PENGARUH LAJU ALIR VOLUMETRIK UMPAN
STATIC IN-LINE MIXER TERHADAP
PERFORMANCE BIOREAKTOR PADA PEMBUATAN
BIOGAS DARI LIMBAH CAIR KELAPA SAWIT
SKALA PILOT PLANT
SKRIPSI
Oleh
Juliananta Sitepu
080405060
DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK
PENGARUH LAJU ALIR VOLUMETRIK UMPAN
STATIC IN-LINE MIXER TERHADAP
PERFORMANCE BIOREAKTOR PADA PEMBUATAN
BIOGAS DARI LIMBAH CAIR KELAPA SAWIT
SKALA PILOT PLANT
SKRIPSI
Oleh
Juliananta Sitepu
080405060
SKRIPSI INI DIAJUKAN UNTUK MELENGKAPI SEBAGIAN
PERSYARATAN MENJADI SARJANA TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi dengan judul:
PENGARUH LAJU ALIR VOLUMETRIK UMPAN STATIC IN-LINE
MIXER TERHADAP PERFORMANCE BIOREAKTOR PADA
PEMBUATAN BIOGAS DARI LIMBAH CAIR KELAPA SAWIT SKALA PILOT PLANT
yang dibuat untuk melengkapi persyaratan menjadi Sarjana Teknik pada
Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara, sejauh
yang saya ketahui bukan merupakan tiruan atau duplikasi dari skripsi yang sudah
dipublikasikan dan atau pernah dipakai untuk mendapatkan gelar kesarjanaan di
lingkungan Universitas Sumatera Utara maupun di Perguruan Tinggi atau instansi
manapun, kecuali bagian yang sumber informasinya dicantumkan sebagaimana
mestinya.
Medan, Agustus 2013
Juliananta Sitepu
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Tulisan ini merupakan Skripsi dengan judul “Pengaruh Laju Alir Volumetrik Umpan Static In-Line Mixer Terhadap Performance Bioreaktor Pada Pembuatan Biogas Dari Limbah Cair Kelapa Sawit Skala Pilot Plant”, berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan di Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas
Sumatera Utara. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
sarjana teknik.
Hasil penelitian ini:
Penelitian ini dapat diaplikasikan dalam skala pabrik untuk mengurangi biaya pada penggunaan alat pencampur.
Penelitian ini bermanfaat bagi lingkungan dalam pengolahan limbah cair
kelapa sawit yang membahayakan biota air di lingkungan masyarakat
Penelitian ini pernah dipublikasikan dalam jurnal yang berjudul “Pengaruh
Distribusi Temperatur Umpan Masuk Static In-Line Mixer Terhadap
Performance Bioreaktor Pada Pembuatan Biogas Dari Limbah Cair Kelapa
Sawit Skala Pilot Plant” di Departemen Teknik Kimia.
Selama melakukan penelitian sampai penulisan skripsi ini penulis banyak
mendapat bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan
terimakasih dan penghargaan yang sebesar – besarnya kepada:
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu
penulis mengharapkan saran dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.
Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Medan, Agustus 2013
Penulis
DEDIKASI
Penulis mendedikasikan skripsi ini kepada:
1. Orang tua penulis, Bapak dan Mamak yang telah memberikan bantuan
baik moril maupun materil bagi penulis.
2. Saudari penulis, Ade floren sia br sitepu yang telah memberi semangat
dan saran dalam menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini.
3. Rekan-rekan LPPM Comunity, Bang Zoeladi, Alfy, Dedy, Basril, Jhon
Almer, Riki Handoko, ST, Elton J.M.S, ST, Febriansyah, ST, dan Vandi,
ST.
4. Teman Sejawat terutama stambuk 2008, adik dan abang/kakak senior
Teknik Kimia yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama: Juliananta Sitepu NIM: 080405060
Tempat / Tanggal Lahir: Turangi / 27 Juli 1990 Nama Orang Tua: Paruliaan Batin Sitepu
Alamat Orang Tua: Lingk VII BANTEN P.KUALA,Kec Kuala
Asal Sekolah
SD Methodist Kuala Tahun 1996 – 2002 SMP Negeri 1 Kuala 2002 – 2005
SMA Negeri 1 Kuala Tahun 2005 – 2008 Pengalaman Organisasi / Kerja
ABSTRAK
Potensi Indonesia sebagai negara produsen CPO terbesar kedua didunia sangatlah menjanjikan dalam industri biogas. Hal ini disebabkan potensi dari POME (Palm Oil Mill Effulent)yang merupakan limbah cair dari kolam fat fit yang dapat di diproduksi menjadi biogas. Produksi biogas pada kondisi thermofilik anaerobik dengan recyle 34% dilakukan dalam empat tangki utama yaitu tangki preparasi,tangki pencampur(mencampur POME keluaran tangki preparasi dengan recyle), bioreaktor dan tangki pengendapan(gravity thickner). Tanki pencampur biasanya terdiri dari satu buah tangki besar dan motor pengaduk serta agitator. Dimana untuk setiap kapasitas yang diolah tentu membutuhkan ukuran tangki, jenis motor dan agitator yang sedikit berbeda. Hal ini sedikit kurang efisien jika ditinjau dari sisi proses, dimana proses itu sendiri harus bersifat lunak terhadap kapasitas. Penelitiaan ini bertujuan menggantikan peranan mixing tank dengan static in line mixing dan dilihat pengaruhnya pada peformance bioreaktor dan produksi biogas. Pengujian yang dilakukan adalah analisa TS dan VS, pH dan M-Alkalinity, dan COD serta mengukur produksi biogas yang terbentuk. Penilaian kualitas pencampuran dari parameter ts(total solid) & vs(volatil solid) dimana hasil keluaran static inline mixer dan mixing tank dibandingkan dengan nilai teoritisnya (regresi). Hasil yang didapat dari perbandingan tersebut dinilai dengan R (keakuratan regresi 0,9-1 ) a.(0,978), b.(0,976), c.(0,992), d.(0,989).
ABSTRACT
Indonesia as the second country for production CPO in the world is very potesially in biogas industry. Something make it very potensial is POME (Palm Oil Effulent).POME is the most important in biogas because it can be change to biogas. Production biogas is in thermofilik anaerob with recyle sludge 34% through in four tank. They are pretreatment tank, mixing tank, bioreactor, and gravity thickner.The mixing tank is a tank with motor (machine), impeller and any baffle. For the diffrent capacity production, the old specification of mixing tank can be change actually the size of tank. For this reason is very important to change mixing tank with a specifik agitator what can fill or answer this problem. The agitator may answer the problem is a static in line mixer.The research focusses on the capacity of static in line mixing to mix POME from pretreatment tank with the recyle sludge from gravity thickner and see this mixing effect to peformance bioreactor and production biogas.The parameter of the research are TS & VS, ph,and M-alkalinity, COD. The quality of mixing could be described with plot between the data (ts &vs) from mix tank or static in line mixing with a theoritical data ( take from regresion). R (accurate of regrsion) are accepted with scale1(0.9-1), and the result are a.(0,978), b.(0,976), c.(0,992), d.(0,989). The value is good.
