PENINGKATAN PRODUKSI DAN MUTU BENIH BOTANI
(
TRUE SHALLOT SEED
) BAWANG MERAH (
Allium cepa
var.
ascalonicum
) DENGAN BAP DAN BORON, SERTA SERANGGA
PENYERBUK
RINI ROSLIANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Peningkatan Produksi dan Mutu Benih Botani (True Shallot Seed) Bawang Merah (Allium cepa var.ascalonicum B.) dengan BAP dan Boron, serta Serangga Penyerbuk adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2013
ABSTRACT
RINI ROSLIANI. Increasing Production and Quality of True Shallot Seed (TSS) using BAP, Boron, and Insect Pollinators. Under direction of ENDAH RETNO PALUPI as Chair and YUSDAR HILMAN as Member of the Advisory Committee.
True shallot seed (TSS) is one potential alternative of seed source to be developed and be able to solve the problem of shallot seed in Indonesia. Constraints in TSS production are the low flowering and seed formation. Such attempts to improve TSS production is through increasing flowering using benzylaminopurine (BAP), pollen viability using boron and pollination using insect pollinators. The aims of the research were to enhance flowering, pollen viability, TSS production and quality using BAP and boron, as well as study mating system in TSS production and enhance TSS production and quality using insect pollinators. The study consisted of three experiments and was conducted in two location i.e. Lembang (high land - 1250 m asl) during August 2011-August 2012 and in Subang (low land - 100 m asl) during March-August 2012. In each location the experiment was carried out in two steps. In the first step BAP at 0, 50, 100, 150, and 200 ppm and boron at 0, 1, 2, 3, 4 kg ha-1 were used and arranged in randomized block design with three replicates. In the second step there were two trials, namely experiments using self-pollination and cross-pollination, as well as experiments using insect pollinators i.e. bees (Apis mellifera, Apis cerana, Trigona sp.) and green fly (Lucilia sp. - Calliphoridae) were employed, with open pollination as control were arranged in a randomized block design and replicated five times. The results showed that BAP increased flowering, pollen viability and TSS production in Lembang. While boron 1-4 kg ha-1 increased flowering, pollen viability, TSS production and quality in Lembang. The optimum concentration of BAP and dosage of boron for TSS production in Lembang were 37.5 ppm and 2.9 kg/ha respectively. In Subang, BAP enhanced flowering and pollen viability. BAP did not increase the TSS production and quality. Boron also did not affect flowering, pollen viability, TSS production and quality in Subang. Cross-pollination was better in producing the yield and quality of TSS than self-Cross-pollination in Lembang, but in Subang resulted in lower germination. Honeybee Apis cerana was the most effective pollinator in increasing the yield and quality of TSS both in Lembang and Subang. Increasing production of TSS by A .cerana was 56.8% with 77% germination in Lembang, while in Subang that was 61.3% with 83% germination.
RINGKASAN
RINI ROSLIANI. Peningkatan Produksi dan Mutu Benih Botani (True Shallot Seed) Bawang Merah (Allium cepa var. ascalonicum) dengan BAP dan Boron, serta Serangga Penyerbuk. Dibimbing oleh ENDAH RETNO PALUPI dan YUSDAR HILMAN.
Biji botani bawang merah atau TSS (true shallot seed) merupakan salah satu alternatif sumber benih yang potensial untuk dikembangkan dan dapat memecahkan masalah perbenihan bawang merah di Indonesia. Kendala dalam produksi TSS yaitu pembungaan dan pembentukan biji yang rendah. Usaha-usaha untuk meningkatkan produksi TSS dapat dilakukan melalui peningkatan pembungaan dengan BAP, perbaikan viabilitas serbuk sari dengan unsur mikro boron dan peningkatan penyerbukan dengan bantuan serangga penyerbuk.
Tujuan penelitian yaitu meningkatkan pembungaan, viabilitas serbuk sari, produksi dan mutu benih botani bawang merah (TSS) dengan BAP dan boron, mempelajari sistem perkawinan bawang merah terhadap produksi benih botani (TSS), serta meningkatkan produksi dan mutu benih botani bawang merah (TSS) dengan serangga penyerbuk.
Penelitian terdiri atas tiga percobaan dan dilaksanakan di dua lokasi yaitu Lembang (dataran tinggi-1.250 m dpl) selama Agustus 2011-Agustus 2012 dan di Subang (dataran rendah-100 m dpl) selama Maret-Agustus 2012. Di setiap lokasi percobaan dilakukan dua tahap. Pada tahap pertama, perlakuan terdiri atas BAP 0, 50, 100, 150 dan 200 ppm dan boron 0, 1, 2, 3, dan 4 kg/ha yang disusun dalam ranacangan acak kelompok faktorial dengan tiga ulangan. Pada tahap kedua ada dua percobaan, yaitu percobaan yang menggunakan penyerbukan sendiri dan penyerbukan silang, serta percobaan yang menggunakan serangga penyerbuk lebah (Apis mellifera, Apis cerana, Trigona sp.) dan lalat hijau (Lucilia sp. – Calliphoridae) dengan penyerbukan terbuka sebagai kontrol yang disusun dalam rancangan acak kelompok dan diulang lima kali.
100 butir dengan daya berkecambah mencapai 78%. Boron tidak mempengaruhi pembungaan, viabilitas serbuk sari, produksi maupun mutu benih botani bawang merah (TSS) di dataran rendah Subang yang disebabkan karena kandungan boron tanah cukup tersedia untuk tanaman. Produksi TSS di dataran tinggi lebih tinggi daripada di dataran rendah yang disebabkan oleh pembungaan yang mencapai 2.5 – 3 kali lipat. Mutu TSS yang diproduksi di dataran rendah lebih tinggi daripada di dataran tinggi.
Hasil percobaan kedua menunjukkan bahwa di dataran tinggi Lembang penyerbukan silang meningkatkan produksi TSS, tetapi tipe penyerbukan tidak mempengaruhi mutu benih. Di dataran rendah Subang tipe penyerbukan tidak mempengaruhi produksi TSS.
Hasil percobaan ketiga menunjukkan bahwa Apis cerana merupakan serangga penyerbuk yang dapat meningkatkan produksi dan mutu benih botani bawang merah (TSS) baik di dataran tinggi Lembang maupun di dataran rendah Subang. Peningkatan produksi benih botani bawang (TSS) oleh A. cerana sebesar 56.8% di Lembang, sedangkan di Subang produksi benih meningkat sebesar 61.3%. Produksi benih botani (TSS) dari perlakuan A. cerana di dataran tinggi Lembang lebih tinggi daripada dataran rendah Subang tetapi daya berkecambah TSS di dataran rendah lebih tinggi daripada dataran tinggi.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
PENINGKATAN PRODUKSI DAN MUTU BENIH BOTANI
(
TRUE SHALLOT SEED
) BAWANG MERAH (
Allium cepa
var.
ascalonicum
) DENGAN BAP DAN BORON, SERTA SERANGGA
PENYERBUK
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih
RINI ROSLIANI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr Ir Bambang Sapta Purwoko, MSc
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Endah Retno Palupi, MSc Ketua
Dr Ir Yusdar Hilman, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih
Prof Dr Ir Satriyas Ilyas, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MSc.Agr
Tanggal Ujian:1 Februari 2013
Tanggal Lulus:
Judul : Peningkatan Produksi dan Mutu Benih Botani (True Shallot Seed) Bawang Merah (Allium cepa var. ascalonicum B.) dengan BAP dan Boron, serta Serangga Penyerbuk
Nama : Rini Rosliani
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis ini berjudul Peningkatan Produksi dan Mutu Benih Botani (True Shallot Seed) Bawang Merah (Allium cepa var. ascalonicum) dengan BAP dan Boron, serta Serangga Penyerbuk yang dilaksanakan dari bulan Agustus 2011 sampai bulan Agustus 2012.
Terima kasih penulis ucapkan yang tulus dan penghargaan atas bimbingan dan arahan keilmuan serta dorongannya kepada Dr Ir Endah Retno Palupi MSc dan Dr Ir Yusdar Hilman MS selaku tim komisi pembimbing. Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis juga sampaikan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura dan Kepala Balai Penelitian Tanaman Sayuran yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan magister di Sekolah Pascasarjana IPB, Prof Dr Ir Satriyas Ilyas MS selaku ketua program studi Ilmu dan Teknologi Benih Sekolah Pascasarjana IPB atas dorongan semangat dan arahan yang diberikan, Prof Dr Ir Bambang Sapta Purwoko MSc selaku penguji luar komisi atas arahan dan masukan yang diberikan selama ujian tesis, Rinda Kirana SP MP, saudara Memed, karyawan dan karyawati Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang serta teman-teman Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih atas motivasi dan dukungannya.
Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami dan anakku tercinta, ibu serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi perbenihan. Amin.
Penulis dilahirkan di Tasikmalaya, Jawa Barat pada tanggal 8 April 1964 sebagai anak kedua dari lima bersaudara, dari pasangan Daan Jusuf Suradimadja (Alm.) dan R. Siti Salamah.
Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, lulus tahun 1991. Penulis mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan program magister pada program studi Ilmu dan Teknologi Benih, Sekolah Pascasarjana IPB, pada tahun 2010. Beasiswa pendidikan magister diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Penulis bekerja sebagai tenaga honorer di Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang-Bandung, Jawa Barat, pada tahun 1992-1993. Pada tahun 1993 sampai sekarang penulis adalah staf peneliti pada kelompok peneliti Ekofisiologi bidang Agronomi, Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL... i
DAFTAR GAMBAR... iv
DAFTAR LAMPIRAN... vi
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang... 1
Tujuan ... 5
Hipotesis ... 5
TINJAUAN PUSTAKA ... 6
Botani Bawang Merah ... 6
Pembungaan dan Pembentukan Biji Bawang... 8
Benzyl Amino Purine... 10
Boron... 11
Penyerbukan... 13
BAHAN DAN METODE ... 15
Tempat dan Waktu... 15
Bahan dan Alat ... 15
Metode Penelitian... 15
Pelaksanaan Penelitian... 18
HASIL DAN PEMBAHASAN... 25
Kondisi Umum Lapangan... 25
Perkembangan Bunga dan Kapsul... 26
Percobaan 1 di Dataran Tinggi Lembang... 28
Percobaan 1 di Dataran Rendah Subang... 40
Produksi dan Mutu TSS di Dua Lokasi... 47
Percobaan 2 di Dataran Tinggi Lembang... 50
Percobaan 2 di Dataran Rendah Subang ... 53
Percobaan 3 di Dataran Tinggi Lembang... 55
Percobaan 3 di Dataran Rendah Subang... 65
Peran A. cerana dalam Produksi dan Mutu TSS di Dua Lokasi... 71
SIMPULAN DAN SARAN... 75
Simpulan... 75
Saran... 76
DAFTAR PUSTAKA... 77
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Fase peekembangan bunga dan pembentukan kapsul bawang merah di dataran tinggi Lembang dan dataran rendah Subang ...
27
2 Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap waktu muncul umbel, persentase tanaman berbunga dan jumlah umbel per tanaman bawang merah di dataran tinggi Lembang...
29
3 Pengaruh perlakuan BAP dan boron Jumlah bunga per umbel, jumlah kapsul per umbel dan persentase pembentukan kapsul bawang merah di dataran tinggi Lembang...
30
4 Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap viabilitas dan jumlah serbuk sari bawang merah satu hari setelah antesis di dataran tinggi Lembang...
33
5 Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap jumlah TSS per umbel, persentase TSS bernas, bobot TSS per umbel dan bobot TSS per tanaman di dataran tinggi Lembang...
35
6 Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap bobot 100 butir, daya berkecambah, potensi tumbuh maksimum TSS di dataran tinggi Lembang...
38
7 Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap waktu muncul tunas umbel, persentase tanaman berbunga dan jumlah umbel per tanaman bawang merah di dataran rendah Subang...
41
8 Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap jumlah bunga per umbel, jumlah kapsul per umbel dan persentase pembentukan kapsul bawang merah di dataran rendah Subang ...
43
9 Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap viabilitas dan jumlah serbuk sari bawang merah di dataran rendah Subang...
44
10 Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap jumlah TSS per umbel, persentase TSS bernas, bobot TSS per umbel, bobot TSS per tanaman dan bobot TSS per plot di dataran rendah Subang...
11 Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap bobot 100 butir, daya berkecambah, potensi tumbuh maksimum TSS di dataran rendah Subang...
47
12 Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap jumlah kapsul dan persentase pembentukan kapsul per umbel di dataran tinggi Lembang...
50
13 Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap jumlah TSS bernas per umbel, persentase TSS bernas dan bobot TSS bernas per umbel di dataran tinggi Lembang...
52
14 Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap mutu TSS di dataran tinggi Lembang...
53
15 Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap jumlah kapsul dan persentase pembentukan kapsul per umbel di dataran rendah Subang...
53
16 Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap jumlah TSS per umbel, persentase TSS bernas dan bobot TSS per umbel di dataran rendah Subang...
54
17 Pengaruh sistem perkawinan bawang merah terhadap mutu TSS di dataran rendah Subang ...
54
18 Jumlah kapsul bernas per umbel dan persentase pembentukan kapsul per umbel dengan bantuan serangga penyerbukdi dataran tinggi Lembang...
57
19 Jumlah TSS, persentase TSS bernas dan bobot TSS per umbel dengan bantuan serangga penyerbukdi dataran tinggi Lembang...
59
20 Bobot TSS per tanaman, bobot TSS per plot dan jumlah umbel dipanen per plot dengan bantuan serangga penyerbuk di dataran tinggi Lembang...
60
21 Bobot 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum TSS dengan bantuan serangga penyerbukdi dataran tinggi Lembang...
63
22 Jumlah umbi per tanaman, bobot umbi per tanaman, dan bobot individu umbi pada tanaman bawang merah dengan bantuan serangga penyerbuk di dataran tinggi Lembang...
64
23 Jumlah kapsul bernas per umbel dan persentase pembentukan kapsul per umbel dengan bantuan serangga penyerbukdi dataran rendah Subang...
24 Jumlah TSS, persentase TSS bernas dan bobot TSS per umbel dengan bantuan serangga penyerbukdi dataran rendah Subang ...
67
25 Bobot TSS per tanaman, bobot TSS per plot dan jumlah umbel dipanen per plot dengan bantuan serangga penyerbukdi dataran rendah Subang...
68
26 Bobot 100 butir, daya berkecambah dan potensi tumbuh maksimum TSS dengan bantuan serangga penyerbukdi dataran rendah Subang...
69
27 Jumlah umbi per tanaman, bobot umbi per tanaman, dan bobot individu umbi pada tanaman bawang merah dengan bantuan serangga penyerbuk di dataran rendah Subang...
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Fase pembungaan dan pembentukan kapsul bawang merah... 27
2 Viabilitas serbuk sari pada waktu pengambilan serbuk sari yang berbeda...
32
3 Perkecambahan serbuk sari dari tanaman yang diberi perlakuan Boron (A), serbuk sari pada tanaman kontrol (B) di dataran tinggi Lembang…...
34
4 Kurva respon bobot TSS terhadap konsentrasi BAP (A) dan terhadap dosis boron (B) di dataran tinggi Lembang...
36
5 Produksi TSS per plot dari perlakuan dosis Boron 3 kg/ha (A) dan dari perlakuan kontrol (B) di dataran tinggi Lembang...
36
6 Ukuran kecambah normal pada perlakuan tanpa BAP/tanpa boron (A), pada perlakuan boron (B) dan pada perlakuan BAP (C) di dataran tinggi Lembang...
39
7 Pembungaan bawang merah di dataran tinggi (A) dan dataran rendah (B)… 48
8 Perbandingan bobot TSS per plot (A), bobot TSS 100 butir (B) dan daya berkecambah TSS (C) di dataran tinggi dan dataran rendah...
49
9 Berbagai jenis serangga penyerbuk pada perlakuan penyerbukan terbuka: tabu-tabuan, kupu-kupu, lalat, lebah soliter dan semut di dataran tinggi Lembang...
56
10 Kapsul bawang merah yang terbentuk dari penyerbukan dengan bantuan A. mellifera (A), A. cerana (B), Trigona sp. (C), Lucilia sp. (D), penyerbukan terbuka (E) di dataran tinggi Lembang...
57
11 Tiga penyakit utama bawang merah yang menyerang tangkai umbel (A) dan daun (B): bercak ungu, antraknose dan embun bulu...
61
12 Produksi TSS per plot (60 tanaman) di dataran tinggi pada perlakuan A. mellifera (A), A cerana (B), Trigona sp.(C), Lucilia sp. (D) dan penyerbukan terbuka (E) di dataran rendah Subang ...
62
13 Produksi umbi pada tanaman bawang merah yang memproduksi TSS di dataran tinggi (A) dan di dataran rendah (B)...
14 Produksi TSS per plot (60 tanaman) pada perlakuan A. mellifera (A), A. cerana (B), Trigona sp. (C), Lucilia sp. (D) dan penyerbukan terbuka (E) di dataran rendah Subang...
68
15 Bobot TSS per plot (A), bobot 100 butir (B) dan daya berkecambah TSS (C) di dataran tinggi dan dataran rendah yang dibantu A. cerana...
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Deskripsi bawang merah varietas Bima Brebes... 85
2 Umbi bibit setelah divernalisasi 1 bulan siap tanam (A); Penanaman tiga umbi per polibag (B)...
86
3 Rata-rata suhu dan kelembaban di dataran tinggi Lembang (1250 m dpl) pada bulan Agustus sampai Desember 2011...
86
4 Rata-rata suhu udara, kelembaban relatif dan curah hujan di dataran tinggi Lembang (1250 m dpl) pada bulan Maret sampai Juli 2012...
