• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Rekayasa Sosial Dalam Pengelolaan Lanskap Ruang Terbuka Biru Bagi Masyarakat Di Bantaran Sungai Ciliwung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implementasi Rekayasa Sosial Dalam Pengelolaan Lanskap Ruang Terbuka Biru Bagi Masyarakat Di Bantaran Sungai Ciliwung"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI REKAYASA SOSIAL DALAM

PENGELOLAAN LANSKAP RUANG TERBUKA BIRU BAGI

MASYARAKAT DI BANTARAN SUNGAI CILIWUNG

ALIIFAH GHASSANII

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Implementasi Rekayasa Sosial dalam Pengelolaan Lanskap Ruang Terbuka Biru bagi Masyarakat di Bantaran Sungai Ciliwung adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2016

(4)
(5)

ABSTRAK

ALIIFAH GHASSANII. Implementasi Rekayasa Sosial dalam Pengelolaan Lanskap Ruang Terbuka Biru bagi Masyarakat di Bantaran Sungai Ciliwung. Dibimbing oleh HADI SUSILO ARIFIN.

Sungai Ciliwung merupakan salah satu Ruang Terbuka Biru (RTB) yang memiliki pengaruh besar dalam pengembangan kota di Wilayah Jabodetabek. Namun, tingginya laju pertumbuhan penduduk menyebabkan kebutuhan masyarakat akan lahan semakin meningkat, sehingga menimbulkan masalah alih fungsi lahan dari RTB menjadi lahan permukiman sekitar 76,39% (Arifin, 2013) dan menyebabkan munculnya pengembangan water back landscape di daerah bantaran Sungai Ciliwung. Hal tersebut disebabkan karena adanya mindset yang salah di masyarakat terhadap RTB. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana menciptakan lanskap RTB yang lestari dengan melihat dari aspek sosial masyarakat. Penelitian ini mengacu pada pendekatan kualitatif dengan menerapkan metode survei lapang, wawancara dan kuesioner, dan diskusi kelompok terfokus. Hasil penelitian ini berupa strategi pengelolaan RTB dengan penerapan rekayasa sosial yang efektif, yaitu dengan prioritas urutan media (1) spanduk (2) leaflet (3) poster dan (4) DVD sebagai upaya untuk merubah mindset masyarakat terhadap permasalahan RTB saat ini, khususnya di bantaran Sungai Ciliwung.

Kata kunci : Rekayasa sosial, Ruang Terbuka Biru, Sungai Ciliwung, water back landscape

ABSTRACT

ALIIFAH GHASSANII. The Social Engineering Implementation of the Blue Open Space Landscape Management for the Community in Ciliwung Riverside. Supervised by HADI SUSILO ARIFIN.

Ciliwung river is one of the Blue Open Spaces that has a great impact on city’s development in Jabodetabek. But ironically, the high rate of population growth led to the increasing needs of community for land. This resulted in land use changing from Blue Open Spaces into the built-up area about 76,39% (Arifin 2013) and cause the appearance of water back landscape development, due to the false mindset that has been spreading arround the community for a long time. This research aimed to study on how to create a sustainable landscape of Blue Open Space by the perspective of social aspect. This study used qualitative approach with several methods such as field survey, interviews and questionnaires, and Focus Group Discussion. The final result of this study was explaining the effective social engineering implementation for Blue Open Space management strategies with the media priorities order are (1) banner (2) leaflet (3) poster and (4) DVD as an attempt to change the community’s current mindset on Blue Open Space issues, especially in Ciliwung riverside area.

(6)
(7)

IMPLEMENTASI REKAYASA SOSIAL DALAM

PENGELOLAAN LANSKAP RUANG TERBUKA BIRU BAGI

MASYARAKAT DI BANTARAN SUNGAI CILIWUNG

ALIIFAH GHASSANII

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Arsitektur Lanskap

pada

Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

ii

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia dan rahmat-NYA sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Topik yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April sampai November 2015 adalah Ruang Terbuka Biru, dengan judul Implementasi Rekayasa Sosial dalam Pengelolaan Lanskap Ruang Terbuka Biru bagi Masyarakat di Bantaran Sungai Ciliwung. Penelitian ini merupakan tindak lanjut dari penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu proyek yang berjudul “Analisis Ketersediaan Green Water dan Blue Water dalam Manajemen Lanskap yang Berkelanjutan di Daerah Aliran Sungai Ciliwung” yang diketuai oleh Prof. Dr Ir Hadi Susilo Arifin, M.S. dengan skema pendanaan dari DIPA IPB tahun anggaran 2013-2014.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, MS. selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, saran, dorongan, serta nasehat kepada penulis. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada teman-teman satu bimbingan skripsi, teman-teman satu tim penelitian, teman-teman Arsitektur Lanskap Angkatan 48, serta semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Ibu, Adik-adik, seluruh keluarga dan teman-teman atas segala doa, dukungan, dan kasih sayangnya.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi rekomendasi bagi masyarakat, pihak swasta, maupun pemerintah dalam mensosialisasikan pentingnya keberadaan Ruang Terbuka Biru. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Bogor, April 2016

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR iv

PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

Kerangka Pikir 2

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian 3

Alat dan Bahan 4

Metode Penelitian 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Situasional 6

Kondisi Geografis Kota Bogor 6 Kondisi Geografis Kabupaten Bogor 9 Kondisi Geografis Kota Jakarta 11

Kondisi Demografis 12

Analisis Persepsi Masyarakat 16

Persepsi terhadap Ruang Terbuka Biru 16 Persepsi Terhadap Lanskap Muka Air dan Lanskap Belakang Air 17

Persepsi Terhadap Fungsi Sungai Ciliwung bagi Masyarakat 21

Persepsi Terhadap Kondisi Sungai Ciliwung 22

Persepsi Terkait Aktvitas Masyarakat Terhadap Sungai Ciliwung 24

Analisis Preferensi Masyarakat 25

Preferensi Terhadap Partisipasi dalam Pengelolaan Sungai Ciliwung 25

Preferensi tentang Sosialisasi Ruang Terbuka Biru 26

(14)
(15)

Analisis Efektivitas Implementasi Rekayasa Sosial 32

Efektivitas Terhadap Persepsi dan Preferensi Masyarakat tentang RTB 32

Preferensi Masyarakat terhadap Media Rekayasa Sosial Setelah 38 Implementasi Rekayasa Sosial

Rekomendasi Strategi Pengelolaan RTB bagi Masyarakat di Bantaran 42 Sungai Ciliwung

SIMPULAN DAN SARAN 51

DAFTAR PUSTAKA 51

DAFTAR TABEL

1 Alat dan bahan Penelitian yang digunakan 4

2 Jenis data yang dikumpulkan 5

3 Data umum masing-masing kelurahan di Kota Bogor 7 4 Data umum masing-masing kelurahan di Kabupaten Bogor 9 5 Data umum masing-masing kelurahan di Kota Jakarta 11 6 Karakteristik Masyarakat Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin dan 12 kepadatan Penduduk

7 Karakteristik Masyarakat Sampel Berdasarkan Usia 14

8 Pengetahuan Masyarakat tentang Istilah water front landscape 18

9 Pengetahuan Masyarakat tentang Istilah water back landscape 18

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pikir Penelitian 3

2 Peta Lokasi Penelitian 4

3 Kondisi Umum RTB Kelurahan Katulampa 7

4 Kondisi Umum RTB Kelurahan Sempur 8

5 Kondisi Umum RTB Kelurahan Kedunghalang 8

6 Kondisi Umum RTB Kelurahan Karadenan 10

(16)
(17)

8 Kondisi Umum RTB Kelurahan Waringin Jaya 11 9 Kondisi Umum RTB Kelurahan Bukit Duri 12

10 Kondisi Umum RTB Kelurahan Kampung Melayu 12

11 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan 16

12 Persepsi Masyarakat tentang istilah RTB 16

13 Persepsi Masyarakat tentang Pengertian Ruang Terbuka Biru 17

14 Penilaian masyarakat terhadap baik atau buruknya konsep WFL 19

15 Penilaian masyarakat terhadap baik atau buruknya konsep WBL 19

16 Persepsi masyarakat terhadap praktik WFL di daerah tempat tinggalnya 20

17 Persepsi masyarakat terhadap praktik WBL di daerah tempat tinggalnya 20

18Persepsi masyarakat terhadap fungsi Sungai Ciliwung 22

19 Persepsi masyarakat tentang penyebab buruknya kondisi Sungai 23 Ciliwung saat ini

20 Persepsi masyarakat tentang pengaruh aktivitas masyarakat terhadap 24 sungai

21 Persepsi masyarakat tentang organisasi/komunitas masyarakat 25 setempat terkait sungai di daerah tempat tinggal

22 Preferensi masyarakat tentang partisipasi dalam pengelolaan RTB 26

23 Preferensi masyarakat tentang sosialisasi RTB 27

24 Poster yang digunakan dalam penelitian 29

25 Leaflet yang digunakan dalam penelitian 30

26 Spanduk yang digunakan dalam penelitian 31 27 Preferensi masyarakat terhadap media rekayasa sosial 32 28 Perbedaan persepsi masyarakat tentang pengertian RTB sebelum dan 33 setelah implementasi rekayasa sosial