DAFTAR ISI
Halaman
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI i
PENGESAHAN ii
PRAKATA iii
DEDIKASI v
RIWAYAT HIDUP PENULIS vi
ABSTRAK vii
ABSTRACT viii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR LAMPIRAN xv
DAFTAR SINGKATAN xvi
DAFTAR SIMBOL xvii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 LATAR BELAKANG 1
1.2 PERUMUSAN MASALAH 3
1.3 TUJUAN PENELITIAN 3
1.4 MANFAAT PENELITIAN 3
1.5 RUANG LINGKUP PENELITIAN 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 PERKEBUNAN KELAPA SAWIT 5
2.2 LIMBAH PABRIK KELAPA SAWIT 7
2.3 PALM OIL MILL EFFLUENT (POME) 8
2.3.1 SPESIFIKASI PALM OIL MILL EFFLUENT 8
2.3.2 PENGOLAHAN PALM OIL MILL EFFLUENT 9
2.4 ALTERNATIF KONVERSI POME MENJADI BIOGAS 10
2.5 MEKANISME PEMBENTUKAN BIOGAS 11
2.6 PARAMETER FERMENTASI 12
2.8 NILAI POTENSIAL BIOGAS 15
2.9 BERBAGAI PENELITIAN FERMENTASI POME
MENJADI BIOGAS YANG TELAH DILAKUKAN 15
2.10 FERMENTASI POME DENGAN RECYCLE SLUDGE 19
2.11 MIXING TANK 21
2.12 STATIC MIXER 23
2.13 STATIC IN-LINE MIXER DALAM PENELITIAN 23
2.14 BERBAGAI PENELITIAN YANG MENGGUNAKAN
STATIC MIXER 31
2.15 STUDI PILOT PLANT 32
2.16 ANALISA EKONOMI 33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 35
3.1 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN 35
3.2 BAHAN 35
3.2.1 BAHAN UTAMA 35
3.2.2 BAHAN ANALISA 35
3.3 PERALATAN 35
3.3.1 PERALATAN UTAMA 35
3.3.1.1 TANGKI UMPAN 35
3.3.1.2 BIOREAKTOR 37
3.3.1.3 STATIC IN-LINE MIXER 38
3.3.1.4 TANGKI PENGENDAP 39
3.3.1.5 TANGKI PENANGKAP BIOGAS 41
3.3.1.6 KOMPRESR DAN TANGKI
BERTEKANAN TINGGI 42
3.3.1.7 GAS METER 43
3.3.1.8 CONTROL PANEL 43
3.3.2 PERALATAN ANALISA 44
3.4 TAHAPAN PENELITIAN 44
3.4.1 PROSEDUR PENGAMBILAN SAMPEL 44
3.4.2 PROSEDUR PEMBUATAN METAL SOLUTION 44
3.4.4 LOADING UP DAN OPERASI TARGET 45
3.4.5 PENGUJIAN SAMPEL 45
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 48
4.1 PENGARUH PENGGUNAAN
STATIC INLINE MIXER TERHADAP TS DAN VS 48
4.2 PERFORMANCE BIOREAKTOR BERDASARKAN
NILAI TS & VS 51
4.3 PRODUKSI BIOGAS 53
4.4 ALKALINITAS DAN DERAJAT KEASAMAN
(pH) BIOREAKTOR 54
4.5 PENGARUH PERUBAHAN COD TERHADAP
PENGGUNAAN STATIC IN-LINE MIXER 56
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 57
5.1 KESIMPULAN 57
5.2 SARAN 58
DAFTAR PUSTAKA 59
LAMPIRAN A 62
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Blok Diagram Pengolahan TBS Menjadi CPO 7
Gambar 2.2 POME dari PKS PTPN IV Adolina 10
Gambar 2.3 Sketsa neraca massa Fermentasi POME dengan Recycle
Sludge 19
Gambar 2.4 Jenis Pola Aliran pada Static Mixer 23
Gambar 2.5 Rancangan Static In-Line Mixer dalam Penelitian 24
Gambar 2.6 Skema Static In-Line Mixer yang Sesuai dengan Kelenjar Kista 24
Gambar 2.7 Pola Aliran untuk Nilai Reynold 110 Aliran dari Kiri ke Kanan 25
Gambar 2.8 Pola Aliran untuk Nilai Reynold 100, c/D = 0,5, Aliran dari
Kiri ke Kanan 25
Gambar 2.9 Pola Aliran c/D = 0,7 25
Gambar 2.10 Pola Aliran c/D = 0,5 26
Gambar 2.11 Pola Aliran c/D = 0,3 26
Gambar 2.12 Faktor Friksi Vs Angka Reynold 26
Gambar 2.13 Faktor Friksi Vs Angka Reynold pada Variasi Nilai c/D 27
Gambar 2.14 Grafik Bilangan Reynold Vs CoV 27
Gambar 2.15 Kesimpulan 28
Gambar 2.16 Bentuk dari SSC, YNU dan YMX (Atas ke Bawah) 30
Gambar 2.17 Skema Penelitian Visualisasi Tri-Helical Static Mixer 31
Gambar 2.18 Langkah-langkah Pengembangan Scale Up 32
Gambar 3.1 Tangki Umpan 36
Gambar 3.2 Tangki Bioreaktor 38
Gambar 3.3 Static In-Line Mixer Selesai Pabrikasi 39
Gambar 3.4 Tangki Pengendap 40
Gambar 3.5 Tangki Penangkap Biogas 41
Gambar 3.6 Kompresor dan Tangki Bertekanan Tinggi 42
Gambar 3.7 Gas Meter 43
Gambar 4.1 Grafik perbandingan kualitas pencampuran antara
Static inline mixer dengan Mixing tank berdasarkan
perubahan nilai TS & VS 48
Gambar 4.2 Grafik pengaruh penggantian Static inline mixer
terhadap perubahan nilai TS & Vs Fermentor 51
Gambar 4.3 Grafik pengaruh penggantian Static inline mixer
terhadap laju alir produksi biogas 53
Gambar 4.4 Grafik pengaruh pengantian static in line mixer terhadap nilai
alkalinitas dan derajat keasaman (pH) fermentor 54
Gambar 4.5 Grafik Pengaruh Perubahan COD terhadap Penggunaan
Static In-Line Mixer 56
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit 2006-2011 5
Tabel 2.2 Volume dan Nilai Ekspor Kelapa Sawit Tahun 2006-2010 6
Tabel 2.3 Karakteristik POME dari Sampel Adolina 8
Tabel 2.4 Komposisi Biogas 11
Tabel 2.5 Kondisi Optimum Produksi Biogas 12
Tabel 2.6 Keuntungan dan Kerugian Fermentasi Anaerobik 14
Tabel 2.7 Kesetaraan biogas dengan sumber lain 15
Tabel 2.8 Berbagai Penelitian fermentasi POME menjadi
Biogas yang telah dilakukan 17
Tabel 2.9 Spesifikasi Pembuatan dan Biaya Static In-Line Mixer 33
Tabel 2.10 Spesifikasi Pembuatan dan Biaya Static In-Line Mixer 34
Tabel 3.1 Spesifikasi Tangki Umpan 36
Tabel 3.2 Spesifikasi Bioreaktor 37
Tabel 3.3 Spesifikasi Static In-Line Mixer 38
Tabel 3.4 Spesifikasi Tangki Pengendapan 39
Tabel 3.5 Spesifikasi Tangki Penangkap Biogas 41
Tabel 3.6 Kompresor dan Tangki Bertekanan Tinggi 42
Tabel A.1 Data Kadar TS dari Feed Tank, Gravity Thickener
dan Static In-Line Mixer 62
Tabel A.2 Tabel A.1 Data Kadar TS dari Feed Tank,
Gravity Thickener dan Static In-Line Mixer 63
Tabel A.3 M-Alkalinity dan pH Bioreaktor 64
Tabel A.4 Laju Produksi Biogas 65
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
LAMPIRAN A DATA HASIL PERCOBAAN 62
A.1 DATA TS DAN VS PILOT PLANT UNTUK
PENGGUNAAN STATIC IN-LINE MIXER 62
A.2 DATA PARAMETER PENGUKURAN PADA
PILOT PLANT BIOGAS 64
LAMPIRAN B CONTOH HASIL PERHITUNGAN 68
B.1 NILAI REGRESI 68
B.2 PERHITUNGAN KADAR TOTAL SOLID (TS) 69
B.3 PERHITUNGAN KADAR VOLATIL SOLID (VS) 69
B.4 PERHITUNGAN BILANGAN REYNOLD TANGKI
DAFTAR SINGKATAN
POME Palm Oil Mill Effluent
CPO Crude Palm Oil
TKKS Tandan Kosong Kelapa Sawit
TBS Tandan Buah Segar
HRT Hydraulic Retention Time
TS Total Solid
VS Volatil Solid
PKS Pabrik Kelapa Sawit
PTPN Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara
BOD Biochemical Oxygen Demand
COD Chemical Oxygen Demand
pH Power of Hydrogen
SIM Static in Line Mixer
DAFTAR SIMBOL
Simbol Keterangan Dimensi
Ha Luas areal suatu perkebunan
NH4-N Amonium mg/L
VFA Asam lemak yang menguap mg/L
n-Hex Normal Heksana mg/L
C Karbon %
H Hidrogen %
N Nitrogen %
S Belerang %
P Posfor %
CH4 Metana L/hari
CO2 Karbon dioksida
H2S Hidrogen sulfida
O2 Oksigen
CO Karbon monoksida
H2O Air
NRe Bilangan Reynold
SSC Bentuk static in-line mixer
YNU Bentuk static in-line mixer
YMX Bentuk static in-line mixer
L/D Panjang per diameter
C/N Rasio karbon per nitrogen
HCl Asam klorida
NaHCO3 Natrium bikarbonat
Fe Besi
Ni Nikel
Co Cobalt
Kecepatan putaran Rpm
Vol Volume Liter
T Temperatur 0C
Q Panas KJ
m Massa Kg
ABSTRAK
Potensi Indonesia sebagai negara produsen CPO terbesar kedua didunia sangatlah menjanjikan dalam industri biogas. Hal ini disebabkan potensi dari POME (Palm Oil Mill Effulent)yang merupakan limbah cair dari kolam fat fit yang dapat di diproduksi menjadi biogas. Produksi biogas pada kondisi thermofilik anaerobik dengan recyle 34% dilakukan dalam empat tangki utama yaitu tangki preparasi,tangki pencampur(mencampur POME keluaran tangki preparasi dengan recyle), bioreaktor dan tangki pengendapan(gravity thickner). Tanki pencampur biasanya terdiri dari satu buah tangki besar dan motor pengaduk serta agitator. Dimana untuk setiap kapasitas yang diolah tentu membutuhkan ukuran tangki, jenis motor dan agitator yang sedikit berbeda. Hal ini sedikit kurang efisien jika ditinjau dari sisi proses, dimana proses itu sendiri harus bersifat lunak terhadap kapasitas. Penelitiaan ini bertujuan menggantikan peranan mixing tank dengan static in line mixing dan dilihat pengaruhnya pada peformance bioreaktor dan produksi biogas. Pengujian yang dilakukan adalah analisa TS dan VS, pH dan M-Alkalinity, dan COD serta mengukur produksi biogas yang terbentuk. Penilaian kualitas pencampuran dari parameter ts(total solid) & vs(volatil solid) dimana hasil keluaran static inline mixer dan mixing tank dibandingkan dengan nilai teoritisnya (regresi). Hasil yang didapat dari perbandingan tersebut dinilai dengan R (keakuratan regresi 0,9-1 ) a.(0,978), b.(0,976), c.(0,992), d.(0,989).