86
5 Rata-rata suhu dan kelembaban di dalam kerodongan kain kasa di dataran tinggi Lembang (1250 m dpl) pada bulan Maret sampai Juli 2012…………
87
6 Rata-rata suhu dan kelembaban di dataran rendah Subang (100 m dpl) pada bulan Maret sampai Juli 2012...
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bawang merah (Allium cepa var. ascalonicum B.) termasuk tanaman
sayuran yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Menurut BPS (2006) bawang
merah menduduki urutan kedua setelah tanaman cabe yang banyak ditanam di
Indonesia dengan luas tanam 89.188 ha. Pada tahun 2010, BPS melaporkan
bahwa luas panen bawang merah meningkat menjadi 109.634 ha. Dengan luas
tanam tersebut maka kebutuhan benih/bibit bawang merah yang berasal dari umbi
per tahun diperkirakan sebanyak 109.634 – 131.561 ton/ha, dengan perhitungan
kebutuhan bibit bawang merah sekitar 1-1.2 ton/ha.
Kendala utama peningkatan produksi bawang merah, antara lain adalah
tidak ada jaminan ketersediaan benih atau umbi bibit bermutu yang berdaya hasil
tinggi dan murah. Menurut Direktorat Jenderal Hortikultura (2010) umbi bibit
bawang merah yang tersedia tidak dapat memenuhi kebutuhan para petani untuk
penanaman setiap tahunnya. Rata-rata ketersediaan umbi bibit bawang merah
baru mencapai 15 - 16% dari kebutuhan setiap tahunnya. Pada tahun 2009, dari
kebutuhan sebanyak 120.020 ton umbi bibit bawang merah, hanya tersedia 19.770
ton yang terdiri dari 13.400 ton produksi dalam negeri dan 6.370 ton impor.
Kontinuitas ketersediaan umbi bibit bawang merah yang bermutu merupakan
faktor penting untuk keberlanjutan pengembangan penanaman bawang merah di
Indonesia.
Selama ini, umumnya petani menggunakan benih bawang merah dalam
bentuk umbi bibit. Masalah penggunaan umbi bibit sebagai benih adalah
terbatasnya ketersediaan benih bermutu. Pengadaan benih yang seadanya di
tingkat petani menyebabkan produktivitas bawang merah di Indonesia masih
rendah yaitu sekitar 9.57 ton/ha, sedangkan untuk daerah sentra produksi
Brebes-Jawa Tengah produktivitasnya telah mencapai 11.12 ton/ha (BPS 2010), 55.6%
dari potensi hasil yang mencapai 20 ton/ha (Kartapradja & Sartono 1990). Selain
itu penggunaan umbi sebagai benih memerlukan biaya yang tinggi mencapai 40%
dari total biaya produksi (Suherman & Basuki 1990), memerlukan gudang
2
membawa penyakit dari pertanaman sebelumnya seperti penyakit moler
(Fusarium sp), antraknose (Colletotrichum sp), bakteri, dan virus (Permadi 1995).
Salah satu alternatif yang potensial untuk dikembangkan dalam
memecahkan masalah perbenihan bawang merah adalah penggunaan biji botani
(TSS-true shallot seed). Menurut Currah & Proctor (1990) kelebihan penggunaan
biji botani adalah menghasilkan tanaman dengan produktivitas tinggi dan bebas
dari penyakit dan virus. Hasil penelitian Basuki (2009a) menunjukkan bahwa
penggunaan TSS dapat meningkatkan hasil umbi bawang merah sampai dua kali
lipat dibandingkan dengan penggunaan benih umbi (produksi 26 ton/ha).
Keuntungan lainnya menurut Ridwan et al. (19890, Permadi dan Putrasamedja
(1991), dan Basuki (2009a) adalah kebutuhan benih TSS bawang merah lebih
sedikit (3-6 kg/ha @ Rp. 1.200.000/kg)) dibandingkan dengan benih umbi (+ 1 -
1.2 ton/ha @ Rp 15.000.000-25.000.000/kg) sehingga mengurangi biaya benih
disamping pengangkutan yang lebih mudah, dan daya simpan lebih lama
dibanding benih umbi. Menurut Copeland dan McDonald (1995), 50% benih
bawang asal biji masih dapat berkecambah setelah disimpan selama 1-2 tahun
sedangkan menurut Suwandi & Hilman (1995) benih bawang asal umbi bibit
hanya dapat disimpan sekitar 4 bulan dalam gudang. Berdasarkan beberapa
kelebihan TSS dibanding umbi, maka penggunaan TSS sebagai benih sumber
bawang merah sangat prospektif untuk meningkatkan produksi dan kualitas umbi
bawang merah.
Saat ini, budidaya bawang merah asal TSS belum berkembang di
Indonesia. Hal ini disebabkan karena ketersediaan TSS yang masih terbatas dan
belum tersedianya teknik produksi TSS yang tepat sementara penelitian teknik
produksi TSS telah dilakukan sejak awal 1990-an oleh Balai Penelitian Tanaman
Sayuran melalui peningkatan pembungaan bawang merah dengan perlakuan
vernalisasi umbi, penggunaan umbi berukuran besar, waktu tanam yang tepat
(pada musim kemarau), aplikasi zat pengatur tumbuh dan pemupukan (Satjadipura
1990; Putrasamedja & Permadi 1994; Sumarni & Soetiarso 1998; Sumarni &
Sumiati 2001; Rosliani et al. 2005; Sumarni et al. 2009). Menurut Basuki (2009a)
belum meyakini kelayakan ekonomis dari teknik budidaya TSS dibanding
menggunakan benih umbi yang biasa dilakukan.
Varietas Bima merupakan varietas unggul lokal yang paling banyak
mendapat preferensi petani di sentra produksi Brebes (Basuki 2009b). Varietas
tersebut mengungguli varietas lokal lainnya maupun varietas impor/introduksi
seperti Ilocos, Bangkok, dan Tandayung. Varietas Bima Brebes merupakan salah
satu varietas yang berpotensi sebagai sumber induk TSS. Di dataran tinggi
Cipanas varietas tersebut menghasilkan pembungaan sampai 70% (Putrasamedja
& Permadi 1994).
Kendala yang dihadapi dalam produksi benih asal biji atau TSS adalah
persentase pembungaan dan pembentukan biji yang rendah. Penyebab rendahnya
pembungaan bawang merah di daerah tropis adalah kondisi lingkungan yang tidak
mendukung, terutama suhu tinggi > 200 C. Menurut Rabinowitch (1990) tanaman bawang merah memerlukan suhu 7 – 120 C untuk terjadinya inisiasi pembungaan dan suhu 17 – 190 C untuk perkembangan umbel dan bunga mekar. Pembentukan biji yang rendah pada tanaman bawang genus Allium diantaranya diduga
disebabkan oleh viabilitas serbuk sari yang rendah dan penyerbukan yang
terbatas. Ockendon dan Gates (1976) melaporkan bahwa pada tanaman bawang
bombay varietas Rijnsburger ditemukan 67.46% antera yang mempunyai serbuk
sari yang tidak viabel (0-1%), 20.8% mempunyai viabilitas 1-20% dan sisanya
mempunyai viabilitas sekitar 21-100%. Yucel dan Duman (2005), Gure et al.
(2009) menyatakan bahwa penyerbukan yang efektif sulit terjadi dalam produksi
biji bawang bombay karena tanaman menyerbuk silang.
Pembungaan bawang dapat ditingkatkan dengan pemberian zat pengatur
tumbuh (ZPT). Benzyl Amino Purine (BAP) merupakan ZPT golongan sitokinin
yang berperan dalam merangsang pembungaan sebagaimana terjadi pada tanaman
Cajanus cajan (Barclay & McDavid 1998), kedele (Youngkoo et al. 2006), dan
tanaman Chamomile (Prat et al. 2008) dengan konsentrasi 20-50 ppm.
Serbuk sari yang viabel merupakan syarat untuk pembentukan biji dan
kapsul (Shivanna & Sawhney 1997). Salah satu usaha untuk memperbaiki
pembentukan biji dapat dilakukan melalui peningkatan viabilitas serbuk sari.
4
padi dapat digunakan unsur hara boron. Pemberian boron juga menunjukkan
respon yang positif terhadap peningkatan produksi biji tanaman tomat dan paprika
(Sharma 1995; Sharma 1999), terutama boron pada dosis 1-2 kg boron/ha.
Selain viabilitas serbuk sari, penyerbukan yaitu perpindahan serbuk sari
dari antera ke permukaan putik (stigma), juga menentukan pembentukan dan
perkembangan biji. Yucel dan Duman (2005), Kameyama dan Kudo (2009)
mengemukakan bahwa lebah memainkan peranan penting dalam membantu
penyerbukan tanaman bawang. Menurut Gure et al. (2009) kelebihan lebah
sebagai penyerbuk adalah meningkatkan terjadinya penyerbukan silang, sehingga
meningkatkan hasil benih dan memperbaiki mutu benih yaitu viabilitas dan bobot
benih. Sajjad et al. (2008) melaporkan bahwa selain lebah, serangga pengunjung
bunga bawang bombay yang utama juga beberapa jenis lalat.