29 Perbedaan persepsi masyarakat tentang istilah WFL sebelum dan 33 setelah implementasi rekayasa sosial

30 Perbedaan persepsi masyarakat tentang istilah WBL sebelum dan 34 setelah implementasi rekayasa sosial

(18)
(19)

32 Perbedaan persepsi masyarakat terhadap praktik WFL di daerah tempat 36 tinggalnya sebelum dan setelah implementasi rekayasa sosial

33 Perbedaan persepsi masyarakat terhadap praktik WBL di daerah tempat 36 tinggalnya sebelum dan setelah implementasi rekayasa sosial

34 Perbedaan persepsi masyarakat terhadap fungsi Sungai Ciliwung 37 sebelum dan setelah implementasi rekayasa sosial

35 Perbedaan persepsi masyarakat tentang penyebab buruknya kondisi 38 Sungai Ciliwung saat ini sebelum dan setelah implementasi rekayasa

sosial

36 Perbedaan persepsi masyarakat tentang pengaruh aktivitas masyarakat 39 terhadap Sungai sebelum dan setelah implementasi rekayasa social

37 Preferensi masyarakat tentang partisipasi dalam pengelolaan RTB 39 sebelum dan setelah implementasi rekayasa sosial

38 Preferensi masyarakat tentang sosialisasi RTB sebelum dan setelah 40 implementasi rekayasa social

39 Urutan prioritas media rekayasa sosial yang efektif berdasarkan 40 preferensi masyarakat sebelum dan setelah implementasi rekayasa sosial

40 Contoh (a) legibility (b) readibility (c) clarity 44

41 Ukuran standar media informasi ruang luar 46

42 Jarak pandang normal antara pengamat dan media 47

43 ilustrasi lokasi peletakan spanduk (a) di dekat persimpangan jalan 49 (b) di jalur hijau pinggir sungai pada area perumahan

(20)
(21)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kearifan lokal masyarakat Indonesia telah mempercayai bahwa air adalah sumber kehidupan (Arifin 2014). Sumber air tersebut dapat berupa tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah (Permen PU PR No.6/PRT/M/2015) atau dikenal sebagai Ruang Terbuka Biru (RTB). Ruang Terbuka Biru merupakan cekungan-cekungan atau lembah-lembah yang sangat potensial sebagai wadah menampung air dan dapat berupa aliran-aliran air yang bergerak seperti sungai besar yang dapat menampung air dengan cepat (Arifin 2014).

Salah satu RTB yang memiliki pengaruh besar dalam keberlanjutan pembangunan kota di wilayah Jabodetabek adalah Sungai Ciliwung. Sungai ini membentang dari selatan ke utara melintasi Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, dan bermuara di Kota Jakarta. Sejak dulu, Sungai Ciliwung telah berperan menjadi sumber kehidupan utama masyarakat dan merupakan sungai indah berair jernih yang mengalir di tengah kota. Namun, tingginya pembangunan dan pertumbuhan penduduk di Jabodetabek menjadikan Sungai Ciliwung mengalami degradasi baik secara kualitas maupun kuantitas. Kualitas Sungai Ciliwung sudah memburuk dan tercemar yang disebabkan oleh limbah domestik maupun industri, sedangkan secara kuantitas debit Sungai Ciliwung tidak lagi stabil karena berubahnya peruntukan lahan di sepanjang bantaran Sungai Ciliwung, sehingga resapan air tidak terjadi lagi (PUSARPEDAL, 2012). Hal ini merupakan akibat dari besarnya pola perubahan lahan pada periode waktu 30 tahun di DAS Ciliwung yaitu perubahan dari badan air/RTB menjadi lahan permukiman sebesar 76,39% dari total luasan badan air/RTB yang berubah (Arifin 2013), serta berkembangnya mindset yang salah di masyarakat terhadap Ruang Terbuka Biru, yang menganggap lanskap sungai sebagai bagian „belakang‟ (water back landscape) dalam kehidupan sehari-hari, yakni membangun fasilitas, infrastuktur, sarana prasarana, gedung dan bangunan yang selalu membelakangi lanskap badan air sehingga sungai menjadi bagian belakang, bagian kotor dan tempat pembuangan segala jenis kotoran (Arifin 2014).

(22)

2

memfokuskan kajiannya pada usulan penerapan strategi rekayasa sosial yang efektif untuk merubah mindset masyarakat terhadap RTB, sehingga tercipta persepsi dan cara pandang yang sama terhadap upaya pengelolaan lanskap RTB di masyarakat.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu :

1. Menganalisis persepsi dan preferensi masyarakat terhadap pentingnya keberadaan RTB di bantaran Sungai Ciliwung.

2. Menganalisis efektifitas implementasi rekayasa sosial untuk perlindungan RTB

3. Menyusun strategi pengelolaan RTB di bantaran Sungai Ciliwung

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini adalah rekomendasi strategi pengelolaan Ruang Terbuka Biru berdasarkan efektifitas implementasi rekayasa sosial pada masyarakat di bantaran Sungai Ciliwung. Oleh karena itu, rekomendasi penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan dan saran bagi masyarakat, pihak swasta, maupun pemerintah dalam merubah mindset tentang RTB yang ada di masyarakat dengan sosialisasi/pendekatan menggunakan alat rekayasa sosial yang efektif.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada kajian mengenai rekomendasi penerapan rekayasa sosial yang efektif sebagai alat pendukung dalam pengelolaan lanskap RTB. Bahan-bahan rekayasa sosial yang digunakan dalam penelitian ini disusun berdasarkan hasil penelitian RTB sebelumnya. Oleh karena itu, lingkup wilayah yang dijadikan fokus dalam penelitian ini adalah wilayah yang telah dipilih pada penelitian sebelumnya dengan mempertimbangkan aspek sosial masyarakat yang tinggal di daerah bantaran Sungai Ciliwung.

Kerangka Pikir Penelitian

(23)

3

Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di daerah bantaran Sungai Ciliwung yang terletak di Kota Bogor, Kabupaten Bogor, dan Kota Jakarta. Menurut Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai, yang dimaksud bantaran sungai adalah ruang antara tepi palung sungai dan kaki tanggul sebelah dalam yang terletak di kiri dan/atau kanan palung sungai dan berfungsi sebagai ruang penyalur banjir sehingga sering disebut pula sebagai bantaran banjir. Oleh karena itu, di bantaran sungai seharusnya dilarang didirikan bangunan untuk hunian atau sebagai tempat pembuangan sampah (Yulaelawati, 2008). Lokasi sampel pada penelitian ini, termasuk pada wilayah yang terletak di daerah sungai yang memiliki bantaran banjir sempit (bagian tengah) dan bantaran banjir lebar (bagian hilir), lebar bantarannya diukur selebar muka air pada waktu banjir maksimum yang melimpah ke kedua sisi sungai (Santosa, 2013).

Pemilihan lokasi kelurahan sampel ditentukan berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dengan mempertimbangkan aspek sosial masyarakat serta ditemukannya praktik water back landscape pada lokasi penelitian. Jumlah lokasi kelurahan sampel yang dipilih sebanyak tiga kelurahan di Kota Bogor (Kelurahan Katulampa, Kelurahan Sempur, dan Kelurahan Kedunghalang), tiga kelurahan di Kabupaten Bogor (Kelurahan Karadenan, Kelurahan Waringin Jaya, dan Kelurahan Sukahati), dan dua kelurahan di Kota Jakarta (Kelurahan Bukit Duri dan Kelurahan Kampung Melayu). Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan dari bulan April hingga November 2015 (Gambar 2).

Sungai Ciliwung merupakan

Analisis persepsi dan preferensi masyarakat terhadap RTB

Menyusun rekomendasi strategi pengelolaan RTB Implementasi rekayasa sosial pengelolaan RTB

(24)

4

Gambar 2 Peta Lokasi Penelitian

Alat dan Bahan

Penelitian ini menggunakan peralatan baik perangkat keras maupun perangkat lunak. Perangkat keras digunakan saat survey lapang dilakukan, sedangkan perangkat lunak digunakan saat persiapan bahan dan pengolahan data (Tabel 1). Tabel 1 Alat dan Bahan Penelitian yang Digunakan

Alat Kegunaan

Perangkat Keras (hardware)

Kamera digital Membantu pengambilan data visual dari kondisi lapang

Perangkat Lunak (software)

Adobe Photoshop CS6 Membantu proses pembuatan spanduk, poster dan leaflet

ArcMap 9.3

Microsoft Excel 2013

Membantu pembuatan peta lokasi

Membantu proses pengolahan data hasil lapang

Bahan Kegunaan

Peta Dasar Menunjang data spasial

Kuesioner Memperoleh data persepsi dan preferensi masyarakat Spanduk, poster, leaflet,

slide presentasi, video

(25)

5

Dalam mendukung proses analisis, pada penelitian ini digunakan berbagai jenis data penunjang yang berkaitan dengan lokasi penelitian. Data yang dikumpulkan untuk penelitian ini meliputi data umum dan data sosial (Tabel 2). Tabel 2 Jenis data yang dikumpulkan

Metode penelitian dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga bagian berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, yaitu :

Menganalisis persepsi masyarakat terhadap pentingnya keberadaan RTB di bantaran Sungai Ciliwung

Analisis persepsi dan preferensi masyarakat terhadap RTB dilakukan dengan teknik pengumpulan data secara kualitatif, yaitu survei lapang, studi pustaka, wawancara dan kuesioner. Penelitian diawali dengan survei lapang untuk memverifikasi hasil penelitian sebelumnya dan cross-checking data pustaka yang diperoleh. Wawancara dan pengambilan data melalui kuesioner dilakukan dengan menggunakan metode purposive random sampling, yaitu pengambilan sampel responden dengan memilih secara acak pihak-pihak yang memiliki pengaruh besar bagi masyarakat di delapan titik lokasi penelitian (Ketua RT/RW atau organisasi masyarakat setempat) yang letak RT/RW-nya cukup dekat dengan Sungai Ciliwung, yaitu di daerah bantaran Sungai Ciliwung dengan jarak sekitar 10-30 meter dari bibir sungai. Wawancara dan kuesioner dilakukan kepada 70 responden, dengan rincian 30 responden di Kota Bogor, 20 responden di Kabupaten Bogor, dan 20 responden di Kota Jakarta. Responden cukup bervariasi dalam hal usia, pendidikan, dan jenis pekerjaan. Kuesioner terdiri dari 30 pertanyaan yang terbagi menjadi 3 bagian utama: 1) identitas responden, 2) persepsi responden terhadap RTB, dan 3) preferensi responden terhadap alat rekayasa sosial.

