• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model analisis spasial perencanaan dan koordinasi penganggaran untuk meningkatkan kinerja pembangunan daerah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model analisis spasial perencanaan dan koordinasi penganggaran untuk meningkatkan kinerja pembangunan daerah"

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

MENINGKATKAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

RINA MULYANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Model Analisis Spasial Perencanaan dan Koordinasi Penganggaran untuk Meningkatkan Kinerja Pembangunan Daerah adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2009

Rina Mulyana

(3)

RINA MULYANA. A Spatial Analysis Model for Budget Planning and Coordination to Improve Regional Development Performance. Under the direction of H. R. SUNSUN SAEFULHAKIM and H. KOMARSA GANDASASMITA.

The success of regional autonomy and decentralization are indicated by the increasing public services and welfare, more advancing democracy, equality and justice, and harmonizely relationship between central and regional and inter-regional. The situation can be achieved when among other things the financial management (budget allocation) is carried out properly.

This research aimed to: (1) identify regional typology based on development performance and budgetting pattern, and (2) develop a spatial model for budget planning and coordination to improve regional development performance. The model was developed under the framework of spatial Durbin Model.

Regions of Banten Province were used to empirically test the model. Variables of model were summarized from regional indicators using Principal Components Analysis. Forward stepwise General Regression Model was employed in testing and estimating parameters of the model.

The result showed that development performance of a region is significantly influenced by budgetting pattern of the region and related regions occurs intern of inter-regional commodity flows or low of distance.

This finding confirmed the important role of planning and inter-regional coordination in budgetting to improve regional development performance.

(4)

RINA MULYANA. Model Analisis Spasial Perencanaan dan Koordinasi Penganggaran untuk Meningkatkan Kinerja Pembangunan Daerah. Di bawah bimbingan H.R. SUNSUN SAEFULHAKIM dan H. KOMARSA GANDASASMITA.

Keberhasilan otonomi daerah dan desentralisasi diindikasikan dengan terjadinya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat (social welfare), kehidupan demokrasi yang semakin maju, keadilan dan pemerataan, serta hubungan serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Keadaan tersebut dapat tercapai, diantaranya apabila manajemen keuangan (alokasi anggaran) dilaksanakan dengan baik.

Penelitian ini bertujuan: (1) Mengidentifikasi tipologi wilayah Provinsi Banten berdasarkan pola penganggaran, (2) Mengidentifikasi tipologi wilayah Provinsi Banten berdasarkan kinerja pembangunan daerah, dan (3) Membangun model spasial perencanaan dan koordinasi penganggaran untuk meningkatkan kinerja pembangunan daerah kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten.

Data sekunder yang digunakan terdiri atas: (1) Data Keuangan Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Banten Tahun 2003-2007 (Perda Kabupaten/Kota, Bappeda Kabupaten/Kota); (2) Data PDRB Kabupaten/Kota Provinsi Banten Tahun 2003-2007 (Bappeda dan BPS Banten); (3) Data Asal dan Tujuan Barang Provinsi Banten Tahun 2006 (Departemen Perhubungan); dan (4) Peta Administrasi Provinsi Banten (Bappeda Banten).

Analisis yang digunakan pada penelitian ini meliputi: (1) Analisis tipologi wilayah berdasarkan pola penganggaran dan kinerja pembangunan daerah Provinsi Banten dengan teknik Factor Analysis (Principal Components Analysis); (2) penyusunan modela spasial dengan Spasial Durbin Model; (3) pengujian dan pendugaan parameter model spasial dengan forward stepwise General Regression Model.

Tipologi Wilyah Banten berdasarkan Pola Penganggaran dan Kinerja Pembangunan Daerah adalah: Kabupaten Pandeglang dan Lebak secara umum memiliki kategori struktur anggaran belanja yang cenderung tergolong rendah kecuali pada bidang: (1) pertanian, kelautan, dan perikanan, dan (2) pekerjaan umum cenderung agak tinggi untuk Pandeglang. Sedangkan untuk Lebak bidang: (1) pertanian, kelautan, dan perikanan, (2) pekerjaan umum, dan (3) kehutanan, energi dan sumberdaya mineral tergolong kategori agak tinggi dan sangat tinggi.

(5)

RINA MULYANA. Model Analisis Spasial Perencanaan dan Koordinasi Penganggaran untuk Meningkatkan Kinerja Pembangunan Daerah. Di bawah bimbingan H.R. SUNSUN SAEFULHAKIM dan H. KOMARSA GANDASASMITA.

Keberhasilan otonomi daerah dan desentralisasi diindikasikan dengan terjadinya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat (social welfare), kehidupan demokrasi yang semakin maju, keadilan dan pemerataan, serta hubungan serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Keadaan tersebut dapat tercapai, diantaranya apabila manajemen keuangan (alokasi anggaran) dilaksanakan dengan baik.

Penelitian ini bertujuan: (1) Mengidentifikasi tipologi wilayah Provinsi Banten berdasarkan pola penganggaran, (2) Mengidentifikasi tipologi wilayah Provinsi Banten berdasarkan kinerja pembangunan daerah, dan (3) Membangun model spasial perencanaan dan koordinasi penganggaran untuk meningkatkan kinerja pembangunan daerah kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten.

Data sekunder yang digunakan terdiri atas: (1) Data Keuangan Daerah Kabupaten/Kota Provinsi Banten Tahun 2003-2007 (Perda Kabupaten/Kota, Bappeda Kabupaten/Kota); (2) Data PDRB Kabupaten/Kota Provinsi Banten Tahun 2003-2007 (Bappeda dan BPS Banten); (3) Data Asal dan Tujuan Barang Provinsi Banten Tahun 2006 (Departemen Perhubungan); dan (4) Peta Administrasi Provinsi Banten (Bappeda Banten).

Analisis yang digunakan pada penelitian ini meliputi: (1) Analisis tipologi wilayah berdasarkan pola penganggaran dan kinerja pembangunan daerah Provinsi Banten dengan teknik Factor Analysis (Principal Components Analysis); (2) penyusunan modela spasial dengan Spasial Durbin Model; (3) pengujian dan pendugaan parameter model spasial dengan forward stepwise General Regression Model.

Tipologi Wilyah Banten berdasarkan Pola Penganggaran dan Kinerja Pembangunan Daerah adalah: Kabupaten Pandeglang dan Lebak secara umum memiliki kategori struktur anggaran belanja yang cenderung tergolong rendah kecuali pada bidang: (1) pertanian, kelautan, dan perikanan, dan (2) pekerjaan umum cenderung agak tinggi untuk Pandeglang. Sedangkan untuk Lebak bidang: (1) pertanian, kelautan, dan perikanan, (2) pekerjaan umum, dan (3) kehutanan, energi dan sumberdaya mineral tergolong kategori agak tinggi dan sangat tinggi.

(6)

aktifitas ekonomi belanja langsung daerah tetangga.

Peningkatan kapasitas fiskal penduduk dipengaruhi secara positif oleh penganggaran bidang perhubungan, kesatuan bangsa dan politik dalam negeri di daerah tetangga. Sedangkan yang berpengaruh secara negatif adalah: (1) penganggaran bidang pertanian, kelautan, dan perikanan, (2) penganggaran bidang pemberdayaan masyarakat, dan (3) inflasi sektor: pertambangan dan penggalian, listrik, gas, dan air bersih di daerah mitra, dan (4) belanja langsung bidang pertanian, kelautan, dan perikanan daerah mitra.

Faktor yang mendorong pada peningkatan pengangguran secara positif adalah penganggaran bidang koperasi dan UKM, kepegawaian daerah mitra, dan inflasi sektor jasa-jasa daerah tetangga. Sedangkan faktor yang mendorong peningkatan pengangguran secara negatif adalah: (1) penganggaran bidang pekerjaan umum daerah mitra, dan (2) penganggaran bidang pertanian, kelautan, dan perikanan daerah mitra.

Untuk meningkatkan kinerja pembangunan daerah dari sisi pertumbuhan ekonomi wilayah di Provinsi Banten hendaknya lebih terfokus pada kawasan Kabupaten Pandeglang dan Lebak. Sedangkan untuk meningkatan kinerja pembangunan daerah dalam menurunkan tingkat pengangguran lebih terfokus pada kawasan perkotaan (kota Cilegon dan Kota Tangerang).

Untuk meningkatkan kinerja pembangunan daerah di wilayah Provinsi Banten diperlukan skala prioritas perencanaan dan koordinasi penganggaran antar daerah, terutama bidang: (1) penganggaran bidang pertanian, kelautan, dan perikanan, (2) perencanaan pembangunan dan kepariwisataan, (3) lingkungan hidup, ketenagakerjaan, serta tingkat aktifitas ekonomi belanja langsung daerah tetangga, (4) penganggaran bidang pemberdayaan masyarakat, dan (5) penganggaran bidang pekerjaan umum.