Lokasi penanaman juga mempengaruhi hasil biji bawang merah. Pada
umumnya, dataran tinggi (suhu 16-180 C) merupakan lokasi yang cocok untuk menghasilkan pembungaan yang tinggi. Menurut Sumarni et al. (2009) kondisi
cuaca di dataran rendah tidak cocok untuk terjadinya inisiasi pembungaan bawang
merah. Sumarni et al. (2009) juga melaporkan ada indikasi bahwa untuk
pembentukan kapsul dan biji, kondisi cuaca di dataran rendah lebih cocok
dibanding dataran tinggi. Hal ini tercermin dari hasil bobot benih TSS per
tanaman dan bobot 100 Benih TSS serta daya berkecambah benih bawang merah
di dataran rendah lebih tinggi dibanding di dataran tinggi.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas maka perlu dilakukan
penelitian peningkatan pembungaan, viabilitas serbuk sari, produksi dan mutu
benih botani bawang merah (TSS) dengan menggunakan BAP dan Boron di
dataran tinggi dan dataran rendah. Penelitian terkait serangga penyerbuk yang
dapat meningkatkan penyerbukan silang dan pembentukan benih dan dampaknya
terhadap produksi dan mutu benih bawang merah juga perlu dipelajari. Dari hasil
penelitian ini diharapkan akan diperoleh teknik produksi biji (TSS) bawang merah
untuk varietas Bima di dataran tinggi dan dataran rendah dalam rangka
Tujuan
1. Mempelajari pengaruh Benzyl Amino Purine (BAP) dan Boron terhadap
pembungaan dan viabilitas serbuk sari, serta produksi dan mutu TSS di
dataran tinggi dan dataran rendah.
2. Mempelajari sistem perkawinan bawang merah terhadap produksi dan mutu
benih botani bawang (TSS) di dataran tinggi dan dataran rendah.
3. Mempelajari peran serangga penyerbuk dalam meningkatkan produksi TSS di
dataran tinggi dan dataran rendah.
Hipotesis
1. BAP 50 ppm dan Boron 2 kg/ha dapat meningkatkan pembungaan dan
viabilitas serbuk sari sehingga meningkatkan produksi benih botani.
2. Penyerbukan silang menghasilkan produksi dan mutu benih lebih baik
daripada penyerbukan sendiri
3. Lalat hijau lebih efisien dalam membantu penyerbukan bawang merah
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Bawang Merah
Bawang merah (Allium cepa var. ascalonicum) termasuk tanaman
semusim yang merupakan salah satu bentuk dari bawang bombay (A. cepa) yang
dikembangbiakan secara vegetatif yang berasal dari seleksi terhadap varian-varian
yang terjadi secara alami dalam populasi bawang bombay. Bawang merah
mempunyai struktur bunga yang sama dengan bawang bombay, dan hibrida antara
keduanya memiliki meiosis yang teratur dan sepenuhnya fertile demikian pula
seedling pada F2 atau generasi berikutnya dari hibrid semuanya dapat tumbuh
(Jones 1990). Perbedaan antara bawang merah dan bawang bombay terletak
antara lain pada sifat perbanyakannya secara vegetative. Menurut DeMason
(1990) pada bawang bombay umbi terbentuk dari seludang daun yang
mengandung dua atau tiga calon tunas, sedangkan pada bawang merah umbi
terbentuk dari pertumbuhan tunas samping umbi induknya dan biasanya
mengandung banyak calon tunas .
Bawang merah dimasukkan ke dalam grup Agregatum. Dalam tipe
Agregatum terdapat 2 bentuk, yaitu: (a) bawang merah biasa (shallot) dan (b)
bawang Bombay (multiplier onion) (Hanelt 1990). Tipe multiplier onion lebih
besar dari pada bawang merah biasa, jumlah umbi per tanaman lebih sedikit,
umbinya lebih besar dan berbentuk lebih gepeng, umbi terbentuk di dalam tanah
dan umbi-umbi tersebut lebih rapat serta dikelilingi seludang. Menurut Permadi
(1995) pada bawang merah biasa umbi-umbi serumpun tumbuh mandiri hanya
bagian dasarnya saja yang berhubungan dan jumlahnya mencapai 16 umbi per
rumpun. Pada tipe Agregatum terdapat tipe-tipe yang dapat berbunga maupun
yang tidak dapat berbunga.
Ciri-ciri morfologis bawang merah berakar serabut, berumbi lapis, dan
berdaun silindris. Bawang merah memiliki batang sejati yang berbentuk cakram
tipis dan pendek sebagai tempat melekatnya perakaran dan mata tunas yang
7
merah mempunyai sifat merumpun dan tiap umbi menjadi beberapa umbi
(anakan). Pada dasar cakram akan tumbuh akar serabut. Pada tengah cakram
terdapat tunas apikal yang merupakan mata tunas utama dan tumbuh paling dulu.
Dalam keadaan lingkungan yang sesuai pada tunas apikal dapat tumbuh bakal
bunga atau primordia bunga (Currah & Proctor 1990).
Bunga bawang adalah bunga sempurna (hermaphrodite), yang pada
umumnya terdiri atas 5-6 stamen, satu stigma, dengan mahkota yang berwarna
putih. Bakal kapsul membentuk bangunan bersegi tiga seperti kubah. Bakal
kapsul ini terbentuk dari 3 ruang dan dalam tiap ruang tersebut terdapat 2 bakal
biji (ovulum). Stamen tersusun membentuk 2 lingkaran, yaitu lingkaran luar
(outer whorl) dan lingkaran dalam (inner whorl). Pada lingkaran luar terdapat 3
stamen, demikian pula pada lingkaran dalam. Dalam 2-3 hari semua antera
menjadi dewasa, tetapi umumnya antera yang terletak pada lingkaran dalam lebih
cepat dewasa (Rabinowitch 1990).
Bawang merah merupakan tanaman menyerbuk silang sehingga populasi
bawang merah (yang berasal dari biji) terdiri atas individu-individu dengan
genotipe berbeda (Currah & Proctor 1990). Gure et al. (2009) melaporkan bahwa
penyerbukan sendiri pada tanaman bawang bombay kecil kemungkinannya dan
hanya terjadi sampai 9%. Bawang merah, seperti halnya bawang bombay,
memiliki keragaman yang besar baik mengenai sifat-sifat umbinya (bentuk,
ukuran, warna, kandungan bahan kering maupun kandungan gula dan kepedasan
atau prugency), maupun dalam warna daun, resistensi hama dan penyakit, serta
respon terhadap lingkungan (suhu dan panjang hari), dll.
Kultivar-kultivar bawang merah yang ada di Indonesia sampai saat ini
masih dikembangbiakkan secara vegetatif. Pembiakan secara vegetatif ini
menyebabkan semua individu di dalam populasi suatu kultivar memiliki susunan
genetik (genotipe) yang sama, sehingga tiap individu dalam satu kultivar memiliki
potensi yang sama dalam daya hasil, resistensi hama dan penyakit, kualitas umbi
dll (Permadi 1995). Kultivar-kultivar lokal bawang merah yang berkembang di
dataran rendah antara lain Bima, Kuning, Banji, Timor, Benthok dan Bangkok
Warso, sedangkan di dataran medium/tinggi antara lain Maja, Menteng, Batu,
Bawang merah juga dapat dibiakkan secara generatif dengan
menggunakan biji (true shallot seed = TSS). Biji yang masih muda berwarna
putih dan setelah tua berwarna hitam. Biji berasal dari bunga tanaman bawang
merah yang berhasil menjadi buah yang disebut kapsul. Kapsul berbentuk bulat
dengan ujungnya tumpul membungkus biji (Putrasamedja 1995b). Semua kultivar
bawang merah di Indonesia kecuali kultivar Sumenep mampu berbunga dan
berbiji secara alami, meskipun tingkat pembungaan dan pembentukan biji sangat
rendah (Permadi & Putrasamedja 1991).
Pembungaan dan Pembentukan Biji Bawang
Bolting atau inisiasi pembungaan merupakan masalah yang umum terjadi
pada genus Allium (Currah & Proctor 1990). Faktor yang mempengaruhi
pembungaan genus Allium terutama bawang bombay antara lain suhu rendah,
panjang hari, intensitas cahaya, nutrisi, hormon dan vitamin (Brewster & Salter
1980). Menurut Fita (2004), suhu adalah faktor perangsang dalam proses bolting.
Suhu mempengaruhi transisi dari fase vegetatif ke reproduktif yang umumnya
disebut suhu kritis untuk pembungaan dan pembentukan biji bawang merah. Fase
pertumbuhan vegetatif berakhir jika primordia daun berubah menjadi primordia
bunga.
Untuk menginduksi pembungaan bawang merah di daerah tropis
diperlukan perlakuan suhu dingin atau vernalisasi (Shishido & Saito 1977).