Menganalisis efektifitas implementasi rekayasa sosial untuk perlindungan RTB

(26)

6

dengan tujuan menemukan makna sebuah tema menurut pemahaman suatu kelompok berdasarkan hasil diskusi yang terpusat pada suatu permasalahan tertentu. Kelompok yang terlibat dalam penelitian ini adalah masyarakat bantaran Sungai Ciliwung pada delapan titik lokasi penelitian yang sebelumnya sudah diwawancara dan diberi kuesioner sesuai dengan tujuan 1. Di dalam proses FGD, masyarakat diberikan informasi melalui slide presentasi dan video mengenai pentingnya keberadaan RTB khususnya Sungai Ciliwung dalam mendukung keberlanjutan pertumbuhan kota di wilayah Jabodetabek, serta ditunjukkan leaflet, poster dan spanduk sebagai alat bantu dalam implementasi rekayasa sosial. Pada akhir FGD, responden diberikan kuesioner kembali untuk mengetahui efektifitas dari FGD dan alat-alat social engineering yang telah diberikan. Selanjutnya dilakukan analisis secara deskriptif untuk menggambarkan persepsi dan preferensi masyarakat terhadap RTB berdasarkan hasil kuesioner sebelum dan setelah FGD.

FGD pada penelitian ini dilakukan sebanyak 4 kali sebagai perwakilan di setiap wilayah, yaitu 2 kali di Kota Bogor (Kelurahan Sempur dan Kelurahan Katulampa) dan 2 kali di Kabupaten Bogor (Kelurahan Karadenan dan Waringin Jaya). FGD dihadiri oleh Ketua RT/RW dan Ketua/anggota organisasi masyarakat setempat dengan jumlah peserta 4-6 orang di setiap lokasi. Namun, FGD tidak dilakukan di Kota Jakarta karena ditemukan beberapa kendala, yaitu kondisi lapang yang tidak kondusif seiring dengan dilaksanakannya relokasi masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung pada lokasi penelitian di Kota Jakarta (Kelurahan Bukit Duri dan Kelurahan Kampung Melayu).

Menyusun strategi pengelolaan RTB di bantaran Sungai Ciliwung

Strategi pengelolaan RTB di bantaran Sungai Ciliwung disusun berdasarkan hasil survei, wawancara dan FGD, serta hasil analisis persepsi dan preferensi masyarakat mengenai RTB. Rekomendasi yang dibuat berupa teknik pengelolaan RTB dengan melihat dari aspek sosial masyarakat, yaitu berupa strategi penerapan alat rekayasa sosial yang efektif untuk mengajak dan menarik minat masyarakat peduli terhadap RTB. Penyusunan strategi didahului dengan dilakukannya FGD dan pemaparan alat-alat rekayasa sosial berupa leaflet dan poster, menampilkan video dan slide presentasi, serta penjelasan isi spanduk, yaitu untuk menguji apakah implementasi rekayasa sosial melalui FGD efektif dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang RTB dan untuk mengetahui pendapat masyarakat terkait media mana yang paling efektif dalam upaya merubah mindset dan respon masyarakat terhadap permasalah RTB saat ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Situasional

Kondisi Geografis Kota Bogor

(27)

7

permukaan laut (mdpl). Kota Bogor dialiri oleh aliran Sungai Ciliwung dengan sebaran luas sebesar 3.500,82 ha yang termasuk kedalam wilayah DAS Ciliwung bagian tengah (BPDAS Citarum Ciliwung, 2013). Daerah bantaran Sungai Ciliwung di Kota Bogor didominasi oleh permukiman. Hal ini disebabkan karena bertambahnya kebutuhan akan lahan seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Adapun beberapa kecamatan di Kota Bogor yang dilalui oleh aliran Sungai Ciliwung, diantaranya adalah Kecamatan Bogor Selatan, Kecamatan Bogor Tengah, Kecamatan Bogor Timur, Kecamatan Bogor Utara, dan Kecamatan Tanah Sereal. Pada penelitian ini telah dipilih tiga sampel kelurahan yang mewakili tiga kecamatan, yaitu Kelurahan Katulampa, Kelurahan Sempur, dan Kelurahan Kedunghalang (Tabel 3).

Tabel 3 Data umum masing-masing kelurahan di Kota bogor

No. Kecamatan Kelurahan Luas (ha) Jumlah Penduduk (jiwa)

1. Bogor Timur Katulampa 491 31.421

2. Bogor Tengah Sempur 63 8.053

3. Bogor Utara Kedunghalang 192 22.508

Sumber : BPS Kecamatan Bogor Tengah, Bogor Timur, dan Bogor Utara (2015)

Kelurahan Katulampa didominasi oleh area permukiman berpenduduk padat dan perumahan. Diantara permukiman tersebut mengalir Sungai Ciliwung yang sangat bermanfaat bagi masyarakat setempat, terutama sebagai sumber air bagi kehidupan sehari-hari. Secara umum, kondisi lanskap sungai/RTB di Kelurahan Katulampa tergolong cukup baik karena masih terdapat RTH dan areal pertanian seperti sawah dan kebun, namun sebagian besar pembagunannya masih berorientasi water back landscape. Berdirinya bangunan Bendung Katulampa di kelurahan ini menjadikan Kelurahan Katulampa sering dikunjungi oleh peneliti dari dalam maupun luar negri, terutama saat musim hujan di Kota Bogor. Bendungan Katulampa ini berfungsi untuk memantau ketinggian air di Sungai Ciliwung yang akan di alirkan ke Jakarta, serta berfungsi sebagai sistem irigasi yang mengalirkan air dari Sungai Ciliwung melalui Kali Baru ke areal perasawahan yang berada di antara Kota Bogor dan Kota Jakarta. Namun seiring dengan menurunnya luasan areal persawahan, saat ini Kali Baru dimanfaatkan sebagai ruang aktivitas bagi masyarakat setempat seperti mandi, cuci, kakus (MCK), memancing, dan bermain (Gambar 3).

Gambar 3 Kondisi Umum RTB Ciliwung di Kelurahan Katulampa (a) sempadan sungai dipadati oleh bangunan (b) RTH di sekitar bantaran sungai (c) kondisi

pintu air katulampa saat musim hujan

(28)

8

Kelurahan Sempur merupakan kelurahan yang berada di pusat Kota Bogor. Luas wilayah kelurahan yang terletak di daerah bantaran Sungai Ciliwung yaitu seluas 5 ha dan didominasi oleh permukiman. Letak Sungai Ciliwung di Kelurahan Sempur terbilang cukup strategis, karena berada diantara permukiman dan perumahan, serta fasilitas umum seperti jalan raya, lapangan olahraga, dan taman publik. Secara umum, kondisi lanskap sungai/RTB di Kelurahan Sempur tergolong cukup baik karena masih terdapat Ruang Terbuka Hijau (RTH) di sekitar bantaran sungai, namun pengembangannya masih berorientasi water back landscape. Di area pinggiran sungai terdapat beberapa kolam/tambak ikan milik warga sebagai bentuk RTB lain di Kelurahan Sempur (Gambar 4). Dalam kesehariannya, keberadaan sungai dimanfaatkan untuk kegiatan rekreasi seperti memancing dan duduk/jalan santai di pinggir sungai, kegiatan sosial seperti gotong royong membersihkan sampah setiap minggu serta kegiatan menambang pasir untuk mata pencaharian.

Gambar 4 Kondisi Umum RTB Ciliwung di Kelurahan Sempur (a) sempadan sungai dipadati oleh bangunan (b) RTH di sekitar bantaran sungai (c) kolam atau

tambak ikan milik warga

Gambar 5 Kondisi Umum RTB Ciliwung di Kelurahan Kedunghalang (a, b) RTH di sekitar bantaran sungai (c) aktivitas warga yang menambang pasir

Kelurahan Kedunghalang merupakan kelurahan yang berbatasan langsung dengan wilayah Kabupaten Bogor, sehingga letaknya jauh dari pemerintahan pusat Kota Bogor. Kelurahan Kedunghalang didominasi oleh area permukiman. Kondisi lanskap RTB di Kelurahan Katulampa masih cukup alami, meskipun sebagian bantaran sudah dipadati perumahan dan jalan. Secara umum

a

b

c

(29)

9

pembangunannya masih berorientasi water back landscape walaupun letak bangunan rumah penduduk tidak langsung berbatasan dengan tepi sungai. Hal ini menyebabkan masyarakat setempat jarang beraktivitas di sekitar sungai. Berdasarkan hasil yang ditemukan di lapang, sungai dimanfaatkan untuk area menambang pasir sebagai sumber mata pencaharian mereka (Gambar 5).