ABSTRACT
Indonesia as the second country for production CPO in the world is very potesially in biogas industry. Something make it very potensial is POME (Palm Oil Effulent).POME is the most important in biogas because it can be change to biogas. Production biogas is in thermofilik anaerob with recyle sludge 34% through in four tank. They are pretreatment tank, mixing tank, bioreactor, and gravity thickner.The mixing tank is a tank with motor (machine), impeller and any baffle. For the diffrent capacity production, the old specification of mixing tank can be change actually the size of tank. For this reason is very important to change mixing tank with a specifik agitator what can fill or answer this problem. The agitator may answer the problem is a static in line mixer.The research focusses on the capacity of static in line mixing to mix POME from pretreatment tank with the recyle sludge from gravity thickner and see this mixing effect to peformance bioreactor and production biogas.The parameter of the research are TS & VS, ph,and M-alkalinity, COD. The quality of mixing could be described with plot between the data (ts &vs) from mix tank or static in line mixing with a theoritical data ( take from regresion). R (accurate of regrsion) are accepted with scale1(0.9-1), and the result are a.(0,978), b.(0,976), c.(0,992), d.(0,989). The value is good.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia saat ini adalah produsen minyak kelapa sawit (crude palm oil,
CPO) terbesar kedua di dunia, dengan luas areal perkebunan kelapa sawit pada
tahun 2010 diperkirakan 7 juta hektar. Proses pengolahan tandan buah segar
(TBS) menjadi crued palm oil (CPO) menghasilkan biomassa produk samping
yang jumlahnya sangat besar. Tahun 2004 volume produk samping sawit sebesar
12.365 juta ton tandan kosong kelapa sawit (TKKS), 10.215 juta ton cangkang
dan serat, dan 32.257 – 37.633 juta ton limbah cair (Palm Oil Mill Effluent
/POME). Jumlah ini akan terus meningkat dengan meningkatnya produksi TBS
Indonesia. Produksi TBS Indonesia di tahun 2004 mencapai 53.762 juta ton dan
pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 64.000 juta ton. Besarnya produksi CPO
juga diikuti dengan besarnya produksi limbah PKS. Baik limbah cair atau yang
dikenal sebagai palm oil mill effluent (POME) serta limbah padat seperti tandan
kosong, cangkang, dan serat (fibre). Produksi POME diperkirakan sebesar 28,7
juta ton/tahun dan produksi limbah padat diperkirakan sebesar 15,2 juta ton/tahun.
Besarnya produksi POME ini tentunya merupakan potensi yang sangat besar
untuk memproduksi biogas [1].
Limbah cair kelapa sawit (LCPKS) dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit
yang berasal dari air kondensat pada proses sterilisasi, air dan proses klarifikasi air
hydrocyclone (claybath), dan air pencuci pabrik. Limbah cair pabrik kelapa sawit
mengandung bahan organik yang relatif tinggi dan tidak bersifat toksik karena
tidak menggunakan bahan kimia dalam proses ekstraksi minyak. Komposisi
limbah cair pabrik kelapa sawit biasanya hanya diolah agar dapat dibuang sesuai
dengan standar baku mutu lingkungan yang sudah ditetapkan [2].
Pengolahan POME secara konvensional sebelum dapat dibuang ke
lingkungan biasanya dilakukan dengan sistem kolam terbuka (lagoon). Sistem ini
fermentasi anaeorbik menghasilkan emisi gas rumah kaca seperti CH4, H2S dan
CO2 yang diduga menyebabkan peningkatan pemanasan global [3].
Sampai saat ini telah banyak dilakukan penelitian untuk menghasilkan
limbah cair kelapa sawit menjadi biogas, salah satu penelitian yang dilakukan oleh
peneliti dari Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sumatera
Utara. Mereka melakukan penelitian mengenai biogas dengan bahan baku POME
dengan menggunakan sistem close digester pada suhu 550C. Dengan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa produksi rata-rata biogas yang paling besar
adalah 8,91 liter/hari yaitu pada HRT 8 hari [4].
Penelitian berikutnya dari Departemen yang sama melakukan penelitian
dengan variasi HRT yaitu 10, 8, 6 dan 4 hari. Dari hasil penelitian didapat bahwa
fermentasi POME pada skala laboratorium sistem tertutup, termofilik, pH 7 dan
alkalinitas dijaga 4.000 mg/L telah dapat menghasilkan biogas. Produksi biogas
terbesar diperoleh pada HRT 6 hari adalah sekitar 75 %, sedangkan laju
dekomposisi bahan organik terbaik yakni ± 79 % dicapai pada HRT 10 hari [5].
Penelitian berikutnya dari Departemen yang sama melakukan penelitian
dan telah berhasil melaksanakan proses fermentasi POME sistem tertutup pada
skala pilot, walaupun penelitian tersebut masih merupakan kajian awal, namun
telah berhasil melakuan penyesuaian kondisi operasi, loading up dan sinkronasi
sistem [6].
Penelitian berikutnya dari Departemen yang sama melakukan penelitian
dengan melakukan perbaikan sistem tertutup pada skala laboratorium dengan
melakukan recycle terhadap keluaran fermentor. Cairan keluaran fermentor
ditampung dan diendapkan selama 6 jam. Cairan pekat atau yang berada dibagian
bawah pengendap direcycle kembali ke fermentor sedangkan cairan jernih (bagian
atas) dikeluarkan dari sistem. Perbaikan sistem ini telah berhasil meningkatkan
laju dekomposisi bahan organik menjadi 85% pada HRT 6 hari [7].
Penelitian berikutnya dari Departemen yang sama melakukan penelitian
berupa produksi biogas dari limbah cair kelapa sawit pada skala pilot plant dengan
dengan penelitian yang dilakukan Amalia dan senafati yakni dengan Suhu fermentor 550C, HRT target 6 hari dan recycle sludge 34% pada skala pilot plant sehingga diharapkan pada HRT 6 hari, diperoleh laju dekomposisi bahan organik
≥ 80%. Pengembalian sludge ke dalam digester dapat meningkatkan laju dekomposisi VS, ini terlihat dari laju dekomposisi yang tertinggi pada recycle di
laboratorium dan di pilot plant didapat hari ke-90 yakni sebesar 84,36% dan hari
ke-51 sebesar 77,35%, sehingga dapat disimpulkan recycle sludge yang terus
menerus dilakukan akan dapat meningkatkan laju dekomposisi VS[8].
Oleh karena itu, dilakukan penelitian yang kondisi operasinya hampir
sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Arie dan Elton yakni dengan suhu
fermentor 550C, HRT target 6 hari dan recycle sludge 34% , dengan menggantikan mixing tank dengan static in-line mixer dimana suhunya sebesar
300C dan melihat performance bioreaktor terhadap static in-line mixer yang digunakan terhadap produksi biogas yang dihasilkan.
1.2 Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu melihat pengaruh static
in-line mixer pada performance bioreaktor pada produksi biogas dari limbah cair
kelapa sawit skala pilot plant dengan recycle sludge 34% dan suhu dalam mixing
in-line 300C.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mendapatkan hasil biogas yang diharapkan sama dengan penggunaan
mixing tank.
2. Melihat pengaruh laju alir umpan masuk static in-line mixer terhadap
performance bioreaktor biogas.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi tentang pengembangan produksi biogas dengan
menggunakan metode fermentasi dengan menggunakan static in-line
2. Memberikan informasi tentang perbandingan pada proses fermentasi
dengan menggunakan static in-line mixer dan dengan mixing tank.
1.4 Ruang Lingkup
Penelitian yang akan dilaksanakan yakni berskala Pilot Plant di Pusdiklat
LP3M USU. dengan kondisi operasi:
1. Suhu umpan yang akan digunakan pada Feed Tank : 700C. 2. Suhu Fermentor : 550C.
3. Menggunakan static in-line mixer untuk mencampurkan umpan dari Feed
Tank dengan keluaran Fermentor (sludge) dengan suhu 550C. .
4. Menggunakan Gravity Thickner, untuk memisahkan endapan pada bagian
bawah (sludge) dengan cairan bagian atas.