Vernalisasi dapat menginduksi meristem vegetatif yang telah menghasilkan
struktur vegetatif seperti daun untuk mengalihkan ke struktur reproduktif seperti
meristem bunga. Menurut Rashid dan Singh (2000) bawang bombay mengalami
bolting pada suhu antara 10 – 15o C. Bawang bombay tidak dapat menginisiasi
bunga (bolting) sampai menerima stimulus suhu rendah. Suhu 20 - 22o C dapat mendukung pertumbuhan vegetatif bawang, sementara untuk pembentukan organ
reproduksi suhu yang cocok adalah 12-13o C. Bakal bunga berkembang selama perkembangan dan pertumbuhan awal pada suhu rendah dan akhirnya biji
9
bolting dan menunda pemekaran bunga pada umbel (karangan bunga) sehingga
mempengaruhi pembentukan biji. Hal ini kemungkinan karena perkembangan
bunga terhenti atau terhambat oleh tingginya suhu.
Rendahnya persentase pembungaan bawang merah di daerah tropis seperti
Indonesia juga karena kondisi lingkungan cuaca, terutama suhu udara yang cukup
tinggi (> 18o C) yang tidak mendukung insiasi pembungaan (Sumiati 1997). Menurut Rashid & Singh (2000), pada suhu 18o C umumnya bawang tidak mampu menginisiasi bunga. Untuk meningkatkan pembungaan bawang merah
selain perlakuan vernalisasi, penanaman dilakukan di dataran tinggi yang
mempunyai suhu 16 – 18 oC. Hasil penelitian Putrasamedja dan Permadi (1994) menunjukkan bahwa semua kultivar bawang merah yang ditanam di dataran tinggi
Gunung Putri, Cipanas Cianjur (ketinggian 1 400 m dpl) dapat berbunga kecuali
Sumenep. Kultivar-kultivar bawang merah yang mempunyai persentase
pembungaan mencapai lebih 70% antara lain Cipanas (78.6 %), Kuning Tablet
(74.3 %), Kuning Sidapurna (78.6%), Bima Brebes (72.2 %) , sedangkan kultivar
lainnya memiliki persentase pembungaan di bawah 70% yaitu Kuning Juwita (13
%), Bangkok (66.3%), Maja (54.4%), dan Philipine (34.6%) sedangkan Sumenep
tidak dapat berbunga. Kultivar-kultivar yang memiliki persentase pembungaan >
70%, berpotensi untuk digunakan sebagai tanaman induk TSS. Meskipun
demikian beberapa penelitian yang telah dilakukan Sumarni & Soetiarso (1998);
Sumarni & Sumiati (2001); Rosliani et al. (2005); Sumarni et al. (2009)
menunjukkan bahwa persentase pembentukan biji bawang merah umumnya masih
rendah.
Keberhasilan produksi biji tanaman tergantung pada proses reproduksi;
sifat struktur bunga, jumlah transfer serbuk sari, self-incompability dan pengaruh
inbreeding terhadap vigor (Fita 2004), dan faktor cuaca yaitu suhu agak hangat
dan udara kering untuk bawang merah (Rashid & Singh 2000). Menurut Gross
dan Warner (1983) pada tanaman solidago (Compositae) peningkatan
Benzyl Amino Purine
Induksi pembungaan dapat dilakukan dengan pemberian zat pengatur
tumbuh. Menurut Amanullah et al. (2010) zat pengatur tumbuh dapat
meningkatkan translokasi source-sink dan mendorong translokasi photo-asimilat
yang membantu dalam pembentukan bunga, perkembangan biji dan kapsul yang
efektif dan akhirnya meningkatkan produktivitas tanaman. Hal ini terjadi karena
zat pengatur tumbuh dapat memperbaiki efisiensi fisiologis yang meliputi
kemampuan fotosintetik dan dapat meningkatkan pembagian asimilat dari source
ke sink tanaman.
Menurut Davies (2004) zat pengatur tumbuh endogen atau fitohormon
adalah senyawa organik bukan nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil yang
disintesis pada bagian tertentu dari tanaman dan pada umumnya diangkut ke
bagian lain tanaman dimana zat tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia,
fisiologis dan morfologis. Fitohormon dikelompokkan dalam lima golongan yaitu
auksin, giberelin, sitokinin, asam absisat dan etilen.
Sitokinin merupakan zat pengatur tumbuh yang mendorong pembelahan
sel. Menurut Amanullah et al. (2010) selain pembelahan sel, sitokinin juga dapat
mempengaruhi pembesaran sel, diferensiaisi jaringan, dormansi, fase pembungaan
dan pembuahan serta menghambat penuaan daun. Pengaruh sitokinin pada
berbagai proses itu semua diduga pada tingkat pembuatan protein mengingat
kesamaan struktur sitokinin dengan adenin yang merupakan komponen dari DNA
dan RNA. 6-Benzyladenin (6-Benzyl amino purine) merupakan sitokinin sintetik
yang mempunyai struktur yang serupa dengan kinetin. Turunan-turunan adenin
yang disubstitusi pada posisi 6 (seperti BA atau BAP) adalah yang paling aktif.
Substitusi pada posisi lain dari sifat adenin harus diubah ke posisi 6 untuk bisa
aktif.
Prat et al. (2008) yang meneliti histologi tunas aksilar pada tanaman
jojoba mengungkapkan bahwa aplikasi sitokinin sintetik seperti BA memperbesar
meristem bunga dan meningkatkan produksi bunga. Pada tanaman chamomile
11
dua periode pembungaan. Jenis sitokinin lainnya yaitu Benzyl Amino Purin
(BAP) dapat meningkatkan bobot 100 biji dan produksi biji per tanaman kedele
(Youngkoo et al. 2006). Pada tanaman pigeonpea, BAP 20 ppm menghasilkan
produksi biji tertinggi (Barclay & McDavid 1998).
Boron
Pemupukan merupakan suatu usaha untuk menyediakan unsur hara atau
nutrisi yang dibutuhkan tanaman. Nutrisi atau unsur hara tanaman adalah unsur
penting yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangannya.
Translokasi fotosintat dari source ke sink sangat penting untuk perkembangan
organ-organ reproduksi. Selain unsur hara makro primer (nitrogen, fosfor dan
kalium) dan makro sekunder (kalsium, magnesium dan sulfur), tanaman juga
membutuhkan unsur hara mikro untuk pertumbuhan dan metabolisme tanaman
meskipun jumlah yang dibutuhkan sangat sedikit. Tujuh unsur mikro yang
dibutuhkan tanaman yaitu boron (B), besi (Fe), seng (Zn), Mangan (Mn), tembaga
(Co), klorine (Cl) dan molibdenum (Mo). Menurut Keefe (1998) boron
merupakan bagian integral dari siklus reproduksi tanaman yaitu dalam
mengendalikan pembungaan, produksi serbuk sari, perkecambahan serbuk sari,
serta perkembangan kapsul dan biji. Boron membantu transmisi gula dari daun tua
ke bagian meristem dan perakaran. Garg et al. (1979) menjelaskan bahwa efek
stimulasi boron terhadap ketersediaan gula yang lebih besar, serta aktivitas
enzimatik dan respirasi yang meningkat pada tanaman padi menyebabkan
viabilitas serbuk sari bunga padi menjadi lebih baik. Namun, pada konsentrasi
yang tinggi boron menyebabkan depresi fisiologis dan kerusakan pada
protoplasma.
Pengaruh boron berhubungan dengan perkembangan dinding sel. Menurut
Blevins dan Lukaszewski (1998) boron mempengaruhi jalur metabolisme melalui
ikatan protein appoplastik menjadi group cis-hidroksil pada membran dan dinding
sel. Komposisi dinding sel ini sangat menentukan jumlah boron yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan dimana jumlah boron yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
reproduktif lebih tinggi dibandingkan untuk pertumbuhan vegetatif. Peranan
Pertumbuhan tabung polen yang cepat tergantung dari fusi vesikel yang
membentuk plasmalemma dan sekresi yang terus menerus dari dinding sel.
Amanullah et al. (2010) melaporkan bahwa boron juga merupakan unsur mikro
penting yang berkaitan dengan metabolisme asam nukleid, karbohidrat, protein,
hormon auksin dan fenol.
Pada sebagian besar spesies tanaman, boron memiliki mobilitas terbatas.
Namun boron berada dalam phloem dan ditranslokasikan kembali dalam phloem
dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sink yang berkembang
seperti organ reproduksi (Brown & Shelp 1997). Boron terutama mempengaruhi
jaringan-jaringan tanaman yang mampu melakukan aktivitas meristematik, seperti
jaringan kambium dan phloem pada akar penyimpanan atau batang, meristem
apikal daun, vaskular kambia kapsul dan organ lain (Meena 2010).
Boron dapat diaplikasikan dalam bentuk borax, asam borat, ataupun
bentuk pupuk boron lainnya seperti solubor dan fertibor. Unsur boron dalam
bentuk borax menunjukkan respon positif terhadap pertumbuhan dan
perkembangan organ reproduksi beberapa tanaman. Pada tanaman tomat, aplikasi
boron dalam bentuk borax (15 kg/ha) melalui tanah menghasilkan jumlah buah
per tanaman, bobot buah dan hasil buah lebih tinggi dibandingkan tanpa pupuk
boron (Kiran 2006). Aplikasi borax 20 kg/ha melalui tanah juga dilaporkan dapat
meningkatkan produksi biji tomat (Sharma 1995) dan perkecambahan biji paprika
(Sharma 1999). Borax yang diaplikasikan melalui daun pada tanaman brinjal atau
terung (Solanum melongena) dapat meningkatkan jumlah bunga per tanaman,
jumlah bunga produktif maupun produksi buah per tanaman dan ukuran buah
(Kiran 2006). Pada tanaman bunga matahari, borax yang diaplikasikan pada dosis
2 kg B/ha selama fase pengisian biji dapat meningkatkan hasil biji sekitar 87%
dibandingkan kontrol serta meningkatkan daya berkecambah dan indeks vigor
(Amanullah et al. 2010).