Perlu penelitian lebih lanjut dengan menggunakan variabel data dari berbagai aspek, agar informasi yang diperoleh dapat disampaikan lebih lengkap. Kata Kunci: Kinerja Pembangunan Daerah, Perencanaan dan Koordinasi

(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2009 Hak Cipta Dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tesis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor.

(8)

MENINGKATKAN KINERJA PEMBANGUNAN

DAERAH

RINA MULYANA

Tesis

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)

Nama : Rina Mulyana NRP : A156070114

Disejutui: Komisi Pembimbing,

Dr. Ir. H. R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr. Ketua

Dr. Ir. H. Komarsa Gandasasmita , M.Sc. Anggota

Diketahui:

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah,

Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr

NIP. 131 879 339

Dekan Sekolah Pascasarjana,

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

NIP. 131 879 339

(11)

Kupersembahkan karya ilmiah ini untuk,

Suami tercinta:

Roni Priyadi Setyanegara

&

Putri-putri Kecilku:

Jasmine Nuraliva Hanata

Justine Nisrina Hanata

Semoga dapat menjadi motivasi belajar

(12)

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunianya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih penulis dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2008 adalah Peran Perencanaan dan Koordinasi Penganggaran terhadap Kinerja Pembangunan Daerah. Untuk itu, karya ilmiah ini diberi judul Model Analisis Spasial Perencanaan dan Koordinasi Penganggaran untuk Meningkatkan Kinerja Pembangunan Daerah.

Berawal dari keinginan untuk menjadi seorang warga negara yang baik, penulis merasa terpacu untuk memberikan sumbangan pemikiran yang konstruktif bagi kemajuan daerah. Berbekal pendidikan yang penulis peroleh, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi para perumus kebijakan pembangunan di Provinsi Banten yang berbasis ilmu pengetahuan.

Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Ir. H. R. Sunsun Saefulhakim, M.Agr dan Dr. Ir. Komarsa Gandasasmita, M.Sc., atas perhatian, kesabaran, dan ketekunannya dalam membimbing penulis;

2. Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr beserta segenap staff pengajar dan manajemen Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah IPB;

3. Didit Okta Probadi, SP., M.Si., selaku dosen penguji yang telah memberikan saran untuk perbaikan karya ilmiah ini;

4. Pimpinan dan staff Pusbindiklatren Bappenas atas kesempatan beasiswa yang diberikan bagi penulis;

5. Pimpinan dan staff Pemerintah Daerah Provinsi Banten yang telah memberikan kemudahan selama proses penelitian;

6. Teman-teman seperjuangan di PWL 2007 atas dukungan dan kekompakannya. 7. Semua pihak yang berperan dan proses pengajaran dan penulisan karya ilmiah

ini.

Tak lupa juga penulis ucapkan terima kasih kepada suami Roni P. Setyanegara dan anak-anak tercinta Jasmine Nuraliva Hanata dan Justine Nisrina Hanata atas

do’a, pengertian, dan pengorbanannya selama ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala yang sepadan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Bogor, Desember 2009

(13)

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 26 Juni 1977 dari seorang Ayah yang bernama H. M. Tony Mulyana dan Ibu yang bernama Hj. Siti Mariah Margatini. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara.

Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri I Cileunyi dan pada tahun yang sama penulis masuk Universitas Pasundan. Penulis memilih Program Studi Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan menamatkan pendidikan pada Tahun 1999.

(14)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Penelitian Sebelumnya... 9

Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

Pembatasan Masalah ... 10

TINJAUAN PUSTAKA Perencanaan Pembangunan Daerah... 11

Koordinasi Perencanaan Pembangunan Daerah... 14

Perencanaan Keuangan Daerah ... 17

Indikator Kinerja Pembangunan Daerah... 21

Ekonomi Keterkaitan... ... 24

Pemodelan Keterkaitan antar Variabel Spasial ... 26

METODE PENELITIAN Kerangka Berpikir... 29

Kerangka Analisis Penelitian... 31

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 32

Metode Pengumpulan data ... 32

Metode Analisis ... 34

Analisis Perkembangan Sistem…... 34

Analisis Location Quotient (LQ)... 36

Principal Components Analysis (PCA).... 37

Klasifikasi Tipologi Wilayah….……….... 40

Analisis Ekonometrika Spasial (Spasial Durbin Model)... 41

(15)

xiii

Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk... 47

Perkembangan Wilayah di Provinsi Banten... 49

Pemusatan Aktivitas Perekonomian Wilayah di Provinsi Banten... 50

Pergeseran dan Pemusatan Sektor Unggulan... 53

Arahan Pengembangan Wilayah Provinsi Banten... 56

Arahan Kebijakan Keuangan Daerah... 57

HASIL DAN PEMBAHASAN Pewilayahan Potensi Ekonomi Daerah Provinsi Banten... 59

Dimensi Struktur Ekonomi Daerah... 60

Dimensi Struktur Harga-harga... 62

Dimensi Kependudukan... 67

Dimensi Struktur Anggaran Penerimaan... 68

Dimensi Struktur Anggaran Pengeluaran... 69

Dimensi Kinerja Pembangunan Daerah... 76

Pewilayahan dan Tipologi Wilayah Berdasarkan Pola Penganggaran... 78

Pewilayahan dan Tipologi Wilayah Berdasarkan Kinerja Pembangunan Daerah di Provinsi Banten... 91

Interaksi Spasial antara Tipologi Pola Penganggaran dan Kinerja Pembangunan Daerah... 98

Model Spasial Perencanaan dan Koordinasi Penganggaran untuk meningkatkan Kinerja Pembangunan Daerah I (KPD1)... 100

Model Spasial Perencanaan dan Koordinasi Penganggaran untuk meningkatkan Kinerja Pembangunan Daerah II (KPD2)... 104

Model Spasial Perencanaan dan Koordinasi Penganggaran untuk meningkatkan Kinerja Pembangunan Daerah III (KPD3)... 107

PEMBAHASAN UMUM DAN IMPLIKASI KEBUJAKAN PERENCANAANDAN KOORDINASI PENGANGGARAN UNTUK MENINGKATKAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH... 110

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ... 113

Saran ... 114

DAFTAR PUSTAKA ... 115

(16)

xiv Halaman

1. Indikator Kinerja Pembangunan daerah Provinsi Banten... 5

2. Struktur Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD)... 19

3. Matriks Tujuan, Metode, Data, dan Sumber Data dalam Penelitian... 33

4. Wilayah Administrasi Provinsi Banten Tahun 2007... 45

5. Jumlah Penduduk Banten Tahun 1961-2007... 48

6. Laju Pertumbuhan Penduduk Banten Tahun 1961-2007... 48

7. Distribusi PDRB Provinsi Banten ADHB Tahun 2003-2007 ... 49

8. Nilai LQ per Sektor-sektor Perekonomian Tahun 2003... 51

9. Sektor-sektor Perekonomian Unggulan per Kabupaten/Kota... 52

10. Nilai Proporsional Shift Sektor-sektor Perekonomian Tahun 2003-2007... 54

11. Pemusatan dan Laju Perubahan Sektor Unggulan... 55

12. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Struktur Ekonomi Daerah (Sed1)... 60

13. Factor Loading Dimensi Struktur Ekonomi Daerah 1... 60

14. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Struktur Ekonomi Daerah 2 (Sed2).. 61

15. Factor Loading Dimensi Struktur Ekonomi Daerah 2... 61

16. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Struktur Harga-harga 1 (Shh1).... 62

17. Factor Loading Dimensi Struktur Harga-harga 1... 63

18. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Struktur Harga-harga 2 (Shh2).... 64

19. Factor Loading Dimensi Struktur Harga-harga 2... 64

20. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Struktur Harga-harga 3 (Shh3)... 65

21. Factor Loading Dimensi Struktur Harga-harga 3... 65

22. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Struktur Harga-harga 4 (Shh4).... 66

23. Factor Loading Dimensi Struktur Harga-harga 4... 66

24. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Kependudukan (Duk)... 67

25. Factor Loading Dimensi Dimensi Kependudukan... 67

26. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Anggaran Penerimaan 1(Sar1).... 68

27. Factor Loading Dimensi Dimensi Anggaran Penerimaan... 68

(17)

xv (Sax2)... 70 31. Factor Loading Dimensi Dimensi Anggaran Pengeluaran 2... 70 32. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Anggaran Pengeluaran 3

(Sax3)... 71 33. Factor Loading Dimensi Dimensi Anggaran Pengeluaran 3... 71 34. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Anggaran Pengeluaran 4

(Sax4)... 71 35. Factor Loading Dimensi Dimensi Anggaran Pengeluaran 4... 72 36. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Anggaran Pengeluaran 5

(Sax5)... 72 37. Factor Loading Dimensi Dimensi Anggaran Pengeluaran 5... 72 38. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Anggaran Pengeluaran 6