Variasi pada penelitiaan : Laju alir umpan masuk (0,208839 - 0,210202 m/s)
Parameter yang akan dilakukan didalam penelitan ini meliputi :
1. Kadar Total Solid dari limbah yang belum difermentasi dengan limbah
yang sudah difermentasi.
2. Kadar abu dan Volatile Solid.
3. Kadar M-Alkalinity dan pH.
4. Analisa CO2 H2S.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
Kelapa sawit (Elaeis) adalah tumbuhan industri paling penting penghasil
minyak masak industri maupun bahan bakar (biodiesel). Pengembangan kelapa
sawit di Indonesia dimulai sejak 1970 dan mengalami pertumbuhannya yang
cukup pesat terutama periode 1980-an. Pada tahun 1980 areal kelapa sawit hanya
seluas 294 ribu Ha dan terus meningkat dengan pesat sehingga pada tahun 2009
mencapai 7,32 juta Ha, dengan rincian 47,81 berupa perkebunan besar swasta
(PBS), 43,76% perkebunan rakyat (PR), dan 8,43% perkebunan besar Negara
(PBN). Dengan luas areal tersebut, Indonesia merupakan Negara produsen minyak
sawit terbesar di dunia. Pada tahun 2009, produksi minyak sawit Indonesia
mencapai 20,6 juta ton, diikuti Malaysia pada urutan kedua dengan produksi
17,57 juta ton. Sebagian besar hasil produksi minyak sawit di Indonesia
merupakan komoditi ekspor. Pangsa ekspor kelapa sawit hingga tahun 2008
mencapai 80% dari total produksi. Negara tujuan utama ekspor kelapa sawit
Indonesia adalah India dengan pangsa pasar sebesar 33%. Cina sebesar 13 % dan
Belanda 9% dari total ekspor kelapa sawit Indonesia [9].
Tabel 2.1 Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit 2006-2011 [10] Tahun Perkebunan
Rakyat (Ha)
Perkebunan Besar Negara
(Ha)
Perkebunan Besar Swasta
(Ha)
Total Nasional
(Ha) 2006 2.549.572 687.428 3.357.914 6.594.914 2007 2.752.172 606.248 3.408.416 6.766.836 2008 2.881.898 602.963 3.878.986 7.363.847 2009 3.061.413 630.512 4.181.368 7.873.294 2010*) 3.077.629 637.485 4.321.317 8.430.027 2011**) 3.090.407 643.952 4.465.809 8.036.431 *)Angka Sementara **)Angka Estimasi
Tabel 2.1 memperlihatkan tabulasi perkembangan luas areal perkebunan
kelapa sawit di Indonesia berdasarkan pengusahaannya tahun 2006-2011.
kebutuhan CPO dunia, seperti yang terjadi beberapa tahun terakhir ini. Selain itu
juga dengan meningkatnya harga minyak mentah dunia menjadikan CPO sebagai
pilihan untuk bahan baku pembuatan bio energi sebagai alternatif bahan bakar.
Diperkirakan beberapa tahun ke depan investasi terbesar sub sektor perkebunan
masih didominasi oleh kelapa sawit. Produktivitas perkebunan kelapa sawit pada
kurun waktu 2006-2010 dapat dilihat pada Tabel 2.2 yang menunjukkan
pengusahaan produksi kelapa sawit yang semakin lama semakin meningkat dan
begitu juga pendapatan Negara yang diperoleh dari ekspor minyak kelapa sawit
[10].
Tabel 2.2 Volume dan Nilai Ekspor Kelapa Sawit Tahun 2006-2010 [11] Tahun Volume (Ton) Nilai (Ribu US$)
2006 11.745.954 4.139.286
2007 15.200.733 9.078.283
2008 18.141.006 14.110.229
2009 21.151.127 11.605.431
2010*) 20.615.958 12.626.595
*)Angka Sementara
Kebun dan pabrik kelapa sawit (PKS) menghasilkan limbah padat dan cair
(Palm Oil Mill Effluent, POME) dalam jumlah besar yang saat ini belum
dimanfaatkan secara optimal, serat dan sebagian cangkang sawit biasanya dipakai
untuk bahan bakar boiler di pabrik, sedangkan tandan kosong kelapa sawit
(TKKS) yang jumlahnya sekitar 23% dari tandan buah segar yang diolah,
biasanya hanya dimanfaatkan sebagai mulsa atau kompos untuk tanaman kelapa
sawit [12]. Pemanfaatan dengan cara tersebut hanya menghasilkan nilai tambah
rendah di dalam rangkaian proses pemanfaatannya.
Proses pengolahana tandan buah segar (TBS) kelapa sawit menjadi CPO
secara sederhana dapat dilakukan pada Gambar 2.1. Blok diagram pengolahan
TBS menjadi CPO pada PKS dengan kapasitas 40 ton/jam diperkirakan
menghasilkan CPO sebanyak 8.720 kg/jam. Proses pengolahan ini akan
menghasilkan limbah padat dan cair. Diperkirakan limbah cair PKS berasal dari
air kondensat rebusan (150-175kg/tonTBS). Pada PKS dengan kapasitas olah 40
ton TBS/ jam menghasilkan limbah cair sebanyak 33.700 kg/jam atau sekitar
jumlah limbah PKS di Indonesia yang berupa TKKS sebesar 15,2 juta ton/tahun
can POME mencapai 28,7 ton/tahun [13].
Gambar 2.1. Blok diagram pengolahan TBS menjadi CPO [13]
2.2 LIMBAH PABRIK KELAPA SAWIT
Limbah pada sebuah pabrik kelapa sawit terdiri atas limbah padat, cair dan gas. Limbah padat terdiri atas tandan kosong dan cangkang, sedangkan limbah cair kelapa sawit ( Palm Oil Mill Effluent , POME ) terdiri dari sludge, air kondensat, air cucian pabrik, air hydrocyclone dan sebagainya. Pengolahan limbah kelapa sawit meliputi pengendalian pengolahan (in-plant control), sistem pengendalian pada kolam limbah dan pemanfaatan limbah, sehingga air yang keluar dari pabrik memenuhi persyaratan undang-undang lingkungan hidup.
limbah cair per hari 420 m3 dari pengolahan dimana maksimum jam
operasionalnya adalah 20 jam. Total volume kolam limbah adalah 21000 m3 dan
efektif volume kolam limbah terisi 16.800m3. Limbah cair tersebut mengandung
konsentrasi yang tinggi dari Chemical Oxygen Demand (COD), Biochemical
Oxygen Demand (BOD), minyak dan zat-zat padat [14].
2.3 PALM OIL MILL EFFLUENT (POME)
2.3.1 Spesifikasi Palm Oil Mill Effluent (POME)
POME berasal dari stasiun rebusan/sterilisasi dan klarifikasi yang dialirkan ke fat pit untuk tujuan pengutipan minyak dimana limbah tersebut
mengalir dengan debit rata-rata 21m3/jam dengan waktu operasional 20 jam dalam
[image:30.595.108.388.379.645.2]satu hari. Karakteristik POME dapat dilihat pada tabel 2.3 Karakteristik POME dari sampel Adolina berikut ini:
Tabel 2.3 Karakteristik POME dari sampel Adolina [15]
No. Nama Sampel Satuan
Keluaran Cooling
Tower
1. pH - 4,15
2. TS mg/L 41.000
3. VS mg/L 35.000
4. BOD mg/L 40.000
5. COD mg/L 43.000
6. NH4-N mg/L 21
7. VFA mg/L 4.510
8. Asam Asetat mg/L 3.570
9. Asam Proponiat mg/L 200
10. n-Hex mg/L 4.300
11. C % 37,3
12. H % 5,04
13. N % 1,99
14. S % 0,31
15. P % 0,17
16. COD:N:P - 350:7:1,5
2.3.2 PENGOLAHAN PALM OIL MILL EFFLUENT (POME)
Limbah cair kelapa sawit sebelum dibuang ke sungai maka pabrik-pabrik kelapa sawit terlebih dahulu melakukan proses pengolahan sederhana yang berupa
pengolahan melalui kolam-kolam penampungan. Secara konvensional
pengolahan limbah di pabrik kelapa sawit (PKS) dilakukan secara biologis dengan
menggunakan sistem kolam, yaitu limbah cair diproses di dalam satu kolam
anaerobik dan aerobik dengan memanfaatkan mikroba sebagai pe-rombak BOD
dan menetralisir ke-asaman cairan limbah. Hal ini di-lakukan karena pengolahan
limbah dengan menggunakan teknik tersebut cukup sederhana dan dianggap
murah. Namun demikian lahan yang diperlu-kan untuk pengolahan limbah sangat
luas, yaitu sekitar 7 ha untuk PKS yang mempunyai kapasitas 30 ton TBS/jam.