Kondisi Geografis Kabupaten Bogor

Secara geografis Kabupaten Bogor terletak di antara 6º18'0-6º47'10 Lintang Selatan dan 106º23'45- 107º13'30 Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten Bogor adalah sebesar 298.838.304 ha. Suhu udara rata-rata tahunan di Kabupaten Bogor adalah 25° C dengan curah hujan rata-rata 2500-5000 mm/tahun. Secara umum, wilayah Kabupaten Bogor berada pada ketinggian berkisar antara 15-2500 meter di atas permukaan laut (mdpl), dengan tipe morfologi wilayah yang bervariasi yaitu dataran tinggi di bagian selatan dan dataran yang relatif rendah di bagian utara. Menurut BPDAS Citarum Ciliwung tahun 2013, sebagian besar wilayah Kabupaten Bogor termasuk kedalam wilayah DAS Ciliwung Hulu dan sebagian kecil termasuk kedalam wilayah DAS Ciliwung Tengah dengan total sebaran luas sebesar 19.884,08 ha. Daerah bantaran Sungai Ciliwung di Kabupaten Bogor dipadati oleh permukiman, namun daerah kiri kanan sungai masih dibiarkan alami dan didominasi oleh deretan pohon bambu. Beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor dilalui oleh aliran Sungai Ciliwung, dua diantaranya adalah Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Bojonggede yang telah dipilih sebagai lokasi titik sampel dalam penelitian ini (Tabel 4).

Tabel 4 Data umum masing-masing kelurahan di Kabupaten bogor

No. Kecamatan Kelurahan Luas (ha) Jumlah Penduduk (jiwa)

1. Cibinong Karadenan 404 27.500

2. Cibinong Sukahati 469 27.024

3. Bojonggede Waringin Jaya 170 11.884

Sumber : BPS Kecamatan Cibinong dan Bojonggede (2014)

(30)

10

Gambar 6 Kondisi Umum RTB Ciliwung di Kelurahan Karadenan (a) view sungai dari salah satu halaman rumah warga (b,c) RTH di sekitar bantaran sungai

Kelurahan Sukahati merupakan kelurahan yang berbatasan langsung dengan Kelurahan Karadenan di bagian selatan. Kelurahan ini memiliki karaktersitik dan kondisi lanskap RTB yang hampir sama dengan Kelurahan Karadenan, namun penggunaan lahannya lebih di dominasi oleh perumahan sehingga jarang ditemukan masyarakat yang beraktivitas di sungai. Secara fisik, sungai di Kelurahan Sukahati lebih lebar dibanding dua sampel kelurahan lainnya di Kabupaten Bogor. Daerah kiri dan kanan sungai didominasi oleh lahan curam dan deretan pohon bambu, serta sebagian lahan datar akibat longsor dan sedimentasi (Gambar 7).

Gambar 7 Kondisi Umum RTB Ciliwung di Kelurahan Sukahati (a,b) deretan pohon bambu di kanan dan kiri sungai

Kelurahan Waringin jaya terletak bersebrangan dengan Kelurahan Karadenan, yakni dibatasi oleh aliran Sungai Ciliwung. Daerah bantaran sungainya dipatadati oleh permukiman penduduk, tetapi masih terdapat RTH yang dibiarkan alami di sekitar sungai. Masyarakat yang beraktivitas di sekitar sungai jarang sekali ditemui di Kelurahan Waringin Jaya, masyarakat setempat lebih aktif melakukan aktivitas lingkungan di sekitar rumah mereka seperti pembuatan lubang biopori dan penyuluhan pemilahan sampah. Namun, tidak adanya fasilitas pembungan sampah di wilayah Kelurahan Waringin Jaya menyebabkan masih adanya perilaku masyarakat yang menumpuk sampah dipinggir sungai dan menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan mereka (Gambar 8).

.

a

b

(31)

11

Gambar 8 Kondisi Umum RTB Ciliwung di Kelurahan Waringin Jaya (a, b) RTH di sekitar bantaran sungai (c) tumpukan sampah warga di bantaran sungai

Kondisi Geografis Kota Jakarta

Kota Jakarta merupakan wilayah yang berada pada ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut dengan luas wilayah sekitar 661,52 km². Pada umumnya, Kota Jakarta merupakan kota yang beriklim panas memiliki suhu udara berkisar antara 23,8-34°C dan curah hujan 237,96 mm/tahun (Perda DKI Jakarta No. 1 Tahun 2008). Kota Jakarta memiliki sebaran luas DAS Ciliwung terbesar kedua setelah Kabupaten Bogor, yaitu sebesar 9517,8 ha (BPDAS Citarum Ciliwung, 2013). Sungai Cilwung mengalir ditengah-tengah Kota Jakarta dan bermuara di Teluk Jakarta. Daerah bantaran Sungai di Kota Jakarta dikelilingi oleh permukiman kumuh padat penduduk yang menjadikan sungai sebagai bagian belakang dari tempat tinggal mereka (water back landscape). Terdapat 21 kecamatan yang dilalui oleh Sungai Ciliwung, dua diantaranya seringkali terjadi banjir yaitu Kelurahan Bukit Duri, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan dan Kelurahan Kampung Melayu, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur telah dipilih sebagai lokasi sampel dalam penelitian ini (Tabel 5).

Tabel 5 Data umum masing-masing kelurahan di Kota Jakarta

No. Kecamatan Kelurahan Luas (ha) Jumlah Penduduk (jiwa)

1. Tebet

Sumber : BPS Kota Jakarta timur dan Jakarta Selatan (2015)

Kelurahan Bukit Duri dan Kelurahan Kampung Melayu termasuk kedalam wilayah permukiman yang padat penduduk. Akses menuju permukiman di Kelurahan Bukit Duri termasuk mudah, karena terdapat fasilitas jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan roda empat, sementara akses menuju permukiman di Kampung Melayu hanya berupa gang-gang kecil yang dapat dilalui dengan berjalan kaki atau menggunakan kendaraan roda dua. Kedua kelurahan ini terletak bersebrangan, yakni dibatasi oleh aliran Sungai Ciliwung. Daerah bantaran Sungai Ciliwung di di kedua kelurahan sudah dipadati oleh deretan rumah tinggal yang dibangun membelakangi sungai (water back landscape), oleh karena itu kondisi lanskap RTB pada kedua kelurahan tersebut sangat buruk. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya lahan ruang terbuka yang tersisa, kualitas air yang tercemar

(32)

12

dan berwarna coklat, serta tumpukan sampah di kiri dan kanan sungai (Gambar 9 dan 10). Namun demikian, keberadaan Sungai Ciliwung masih dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai sumber air untuk mencuci, mandi, dan buang air. Berdasarkan hasil survey lapang, saat ini sebagian wilayah di Kelurahan Kampung Melayu sedang dilakukan normalisasi sungai sehingga masyarakat yang bermukim di bantaran sungai sudah di relokasi ke rumah susun. Sementara untuk wilayah lainnya termasuk Kelurahan Bukit Duri akan di relokasi kemudian

Gambar 9 Kondisi Umum RTB Ciliwung di Kelurahan Bukit Duri (a) sempadan sungai dipadati oleh bangunan yang membelakangi sungai (b) salah satu alat transportasi air untuk menyebrangi sungai (c) lahan kosong di pinggir sungai

dijadikan tempat menumpuk barang bekas dan kandang burung

Gambar 10 Kondisi Umum RTB Ciliwung di Kelurahan Kampung Melayu (a) sempadan sungai dipadati oleh bangunan yang membelakangi sungai

(b, c) tumpukan sampah di kiri dan kanan sungai

Kondisi Demografis

Karakteristik Masyarakat

Karakteristik demografis masyarakat pada masing-masing sampel kelurahan dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan perhitungan yang mengacu pada Standar Nasional Indonesia tentang Tata cara perencanaan lingkungan perumahan di perkotaan (2004), dapat diketahui bahwa ketiga kelurahan di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor termasuk kawasan dengan kepadatan rendah yaitu kurang dari 150 jiwa per hektar, sementara dua kelurahan di Kota Jakarta

a

b

c

(33)

13

termasuk dalam kawasan dengan kategori kepadatan tinggi hingga sangat padat yaitu berkisar antara 300 sampai lebih dari 400 jiwa per hektar. Data tersebut menunjukkan bahwa telah terjadinya persebaran penduduk yang tidak merata pada ketiga lokasi utama yang menjadi wilayah sampel. Persebaran penduduk yang tidak merata dapat berpengaruh terhadap kualitas lingkungan hidup, yaitu eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan yang akan mengganggu keseimbangan alam. Salah satunya adalah terjadinya perubahan tata guna lahan untuk kebutuhan kawasan terbangun.