(Sax6)... 73 39. Factor Loading Dimensi Dimensi Anggaran Pengeluaran 6... 73 40. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Anggaran Pengeluaran 7

(Sax7)... 74 41. Factor Loading Dimensi Dimensi Anggaran Pengeluaran 7... 74 42. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Anggaran Pengeluaran 8

(Sax8)... 74 43. Factor Loading Dimensi Dimensi Anggaran Pengeluaran 8... 75 44. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Anggaran Pengeluaran 9

(Sax9)... 75 45. Factor Loading Dimensi Dimensi Anggaran Pengeluaran 9... 75 46. Nilai Eigenvalue Variabel Indikator Dimensi Kinerja Pembangunan 1

(Kpd1)... 76 47. Factor Loading Dimensi Dimensi Kinerja Pembangunan ... 77 48. Hasil Estimasi Pemetaan Model Regresi Spasial Kinerja Pembangunan I... 100 49. Hasil Estimasi Pemetaan Model Regresi Spasial Kinerja Pembangunan

II... 104 50. Hasil Estimasi Pemetaan Model Regresi Spasial Kinerja Pembangunan

(18)
(19)

xvii Halaman

1. Alur Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah dan APBD... 8

2. Koordinasi Pembangunan Daerah... 15

3. Fungsi-fungsi Manajemen Pembangunan... 18

4. Alur Perencanaan dan Penganggaran... 20

5. Segitiga Pembangunan... 25

6. Nilai Ekonomi Keterkaitan... 26

7. Kerangka Umum Pemikiran Penelitian... 30

8. Kerangka Analisis Penelitian... 31

9. Tahapan Analisis PCA... 39

10. Tahapan Proses Analisis Penelitian... 44

11. Peta Administratif Provinsi Banten... 46

12. Grafik Indeks Sax01... 80

13. Grafik Indeks Sax02... 81

14. Grafik Indeks Sax03... 81

15. Grafik Indeks Sax04... 82

16. Grafik Indeks Sax05... 83

17. Grafik Indeks Sax06... 84

18. Grafik Indeks Sax07... 85

19. Grafik Indeks Sax08... 86

20. Grafik Indeks Sax09... 87

21. Grafik Indeks Sax10... 87

22. Grafik Indeks Sax11... 88

23. Grafik Indeks Sax12... 89

24. Grafik Indeks Sax13... 90

25. Grafik Indeks Sax14... 91

26. Grafik Indeks Kpd01... 93

27. Grafik Indeks Kpd02... 94

28. Grafik Indeks Kpd03... 94

29. Peta Sebaran Tipologi Wilayah Kpd01 tahun 2007... 95

(20)
(21)

xix Halaman

1. Simbol Kombinasi Daerah (Kabupaten/Kota) dan Tahun... 119

2. Variabel Indikator Kinerja Pembangunan Daerah (Kpd)... 120

3. Variabel Indikator Struktur Ekonomi Daerah (Sed)... 121

4. Variabel Indikator Struktur Harga-harga (Shh)... 122

5. Variabel Indikator Kependudukan (Duk)... 123

6. Variabel Indikator Struktur Anggaran Penerimaan (Sar)... 124

7. Variabel Indikator Struktur Anggaran Pengeluaran (Sax)... 125

8. Variabel Komposit Indikator... 127

9. Kalsifikasi Tipologi Wilayah Berdasarkan Indikator Potensi Ekonomi Daerah... 129

10. Kalsifikasi Tipologi Wilayah Berdasarkan Pola Penganggaran... 130

(22)

Latar Belakang

Landasan filosofi yang melatarbelakangi lahirnya UU 22/1999 (direvisi oleh UU 32/2004) tentang Pemerintahan Daerah adalah untuk mengembangkan semangat demokrasi, meningkatkan peran aktif dan pemberdayaan masyarakat, serta pemerataan dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal tersebut merupakan tujuan utama pelaksanaan pembangunan daerah yang sebenarnya. Tetapi pada kenyataannya, dalam penyusunan undang-undang tersebut dipengaruhi oleh iklim demokrasi yang tidak terkendali, serta dipacu oleh perubahan kondisi politik yang begitu cepat. Akibatnya, dalam upaya mengatur kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, masih dirasakan kurang sempurna, baik dalam menafsirkan isi substansi undang-undang tersebut, maupun pada implementasinya di lapangan.

Berbagai persoalan yang cenderung sangat kompleks dan multidimensional diprediksi sebagai akibat dari terjadinya kesimpangsiuran pemahaman dan pengkotak-kotakan dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan inefisiensi pengelolaan sumberdaya pembangunan daerah, serta hubungan serasi dan harmonis antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota kurang terpelihara. Akhirnya persatuan dan kesatuan bangsa melemah dan menimbulkan disintegrasi bangsa.

(23)

Hal ini diperkuat oleh pasal 4 ayat 1 dan 2 UU 32/2004 yang menyatakan bahwa daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota tidak lagi mempunyai hubungan hierarki. Sehingga masing-masing daerah otonom mempunyai kewenangan untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi pembangunan di daerahnya. Dengan demikian pemerintah provinsi bukan lagi sebagai atasan dari pemerintah kabupaten/kota. Provinsi tidak lagi mengatur atau menjadi tumpuan pemerintah daerah kabupaten/kota seperti pada sebelum masa paradigma baru. Begitu juga dengan pemerintah provinsi yang tidak lagi diatur dan tergantung pada pemerintah pusat tetapi sebagai daerah yang otonom dan mandiri, kecuali untuk tugas-tugas dan kewenangan tertentu yang dilaksanakan dalam rangka dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Mengacu pada ketentuan tersebut, maka hubungan hierarki antar jenis pemerintahan tidak ada lagi, tetapi cenderung pada hubungan yang koordinatif antar daerah dan pusat. Pengarahan berubah menjadi konsultasi yang menghasilkan kesepakatan atau musyawarah yang positif dan produktif serta menguntungkan berbagai pihak. Dengan demikian hubungan antar wilayah/daerah lebih bersifat konsultatif dan koordinatif dalam nuansa kesetaraan/kemitraan.

Saefulhakim (2008), menjelaskan bahwa dalam pembangunan suatu wilayah berorientasi pada perubahan ke arah kemajuan atau terjadinya peningkatan kinerja pembangunan daerah. Perubahan ke arah kemajuan tersebut hanya bisa terjadi jika ada dorongan dari: (1) proses alamiah (natural processes), (2) mekanisme pasar (market mechanism), (3) proses perencanaan (planning processes), atau (4) kombinasi antar berbagai proses tersebut. Kemudian dijelaskan kembali bahwa perubahan ke arah kemajuan berpangkal dari adanya kekhasan substansial (unique substances) dan keterkaitan fungsional (functional interaction) antar berbagai kekhasan tersebut.

(24)

mencakup seluruh proses perencanaan (termasuk pembiayaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi) harus berawal pula dari kebutuhan dan kemampuan masyarakat, sesuai dengan hasil dari koordinasi antara pihak-pihak yang terkait tersebut.

Salah satu permasalahan yang memerlukan perhatian yang sangat serius adalah lemahnya pelaksanaan perencanaan dan koordinasi penyusunan alokasi anggaran pembangunan daerah. Penganggaran yang tanpa melalui koordinasi sektoral dan daerah, baik dalam bentuk komunikasi dan/atau kerjasama, akan mengakibatkan penganggaran yang kurang tepat sasaran dan dapat menimbulkan eksternalitas yang negatif (saling merugikan) antar daerah. Hal ini dapat mempengaruhi pengelolaan sumberdaya yang tidak efektif dan efisien, serta ketimpangan pendapatan antar golongan masyarakat meningkat, sehingga dapat meningkatkan kemiskinan dan pengangguran. Jika hal ini tetap dibiarkan, maka akan terjadi implikasi kontra-produktif terhadap peningkatan kinerja pembangunan daerah.

Fenomena-fenomena tersebut menjadi isu yang sangat penting dan pantas mendapat perhatian yang sangat serius. Oleh karena itu, melalui penelitian yang berbasis data ini diharapkan dapat memberikan informasi atau gambaran mengenai perencanaan dan koordinasi penganggaran sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja pembangunan daerah.

Perumusan Masalah

(25)

sumber daya buatan (infrastruktur, fasilitas publik, dan penataan ruang), (5) penganggaran belanja, (6) jejaring keterkaitan antar daerah (interaksi spasial).