Defisiensi unsur B menyebabkan beberapa perubahan anatomi, fisiologi
13
Pada tanah salin dan sodik salin, aplikasi B 1.5 kg B/ha dapat
memperbaiki hasil padi dan jerami berturut-turut sampai 128.79% dan 83.61%
(Mehmood et al. 2009). Namun pemberian boron yang terlalu tinggi yaitu 6 kg
B/ha berpengaruh negatif terhadap produksi padi dan jeraminya. Pengaruh
menguntungkan dari boron yaitu karena konsentrasi Na- dan Cl- dalam pucuk dikurangi dan rasio K+ dan Na- diperbaiki, sehingga dapat memperbaiki pembentukan biji.
Penyerbukan
Penyerbukan merupakan faktor penting dalam menghasilkan benih
bermutu tinggi pada bawang bombay (Yucel & Duman 2005). Menurut Gure et
al. (2009) penyerbukan dan pembentukan biji pada tanaman bawang Bombay
kurang efektif, karena kematangan gamet jantan dan betina tidak bersamaan.
Bawang bombay merupakan tanaman menyerbuk silang karena benabg sari masak
sebelum bunga betina matang (reseptif). Yucel dan Duman (2005)
mengemukakan bahwa serangga penyerbuk memainkan peranan penting dalam
membantu penyerbukan bawang bombay. Bantuan penyerbukan lainnya seperti
penggunaan atraktan diperlukan jika di sekitar tanaman bawang ada tanaman
kompetitif dengan bunga yang lebih menarik atau populasi serangga yang rendah
(Woyke 1981). Pembungaan dan pembentukan biji bawang merah diduga
mengikuti sifat-sifat reproduksi bawang bombay, karena keduanya termasuk
dalam grup agregatum.
Bunga bawang memiliki jumlah nectar yang banyak. Hal ini
menyebabkan bawang sangat menarik untuk beberapa jenis serangga penyerbuk
seperti lebah madu, lebah soliter, dan beberapa spesies hymenoptera lainnya.
Yucel dan Duman (2005) melaporkan bahwa ada 267 spesies serangga
pengunjung bunga bawang bombay, terutama lebah madu, lalat Syrphid,
Megachile rotundata, lebah Halictid dan lalat.
Menurut Gure et al (2009) penyerbukan dengan lebah merupakan salah
satu faktor penting dalam produksi benih bawang bombay. Penyerbukan oleh
lebah dapat meningkatkan keragaman genetik melalui penyerbukan silang,
memungkinkan terjadinya seleksi polen yang menyebabkan viabilitas dan bobot
benih meningkat sehingga perkecambahan meningkat. Sebelumnya Yucel dan
Duman (2005) telah melaporkan bahwa lebah madu Apis mellifera L. merupakan
serangga penyerbuk yang efektif dalam meningkatkan produksi biji bawang
Bombay, dengan kebutuhan paling sedikit 12-15 koloni per hektar untuk
penyerbukan yang memadai.
Muatan serbuk sari pada tubuh serangga dan perilaku berkelibang
merupakan kriteria yang digunakan untuk menentukan efektivitasnya sebagai
serangga. Perpindahannya antar bunga dalam satu umbel atau antara umbel atau
antar tanaman menentukan proporsi penyerbukan silang yang terjadi. Menurut
Yucel dan Duman (2005) lebah madu berkelibang pada tanaman bawang Bombay
dari jam 8.15 sampai 16.30 dengan puncaknya antara jam 11.00 sampai jam
12.00. Pada jam 9.00, 12.00 dan 15.00 masing-masing lebah rata-rata
mengunjungi 8, 13 dan 4 bunga per menit dan mengoleksi 8, 10 dan 6 mg serbuk
sari.
Menurut Oz et al. (2009) penyebaran serbuk sari oleh penyerbuk
menentukan persentase penyerbukan efektif dan mempengaruhi hasil biji per area
pada tanaman bunga matahari. Breazeale et al. (2008) melaporkan bahwa
penyebaran serbuk sari oleh penyerbuk ditentukan oleh 1) jarak terbang antara
dua bunga yang dikunjungi, 2) hinggapnya lebah pada jarak paling dekat kepala
bunga setelah lebah mengunjungi bunga dan 3) jarak dari sumber serbuk sari
dimana semakin jauh jarak dari sumber serbuk sari maka semakin menurun
pembentukan biji. Menurut Kameyama dan Kudo (2009) bahwa selama periode
pembungaan, aktivitas dan perilaku lebah sangat berubah. Perubahan musim
sangat jelas dalam aktivitas penyerbuk. Pada tanaman early-flowering tingkat
pembentukan biji yang rendah disebabkan oleh keterbatasan serbuk sari karena
aktifitas penyerbuk rendah. Kemudian situasi penyerbuk secara dramatis berubah
dimana pada periode pembungaan yang tinggi frekuensi kunjungan ke infloresens
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman
Sayuran (Balitsa) Lembang (ketinggian tempat 1250 m di atas permukaan
laut/dpl) dan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa)
Subang (ketinggian tempat 100 m dpl). Percobaan dilaksanakan dari bulan
Agustus 2011 sampai Agustus 2012. Pengujian viabilitas serbuk sari serta mutu
benih dilakukan di Laboratorium Penyakit dan Laboratorium Benih Balitsa
Lembang.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada percobaan ini yaitu umbi bawang merah
varietas Bima Brebes ukuran 5-7 gram (Lampiran 1 dan 2), Benzyl Amino Purine
(BAP), Borax (Boron), pupuk SP 36 (90 kg P2O5/ha), pupuk NPK (16-16-16) 600
kg/ha, pupuk kandang ayam 10 ton/ha, dolomit 1.0 ton/ha, serangga penyerbuk
(Apis mellifera, Apis cerana, Trigona sp., Lucillia sp.), kain kasa, bambu, PGM
(Polen Germination Media), pestisida selektif, plastik putih untuk atap, polybag,
substrat kertas, aquadest, gula merah, udang busuk.
Alat yang digunakan terdiri atas termohygrometer, haemocytometer, pipet,
objek glass, cawan petri, mikroskop cahaya, timbangan dan alat pengecambah
Copenhagen table, serta Cool storage untuk vernalisasi umbi.
Metode Penelitian Penelitian terdiri atas tiga percobaan, yaitu
Percobaan 1. Pengaruh perlakuan BAP dan boron terhadap pembungaan, viabilitas serbuk sari dan produksi serta mutu benih TSS. Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Balitsa Lembang (dataran
16
Kebun Percobaan Balitsa Subang (dataran rendah/100 m dpl) dari bulan Maret
sampai bulan Mei 2012.
Perlakuan disusun dalam rancangan faktorial (dua faktor) dengan
rancangan lingkungan menggunakan acak kelompok lengkap. Faktor pertama
yaitu konsentrasi BAP terdiri atas lima taraf yaitu 0, 50, 100, 150, dan 200 ppm.
Faktor kedua yaitu boron terdiri atas lima taraf yaitu 0, 1, 2, 3, dan 4 kg/ha. Dari
kedua faktor tersebut diperoleh 25 kombinasi perlakuan dan tiap perlakuan
diulang tiga kali, sehingga terdapat 75 satuan percobaan masing-masing untuk
dataran tinggi dan dataran rendah. Tiap satuan percobaan terdiri atas empat
polibag dan setiap polibag ditanami tiga tanaman, maka jumlah umbi bibit
bawang merah yang digunakan ada 900 umbi. Varietas bawang merah yang
digunakan adalah Bima. Peubah yang diamati meliputi waktu berbunga (sekitar
50% tanaman), jumlah tanaman berbunga, jumlah umbel per tanaman, jumlah
bunga per umbel, jumlah dan viabilitas serbuk sari, jumlah kapsul per umbel,
jumlah TSS per umbel, bobot TSS per umbel, bobot TSS per tanaman, bobot TSS
per plot (12 tanaman), bobot TSS 100 butir, daya berkecambah dan potensi
tumbuh maksimum.
Model linier yang digunakan yaitu sebagai berikut:
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + ρk + εijk,
dimana i = 1,2,3,4,5; j= 1,2,3,4,5; k = 1,2,3
Yijk = nilai pengamatan dari pengaruh BAP ke-i, pengaruh boron ke-j dan
kelompok ke-k;
µ = rataan umum;
αi, = pengaruh BAP ke-i;
βj = pengaruh boron ke-j;
(αβ)ij = interaksi BAP dan boron ke-i dan ke-j;
ρk = pengaruh kelompok ke-k;
εijk = pengaruh galat percobaan pada dosis BAP ke-i, dosis boron ke-j, dan kelompok ke-k
Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F dan jika berpengaruh nyata
Range Test) pada taraf 5%. Antar lokasi penanaman (dataran tinggi dan dataran
rendah) dianalisis dengan uji t.