Arifin (2013) menyebutkan bahwa pola perubahan lahan terbesar pada periode waktu 30 tahun di DAS Ciliwung adalah perubahan dari badan air/RTB menjadi lahan permukiman yaitu sekitar 76,39% dari total luasan badan air/RTB yang berubah. Hal tersebut dikarenakan kebutuhan manusia akan lahan yang semakin besar sementara jumlah lahan semakin terbatas, sehingga lahan-lahan yang seharusnya dimanfaatkan sebagai kawasan penyangga seperti daerah bantaran sunagi terkonversi menjadi kawasan permukiman, khususnya bagi masyarakat dengan pendapatan menengah kebawah. Hal ini menyebabkan munculnya konsep water back landscape atau membangun fasilitas, infrastuktur, sarana prasarana, gedung dan bangunan yang selalu membelakangi lanskap badan air sehingga sungai menjadi bagian belakang, bagian kotor dan tempat pembuangan segala jenis kotoran (Arifin 2014). Selain itu, Berkembangnya bantaran sungai sebagai kawasan permukiman membawa dampak menurunnya fungsi bantaran sungai sebagai retarding pond, ancaman bencana banjir dan tanah longsor, menurunnya kualitas lingkungan dan fungsi-fungsi lestari kawasan (Rahmadi 2009) dan terjadilah pencemaran sungai.

Tabel 6 Karakteristik masyarakat berdasarkan jenis kelamin dan kepadatan penduduk

2. Katulampa 15834 15587 31.421 63,99 101,58

3. Kedunghalang 11405 11103 22.508 117,23 102,72

Kabupaten Bogor

1. Karadenan 14138 13362 27.500 68,07 105,81

2. Sukahati 14009 13015 27.024 57,62 107,64

3. Waringin Jaya 6075 5809 11.884 69,91 104,58

Kota Jakarta

1. Bukit Duri 21313 20545 41.860 387,59 104 2. Kampung Melayu 15701 14715 30.416 633,7 107

Sumber : BPS Kota Bogor (2015), BPS Kabupaten Bogor (2014), BPS Kota Jakarta selatan dan Jakarta Timur (2015)

(34)

14

Dalam analisis demografi, struktur umur penduduk dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu (a) kelompok umur muda, dibawah 15 tahun; (b) kelompok umur produktif, usia 15 – 64 tahun; dan (c) kelompok umur tua, usia 65 tahun ke atas (Tjiptoherijanto 2001). Berdasarkan Tabel 7, dapat diketahui bahwa struktur penduduk pada lokasi penelitian di Kota bogor, Kabupaten Bogor, dan Kota Jakarta terkonsentrasi pada penduduk dengan usia produktif yaitu pada rentang umur 15-64 tahun. Responden dalam penelitian ini rata-rata termasuk penduduk dengan kelompok usia tersebut. Jumlah responden pada penelitian ini adalah 70 orang, dengan komposisi responden yang berusia 15-64 tahun sebanyak 65 orang dan diatas 65 tahun sebanyak 5 orang.

Tabel 7 Karakteristik Masyarakat Sampel Berdasarkan Usia

Kelurahan Katulampa (2012), laporan profil desa dan Kelurahan Kedunghalang (2014), laporan profil desa dan Kelurahan Karadenan (2015), laporan profil desa dan Kelurahan Sukahati (2015), laporan profil desa dan Kelurahan Waringin Jaya (2015), laporan profil desa dan Kelurahan Bukit Duri (2014), laporan profil desa dan Kelurahan Kampung Melayu (2014)

(35)

15

Mata Pencaharian

Kondisi sosial masyarakat pada ketiga lokasi utama yang menjadi wilayah sampel menunjukkan mata pencaharian yang beragam. Pada ketiga kelurahan sampel di wilayah Kota Bogor yaitu Kelurahan Sempur, Kelurahan Katulampa dan Kelurahan Kedunghalang mayoritas bermatapencaharian sebagai karyawan perusahaan swasta dan pemerintah, Pegawai Negri Sipil (PNS) dan TNI/POLRI, sehingga masyarakat sulit ditemui ketika hari kerja. Selain itu, ada masyarakat yang berprofesi sebagai petani dan buruh tani di Kelurahan Katulampa karena masih terdapat area yang cukup luas untuk bercocok tanam.

Mata pencaharian pada ketiga kelurahan sampel di wilayah Kabupaten Bogor sedikit berbeda dengan Kota Bogor. Pada Kelurahan Karadenan dan Kelurahan Sukahati mayoritas bermatapencaharian sebagai pedagang, pengrajin, buruh industri, dan sebagian kecil berprofesi sebagai PNS dan Petani. Sementara di Kelurahan Waringin Jaya mayoritas penduduknya bermatapencaharian sebagai petani, baik pemilik lahan, petani penggarap, maupun buruh tani. Semakin beragamnya mata pencaharian ini juga menjadi faktor sulitnya memperoleh responden pada hari-hari tertentu, karena jam kerja setiap profesi yang berbeda.

Namun jika dibandingkan dengan Kota Bogor dan Kabupaten Bogor, pencarian responden di Kota Jakarta khususnya dalam dua kelurahan yang menjadi wilayah sampel jauh lebih sulit. Hal tersebut disebabkan oleh mata pencaharian penduduk di Kelurahan Bukit Duri dan Kelurahan Kampung Melayu di dominasi oleh pedagang, baik sebagai pedagang kecil di pasar maupun home industry seperti usaha pembuat tempe, tahu, dan tauge, wartel/warnet, salon, pemilik warung rumahan/toko/bengkel, percetakan spanduk/souvenir, dan penyalur gas elpiji. Sehingga semakin sulit memperoleh responden karena mayoritas masyarakat setiap hari bekerja dengan jam pergi dan pulang yang tidak menentu.

Pendidikan

(36)

16

Gambar 11 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan

Analisis Persepsi Masyarakat

Persepsi Terhadap Ruang Terbuka Biru

Ruang Terbuka Biru (RTB) adalah cekungan-cekungan, lembah-lembah yang sangat potensial sebagai wadah menampung air. Mereka bisa berbentuk kolam/balong, setu/situ, embung, waduk, dam, atau danau serta aliran-aliran air yang bergerak mulai dari selokan, saluran irigasi, kanal hingga sungai besar yang dapat menampung air dengan cepat (Arifin 2014).

Gambar 12 Persepsi Masyarakat tentang Istilah Ruang Terbuka Biru

(37)

17

televisi dan mahasiswa, baik di Kota Bogor (3%), Kabupaten Bogor (5%), maupun Kota Jakarta (5%) (Gambar 12).

Pengertian masyarakat tentang Ruang Terbuka Biru jika dilihat dari persentase rata-rata sebesar 33% berpendapat bahwa RTB terkait dengan langit, 37% berpendapat terkait dengan air, dan sisanya 30% mengatakan tidak tahu apa yang dimaksud dengan RTB (Gambar 13). Dari hasil tersebut terlihat bahwa jumlah persentase responden yang menjawab RTB tidak terkait dengan air lebih besar dibandingkan dengan yang menyebutkan bahwa RTB tekait dengan badan air. Hasil tersebut menunjukkan bahwa istilah RTB secara umum merupakan istilah baru bagi masyarakat, sehingga responden memiliki persepsi yang berbeda-beda terkait istilah tersebut.

Gambar 13 Persepsi Masyarakat tentang Pengertian Ruang Terbuka Biru

Responden yang menjawab tidak tahu, memberikan berbagai macam pendapat tentang pengertian RTB sesuai dengan persepsi masing-masing. Tidak sedikit yang berpendapat bahwa RTB berkaitan dengan lingkungan, kebersihan dan keindahan, namun tidak menyebutkan berhubungan dengan badan air. Responden yang menjawab bahwa RTB berkaitan dengan badan air pun masih belum bisa dikatakan tahu dan paham tentang RTB, karena banyak yang belum bisa menyebutkan dan menginterpretasikan seperti apa bentuk-bentuk RTB. Hal tersebut terlihat dari responden yang menyatakan bahwa Sungai Ciliwung tidak atau belum termasuk salah satu bentuk RTB karena airnya tidak berwarna biru, melainkan coklat dan kotor. Pengertian sebagian besar masyarakat yang menjawab RTB berkaitan dengan air bahwa yang termasuk RTB hanyalah badan air yang berair jernih dan biasanya identik dengan warna biru.

Persepsi Terhadap Lanskap Muka Air dan Lanskap Belakang Air

(38)

18

keindahannya, kenyamanannya, dan keamanannya. Sementara lanskap belakang air atau water back landscape adalah membangun segala fasilitas, infrastuktur, sarana prasarana, gedung dan bangunan yang selalu membelakangi lanskap badan air sehingga sungai menjadi bagian belakang, bagian kotor dan tempat pembuangan segala jenis kotoran (Arifin 2014). Menurut Arifin (2015), fenomena water front landscape (WFL) dan water back landscape (WBL) ini merupakan dua paradigma yang dipengaruhi oleh persepsi, cara pandang dan perilaku masyarakat dalam mengelola lingkungannya, untuk itu perlu diketahui apakah kedua istilah tersebut telah dipahami dalam persepsi masyarakat pada kehidupan sehari-hari.