Selain itu, Adisasmita (2005) menyatakan bahwa pembangunan merupakan suatu proses dinamis untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada tingkat yang lebih tinggi dan serba sejahtera. Pertumbuhan ekonomi biasa dilihat dari tolok ukur peningkatan angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). PDRB merupakan ukuran produktifitas wilayah yang paling umum dan paling diterima secara luas sebagai standar ukuran pembangunan dalam skala wilayah dan negara. PDRB pada dasarnya merupakan total produksi kotor dari suatu wilayah, yaitu total nilai dari semua barang dan jasa yang diproduksi oleh masyarakat di wilayah tersebut dalam periode satu tahun. Dengan demikian perencanaan pembangunan wilayah dari aspek ekonomi dapat diartikan sebagai kontribusi seluruh sektor-sektor dalam pembangunan untuk mencapai pertumbuhan yang mendorong ke arah kemajuan perekonomian daerah.

Selanjutnya Rustiadi et al., (2007) berpendapat bahwa, indikator pembangunan merupakan sekumpulan cara untuk mengukur tingkat kinerja pembangunan dengan mengembangkan berbagai ukuran operasional berdasarkan tujuan-tujuan pembangunan. Dari berbagai pendekatan yang memuat konsep-konsep dasar mengenai tujuan-tujuan hakiki pembangunan, maka Rustiadi et al.

menyimpulkan tiga tujuan pembangunan, yaitu: (1) produktifitas, efisiensi, dan pertumbuhan (growth), (2) pemerataan keadilan dan keberimbangan (equity), dan (3) keberlanjutan (sustainability).

Berdasarkan beberapa hal tersebut, capaian kinerja pemerintah daerah kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 dapat diukur melalui tiga indikator pembangunan daerah, yaitu: (1) Jumlah Penduduk Miskin; (2) Jumlah Pengangguran; dan (3) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB). Tabel 1 menunjukan bahwa PDRB dari setiap wilayah di Provinsi Banten pada tahun 2003 sampai pada tahun 2007 masih belum merata. Kota Tangerang memberikan kontribusi PDRB terbesar dengan peningkatan sebesar 0,9% dan Kabupaten Tangerang dengan

(26)

peningkatan sebesar 0,5%. Penurunan PDRB terbesar dialami oleh Kabupaten Serang (0,65%) dan Kota Cilegon (0,56%). Sedangkan kontribusi PDRB terendah dan mengalami penurunan adalah Kabupaten Pandeglang (0,08%) dan Kabupaten Lebak (0,12%).

Tabel 1 Indikator Kinerja Pembangunan Daerah Provinsi Banten

Sumber : Banten Dalam Angka (BDA 2003, 2007).

Jumlah penduduk miskin di Provinsi Banten secara umum mengalami peningkatan. Daerah kabupaten/kota yang mengalami peningkatan jumlah penduduk miskin adalah Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Cilegon. Sedangkan Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, dan Kota Tangerang mengalami penurunan. Jumlah penduduk pencari kerja/pengangguran di Provinsi Banten secara umum mengalami penurunan. Daerah kabupaten/kota yang mengalami peningkatan jumlah pengangguran terdapat di Kabupaten Tangerang, Kota Cilegon, dan Kota Tangerang.

Pengembangan Wilayah Provinsi Banten masih belum mencapai tujuan pembangunan yang sesungguhnya. Kajian Ekonomi Regional Banten (Biro Kebijakan Moneter-BI) pada Triwulan II/2008 menyatakan bahwa perekonomian Banten tumbuh sekitar 5,9% yang melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya (6,0%). Kualitas pertumbuhan ekonomi yang masih belum optimal berdampak pada belum tercapainya perbaikan beberapa indikator kinerja pembangunan daerah, diantaranya adalah tingkat pengangguran dan kesejahteraan masyarakat. Tingkat pengangguran sedikit menunjukkan perbaikan, namun persentase penduduk miskin tahun 2007 masih lebih tinggi dari tahun 2005. Angka pengangguran di Banten turun 18,9% pada tahun 2006 menjadi 14,2%

Daerah

Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk

Jumlah Penduduk

Miskin Pengangguran PDRB ADHB

2003 2007 2003 2007 2003 2007 2003 2007

1. Pandeglang 1,082,012 1,085,042 162,235 157,872 87,806 45,901 5,633,527.14 6,141,845.51

2. Lebak 1,122,228 1,210,149 161,313 159,830 84,939 63,324 5,437,899.92 6,029,385.22

3. Serang 1,776,995 1,808,464 210,429 212,878 141,011 119,020 11,084,637.47 13,726,881.19

4. Tangerang 3,185,944 3,473,271 269,859 348,688 228,697 233,357 28,042,138.12 30,897,846.52

5. Kota Cilegon 326,324 338,027 15,709 25,437 27,451 31,573 14,498,981.28 16,038,683.42 6. Kota

Tangerang 1,462,726 1,508,414 80,139 73,504 103,285 139,587 35,122,593.49 39,354,584.21

(27)

pada tahun 2008, namun masih lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pengangguran nasional (8,5%). Tingkat kemiskinan relatif turun yaitu 8,2% dari 8,9% dan lebih rendah dibandingkan dengan nasional (15,4%). Dari sisi sektoral hal ini juga tercermin pada lambatnya pertumbuhan di sektor ekonomi yang banyak menyerap tenaga kerja, seperti industri. Hal ini juga berdampak pada peningkatan kesenjangan pendapatan yaitu dari 0,356 (Gini Ratio) pada tahun 2005 menjadi 0,365 pada tahun 2007 (Maret). Kecenderungan ini diduga akan terus berlangsung pada tahun-tahun selanjutnya, seiring dengan perencanaan dalam penyusunan alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di wilayah Provinsi Banten yang masih belum tepat sasaran.

Secara keseluruhan, hal tersebut menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi dari setiap daerah kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten selama menjadi daerah otonom, masih kurang berimbang. Dengan kata lain indikator kinerja pembangunan daerah di wilayah tersebut masih belum dapat menunjukan adanya peningkatan yang mengarah pada kemajuan. Capaian kinerja pembangunan daerah tersebut, dapat dipengaruhi oleh kinerja pembangunan daerah kabupaten/kota di wilayah provinsi tersebut. Jika kinerja pembangunan daerah kabupaten/kota di Provinsi Banten meningkat, maka akan mendorong kemajuan pembangunan wilayah Provinsi Banten.

Fenomena yang terjadi dalam pencapaian indikator kinerja pembangunan daerah yang belum optimal tersebut, jika dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah menandakan bahwa terdapat pengelolaan sumberdaya yang masih dirasakan kurang efisien termasuk penganggaran belanja pemerintah daerah yang masih belum berimbang dan tepat sasaran. Pendugaan ini berdasakan pada teori

(28)

Pada pasal 150 UU 32/2004 tentang Perencanaan Pembangunan Daerah, bahwa penyelenggaraan pemerintah daerah disusun perencanaan daerah oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya yang dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA). Adapun produk rencana yang disusun berdasarkan jangka waktu, meliputi: (1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, yang memuat visi, misi, dan arah pembangunan daerah yang mengacu kepada RPJP nasional. (2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk jangka waktu 5 (lima) tahun, merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah yang berpedoman kepada RPJPD dengan memperhatikan RPJM nasional. RPJMD memuat kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), lintas SKPD, dan program kewilayahan disertai dengan Rencana Kerja dalam keangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif. (3) Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) untuk jangka waktu 1 (satu) tahun, yang memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja, dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat dengan mengacu kepada rencana kerja Pemerintah. Semua produk perencanaan daerah tersebut ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda) berpedoman pada Peraturan Pemerintah (PP).

Selain itu, pasal 179 UU 32/2004 tentang APBD dijelaskan bahwa APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran. Dalam penyusunan Rancangan APBD (R-APBD), kepala daerah menetapkan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) sebagai dasar penyusunan rencana kerja dan anggaran SKPD (RKA-SKPD). Kemudian kepala SKPD menyusun RKA-SKPD melalui pendekatan prestasi kerja yang dicapai dan disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan rancangan perda tentang APBD tahun berikutnya.

(29)

dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk memperoleh persetujuan bersama (lihat Gambar 1).

Gambar 1 Alur Penyusunan Rencana Pembangunan Daerah dan APBD.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, bahwa dalam penyusunan APBD provinsi dan penyusunan APBD kabupaten/kota sepertinya tidak ada hubungan keterkaitan yang nyata karena masing-masing daerah melaksanakan perencanaan pembangunan daerah sesuai dengan kewenangannya. Hal ini dikhawatirkan akan mengakibatkan melemahnya struktur hubungan sektoral dan daerah yang saling terkait, sehingga berimplikasi kontra produktif terhadap kemajuan pembangunan daerah provinsi dan kabupaten/kota.

ALUR PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH DAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH/APBD

(UU 32/2004 dan UU 33/2004)

RPJPD ROVINSI RPJP

NASIONAL

RPJM NASIONAL

RPJPM PROVINSI

RPJPM KAB/KOTA

RENCANA KERJA PEMERINTAH (RKP)

RKPD PROVINSI

RKPD KAB/KOTA KUA-PPAS

R-APBD

APBD

KUA-PPAS

R-APBD

APBD RPJPD

(30)

Dari beberapa uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimanakah tipologi wilayah Provinsi Banten berdasarkan pola penganggaran?