Kebutuhan lahan yang cukup luas pada teknik pengolahan limbah dengan
menggunakan sistem kolam dapat mengurangi ketersediaan lahan untuk kebun
kelapa sawit. Waktu retensi yang diperlukan untuk me-rombak bahan organik
yang terdapat dalam limbah cair ialah 120 – 140 hari. Efisiensi perombakan
limbah cair PKS dengan sistem kolam hanya sebesar 60 – 70 %. Disamping itu
pengolahan limbah PKS dengan menggunakan sistem kolam sering mengalami
pendangkalan sehingga masa retensi menjadi lebih singkat dan baku mutu limbah
tidak dapat tercapai. Oleh karena itu perlu dicari sistem pengolahan limbah yang
lebih efisien dengan waktu retensi yang rendah dan efisiensi yang tinggi. Teknik
pengolahan limbah PKS dengan sistem tangki anaerobik adalah salah satu sistem
pengolahan limbah yang dilakukan secara anaerobik dengan kecepatan tinggi dan
sangat efisien. Adapun prinsip kerja teknik pengolahan limbah tersebut adalah
Gambar 2.2 POME dari Adolina
2.4 ALTERNATIF KONVERSI POME MENJADI BIOGAS
POME tidak dapat dibuang langsung ke sungai/parit, karena akan sangat
berbahaya bagi lingkungan. Saat ini, umumnya PKS menampung limbah cair
tersebut di dalam kolam-kolam terbuka (lagoon) kemudian diolah dalam beberapa
tahap sebelum dibuang ke sungai/parit. Secara alami, limbah cair di dalam kolam
akan melepaskan emisi gas rumah kaca yang berbahaya bagi lingkungan. Gas-gas
tersebut antara lain adalah campuran dari gas metan (CH4) dan karbon dioksida
(CO2). Kedua gas ini sebenarnya adalah biogas yang dapat dimanfaatkan sebagai
sumber energi. Potensi biogas yang dapat dihasilkan dari 600–700 kg POME
kurang lebih mencapai 20 m3 biogas. Penelitian pemaanfaatan POME untuk menghasilkan biogas saat ini menjadi perhatian banyak pihak. Selain sebagai
sumber energi, teknologi biogas ini juga dapat mengurangi dampak emisi gas
rumah kaca yang berbahaya bagi lingkungan [16].
Biogas dapat dibuat dari berbagai macam bahan baku seperti kotoran hewan, sampah organik ataupun limbah cair kelapa sawit. Secara ilmiah, biogas yang
dihasilkan dari sampah organik adalah gas yang mudah terbakar (flammable). Gas
ini dihasilkan dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri anaerob (bakteri yang hidup dalam kondisi tanpa udara). Umumnya, semua jenis bahan organik bisa diproses untuk menghasilkan biogas. Tetapi hanya bahan organik homogen, baik padat maupun cair yang cocok untuk sistem biogas sederhana. Bila sampah-sampah organik tersebut membusuk, akan dihasilkan gas metana (CH4)
dan karbondioksida (CO2). Tapi, hanya CH4 yang dimanfaatkan sebagai bahan
Zhang et al. (1997) dalam penelitiannya, menghasilkan metana sebesar 50-80% dan karbondioksida 20-50%. Sedangkan Hansen (2001) , dalam reaktor biogasnya mengandung sekitar 60-70% metana, 30-40% karbon dioksida, dan gas-gas lain, meliputi amonia, hidrogen sulfida, merkaptan (tio alkohol) dan gas lainnya. Tetapi secara umum rentang komposisi biogas adalah dapat dilihat dalam table 2.4
Tabel 2.4 Komposisi Biogas [17]
Komponen %
Metana (CH4) 55-75
Karbon dioksida (CO2) 25-45
Nitrogen (N2) 0-0,3
Hidrogen (H2) 1-5
Hidrogen sulfida (H2S) 0-3
Oksigen (O2) 0,1-0,5
2.5 MEKANISME PEMBENTUKAN BIOGAS
Proses pembentukan biogas melalui pencernaan anaerobik merupakan proses bertahap, dengan tiga tahap utama, yakni hidrolisis, asidogenesis, dan metanogenesis.
Hidrolisis
Senyawa-senyawa polimer seperti lemak, protein dan karbohidrat adalah senyawa-senyawa yang terdapat di dalam sampah organik termasuk POME, senywa ini adalah senyawa yang pertama yang akan dihidrolisa oleh mikroba-mikroba yang menghasilkan enzim lipase, protase, sellulosa, amilase dan lain sebagainya. Enzim-enzim yang dihasilkan oleh mikroba tersebut akan mengubah rantai polimer menjadi molekul-molekul yang lebih kecil atau menjadi monomer yang kemudian akan dikonsumsi oleh mikroba.
Pada tahap ini protein umumnya akan dihidrolisa menjadi asam amino
dengan bantuan enzim protase, yang akan diproduksi oleh Bacteroides,
Pada tahap ini intinya bahan-bahan organik seperti karbohidrat, lipid, dan protein didegradasi oleh mikroorganisme hidrolitik menjadi senyawa terlarut seperti asam karboksilat, asam keto, asam hidroksi, keton, alkohol, gula sederhana, asam-asam amino, H2 dan CO2 [17].
Asidogenesis
Pada tahap ini yang bekerja adalah bakteri asidogenik yang akan mengubah senyawa-senyawa terlarut yang dihasilkan oleh tahap hidrolisis menjadi senyawa-senyawa yang memiliki rantai yang lebih pendek seperti asam asetat dan asam format.
Metanogenesis
Metanogenesis adalah proses yang menghasilkan gas metana dengan digester anaerobik. Walaupun asetat dan H2/CO2 adalah substrat utama pada
proses ini, tetapi senyawa-senyawa lain seperti asam format, metanol, metilamina dan CO akan dikonversi juga untuk menghasilkan metana. Pada tahap ini mikroba yang bekerja adalah methanobacteria [18].
2.6 PARAMETER FERMENTASI
[image:34.595.169.456.591.753.2]Pada dasarnya efisiensi produksi biogas sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor meliputi : suhu, derajat keasaman (pH), konsentrasi asam-asam lemak volatil, nutrisi (terutama nisbah karbon dan nitrogen), zat racun, waktu retensi hidrolik, kecepatan bahan organik, dan konsentrasi amonia. Dari berbagai penelitian yang penulis peroleh, dapat dirangkum beberapa kondisi optimum proses produksi biogas yaitu:
Tabel 2.5 Kondisi Optimum Produksi Biogas [17]
Parameter Kondisi Optimum
Suhu 550C
Derajat Keasaman 6,8-7,8
Nutrien Utama Karbon dan Nitrogen
Sulfida <200 mg/L
Logam-logam berat terlarut
< 1 mg/L
Sodium <5000 mg/L
Kalsium < 2000 mg/L
Magnesium Amonia
Parameter-parameter di dalam produksi biogas harus diperhatikan dan dijaga karena jika kondisi di atas tidak terpenuhi maka pada proses yang dilakukan bukan metana sebagai produk utama akan tetapi akan dihasilkan karbon dioksida sebagai produk utama.
Alkalinitas
Alkalinitas pada limbah cair dapat dihasilkan dari hidrokarbon, karbonat(CO32-) dan bikarbonat (HCO3-) yang berikatan dengan kalsium,
magnesium, kalium dan amonia. Alkaliniti pada limbah cair membantu untuk mempertahankan pH agar tidak mudah berubah yang disebabkan oleh penambahan asam. Konsentrasi dari alkaliniti pada limbah cair sangatlah penting karena kadar alkaliniti mempengaruhi pengolahan zat-zat kimia dan biologi, juga dibutuhkan untuk nutrisi bagi mikroba.
Kadar alkaliniti di dapat dengan menitrasi sampel dengan larutan standar asam, hasil yang didapat akan dalam satuan mg/L CaCO3 [19].
pH
Konsentrasi ion-hidrogen merupakan kualitas parameter yang penting di dalam limbah cair. Konsentrasi dari pH dapat diartikan sebagai eksistensi dari kehidupan mikroba di dalam limbah cair (biasanya pH diantara 6 sampai 9). Limbah cair mempunyai konsentrasi pH yang sulit diatur karena adanya proses pengasaman pada limbah cair. pH mempunyai arti yang sangat penting di dalam pengolahan limbah cair karena dari pH dapat diketahui kondisi mikroba yang ada di dalam limbah cair [19].
Nutrisi
biasanya jumlah nutrisi yang dibutuhkan seperti nitrogen, phospor, dan sulfur pada range 10-13,2-2,6 dan 1-2 mg per 100 mg limbah. Akan tetapi, agar methanogenesis maksimum, konsentrasi nitrogen, phospor dan sulfur biasanya 50, 10, dan 5 mg/L. Kandungan nitrogen dapat diperoleh dari berbagai macam
senyawa seperti NH4HCO3 (amonium hidrogen karbonat) [19].