Tabel 8 Pengetahuan Masyarakat tentang Istilah water front landscape

Kota Bogor Kab.Bogor Kota Jakarta Persentase Rata-rata

Tidak tahu 50% 70% 45% 55%

Ragu-ragu 23% 15% 10% 16%

Ya, tahu 27% 15% 45% 29%

Tabel 9 Pengetahuan Masyarakat tentang Istilah water back landscape

Kota Bogor Kab.Bogor Kota Jakarta Persentase Rata-rata

Tidak tahu 58% 70% 35% 54%

Ragu-ragu 22% 15% 10% 16%

Ya, tahu 20% 15% 55% 30%

(39)

19

Gambar 14 Penilaian masyarakat terhadap baik atau buruknya konsep WFL

Gambar 15 Penilaian masyarakat terhadap baik atau buruknya konsep WBL

(40)

20

Selain itu dari sejumlah responden yang menjawab tahu istilah water front landscape, responden di ketiga lokasi penelitian menilai daerah tempat tinggalnya termasuk kedalam praktik water front landscape dengan persentase di Kota Bogor 50%, Kabupaten Bogor 33%, dan Kota Jakarta 44%. Sementara yang menjawab tidak termasuk kedalam praktik water front landscape hanya responden di Kabupaten Bogor (67%) dan Kota Jakarta (44%). Sisanya menyatakan ragu-ragu dengan persentase di Kota Bogor sebesar 50% dan Kota Jakarta 12% (Gambar 16). Sedangkan dari seluruh responden yang menjawab tahu istilah water back landscape, diantaranya responden di Kabupaten Bogor (67%) dan Kota Jakarta (82%) mayoritas menilai bahwa daerah tempat tinggalnya termasuk kedalam praktik water back landscape. Sementara responden di Kota Bogor mayoritas menyatakandaerah tempat tinggalnya tidak termasuk kedalam praktik water back landscape yaitu sebesar 67% dan 33% menjawab ragu-ragu (Gambar 17).

Gambar 16 Persepsi masyarakat terhadap praktik water front landscape di daerah tempat tinggalnya

(41)

21

Jawaban yang bervariasi menunjukkan bahwa masyarakat yang menjawab tahu istilah water front landscape dan water back landscape belum tentu memahami kedua konsep tersebut dalam kehidupan sehari-hari, khususnya pada daerah tempat tinggal mereka. Selain itu, jawaban responden yang tidak konsisten dalam menilai apakah daerah tempat tinggal mereka termasuk dalam praktik water front landscape atau water back landscape juga membuktikan bahwa masyarakat belum mampu menginterpretasikan secara benar tentang kedua istilah tersebut. Kemungkinannya, mereka memberikan penilaian setelah membuat persepsi sendiri berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan pada pertanyaan sebelumnya, yaitu mempersepsikan istilah water front landscape dan water back landscape hanya terkait dengan orientasi bangunan dan perilaku membuang sampah/ limbah, bukan berdasarkan kualitas dan fungsi Sungai Ciliwung serta persepsi dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Untuk itu, responden pada setiap wilayah memiliki persepsi yang berbeda karena perbedaan perilaku yang mereka lakukan terhadap sungai terkait perilaku membuang sampah, meskipun orientasi bangunan di Kota Bogor, Kabupaten Bogor, maupun Kota Jakarta mayoritas membelakangi sungai.

Persepsi Terhadap Fungsi Sungai Ciliwung bagi Masyarakat

Berkaitan dengan Sungai Ciliwung, hasil survey menunjukkan persentase sebesar 56% responden yang menyatakan bahwa fungsi Sungai Ciliwung sebagai sumber air bagi kehidupan mereka, 37% responden menyatakan sebagai jalur transportasi air, 39% responden sebagai tempat untuk rekreasi, 11% responden sebagai bagian belakang rumah, dan 60% responden sebagai tempat pembuangan dan MCK (Gambar 18). Dilihat dari hasil tersebut, sebagian besar responden cenderung menganggap fungsi Sungai Ciliwung sebagai tempat pembuangan sampah dan MCK. Dengan alasan tidak tersedianya fasilitas untuk menampung dan mengelola sampah yang dihasilkan masyarakat setempat. Air sungai juga dimanfaatkan sebagai tempat untuk mandi, cuci pakaian dan peralatan dapur, serta buang air besar yang seluruh pembuangan akhirnya menuju sungai dan berpotensi menyebabkan pencemaran pada air sungai. Di sisi lain, sebagian besar responden juga menyatakan fungsi sungai sebagai sumber air bersih yang mengalir untuk mengisi sumur-sumur milik masyarakat setempat, serta tidak sedikit yang masih menganggap fungsi sungai sebagai jalur transportasi air yaitu sebagai sarana penyebrangan dengan menggunakan perahu kayu, dan tempat rekreasi seperti jalan-jalan dan duduk santai. Namun, hanya sedikit responden yang mengaku fungsi sungai sebagai bagian belakang dari rumah mereka. Hal tersebut dikarenakan ketidakpahaman masyarakat mengenai konsep lanskap belakang air atau water back landscape.

(42)

22

Sungai Ciliwung. Padahal menurut Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai, menyebutkan seharusnya sungai sebagai sumber air merupakan salah satu sumber daya alam yang mempunyai fungsi serbaguna bagi kehidupan dan penghidupan manusia yang harus dilindungi dan dijaga kelestariannya, ditingkatkan fungsi dan kemanfaatannya, dan dikendalikan daya rusaknya terhadap lingkungan.

Gambar 18 Persepsi masyarakat terhadap fungsi Sungai Ciliwung

Persepsi Terhadap Kondisi Sungai Ciliwung

Berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner, hampir seluruh responden menyatakan bahwa keberadaan Sungai Ciliwung penting, namun kondisi Sungai Ciliwung saat ini sangat buruk yaitu mengalami penurunan secara kualitas dan fungsi. Hasil menunjukkan sebesar 80% responden menyatakan bahwa penyebab utama kondisi Sungai Ciliwung seperti saat ini adalah sampah/limbah, 50% responden menyatakan disebabkan oleh pembangunan di pinggir sungai, dan 21% responden menyatakan disebabkan oleh pengendapan yang mengkibatkan pendangkalan sungai (Gambar 19). Dilihat dari hasil tersebut, sebagian besar responden menyebutkan bahwa permasalahan utama yang menjadikan Sungai Ciliwung saat ini memprihatinkan adalah masalah sampah/limbah, baik yang di hasilkan rumah tangga (domestik) maupun industri dan dibuang langsung ke badan air, kemudian diikuti dengan dua masalah lain yaitu pembangunan di pinggir sungai dan pengendapan sungai.

(43)

23

masyarakat karena tidak memberlakukan sungai sebagaimana mestinya. Secara kuantitas, debit sungai yang fluktuatif menunjukkan bahwa bagian hulu DAS Ciliwung sudah mengalami kerusakan parah, yaitu perubahan tutupan lahan dari pepohonan menjadi lahan terbangun, sehingga tidak ada lagi area resapan air. Air hujan langsung masuk ke sungai sehingga air melimpah dan dapat menyebabkan banjir di hilir pada musim hujan dan kekeringan saat musim kemarau.

Gambar 19 Persepsi masyarakat tentang penyebab buruknya kondisi Sungai Ciliwung saat ini

(44)

24

hingga ke hilir, terutama kesadaran dari pihak-pihak yang menjadi penyumbang terbesar pada pencemaran Sungai Ciliwung saat ini.

Persepsi Terkait Aktivitas Masyarakat Terhadap Sungai Ciliwung

Secara umum, 90% dari total responden setuju bahwa kondisi Sungai Ciliwung saat ini dipengaruhi oleh aktivitas masyarakat terhadap sungai (Gambar 20). Persepsi tersebut menunjukkan bahwa mayoritas responden menyadari bahwa salah satu faktor penyebab rusak dan tercemarnya Sungai Ciliwung adalah kegiatan yang dilakukan masyarakat terhadap sungai, serta minimnya upaya dan kesadaran masyarakat setempat dalam menjaga kualitas dan fungsi sungai. Meskipun demikian, sebagian besar responden menyatakan bahwa sudah pernah dilakukan kegiatan yang berupaya untuk menjaga dan memelihara keberadaan sungai di daerah tempat tinggalnya, kegiatan tersebut diantaranya adalah gotong-royong membersihkan sungai dan area sekitarnya (mulung), menanam pohon di daerah pinggir sungai, pembuatan lubang biopori dan sumur resapan, serta upaya pengelolaan sampah agar tidak dibuang langsung ke sungai.

Gambar 20 Persepsi Masyarakat tentang Pengaruh Aktivitas Masyarakat Terhadap Sungai

(45)

25

dan ajakan yang dapat menarik minat masyarakat. Jika perlu disusun program pendukung sebagai upaya pemeliharaan Sungai Ciliwung yang berlaku wajib bagi seluruh wilayah yang dilalui oleh Sungai Ciliwung.

Berkaitan dengan organisasi/komunitas yang dibentuk oleh masyarakat setempat, secara keseluruhan 56% responden menyatakan bahwa tidak adanya organisasi/komunitas masyarakat setempat yang berupaya menjaga keberadaan Sungai Ciliwung, dan 44% menyatakan sudah ada organisasi/komunitas masyarakat setempat (Gambar 21).