2. Bagaimanakah tipologi wilayah Provinsi Banten berdasarkan kinerja pembangunan daerah?

3. Bagaimanakah membangun model spasial perencanaan dan koordinasi penganggaran untuk meningkatkan kinerja pembangunan daerah kabupaten/kota di wilayah Provinsi Banten?

Penelitian Sebelumnya

Tanpa mengabaikan hasil penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan di Provinsi Banten mengenai pernencanaan dan koordinasi penganggaran, penelitian ini bermaksud untuk melanjutkan penelitian yang telah dilakukan tersebut sehingga dapat diketahui secara lebih rinci. Hasil penelitian mengenai perencanaan dan koordinasi penganggaran di Provinsi Banten yang pernah dilakukan oleh Lembaga Penelitian Ilmu Pemerintahan Universitas Satyagama pada tahun 2004, menyebutkan bahwa perencanaan dan koordinasi merupakan faktor penting dalam penyusunan APBD yang optimal. Namun di dalam penelitian ini tidak disebutkan secara rinci mengenai perencanaan dan koordinasi penganggaran dalam bidang apa yang dapat meningkatkan kinerja pembangunan daerah di Provinsi Banten.

(31)

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Secara keseluruhan, tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran peran perencanaan dan koordinasi penganggaran yang dapat meningkatkan kinerja pembangunan daerah.

Tujuan penelitian ini khususnya adalah :

1. Mengidentifikasi tipologi wilayah Provinsi Banten berdasarkan pola penganggaran.

2. Mengidentifikasi tipologi wilayah Provinsi Banten berdasarkan kinerja pembangunan daerah.

3. Menganalisis model spasial hubungan perencanaan dan koordinasi penganggaran untuk meningkatkan kinerja pembangunan daerah Provinsi Banten.

Manfaat dari hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah, sebagai salah satu masukan (input) dalam penentuan skala prioritas perencanaan dan koordinasi penganggaran antar daerah untuk meningkatkan kinerja pembangunan daerah.

Pembatasan Masalah

Dalam penyusunan karya tulis ini diperlukan pembatasan masalah. Hal ini dilakukan karena penyusunan karya ilmiah ini dibatasi oleh waktu dan biaya yang tersedia. Oleh karena itu, agar penulisan dapat lebih terfokus maka dilakukan beberapa hal sebagai berikut:

1. Dalam menentukan dan menganalisis perencanaan dan koordinasi penganggaran terhadap kinerja pembangunan daerah, dilakukan dengan memfokuskan pada aspek ekonomi dari masing-masing sektor/bidang perekonomian. Tanpa mengabaikan aspek-aspek lain, dilakukan pembahasan secara deskriptif untuk mendukung pembahasan pada aspek ekonomi tersebut. 2. Pembahasan mengenai keterkaitan penganggaran dan kerjasama penganggaran

(32)

TINJAUAN PUSTAKA

Perencanaan Pembangunan Daerah

Pengertian perencanaan pembangunan daerah dapat dilihat berdasarkan unsur-unsur yang membentuknya, yaitu: unsur perencanaan, unsur pembangunan, dan unsur daerah. Setiap unsur-unsur tersebut dilihat, kemudian diambil suatu kesimpulan sehingga membentuk suatu pengertian yang utuh.

Istilah perencanaan telah banyak didefinisikan secara berbeda-beda. Menurut UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia.

Suatu cara rasional untuk mempersiapkan masa depan merupakan arti perencanaan yang dikemukakan oleh Kelly dan Becker. Sedangkan Kay dan Alder menyatakan bahwa perencanaan adalah suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang serta menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Sehingga Rustiadi et al. (2007) menyimpulkan bahwa perencanaan merupakan suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang serta menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya.

Kemudian, Ginanjar Kartasasmita (Riyadi dan Deddy, 2003) mengemukakan bahwa pada dasarnya perencanaan merupakan sebagai fungsi manajemen yaitu suatu proses pengambilan keputusan dari sejumlah pilihan yang ada untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan Jawaharlal Nehru mendefinisikan ”Planning is the exercise of intelegence to deal with facts and

situations as they are and find a way to solve problems.” Artinya perencanaan adalah melatih intelegensia untuk menghadapi permasalahan sesuai dengan fakta-fakta dan situasi sebagaimana adanya kemudian mencari suatu cara untuk memecahkan permasalahan tersebut.

(33)

dirumuskan dengan baik oleh lembaga yang berwenang dalam hal ini, yaitu Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Dari beberapa pendapat tersebut dapat diambil kata kunci tentang definisi perencanaan yaitu: (1) unsur asumsi yang berdasarkan fakta; (2) unsur pilihan-pilihan sebagai dasar penentuan kegiatan yang akan dilakukan; (3) unsur tujuan yang ingin dicapai; (4) unsur prediksi sebagai langkah antisipasi kemungkinan-kemungkinan yang akan mempengaruhi pelaksanaan; (5) unsur kebijakan sebagai hasil keputusan yang harus dilaksanakan. Selanjutnya mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang bermacam-macam seperti halnya perencanaan. Istilah pembangunan atau pengembangan atau dalam Bahasa Inggris development, sering digunakan dalam hal yang sama, bahkan dapat saling dipertukarkan untuk berbagai hal. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa pengembangan lebih menekankan proses peningkatan atau perluasan, karena pengembangan dirasa tidak dilakukan dari nol, dengan kata melakukan sesuatu yang sudah ada menjadi lebih baik.

Secara filosofis, Rustiadi et al., (2007) menyatakan, bahwa pembangunan/pengembangan dapat didefinisikan sebagai ” upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik”. Secara sederhana pembangunan sering diartikan sebagai upaya untuk melakukan perubahan yang lebih baik. Perubahan yang dimaksud adalah menuju arah peningkatan atau kemajuan dari keadaan semula, dan tidak jarang bahwa pembangunan diasumsikan sebagai pertumbuhan.

Secara tegas Saigan (1983) mengemukakan dalam bukunya Administrasi Pembangunan, bahwa: ”Pembangunan sebagai suatu perubahan, mewujudkan

suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang. Sedangkan pembangunan sebagai suatu pertumbuhan menunjukan kemampuan suatu kelompok untuk terus berkembang baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan merupakan sesuatu yang mutlak harus terjadi

dalam pembangunan.”

(34)

menyebabkan terjadinya pertumbuhan, dan pertumbuhan akan terjadi sebagai akibat adanya pembangunan. Dari batasan-batasan mengenai perencanaan dan pembangunan yang telah diuraikan, maka didapat suatu gambaran mengenai perencanaan pembangunan. Perencanaan pembangunan merupakan suatu tahapan awal dalam proses pembangunan. Sebagai tahapan awal, perencanaan pembangunan akan menjadi bahan/pedoman/acuan dasar bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan (action plan). Karena itu, perencanaan pembangunan hendaknya bersifat implementatif (dapat dilaksanakan) dan aplikatif (dapat diterapkan). Kegiatan perencanaan pembangunan pada dasarnya merupakan kegiatan penelitian, karena proses pelaksanaannya akan banyak menggunakan berbagai metode penelitian. Mulai dari teknik pengumpulan data, analisis data, hingga studi lapangan untuk mendapatkan data-data yang akurat. Dengan demikian, Perencanaan Pembangunan dapat dinyatakan sebagai suatu proses perumusan kebijakan melalui berbagai alternatif/pilihan berdasarkan pada data dan informasi, sebagai bahan untuk melaksanakan suatu rangkaian kegiatan/aktifitas, dalam mencapai tujuan yang lebih baik.

Selanjutnya mengenai hubungannya dengan daerah sebagai wilayah pembangunan, yaitu sebagai tempat terbentuknya konsep perencanaan pembangunan. Sehingga dapat dinyatakan bahwa Perencanaan Pembangunan Daerah adalah suatu proses yang dilakukan untuk perubahan kearah yang lebih baik bagi suatu komunitas dalam suatu wilayah tertentu dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya yang ada, dengan berorientasi secara menyeluruh, lengkap dan berprioritas.

(35)

Kedua, pembangunan direncanakan berdasarkan dimensi kedekatan dan koordinasi, yang terdiri atas perencanaan makro, perencanaan sektoral, perencanaan regional, dan perencanaan mikro. Ketiga, perencanaan pembangunan berdasarkan prosesnya yang dibagi menjadi perencanaan dari bawah ke atas (bottom-up planning) dan perencanaan dari atas ke bawah (top-down planning).

