanaka M. 2005. Effects of high ambient temperature and

restricted feed intake on nitrogen utilization for milk production. J. Anim Sci [Internet]. [diunduh 17 Mei 2015].

Kurnia Umbara B. 2009. Kecernaan serat pakan pada domba betina yang mendapat ransum dengan nilai nisbah kation anion dan kromium berbeda [skripsi]. Bogor (ID): IPB Pr.

(24)

14

Maurya VP, Kumar S, Kumar D, Gulyani R, Joshi A, Naqvi S, Arora AL, Singh VK. 2009. Effect of body condition score on reproductive perfomance of Chokla ewes. Indian J. Anim Sci [Internet]. [diunduh 13 Februari 2015].

Nugroho CP. 2008. Agribisnis Ternak Ruminansia Jilid 1. Jakarta (ID): Direktorat Pembina Sekolah Menengah Kejuruan.

Pugh DG. 2002. Sheep and Goat Medicine. New York (US): Saunders.

Saputra Y, Sudewo A, Utami S. 2013. Hubungan antara lingkar dada, panjang badan, tinggi badan dan lokasi dengan produksi susu kambing Sapera. Jurnal Ilmu Peternakan. 1(3): 1173-1182.

Setiawan Budi. 2001. Beternak Domba dan Kambing. Jakarta (ID): PT. Agromedia Pustaka.

Subronto, Tjahajati I. 2004. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Sudarmono A, Sugeng YB. 2011. Beternak Domba. Jakarta (ID): Penebar

Swadaya.

Soemirat, Merkens. 1926. Sumbangan Pengetahuan Tentang Peternakan Domba di Indonesia. Jakarta (ID): LIPI.

Suherman M. 2009. Respon Fosiologis Domba Garut Betina yang Diberi Ransum Komplit dengan Nilai Rasio Anion Kation dan Kromium yang Berbeda. Bogor (ID): IPB Pr.

Thompson JM, Meyer H. 2006. Body Condition Scoring of Sheep. Proc. 52nd Bien. Spooner Sheep D. Page:28. Tersedia pada: http://oregonstate.edu/dept/animal.sciences/bes.htm.

Widodo et al. 2011. Diagnostik Klinik Hewan Kecil. Bogor (ID): IPB Pr.

Yani A dan Purwanto B. 2006. Pengaruh iklim mikro terhadap respon fisiologis ternak domba. Media Petern [Internet]. [diunduh 13 Februari 2015]. Bogor (ID): IPB Pr.

(25)

15

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Purnama Sinta. Penulis lahir di Panti pada tanggal 03 Agustus 1993. Penulis merupakan anak ke-4 dari pasangan Bapak Ali Dasril dan Ibu Tiasa.

Gambar

Gambar 3 Skematis kaki dan kuku domba (Davendra dan Mclorey 1982)
Gambar 8                   Prosessus spinosus
Gambar 1 Profil kesehatan kuku ternak domba Garut di UPTD Margawati
Gambar 4 Keterkaitan suhu tubuh terhadap kuku domba Garut di UPTD
+2

Referensi

Dokumen terkait