Gambar 21 Persepsi Masyarakat tentang Organisasi/Komunitas Masyarakat Setempat terkait Sungai di Daerah Tempat Tinggal

Hasil ini menunjukkan masih rendahnya kepedulian masyarakat setempat terhadap Sungai. Hal ini relevan dengan hasil wawancara responden yang mayoritas menjabat sebagai tokoh masyarakat menyatakan bahwa minimnya partisipasi masyarakat terhadap kegiatan sosial lingkungan yang berkaitan dengan sungai. Sebagian besar juga mengakui bahwa kegiatan yang dilakukan selama ini merupakan inisiatif dari para tokoh masyarakat dengan pihak KPC/Kodam jaya/SIBAT dan masyarakat akan turut berpartisipasi apabila diberikan iming-iming hadiah atau imbalan. Maka dari itu, para responden menyarankan agar pemerintah menerapkan sistem reward/insentif bagi masyarakat yang memiliki partisipasi tinggi terhadap keberlanjutan sungai, serta membentuk tim penyuluh yang disebar ke setiap kelurahan di sepanjang Sungai Ciliwung untuk memberikan arahan dan masukan dalam mengelola daerah bantaran sungai.

Analisis Preferensi Masyarakat

Preferensi tentang Partisipasi dalam Pengelolaan RTB

(46)

26

sekitar tempat tinggal mereka (Gambar 22). Sebagian besar dari mereka memiliki pengalaman berbeda-beda terkait Sungai Ciliwung, dikarenakan lama waktu tinggal di daerah bantaran Sungai Ciliwung yang berbeda-beda. Selain itu lamanya waktu keterlibatan mereka yang berbeda, baik sebagai tokoh masyarakat maupun anggota organisasi masyarakat setempat yang berkegiatan langsung dengan Sungai Ciliwung dan Masyarakat. Namun terlepas dari hal itu, berdasarkan hasil survei sebagian besar masyarakat memiliki keinginan besar untuk turut berpartisipasi dalam upaya pemulihan Sungai Ciliwung seperti dahulu kala. Dimulai dari hal-hal kecil, seperti mengajak dan memberi peringatan kepada masyarakat agar tidak membuang limbah ke Sungai, dan mengadakan kegiatan kebersihan setiap minggu. Masyarakat juga mengharapkan adanya partisipasi aktif dari pihak pemerintah dalam mendukung upaya yang dilakukan masyarakat seperti penyediaan fasilitas pengelolaan sampah di setiap lokasi, dengan demikian masyarakat dan pemerintah saling bahu-membahu untuk mewujudkan keberlanjutan Sungai Ciliwung. Di sisi lain, sedikit banyak akan menarik minat dan kepedulian masyarakat setempat untuk ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan tersebut.

Gambar 22 Preferensi masyarakat tentang partisipasi dalam pengelolaan RTB

Preferensi tentang Sosialisasi Ruang Terbuka Biru

(47)

27

(2003) bahwa tingkat pengetahuan merupakan salah satu faktor internal yang mempengaruhi persepsi individu terhadap lingkungannya, dan persepsi seseorang terhadap lingkunganya merupakan faktor penting karena akan berlanjut dalam menentukan tindakan individu tersebut (Asngari 1984 dalam Harihanto 2001).

Gambar 23 Preferensi masyarakat tentang sosialisasi RTB

Preferensi Masyarakat terhadap Media Rekayasa Sosial Sebelum Implementasi Rekayasa Sosial

Menurut Rakhmat (2000), rekayasa sosial (social engineering) adalah perubahan sosial yang direncanakan (planned social change). Perubahan sosial yang bergerak melalui rekayasa sosial harus dimulai dengan perubahan cara berpikir, perubahan sosial tidak akan menuju ke arah yang direncanakan apabila masih terdapat kesalahan berpikir (intellectual cul-de-sacs). Rekayasa sosial dilakukan karena munculnya problem-problem sosial. Problem sosial muncul karena adanya ketidaksesuaian antara apa yang seharusnya, yang diinginkan (das sollen) dengan apa yang menjadi kenyataan (das sein). Salah satu contohnya dalam penelitian ini, Sungai seharusnya menjadi bagian depan/muka (water front landscape) yang dijaga dan dilindungi sebagai sumber air bagi kehidupan manusia, namun fenomena yang terjadi adalah sebaliknya yaitu sungai menjadi bagian belakang (water back landscape) dan tempat pembuangan segala jenis kotoran yang menyebabkan kondisi sungai semakin buruk. Dalam hal ini, proses rekayasa sosial dapat dimulai dengan merubah mindset dan sikap masyarakat, terutama dalam memahami pentingnya keberadaan sungai sebagai RTB yang harus dilestarikan.

(48)

28

adalah media cetak, media elektronik, dan media ruang luar. Ketiga jenis media tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat.

Media cetak yang digunakan dalam penelitian ini adalah poster dan leaflet. Media ini mengutamakan pesan-pesan visual, biasanya terdiri dari gambaran sejumlah kata, gambar atau foto dalam tata warna. Beberapa kelebihan media cetak antara lain tahan lama, mencakup banyak orang, biaya rendah, dapat dibawa kemana-mana, tidak perlu listrik, mempermudah pemahaman dan dapat meningkatkan gairah belajar, sementara kelemahan media cetak yaitu tidak dapat menstimulir efek gerak dan efek suara dan mudah terlipat. Adapun poster yang digunakan pada penelitian ini adalah poster meja dalam bentuk mini x-banner dengan ukuran 29,7 x 42 cm dan berisi informasi mengenai definisi RTB, bentuk-bentuk RTB, dan inovasi konsep manajemen RTB. Poster ini didesain sebagai salah satu alat rekayasa sosial yang diletakkan diatas meja dan dapat dipajang di rumah ketua RT/RW, di balai desa/tempat berkumpul, ataupun di kelurahan (Gambar 24). Dengan harapan masyarakat dapat membacanya ketika mengunjungi salah satu dari ketiga tempat tersebut. Sedangkan leaflet yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 4 halaman dengan ukuran 14,8 x 21 cm dan menjelaskan informasi yang lebih rinci dibandingkan dengan poster, diantaranya terdapat tambahan informasi mengenai fungsi RTB, konsep water front landscape dan water back landscape, serta peraturan terkait RTB. Sasaran dari media leaflet seperti ini adalah setiap rumah yang berada di daerah bantaran Sungai Ciliwung, sehingga setiap anggota keluarga dirumah dapat membacanya dan memperoleh pengetahuan mengenai RTB (Gambar 25).

Media elektronik yang digunakan dalam penelitian ini adalah DVD/Video. Media ini merupakan media yang bergerak dan dinamis, dapat dilihat dan didengar dan penyampaiannya melalui alat bantu elektronika. Media elektronik ini memiliki kelebihan antara lain lebih mudah dipahami, lebih menarik, mengikut sertakan seluruh panca indera, penyajiannya dapat dikendalikan dan diulang-ulang serta jangkauannya lebih besar, sedangkan kelemahan dari media ini adalah biayanya lebih tinggi, sedikit rumit, perlu listrik dan alat canggih untuk produksinya, perlu persiapan matang, peralatan selalu berkembang dan berubah, perlu keterampilan penyimpanan dan keterampilan untuk mengoperasikannya. Adapun video yang ditampilkan pada saat FGD adalah video tentang manajemen RTB dan kumpulan video terkait RTB yang dihasilkan dari penelitian sebelumnya dengan durasi video 2-7 menit. Kemudian video dimasukan kedalam DVD untuk dibagian kepada perwakilan tiap kelurahan. Pada saat FGD ditampilkan pula slide presentasi untuk memudahkan penyampaian informasi dan memberikan gambaran RTB secara lebih mendalam kepada masyarakat.

(49)

29

Spanduk ini dapat diletakkan di tempat-tempat yang dilewati oleh orang banyak khususnya di daerah bantaran sungai, sehingga siapapun bisa membacanya dan menggugah kepeduliannya terhadap sungai.

(50)

30

(51)

31

(52)

32

Secara umum minat responden terhadap media rekayasa sosial sebelum keempat media tersebut dipaparkan (Gambar 27), media poster paling banyak dipilih oleh responden di Kota Bogor (43%) dan Kabupaten Bogor (50%), sementara responden di Kota Jakarta mayoritas memilih jawaban lain-lain (35%). Jika dilihat dari rata-rata persentase media/alat rekayasa sosial yang paling sedikit diminati, maka tiga media lainnya memiliki nilai persentase yang tidak terlalu jauh satu sama lainnya, yaitu leaflet (12%), DVD/Video (12%), dan spanduk (11%).

Gambar 27 Preferensi masyarakat terhadap media rekayasa sosial

Media poster paling banyak dipilih karena responden beranggapan bahwa poster yang dimaksud adalah poster yang dapat ditempel di papan pengumuman atau di sudut jalan setiap RT/RW, sehingga dapat dibaca oleh siapapun yang lewat mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, selain itu secara visual poster lebih menarik karena menurut mereka biasanya poster lebih didominasi oleh gambar dibandingkan dengan leaflet. DVD/Video sedikit diminati dengan alasan tidak banyak warga yang memiliki komputer atau alat pemutar video, sementara spanduk jarang diminati karena seringkali kalimat dan desain dalam spanduk yang kurang menarik. Responden yang memberikan jawaban lain-lain memiliki alasan yang bervariasi, banyak yang berpendapat bahwa penerapan keempat media tersebut tidak akan efektif, maka lebih baik dilakukan penyuluhan dan kegiatan langsung di lapang, selain itu tidak sedikit pula responden yang menyebutkan kaos dan sticker sebagai alat yang menurut mereka dapat menarik minat masyarakat untuk berpartisipasi dan peduli terhadap RTB.