Koordinasi Perencanaan Pembangunan Daerah

Koordinasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah perihal mengatur suatu organisasi atau kegiatan sehingga peraturan dan tindakan yang akan dilaksanakan tidak saling bertentangan atau simpang siur (Alwi, et al., 2003). Dengan demikian, koordinasi dalam pembangunan daerah pada hakikatnya merupakan upaya untuk menyerasikan dan menyelaraskan aktifitas-aktifitas pembangunan di suatu daerah tertentu yang dilaksanakan oleh berbagai komponen baik pemerintah, swasta maupun masyarakat. Dalam pelaksanaannya, koordinasi hendaknya diterapkan dalam keseluruhan proses pembangunan sejak dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan sampai dengan evaluasinya. Jadi dalam hal ini koordinasi meliputi keseluruhan proses manajemen pembangunan.

(36)
[image:36.595.159.454.139.361.2]

sektoral, dan atau regional yang memuat susunan program/kegiatan perencanaan termasuk penganggarannya (Dahuri, 2003) seperti pada Gambar 2.

Gambar 2 Koordinasi perencanaan pembangunan.

Koordinasi perencanaan dalam Permendagri nomor 9 tahun 1982 meliputi beberapa aspek yaitu: (1) Aspek fungsional (maksudnya adalah adanya kaitan dan keterpaduan fungsional antara berbagai kegiatan; antara suatu instansi dengan instansi lain; antara setiap tahap perencanaan; antara program/proyek pada satu wilayah dengan wilayah lain). (2) Aspek formal yaitu adanya kaitan antar program/proyek yang direncanakan dengan peraturan, instruksi, edaran dan petunjuk dari tingkat nasional. (3) Aspek struktural yaitu adanya kaitan dan adanya koordinasi dalam bentuk penugasan pada tiap tingkat instansi yang bersangkutan. (4) Aspek materil yaitu adanya kaitan dan koordinasi antara program/proyek intra antar instansi. (5) Aspek operasional yaitu adanya kaitan dan keterpaduan dalam penentuan langkah-langkah pelaksanaan baik menyangkut waktu, lokasi maupun kebutuhan material.

Dalam hubungannya dengan proses pembangunan baik pada skala nasional ataupun lokal, peran kepemimpinan ini akan dipegang oleh pemerintah. Hal ini dikarenakan pemerintah merupakan komponen negara yang memiliki otoritas/kewenangan dengan segala aturan dan regulasi yang sah. Dengan demikian koordinator pembangunan pada dasarnya adalah pemerintah.

Keperluan sektor

Kemungkinan sumber

Sumber regional Keperluan

spasial

Efisiensi/efektifitas Koordinasi spasial

Alokasi spasial di wilayah/daerah

PERENCANAAN MAKRO

PERENCANAAN SEKTORAL (Keterkaitan Regional)

PERENCANAAN REGIONAL (Keterkaitan Sektoral)

PERENCANAAN MIKRO 1. Kebijakan Operasional 2. Sasaran

3. Proyek Kegiatan 4. Lokasi

(37)

Keadaan tersebut memang tidak terbantahkan tetapi yang menjadi masalah biasanya adalah sampai sejauh mana pemerintah mampu melaksanakan fungsi dan peranannya tersebut sehingga pembangunan bisa dilaksanakan secara efektif dan efisien. Apalagi pada kondisi globalisasi seperti ini di mana ada tuntutan yang kuat terhadap pergeseran peran pemerintah dari mengendalikan menjadi mengarahkan. Melaksanakan peran dan fungsi sebagai koordinator dalam pembangunan sebagaimana diperankan oleh pemerintah memang tidak mudah. Apalagi dalam unsur pemerintah tersebut yang bergerak sebagai pelaku pembangunan terbagi ke dalam berbagai institusi, badan, lembaga, atau departemen sesuai dengan bidangnya masing-masing.

Selain itu, komponen swasta dan masyarakat pun terbagi dalam berbagai fungsi dan peran seperti kalangan industri, perbankan, jasa dan pelayanan dan lain-lain. Sedangkan pada kalangan masyarakat terdapat golongan buruh, petani, pegawai dan lain-lain. Hal ini semakin menegaskan pentingnya koordinasi sebagai alat untuk menyatupadukan fungsi dan peran yang berbeda, agar terjalin suatu kerjasama yang baik, efektif dan efisien sehingga tujuan bersama dapat tercapai. Koordinasi hendaknya tidak sekedar dipandang sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan untuk memenuhi standar normatif, melainkan harus dirasakan sebagai suatu kebutuhan yang perlu diupayakan pemenuhannya dengan senantiasa menyadari keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki, sehingga komitmen untuk melaksanakan koordinasi tetap tinggi. Lebih spesifik lagi, koordinasi diperlukan sebagai upaya untuk menghasilkan pembangunan yang efisien dalam pemanfaatan sumberdaya untuk menjamin tercapainya tujuan dan sasaran secara optimal.

Dengan demikian ada beberapa alasan yang perlu diketahui dan dipahami dengan baik dalam menilai perlunya koordinasi pembangunan daerah yaitu: 1. Koordinasi dalam pembangunan sangat diperlukan sebagai suatu konsekuensi

logis dari adanya aktifitas dan kepentingan yang berbeda.

2. Aktifitas dan kepentingan yang berbeda juga membawa konsekuensi logis terhadap adanya tanggung jawab yang secara fungsional berbeda pula.

(38)

4. Ada unsur sentralisasi dan desentralisasi yang dijalankan dalam proses pembangunan yang melibatkan institusi pusat maupun daerah.

5. Koordinasi merupakan alat sekaligus upaya untuk melakukan penyelarasan dalam proses pembangunan sehingga akan tercipta suatu aktifitas yang harmonis, sinergis dan serasi untuk mencapai tujuan bersama.

Perencanaan Keuangan Daerah

Pengertian Keuangan Daerah berdasarkan PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Kemudian dijelaskan juga mengenai pengertian Pengelolaan Keuangan Daerah yaitu keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah.

Dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah dituntut untuk mampu menciptakan sistem manajemen serta peran kelembagaan (institution) yang mampu mendukung pelaksanaan pembangunan daerah. Kelembagaan memiliki dua pengertian yaitu kelembagaan sebagai suatu aturan main (rule of the game) dan kelembagaan sebagai suatu organisasi. Perubahan institusi (otonomi daerah) akan berdampak terhadap keragaan sistem organisasi kelembagaan pada kegiatan sektor ekonomi secara keseluruhan. Kebijakan otonomi daerah secara langsung dan/atau tidak langsung akan berpengaruh dalam pelaksanaan pembangunan di daerah secara sektoral maupun regional.

(39)
[image:39.595.130.497.128.361.2]

sistem informasi yang kuat (Gambar 3). Salah satu fungsi dan peranan pemerintah dalam sistem manajemen pembangunan tersebut adalah penganggaran.

Gambar 3 Fungsi-fungsi manajemen pembangunan.

(40)
[image:40.595.87.515.97.400.2]

Tabel 2 Struktur Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD)

PENDAPATAN DAERAH

1. PENDAPATAN ASLI DAERAH

- Pajak Daerah ( kewajiban bayar yang tidak diberikan fasilitas ) - Retribusi Daerah ( kewajiban bayar yang disertai fasilitas ) - Bagian Laba Usaha Daerah ( Deviden dari Penyertaan Modal ) - Lain-lain Pendapatan Asli Daerah

2. DANA PERIMBANGAN

- Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak

- DAU

- DAK

- Dana Perimbangan dari propinsi

3. LAIN-LAIN PENDAPATAN YANG SYAH

BELANJA DAERAH

A. BELANJA APARATUR DAERAH

1 BIAYA ADMINISTRASI UMUM

(1). BELANJA PEGAWAI/PERSONALIA (2). BELANJA BARANG DAN JASA (3). BELANJA PERJALANAN DINAS (4). BELANJA PEMELIHARAAN 2. BIAYA OPERASIONAL

PEMELIHARAAN

(1). BELANJA PEGAWAI/PERSONALIA (2). BELANJA BARANG DAN JASA (3). BELANJA PERJALANAN DINAS (4). BELANJA PEMELIHARAAN 3. BELANJA MODAL/PEMBANGUNAN

B. BELANJA PELAYANAN PUBLIK

1 BIAYA ADMINISTRASI UMUM

(1). BELANJA PEGAWAI/PERSONALIA (2). BELANJA BARANG DAN JASA (3). BELANJA PERJALANAN DINAS (4). BELANJA PEMELIHARAAN 2. BIAYA OPERASIONAL

PEMELIHARAAN

(1). BELANJA PEGAWAI/PERSONALIA (2). BELANJA BARANG DAN JASA (3). BELANJA PERJALANAN DINAS (4). BELANJA PEMELIHARAAN 3. BELANJA MODAL/PEMBANGUNAN

4. BELANJA BAGI HASIL DAN BANTUAN KEUANGAN 5. BELANJA TAK TERSANGKA

PEMBIAYAAN

1. PENERIMAAN DAERAH

- sisa perhitungan anggaran Tahun lalu - transfer dari dana cadangan - transfer dari dana depresiasi - penerimaan pinjaman dan obligasi - hasil penjualan aset daerah yang dipisahkan

2. PENGELUARAN DAERAH

- penyertaan modal - transfer ke dana cadangan - transfer ke dana depresiasi - pembayaran utang pokok yang jatuh tempo - sisa perhitungan anggaran tahun berkenaan

Sumber: PP 58/2003 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Belanja Daerah dipergunakan dalam rangka mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota. Belanja daerah terdiri dari urusan wajib, urusan pilihan, dan urusan dalam bagian atau bidang tertentu yang penanganannya dapat dilaksanakan bersama, antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar pemerintah daerah yang ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan. Belanja daerah diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial.