Logam Berat Terlarut
Logam berat terlarut sangat penting di dalam proses fermentasi limbah cair, terutama pada proses methanogenesis. Logam berat terlarut ini berfungsi sebagai nutrisi penting pada pertumbuhan mikroba. Kandungan untuk logam berat terlarut yang direkomendasikan pada pengolahan limbah cair seperti besi, kobalt, nikel dan seng adalah 0,02; 0,004; 0,003 dan 0,02 mg/g produksi asam asetat. Penambahan logam-logam ini meningkatkan aktifitas mikroba dan sangat menguntungkan pada proses anaerobik untuk limbah cair. Kadar logam berat terlarut yang direkomendasikan per liter reaktor adalah 1 mg FeCl2; 0,1 mg CaCl2;
0,1 mg NiCl2; dan 0,1 mg ZnCl2 [19].
2.7 FERMENTASI ANAEROBIK
[image:36.595.128.513.533.707.2]Fermentasi secara anaerob berarti selama proses ferementasi tidak ada udara yang masuk di dalam reaktor. Fermentasi anaerob memiliki bebearapa keuntungan dan kerugian, yaitu:
Tabel 2.6 Keuntungan dan Kerugian Fermentasi Anaerobik [19]
No. Keuntungan Kerugian
1. Energi yang dibutuhkan sedikit Membutuhkan waktu pembiakan
yang lama
2. Produk samping yang dihasilkan
sedikit
Membutuhkan penambahan senyawa alkalinity
3. Nutrisi yang dibutuhkan sedikit Tidak mendegradasi senyawa
nitrogen dan phospor
4. Dapat menghasilkan senyawa methana
yang merupakan sumber energi yang potensial
Sangat sensitif terhadap efek dari perubahan temperatur
5. Hanya membutuhkan rekator dengan
volume yang kecil
Menghasilkan senyawa yang beracun seperti H2S.
2.8 NILAI POTENSIAL BIOGAS
Biogas yang bebas pengotor (H2O, H2S, CO2, dan partikulat lainnya) dan
telah mencapai kualitas pipeline adalah setara dengan gas alam. Dalam bentuk ini, gas dapat digunakan sama seperti penggunaan gas alam. Pemanfaatannya pun telah layak sebagai bahan baku pembangkit listrik, pemanas ruangan, dan pemanas air. Jika dikompresi, biogas dapat menggantikan gas alam terkompresi yang digunakan pada kendaraan. Di Indonesia nilai potensial pemanfaatan biogas ini akan terus meningkat karena adanya jumlah bahan baku biogas yang melimpah dan rasio antara energi biogas dan energi minyak bumi yang menjanjikan. Berdasarkan sumber Departemen Pertanian, nilai kesetaraan biogas dengan sumber energi lain adalah sebagai berikut:
Tabel 2.7 Kesetaraan biogas dengan sumber lain [17]
Bahan Bakar Jumlah
Biogas
Elpiji
Minyak tanah
Minyak solar
Bensin
Gas kota
Kayu bakar
1 m3
0,46 kg
0,62 liter
0,52 liter
0,8 liter
1,5 m3
3,5 kg
2.9 BERBAGAI PENELITIAN FERMENTASI POME MENJADI BIOGAS YANG TELAH DILAKUKAN
Biogas yang komponen utamanya gas metan (CH4) sebenarnya sudah
mulai dimanfaatkan sejak puluh tahun yang lalu, namun tidak banyak
dipergunakan masyarakat. Biogas yang dikenal masyarakat lebih banyak
dihasilkan dari pengolahan kotoran ternak atau kotoran manusia. Sebenarnya
biogas juga dapat dihasilkan dari biomassa yang lain. Biogas lebih ramah
lingkungan daripada BBM. Pembakaran biogas (metan) akan menghasilkan gas
metan dapat diubah menjadi energi sebesar 4700 – 6000 kkal atau 20 – 24 MJ.
Energi sebesar itu setara dengan energi yang dihasilkan oleh 0,48 kg gas elpiji
(LPG). Penggunaan gas metan tidak hanya menghasilkan energi yang besar tetapi
juga lebih ramah lingkungan [20].
Penelitian seperti ini sudah banyak dilakukan. Riki & Alviah, 2009, melaporkan bahwa fermentasi POME pada skala laboratorium sistem tertutup ( Close Digester Tank ), termofilik, pH 7 dan alkalinitas dijaga 4.000 mg/L telah dapat menghasilkan biogas. Variasi HRT 10, 8, 6 & 4 hari. Produksi biogas terbesar diperoleh pada HRT 6 hari . Mereka juga melaporkan bahwa laju dekomposisi bahan organik pada HRT 6 hari adalah sekitar 75 % sedangkan laju dekomposisi bahan organik terbaik yakni ± 79 % dicapai pada HRT 10 hari [5].
Beberapa penelitian yang dilakukan tidak hanya sebatas memvariasikan HRT saja, akan tetapi sudah ada penelitian yang melakukan variasi recycle
terhadap laju dekomposisi. Amalia Yolanda dan Senafati. 2009, melakukan
perbaikan sistem tertutup pada skala laboratorium dengan melakukan recycle terhadap keluaran fermentor. Cairan keluaran fermentor di tampung dan di endapakan selama 6 jam .Cairan pekat atau yang berada dibagian bawah pengendap di recycle kembali ke fermentor sedangkan cairan jernih ( bagian atas ) dikeluarkan dari sistem . Perbaikan sistem ini telah berhasil meningkatkan laju dekomposisi bahan organik menjadi 85 % pada HRT 6 hari [7].
Febriansyah dan Vandi. 2010, telah berhasil melaksanakan proses
fermentasi POME sistem tertutup pada skala pilot , walaupun penelitian tersebut masih merupakan kajian awal, namun telah berhasil melakukan penyesuaian kondisi operasi, loading up, dan sinkronisasi sistem [6].
Arie & Elton, 2011, telah berhasil melaksanakn proses fermentasi
POME sistem tertutup pada skala pilot, dimana peneliti melakukan recycle sludge
sebesar 34% terhadap keluaran fermentor pada suhu 550C dan berhasil
Tabel 2.8 Berbagai Penelitian fermentasi POME menjadi Biogas yang telah dilakukan
Institusi/Peneliti Bahan Baku
Sistem / Kondisi Hasil
Institut Kyushu Jepang dengan
UPM Malaysia POME
Open Digester Tank Kandungan metan di
dalam biogas 13,5 – 49%
Palm Oil Research Centre Malaysia
POME
Close Digester Tank Walaupun konsentrasi
CH4 65%, namun
volume biogas masih rendah
University of Port-Harcourt, Nigeria
POME
- close Digester Tank
- variasi HRT 20,18 & 10 hari
- Tanpa pemanasan
- laju dekomposisi
ba-han organik tinggi
- volume biogas
rendah
Walailak University,
Thailand POME
- close Digester Tank - variasi suhu 37- 55oC - HRT 7 hari
volume biogas tinggi pada range temperatur 52-55oC
Riki Handoko & Alviah Nadya Sari Simbolon
POME -Close Digester Tank &
suhu 550C
-Variasi HRT 10,8,6 & 4
- -Pengaruh HRT terhadap
fermentasi POME
-HRT terbanyak menghasilkan biogas adalah HRT 6 -Laju dekomposisi
bahan organik pada HRT 6 hari sekitar 75 %
- -Laju dekomposisi
bahan organik terbaik ± 79 % dicapai pada HRT 10 hari
Vivian Wongistani & M. Izni Harahap
POME -Close Digester Tank &
suhu 550C
-Variasi HRT 20,10 & 8 -Pengaruh HRT terhadap
fermentasi POME
[image:39.595.110.539.121.704.2]Jumri Prico
Pangihutan &
Ismaulida Sari
Lubis
POME -Close Digester Tank &
suhu 550C
-Variasi lokasi PKS Pagar
Merbau, Rambutan &
Sisirau
Biogas PKS
Rambutan lebih baik daripada PKS Merbau dan PKS Sisirau
Amalia & Senafati POME -Close Digester Tank &
suhu 550C
-Variasi recycle terhadap laju dekomposisi
Laju dekomposisi dengan metode recycle dapat mencapai 80 %
Febri & Vandi POME Fermentasi POME sistem
tertutup pada skala pilot
Penyesuaian terhadap
kondisi operasi,
loading up dan
sinkronisasi sistem
Arie & Elton POME - Close Digester Tank & Suhu 550C
- Recycle sludge sebanyak 34%.
Diperoleh
dekomposisi VS ≈ 77,35%, dan produsi biogas sebesar 0,00176410 L/mgVS hari
Penelitian yang dilakukan merupakan pengembangan dari penelitian Arie & Elton. Penelitian dilakukan dengan skala pilot dengan melakukan recycle terhadap keluaran fermentor dengan menggunakan mixing in-line. Penelitian tersebut
bertujuan untuk memperoleh laju dekomposisi bahan organik ≥ 77,35% yang
2.10 FERMENTASI POME DENGAN RECYCLE SLUDGE
Gambar 2.3 Sketsa neraca massa Fermentasi POME dengan Recycle Sludge
Analisa neraca massa didasarkan pada prinsip bahwa massa tidak dapat diciptakan dan dimusnahkan, tetapi massa dapat diukur. Analisa massa biasanya difungsikan dalam waktu. Pada fermentor dengan sistem recycle alur masuk adalah berupa umpan segar POME dan sludge yang dikembalikan pada reaktor (return sludge). Sedangkan alur keluarannya adalah berupa digested slurry.