Percobaan 2. Sistem perkawinan bawang merah dalam produksi benih TSS Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Balitsa Lembang (dataran
tinggi/1250 m dpl) dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2012, dan di Kebun
Percobaan Balitsa Subang (dataran rendah/100 m dpl) dari bulan Mei sampai
bulan Agustus 2012.
Perlakuan terdiri atas penyerbukan silang dan penyerbukan sendiri, yang
dilakukan secara manual menggunakan bantuan tangan. Pada percobaan ini
terdapat 150 tanaman bawang merah yang ditanam pada 50 polibag dengan tiga
tanaman per polibag sehingga jumlah benih bawang merah yang digunakan
sebanyak 150 umbi varietas Bima Brebes (ukuran umbi 5-7 g) untuk
masing-masing lokasi (dataran tinggi dan dataran rendah). Setiap perlakuan mendapatkan
aplikasi perlakuan BAP dan boron yang paling baik dari hasil Percobaan 1.
Peubah yang diamat meliputi jumlah bunga per umbel, jumlah kapsul per umbel,
jumlah TSS per umbel, bobot TSS per umbel, bobot TSS 100 butir, daya
berkecambah dan potensi tumbuh maksimum.
Data yang diperoleh dianalisis dengan uji t pada taraf 5%.
Percobaan 3. Peran serangga penyerbuk dalam produksi dan mutu TSS Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Balitsa Lembang (dataran
tinggi/1250 m dpl) dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2012, dan di Kebun
Percobaan Balitsa Subang (dataran rendah/100 m dpl) dari bulan Mei sampai
bulan Agustus 2012.
Perlakuan disusun dalam rancangan faktor tunggal dengan rancangan
lingkungan acak kelompok lengkap. Perlakuan yang digunakan yaitu jenis
serangga penyerbuk terdiri atas lebah madu Apis mellifera dan Apis cerana serta
lebah hutan Trigona sp. (Apidae), lalat hijau Lucilia sp. (Calliphoridae) serta
penyerbukan terbuka. Tiap perlakuan diulang lima kali, sehingga terdapat 25
18
tanaman per polibag, maka jumlah benih bawang merah yang digunakan sebanyak
1500 umbi (ukuran umbi 5-7 g) untuk masing-masing lokasi (dataran tinggi dan
dataran rendah). Setiap perlakuan akan mendapatkan aplikasi perlakuan BAP dan
Boron yang paling baik dari hasil Percobaan 1. Varietas bawang merah yang
digunakan adalah varietas Bima Brebes. Peubah yang diamati meliputi jumlah
umbel per plot, jumlah umbel per tanaman, jumlah bunga per umbel, jumlah
kapsul per umbel, jumlah TSS per umbel, bobot TSS per umbel, bobot TSS per
tanaman, bobot TSS per plot (60 tanaman), bobot 100 benih TSS, daya
berkecambah dan potensi tumbuh maksimum.
Model linier yang digunakan yaitu sebagai berikut:
Yij = µ + αi + ρj + εij,
dimana i = 1,2,3,4,5; j= 1,2,3,4,5
Yij = nilai pengamatan dari pengaruh serangga penyerbuk ke-i, dan
kelompok pada taraf ke-j;
µ = rataan umum;
αi, = pengaruh serangga penyerbuk ke-i;
ρj = pengaruh kelompok ke-j;
εij = pengaruh galat percobaan pada perlakuan serangga penyerbuk ke-i dan kelompok ke-j
Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F pada taraf 5% menggunakan
program SAS (Statistical Analysis System) dan jika berpengaruh nyata secara
statistic maka dilakukan uji lanjut Tukey pada taraf 5% untuk membandingkan
antar perlakuan. Produksi dan mutu benih dari serangga penyerbuk yang terbaik
dari dua lokasi (dataran tinggi dan dataran rendah) dianalisis dengan uji t.
Pelaksanaan Penelitian Persiapan Bibit
Umbi bawang merah yang digunakan sebagai bibit (benih vegetatif)
berukuran 5 - 7 gram per umbi dan berumur 2 bulan dari panen (Lampiran 2).
Sebelum ditanam umbi divernalisasi di dalam cool storage pada suhu 10o C
Untuk mencegah infeksi penyakit, umbi bawang merah dicampur fungisida
berbahan aktif mankozeb sebanyak 2 gram/kg umbi bawang.
Persiapan Media Tanam
Media tanam yang digunakan yaitu campuran tanah, dolomit dan pupuk
kandang ayam yang diaduk rata dan dimasukkan ke dalam polybag kemudian
dibiarkan selama seminggu. Untuk satu polibag diisi tanah sebanyak 8 kg,
dolomit 13 gram dan pupuk kandang ayam 130 gram. Satu hari sebelum tanam
pupuk P diaplikasikan ke media tanam dalam polibag sebanyak 3 gram SP-36.
Penanaman
Umbi bawang merah ditanam di dalam polibag sebanyak 3 umbi per
polibag dan diatur jaraknya sekitar 15 cm antar umbi (Lampiran 2). Sebelumnya
media tanam sudah disiram air sampai kondisinya cukup lembab (tidak becek).
Umbi ditanam ke dalam media tanam sampai sebatas leher umbi. Polybag
ditempatkan pada bedengan yang ditutup mulsa plastik hitam perak dan diberi
naungan plastik putih.
Pemupukan
Tanaman bawang merah dipupuk seminggu sekali dengan 100 ml larutan
pupuk (0.8 g NPK/polibag). Larutan pupuk diaplikasikan selama 10 kali mulai
umur satu minggu. Cara pemberian pupuk yaitu dengan disiramkan ke tanah
sekitar tanaman.
Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman dilakukan supaya tanaman dapat tumbuh dan
berproduksi yang baik meliputi pemberian pupuk, penyiraman, pengendalian
gulma dan penyemprotan pestisida untuk mencegah dan mengendalikan hama
penyakit tanaman.
Penyiraman dilakukan dua hari sekali untuk menjaga media dalam kondisi
lembab tetapi tidak sampai terlalu basah (becek). Untuk menghilangkan embun
20
disemprot air. Embun yang menempel di daun jika tidak dihilangkan akan
menimbulkan penyakit bercak ungu yang disebabkan oleh Alternaria porri.
Untuk mencegah berkembangnya penyakit daun tersebut, selain disemprot air
juga dua minggu sekali di semprot fungisida berbahan aktif difenokonazol.
Untuk mengendalikan hama terutama ulat daun pada awal pertumbuhan
tanaman sampai umur 6 minggu disemprot insektisida berbahan aktif emamektin
benzoat dan klorantranilinprol. Abamectin disemprotkan untuk mengendalikan
kutu yang menyerang tangkai dan bunga bawang pada tahap pembungaan dan
pembuahan. Setelah penyerbuk dimasukkan ke dalam kerodong, untuk
mengendalikan hama dan penyakit digunakan Agonal (campuran nimba, lengkuas
dan sereh wangi).
Pengendalian rumput atau gulma lainnya dilakukan secara manual dengan
mencabutnya sampai bersih di sekitar bedengan maupun pada polybag. Antar
barisan polybag tanaman diberi tali supaya tanaman bawang tidak rebah.
Aplikasi Perlakuan BAP dan Boron
Perlakuan BAP diaplikasikan tiga kali yaitu pada umur 1, 3 dan 5 minggu
setelah tanam (MST) dengan cara menyiramkan BAP sesuai perlakuan (50, 100,
150 dan 200 ppm) sebanyak 100 ml setiap polibag ke bagian titik tumbuh apikal
pada umbi. Perlakuan unsur Boron (Borax) diaplikasikan tiga kali pada umur 3, 5
dan 7 MST sesuai perlakuan (0.093 g, 0.186 g, 0.278, dan 0.371 g/polibag).
Borax dilarutkan dalam air sebanyak 100 ml setiap polibag dan disiramkan ke
bagian titik tumbuh apikal dan bunga.
Perlakuan system perkawinan
Perlakuan penyerbukan silang dan penyerbukan sendiri dilakukan secara
manual yang dilakukan setiap hari dari pukul 07.00 sampai 12.00 selama bunga
mekar atau sekitar satu bulan. Perlakuan penyerbukan silang dilakukan dengan
cara mengusapkan antera pada umbel yang berbeda dari tanaman berbeda atau
tanaman yang sama, sedangkan pada perlakuan penyerbukan sendiri dengan cara
mengusapkan antera dari bunga yang berbeda dalam satu umbel. Pengambilan
memilih ukuran umbel yang sama dari satu tanaman atau tanaman yang sama.
Jumlah sampel yang berhasil dipilih ada 46 tanaman yang terdiri atas 46 umbel
untuk penyerbukan silang dan 46 umbel untuk penyerbukan sendiri.