Dalam perencanaan keuangan daerah pada Gambar 4, terdapat beberapa tahapan analisis yang perlu dilakukan (Solihin, 2007) yaitu:

1. Analisis Potensi Pendapatan Daerah yang terdiri dari:

(41)

Khusus (DAK), SDA yang dapat dibagihasilkan, pajak penghasilan yang signifikan dan jenis-jenis Pendapatan Asli Daerah (PAD) lainnya. b. Penetapan asumsi ekonomi untuk PAD.

c. Pengembangan sumber pendapatan daerah. 2. Bila terjadi defisit APBD, perlu dilakukan:

a. Analisis kemampuan pinjaman daerah

b. Analisis alternatif sumber keuangan daerah di luar pinjaman. 3. Penetapan arah anggaran belanja daerah

a. Analisis belanja masa lalu dan ke depan meliputi proporsi belanja dan unit satuan belanja.

b. Analisis pengembangan ekonomi lokal, melalui memfasilitasi ekonomi lokal serta membangun kemitraan pemerintah daerah dengan swasta. c. Analisis tingkat kesejahteraan masyarakat yaitu dengan mengacu pada

[image:41.595.135.485.386.651.2]

posisi daerah dalam pencapaian kesejahteraan melalui Indeks Prestasi Manusia (IPM) serta alokasi untuk mempercepat perbaikan IPM.

Gambar 4 Alur perencanaan dan penganggaran.

(42)

Indikator Kinerja Pembangunan Daerah

Dalam mengukur tingkat perkembangan suatu wilayah, diperlukan suatu batasan yang digunakan sebagai acuan dalam melakukan perencanaan pembangunan wilayah selanjutnya. Ukuran-ukuran atau batasan-batasan tersebut dalam istilah pembangunan daerah biasa disebut sebagai indikator.

Indikator adalah suatu ukuran secara kuantitatif dan kualitatif yang mendeskripsikan tingkat pencapaian sesuatu yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditentukan (Rustiadi et al. 2007). Dalam perspektif kinerja pembangunan daerah, indikator merupakan ukuran yang digunakan untuk menunjukan tingkat kemajuan atau keberhasilan kinerja pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan, sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Ukuran atau indikator kinerja pembangunan yang paling sering digunakan adalah tingkat pertumbuhan ekonomi.

Prof. Simon Kuznets dalam bukunya Modern Economic Growth (1966) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu kenaikan secara terus menerus dalam produk per-kapita atau per-pekerja, yang diiringi dengan pertambahan jumlah penduduk dan perubahan struktural. Pertumbuhan ekonomi modern tersebut mengacu kepada perkembangan negara-negara maju seperti: Eropa Barat, Amerika Serikat, Kanada, Australia dan Jepang. Kemudian Prof. Kuznets menunjukan enam ciri pertumbuhan ekonomi modern secara kuantitatif yang muncul dalam analisa yang berdasarkan pada produk nasional dan komponen-komponennya yaitu antara lain penduduk dan tenaga kerja. Keenam ciri tersebut adalah:

1. Laju pertumbuhan penduduk dan produk per-kapita

(43)

2. Peningkatan produktifitas

Meningkatnya laju produk perkapita, salah satunya adalah sebagai akibat dari adanya perbaikan kualitas input yang meningkatkan efisiensi atau produktivitas per unit input. Semakin besar masukan tenaga kerja dan investasi maka akan semakin meningkatkan efisiensi dalam penggunaan

output yang lebih besar untuk setiap unit input. 3. Laju perubahan struktural yang tinggi

Perubahan struktural dalam pertumbuhan ekonomi modern mencakup peralihan aktivitas sektor perekonomian, misalnya: dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian, atau dari sektor industri ke sektor jasa. Seiring dengan pergeseran tersebut, perubahan yang dapat terjadi adalah pada sektor industri dalam alokasi produk antar berbagai perusahaan produksi, baik dalam segala bentuk maupun ukurannya. Akibatnya dapat terjadi perubahan dalam alokasi tenaga kerja. Perubahan aktivitas sektor perekonomian tersebut dapat mempengaruhi kontribusi sektor terhadap tingkat produk per kapita, seiring dengan pertambahan jumlah penduduk.

4. Urbanisasi

Pertumbuhan ekonomi modern juga ditandai dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, melalui perpindahan penduduk dari perdesaan ke perkotaan atau urbanisasi. Perubahan teknologi yang menyebabkan perpindahan penduduk dan tenaga kerja, karena sarana teknis transportasi dan komunikasi berkembang cenderung lebih efektif di daerah perkotaan. Hal ini dapat mempengaruhi pengelompokan penduduk berdasarkan status sosial dan ekonomi serta mengubah pola hidupnya.

5. Ekspansi negara maju

(44)

6. Arus barang, modal, dan orang antar Bangsa

Arus barang, modal, dan orang antar bangsa, merupakan akibat dari terjadinya ekspansi negara-negara maju, berdasarkan hubungan saling ketergantungan antar negara-negara tersebut.

Keenam ciri pertumbuhan ekonomi modern tersebut mempunyai hubungan saling keterkaitan dalam urutan sebab akibat. Beberapa hal penting yang dapat diambil dari keenam ciri pertumbuhan ekonomi modern tersebut, adalah: (1) pertumbuhan penduduk dan serapan tenaga kerja, (2) tingkat produktivitas penduduk, (3) tingkat produk per kapita (pendapatan per kapita), (4) kemajuan teknologi, dan (5) hubungan antar negara.

Dari sisi ekonomi, pengembangan wilayah lebih difokuskan kepada upaya untuk mendorong kemajuan perekonomian daerah. Menurut Saefulhakim (2008), kemajuan ekonomi suatu daerah dapat diukur secara kuantitatif diantaranya melalui:

1. Pertumbuhan ekonomi daerah (economic growth). Dapat diukur melalui rasio antara perubahan produk domestik regional bruto (PDRB) akhir tahun dan awal tahun dengan PDRB awal tahun.

2. Produktivitas ekonomi daerah (productivity). Dapat diukur melalui PDRB per kapita dan PDBR per luas lahan.

3. Pendapatan asli daerah (fiscal capacity). Dapat diukur melalui pendapatan pajak per kapita dan pendapatan pajak per luas lahan.

4. Tingkat kemiskinan (poverty) dan pengangguran (unemployment). Tingkat kemiskinan dapat diukur melalui jumlah keluarga yang memilki tingkat upah minimum sedangkan tingkat pengangguran dapat diukur melalui jumlah pencari kerja yang tidak terserap.

Selain itu Solihin (2007), menjelaskan bahwa terdapat 6 jenis indikator kinerja pembangunan daerah, yaitu:

(45)

2. Indikator proses (Process). Merupakan indikator yang menggambarkan upaya yang dilakukan dalam mengolah masukan menjadi keluaran. Indikator ini sering dikaitkan dengan keterlibatan semua pihak (stakeholders dan masyarakat) serta mekanisme pelaksanaannya (termasuk koordinasi dan hubungan kerjasama antar unit organisasi).

3. Indikator keluaran (Outputs). Merupakan indikator yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan, baik berupa fisik maupun berupa non-fisik.

4. Indikator hasil (Outcomes). Merupakan indikator yang menunjukan telah dicapainya maksud dan tujuan dari kegiatan-kegiatan yang telah selesai dilaksanakan atau indikator yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah.

5. Indikator manfaat (Benefits). Indikator yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan.

6. Indikator dampak (Impacts). Indikator yang menunjukan pengaruh baik positif maupun negatif yang ditimbulkan pada setiap pelaksanaan kebijakan/program/kegiatan dan asumsi yang telah ditetapkan.

Ekonomi Keterkaitan

Keterkaitan atau interaksi antar wilayah dalam konteks perekonomian daerah merupakan mekanisme yang dapat menggambarkan dinamika perekonomian yang terjadi di suatu wilayah dikarenakan aktivitas yang dilakukan oleh manusia di dalam wilayah tersebut. Aktivitas yang dimaksud adalah yang mencakup diantaranya mobilitas kegiatan, pergerakan manusia serta arus informasi dan komoditas dalam sistem perekonomian antar daerah.