Secara simbolis :
V r C Q C Q C Q V dt dC
g out out r
r in
in ) . .
( . .
(2.1)
Dimana :
dt dC
= laju perubahan konsentrasi biomassa pada reaktor (kg/m3hari)
V = volume reaktor (m3) Qin = laju alir masuk (m3/ hari)
Cin = konsentrasi biomassa pada aliran masuk (kg/m3) Qout = laju alir keluar (m3/ hari)
Cr = konsentrasi biomassa pada aliran recycle (kg/m3) rg = kecepatan netto dari produksi biomassa (kg/m3.hari)
Jika diasumsikan konsentrasi dari mikroorganisme pada influent (masukan) dapat diabaikan dan keadaan steady state (dC/dt=0), persamaan di atas menjadi:
Qout.Cout Qr.Cr rg.V
(2.2)
Hubungan antara laju pertumbuhan dengan laju utilisasi substrat pada sistem
kontinu yaitu: rg YrsukdC
(2.3)
Dimana :
rg = kecepatan netto dari produksi biomassa (kg/m3.hari)
Y = koefisien yield sintesis (kg/kg COD)
rsu = laju konsentrasi substrat yang berubah menuju utilisasi (kg/m3 hari)
kd = koefisien pembusukan endogenus (kg/kg hari)
Jika kedua persamaan di atas dikombinasikan
kd C Yr VC C Q C
Qout out r r su
. . (2.4)
Inversi dari ruas kiri didefenisikan sebagai nilai Sludge Retention Time (SRT).
SRT=
r r out
outC Q C Q
VC
.
. (2.5) [19]
Hydraulic Retention Time (HRT) adalah waktu tinggal suatu bahan dalam
reaktor yaitu perbandingan antara volume reaktor dengan laju alir masuk pada
reaktor. Pada penelitian ini digunakan HRT 6 hari.
Dari gambar diperoleh:
V= 6Q
Qout=Q
Cd=C
Cout= x.C
Cr= ( 1-x ).C
HRT= 6 hari
Substitusi nilai tersebut ke persamaan :
SRT=
r r out
outC Q C Q VC . . SRT= C x Q QxC QC ) 1 ( 34 , 0 6 SRT= ) 1 ( 34 , 0 6 x
x
SRT= 34 , 0 34 , 1 6
x hari (2.6)
2.11 MIXING TANK
Mixing tank merupakan alat pencampur yang mencampurkan suatu zat
dengan zat lain yang biasanya berbentuk silinder dengan sumbu terpasang vertikal
yang biasanya bervolume > 250 liter Sekat (buffle) [21]. Sebuah mixing tank
terdiri atas:
1. Agitator (pengaduk)
Agitator (pengaduk) digunakan untuk mengaduk campuran, jenis dari
impeller beragam disesuaikan pada sifat dari zat yang akan dicampurkan.
Jenis-jenis impeller yang umumnya digunakan adalah tree-blades yang digunakan untuk
mencampurkan bahan dengan viskositas rendah dengan putaran tinggi [22].
2. Sekat (buffle)
Sekat (buffle) adalah alat berbentuk batang yang digunakan dipinggir tangki
yang berguna untuk menghindari vortex dan digunakan untuk mempolakan aliran
3. Heater
Heater merupakan alat pemanas dimana suhu dan waktunya dapat diatur
sesuai dengan kebutuhan untuk memanaskan bagian inner ring suatu bantalan
yang akan dipasang ke suatu poros [23].
4. Motor
Motor merupakan alat penggerak pengaduk (agitator) dimana kecepatan
dapat diatur sesuai dengan proses yang diinginkan [23].
Salah satu aplikasi mixing tank yang paling terkenal adalah reaktor tangki
berpengaduk (RATB). Prinisip kerja suatu RATB adalah memasukkan satu atau
lebih reaktan ke dalam tangki dan pada saat bersamaan mengeluarkan sejumlah
produk dari reactor. Pengaduk dalam mixing tank dirancang sedemikian rupa
sehingga campuran reaktan akan teraduk dengan sempurna dan reaksi berlangsung
seoptimal mungkin. Hal ini sangat penting karena ketika beroperasi dalam kondisi
steady state, jumlah reaktan yang masuk ke dalam reaktan harus sesuai dengan
jumlah produk yang dihasilkan (the flow rate in must equal to the mass flow rate
out). Mixing tank yang dilengkapi dengan pengaduk, motor, dan heater
menjadikan alat ini menjadi boros terhadap penggunaan energi listrik dan kurang
efisien jika digunakan [24].
Dalam penggunaan suatu mixing tank, maka harus diperhatikan bagaimana
pemilihan reaktor yang tepat. Adapun pemilihan reaktor yang tepat bertujuan
untuk :
1. Mendapatkan keuntungan yang besar.
2. Biaya produksi yang murah.
3. Modal kecil/volume reaktor minimum.
4. Operasinya sederhana dan murah.
5. Keselamatan kerja terjamin.
6. Polusi terhadap sekelilingnya dijaga sekecil-kecilnya.
2.12 STATIC MIXER
Pengadukan atau pencampuran suatu fluida biasa terjadi dalam sebuah
tangki pencampur (vessel), tangki yang digunakan terdiri dari pengaduk dan motor
serta sekat atau baffle. Untuk skala yang lebih besar pengadukan dengan
menggunakan tangki akan menimbulkanbiaya yang lebih besar untuk itu
digunakan peralatan pencampuran fluida yang lebih fleksibel dalam perbesaran
skala produksi yaitu metode pengadukan dengan static mixer (pengadukan diam).
Static mixer (mixing in pipe) dapat berupa sepotong pipa kosong atai pipa
yang diberi sekat atau orifis yang akan membuat fluida saling berkontak. Ada
lima mekanisme proses yang akan terjadi bila suatu fluida dicampurkan di dalam
static mixing
Gambar 2.4 Jenis Pola Aliran di Dalam Static Mixer
Membagi (Dividing) Memutar (Rotating)
Menghubungkan (Chaneling) Membelokkan (Diverting)
Menggabungkan Kembali (Recombining) [25].
2.13 STATIC IN-LINE MIXER DALAM PENELITIAN
Pada penelitian ini static mixing yang akan digunakan memiliki
kareteristik seperti gambar 2.5, yaitu terdiri dari sebuah pipa yang didalamnya
terdapat sekat atau baffle. Penggunaan sekat ditujukan untuk memberikan
pengontakan atau pertemuan antara sludge dengan umpan yaitu POME yang
kemudian akan diteruskan ke tangki bioreactor. Dimana sludge yang dikeluarkan
Gambar 2.5 Rancangan Static In-Line Mixer Dalam Penelitian
Penelitiaan mengenai pola aliran pada pipa bersekat (baffles) sebelumnya
telah dilakukan Al – tabi dan Ooi et All, dimana mereka menjadikan Cystic duct
(kelenjar kista) sebagai latar belakang pemodelan dari studi mereka. Al- tabi
melakukan percobaan dengan memvariasikan aliran fluida ( berbagai macam nilai
Re) yang masuk kedalam fluida serta memvariasikan jarak atau rasio panjang
sekat serta membandingkannya dengan pipa yang tanpa sekat.
Al-tabi mengambil variasi c/D ( 0,3 ; 0,5; 0,7 ) dimana jarak antar sekat adalah 1,5 D.
Gambar 2.7 Pola Aliran untuk Nilai Reynolds 110 Aliran dari Kiri ke Kanan [26]
[image:47.595.128.524.121.348.2]Gambar 2.8 Pola Aliran untuk Nilai Reynolds 100, c/D = 0,5 Aliran dari Kiri ke Kanan [26]
Gambar 2.10 Pola Aliran c/D = 0,5[26]
Gambar 2.11 Pola Aliran c/D = 0,3[26]
Gambar 2.13 Faktor Friksi Vs Angka Reynolds pada variasi nila c/D [27]
[image:49.595.173.433.385.586.2]Gambar 2.15 Kesimpulan [27]
Dari penelitian ini ada beberapa hal yang dapat dijadikan pertimbangan
dalam perancangan atau penggunaan static mixer antara lain
1. Penggunaan sekat (baffle) pada pipa dapat menciptakan suatu turbulensi
aliran yang dimana aliran yang semulanya laminar, kemudiaan menjadi
transisi dan menjadi turbulen. Pada c/D (0,7) resirkulasi aliran masih
belum begitu baik sehingga turbulensi tidak terjadi pada sekat – sekat awal
terutama untuk aliran dengan NRe yang rendah, c/D (0,5) dimana tinggi
sekat akan semakin tinggi sehingga lebih mampu menciptakan resirkulasi
rancangan sekat pada static mixer akan semakin cepat menciptakan
turbulensi [27].