Analisis Efektivitas Implementasi Rekayasa Sosial

Efektivitas Terhadap Persepsi dan Preferensi Masyarakat tentang RTB

(53)

33

Gambar 28 Perbedaan persepsi masyarakat tentang pengertian Ruang Terbuka Biru sebelum dan setelah implementasi rekayasa sosial

Secara umum nilai persentase rata-rata responden yang mengetahui bahwa pengertian RTB berkaitan dengan air dari sebelum dilakukannya implementasi rekayasa sosial dan setelah dilakukannya implementasi rekayasa sosial mengalami peningkatan, yaitu dari 37% menjadi 93%. Hal tersebut diimbangi dengan penurunan yang cukup drastis pada nilai persentase rata-rata responden yang menjawab langit dan tidak tahu, penurunan masing-masing sebesar 33% dan 23% (Gambar 28). Hasil tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan pengetahuan responden mengenai pengertian RTB setelah mengikuti FGD dan memperoleh informasi melalu berbagai media rekayasa sosial, sehingga mempengaruhi persepsi mereka tentang istilah RTB.

(54)

34

Berdasarkan Gambar 29, dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan pada persentase rata-rata responden yang menjawab tahu tentang istilah water front landscape, dari sebelum mengikuti FGD hanya 29% kemudian mengalami peningkatan menjadi 77% setelah FGD. Perubahan yang jelas juga terlihat pada jumlah responden yang menjawab tidak tahu tentang istilah water front landscape, yaitu mengalami penurunan dari 55% menjadi 4% setelah FGD. Responden sisanya memberikan jawaban ragu-ragu, yaitu mengalami perubahan dari persentase rata-rata 16% menjadi 19%.

Gambar 30 Perbedaan persepsi masyarakat tentang istilah water back landscape sebelum dan setelah implementasi rekayasa sosial

Seperti halnya pada peningkatan persepsi masyarakat mengenai water front landscape, secara umum tingkat pengetahuan responden tentang water back landscape juga mengalami perubahan setelah mengikuti FGD yang diadakan. Dari Gambar 30 diketahui bahwa terjadi peningkatan persentase rata-rata pada jumlah responden yang menjawab tahu tentang istilah water back landscape, sebelum mengikuti FGD jumlah persentase rata-rata responden hanya 30% kemudian mengalami perubahan menjadi 51%. Peningkatan terjadi pula pada jumlah responden yang menjawab ragu-ragu, yaitu menjadi 25% dari 16% pada saat sebelum dilakukannya FGD. Sejalan dengan hal ini terjadi penurunan pada jumlah responden yang menjawab tidak tahu istilah water back landscape, yaitu dari 54% menjadi 24% pada saat setelah dilakukannya FGD. Peningkatan jumlah jawaban tahu, diiringi dengan penurunan jumlah jawaban tidak tahu telah menunjukkan perubahan tingkat pengetahuan responden menjadi lebih baik tentang kedua istilah tersebut. Responden yang menjawab ragu-ragu kemungkinannya masih belum memahami betul pengertian kedua istilah tersebut, seringkali karena istilah yang dijelaskan menggunakan bahasa inggris sehingga sering tertukar antara apa yang dimaksud dengan water front landscape dan water back landscape.

(55)

35

masa yang akan datang. Hasil tersebut menunjukkan baik sebelum ataupun sesudah dilakukannya implementasi rekayasa sosial melalui FGD dan pembagian media rekayasa sosial, rata-rata responden menyatakan bahwa konsep water front landscape baik untuk keberlanjutan sungai (96%) dan konsep water back landscape buruk untuk keberlanjutan sungai (85%).

Gambar 31 Penilaian masyarakat terhadap baik atau buruknya konsep water front landscape dan water back landscape sebelum dan setelah implementasi rekayasa

sosial

Peningkatan pengetahuan responden tentang istilah water front landscape dan water back landscape mempengaruhi persepsi responden terhadap praktik water front landscape dan water back landscape di lokasi studi. Sebelum mengikuti FGD dan memperoleh media rekayasa sosial, secara keseluruhan sebagian besar responden yang mengaku tahu tentang istilah water front landscape masih menilai bahwa daerah tempat tinggalnya termasuk dalam praktik water front landscape, dibuktikan dengan jumlah persentase rata-rata responden yang menjawab ya sebanyak 43%. Namun setelah dilakukannya FGD terjadi penurunan jumlah responden yang menjawab ya menjadi 30%. Hal tersebut diikuti dengan peningkatan jumlah responden yang menjawab bahwa daerah tempat tinggal mereka tidak termasuk dalam praktik water front landscape, yaitu dari 37% persentase rata-ratanya menjadi 62%. Responden sisanya menjawab ragu-ragu yakni sebanyak 16% sebelum dilakukannya FGD menjadi 25% setelah mengikuti FGD (Gambar 32).

(56)

36

perbedaan istilah water front landscape dan water back landscape, mayoritas responden sudah bisa memberikan penilaian apakah di daerah tempat tinggalnya terjadi praktik water front landscape atau water back landscape. Namun beberapa masih belum memahami dan menginterpretasikan secara benar terkait kedua istilah tersebut dengan kondisi yang sebenarnya, oleh karena itu masih terdapat sejumlah responden yang keliru saat memberikan jawaban.

Gambar 32 Perbedaan Persepsi masyarakat terhadap praktik water front landscape di daerah tempat tinggalnya sebelum dan setelah implementasi

rekayasa sosial

(57)

37

Meskipun jawaban yang diberikan masih beragam, namun secara umum jawaban yang dikemukakan oleh responden seluruhnya terkait water front landscape dan water back landscape menunjukkan bahwa mayoritas responden sudah cukup tahu dan paham tentang kedua istilah tersebut setelah mengikuti FGD dan diberikan media rekayasa sosial. Namun pemahaman mereka masih belum mendalam, sehingga masih terdapat responden yang memiliki persepsi yang salah dalam menilai dan menggambarkan kedua konsep tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Secara umum berdasarkan hasil kuesioner yang diberikan kepada masyarakat setelah dilakukannya proses rekayasa sosial, persepsi masyarakat terhadap fungsi Sungai Ciliwung mengalami perubahan yang signifikan. Terjadi penurunan pada persentase responden yang semula menilai fungsi sungai sebagai tempat pembuangan dan MCK, yaitu dari 60% menjadi 12% dan responden yang menilai fungsi sungai sebagai jalur transportasi air yakni dari 37% menjadi 35%. Hal tersebut diimbangi dengan meningkatnya persentase rata-rata responden yang menilai fungsi sungai sebagai sumber air bagi kehidupan, sebagai tempat rekreasi, dan sebagai bagian belakang rumah dengan peningkatan masing-masing sebesar 32%, 7%, dan 16% dari hasil sebelumnya (Gambar 34). Namun jika dilihat secara keseluruhan, persepsi responden tentang fungsi sungai menjadi lebih baik dibandingkan sebelum dilakukannya implementasi rekayasa sosial. Hasil tersebut menunjukkan bahwa FGD dan pemberian alat rekayasa sosial kepada masyarakat memberikan pengaruh terhadap tingkat pengetahuan responden tentang fungsi sungai.

Gambar 34 Perbedaan persepsi masyarakat terhadap fungsi Sungai Ciliwung sebelum dan setelah implementasi rekayasa sosial

Gambar

Tabel 5 Data umum masing-masing kelurahan di Kota Jakarta
Gambar 11 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan
Gambar 13 Persepsi Masyarakat tentang Pengertian Ruang Terbuka Biru
Gambar 14 Penilaian masyarakat terhadap baik atau buruknya konsep WFL
+7

Referensi

Dokumen terkait

Abstrak : Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi objektif tentang upaya kepala madrasah sebagai pemimpin yang meliputi: kepribadian kepala sekolah;

terdapat korelasi yang signifikan antara variabel eksogen (0.06), terdapat pengaruh negatif yang signifikan kondisi kerja fisik terhadap kecemasan (-0.24), terdapat

Pengujian daya hambat senyawa kompleks hasil sintesis terhadap perkembangan dan pertumbuhan bakteri Mycobacterium tuberculosis dilakukan dengan metode difusi

[r]

1,3,4,5,12,28,34 Pada melasma tipe dermal, yang terlihat berwarna abu-abu kebiruan, pigmen melanin yang diproduksi oleh melanosit epidermal memasuki papilla dermis dan diambil

(2) Peningkatan hasil hasil belajar siswa dengan persentase pra siklus 35%, dan siklus I 65%, serta siklus II 81% siswa yang mendapatkan nilai di atas KKM. Skripsi yang ditulis

Dilihat dari karakteristik responden berdasarkan jumlah anak sebagian besar responden yang sudah memiliki anak atau sudah pernah melahirkan sebelumnya memiliki

Pertanahan Nasional dalam proses pelaksanaan reforma agraria dikarenakan kegiatan PRONA bersifat secara masal maka tujuan yang akan dicapai adalah pelayanan