(46)
[image:46.595.142.476.169.374.2]

keanekaragaman sumberdaya, institusi pelaku (produsen, konsumen dan pemerintah) dan aktivitas ekonomi yang tersebar secara spasial antar daerah. Sedangkan keterkaitan dapat dilihat dalam perspektif alamiah, sistem pasar, dan sistem eksternalitas.

Gambar 5 Segitiga Pembangunan (Saefulhakim 2008).

Kemudian Saefulhakim (2008) juga menyebutkan bahwa nilai-nilai ekonomi yang lahir dari berbagai bentuk keterkaitan ini berakar dari tiga dimensi yaitu: (1) nilai ekonomi kekhasan (economies of uniqueness); (2) nilai ekonomi skala/ukuran (economies of scale); dan (3) nilai ekonomi cakupan (economies of scope). Dalam perspektif teori lokasi (location theory), semua ini terkait dengan adanya tiga pilar konfigurasi ruang, yaitu: (1) ketaksempurnaan mobilitas faktor produksi (imperfect factor mobility); (2) ketaksempurnaan pemilahan/pemisahan antar faktor produksi (imperfect factor divisibity); dan (3) ketaksempurnaan mobilitas barang dan jasa (imperfect factor mobility of good and services) (Gambar 6). Dengan demikian, untuk mengoptimalkan ketiga dimensi nilai-nilai ekonomi tersebut diperlukan adanya ekonomi keterkaitan melalui ketiga pilar konfigurasi ruang. Ketaksempurnaan pemilahan/pemisahan antar faktor produksi berimplikasi pada peningkatan biaya-biaya produksi, sehingga dibutuhkan kerjasama antar institusi pemilik/penguasa faktor produksi yang berbeda untuk dapat menekan biaya-biaya tersebut.

KEMAJUAN

KEKHASAN KETERKAITAN

(47)
[image:47.595.177.454.86.347.2]

Gambar 6 Nilai Ekonomi Keterkaitan (Saefulhakim 2008).

Pemodelan Keterkaitan antar Variabel Spasial Model Regresi Berganda

Secara umum bentuk persamaan regresi dari model Cobb-Douglas (Saefulhakim, 2008) yang menghubungkan antara beberapa variabel penjelas (explanatory variables) x, dan satu variabel terikat (independent variable) y, dinotasikan sebagai berikut:

0 ,

ln i j ln i j

j

y b b x ...(1) atau dalam notasi vektor dapat ditulis:

0

ln 1n jln j

j

y b b x ...(2)

yi : nilai variabel tujuan untuk individu sampel ke-i xj,i : nilai variabel penjelas ke-j untuk individu sampel ke-i

b0 : parameter konstanta (intercept)

bj : parameter koefisien untuk variabel penjelas ke-j

lny : vektor ukuran (n 1) berisi logaritma natural dari nilai variabel tujuan untuk individu sampel ke-1 sampai dengan ke-n

1n : vektor ukuran (n 1) berisi angka 1 sebanyak n buah

lnxj : vektor ukuran (n 1) berisi logaritma natural dari nilai variabel penjelas ke-j untuk individu sampel ke-1 sampai dengan ke-n

EKONOMI CAKUPAN

EKONOMI KEKHASAN

EKONOMI SKALA EKONOMI

INTERAKSI Imperfect

Factor Mobility

Imperfect Factor Divisibility

(48)

Model Durbin Spasial

Kinerja pembangunan ekonomi pada suatu daerah tertentu, tidak hanya ditentukan oleh karakteristik lingkungan dan manajemen pembangunan yang dilakukan di daerah tersebut. Kinerja pembangunan ekonomi, karakteristik lingkungan, serta manajemen pembangunan yang dilakukan di daerah-daerah sekitarnya yang terkait dalam satu sistem ekologi-ekonomi juga ikut mempengaruhi (Saefulhakim, 2008).

Untuk dapat mengakomodasikan fenomena keterkaitan antara suatu lokasi dengan lokasi-lokasi lain yang terkait tersebut sehingga bentuk model pada kedua persamaan regresi dari model Cobb-Douglas sebelumnya, dirubah menjadi sebagai berikut:

, 0 , ,

ln k n kln 1n jln j j k n kln j

k j j k

y a W y b b x c W x ...(3) atau

1

, 0 , ,

ln n k n k 1n j n j k n k ln j

k j k

y I a W b b I c W x ...(4) Keterangan,

In : matriks identitas ukuran (n n)

Wn,k : matriks ukuran (n n) yang menyatakan pola interaksi spasial tipe ke-k antar n buah daerah (disebut: kontiguitas spasial tipe ke-k). Pada situasi di mana fenomena interaksi spasial tidak nyata berpengaruh yaitu ak=0 untuk semua tipe k dan cj,k=0 untuk semua j dan tipe k, maka model yang ditulis pada Persamaan (4) akan kembali ke bentuk konvensional seperti pada Persamaan (2). Artinya pendekatan regresi konvensional cukup realistik. Namun, pada situasi di mana minimal untuk satu tipe k parameter ak 0 dan minimal untuk satu tipe k dan satu variabel penjelas j parameter cj,k 0, maka pendekatan regresi konvensional menjadi tidak realistik. Model yang ditulis seperti pada Persamaan (4) dalam literatur ekonometrika spasial disebut sebagai Model Durbin Spasial (Spatial Durbin Model) (Upton dan Fingleton, 1985; LeSage, 1999).

(49)

Matriks Kontiguitas Spasial

Suatu variabel yang diamati pada suatu titik lokasi sampel, memiliki hubungan keterkaitan dengan variabel yang sama pada titik-titik lokasi sampel lainnya. Dalam teori Ilmu Wilayah (Saefulhakim, 2008) fenomena keterkaitan/ketergantungan antar lokasi seperti ini diformalisasikan dalam berbagai konsep antara lain: (1) interaksi spasial (spatial interaction), (2) difusi spasial (spatial diffusion), (3) hirarki spasial (spatial hierarchies) dan (4) aliran antar daerah (interregional spillover). Kekuatan-kekuatan pengendali (driving forces) dari berbagai fenomena keterkaitan ini bisa terdiri atas beberapa faktor, antara lain: (1) sistem geografi fisik sumberdaya alam dan lingkungan, (2) sistem ekonomi, (3) sistem sosial budaya dan (4) sistem politik. Variabel yang diamati pada dua lokasi yang bertetangga, berdekatan, terkait atau bermitra dapat memiliki keterkaitan secara spasial (Spatial Autocorrelationship) yang lebih kuat dibandingkan dengan variabel yang diamati pada dua lokasi yang tidak pada kondisi-kondisi tersebut. Matriks kontiguitas spasial dibangun untuk mengakomodasikan berbagai fenomena keterkaitan secara spasial seperti ini dalam pemodelan sistem keterkaitan.

Pada dasarnya matriks kontiguitas spasial dibangun atas dasar logika interaksi spasial. Secara matematis prosedur perhitungannya dapat ditulis dalam bentuk model umum sebagai berikut:

1,2 1, 2,1 2, ,1 ,2 0 0 0 n n n n w w w w W w w L L

M M O M

L

...(5)

, , ,

i j i j i j j

w a a ...(6)

, ,

untuk

0 untuk lainnya i j

i j

c i j

a ...……….(7)

W = matri

Gambar

Gambar 2  Koordinasi perencanaan pembangunan.
Gambar 3  Fungsi-fungsi manajemen pembangunan.
Tabel 2 Struktur Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD)
Gambar 4  Alur perencanaan dan penganggaran.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan kerjasama pembangunan antar daerah dan antara daerah dengan swasta, dalam dan luar negeri skala nasional.. Koordinasi

Laporan Keuangan SKPD Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Banten disusun berdasarkan Peraturan Gubernur Banten Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kebijakan

penyelenggaraan koordinasi dan sikronisasi program dan kegiatan perencanaan pembangunan, baik secara vertikal (antara pusat dan daerah) maupun secara horizontal

Agar keselarasan/konsistensi perencanaan, penganggaran, dan akuntabilitas kinerja tetap terjaga, maka penulis menyarankan Pemerintah Daerah khusunya Satuan Kerja

Fahrul Islam : Analisis Tentang Tugas Dan Fungsi Bappeda Dan Statistik Kabupaten Bone (Studi Tentang Pelaksanaan Koordinasi Perencanaan Pembangunan Daerah), 2012 Prog. Kerjasama

Responsibilitas Kebijakan Perencanaan dan Penganggaran Daerah (Studi Konsistensi Dokumen RKPD, PPAS, dan APBD th 2008 dari aspek Pro Job, Pro Poor, dan Pro Growth

RAPAT KOORDINASI PERENCANAAN PENANAMAN MODAL DAERAH (RKPPMD) PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2017.. Semarang, 16

Rumusan visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan, strategi dan program pembangunan jangka menengah daerah provinsi/ kabupaten/kota selaras dengan arah, kebijakan umum,