2. Penggunaan sekat dapat meningkatkan faktor friksi dan nilai c/D yang
kecil akan membuat nilai faktor friksi yang tinggi. Hal ini terlihat dari nilai
c/D 0,3 memiliki nilai faktor friksi yang lebih besar jika dibandingkan
dengan c/D 0,5 & 0,7. Namun untuk nilai c/Dyang semakin kecil gradien
faktor friksi vs NRe semakin menurun yang dapat diasumsikan bahwa
hanya sedikit keterikatan antara faktor friksi pada Nilai Reynod, dan pada
nilai Reynold yang tinggi nilai dari faktor friksi tetap ( tidak terikat dengan
nilai Reynold) dan dapat dikatakan ini merupakan karakter dari aliran
turbulen [27].
3. Penggunaan sekat dapat menurunkan nilai koefesien variance (derajat
pencampuran). Dimana nilai c/D yang semakin kecil akan semakin
menurunkan nilai koefesien variance yang berati pencampuran akan lebih
sempurna [26].
4. Keidealan aliran dalam pengaduk ini akan semakin baik terutama untuk
rezim aliran non - turbulen, jika ditambahkan valve (mampu mengatur
aliran fluida) untuk mencegah aliran kosong pada pipa bersekat. Kinerja
valve yang dimaksut mirip dengan fungsi Valves of Heisters pada kelenjar
kista [28].
2.14 BERBAGAI PENELITIAN YANG MENGGUNAKAN STATIC MIXER
Static mixer merupakan alat pencampur yang digunakan untuk
mencampurkan dua zat atau lebih yang bertujuan untuk menghomogenitaskan
campuran zat tersebut yang berupa sepotong pipa yang di dalamnya ada sekat
yang berfungsi untuk memberikan pola aliran sehingga campuran menjadi
homogen.
Penelitian tentang penggunaan static mixer sudah banyak dilakukan. Hei
Cheon Yang dan Sang Kyoo Park pada tahun 2004, mereka meniliti tentang
pengaruh preasure drop dari static mixer. Pencampur yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan alat berbentuk tabung acrylic yang berdiameter 40 mm
SMX yang terbuat dari baja stainless dengan diameter 40 mm dan rasio L/D sama
dengan satu. Tebal plat yang berbentuk bulat panjang adalah 2 mm.
Gambar 2.16 Bentuk dari SSC, YNU dan YMX (Dari Atas ke Bawah)
Dari penelitian ini disimpulkan bahwa faktor friksi dari SMX memiliki
kualitas yang baik sesuai dengan data yang ada, faktor friksi dari penggunaan SSC
dan YNU masing-masing yaitu 36% lebih rendah dari SMX dan 6% lebih tinggi
dari SMX, faktor friksi SMX dengan YNU lebih baik daripada penggunaan SSC
[29].
Yang H.C pada tahun 2006, meneliti tentang karakteristik pencampuran
dengan pencampuran yang bergerak. Penelitian ini bertujuan untuk
membandingkan pencampuran dengan menggunakan sekat berupa SMX dengan
penggabungan YHC dan YNU. Rancangan dari masing-masing jenis sekat ini
menggunakan baja stainless stells, dimana setiap sekat yang digunakan memiliki
diameter 40 mm dengan rasio L/D adalah satu. Tebal rata-rata dari plat yang
digunakan berbentuk bulat panjang seperti pipa dengan tebal 2 mm. Dari
penelitian dilaporkan bahwa karakteristik pencampuran yang digunakan
masing-masing pencampur berbeda, ini telihat dari hasil visualisasi. Pada SMX dan YHC,
bentuk pencampuran berupa membelah aliran dan menyilang sedangkan pada
YNU menunjukkan pola aliran berupa cross-sectional. Dalam SMX, bisa
dipasang 5 elemen sekat di dalam alat pencampur sehingga pencampuran bisa
lebih baik, sementara pada YNU dan YHC hanya bisaa dipasang 1 dan 2 elemen
saja [30].
.Penelitian selanjutnya yang diteliti oleh Kuo-Tung Chang, Jer-Huan Jang,
Teng-Chuang Lai dan Jun-Nan Chen pada tahun 2011 meneliti tentang pola aliran
dari static mixer dengan menggunakan sekat berupa tri-helical secara numerik dan
bentuk pola aliran yang terbentuk dari tri-helical. Cairan yang digunakan adalah
air. Pada percobaan ini menggunakan Nd-YAG laser, tri-helical sebagai bentuk
pengujian, pengatur laju masuk dan keluar air dan penangkap sistem gambar dari
percobaan. Dalam penelitian ini, tri-helical digunakan dengan memasukkannya ke
dalam tabung untuk visualisasi aliran. Tri-helical dibagi menjadi 3 bagian di
dalam pipa. Pengujian ini terdiri atas 4 elemen dengan pengaturan kiri dan kanan
diatur secara aksial dalam pipa sehingga bagian ujung pipa aka membentuk sudut
600. Dimensi dari masing-masing elemen adalah 40 x 60 mm, dimana rasio untuk setiap elemen adalah 1,5. Ketebalan pipa 1,2 mm, diameter pipa yaitu 40,4 mm
sehingga ada celah kcil antara tri-helical dengan pipa. Panjang total pipa adalah
1000 mm, sedangkan panjang modul penguji adalah 240 mm. Rangkaian
peralatan dapat dilihat pada gambar 2.17 berikut.
[image:53.595.126.515.353.532.2]
Gambar 2.17 Skema Penelitian Visualisasi Tri-Helical Staic Mixer [31]
2.15 STUDI PILOT PLANT
Percobaan khas yang bertujuan untuk pengembangan proses adalah
dengan menggunakan percobaan Pilot plant. Pilot plant merupakan suatu alat
experiment dimana sekurang-kurangnya alat operasi yang ada terdapat dalam pilot
plant tersebut dapat menampilkan atau mewakili alat operasi yang ada di pabrik
sebenarnya. Bagian dari operasi yang ada pada pilot plant tersebut
menggambarkan secara tidak langsung operasi yang ada pada komersial plant
[image:54.595.168.454.286.491.2]yang dapat dirubah dengan menggunakan model matematik [32].
Gambar 2.18 Langkah-langkah Pengembangan Scale Up
Dalam proses industri, data eksperimental sering tersedia dalam skala
laboratorium atau system agitasi skala pilot, dan tergantung pada hasil scale-up
untuk mendesain satu unit penuh. Ketika prose Scale-up menjadi sangat
beranekaragam, tidak ada metode tunggal yang dapat mengatasi masalah scale-up,
dan banyak pendekatan yang ada dari scale-up. Kesamaan geometri, tentunya
sangat penting dan paling sederhana yang biasa didapatkan. Kesamaan kinematika
dapat diartikan sebagai bagian perbandingan dari kecepatan atau waktu.
Kesamaan dinamika memerlukan perbandingan tetap dari viskos, inersia dan gaya
gravitasi. Meskipun jika kesamaan geometri telah didapatkan, kesamaan dinamika
sering sekali tergantung si desainer untuk mengandalkan penilaian dan
pengalaman dalam melakukan scale-up.
Dalam banyak kasus, objek utama biasanya mewakili proses agitasi
seperti: gerakan cairan yang sama, seperti pencampuran cairan, dimana gerakan
cairan mewakili kecepatan yang diperkirakan sama pada kasus kedua : suspensi
solid yang sama, dengan tingkat suspensi yang sama ; dan laju perpindahan masa
yang sama, dengan perpindahan masa terjadi diantara fasa cair dan padat, fase
cair-cair, dan dengan laju yang sama [33].
2.16 ANALISA EKONOMI
Penelitiaan ini bertujuaan menggantikan peran tangki berpengaduk (mixing tank)
dengan static in line mixer. Harapan dari penggantiaan ini adalah efesiensi dari
biaya pabrikasi awal dan biaya operasional, dimana tangki berpengaduk
menghabiskan biaya yang cukup besar dan tidak lunak terhadap kapasitas
pengolahan. Adapun spesifikasi dari static in line mixing dan mixing tank dapat
dilihat pada tabel
Tabel 2.9 Spesifikasi Pembuatan dan Biaya Tangki Berpengaduk
Bahan Harga Jumlah Total Biaya
Pelat besi 8 mm 1.679.760 2 3.359.520
Gear box 1.500.000 1 1.200.000
Heater & Thermocouple
1.409.600 1 1.409.600
motor 2.619.760 1 2.619.760
Plat alumunium 346.580 2 693.160
Rockwoll 220.000 1 220.000
Batang pengaduk (round bar)
512.640 1 512.640
Valve 130.000 1 130.000
Pompa 30.000.000 3 90.000.000
Operasional (1 hari)
30.780 30.780
Tabel 2.10 Spesifikasi Pembuatan dan Harga Static in line mixing
Bahan Harga Jumlah Total Biaya
Pipa 1,5 inch 800.000 1 800.000
Baffle 5.000 5 20.000
Heater & thermocouple
961.600 1 961.600
Pompa 30.000.000 2 60.000.000
Operasional ( 1hari) 9.120 9.120
Total 61.790.720
Efesiensi b