Pengerodongan umbel dengan kain kasa dilakukan setelah selaput umbel pecah
dan antar perlakuan dibedakan warna kain kasanya. Pada perlakuan penyerbukan
silang, setiap hari antera dari bunga yang baru mekar pada setiap umbel dibuang
anteranya. Kemudian stigma bunga setiap umbel diusap kuas yang sudah
diusapkan pada antera dari umbel lain. Pada perlakuan penyerbukan sendiri,
kerodong kain kasa dibuka setiap hari dan antera diusap kuas kemudian diusapkan
ke stigma bunga yang lain di dalam satu umbel.
Perlakuan serangga penyerbuk
Pada perlakuan serangga penyerbuk terdapat 20 kerodong kain kasa nylon
masing-masing 5 kerodong kain kasa nylon untuk A. mellifera, A. cerana, Trigona
sp. dan Lucilia sp., serta lima tanpa kerodong kain kasa untuk perlakuan
penyerbukan terbuka sebagai kontrol. Introduksi serangga penyerbuk dilakukan
pada saat bunga mulai ada yang mekar sampai semua umbel membentuk buah.
Kotak kayu (sarang lebah) yang berisi masing-masing lebah Apis mellifera, Apis
cerana, serta Trigona sp. dimasukkan ke dalam kerodongan kain kasa. Satu kotak
kayu berisi 400-500 ekor lebah. Kotak kayu yang berukuran 5 cm x 35 cm
diletakkan setinggi 1.5 m dari permukaan tanah di dalam kerodongan kain kasa.
Bagian atas ditutup plastik putih transparan untuk menghindari siraman air hujan
terhadap lebah dan bunga. Pada bagian atas kotak kayu diberi tutup dari kardus
untuk mengurangi panas matahari. Sebagai sumber makanan lebah, baki plastik
kecil berisi cairan gula merah yang diberi kertas tissue disimpan pada bedengan di
bawah kotak kayu. Seminggu sekali baki plastik dengan cairan gula dan tissue
diganti dengan yang baru. Gulma-gulma yang tumbuh baik pada polibag tanaman
bawang maupun pada pinggir bedengan di dalam kerodongan kain kasa
dibersihkan.
Untuk perlakuan lalat hijau Lucilia sp., sekitar 400-500 ekor lalat juga
dimasukkan ke dalam kerodongan kain kasa. Agar lalat hijau tersebut dapat
22
diletakkan baki plastik yang berisi udang segar sebanyak ½ kg dan setiap
seminggu sekali baki plastik akan diisi kembali dengan udang segar yang baru
sampai berakhir masa pembungaan.
Untuk perlakuan penyerbukan terbuka, plot tanaman bawang dibiarkan
terbuka atau tidak dikerodong kain kasa sehingga berbagai serangga di alam dapat
mengunjungi bunga bawang. Untuk menarik serangga penyerbuk mengunjungi
bunga bawang, dipinggir plot percobaan ditanami tanaman tagetes yang berbunga
kuning.
Dalam satu satuan percobaan terdapat 60 tanaman atau tanaman bawang
merah dan setiap tanaman dibiarkan rata-rata empat tangkai umbel sehingga
dalam satu satuan percobaan ada sekitar 240 umbel. Sampel umbel diambil dari
enam tanaman bawang dengan ukuran yang hampir sama dari fase bunga pertama,
kedua dan ketiga.
Pengamatan
1. Waktu berbunga 50%. Penghitungan dilakukan berdasarkan jumlah umbel
yang muncul sebanyak 50% tanaman dari setiap satuan percobaan/plot (hari
setelah tanam)
2. Persentase tanaman berbunga. Penghitungan dilakukan berdasarkan jumlah
tanaman berbunga pada satuan percobaan atau plot (12 tanaman).
3. Jumlah umbel per tanaman. Penghitungan dilakukan berdasarkan jumlah
umbel yang terdapat pada satu tanaman.
4. Jumlah bunga per umbel. Penghitungan dilakukan berdasarkan jumlah bunga
yang terbentuk pada satu umbel.
5. Jumlah kapsul per umbel. Penghitungan dilakukan berdasarkan jumlah kapsul
yang terbentuk pada satu umbel.
6. Jumlah TSS per umbel. Penghitungan dilakukan berdasarkan jumlah TSS yang
terbentuk pada satu umbel
7. Bobot TSS per umbel, per tanaman dan per plot (g). Pengukuran dilakukan
dengan menimbang jumlah benih yang terbentuk pada setiap umbel, pada
8. Bobot 100 butir. Pengukuran dilakukan dengan menimbang berat 100 butir
benih.
9. Daya berkecambah. Pengujian dilakukan dengan metode uji diatas kertas
(UDK) menggunakan alat pengecambah benih Copenhagen table. Substrat
yang digunakan adalah kertas stensil tiga lembar. Suhu media
pengecambahan yang digunakan adalah konstan 20 0C. Penghitungannya
menggunakan rumus:
DB = ( KN I + KN II) x 100% ∑ benih
Dimana: KN I : Jumlah kecambah normal pada hitugan pertama (6 hari)
KN II : Jumlah kecambah normal pada hitungan kedua (12 hari)
10. Potensi tumbuh maksimum adalah proporsi benih yang berkecambah, baik
kecambah normal maupun abnormal pada waktu tertentu (12 hari setelah
benih dikecambahkan). Benih dikatakan berpotensi tumbuh apabila radikula
telah muncul.
11. Viabilitas serbuk sari
Penghitungan viabilitas serbuk sari didasarkan persentase serbuk sari yang
berkecambah (fertil) dengan ciri serbuk sari yang berkecambah akan
membentuk tabung sepanjang minimal sama dengan diameter serbuk sari.
Pengambilan serbuk sari dilakukan pada waktu bunga mekar dan satu hari
setelah bunga mekar.
Penghitungan viabilitas dengan metode perkecambahan menggunakan rumus:
Viabilitas serbuk sari = ∑ serbuk sari yang berkecambah x100%
∑ serbuk sari yang dikecambahkan
12. Jumlah serbuk sari
Pengamatan jumlah serbuk sari per antera dengan menggunakan alat
haemocytometer. Cara pengamatan yaitu meletakkan coverglass di atas
haemocytometer. Sebanyak 50 µl larutan serbuk sari diteteskan dalam parit
kaca haemocytometer. Larutan menyebar di dalam parit secara merata hingga
diam di tempat kemudian dihitung jumlah serbuk sari di bawah
24
tidak sebanyak 5 kotak sedang. Hasil perhitungan dirata-rata dan hasil rataan
dimasukkan rumus untuk kotak sedang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum LapanganTanaman bawang merah dari awal penanaman sampai pembungaan dan
pembentukan kapsul selama 15 minggu menunjukkan pertumbuhan yang baik.
Serangan hama pada tanaman bawang merah relatif rendah. Hama yang
menyerang yaitu ulat bawang (Spodoptera exigua) dan kutu daun (Toxoptera
spp). Hama ulat merupakan hama utama yang dapat menyebabkan kerusakan
pada daun dan umbel, sedangkan kutu daun bukan merupakan hama penting dan
menyerang jika media agak kering. Serangan hama ulat dapat diatasi dengan
pengendalian mekanis yaitu dengan membuang daun yang terserang, dan
penyemprotan insektisida selektif yang berbahan aktif spinosad dan abamectin
sesuai anjuran. Pada umur 2-3 minggu setelah tanam (MST) ada gangguan embun
pada ujung-ujung daun di pagi hari yang dapat menimbulkan penyakit bercak
ungu (Alternaria porri), antraknose (Colletrotichum sp.) dan embun bulu
(Peronospora destructor). Penyakit tersebut juga menyerang tangkai bunga, dan
menyebar dengan cepat apabila kelembaban udara tinggi, dengan gejala ujung
daun berwarna kuning dan berkembang ke pangkal daun. Tangkai bunga
berwarna kuning kecoklatan berbentuk silindris dan akhirnya menghitam.
Pengendalian dilakukan dengan menyemprotkan air dan fungisida selektif yang
berbahan aktif difenoconazol pada ujung-ujung daun tersebut sesuai anjuran.
Selama periode pembungaan di dataran tinggi baik pada musim kemarau
maupun pada musim hujan berbagai serangga yang banyak mengunjungi bunga
bawang yaitu tabu-tabuan, lebah, lalat, capung, semut dan kupu-kupu. Lebah
yang ditemukan yaitu lebah besar berwarna hitam, lebah kecil seperti Apis cerana
sedangkan lalat yang ditemukan yaitu lalat hijau dengan tubuh bulat, lalat besar
dengan sayap lebar dan lalat kecil. Serangga yang dominan mengunjungi bunga
adalah kupu-kupu dan capung (> 50%) pada musim kemarau dan lebah soliter
berwarna hitam pada musim hujan. Pada musim kemarau sekitar 80% serangga
yang mengunujungi bunga bawang merah didominasi oleh kupu-kupu. Puncak
kunjungan terjadi pada pukul 09.00 – 12.00, karena pada waktu tersebut cuaca
cerah dan suhu di sekitar pertanaman tidak terlalu panas (22-230 C). Pada waktu